Anda di halaman 1dari 50

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era globalisasi saat ini di Indonesia telah banyak upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan. Upaya meningkatan mutu pendidikan tidak terlepas dari tujuan pendidikan Nasional,
dengan mencerdaskan kehidupan bangsa dimana setiap kegiatan yang diberikan di sekolah atau
yang diajarkan kepada siswa pada jenjang pendidikan tertentu harus jelas mendukung tujuan
tersebut. Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya untuk mengembangkan seluruh potensi
peserta didik seoptimal mungkin melalui pengembangan bakat, minat dan rekayasa kondisi
lingkungan pembelajaran yang kondusif bagi tumbuh kembangnya seluruh potensi yang dimiliki
peserta didik. Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu kualitas suatu bangsa.
Peningkatan mutu pendidikan saat ini menjadi perhatian bagi Indonesia. Pendidikan adalah
peningkatan mutu pembelajaran yang bertujuan mampu berkarya, meningkatkan prestasi siswa
dan bersaing dengan negara-negara lain.
Berdasarkan hasil observasi kelas yang telah dilakukan di SMAN 4 Bengkulu Selatan,
proses pembelajaran yang terjadi di kelas adalah guru lebih sering menggunakan metode
konvensional seperti ceramah, mencatat dan latihan soal. Sehingga membuat siswa bosan dan
kurang aktif dalam proses pembelajaran. Tetapi hal ini juga disebabkan oleh kondisi siswa yang
sulit untuk diarakan, yaitu motivasi belajar siswa sangat sedikit dan untuk menumbuhkan sikap
aktif tidaklah mudah buktinya guru dianggap sebagai sumber belajar utama.
Proses pembelajaran kimia merupakan suatu proses untuk memperoleh pengalaman
tentang berbagai fakta, kemampuan mengenal dan memecahkan masalah, memperoleh
kemampuan dalam penggunaan laboratorium serta mempunyai sikap yang dapat ditampilkan
dalam kehidupan sehari-hari (Tresna Sastrawijaya, 1988 :113). Pembelajaran secara umum
dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor intern meliputi cara belajar, minat, motivasi
intelegensi, kesehatan dan kemampuan kognitif. Faktor ekstern yang mempengaruhi meliputi
kurikulum, guru, lingkungan, metode mengajar, keadaan sosial ekonomi, dan fasilitas belajar.
Dengan demikian harus dilakukan

upaya-upaya yang dapat meningkatkan mutu

pembelajaran tersebut. Seorang guru yang profesional dituntut untuk dapat menampilkan
keahlian dalam mengajar di depan kelas. Komponen yang harus di kuasai adalah menggunakan

bermacam macam model pembelajaran yang bervariasi dapat menarik minat belajar siswa.
Guru tidak hanya cukup dengan memberikan ceramah di depan kelas. Hal ini tidak berarti bahwa
metode ceramah tidak baik, melainkan pada suatu saat siswa akan menjadi bosan apabila hanya
guru sendiri yang berbicara, sedangkan siswa duduk diam mendengarkan. Kebosanan dalam
mendengarkan uraian guru dapat mematikan semangat belajar siswa. Selain itu ada pokok
bahasan yang memang kurang tepat untuk disampaikan melalui metode ceramah dan lebih
efektif melalui metode lain. Oleh karena itu guru perlu menguasai berbagai model pembelajaran.
Model pembelajaran yang tepat digunakan agar proses pembelajaran berjalan dengan
baik dan

siswa dapat dengan mudah meguasai suatu pembelajaran. Ada dua jenis model

pembelajara, yaitu model pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher center learning) dan
berpusat pada siswa (student centered learning). Pembelajaran akan efektif apabila
menggunakan model yang berpusat pada siswa atau student centered dan membuat siswa aktif
dalam belajar. Sebab pendekatan belajar berpusat pada siswa (student centered learning)
merujuk pada teori konstruktif yang menempatkan siswa sebagai individu yang memiliki bibit
ilmu di dalam dirinya yang memerlukan berbagai aktifitas/kegiatan untuk mengembangkannya
menjadi pemahaman yang bermakna terhadap sesuatu. Guru lebih bersifat sebagai fasilitator
dalam proses membangun pengetahuan. Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa, peranan
siswa dalam pembelajaran lebih besar dari guru. Dengan demikian, siswa akan berperan lebih
aktif, mereka adalah sebagai subjek pembelajaran.
Salah satu model pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif dalam proses
pembelajaran adalah model kooperatif. Pembelajaran kooperatif merupakan proses belajar
mengajar yang menekankan adanya kerjasama dalam kelompok- kelompok kecil dan saling
menguntungkan antar siswa. Pembagian kelompok dibuat heterogen dalam hal prestasi belajar
dan jenis kelamin, budaya dan tingkat sosio ekonomi yang berbeda. Dalam pembelajaran
Kooperatif terdapat tanggung jawab individu sekaligus kelompok sehingga dalam diri siswa
terbentuk sikap saling ketergantungan positif dalam kelompoknya untuk belajar, bekerja dan
bertanggung jawab dengan sungguh-sungguh sampai terselesainya tugas tugas individu dan
kelompok. Salah satu pembelajaran kooperatif adalah kooperatif tipe Numbered Head Together
(NHT). Model kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) memiliki kelebihan dan
kekurangan. Menurut Lie (2004), kelebihan dari model NHT yaitu, siswa menjadi antusias dan
bertanggung jawab dalam belajar, karena siswa memiliki nomor di kepala masing-masing,

siswa menjadi lebih aktif untuk berpendapat, bertanya dan menjawab pertanyaan dan sebagainya.
Sedangkan kekurangannya yaitu waktu yang digunakan agaka lama sehingga tidak semua siswa
mendapat kesempatan untuk menjawab.
Penelitian model

kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) telah banyak

dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. Pada tahun 2013 Qurniawati melakukan penelitian
dengan judul, Efektivitas Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Numbered Head Together
(NHT) dengan Media Kartu Pintar dan Kartu Soal terhadap Prestasi Belajar Siswa pada Materi
Pokok Hidrokarbon Kelas X Semester Genap SMA Negeri 8 Surakarta Tahun Pelajaran
2012/2013. Pada penelitian tersebut pengunaan model NHT dapat meningkatkan hasil belajar
siswa pada pelajaran kimia. Tahun 2009, Melati melakukan penelitian dengan judul,
Meningkatkan Aktivitas SMAN 1 Ambawang Melalui Pembelajaran Model Numbered Head
Together (NHT) pada Materi Kelarutan dan Hasil Kali Kelarutan. Hasil Penelitian tersebut
yaitu dengan penggunaan model NHT dapat meningkatkan hasil belajar siswa
Model pembelajaran lain yang mengacu pada student center yaitu model pembelajaran
Student Teams Achievement Division ( STAD) yang disertai dengan praktikum diharapkan bisa
membantu siswa dalam memahami materi, meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar
mengajar dan prestasi belajar siswa juga menambah kemampuan siswa dalam melakukan
kegiatan praktikum. Diharapkan dengan menggunakan metode ini siswa dapat lebih antusias
dalam mengikuti pelajaran, karena siswa juga akan diajak untuk percobaan langsung sehingga
siswa akan lebih memahami pelajaran. Dan proses pembelajaran diartikan berkualitas apabila
siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dengan metode pembelajaran STAD (Student Teams
Achievement Division) yang termasuk dalam model Cooperative Learning ini, yang berarti
bekerjasama untuk menyelesaikan suatu tujuan dan seseorang akan mencari hasil yang terbaik
bagi dirinya dan bagi seluruh anggota kelompok. Belajar kooperatif ini juga merupakan
pembelajaran yang menggunakan kelompok kecil sehingga siswa bekerja bersama untuk
memaksimalkan kegiatan belajarnya sendiri dan juga anggota yang lain (Sri Anitah W, 2007 : 67). Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian eksperimen
dengan judul : Perbandingan Hasil Belajar Siswa Terhadap Konsep Kesetimbangan Kimia
Menggunakan Model Pembelajaran Koopratif Tipe Numbered Head Together (NHT)
Dengan Model Pembelajaran STAD (Student Team Achievment Divission) Di SMAN 4
Bengkulu Selatan

1.2 Perumusan Masalah


Perumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaiamana hasil belajar siswa terhadap konsep kesetimbangan kimia dengan
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) di
SMAN 4 Bengkulu Selatan ?
2. Bagaiamana hasil belajar siswa terhadap konsep kesetimbangan kimia dengan
menggunakan model pembelajaran STAD (Student Team Achievment Divission) di
SMAN 4 Bengkulu Selatan ?
3. Apakah terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar kimia siswa yang
menerapkan Model Pembelajaran Koopratif Tipe Numbered Head Together (NHT) Dan
STAD (Student Team Achievment Divission) dapat meningkatkan hasil belajar siswa
terhadap konsep kesetimbangan kimia Di SMAN 4 Bengkulu Selatan ?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe
Numbered Head Together (NHT) terhadap konsep kesetimbangan kimia Di SMAN 4
Bengkulu Selatan ?
2. Mengetahui hasil belajar siswa menggunakan model pembelajaran STAD (Student Team
Achievment Divission) terhadap konsep kesetimbangan kimia Di SMAN 4 Bengkulu
Selatan ?
3. Mengetahui perbedaan antara hasil belajar kimia siswa yang menggunakan Model
Pembelajaran Koopratif Tipe Numbered Head Together (NHT) Dan STAD (Student
Team Achievment Divission) dapat meningkatkan hasil belajar siswa terhadap konsep
kesetimbangan kimia Di SMAN 4 Bengkulu Selatan ?
1.4 Batasan Penelitian
Untuk memberi ruang lingkup yang jelas pada pembahasan, maka penelitian ini dibatasi
dengan:
1.

Subjek penelitian adalah siswa SMAN 4 Bengkulu Selatan kelas XI IPA tahun Ajaran
2016/2017

2.

Materi yang diajarkan dimulai dari materi konsep kesetimbangan kimia

3. Metode mengajar yang digunakan adalah Model Pembelajaran Koopratif Tipe


Numbered Head Together (NHT) Dan STAD (Student Team Achievment Divission)
4. Hasil belajar yang dinilai berupa hasil belajar kognitif,
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:
1. Bagi Siswa
Siswa terlibat langsung dengan obyek nyata sehingga dapat mempermudah
pemahaman siswa terhadap pelajaran kimia, merangsang siswa untuk aktif, kreatif, serta
memberi kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan yang ada
dalam diri siswa. Dan dapat memberikan motivasi, meningkatkan aktivitas siswa, dan
dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa.
2. Bagi guru
Memberikan pengetahuan mengenai penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe Numbered Head Together (NHT) dan model pembelajaran STAD (Student Team
Achievment Divission) yang dapat digunakan untuk proses pembelajaran yang berpusat
pada siswa.
3. Bagi Sekolah
Dapat memberikan sumbangan dan sebagai bahan pertimbangan dalam rangka
perbaikan serta peningkatan sistem pembelajaran di sekolah.
4. Bagi Peneliti Lain
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar atau acuan bagi peneliti
selanjutnya yang ingin mengembangkan penelitian dengan menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together (NHT) dan model pembelajaran
STAD (Student Team Achievment Divission)

1.6 Definisi Operasional


Untuk menghindari kesalahan penafsiran dalam penelitian ini, maka didefinisikan secara
operasional sebagai berikut:
1. Model pembelajaran kepala bernomor (Numbered Head Together) adalah salah satu
pendekatan yang dikembangkan untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah

materi yang tercakup dalam suatu pembelajaran juga mengecek pemahaman mereka
terhadap isi pelajaran tersebut (Trianto, 2012).
2. Model Pembelajaran STAD (Student Team Achievment Divission) adalah metode belajar
yang menggunakan salah satu metode pembelajaran yang kooperatif yang paling
sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang
menggunakan pendekatan kooperatif.

