PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.3. Diagnosa
Diagnostik Penyakit polio dapat didiagnosis dengan 3 cara yaitu :
1. Viral Isolation Poliovirus dapat dideteksi dari faring pada seseorang yang diduga
terkena penyakit polio. Pengisolasian virus diambil dari cairan cerebrospinal adalah
diagnostik yang jarang mendapatkan hasil yang akurat. Jika poliovirus terisolasi dari
seseorang dengan kelumpuhan yang akut, orang tersebut harus diuji lebih lanjut
menggunakan uji oligonucleotide atau pemetaan genomic untuk menentukan apakah
virus polio tersebut bersifat ganas atau lemah.
2. Uji Serology Uji serology dilakukan dengan mengambil sampel darah dari
penderita. Jika pada darah ditemukan zat antibody polio maka diagnosis bahwa
orang tersebut terkena polio adalah benar. Akan tetapi zat antibody tersebut tampak
netral dan dapat menjadi aktif pada saat pasien tersebut sakit.
3. Cerebrospinal Fluid ( CSF) CSF di dalam infeksi poliovirus pada umumnya terdapat
peningkatan jumlah sel darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama adalah sel
limfositnya. Dan kehilangan protein sebanyak 40-50 mg/100 ml ( Paul, 2004 ).
2.4. Laboratorium
1. Viral Isolation
Polio virus dapat di deteksi secara biakan jaringan, dari bahan yang di peroleh
pada tenggorokan satu minggu sebelum dan sesudah paralisis dan tinja pada minggu
ke 2-6 bahkan 12 minggu setelah gejala klinis.
2. Uji Serologi
Uji serologi dilakukan dengan mengambil sampel darah dari penderita, jika
pada darah ditemukan zat antibodi polio maka diagnosis orang tersebut terkena polio
benar. Pemeriksaan pada fase akut dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
antibodi immunoglobulin M (IgM) apabila terkena polio akan didapatkan hasil yang
positif.
3. Cerebrospinal Fluid (CSF)
Cerebrospinal Fluid pada infeksi poliovirus terdapat peningkatan jumlah sel
darah putih yaitu 10-200 sel/mm3 terutama sel limfosit, dan terjadi kenaikan kadar
protein sebanyak 40-50 mg/100 ml (Paul,2004).
4. Isolasi virus Polio
Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan dari apusan
tenggorokan, darah, liquor, dan feses. Pemeriksaan liquor cerebrospinalis menunjukan
adanya pleositosis, kadar protein sedikit meninggi dan kadar glukosa serta elektrolit
normal, jumlah sel berkisar antara 10-3000/mm3 sedangkan tekanan tidak meningkat.
Pada stadium preparalitik atau paralitik dini lebih banyak ditemukan leukosit PMN
tetapi setelah 72 jam lebih banyak ditemukan limfosit.
Peningkatan jumlah sel mencapai puncaknya pada minggu pertama kemudian
akan kembali normal setelah 2 sampai 3 minggu. Kadar protein LCS berkisar antara
30-120 mg/100ml pada minggu pertama tapi jarang melampaui 150 mg/100ml. Kadar
protein yang meninggi akan bertahan selama 3 sampai 4 minggu.
2.5. Transmisi dan Cara Penularan
1. Transmisi Polio
Respons pertama terhadap infeksi poliovirus biasanya bersifat infeksi
asimptomatik, yakni tidak menunjukkan gejala sakit apa pun. Sekitar 4 sampai 8
persen infeksi poliovirus tidak menimbulkan gejala serius. Infeksi itu hanya
menimbulkan penyakit minor (abortive poliomyelitis) berupa demam, lemah,
mengantuk, sakit kepala, mual, muntah, sembelit dan sakit tenggorokan. Setelah itu,
pasien dapat sembuh dalam beberapa hari. Namun, bila poliovirus menginfeksi sel
yang menjadi sasaran utamanya, yaitu susunan sel syaraf pusat di otak, terjadilah
poliomyelitis nonparalitik (1 sampai 2 persen) dan poliomyelitis paralitik (0,1 sampai
1 persen). Pada kasus poliomyelitis nonparalitik, yang berarti poliovirus telah
mencapai selaput otak (meningitis aseptik), penderita mengalami kejang otot, sakit
punggung dan leher.
