Anda di halaman 1dari 4

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) angkat bicara terkait penyuntikan Penyertaan Modal

Sementara (PMS) kepada Bank Mutiara. Ketua BPK Hadi Poernomo menyatakan auditor
telah melakukan pemeriksaan atas PMS oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) kepada
Bank Mutiara pada 23 Desember 2013. Pemeriksaan dilakukan dari 19 Januari 2014 hingga
15 April 2014. Pemeriksaan ini dilakukan bertujuan untuk menilai apakah proses
penambahan PMS tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kata Hadi di Kantor
Pusat BPK, Senin (21/4).
Berdasarkan hasil pemeriksaan, lanjut Hadi, BPK menyimpulkan proses penambahan PMS
tersebut belum sepenuhnya sesuai ketentuan yang berlaku. Ada beberapa indikasi yang
memperkuat argumentasi BPK.
Pertama, terdapat pengelolaan kredit yang diduga tidak sesuai ketentuan. Dari hasil
pemeriksaan 23 debitur bermasalah, menunjukkan proses restrukturisasi pada 10 debitur
dengan baki debet per Juni 2013 sebesar Rp787,35 miliar tidak mengikuti ketentuan Bank
Indonesia (BI) dan kebijakan internal Bank Mutiara. Mereka diduga tidak memperhatikan
prinsip kehati-hatian dalam hal prospek usaha, kemampuan membayar dan agunan dari para
debitur.
Proses penyaluran kredit pada dua debitur dengan baki debet per Juni 2013 sebesar Rp19,10
miliar tidak mengikuti prosedur pemberian kredit yang berlaku serta pelaporan kolektibilitas
kredit pada 23 debitur dengan baki debet per 30 Juni 2013 sebesar Rp946,74 miliar tidak
sesuai dengan ketentuan yang berlaku yang dilakukan atas persetujuan Direksi Bank Mutiara.
Kedua, Bank Mutiara tidak menyampaikan posisi Kebutuhan Pemenuhan Modal Minimum
(KPMM) sesuai dengan kondisi yang sebenarnya pada Laporan Keuangan Publikasi Bulanan
periode Juni-November 2013. Pada saat dilakukan pemeriksaan, BI meminta Bank Mutiara
menghitung kondisi keuangan yang sesungguhnya untuk posisi 30 Juni 2013. Pada 29 Juli
2013, Bank Mutiara menyampaikan kondisi Bank Mutiara jika menggunakan skenario
terburuk maka KPMM menjadi -3,16 persen (negatif).
Meskipun Bank Mutiara menyampaikan nilai KPMM per Juni 2013 sudah negatif, ternyata
pada 31 Juli 2013 Direksi Bank Mutiara justru melaporkan kepada BI bahwa KPMM telah
memenuhi syarat sebesar 11 persen. Pada 5 Agustus 2013, Bank Mutiara kembali melaporkan
posisi KPMM -0,55 persen yang merupakan revisi atas perhitungan sebelumnya yang
disampaikan kepada BI.
Meskipun Bank Mutiara telah mengetahui kondisi yang sesungguhnya sejak 29 Juli 2013
dan BI telah menyampaikan adanya permasalahan kekurangan Penyisihan Penghapusan
Aktiva Produktif (PPAP) atas kredit, namun Bank Mutiara tidak melakukan koreksi atas
perhitungan KPMM. Bank Mutiara baru melakukan koreksi setelah LPS melakukan
penyetoran tambahan PMS sebesar Rp1,25 triliun, jelas Hadi.
Mengenai Laporan Publikasi Triwulanan posisi 30 September 2013, Bank Mutiara telah