Sedangkan menurut Armstrong Scott dalam

penelitian Student Teams Achivement Division (STAD) in Twelfth Grade Classroom


Effect on Student Achievemet and Attitude bahwa metode STAD ini merupakan metode
yang efektif, dimana siswa yang berkemampuan tinggi berpengaruh dalam kelompok
yang heterogen. Dan meningkatnya motivasi siswa dalam menggerjakan tugas dan aktif
dalam pembelajaran (Ratna, 2010).
3. Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang diharapkan siswa setelah dilakukannya
proses pembelajaran. Perubahan tingkah laku tersebut diasumsikan sebagai perubahan
pengetahuan, pemahaman sikap dan kecakapan yang ada pada diri siswa (Hamalik, 2008)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hakekat Belajar Pembelajaran
2.1.1

Pengertian Belajar

Menurut J. Broner dalam Hidayat ( 2004 :8) belajar merupakan suatu proses aktif
yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru diluar informasin yang
diberikan kepada dirinya. Sedangkan menurut Silberman (2006 :5) mengambarkan saat
belajar aktif, para siswa melakukan banyak kegiatan, mereka menggunakan otak untuk
mempelajari ide-ide, memecahkan masalah dan menyenangkan penuh semangat, dan
keterlibatan secara pribadi untuk mempelajari sesuatu dengan baik harus mendengar,
melihat, menjawab, bertanya dan mendiskusikan dengan orang lain. Pembelajaran aktif
menurut Hisyam Zaini, Bermawy Munthe & Sekar Ayu Aryani (2007:xvi) adalah suatu
pembelajaran yang mengajak peserta didik untuk belajar secara aktif. Ketika peserta didik
belajar dengan aktif, berarti mereka yang mendominasi aktifitas pembelajaran. Di sisi
lain, Silberman (2006:35-41) menyatakan lingkungan fisik dalam kelas dapat mendukung
atau menghambat kegiatan belajar aktif. Sehingga dari pernyataan tersebut perlengkapan
kelas perlu disusun ulang untuk menciptakan formasi tertentu yang sesuai dengan kondisi
belajar siswa. Belajar menurut Vygotsky bahwa pengetahuan dibentuk secara sosial,
yaitu terhadap apa yang masing-masing partisipan kontribusikan dalam bentuk bahasa,
lambang dan simbol. Model pembelajaran konstruktivisme sering diartikan sepenuhnya
berseberangan dengan model pembelajaran behavior.
Pembelajaran beracuan behaviorisme berpusat pada upaya siswa mengumpulkan
pengetahuan dan guru berupaya mentransfer. Sedangkan konstruktivisme ini kegiatan
pada siswa daripada guru. Guru sebagai fasilisator atau pelatih yang membantu siswa
menkontruksikan konsep-konsep dan pemecahan masalah secara mandiri. Teori penting
oleh Vygotsky yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scoffolding. Zone of
Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan
sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara
mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan
pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan
teman sejawat yang lebih mampu. Scoffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan

kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan
memberikan kesempatan untu mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar
setelah ia dapat melakukannya. Dari beberapa definisi belajar dapat diambil kesimpulan
bahwa belajar adalah proses perolehan pengetahuan secara bersama-sama pada suatu
oragnisasi social untuk memecahkan permasalahan (Ratna Titisari, 2010: 9).
Menurut Piaget, pengetahuan datang dari tindakan dan perkembangan kognitif
sebagian besar bergantung pada seberapa jauh siswa aktif berinteraksi dengan
lingkungan,

dalam

arti

pengetahuan

itu

merupakan

sebuah

proses.

Dalam

perkembangannya, teori pengembangan Piaget adalah model konstruktivisme. Konstruksi


pengetahuan dari pengalaman dan proses ini khas bagi setiap individu. Landasan filosofi
konstruktivisme menurut Depdiknas (2002: 2) adalah filosofi belajar yang menekankan
bahwa belajar tidak hanya sekedar menghafal, tetapi siswa harus mengkonstruksikan
pengetahuan dalam diri mereka sendiri. Pengetahuan dibangun dalam pikiran
(dikonstruksi) dari hasil interpretasi atau suatu gejala, sehingga pengetahuan sangatlah
dipengaruhi oleh pola pikir orang tersebut (E. Mulyasa, 2003: 238). Siswa harus
dibiasakan untuk memecahkan masalah (problem solving) dan menemukan (inquiry)
sesuatu yang berguna bagi dirinya.
a. Prinsip-prinsip Belajar Konstruktivis
Dalam model pembelajaran konstruktivisme, strategi pokok yang diperlukan adalah
pembelajaran bermakna (meaningful learning). Agar suatu informasi pengetahuan dapat
dipahami, maka harus bermakna secara potensial. Dalam meaningful learning, setiap
unsur materi ajar harus diolah dan diinterpresentasikan sedemikian rupa sehingga masuk
akal (make senses) dan bermakna (meaningful) bagi siswa. Dengan pendekatan
pembelajaran ini, pengetahuan dapat diterima dan tersimpan lebih baik karena masuk
otak melalui proses masuk akal. Dalam teori konstruktivisme peserta didik harus
menemukan sendiri dan memecahkan informasi baru dengan aturan lama dan
merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak sesuai lagi. Sesuai dengan disiplin ilmu kimia
dimana dalam hal ini perkembangan dalam dunia kimia sangat dinamis maka kondisi
seperti ini mutlak diperlukan. Pandangan konstruktivisme menyatakan bahwa peserta
didik diberi kesempatan agar menggunakan suatu strategi sendiri dalam belajar secara
sendiri dan pendidikan dalam hal ini membimbing peserta didik ke tingkat pengetahuan

yang mengarah lebih tinggi. Oleh karena itu, agar peserta didik benar-benar memahami
mereka harus bekerja keras untuk memecahkan masalah dan kesulitan yang ada dengan
ide-ide dan kemampuannya.
Ide pokok pada teori konstruktivisme adalah peserta didik secara aktif membagi
pengetahuan mereka sendiri. Pendekatan dalam pembelajaran konstruktivisme dapat
menggunakan pembelajaran secara kooperatif ekstensif. Menurut teori ini peserta didik
akan lebih mudah menanamkan dan mengerti akan konsep-konsep yang sulit jika mereka
dapat membicarakan dan mendiskusikan masalah tersebut dengan temannya. Peserta
didik secara rutin bekerja dalam kelompok yang terdiri sekitar empat orang untuk saling
membantu memecahkan masalah-masalah dalam hal ini penekanannya pada aspek sosial
dalam pembelajaran dan penggunaan kelompok yang sederajat untuk menghasilkan
pemikiran. Pada sistem pengajaran ini memberikan kesempatan kepada peserta didik
untuk bekerja sama dengan temannya dalam tugas-tugas terstruktur dan inilah yang
disebut pengajaran gotong royong atau cooperative learning (Slavin, 2008: 2).
Strategi tersebut di atas juga memerlukan tukar pikiran, diskusi, dan perdebatan
dalam kerangka mencapai pemahaman yang sama atas materi pelajaran. Oleh karena
pembelajaran model konstruktivisme, akan terjadi pembelajaran yang melibatkan
negosiasi dan interpretasi. Kondisi penyesuaian pikiran ini dilakukan siswa dengan guru,
antara sesama siswa atau antara siswa dengan lingkungan belajarnya (E. Mulyasa, 2003:
239). Dengan demikian tercipta hubungan kerjasama antara guru dengan siswa maupun
siswa dengan siswa.
b.

Teori Belajar Kognitif


Menurut teori ini, salah satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah

dalam pembelajaran guru tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada
siswa agar secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar (Slavin,1994
dalam http://www.danardiri.or.id/file/yusufunsbab2.pdf ). Piaget menyatakan bahwa anak
membangun sendiri skemanya serta membangun konsep-konsep melalui pengalamanpengalamannya. Piaget membedakan perkembangan kognitif seorang anak menjadi
empat taraf, yaitu (1) taraf sensori motor, (2) taraf pra-operasional, (3) taraf operasional
konkrit, dan (4) taraf operasional formal. Walaupun ada perbedaan individual dalam hal
kemajuan perkembangan, tetapi teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa

10

tumbuh dan melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu
berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Perkembangan kognitif sebagian besar
bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungan.
Antara teori Piaget dan konstruktivis terdapat persamaan yaitu terletak pada peran guru
sebagai fasilitator, bukan sebagai pemberi informasi. Guru perlu menciptakan lingkunga
belajar yang kondusif bagi siswa-siswanya dan membantu siswa menghubungkan antara
apa yang sudah diketahui siswa dengan apa yang sedang dan akan dipelajari siswa.
Implikasi teori kognitif Piaget pada pendidikan adalah sebagai berikut (Slavin, 1994
dalam http://www.danardiri.or.id/file/yusufunsbab2.pdf).
1) Memusatkan perhatian kepada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar
kepada hasilnya. Selain kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses
yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. Pengalamanpengalaman belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap
fungsi kognitif dan hanya jika guru penuh perhatian terhadap metode yang
digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan
guru berada dalam posisi memberikan pengalaman yang dimaksud.
2) Megutamakan peran siswa dalam berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam
kegiatan belajar. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa pengajaran pengetahuan
jadi (ready made knowledge) tidak mendapat tekanan, melainkan anak di dorong
meemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
Oleh karena itu, selain mengajar secara klasik, guru mempersiapkan beraneka
ragam kegiatan secara langsung dengan dunia fisik.
3) Memaklumi

akan

adanya

perbedaan

individual

dalam

hal

kemajuan

perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan


melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung
pada kecepatan yang berbeda. Oleh karena itu harus melakukan upaya untuk
mengatur aktivitas di dalam kelas yang terdiri dari individu-individu ke dalam
bentuk kelompok-kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal.
Hal ini sesuai dengan pendekatan konstruktivis dalam pembelajaran kita
menerapkan pembelajaran kooperatif secara ekstensif.
c.

