Anda di halaman 1dari 58

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA

NOMOR TAHUN
TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI SUMATERA UTARA
TAHUN 2009 - 2029
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
GUBERNUR SUMATERA UTARA
Menimbang

a. bahwa untuk mengarahkan pembangunan di Provinsi Sumatera Utara dengan


memanfaatkan ruang wilayah secara serasi, selaras, seimbang, berdaya guna,
berhasil guna, berbudaya dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan dan memelihara ketahanan nasional,
perlu disusun Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah
c. bahwa dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomr 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom, maka strategi dan arahan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah nasional
perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Utara;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c
perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Sumatera Utara.

Mengingat

: 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945;


2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom
Propinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera Utara
dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah Propinsi (Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 64
Tambahan Lembaran Negara Nomor 1103);
3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2043);
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260);
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3419);
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469);
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar
Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 75,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3406);

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan


Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);
10. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3699);
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3419);
12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433);
18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4844);
19. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 444);
20. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2007 Tentang
Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);
21. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4723);
22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
23. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4739);
24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746 );

25. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan


Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
26. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849);
27. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan
Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
28. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4956);
29. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
30. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
31. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan
Ruang (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3660);
32. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3776);
33. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian
Peta untuk RTRW (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3034);
34. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000
Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
35. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang
Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 146; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
36. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang
Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4490);
37. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
38. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624);
39. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);
40. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan
dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4696);
41. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah
Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik

42.

43.
44.
45.
46.
47.

Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4737);
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 48, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung;
Keputusan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 2004
tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah;
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor .......Tahun 2008 tentang
Rencana Pengelolaan Sumberdaya Pesisir;
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2008 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang;
Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2009 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Tahun ...........

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA
NOMOR 17/K/2003 TANGGAL 28 AGUSTUS 2003
MEMUTUSKAN:
Menetapkan

PERATURAN DAERAH PROPINSI SUMATERA UTARA TENTANG


RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROPINSI SUMATERA UTARA
TAHUN 2009 - 2029

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan :
1.
Pemerintah Pusat adalah Pemerintah
2.
Daerah adalah Provinsi Sumatera Utara;
3.
Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara;
4.
Kepala Daerah adalah Gubernur Sumatera Utara;
5.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera
Utara;
6.
Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara;
7.
Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang berada di wilayah
Provinsi Sumatera Utara;
8.
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya disingkat RTRWP adalah Rencana
Struktur Tata Ruang Provinsi yang mengatur struktur dan pola tata ruang wilayah provinsi;
9.
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara, sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk hidup lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya;
10. Tata Ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak;
11. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang;
12. Rencana Tata Ruang adalah hasil perencanaan tata ruang;
13. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional;
14. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya;

15.

16.
17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.
27.

28.
29.

30.
31.

32.

Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan nilai sejarah serta
budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.
Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas
dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.
Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa
kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang menudukung prikehidupan dan penghidupan.
Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman
perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan
susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah
pedesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang
ditujukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarkis keruangan satuan sistem permukiman
dan sistem agrobisnis.
Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang
berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling
memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang
terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta)
jiwa.
Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan
keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan
sebagai warisan dunia.
Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena
mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya,
dan/atau lingkungan.
Kawasan Pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjukan dan atau ditetapkan oleh
pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakter fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk
dipertahankan keberadaannya.
Kawasan andalan adalah bagian dari kawasan budi daya, baik di ruang darat maupun ruang laut
yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut
dan kawasan di sekitarnya.
Kawasan Alur Pelayaran adalah wilayah perairan yang dialokasikan untuk alur pelayaran bagi
kapal.
Kawasan Pertahanan Keamanan adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
kepentingan kegiatan pertahanan dan keamanan, yang terdiri dari kawasan latihan militer, kawasan
pangkalan TNI Angkatan Udara, kawasan pangkalan TNI Angkatan Laut, dan kawasan militer
lainnya.
Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Kawasan Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan
perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata air,
pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah.
Kawasan Resapan Air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air
hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air.
Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan bandar udara dan
kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban
arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, tempat perpindahan intra dan/atau
antarmoda serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.
Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah sistem kebandarudaraan secara nasional yang
menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi,
keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antarmoda

33.

34.
35.
36.
37.
38.

39.
40.

41.

42.

43.
44.

45.

46.

47.

48.
49.
50.

51.