mengkoreksi KPMM sesuai dengan LHP BI sehingga KPMM menjadi 5,13 persen yang
dipublikasikan pada 24 Desember 2013. Hal tersebut dinilai tidak sesuai dengan PBI
No.14/14/PBI/2012 tentang Transparansi dan Publikasi Laporan Bank dan PBI no. 14 /
15/PBI/2012 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.
Ketiga, penanganan Bank Mutiara oleh LPS belum sepenuhnya berjalan efektif. Sebagaimana
diatur dalam Pasal 14 Peraturan LPS No. 5 Tahun 2006, penanganan Bank Mutiara
diamanatkan tetap mengacu pada ketentuan perbankan. Namun dalam pelaksanaannya,
ditemukan praktik yang belum mengacu pada peraturan di bidang perbankan. Misalnya,
kelemahan dalam pendanaan yaitu pemberian cash back dan bunga deposito di atas suku
bunga penjaminan LPS, restrukturasi dan penyaluran kredit yang tidak mengikuti aturan,
pelaporan kolektibilitas kredit atas persetujuan Direksi Bank Mutiara yang tidak sesuai
ketentuan yang berlaku dan berpengaruh terhadap laba rugi.
Temuan lain, pelaporan KPMM tidak sesuai ketentuan berlaku serta implementasi Good
Coorporate Governance (GCG) masih lemah. Hal ini menunjukkan penanganan Bank
Mutiara oleh LPS belum sepenuhnya berjalan efektif, tegas Hadi.
Keempat, proses penanganan Bank Mutiara oleh LPS dengan melakukan penambahan modal
sementara sebesar Rp1,25 triliun belum mempertimbangkan alternatif lain yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Untuk diketahui, akhir Desember 2013 lalu, LPS kembali menyuntikkan PMS sebesar Rp1,25
triliun kepada Bank Mutiara. Bank Indonesia memberi lampu hijau, karena PMS itu dalam
rangka pelaksanaan fungsi pengawasan perbankan yang ada di Bank Sentral.
Ia mengatakan, tujuan penambahan permodalan Bank Mutiara bertujuan untuk menjaga
industri perbankan tetap sehat sehingga ekonomi dapat tumbuh dengan sehat pula. BI
berjanji, akan terus mengawasi kinerja perbankan baik secara individu maupun industri
hingga fungsi pengawasan perbankan beralih dari BI ke OJK pada awal 2014 nanti.
Sayangnya, BI enggan mengutarakan alasan apa yang melatarbelakangi penambahan modal
bagi Bank Mutiara. Hal ini dikarenakan BI tak bisa mengomentari secara individu bank.
Namun, Agus menambahkan, persoalan penambahan modal biasanya disebabkan lantaran
adanya kualitas kredit yang menurun.
Kebijakan tersebut kemudian menuai pertanyaan dari beberapa pihak, misalnya Pengamat
Ekonomi dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri. Menurut Faisal, pemberian PMS
kepada Bank Mutiara yang dahulunya merupakan Bank Century patut diwaspadai. Ia bahkan
meminta DPR untuk menyelidiki penyebab penurunan kinerja Bank Mutiara sehingga perlu
mendapatkan PMS.
Hal senada diutarakan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon. Dia meminta pihak
terkait mengawasi pemberian dana talangan atau bailout sebesar Rp1,25 triliun yang