Teori Belajar Sosial

11

Selain teori belajar kognitif yang telah dijelaskan oleh Piaget, terdapat juga teori
belajar sosial yang dikemukakan oleh Vygotsky (Paul Suparno, 1997 : 45). Dalam
penelitiannya Vygotsky lebih memfokuskan perhatian kepada hubungan dialektik
antara individu dan masyarakat dalam pembentukan pengetahuan peserta didik
sebagai akibat interaksi social, baik dalam bahasa maupun budaya pada proses belajar
anak. Ada dua pegertian interaksi sosial yang terjadi pada peserta didik, yaitu :
1) Pengertian spontan, adalah pengertian yang didapatkan dari pengalaman anak
sehari-hari.
2) Pengertian ilmiah, adalah pengertian yang didapatkan siswa saat pembelajaran
di kelas.
Dalam proses belajar terjadi perkembangan dari pengertian yang spontan ke yang
lebih ilmiah (Fosnot dalam Paul Suparno , 1997:45). Pengertian ilmiah tidak datang
dalam bentuk yang jadi pada seorag peserta didik, pengertian tersebut mengalami
perkembangan. Dalam proses pembelajaran, kedua pengertian tersebut saling
berelasi dan saling mempengaruhi. Oleh karena itu, Vygotsky menekankan
pentingnya interaksi sosial dengan orang-orang lain yang mempunyai pengetahuan
lebih baik dan sistem yang secara kultural telah berkembang dengan baik dalam hal
ini adalah teman dan guru (Cobb dalam Paul Suparno , 1997:46).
Dalam interaksi verbal dengan guru, peserta didik ditatang untuk lebih mengerti
pengertian ilmiah dan mengembangkan pengertian spontan mereka. Oleh karena itu
banyak implikasi pendidikan yang membuat peserta didik berpartisipasi aktif dalam
pembelajaran. Dalam interaksi ini, peserta didik ditantang mengkonstruksikan
pengetahuannya sesuai dengan konstruksi para guru. Dengan diilhaminya karyakarya Vygotsky, teori belajar sosial lebih menekankan praktek-praktek cultural dan
social dalam lingkungan belajar peserta didik (Bereiter dalam Paul Suparno ,
1997:46). Menurut ahli konstruktivisme sosial, aktivitas mengerti selalu
dipengaruhi oleh partisipasi seseorang dalam praktek-praktek sosial yang ada seperti
: situasi sekolah, teman, guru dan masyarakat.
2.1.2 Pengertian Pembelajaran
Beberapa definisi yang berhubungan dengan pembelajaran yang dikemukakan
oleh para ahli, antara lain:

12

a. Pembelajaran adalah usaha sadar dan disengaja oleh guru untuk membuat
siswa belajar dengan jalan mengaktifkan faktor ekstern dan intern dalam
kegiatan belajar mengajar (H.J.Gino, 1998: 32).
b. Menurut Alvin W. Howard, pembelajaran adalah suatu aktivitas untuk
mencoba menolong, membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah
atau mengembangkan ketrampilan, sikap, cita-cita, penghargaan dan
pengetahuan (Slameto, 2003: 32).
Pembelajaran dapat diartikan sebagai pengajaran yang mempunyai arti proses,
perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan. Pembelajaran terdiri atas beberapa
komponen yang saling berkaitan yang bekerja sama secara terpadu untuk tercapainya
tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Komponen dari sistem pembelajaran ada
empat, yaitu: tujuan, materi, strategi belajar mengajar, dan evaluasi. Dari berbagai
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari
pengajar untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan pengetahuan,
ketrampilan dan tingkah laku pada diri pebelajar. Ciri-ciri interaksi belajar mengajar
yaitu memiliki tujuan, ada suatu prosedur yang direncana, ditandai suatu penggarapan
materi secara khusus, ditandai suatu aktivitas, ada guru sebagai pembimbing,
membutuhkan disiplin dan ada batas waktu untuk pencapaian tujuan serta ada
penilaian (Sardiman, 2007 :15-17).
Menurut Sri Anitah W. (2007: 2.16-2.17) ada beberapa faktor yang berkaitan
dengan kegiatan pembelajaran di antaranya:
a. Isi pelajaran, berkaitan dengan pengetahuan, ketrampilan, aturan, konsep atau
proses kreatif yang akan dipelajari pebelajar.
b. Bahan, bahan pelajaran berwujud tulisan, bentuk fisik atau stimuli visual yang
digunakan dalam pembelajaran.
c. Strategi pembelajaran, pemilihan strategi pembelajaran yang digunakan untuk
mengajar isi pembelajaran merupakan perencanaan sentral guru.
d. Perilaku guru, guru melakukan sejumlah kegiatan selama proses pembelajaran
dan membantu pebelajar dalam kegiatan-kegiatan belajar.

13

e. Menstrukturkan pelajaran, menyusun pelajaran berkaitan dengan kegiatan


yang terjadi pada suatu saat tertentu selama penyajian pelajaran dan guru
perlu merencanakan struktur pelajaran.
f. Lingkungan

belajar,

ketika

kegiatan

belajar

direncanakan,

perlu

dipertimbangkan lingkungan belajar yang ingin diciptakan, di antaranya perlu


diperhatikan sistem pengelolaan kelas yang efektif.
g. Pebelajar, dalam kegiatan pembelajaran perlu dipertimbangkan karakteristik
pebelajar tertentu yang ada di kelas, selain itu perlu dipertimbangkan motivasi
pebelajar, kebutuhan akademik, kebutuhan fisik dan psikologis. Selain itu
perlu dipertimbangkan pengelompokan pebelajar, misalnya kelompok kecil,
kelompok keseluruhan atau kerja mandiri.
h. Durasi pembelajaran, yaitu membuat rencana tentang waktu yang tersedia atau
dialokasikan. Guru perlu mengatur waktu untuk menjamin bahwa pebelajar
mempunyai kesempatan untuk mencapai tujuan pembelajaran selama kurun
waktu tertentu.
i. Lokasi pembelajaran, lokasi dapat berubah berdasarkan kebutuhan misalnya
ruang kerja tertentu (ruang komputer), tambahan referensi (perpustakaan),
atau struktur sosial yang berbeda (belajar bersama). Pembelajaran merupakan
suatu kegiatan yang melibatkan beberapa komponen antara lain:
a. Standar kompetensi adalah kompetensi yang dapat dilakukan atau
ditampilkan untuk suatu mata pelajaran; kompetensi dalam mata pelajaran
tertentu yang harus dimiliki oleh siswa, kompetensi yang harus dimiliki
oleh lulusan dalam suatu mata pelajaran.
b. Kompetensi dasar adalah kompetensi minimal dalam mata pelajaran yang
harus dimiliki oleh lulusan, kompetensi minimal yang harus dilakukan
atau ditampilkan oleh siswa di standar kompetensi untuk suatu pelajaran.
c. Indikator adalah karakteristik, ciri-ciri, tanda-tanda perbuatan atau respons
yang harus dapat dilakukan atau ditampilkan oleh siswa untuk
menunjukkan bahwa siswa itu telah memiliki kompetensi dasar tertentu.
d. Materi pokok adalah bahan ajar minimal yang harus dipelajari siswa untuk
menguasai kompetensi dasar (Depdiknas, 2003: 27-30).

14

Komponen-komponen yang terlibat dalam proses kegiatan belajar mengajar


meliputi :
a. Siswa, yakni seseorang yang bertindak sebagai pencari, penerima dan
penyimpan isi materi pelajaran yang dibutuhkan intuk mencapai tujuan.
b. Guru, adalah seseorang yang bertindak sebagai pengelola kegiatan belajar
mengajar, katalisator belajar mengajar, dan peranan lainnya yang
memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif.
c. Tujuan, yakni pernyataan tentang perubahan penilaian yang diinginkan
terjadi pada pembelajaran setelah mengikuti belajar mengajar. Perubahan
penilaian tersebut mencakup perubahan kognitif, afektif dan psikomotorik.
d. Isi pelajaran, yakni segala informasi yang berupa fakta, prinsip, dan
konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
e. Metode, yakni cara yang diatur untuk memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan mereka untuk
mencapai tujuan.
f. Media, yakni bahan pengajaran dengan atau tanpa peralatan yang
digunakan untuk menyajikan informasi kepada siswa agar mereka dapat
mencapai tujuan.
g. Evaluasi, yakni cara tertentu yang digunakan untuk menilai suatu proses
dan hasilnya. Evaluasi dilakukan terhadap seluruh komponen kegiatan
belajar mengajar dan sekaligus memberikan balikan bagi setiap komponen
kegiatan belajar mengajar (H.J. Gino, 1998 : 20).
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
adalah usaha sadar dari pengajar untuk membuat siswa belajar, yaitu
terjadinya perubahan pengetahuan, ketrampilan dan tingkah laku pada diri
pebelajar yang melibatkan interaksi antara individu dengan individu maupun
individu dengan lingkungannya.
2.2

Model Cooperative Learning

2.2.1

Pengertian Cooperative Learning


Model pembelajaran Cooperative Learning beranjak dari dasar pemikiran

getting better together, yang menekankan pada pemberian kesempatan belajar

15

yang lebih luas dan suasana yang kondusif kepada siswa untuk memperoleh, dan
mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, serta ketrampilanketrampilan sosial
yang bermanfaat bagi kehidupannya dimasyarakat. Dengan metode Cooperative
Learning, siswa bukan hanya belajar dan menerima apa yang disajikan oleh guru
dalam proses belajar mengajar, melainkan bisa juga belajar dari siswa lainnya,
dan sekaligus mempunyai kesematan untuk membelajarkan siswa yang lain.
Proses

pembelajaran dengan Cooperative Learning mampu merangsang dan

menggugah potensi siswa secara optimal dalam suasana belajar pada kelompokkelompok kecil yang biasanya terdiri dari 2 sampai 6 orang siswa. Pada saat siswa
belajar dalam kelompok akan berkembang suasana belajar kolaboratif dalam
hubungan pribadi yang saling membutuhkan. Pada saat itu juga siswa yang belajar
dalam kelompok kecil akan tumbuh dan berkembang pola belajar tutor sebaya dan
belajar secara bekerja sama.
Pembelajaran kooperatif bergantung pada kelompok-kelompok kecil si
pembelajar. Meskipun isi dan petunjuk yang diberikan oleh pengajar mencirikan
bagian dari pengajaran, namun pembelajaran kooperatif secara berhati-hati
menggabungkan kelompok-kelompok kecil sehingga anggotannya dapat bekerja
sama untuk memaksimalkan pembelajaran dirinya dan pembelajaran satu sama
lainnya. Masing-masing anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari
apa yang disajikan dan membantu teman anggotanya untuk belajar. Ketika
kerjasama ini berlangsung tim menciptakan atmosfir pencapaian dan selanjutnya
pembelajaran ditingkatkan ( Karen L. Medsker dan Kristina M. Holdsworth, 2001
: 287). Cooperative Learning mengacu pada metode pengajaran dimana siswa
bekerja sama dalam kelompok kecil saling membantu dalam belajar. Kebanyakan
melibatkan siswa dalam kelompok yang terdiri dari 4 siswa yang mempunyai
kemampuan yang berbeda (Slavin ,2008 : 3) dan ada yang menggunakan ukuran
kelompok yang berbeda-beda (Johnson and Johnson, 2003 : 16)
Pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa dituntut untuk bekerja
dalam kelompok melalui rancangan-rancangan tertentu yang sudah dipersiapkan
oleh guru sehingga seluruh siswa harus bekerja lebih aktif. Anita Lie ( 2002 : 25),

16

dalam bukunya Cooperative Learning menyebutkan bahwa ada 5 unsur metode


pembelajaran Cooperative Learning, yaitu :
1) Adanya saling ketergantungan positif antara anggota kelompok
Keberhasilan suatu karya sangat bergantung pada usaha setiap
anggotanya. Untuk menciptakan kelompok kerja yang efektik,
pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap
anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri agar yang
lain dapat mencapai tujuan mereka.
2) Adanya tanggung jawab perseorangan.
Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur metode
pembelajaran Cooperative Learning, setiap siswa akan merasa
bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik Artinya, setiap
kelompok

harus

melaksanakan

tugasnya

dengan

baik

untuk

keberhasilan tugas kelompoknya


3) Adanya tatap muka Setiap kelompok harus diberikan kesempatan
untuk bertatap muka dan berdiskusi. Inti dari sinergi ini adalah
menghargai

perbedaan,

memanfaatkan

kelebihan

dan

mengisi

kekurangan.
4) Harus ada komunikasi antar anggota.
Unsur ini menghendaki agar para pembelajar dibelaki dengan berbagai
ketrampilan berkomunikasi, karena keberhasilan suatu kelompok juga
bergantung

pada

kesediaan

para

anggotanya

untuk

saling

mendengarkan dan kemampuan mereka untuk mengutarakan pendapat


mereka.
5) Adanya evaluasi proses kelompok
Guru perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk
mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar
selanjutnya bisa bekerja sama dengan lebih efektif.
2.2.2

Model Cooperative L earning

Model Cooperative Learning mempunyai beberapa model sebagai berikut :