52.

transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan


dengan sektor pembangunan lainnya.
Bandar Udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang
digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang,
bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang dilengkapi
dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas
penunjang lainnya.
Bandar Udara Umum adalah bandar udara yang digunakan untuk melayani kepentingan umum.
Bandar Udara Khusus adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan
sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya.
Bandar Udara Domestik adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani
rute penerbangan dalam negeri.
Bandar Udara Internasional adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang
melayani rute penerbangan dalam negeri dan rute penerbangan dari dan ke luar negeri.
Bandar Udara Pengumpul (hub) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan yang
luas dari berbagai bandar udara yang melayani penumpang dan/atau kargo dalam jumlah besar dan
mempengaruhi perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai provinsi.
Bandar Udara Pengumpan (spoke) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan dan
mempengaruhi perkembangan ekonomi terbatas.
Pangkalan Udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dengan batas batas tertentu dalam
wilayah Republik Indonesia yang digunakan untuk kegiatan lepas landas dan pendaratan pesawat
udara guna keperluan pertahanan negara oleh Tentara Nasional Indonesia.
Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan adalah wilayah daratan dan/atau perairan serta ruang
udara di sekitar bandar udara yang digunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka
menjamin keselamatan penerbangan.
Penerbangan adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat
udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan,
lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
Angkutan Udara Niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.
Angkutan Udara Bukan Niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan
sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan
udara.
Angkutan Udara Dalam Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan
udara dari satu bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Angkutan Udara Luar Negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara
dari satu bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan sebaliknya.
Angkutan Udara Perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani
jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah
yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.
Rute Penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal ke Bandar udara tujuan
melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan.
Jaringan penerbangan adalah beberapa rute penerbangan yang merupakan satu kesatuan pelayanan
angkutan udara.
Tatanan Kepelabuhanan Nasional suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis,
hirarki pelabuhan, rencana induk pelabuhan nasional dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra
dan antar moda serta keterpaduan dengan sector lain.
Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas batas tertentu
sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai
tempat kapal bersandar, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, berupa terminan dan
tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan
kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya
manusia serta norma, kriteria, persyaratan dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta
api.

53.
54.
55.

56.

57.
58.
59.
60.

61.
62.
63.

64.

65.
66.
67.
68.
69.
70.
71.

72.
73.

74.

75.

Prasarana Perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api
agar kereta api dapat dioperasikan.
Jaringan jalur kereta api adalah seluruh jalur kereta api yang terkait satu dengan yang lain yang
menghubungkan berbagai tempat sehingga merupakan satu sistem.
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan
dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi
kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan,
serta kegiatan pascatambang.
Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia
tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk
lepas atau padu.
Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa
tumbuhtumbuhan.
Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di
luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi,
termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.
Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang
meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.
Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha
pertambangan.
Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau
batubara dan mineral ikutannya.
Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana,
sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk
memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah
penambangan.
Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi
mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang
merupakan bagian dari tata ruang nasional.
Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah
memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan
kepada pemegang IUP.
Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat
dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.
Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang
dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.
Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN
yang dapat diusahakan.
Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK,
adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK.
Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan
mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari
keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan
yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat
multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara
serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang
berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran
atau tujuan kunjungan wisatawan.
Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis

76.

77.

78.

79.
80.
81.
82.

83.

84.

85.
86.

87.
88.
89.
90.
91.
92.

93.
94.
95.

yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik
wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan
melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
Kawasan Strategis Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki
potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih
aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya
dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
Sempadan Pantai adalah kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan kesucian pantai, keselamatan bangunan,
dan tersedianya ruang untuk lain lintas umum.
Sempadan Sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai
buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi sungai.
Kawasan sekitar Danau/Waduk adalah kawasan sekeliling danau atau waduk yang mempunyai
manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk.
Kawasan Sekitar Mata Air adalah kawasan sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting
untuk kelestarian fungsi mata air.
Kawasan Pantai Berhutan Bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan
bakau yang berfungsi memberi perlindungan kepada kehidupan pantai dan laut.
Kawasan Suaka Alam adalah kawasan yang mewakili ekosistem khas yang merupakan habitat
alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan flora dan fauna yang khas dan beraneka
ragam.
Kawasan Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekreasi dan
pendidikan.
Kawasan Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk
tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan dan satwa alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli,
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan rekreasi.
Kawasan Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian alam darat maupun perairan yang
terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan
bernilai budaya tinggi dan sebagai tempat serta ruang di sekitar situs purbakala dan kawasan yang
memiliki bentukan geologi alami yang khas.
Kawasan Pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau didirikan untuk
memenuhi kebutuhan pariwisata.
Objek dan Daya Tarik Wisata Khusus, selanjutnya disebut ODTWK, adalah segala sesuatu yang
menjadi sasaran wisata dengan kekhususan pengembangan sarana dan prasarana.
Wilayah Prioritas adalah wilayah yang dianggap perlu diprioritaskan penanganannya serta
memerlukan dukungan penataan ruang segera dalam kurun waktu perencanaan.
Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi
untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi.
Pusat Kegiatan Wilayah yang ditetapkan secara nasional selanjutnya disebut PKW adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
Pusat Kegiatan Wilayah yang di promosikan oleh provinsi selanjutnya disebut PKWp adalah
kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa
kabupaten/kota.
Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah adalah kawasan perkotaan yang
berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau lebih daerah
aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2.
Daerah Aliran Sungai/Wilayah Sungai yang selanjutnya disingkat WS adalah suatu wilayah tertentu
yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya
yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian
mengalirkannya melalui sungai utama ke laut. Satu WS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya
(WS-WS lain) oleh pemisah alam topografi seperti punggung perbukitan dan pegunungan.
Pengelolaan WS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara

96.

97.

98.
99.

100.
101.
102.

103.
104.

105.

106.

107.

108.
109.
110.
111.

sumberdaya alam dengan manusia di dalam WS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina
kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi
manusia secara berkelanjutan.
Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan.
Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya
lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam.
Lingkungan adalah sumberdaya fisik dan biologis yang menjadi kebutuhan dasar agar kehidupan
masyarakat (manusia) dapat bertahan.
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup
termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat,
energi, dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh, menyeluruh dan
saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan
hidup.
Habitat adalah lingkungan fisik, kimia dan biologis dengan ciri-ciri khusus yang mendukung
spesies atau komunitas biologis tertentu.
Konservasi adalah pengelolaan pemanfaatan oleh manusia terhadap biosfer sehingga dapat
menghasilkan manfaat berkelanjutan yang terbesar kepada generasi sekarang sementara
mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi akan datang (suatu
variasi defenisi pembangunan berkelanjutan).
Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang tumbuh dan berkembang pada daerah air
payau atau daerah pasang surut dengan substrat berlumpur dicampur dengan pasir. Biasanya berada
di mulut sungai.
Pulau Kecil adalah pulau dengan ukuran luas kurang atau sama dengan 10.000 km, jumlah
penduduk kurang dari 200.000 jiwa, terpisah dari pulau induk, bersifat insuler, memiliki biota
indemik, memiliki daerah tangkapan air yang relatif kecil dan sempit, kondisi sosial, budaya dan
ekonomi masyarakatnya bersifat khas dan berbeda dengan pulau induk.
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disebut ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan
berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang
yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di
atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah
Indonesia.
Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan
Orang adalah orang perseorangan dan/ atau korporasi.
Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat atau badan
hukum.
Peran serta masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan
prakarsa masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.

112. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan
terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses
pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa
kini dan generasi masa depan.
Ruang Lingkup
Pasal 2
(1)

Ruang lingkup rencana tata ruang wilayah provinsi mencakup struktur dan pola ruang serta strategi
pemanfaatan ruang wilayah provinsi dan wilayah kabupaten/kota sampai batas ruang daratan, ruang
lautan, dan ruang udara sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini berisi :
a. tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah provinsi;
b. rencana struktur tata ruang wilayah provinsi;
c. rencana pola ruang wilayah provinsi;
d. penetapan kawasan strategis provinsi;
e. arahan pemanfaatan ruang wilayah provinsi;
f. arahan pengendalian pemanfaatan ruang provinsi;
g. peran serta masyarakat.
Tujuan Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara
Pasal 3

Penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara bertujuan untuk mewujudkan wilayah Provinsi
Sumatera Utara yang sejahtera, merata, berdaya saing dan dan berwawasan lingkungan
Pasal 4
RTRW Provinsi menjadi pedoman untuk:
a.
penyusunan rencana pembangunan jangka panjang provinsi ;
b.
penyusunan rencana pembangunan jangka menengah provinsi;
c.
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah provinsi;
d.
pewujudan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antarwilayah provinsi, serta
keserasian antarsektor;
e.
penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi;
f.
penataan ruang kawasan strategis provinsi; dan
g.
penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
Bagian Kedua
Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara
Pasal 5
(1)

(2)

(3)