2. Cara Penularan
Virus masuk melalui mulut dan hidung lalu berkembang biak di dalam
tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus. Selanjutnya, diserap dan disebarkan
melalui sistem pembuluh darah dan pembuluh getah bening.Penularan virus terjadi
secara langsung melalui beberapa cara, yaitu:
a. Fekal-oral (dari tinja ke mulut)
Maksudnya, melalui minuman atau makanan yang tercemar virus polio yang
berasal dari tinja penderita lalu masuk ke mulut orang yang sehat.
b. oral-oral (dari mulut ke mulut)
Yaitu melalui percikan ludah atau air liur penderita yang masuk ke mulut
orang sehat lainnya. Sebenarnya, kondisi suhu yang tinggi dapat cepat mematikan
virus. Sebaliknya, pada keadaan beku atau suhu yang rendah justru virus dapat
bertahan hidup bertahun-tahun. Ketahanan virus ini di dalam tanah dan air sangat
bergantung pada kelembapan suhu dan adanya mikroba lain.
Virus ini dapat bertahan lama pada air limbah dan air permukaan, bahkan dapat
sampai berkilo-kilometer dari sumber penularan. Meskipun cara penularan utama
adalah akibat tercemarnya lingkungan oleh virus polio dari penderita yang terinfeksi,
namun virus ini sebenarnya hidup di lingkungan yang terbatas. Nah, salah satu inang
atau mahluk hidup perantaranya adalah manusia secara ringkas, Cara penularannya
dapat melalui:
a. Inhalasi
b. Makanan dan minuman
c. Bermacam serangga seperti lipas, lalat, dan lain-lain
Penularan melalui oral berkembambang biak diususverimia virus+DC faecese
beberapa minggu.
2.6. Reservoir
Manusia merupakan satu-satunya reservoir dan merupakan sumber penularan
penyakit
lumpuh kanak-kanak (Poliomyelitis Anterior Acuta).
2.7. Agent
Polio disebabkan oleh virus. Viruspoliomyelitis (virus RNA) termasuk genus
enterovirus dan famili picomaviridae. Terdapat tiga tipe virus yaitu:
a. Type 1 (Brunhilde)
b. Type 2 (Lansing)
c. Type 3 (Leon)
Ketiga virus tersebut bisa menyebabkan kelumpuhan. Tipe 1 adalah tipe yang paling mudah
di isolasi, diikuti tipe 3, sedangkan tipe 2 paling jarang diisolasi. Tipe yang sering
menyebabkan wabah adalah tipe 1, sedangkan kasus yang dihubungkan dengan vaksin yang
disebabkan oleh tipe 2 dan tipe 3.
Agen pembawa penyakit ini, sebuah virus yang dinamakan poliovirus (PV), masuk
ke tubuh melalui mulut, mengifeksi saluran usus. Virus ini dapat memasuki aliran darah dan
mengalir ke sistem saraf pusat menyebabkan melemahnya otot dan kadang kelumpuhan
(paralisis).
Host Virus polio dapat menyerang semua golongan usia dengan tingkat kelumpuhan
yang bervariasi. Penyakit ini dapat menyerang pada semua kelompok umur, namun yang
peling rentan adalah kelompok umur kurang dari 3 tahun.