1. Metode Numbered Head Together (NHT)

17

2. Metode Stundent Teams Achievement Division (STAD)


3. Model Jigsaw (model tim ahli)
4. Group Investigation go a Round
5. Think Pair and Share
6. Make a Match ( membuat pasangan)
7. Team Game Tournament ( TGT )
8. Team Assisted Individualization ( TAI )
9. Cooperative Intregrated Reading and Composition ( CIRC)
10. Complex Instruction.
2.2.3

Tujuan Model Cooperative Learning

Menurut Mulyasa (2004 : 14), model Cooperative Learning mempunyai 3 tujuan


pembelajaran yaitu :
1. Hasil akademik
Pembelajaran Cooperative bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa
dalam tugas-tugas akademik.
2. Penerimaan terhadap perbedaan individu
Efek penting yang kedua dari model pembelajaran Cooperative adalah
penerimaan yang luas terhadap orang yang berbeda ras, budaya, kelas
sosial, kemampuan maupun ketidakmampuan.
a. Pengembangan ketrampilan social
Mengajarkan kepada siswa ketrampilan kerja sama dan kolaborasi.
2.2.4

Kelebihan dan Kelemahan Model Cooperative Learning

Kelebihan Cooperative Learning adalah:


1. Meningkatkan harga diri tiap individu
2. Penerimaan terhadap perbedaan individu yang lebih besar
3. Konflik antar pribadi berkurang
4. Sikap apatis berkurang
5. Pemahaman yang lebih mendalam
6. Motivasi dan minat yang lebih besar
7. Hasil belajar yang lebih tinggi
8. Retensi atau penyimpanan yang lebih lama

18

9. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi


10. Dapat mencegah keagresifan dalam sistem kompetisi dan ketersaingan dalam
sistem individu tanpa mengorbankan aspek kognitif.
Kelemahan model Cooperative Learning yaitu :
1. Guru khawatir bahwa akan terjadi kekacauan dikelas dan siswa tidak
belajar jika mereka ditempatkan dalam grup
2. Banyak siswa tidak senang apabila disuruh bekerja sama dengan yang
lain.
3. Perasaan was-was pada anggota kelompok akan hilangnya karakteristik
atau keunikan pribadi mereka karena harus menyesuaikan diri dengan
kelompok
4. Banyaknya siswa takut bahwa pekerjaan tidak akan terbagi rata atau
secara adil, bahwa satu orang harus mengerjakan seluruh pekerjaan
tersebut.
2.3 Kajian Model Pembelajaran Numbered Heads Together (NHT)
2.3.1

Pengertian Model Pembelajaran Numbered Heads Together (NHT)


Menurut Ibrahim (2000:28) (dalam Hutasuhut, 2012) model pembelajaran

Numbered Heads Together (NHT) adalah suatu pendekatan yang dikembangkan


untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam
suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut
sebagai gantinya mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas. Numbered Heads
Together (NHT) atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia berarti Teknik Kepala
Bernomor Terstruktur, hal ini memudahkan pembagian tugas. Dengan teknik ini,
siswa belajar melaksanakan tanggung jawab pribadinya dalam saling keterkaitan
dengan rekan-rekan kelompoknya. Teknik ini bisa digunakan dalam semua mata
pelajaran dan untuk semua tingkatan usia anak didik. Meskipun memiliki banyak
persamaan dengan pendekatan yang lain, namun pendekatan ini member
penekanan

pada

penggunaan

struktur

tertentu

yang

dirancang

untuk

mempengaruhi pola interaksi siswa. Ibrahim (dalam Nardi, 2011) mengemukakan


tiga tujuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran kooperatif dengan tipe
Numbered Heads Together (NHT) yaitu:

19

a.

Hasil belajar akademik stuktural


Bertujuan untuk meningkatkan kinerja siswa dalam tugas-tugas akademik.

b.

Pengakuan adanya keragaman


Bertujuan agar siswa dapat menerima teman-temannya yang mempunyai
berbagai latar belakang.

c.

Pengembangan keterampilan social


Bertujuan untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Keterampilan
yang dimaksud antara lain berbagi tugas, aktif bertanya, menghargai pendapat
orang lain, mau menjelaskan ide atau pendapat, bekerja dalam kelompok dan
sebagainya. Menurut Ibrahim (2000:28) (dalam Siswanto dan Rechana, 2011)
Numbered heads Together (NHT) sebagai model pembelajaran pada dasarnya
merupakan sebuah variasi diskusi kelompok. Adapun ciri khas dari NHT
adalah guru hanya menunjuk seorang siswa yang mewakili kelompoknya.
1.

Kelompok Heterogen.

2.

Setiap anggota kelompok memiliki nomor kepala yang berbeda-beda.

3.

Berpikir bersama (Heads Together).

4.

Dalam menujuk siswa tersebut, guru tanpa memberi tahu terlebih dahulu
siapa yang akan mewakili kelompok tersebut.

2.3.2

Tahapan Dalam Model Pembelajaran Numbered Heads Together (NHT)

Model NHT merupakan tipe pembelajaran kooperatif yang terdiri atas empat tahap
yang digunakan untuk mereviu fakta-fakta dan informasi dasar yang berfungsi untuk
mengatur interaksi siswa. Adapun langkah dalam pembelajan NHT antara lain yaitu
penomoran, mengajukan pertanyaan, berfikir bersama, dan menjawab Ibrahim (2000:
28) (dalam Siswanto dan Rechana, 2011):
1. Penomoran
Penomoran adalah hal yang utama dalam NHT, dalam tahap ini guru membagi
siswa menjadi beberapa kelompok atau tim yang beranggotakan 4-5 orang dan memberi
siswa nomor sehingga setiap siswa dalam tim mempunyai nomor yang berbeda, sesuai
dengan siswa didalam kelompok.
2. Pengajuan Pertanyaan

20

Langkah berikutnya adalah mengajukan pertanyaan, guru mengajukan pertanyaan


kepada siswa. Pertanyaan yang diambil dari materi pelajaran tertentu yang memang
sedang dipelajari, dalam membuat pertanyaan usahakan dapat bervariasi hingga bersifat
umum dan dengan tingkat kesulitan yang bervariasi pula.
3. Berpikir Bersama
Setelah mendapatkan pertanyaan-pertanyaan dari guru, siswa berpikir bersama untuk
menemukan jawaban dan menjelaskan jawaban kepada anggota dalam timnya sehingga
semua anggota mengetahui jawaban dari masing-masing pertanyaan.
4. Pemberian Jawaban
Langkah terakhir guru menyebut salah satu nomor dan setiap siswa dari tiap
kelompok yang bernomor sama mengangkat tangan dan menyiapkan jawaban untuk
seluruh kelas, kemudian guru secara random memilih kelompok yang harus menjawab
pertanyaan tersebut, selanjutnya siswa yang nomornya disebut guru dari kelompok
tersebut mengangkat tangan dan berdiri untuk menjawab pertanyaan. Kelompok lain
yang bernomor sama menanggapi jawaban tersebut. Berdasarkan tahapan-tahapan,
Sulistiyorini (2007) (dalam Winarti, 2012), membuat langkah-langkah pembelajaran
NHT (Numbered Heands Together) adalah:
a.

Pendahuluan
Persiapan
1)

Guru melakukan apersepsi.

2)

Guru mejelaskan tentang model pembelajaran NHT (Numbered Heands


Together).

b.

3)

Guru menyampaikan tujuan pembelajaran.

4)

Guru memberikan motivasi.

Kegiatan Inti
Pelaksanaan pembelajaran model NHT (Numbered Heands Together)
Tahap pertama
1)

Penomoran: guru membagi siswa dalam 6 kolompok yang beranggota 4-5

orang dan kepada setiap kelompok di beri nomor 1-5


2)

Siswa bergabung dengan anggotanya masing-masing

Tahap kedua

21

Mengajukan pertanyaan: guru meengajukan pertanyaan berupa tugas untuk


mengerjakan soal-soal.
Tahap ketiga
Berpikir bersama: siswa berpikir bersama dan menyatukan pendapatnya terhadap
jawaban pertanyaan tersebut dan menyakinkan tiap anggota dalam timnya
mengetahui jawaban tersebut.
Tahap keempat
1)

Menjawab: guru memanggil siswa dengan nomor tertentu, kemudian siswa yang
nomornya sesuai mengajungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab
pertanyaan untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya untuk seluruh
kelas. Kelompok lain diberi kesempatan untuk berpendapat dan bertanya
terhadap hasil diskusi hasil kolompok tersebut.

2)

Guru mengambil hasil

yang diperoleh masing-masing kelompok dan

memberikan semangat bagi kelompok yang belum berhasil dengan baik. Guru
memberikan soal latihan sebagai

pemantapan terhadap hasil dari pekerjaan

mereka.
c.

Penutup
1)

Siswa bersama guru menyimpulkan materi yang telah diajarkan.

2)

Guru memberi tugas rumah

3)

Guru mengingatkan siswa untuk mempelajari kembali materi yang telah


diajarkan dan materi selanjutnya

2.3.3

Kelebihan Dan Kekurangan Model Pembelajaran Numbered Heads


Together (NHT)
Menurut Lundgren (dalam Nardi, 2011) Numbered Heads Together (NHT)
memiliki kelebihan dan kekurangan.
1.

Kelebihan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT). Yaitu


a)

Rasa harga diri menjadi lebih tinggi,

b)

Memperbaiki kehadiran,

c)

Penerimaan terhadap individu menjadi lebih besar,

d)

Perilaku mengganggu lebih kecil,

e)

Konflik antara pribadi berkurang,

22

f)

Pemahaman yang lebih mendalam,

g)

Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi,

h)

Hasil belajar lebih tinggi,

i)

Nilainilai kerja sama antar murid lebih tinggi,

j)

Kreatifitas murid termotivasi dan wawasan murid berkembang, karena


mereka harus mencari informasi dari berbagai sumber.

Selain itu secara lebih umum lagi bahwa kelebihan dari model Cooperative Learning
tipe Numbered Heads together yaitu
a) setiap siswa menjadi siap semua,
b) dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh,
c) siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai, d) tidak ada
siswa yang mendominasi dalam kelompok.
2. Kekurangan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT)
Setiap model yang kita pilih, tentu memiliki kekurangan dan kelebihan sendirisendiri. Salah satu kekurangan pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) adalah
kelas cenderung jadi ramai jika guru tidak dapat mengkondisikan dengan baik,
keramaian itu dapat menjadi tidak terkendalikan. Sehingga mengganggu proses belajar
mengajar, tidak hanya di kelas sendiri tetapi bisa juga mengganggu kelas lain. Terutama
untuk kelas dengan jumlah siswa yang lebih banyak.

2.4

Pelaksanaan Metode STAD ( Student Teams Achievement Division )


STAD merupakan salah satu metode pembelajaran yang kooperatif yang paling

sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang
menggunakan pendekatan kooperatif.