diberikan kepada Bank Mutiara. Dia khawatir dana itu disalahgunakan menjelang Pemilihan
Umum 2014 layaknya tragedi bailout Bank Century.
Mantan anggota Pansus Bank Century, Akbar Faisal mendesak KPK untuk mempercepat
penyelesaian kasus Century agar kerugian negara tidak semakin besar. Dia juga mendesak
DPR untuk menolak pemberian dana talangan kepada Bank Mutiara sebesar Rp1,25 Triliun
yang bisa disebut bailout jilid dua.
Menolak Diperiksa
Dari uraian-uraian di atas, BPK mengemukakan bahwa Bank Mutiara belum ditetapkan oleh
BI sebagai bank yang tidak dapat disehatkan dan belum dilakukan penilaian apakah
ditengarai berdampak sistemik atau tidak sehingga FKSSK belum memutuskan Bank Mutiara
berdampak sistemik atau tidak dan FKSSK menyatakan bahwa Kesimpulan Rapat FKSSK
tanggal 16 Desember 2013 bukan merupakan suatu keputusan.
Sementara itu LPS menyatakan bahwa pembahasan permasalahan Bank Mutiara dalam rapat
FKSSK bukan dalam rangka meminta keputusan FKSSK melainkan hanya untuk
menjalankan pasal 33 PLPS No. 5/PLPS/2006 yang menyatakan bahwa selama bank gagal
sistemik dalam penanganan LPS, jika berdasarkan penilaian Lembaga Pengawas Perbankan
(LPP) kondisi keuangan menurun, sehingga diperlukan tambahan modal disetor untuk
memenuhi ketentuan tingkat kesehatan bank, maka LPS meminta Komite Koordinasi (KK)
untuk membahas permasalahan bank serta langkah-langkah yang akan diambil untuk
penanganan bank tersebut.
Dengan demikian, keputusan penambahan modal pada Bank Mutiara oleh LPS dilakukan
tanpa ada putusan FKSSK yang menyatakan Bank Mutiara adalah bank gagal berdampak
sistemik atau pemberitahuan dari BI yang menyatakan bahwa Bank Mutiara ditengarai tidak
berdampak sistemik. Sayangnya, BPK tidak dapat melakukan pemeriksaan lebih lanjut
terhadap BI terkait hal tersebut, BI menolak untuk diperiksa. BI menolak diperiksa karena
harus mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu, ungkap Hadi.
Tetapi dalam, pelaksanaan pemeriksaan, lanjutnya, BPK memperoleh dokumen dan informasi
dari BI melalui OJK. Namun BPK tidak melakukan pemeriksaan terhadap BI sehingga BPK
tidak dapat mengambil kesimpulan atas pengawasan Bank Mutiara oleh BI serta tindak
lanjutnya.
Untuk hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) terhadap PMS Bank Mutiara, kita
sudah berikan ke DPR. Terkait pemeriksaan BI, karena DPR reses, jadi belum ada
tanggapan, pungkasnya.
Kasus Bank Century berawal dari kegagalan bank tersebut dalam memenuhi
prefund kliring (transaksi antar bank) di Bank Indonesia pada 13 November 2008
(Kontan, 14/11/2008), seperti yang diakui oleh manajemen bank tersebut.

Pada tanggal 21 November 2008, akhirnya Gubernur Bank Indonesia Boediono


mengumumkan bahwa BI melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)
memutuskan pengambilalihan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS), terhitung sejak tanggal tersebut. Boediono menyatakan bahwa
pengambilalihan ini untuk lebih meningkatkan keamanan dan kualitas pelayanan
bagi para nasabah (Kompas, 21 November 2008).
Padahal, menurut ICW, berdasarkan laporan keuangan Bank Century yang sudah
dipublikasi pada 30 September 2008, 29,7% aktiva bank tersebut diinvestasikan
dalam bentuk surat berharga, valuta asing dan rupiah. ICW menilai bahwa
sebagian asset Bank Century tidak bisa dijual (non-tradable) dan kemungkinan
bodong (Detik News, 26 November 2008).
Meskipun Bank Indonesia menyadari bahwa kondisi kesehatan Bank Century
dalam keadaan buruk, LPS meminta nasabah tak perlu panic karena lembaga
tersebut akan menjamin seluruh kebutuhan likuiditas Bank Century dengan
alokasi dana sebesar Rp. 1 trilliun.
Sementara itu, Jusuf Kalla yang pada saat itu masih menjabat sebagai Wakil
Presiden secara tegas meminta setiap bank untuk serius menjamin dana
nasabah. Sehingga beban resiko terhadap dana nasabah, apalagi dalam krisis
financial seperti sekarang, tidak saja dipikul oleh pemerintah melainkan juga
kalangan perbankan swasta.
Beberapa manajemen perusahaan itu diduga menggelapkan uang milik investor.
Kerugian sementara yang diderita para investor adalah Rp. 233 miliar, terdiri
atas nasabah dari Bali, dua orang (rugi) Rp23 miliar. Tiga orang nasabah dari
Medan Rp. 60 miliar dan 60 nasabah yang di Kelapa Gading Rp. 150 miliar
penyebabnya adalah lemah dan tidak diterapkannya tata kelola perusahaan
yang baik (good corporate governance). Tentu saja hal ini menyebabkan industri
perbankan tidak dapat secara berhati-hati (prudent) dalam mengelola likuiditas
keuangan dan resiko kreditnya. Sementara itu tidak transparannya parktik dan
pengelolaan suatu bank mengakibatkan otoritas moneter sulit mendeteksi
praktik kecurangan yang dilakukan oleh pengurus dan pejabat bank.

Anda mungkin juga menyukai