Masa inkubasi polio biasanya 7-14 hari dengan rentang 3-35 hari. Masa Laten &
periode infeksi Pada akhir inkubasi dan masa awal gejala, para penderita polio sangat poten
untuk menularkan penyakit. Setelah terpakjan dari penderita, virus polio dapat ditemukan
pada secret tenggorokan 36 jam kemudia dan masih bisa ditemukan sampai satu minggu,
serta pada tinja dalam waktu 72 jam sampai 3-6 minggu. Gambaran klinis yang terjadi sangat
bervariasi mulai dari yang paling ringan sampai dengan yang paling berat , yaitu:
1. Infeksi tanpa gejalah (asymptomatic,silent,anapparent)
Kejadian infeksi yang asimptomatikini sulit diketahui, tetapi biasanya cukup
tinggi terutama di daerah-daerah yang standar higine-nya jelek. Bayi baru lahir mulamula terlindungi karena adanya antibody anternal yang kemudian akan menghilang
setelah usia 6 bulan. Penyakit ini diketahui hanya dengan menemukan virus ditinja
atau meningginya titer antibody.
2. Infeksi abortif
Kejadiannya diperkirakan 4-8% dari jumlah penduduk pada suatu epidemi.
Tidak dijumpai gejala klinik khas poliomyelitis. Timbul mendadak dan berlangsung 13 hari dengan gejalah minor illesss seperti demam bias sampai 39,5 C, nyeri
kepala,sakit tengorokan anoreksia, muntah, nyeri otot atau perut serta kadang-kadang
diare.
terjadi
pada
ekstremitas
inferior
yang
terdapat
pada
femoris,tibialis
spinal,dapat
mengenai
otot
leher,toraks
abdomen,diafragma,dan
ekstremitasan
2. Bentuk bulbar,dapat mengenai satu atau lebih saraf cranial,gangguan pusat
pernafasan, termoregulator,dan sirkulasi
a) Saraf otak yang terkena :
1) Bagian atas (N.III N.VII) dan biasanya dapat sembuh.
2) Bagian
bawah
(N.IX
N.XIII
pasase
ludah
di
faring
Di Indonesia umumnya diberikan vaksin sabin. Vaksin ini diberikan sebanyak 2 tetes
(0,1 ml) langsung kemulut anak atau dengan menggunakan sendok yang berisi air gula.
Kontraindikasi pemberian vaksin polio :
1.
2.
3.
4.
Diare berat
Gangguan kekebalan (karena obat imunosupresan, kemoterapi, kortikosteroid).
Kehamilan.
Efek samping yang mungkin terjadi berupa kelumpuhan dan kejang-kejang.
Dosis pertama dan kedua diperlukan untuk menimbulkan respon kekebalan primer,
sedangakn dosis ketiga dan keempat diperlukan untuk meningkatkan kekuatan antibodi
sampai pada tingkat yang tertinggi. Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi dasar,
kepada orang dewasa tidak perlu dilakukan pemberia booster secara rutin kecuali jika dia
hendak bepergian kedaerah endemik polio. Pada dewasa yang belum pernah mendapatkan
imunisasi polio dan perlu menjalani imunisasi sebaiknya diberikan IPV.
Kepada orang yang pernah mengalami reaksi alergi hebat (anafilaktik) setelah
pemberian IPV, streptomicin, polimicin B atau neomicin, tidak boleh diberikan IPV,
sebaiknya diberikan OPV. Kepada penderita dengan gangguan sistem kekebalan (misalnya
penderita AIDS, infeksi HIV, leukimia, kanker, limfoma) dianjurkan untuk diberikan IPV.
IPV bisa diberikan kepada anak yang menderita diare. Jika anak sedang menderita
penyakit ringan atau berat sebaiknya pelaksanaan imunisasi ditunda sampai benar-benar
pulih. IPV bisa menyebabkna nyeri dan kemerahan pada tempat penyuntikan yang biasanya
berlangsung hanya beberapa hari. Kekebalan aktif didapatkan sesudah mendapatkan infeksi
asimptomatis atau pemberian vaksin polio. Vaksin anti polio ini ada 2 jenis yaitu salk dan
sabin. Kekebalan pasif diperoleh dari ibu secara transplasenta atau dengan pemberian gamma
globulin.