STAD dikembangkan oleh Robert Slavin di

Universitas John Hopkin merupakan salah satu pembelajaran kooperatif yang paling
sederhana serta sebuah bentuk model yang bagus untuk memulainya bagi pembelajar
yang baru dalam menggunakan pendekatan kooperatif. Menurut Richard. I Arends
pembelajar yang menggunakan STAD juga mengacu pada kelompok pembelajar,
menyajikan informasi akademik baru kepada siswa setiap minggu menggunakan
presentasi verbal atau teks. Menurut penelitia oleh Dr. Francis A. Adesoji dan Dr. Tunde
L.. Ibrahim dengan judul Effect of Student Teams Achivement Division Strategy and

23

Mathematics Knowlegde On Learning Outcome In Chemical Kinetics bahwa


pembelajaran kooperatif tipe STAD telah terbukti meningkatkan pembelajan siswa dan
hubungan sosial relatif siswa terhadap metode konvensional pada seluruh kelas. Metode
STAD (Student Teams Achievement Divison) ini pada kenyataannya membuat siswa
mengembangkan sikap yang lebih positif terhadap diri, rekan, orang dewasa dan belajar
pada umumnya.( Adesoji dan Tunde L. Ibrahim, 2009 : 4).
Sedangkan menurut Armstrong Scott dalam penelitian Student Teams Achivement
Division (STAD) in Twelfth Grade Classroom Effect on Student Achievemet and Attitude
bahwa metode STAD ini merupakan metode yang efektif, dimana siswa yang
berkemampuan tinggi berpengaruh dalam kelompok yang heterogen. Dan meningkatnya
motivasi siswa dalam menggerjakan tugas dan aktif dalam pembelajaran. STAD ini
sangat cocok dengan jadwal ujian blok disekolah. ( Armstrong, 2008 :5)
Langkah-langkah pembelajaran kooperatif metode STAD adalah sebagai berikut:
1)

Pebelajar di dalam kelas dibagi menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari
empat atau lima anggota. Tiap kelompok memiliki anggota yang heterogen baik
jenis kelamin, ras, etnik, maupun kemampuan (tinggi, sedang, rendah).

2)

Tiap anggota kelompok bekerja saling membantu untuk menguasai bahan ajar
melalui tanya jawab atau diskusi antar sesama anggota tim.

3)

Secara individu atau kelompok, tiap minggu atau tiap dua minggu pembelajar
mengevaluasi untuk mengetahui penguasaan mereka terhadap bahan akademik
yang dipelajari.

4)

Tiap pebelajar atau tiap kelompok diberi skor atas penguasaannya terhadap bahan
ajar. Pembelajar secara individu atau secara kelompok yang meraih prestasi tinggi
diberi penghargaan. Penghargaan ini diberikan kepada beberapa kelompok jika
mampu meraih suatu kriteria atau standar tertentu.

2.4.1

Sintaks pada STAD:


1) Presentasi kelas
Materi dalam STAD pertama-tama diperkenalkan dalam presentasi di kelas,
kemudian didiskusikan yang dipimpin oleh guru dapat memasukkan presentasi
audio visual.
2) Tim

24

Tim terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian kelas
dalam kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnis. Fungsi utama dari tim
adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar dan
mempersiapkan anggotanya untuk mengerjakan kuis dengan baik setelah guru
menyampaikan materinya.
3) Kuis
Setelah sekitar satu atau dua periode guru memberikan presentasi dan satu
atau dua periode praktik tim, para siswa mengerjakan kuis individual.
4) Skor kemajuan Individual
Gagasan dibalik skor kemajuan individual adalah untuk memberikan kepada
tiap siswa tujuan kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih
giat dan memberikan kinerja yang lebih baik daripada sebelumnya.
5) Rekognisi Tim
Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila
skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu. Skor tim juga dapat menentukan
20% dari peringkat mereka.
Menurut Arends dalam Sukarmin tahap pelaksanaan pembelajaran Metode
STAD (Student Teams Achiment Division ) ada beberapa fase sebagai berikut :

Tabel 1. Sintaks Pembelajaran STAD (Student Teams Achievement Division)


Fase
Tingkah Laku Guru
Fase 1 :
Guru menyampaikan semua tujuan
Menyampaikan tujuan dan memotivasi pelajaran yang ingin dicapai pada
siswa
pelajaran tersebut dan memotivasi siswa
belajar
Fase 2 :
Guru menyajikan informasi kepada siswa
Menyajikan informasi
dengan jalan demonstrasi atau lewat
bahan bacaan
Fase 3 :
Mengorganisasikan siswa
kelompok-kelompok belajar

ke

Guru
menjelaskan
kepada
siswa
dalam bagaimana caranya membentuk kelompok
belajar dan membantu setiap kelompok
agar melakukan transisi secara efisien

25

Fase 4 :
Membimbing
belajar

kelompok

bekerja

Guru membimbing kelompok-kelompok


dan belajar pada saat mereka mengerjakan
tugas mereka

Fase 5 :
Evaluasi

Fase 6 :
Memberikan penghargaan

Guru mengevaluasi hasil belajar tentang


materi yang telah dipelajari atau masingmasing kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya
Guru mencari cara-cara untuk
menghargai baik upaya maupun
hasil belajar individu kelompok

Dan sebelum melaksanakan pembelajaran dengan metode STAD ( Student Teams


Achiment Division ) perlu melakukan persiapan sebagai berikut :
1. Persiapan materi
Materi yang akan disajikan dalam Cooperative Learning dirancang sedemikian
hingga sesuai dengan bentuk pembelajaran yang diselenggarakan secara kelompok.
Sebelum menyajikan materi pembelajaran terlebih dahulu dibuat lembar kegiatn yang akan
dipelajari siswa dalam kelompok-kelompok kooperatif.
2. Pembentukan kelompok Cooperative
Membentuk kelompok dengan jumlah anggotanya 4 sampai 5 orang. Kelompok
yang dibentuk bersifat heterogen secara akademik, yaitu terdiri dari siswa pandai, sedang,
dan

kurang.

Selain

mempertimbangkan

kemampuan

akademik,

perlu

juga

mempertimbangkan criteria heterogenitas lainnya, misalnya jenis kelamin dan latar


belakang sosial.
3. Penentuan skor dasar
Selanjutnya diinformasikan skor dasar tiap anggota. Skor dasar berasal dari skor
tes individu pada evaluasi sebelumnya. Diakhir pembelajaran STAD ( Student Teams
Achievement Divison ) dilakukan evaluasi dan penghargaan kelompok. Evaluasi dikerjakan
secara individu dalam waktu 45 menit sampai 60 menit. Pada saat evaluasi ini siswa harus
menunjukan apa yang telah ia pelajari saat bekerja dengan kelompoknya. Skor yang
diperoleh siswa dalam evaluasi selanjutnya diproses untuk menentukan nilai perkembangan
individu yang akan disumbangkan sebagai skor kelompok. Untuk menentukan pemberian
penghargaan kelompok dilakukan angkah-langkah sebagai berikut ini:

26

a. Menghitung skor individu dan skor kelompok


Perhitungan skor tes individu ditjukan untuk menentukan nilai perkembangan
individu yang akan disumbangkan sebagai skor kelompok. Nilai perkembangan individu
dihitung berdasarkan selisih pemeroleh skor tes terdahulu dengan skor ter akhir. Dengan
cara ini setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk member sumbangan skor
maksimal bagi kelompoknya.
Tabel 2. Nilai Perkembangan Individu
Skor Tes Nilai Kemajuan
Lebih dari 10 poin dibawah skor dasar

10 point hingga 1 poin dibawah skor

10

dasar
Sama dengan skor dasar sampai 10

20

poin diatas
Lebih dari 10 poin diatas skor dasar

30

Nilai sempurna

30
( Slavin, 2008 : 159)

b. Memberikan penghargaan prestasi kelompok


Skor dihitung berdasarkan rata-rata nilai perkembangan yang disumbangkan
anggota kelompok. Berdasarkan rata-rata nilai perkembangan yang diperoleh, terdapat tiga
tingkatan penghargaan yang diberikan untuk penghargaan kelompok.
Tabel 3. Penghargaan Kelompok
Nilai rata-rata
5 14
15 24
25 30

Kelompok penghargaan
Hebat
Sangat hebat
Super hebat
( Slavin, 2008 : 160)

2.5

Kajian Hasil Belajar


2.5.1

Pengertian Hasil Belajar

27

Menurut Winkel (1996:53) belajar adalah aktifitas mental/psikis yang


berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan
perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai dan
sikap. Sedangkan menurut Slameto (2010:2) belajar adalah suatu proses usaha
yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang
baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi
dengan lingkungan. Sejalan dengan pengertian sebelumnya, maka belajar dapat
diartikan perubahan tingkah laku, pengetahuan dan sikap pada kepribadian
seseorang melalui latihan dan pengalaman, yang dapat dilakukan dengan
membandingkan tingkah laku seseorang sebelum dan sesudah mengalami
peristiwa belajar.
Menurut Sudjana (2009:22) hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki peserta didik setelah ia menerima pengalaman belajarnya. Selain itu
menurut Oemar Hamalik (2005:31) hasil belajar bukan hanya suatu penguasaan
hasil latihan saja, melainkan mengubah perilaku. Bukti yang nyata jika seseorang
telah belajar adalah terjadinya perubahan tingkah laku pada orang tersebut,
misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Kingsley (dalam Sudjana, 2009:22) membagi tiga macam hasil belajar, yakni
keterampilan dan kebiasaan, pengetahuan dan pengertian, sikap dan cita-cita.
Sedangkan Gagne (dalam Sudjana 2009:22) membagi lima kategori hasil belajar,
yakni informasi verbal, keterampilan intelektual, strategi kognitif, sikap dan
keterampilan motoris. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan
pendidikan, baik tujuan instruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari
Benyamin Bloom (dalam Sudjana, 2009:22) yang secara garis besar membaginya
menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotoris.
a.

Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari
enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi,
analisis, sintesis, dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif
tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat
tinggi.

28

b.

Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni
penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi.

c.

Ranah psikomotoris berkenaan dengan hasil belajr dan kemampuan


bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotoris yakni gerakan refleks,
keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, kehermonisan atau
ketepatan, gerakan keterampilan kompleks dan gerakan ekspresif dan
interpretatif.
Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa
hasil belajar atau prestasi belajar adalah nilai yang menunjukan hasil
tertinggi dalam belajar yang dicapai menurut kemampuan belajar anak
pada saat tertentu.

2.5.2

Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar


Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar banyak jenisnya, tetapi dapat

dikelompokkan menjadi dua golongan, yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
Syah (1997:97) (dalam Prantalo, 2012) mengatakan bahwa faktor intern adalah
factor yang ada dalam diri individu yang sedang belajar, sedangkan faktor
ekstern adalah faktor yang ada diluar individu. Faktor intern ini meliputi tiga
bagian yaitu:
a. Faktor jasmaniah merupakan proses belajar seorang peserta didik akan
terganggu jika kesehatan peserta didik tersebut terganggu. Selain itu juga ia
akan cepat lelah, kurang bersemangat, mudah pusing, dan ngantuk jika
badannya lemah, kurang darah ataupun ada kelainan fungsi alat inderanya
serta tubuhnya. Dengan demikian apabila peserta didik cacat tubuh, hal itu
akan mempengaruhi hasil belajar. Peserta didik yang cacat, belajarnya akan
terganggu. Jika hal itu terjadi hendaknya peserta didik tersebut belajar pada
lembaga pendidikan khusus atau diusahakan dengan member alat bantu agar
dia dapat menghindari atau mengurangi kecacatannya.
b. Faktor psikologis merupakan faktor yang mempengaruhi kegiatan belajar
yang muncul dari segi kejiwaan. Pada faktor ini, sekurangnya-kurangnya ada
tujuh faktor yang tergolong kedalam faktor psikologis yang mempengaruhi

29

kegiatan belajar. Faktor-faktor itu adalah: intelegensi, perhatian, minat, bakat,


motif, kematangan dan kesiapan.
c. Faktor kelelahan baik jasmani ataupun rohani dapat mempengaruhi
keberhasilan dalam belajar. Oleh karena itu, guru harus memberikan
pengertian kepada peserta didik untuk berusaha menghindari terjadinya
kelelahan dalam belajarnya.
Faktor ekstern meliputi
1.