(4)

kebijakan pertama yaitu mengurangi kesenjangan pengembangan wilayah timur dan barat,
kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut:
a. mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan baru di wilayah barat sesuai dengan daya dukung
b. membangun dan meningkatkan jaringan jalan poros timur dan barat
kebijakan kedua mengembangkan sektor ekonomi unggulan melalui peningkatan daya saing dan
diversifikasi produk, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut:
a. mendorong kegiatan pengolahan komoditi unggulan di pusat produksi komoditi unggulan
b. meningkatkan prasarana perhubungan dari pusat produksi komoditi unggulan menuju pusat
pemasaran
c. menyediakan sarana dan prasarana pendukung produksi untuk menjamin kestabilan produksi
komoditi unggulan
d. mengembangkan pusat-pusat agropolitan untuk meningkatkan daya saing
e. meningkatkan kapasitas pembangkit listrik dengan memanfaatkan sumber energi yang tersedia
serta memperluas jaringan transmisi tenaga listrik guna mendukung produksi komoditas
unggulan
kebijakan ketiga mewujudkan ketahanan pangan melalui intensifikasi lahan yang ada dan
ekstensifikasi kegiatan pertanian pada lahan non-produktif, kebijakan tersebut diwujudkan melalui
strategi sebagai berikut:
a. mempertahankan luasan pertanian lahan basah yang ada saat ini
b. meningkatkan produktivitas pertanian lahan basah
c. mencetak kawasan pertanian lahan basah baru untuk memenuhi swasembada pangan
kebijakan keempat menjaga kelestarian lingkungan dan mengembalikan keseimbangan ekosistem,
kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut:
a. mempertahankan luasan dan meningkatkan kualitas kawasan lindung
b. mengembalikan ekosistem kawasan lindung

10

(5)

(6)

kebijakan kelima mengoptimalkan pemanfaatan ruang budidaya sebagai antisipasi perkembangan


wilayah, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut:
a. Mengendalikan perkembangan fisik permukiman perkotaan
b. Mendorong intensifikasi pemanfaatan ruang di kawasan perkotaan
kebijakan keenam meningkatkan aksesibilitas dan memeratakan pelayanan sosial ekonomi ke
seluruh wilayah provinsi, kebijakan tersebut diwujudkan melalui strategi sebagai berikut:
a. membangun dan meningkatkan kualitas jaringan transportasi keseluruh bagian wilayah provinsi
b. menyediakan dan memeratakan fasilitas pelayanan sosial ekonomi (kesehatan, pendidikan, air
bersih, pemerintahan dan lain-lain).

BAB III
RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 6
(1)

Rencana struktur ruang wilayah provinsi meliputi:


a. sistem perkotaan provinsi;
b. sistem jaringan transportasi provinsi;
c. sistem jaringan energi provinsi;
d. sistem jaringan telekomunikasi provinsi; dan
e. sistem jaringan sumber daya air provinsi.
f. sistem jaringan sarana dan prasarana lingkungan

(2)

Rencana struktur ruang wilayah provinsi digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian
1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Daerah ini.
Rencana Struktur Ruang Wilayah Nasional
Pasal 7

Kebijakan pengembangan tata ruang yang ditetapkan pada tingkat nasional dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), dipertimbangkan dalam RTRWP Sumatera Utara yang meliputi :
(1) menetapkan kawasan Perkotaan Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo (Mebidangro) sebagai Pusat
Kegiatan Nasional (PKN);
(2) menetapkan Tebingtinggi, Sidikalang, Pematang Siantar, Balige, Rantau Prapat, Kisaran, Gunung
Sitoli, Padang Sidempuan, Sibolga sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW);
(3) menetapkan jalan bebas hambatan (jalan tol) meliputi :
a. Ruas Medan Kualanamu Tebing Tinggi
b. Ruas Tebing Tinggi - Kisaran
c. Ruas Kisaran - Rantau Prapat
d. Ruas Binjai Langsa
e. Ruas Tebing Tinggi Pematang Siantar Parapat Tarutung - Sibolga
f. Ruas Belmera (Belawan - Medan - Tanjung Morawa)
g. Ruas Medan - Binjai
(4) menetapkan Pelabuhan Belawan dan pelabuhan Sibolga sebagai pelabuhan internasional serta
Tanjung Balai Asahan sebagai Pelabuhan Nasional
(5) menetapkan bandar udara Kuala Namu diarahkan sebagai pusat penyebaran primer dan Silangit
sebagai pusat penyebaran tersier.
(6) menetapkan wilayah sungai strategis nasional meliputi : Belawan Ular Padang, Toba
Asahan, Batang Angkola Batang Gadis serta wilayah sungai strategis lintas provinsi adalah
Batang Natal Batang Asahan.
(7) menetapkan kawasan lindung nasional cagar alam Dolok Sibual-buali, Dolok Sipirok dan Sei
Ledong, suaka marga satwa meliputi : Karang Gading Langkat Timur Laut, Barumun, Siranggas,