Faktor keluarga yang mempengaruhi kegiatan belajar peserta didik,


berupa cara orang tua mendidik, relasi/hubungan antar anggota keluarga,
suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, sikap dan perhatian orang
tua, dan latar belakang kebudayaan orang tua.

2.

Faktor sekolah mempengaruhi belajar meliputi hal-hal yang berkaitan


dengan metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan para
peserta didik, hubungan peserta didik dengan peserta didik, disiplin
sekolah, peralatan/media pelajaran, waktu sekolah, sarana dan prasarana
sekolah, metode belajar peserta didik, dan tugas sekolah.

3.

Faktor masyarakat ini banyak berkaitan dengan ; kegiatan peserta didik


dalam masyarakat, masa media yang beredar/ada dalam masyarakat,
pengaruh teman bergaul, dan pola hidup masyarakat.

2.6

Kesetimbangan Kimia
Dalam Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian 2004, standar

kompetensi dari materi pokok Kesetimbangan Kimia adalah siswa dapat memahami
kesetimbangan reaksi kimia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Materi dalam
Kesetimbangan

Kimia

meliputi

konsep

kesetimbangan

dinamis,

pergeseran

kesetimbangan kimia, kesetimbangan dalam industri dan tetapan kesetimbangan.


2.6.1

Konsep Kesetimbangan Dinamis

Abu hasil pembakaran kertas tidak akan dapat menghasilkan kertas kembali. Reaksi
seperti itu digolongkan sebagai reaksi yang berlangsung searah atau reaksi yang tidak
dapat balik (irreversibel). Proses-proses alami yang dapat balik (reaksi reversible)
contohnya perubahan wujud air menjadi gas dan menjadi es. Di laboratorium maupun
dalam proses industri banyak ditemukan reaksi yang dapat balik.

30

Salah satu contoh reaksi reversibel adalah terjadinya reaksi antara hidrogen dan
nitrogen untuk membentuk amonia dan reaksi penguraian amonia membentuk hidrogen
dan nitrogen. Bila hidrogen dan nitrogen dicampur dalam angka banding volume 3 : 1
pada suhu kamar maka tidak terjadi suatu reaksi. Namun pada suhu tinggi yaitu pada
suhu 200o C dan tekanan 30 atm serta ditambah dengan katalis maka reaksi tersebut akan
berjalan cepat. Reaksi pembentukan amonia dari hidrogen dan nitrogen dapat ditulis
sebagai berikut:
3H2 (g) + N2 2NH3 (g) ..(1)
Sebaliknya amonia juga tidak terurai pada suhu kamar. Tetapi pada suhu 200o C dan
tekanan 30 atm serta ditambah dengan katalis maka penguraian ammonia akan berjalan
cepat. Reaksi penguraian amonia menjadi hidrogen dan nitrogen dapat ditulis sebagai
berikut: 2NH3 (g)

3H2 (g) + N2 (g)(2)

Dari kedua fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa reaksi pembentukan amonia
merupakan kebalikan dari reaksi penguraian ammonia atau dapat disebut juga sebagai
reaksi reversible (reaksi bolak-balik) sehingga kedua reaksi tersebut dapat ditulis sebagai
berikut: 3H2 (g) + N2 (g)

2NH3 (g)..(3)

Pada suhu 200 oC dan tekanan 30 atm campuran hidrogen dan nitrogen bereaksi
dengan cepat membentuk ammonia sampai sekitar 67,6 persen. Sebaliknya pada kondisi
yang sama ammonia terurai menghasilkan hidrogen dan nitrogen sebanyak 32,4 persen.
Selama campuran dipertahankan pada suhu 200 oC dan tekanan 30 atm maka banyaknya
ketiga zat tersebut tidak akan mengalami perubahan lebih lanjut, sehingga dapat
disimpulkan bahwa reaksi tersebut telah mencapai kesetimbangan. Pada keadaan
kesetimbangan ini secara mikroskopik tidak ada perubahan yang bisa diamati, seolah
reaksi telah berhenti. Akan tetapi secara mikroskopik, yaitu pada tingkat molekul, reaksi
tetap berlangsung. Oleh karena itu kesetimbangan kimia disebut sebagai kesetimbangan
dinamis. Dalam tinjauan mikroskopik ini, kesetimbangan tercapai pada saat laju reaksi
maju sama dengan laju reaksi balik. (Elizabeth Kean, 1984: 278).
Keadaan

kesetimbangan

tersebut

dapat

dijelaskan

sebagai

berikut:

reaksi

pembentukan amonia dari hidrogen dan nitrogen mula-mula berlangsung cepat kemudian
dengan bertambahnya waktu konsentrasi N2 dan H 2 semakin berkurang, maka
pembentukan NH3 semakin lambat, sedangkan reaksi penguraian amonia menjadi

31

hidrogen dan nitrogen mula-mula lambat kemudian semakin cepat karena amonia semakin
bertambah. Akhirnya kecepatan kedua reaksi yang berlawanan tersebut menjadi sama. Reaksi
pembentukan amonia dan penguraian amonia dapat dijelaskan dengan Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Grafik Perubahan laju Reaksi terhadap Waktu

Jika dimulai dengan amonia dengan wadah tertutup pada suhu 200 oC dan tekanan
30 atm, reaksi-reaksi yang sama akan berlangsung tetapi urutannya terbalik. Jika laju
reaksi telah sama serta suhu dan tekanan tidak berubah dan tidak ada yang ditambahkan
atau diambil, maka banyaknya hidrogen, nitrogen dan amonia tidak berubah. Contoh
reaksi reversibel yang lain adalah reaksi antara timbal (II) sulfat dengan natrium iodida,
jika serbuk timbal (II) sulfat direaksikan dengan larutan natrium iodida, terbentuk
endapan kuning dari timbal (II) iodida sebagai berikut:
PbSO4 (s) + 2NaI (aq)
Putih

PbI2 (s) + Na2SO4 (aq)


kuning

Sebaliknya, jika endapan timbal (II) iodide direaksikan dengan larutan natrium
sulfat akan terbentuk endapan timbal (II) sulfat yang berwarna putih:
PbI2 (s) + Na2SO4 (aq)
kuning

PbSO4 (s) + 2NaI (aq)


putih

kedua reaksi diatas dapat digabungkan sebagai berikut:


PbSO4 (s) + 2NaI (aq)

PbI2 (s) + Na2SO4 (aq)


(Michael Purba, 2004: 178)

2.6.2

Pergeseran Kimia

32

Suatu reaksi kesetimbangan dapat dikehendaki dengan melakukan aksi-aksi atau


tindakan-tindakan tertentu. Aksi atau tindakan yang dapat dilakukan itu meliputi:
1) Pengubahan konsentrasi zat
2) Pengubahan volume atau tekanan gas
3) Pengubahan suhu
4) Penambahan katalis
Pergeseran kesetimbangan berdasarkan pada azas yang dirumuskan oleh
Henri Louis Le Chatelier (1850-1936) yang dikenal sebagai azas Le Chatelier,
Bila terhadap suatu kesetimbangan dilakukan suatu tindakan (aksi) tertentu,
sistem itu akan mengadakan reaksi yang cenderung menghilangkan pengaruh aksi
tersebut.
1)

Pengubahan konsentrasi zat


Pada reaksi kesetimbangan A + B

C, jika zat A ditambah dalam

campuran, berarti memperbesar konsentrasi A. semakin besar konsentrasi A


berarti peluang untuk bereaksi lagi dengan zat B semakin besar, sehingga
terbentuk lagi produk C. bertambahnya zat produk berarti reaksi bergeser kearah
kanan.
Terjadinya pergeseran kesetimbangan karena pengaruh perubahan
konsentrasi zat dalam kesetimbangan adalah untuk mempertahankan agar
tetapan kesetimbangannya tetap untuk reaksi di atas.

Karena reaksi kesetimbangan diatas mempunyai tetapan kesetimbangan


(K) yang tetap pada suhu yang tetap, walaupun ada perubahan konsentrasi zat
A. Sesuai dengan azas Le Chatelier yang berlaku pada pengubahan konsentrasi
zat adalah sebagai berikut: Jika konsentrasi salah satu pereaksi diperbesar,
maka kesetimbangan akan bergeser ke kanan. Sebaliknya jika konsentrasi salah
satu produk diperbesar, maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri.
Jika konsentrasi salah satu pereaksi diperkecil, maka kesetimbangan akan
bergeser ke kiri. Sebaliknya jika konsentrasi salah satu produk dikurangi, maka

33

kesetimbangan akan bergeser ke kanan. Mengenai pengaruh pengubahan


konsentrasi terhadap kesetimbangan dapat dilihat melalui suatu percobaan.
Fe3+ (aq) + SCN- (aq)
Kuning tua
2)

Fe (SCN)2+ (aq)
Tak berwarna merah darah

Pengubahan Volume / Tekanan Gas


Pengubahan tekanan atau volume gas hanya berpengaruh pada
zatzat yang berfasa gas. Untuk fasa padat dan cair pengubahan tekanan
atau volume dapat diabaikan. Hal tersebut dikarenakan perubahan tekanan
atau volume tidak mempengaruhi konsentrasi padatan atau cairan murni
karena jarak antar partikel dalam zat padatan atau cairan murni tetap.
Hukum yang dirumuskan oleh Robert Boyle (1627-1691) menyatakan
bahwa suhu dan tekanan gas berbanding terbalik dengan volume gas. Oleh
karena itu memperbesar tekanan berarti memperkecil volume gas tersebut.
Penambahan tekanan akan memperkecil volume berarti memperbesar
konsentrasi semua komponen. Sesuai dengan azas Le Chatelier maka
sistem akan bereaksi dengan mengurangi tekanan.
Tekanan gas bergantung pada jumlah molekul dan tidak tergantung
pada jenis gas. Oleh karena itu, untuk mengurangi tekanan maka reaksi
kesetimbangan akan bergeser ke arah reaksi yang jumlah koefisiennya
lebih kecil. Sebaliknya, jika tekanan dikurangi dengan cara memperbesar
volume maka sistem akan bereaksi dengan menambah tekanan dengan
cara menambah jumlah molekul. Berarti reaksi akan bergeser ke arah yang
jumlah koefisiennya lebih besar. Karena perubahan tekanan tidak
mempengaruhi konsentrasi zat padat dan cairan murni, koefisien zat padat
dan zat cair tidak diperhitungkan pada perubahan tekanan. Perubahan
tekanan juga tidak berpengaruh terhadap kesetimbangan yang memiliki
jumlah koefisien gas sama banyak pada kedua ruas, sehingga azas Le
Chatelier yang berlaku pada pengubahan tekanan atau volume adalah
sebagai berikut: Jika volume diperkecil (tekanan diperbesar), maka
kesetimbangan akan bergeser ke jumlah koefisien yang besar Jika

34

volume diperkecil (tekanan diperbesar), maka kesetimbangan akan


bergeser ke jumlah koefisien yang kecil.
3)

Pengubahan Suhu
Apabila

suhu

suatu

sistem

kesetimbangan

dinaikkan

maka

kesetimbangan akan bergeser ke arah bagian yang menyerap panas.


Sebaliknya, jika suhu diturunkan kesetimbangan akan bergeser ke bagian
yang melepaskan panas. Untuk memahami pengaruh perubahan suhu
terhadap pergeseran kesetimbangan dapat dijelaskan pada reaksi
kesetimbangan berikut. Pada sistem kesetimbangan pada suhu 25 o C di
bawah ini:
N2(g) + O2(g)

2NO(g) H = + 180,5 kj

Dengan menaikkan suhu, kesetimbangan akan bergeser ke arah


terbentuknya NO. Naiknya suhu berarti penambahan suhu dari lingkungan
terhadap sistem. Sesuai dengan azas Le Chatelier, maka sistem dikenai
aksi berupa perubahan suhu atau kalor akan diserap oleh sistem untuk
meminimalkan pengaruh kenaikan suhu. Suhu yang diserap ini berarti
akan dibutuhkan oleh komponen yang membutuhkan kalor. Dari reaksi di
atas berarti pembentukan gas NO membutuhkan energi, maka perubahan
suhu dari luar mendukung terjadinya reaksi pembentukan gas NO
(endoterm) kesetimbangan akan bergeser kearah kanan.
4)

Peranan Katalis dalam Reaksi


Kesetimbangan Sesuai dengan fungsinya katalis adalah sebagai zat
yang mempercepat reaksi. Dalam kesetimbangan, katalis berperan dalam
mempercepat terjadinya kesetimbangan dengan mempercepat reaksi maju.
Jadi katalis berfungsi pada awal reaksi (sebelum kesetimbangan tercapai).
Jika kesetimbangan telah tercapai, maka katalis telah berhenti berfungsi.
Katalis hanya mampu mempercepat dan terbentuk kembali pada akhir
reaksi. Dengan demikian, katalis tidak dapat menggeser reaksi yang telah
setimbang.

2.6.3

Sistem Kesetimbangan dalam Industri

35

Sistem kesetimbangan dalam industri merupakan penerapan dari


penggunaan

rekasi

kimia

sebanyakbanyaknya

untuk

dengan

memproduksi

memanfaatkan

suatu

pergeseran

zat
dalam

dengan
sistem

kesetimbangan. Sehingga proses ini dapat dilakukan secara ekonomis dan produk
yang dihasilkan optimal. Pemilihan kondisi optimal dapat dilakukan dengan
menggunakan azas Le Chatelier.
1)

Pembuatan Amonia
Pembuatan amonia berasal dari gas-gas nitrogen dan hidrogen. Reaksi
yang berlangsung adalah:
N2 (g) + 3H2 (g)

2NH3 (g) H = -92,22 kj

Pada suhu biasa, reaksi berjalan lambat sekali. Jika suhu dinaikkan reaksi
akan berjalan jauh lebih cepat. Akan tetapi penambahan suhu menyebabkan
reaksi bergeser ke kiri, sehingga mengurangi hasil NH3. Dengan
memperhitungkan faktor waktu dan hasil, maka suhu yang digunakan adalah
500 oC.
Untuk mempercepat tercapainya kesetimbangan, dipakai katalis oksida
besi. Agar reaksi bergeser ke kanan, tekanan yang digunakan harus tinggi.
Tekanan 200 atm akan memberikan hasil amonia 15%, tekanan 350 atm
menghasilkan amonia 30% dan tekanan 1000 atm akan menghasilkan amonia
40% Selama berlangsung, gas-gas hidrogen dan nitrogen terus-menerus
ditambahkan ke dalam campuran. Sedangkan NH3 yang terbentuk harus
segera dipisahkan dari campuran dengan cara mengembunkannya, sebab titik
didih NH3 jauh lebih tinggi dari titik didih N2 dan H2 (Irfan Anshory,
1987:177).
2)

Pembuatan Asam Sulfat


Asam sulfat dibuat berdasarkan urutan reaksi sebagai berikut:
S (g) + O2 (g)

SO2 (g)

2SO2 (g) + O2 (g)

2SO3 (g)

H2SO4 (aq) + SO3 (g)

H2S2O7 (l)

H2S2O7 (l) + H2O (l)

H2SO4 (aq)

36

Tahap terpenting dari proses ini adalah reaksi yang kedua. Reaksi ini
merupakan reaksi kesetimbangan dan eksoterm. Reaksi ini hanya berlangsung
baik pada suhu tinggi. Akan tetapi pada suhu tinggi justru kesetimbangan
bergeser ke kiri. Sehingga mengurangi hasil SO3, maka pada proses ini
digunakan suhu sekitar 5000 oC.
Sebenarnya tekanan yang besar akan menguntungkan produksi SO3, akan
tetapi penambahan tekanan tidak diimbangi dengan penambahan hasil
memadai. Karena tanpa tekanan besarpun, yaitu dengan adanya katalisator
V2O5 reaksi ke kanan sudah cukup sempurna. Oleh karena itu pada proses
kontak tidak digunakan tekanan besar melainkan pada tekanan normal.
2.6.4 Tetapan Kesetimbangan
Pada tahun 1864 Gulberg gan Wange menemukan adanya hubungan antara
konsentrasi komponen-komponen dalam kesetimbangan. Hubungan yang tatap
tersebut disebut hukum kesetimbangan atau tetapan kesetimbangan.
1) Rumus Tetapan Kesetimbangan Kc
Untuk reaksi umum pada kesetimbangan homogen:
pA (g) + qB (g)

rC (g) + sD (g)

Persamaan tetapan kesetimbangannya adalah:

Persamaan di atas disebut juga sebagai hukum kesetimbangan. Kc adalah konstanta


kesetimbangan dengan [A], [B], [C] dan [D] adalah konsentrasi A, B, C dan D.
Untuk reaksi heterogen, harga Kc yang diperhitungkan adalah:
2.7 Untuk campuran gas dengan padat yang diperhitungkan adalah gas.
2.8 Untuk campuran larutan dengan padat yang diperhitungkan adalah larutan.
Contoh: pA (g) + qB (s)

2) Derajat Disosiasi

rC (g) + sD (g)

37

Derajat disosiasi adalah bagian/ presentase mol zat yang terurai terhadap
mol zat mula-mula. Derajat disosiasi dinotasikan dengan alpha ().

3) Rumusan Tetapan Kesetimbagan Kp


Kp adalah kesetimbangan dengan data tekanan. Karena yang mempunyai
tekanan adalah fasa gas, maka perhitungan dilakukan hanya untuk fasa gas.
a.

Reaksi Homogen
p A(g) + q B(g)

r C(g) + s D(g)

PA = Fraksi mol zat A


PB = Fraksi mol zat B
PC = Fraksi mol zat C
PD = Fraksi mol zat D
b.

Reaksi Heterogen
P A(g) + q B(g)

r C(g) + s D(g)

4) Hubungan Harga Kc dan Kp


Hukum gas ideal :
PV = nRT

38

2.7

Kerangka Berfikir
Model Pembelajaran

Menentukan Hasil
belajar
Model Pembelajaran

Model Pembelajaran

kompratif tipe NHT

STAD

Meningkatkan Hasil Belajar

Meningkatkan Hasil Bel ajar

Terdapat kelebihan dan


kekurangan

Terdapat kelebihan dan


kekurangan

Dibandingkan

Terdapat Perbedaan
2.8

Hipotesis Penelitian
Dari kajian teoritis yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan hasil belajar kimia siswa antara
penerapan model pembelajaran kompratif tipe NHT dan STAD pada pokok
pembahasan konsep kesetimbangan kimia.
Untuk hipotesis yang akan diuji adalah:
HO : 1 = 2
Ha : 1 2
Sesuai dengan hipotesis yang telah dikemukaan di atas, maka dapat
dirincikan sebagai berikut:

39

Ho : Tidak terdapat perbedaan hasil belajar kimia siswa antara penerapan model
pembelajaran NHT dan STAD pada pokok bahasan pembahasan konsep
kesetimbangan kimia.
Ha : Terdapat perbedaan hasil belajar kimia siswa antara penerapan model
pembelajaran NHT dan STAD pada pokok bahasan pembahasan konsep
kesetimbangan kimia.

40

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1

Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental atau quasi eksperimental, yang
dilakukan dengan melakukan pengontrolan sesuai dengan situasi yang ada. Dalam
desain ini kontrol atau pengendalian variable tidak bisa dilakukan secara ketat atau
secara utuh (Sudjana, 1992).
Pada penelitian ini terdapat dua kelas yang diberikan perlakuan berbeda-beda
dalam metode pembelajarannya. Dimana kelas eksperimen pertama diberi perlakuan
dengan menggunakan model pembelajaran Koopratif Tipe Numbered Head Together
(NHT), lalu kelas eksperimen ke dua menggunakan model pembelajaran STAD
(Student Team Achievment Divission) dan kelas control menggunakan metode
ceramah.

3.2

Tempat Dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di SMAN 4 Bengkulu Selatan pada 15 Januari- 19 Febuari
2017.

3.3

Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1

Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI IPA SMAN 4 Bengkulu

Selatan Tahun Ajaran 2016/2017 yang berjumlah 72 orang.


Tabel 4. Populasi kelas XI IPA
Nama Kelas

Jumlah Siswa

XI IPA 1

24 orang

XI IPA 2

24 orang

XI IPA 3

24 orang

3.3.2 Sampel Penelitian


Sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 1, XI IPA 2 dan XI IPA 3
SMAN 4 Bengkulu Selatan. Pengambilan sampel ini terlebih dahulu dilakukan uji
homogenitas, setelah itu dilakukan secara claster random pada kelas XI IPA yang

41

ada di SMAN 4 Bengkulu Selatan. Untuk kelas eksperimen pertama menggunakan


kelas XI IPA 1 yang berjumlah 24 orang, sedangkan untuk kelas eksperimen ke dua
menggunakan kelas XI IPA 2 yang berjumlah 24 orang.
3.4
3.4.1

Variabel Penelitian
Variabel Bebas
Variabel bebas adalah kondisi yang oleh peneliti dimanipulasikan dalam

rangka untuk menerangkan hubungan dengan fenomena yang diobservasi. (Ferdi,


2014). Pada penelitian ini yang merupakan variabel bebas adalah perlakuan yang
berupa penerapan dengan model pembelajaran kooperatif

tipe Number Head

Together (NHT) dan model pembelajaran STAD (Student Team Achievment


Divission) pada kelas eksperimen.

3.4.2

Variabel Terikat
Variabel terikat adalah kondisi yang menunjukkan pada akibat atau pengaruh

yang dikarenakan variabel bebas. Dalam penelitian ini yang merupakan variabel
terikat adalah hasil belajar siswa pada kedua kelas sampel dalam pelajaran kimia.
(Hastuti, 2009).
3.5

Desain Penelitain
Pada penelitian ini, adapun desain penelitian yang digunakan yaitu Control-

Group Pretest Posttest Design. Dalam penenlitian ini, subjek penelitian terdiri dua
kelompok yaitu kelompok eksperimen I dan kelompok eksperimen II. Kedua subjek
diberi perlakuan selama waktu tertentu. Pada desain ini kedua kelompok diberikan
tes awal (pretest) dan tes akhir (posttest) selanjutnya dicari peningkatan antara
kelompok eksperimen I dan kelompok eksperimen II.
Tabel 5. Desain Penelitian Control-Group Pretest Posttest Design
Kelompok
Eksperimen l
Eksperimen ll

Prtest
T1
T1

Treatment
X1
X2

Posttest
T2
T2
(Rista, 2010).

Keterangan:
X1: Pengajaran materi sub pokok bahasan konsep kesetimbangan kimia dengan
metode NHT

42

X2: Pengajaran materi sub pokok bahasan konsep kesetimbangan kimia dengan
metode STAD
T1: Prtest (tes awal) terhadap penguasaan konsep materi sub pokok bahasan konsep
kesetimbangan kimia
T2: Posttest (tes akhir) terhadap penguasaan konsep materi sub pokok bahasan
konsep kesetimbangan kimia
Setelah dilakukan pretest dan posttest, maka dilihat yang manakah memilik
selisih yang paling besar antara pretest dan posttest, apakah di kelas eksperimen I
ataukah di kelas eksperimen II.
3.6

Prosedur Penelitian
DIAGRAM ALIR
Populasi

Uji Homogenitas
Uji Homogenitas
Pretest
Uji Homogenitas
Kelas Eksperimen l

Kelas Eksperimen ll

Model pembelajaran kooperatif

Model pembelajaran STAD (Student

tipe Number Head Together

Team Achievment Divission)


Posttest
Analisis Data

Terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada pokok bahasan konsep kesetimbanagan kimia
yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together dan Model
pembelajaran STAD (Student Team Achievment Divission)
Gambar 2. Diagram Alir Pelaksaan Penelitian

Terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada pokok bahasan reaksi redoksantara kelas yang

43

Tahap-tahap yang digunakan dalam penelitian ini adalah :


1.