11

(8)

Dolok Surungan. taman nasional adalah Batang Gadis, Taman nasional gunung Leuser, taman
hutan raya adalah Bukit Barisan
menetapkan kawasan strategis nasional adalah Kawasan Perkotaan Medan Binjai Deli Serdang
Karo (Mebidangro), Kawasan Danau Toba dan sekitarnya, Kawasan Taman Nasional Ekosistem
Leuser yang berbatasan dengan Provinsi Aceh serta Kawasan Perbatasan Pulau Kecil Terluar
Pulau Berhala.
Bagian Kedua
Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara
Paragraf Pertama
Rencana Pengembangan Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara
Pasal 8

Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara diarahkan menjadi 3 (tiga) hirarki pusat pelayanan, yaitu :
(1) Pusat Kegiatan Nasional, yaitu pusat pelayanan primer yang melayani wilayah Provinsi Sumatera
Utara dan wilayah nasional/internasional yang lebih luas.
(2) Pusat Kegiatan Wilayah, yaitu pusat pelayanan sekunder yang melayani satu atau lebih daerah
Kabupaten/Kota dengan intensitas yang lebih tinggi untuk memacu pertumbuhan perekonomian di
wilayah sekitarnya.
(3) Pusat Kegiatan Lokal, yaitu pusat pelayanan tersier melayani satu atau lebih kecamatan. Pusat
pelayanan tersier ini terutama dikembangkan untuk menciptakan satuan ruang wilayah yang lebih
efisien sebagai sentra pelayanan kegiatan
Pasal 9
Sistem perkotaan Provinsi Sumatera Utara adalah sebagai berikut :
(1) PKN mencakup kawasan Perkotaan Medan-Binjai-Deli Serdang-Karo (Mebidangro)
(2) PKW meliputi kawasan perkotaan : Tebingtinggi, Sidikalang, Pematang Siantar, Balige, Rantau
Prapat, Kisaran, Gunung Sitoli, Padang Sidempuan, Sibolga
(3) PKL meliputi kawasan perkotaan : Pangkalan Brandan, Stabat, Pancur Batu, Lubuk Pakam, Sei
Rampah, Limapuluh, Indrapura, Perdagangan, Tanjung Balai, Simpang Empat, Aek Kanopan,
Labuhan Bilik, Kota Pinang, Aek Nabara, Gunung Tua, Sipirok, Natal, Panyabungan, Sibuhuan,
Pandan, Barus, Pangururan, Parapat, Dolok Sanggul, Tarutung, Siborong-borong, Kaban Jahe,
Brastagi, Merek,
Tiga Binanga, Salak,
Pematang Raya, Lahewa/Lolu, Teluk Dalam,
Lahomi/Sirombu, Gido/Lasara, Gunung Sitoli.

Paragraf Kedua
Kriteria Sistem Perkotaan Provinsi Sumatera Utara
Pasal 10
(1)

(2)
(3)

Pusat Kegiatan Nasional PKN, Pusat Kegiatan Wilayah PKW, dan PKL Pusat Kegiatan Lokal
dapat berupa:
a. kawasan megapolitan;
b. kawasan metropolitan;
c. kawasan perkotaan besar;
d. kawasan perkotaan sedang; atau
e. kawasan perkotaan kecil.
PKL ditetapkan dengan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera
Utara berdasarkan usulan pemerintah kabupaten/kota, setelah dikonsultasikan dengan Menteri.
PKN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-impor
atau pintu gerbang menuju kawasan internasional;
b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa
skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi; dan/atau

12

(4)

(5)

c. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala
nasional atau melayani beberapa provinsi.
PKW sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor
yang mendukung PKN;
b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa
yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten; dan/atau
c. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani
skala provinsi atau beberapa kabupaten.
PKL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan dengan kriteria:
a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa
yang melayani skala kabupaten atau beberapa kecamatan; dan/atau
b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani
skala kabupaten atau beberapa kecamatan.