Menentukan waktu penelitian.

2.

Memilih populasi penelitian dengan tes uji homogenitas .

3.

Memilih sampel sebagai kelas eksperimen pertama yang menggunakan model


pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together dan kelas ekspiremen
ke dua menggunakan model pembelajaran STAD (Student Team Achievment
Divission).

4.

Menyusun kisi-kisi yang dikembangkan dalam instrumen tes.

5.

Memberikan pretest pada kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II.

6.

Menganalisis hasil pretest yang dilakukan pada kelas eksperimen I dan kelas
eksperimen II.

7.

Melaksanakan

pembelajaran

dengan

menggunakan

dengan

model

pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together di kelas eksperimen I


dan untuk di kelas eksperimen II menggunakan model pembelajaran STAD
(Student Team Achievment Divission).
8.

Memberikan posttest pada kelas eksperimen I dan kelas eksperimen II.

9.

Menganalisis hasil belajar siswa

10.

Membandingkan

perbedaan

hasil

belajar

kimia

siswa

pada

model

pembelajaran NHT dan model pembelajaran STAD.


11.

Menentukan model pembelajaran yang lebih tepat digunakan pada pokok


bahasan kesetimbangan kimia, model NHT atau model STAD

44

3.7 Alur Penelitian

Studi Pendahuluan

Perumusan Masalah

Hasil Belajar, Materi Konsep Kesetimbangan kimia

Penyusunan instrument
1. Soal soal Pretest dan Posttest

Penyusunan
Rencana
Pembelajaran dengan model

pembelajaran kooperatif
tipe NHT
dan model
pembelajaran STAD

Tahap Awal

Studi Literatur: Model Kooperatif tipe NHT, Model STAD

Uji Homogenitas

Tes Awal

Model Pembelajaran

Model Pembelajaran

kooperatif tipe
NHT

STAD

Tahap Pelaksanaan

Kelas Eksperimen Il

Kelas Eksperimen I

Tes Akhir

Pembahasan
Kesimpulan
Gambar 3. Alur Penelitian

Tahap Akhir

Pengolahan Data

45

3.8

Instrumen Penelitian

Dalam penelitian instrumen yang digunakan adalah mengunakan soal pilihan


ganda yang sebelumnya sudah divalidasi oleh tim ahli yang terdiri dari dosen dan
guru yang berkompeten di bidangnya.
3.9

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
3.9.1

Mencari Informasi
Studi kepustakaan, dilakukan untuk mendapatkan informasi dengan

memanfaatkan literatur yang relevan dengan penelitian ini yaitu dengan cara
membaca, mempelajari, menelaah, mengutip pendapat dari berbagai sumber berupa
buku, diktat, skripsi, internet dan sumber lainnya.

3.9.2

Wawancara (Interview)
Wawancara ini dilakukan dengan guru bidang studi kimia untuk

memperoleh informasi tentang proses belajar mengajar kimia yang telah


dilaksanakan dan untuk memperoleh data yang diperlukan dalam pelaksanaan
penelitian, seperti untuk mengetahui jadwal pelajaran kimia di sekolah serta pokok
bahasan yang dapat digunakan dalam penelitian.
3.9.3

Observasi
Observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang

dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis


terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan (Sudijono,
2011). Observasi awal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi proses pembelajaran
kimia. Dimana hal-hal yang diamati adalah kegiatan guru dan siswa di kelas selama
proses pembelajaran.
3.9.4

Tes hasil belajar

46

Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan
untuk mengukur keterampilan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat
yang dimiliki seorang individu atau kelompok (Arikunto, 2010).
1. Sebelum pembelajaran di kelas eksperimen pertama yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together (NHT) dan di kelas
eksperimen kedua menggunakan model pembelajaran STAD (Student Team
Achievment Divission) dilakukan, siswa diberi pretest, kemudian hasil tersebut
dikumpulkan dan di beri skor.
2. Setelah selesai pembelajaran di kelas eksperimen I yang menggunakan model
pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together (NHT) yang dan di kelas
eksperimen II yang menggunakan model pembelajaran STAD (Student Team
Achievment Divission) dilakukan, siswa diberi posttest, kemudian hasil tersebut
dikumpulkan dan diberi skor.
Selisih dari hasil pretest dan posttest ini akan digunakan untuk mengetahui
peningkatan hasil belajar siswa. Kemudian nilai rata-rata selisih pretest dan
posttest yang diperoleh tersebut digunakan untuk pengujian hipotesis, yaitu
untuk melihat apakah ada perbedaan yang signifikaan hasil belajar siswa pada
pembelajaran kimia yang menerapkan model pembelajaran kooperatif

tipe

Number Head Together (NHT) dan di kelas eksperimen kedua menggunakan


model pembelajaran STAD (Student Team Achievment Divission).
3.10 Teknik Pengolahan Data
Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan adalah:
1. Analisis Data Pretest dan Posttest Pengolahan data pretest dan posttest dilakukan
dengan urutan sebagai berikut:
a. Penskoran Pretest dan Posttest
Penskoran pretest dan postest didapat berdasarkan jawaban yang benar. Jika
jawaban benar maksimal diberi nilai 12,5 dan jawaban salah diberi nilai 0
(nol). Dari penskoran tersebut didapat angka skor yang kemudian digunakan
dalam

perhitungan. Angka skor yang digunakan dari skala minimal nol

sampai skala maksimal 100.


b. Analisis Peningkatan Hasil Belajar Siswa

47

Berdasarkan angka skor pretest dan postest dihitung rata-rata hasil belajar
siswa. Nilai rata-rata persentase hasil belajar pada kelas ekperimen I dan kelas
ekperimen II selanjutnya dianalisis untuk mengetahui peningkatan (gain) hasil
belajar siswa.
3.11 Teknik Analisis Data
3.11.1

Data Berupa Tes (Pre test dan Post test)


Data berupa tes (pretest dan posttest) dihitung nilainya untuk menentukan rata-

rata hasil belajar siswa, yaitu dengan:

Keterangan:
X = Rata-rata hasil belajar
X = Jumlah nilai siswa
n = Jumlah siswa

(Sudjana, 1996)

Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan beberapa uji, antara
lain: uji homogenitas varians, uji normalitas, dan uji hipotesis.
3.11.1.1 Uji Homogenitas Varian
Dalam penelitian ini digunakan uji fischer dengan rumus sebagai berikut:

Di mana S2 adalah adalah variansi, N adalah banyak data, dan X


adalah data. Kriteria pengujian yaitu:

Jika Fhit

ung

< Ftabel maka data

tersebut homogen, jika Fhit ung = F tabel, maka data tidak homogen. Dengan
Ft abel = F(k-1) (n1+ n2 - 2) (Subana dan Sudrajat, 2005).
3.11.1.2 Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data hasil
belajar yang berasal dari kedua kelompok berdistribusi normal atau tidak.

48

Uji normalitas bertujuan untuk menentukan teknik analisis data yang tepat.
Secara statistik, uji normalitas dapat dituliskan sebagai berikut:
H0 : data yang berasal dari populasi yang terdistribusi normal.
Ha : data yang tidak berasal dari populasi yang terdistribusi normal
Uji normalitas dapat dilakukan dengan uji chi kuadrat, yaitu:

Keterangan:
X2 = Uji chi kuadrat
f0 = Frekuensi yang diperoleh berdasarkan data
fh = frekuensi yang diharapkan
Dengan kriteria pengujian dengan a = 1% jika 2 hitung < 2tabel < (2 (1-a) (k-3)), maka
data terdistribusi normal (Arikunto, 2010)

3.11.1.3 Uji Hipotesis


Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap pertanyaan- petanyaan
yang ada di dalam rumusan masalah.
Hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:
Ho : Tidak terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan antara kelas
eksperimen I yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered
Head To gether (NHT) dengan kelas eksperimen II yang menerapkan model
pembelajaran STAD (Student Team Achievment Divission) pada pembelajaran
kimia.
Ha : Terdapat perbedaan hasil belajar yang signifikan antara kelas eksperimen I
yang menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head To gether
(NHT) dengan kelas eksperimen II yang menerapkan model pembelajaran STAD
(Student Team Achievment Divission) pada pembelajaran kimia.
1= Rata-rata hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe Numbered Head To gether (NHT)

49

2 = Rata-rata hasil belajar siswa dengan menggunakan model pembelajaran


STAD (Student Team Achievment Divission).
3.11.1.4 Uji t
Uji t adalah tes statistik yang dapat dipakai untuk menguji perbe atau
kesamaan dua kondisi/perlakuan atau dua kelompok yang bedengan prinsip
memperbandingkan rata-rata (Mean) kekelompok/perlakuan itu ( Subana dan
Sudrajat, 2005).
a. Mencari deviasi standar gabungan (dsg)
Rumusnya:

Keterangan:
n1 = banyaknya data kelompok 1
n2 = banyaknya data kelompok 2
S1 = varians data kelompok 1 (Sd1) 2
S2 = varians data kelompok 2 (Sd2)2
b. Menentukan t hitung

Keterangan:
dsg = nilai deviasi standar gabungan
x1= rata-rata data kelompok 1
x2 = rata-rata data kelompok 2
Untuk mengetahui apakah perbedaan itu signifikan atau tidak, maka harga
t-hitung tersebut perlu dibandingkan dengan harga ttabel. Apabila diperoleh thitung
lebih besar dari pada ttabel, maka perbedaan itu signifikan.
Kriteria pengujinya: tolak HO, jika thitung > t tabel, dalam keadaan lain HO diterima.
Dengan = 0,01 dan dk = (n1 + n2 2).

(Subana dan Sudrajat, 2005)

50

3.12 Penelitian Komparasi


Dalam penelitian ini, jenis penelitian yang akan digunakan adalah penelitian
komparasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan dua model
pembelajaran serta melihat model pembelajaran yang lebih cocok dan efektif diterapkan
di kelas XI pada materi Kesetimbangan Kimia. Penelitian komparasi pada intinya adalah
penelitian yang berusaha untuk menemukan persamaan dan perbedaan tentang benda,
tentang orang, tentang prosedur kerja, tentang ide, kritik terhadap orang dan kelompok.
Penelitian komparatif bisa jadi dimasukkan sebagai penelitian causal comparative
studies, yang pada pokoknya ingin membandingkan dua atau tiga kejadian dengan
melihat penyebabnya.

Teknik analisis komparasional merupakan salah satu teknik

analisis kuantitatif atau salah satu teknik analisis statistik yang dapat digunakan untuk
menguji hipotesis mengenai ada tidaknya perbedaan antar variabel yang sedang diteliti.
Jika perbedaan itu memang ada, apakah perbedaan itu merupakan perbedaan yang berarti
atau meyakinkan (signifikan), ataukah bahwa perbedaan itu hanyalah secara kebetulan
saja. Teknik analisis komparasional dengan variabel yang diperbandingkan hanya dua
buah saja, disebut taknik analisis komparasional Bivariat (Sudijono, 2012).

Anda mungkin juga menyukai