Pasal 11
(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

kawasan megapolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan yang
ditetapkan dengan kriteria memiliki 2 (dua) atau lebih kawasan metropolitan yang mempunyai
hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
kawasan metropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan perkotaan
yang ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki jumlah penduduk paling sedikit 1.000.000 (satu juta) jiwa;
b. terdiri atas satu kawasan perkotaan inti dan beberapa kawasan perkotaan di sekitarnya yang
membentuk satu
c. kesatuan pusat perkotaan; dan
d. terdapat keterkaitan fungsi antarkawasan perkotaan dalam satu sistem metropolitan.
kawasan perkotaan besar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan
perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu)
jiwa.
kawasan perkotaan sedang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan
perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari 100.000 (seratus ribu)
sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa.
kawasan perkotaan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 2 merupakan kawasan
perkotaan yang ditetapkan dengan kriteria jumlah penduduk lebih dari 50.000 (lima puluh ribu)
sampai dengan 100.000 (seratus ribu) jiwa.
Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Transportasi
Paragraf Pertama
Paragraf Pertama
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Transportasi
Pasal 12

Sistem jaringan transportasi Provinsi Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
b terdiri atas:
(1) sistem jaringan transportasi darat yang terdiri atas jaringan jalan, jaringan jalur kereta api, dan
jaringan transportasi penyebrangan sungai, danau,dan jalan bebas hambatan;
(2) sistem jaringan transportasi laut terdiri atas tatanan kepelabuhanan dan alur pelayaran.
(3) sistem jaringan transportasi udara terdiri atas tatanan kebandarudaraan dan ruang udara untuk
penerbangan.
Pasal 13

13

Sistim Transportasi di Provinsi Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
diarahkan untuk sistim transportasi multi moda yang terintegrasi dari melayani
Rencana dan Pengembangan Sistim Jaringan Transportasi Darat
Sistim Transportasi Jaringan Jalan
Pasal 14
(1)
(2)

(3)
(4)

jaringan jalan terdiri atas jaringan jalan arteri primer, jaringan jalan kolektor primer dan jalan
tol/bebas hambatan.
jaringan jalan arteri primer dikembangkan secara menerus dan berhierarki berdasarkan kesatuan
sistem orientasi untuk menghubungkan:
a. antar-PKN;
b. antara PKN dan PKW; dan/atau
c. PKN dan/atau PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan
primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional.
jaringan jalan kolektor primer dikembangkan untuk menghubungkan antar-PKW dan antara PKW
dan PKL.
jalan tol/bebas hambatan dikembangkan untuk mempercepat perwujudan jaringan jalan bebas
hambatan sebagai bagian dari jaringan jalan nasional yang terdiri dari Jalan bebas hambatan antar
kota dan Jalan bebas hambatan dalam kota
Pasal 15

Pengembangan sistim jaringan jalan di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk :


(1) Rencana Pengembangan Jaringan jalan arteri primer dan Kolektor Primer di Provinsi Sumatera
Utara diarahkan atas tiga jalur regional, yaitu
a. Jalur Lintas Timur merupakan muara pergerakan dari seluruh pusat kegiatan ekonomi di pantai
Timur, termasuk Kawasan Perkotaan Mebidang yang merupakan pusat pelayanan primer yaitu
mulai dari batas Aceh, - Pangkalan Susu, Tanjung Pura Binjai Medan Lubuk Pakam
Perbaungan Sei Rampah Tebing Tinggi - Tanjung Kasau Indrapura Lima puluh Sei
Bejangkar Kisaran Sp KawatRantau Prapat Aek Nabara kota Pinang Batas Riau
b. Jalur Lintas Tengah yang merupakan prasarana yang melayani pergerakan penumpang dan
barang di wilayah Sumatera Utara bagian Tengah yang menghubungkan pantai Barat dan
pantai Timur, terutama pusat pelayanan primer Mebidang dan Sibolga, mulai dari batas Aceh Lawe Pakam Kota Buluh Sidikalang Panji Dolok Sanggul Siborong borong
Tarutung Sipirok Padang sidempuan- Jembatan Merah Ranjau Batu Muara Sipomgi
batas Sumatera Barat
c. Jalur Lintas Barat merupakan prasarana untuk perkuatan wilayah pantai Barat,
mengembangkan potensi ekonominya, terutama untuk mendukung aksesibilitas pusat primer
Sibolga yaitu batas aceh Saragih Manuamas- Barus Sibolga Batang Toru - Riniate
Batu Mundon
(2) Pengembangan jaringan diagonal atau feeder road yaitu Medan Brastagi kabanjahe
Sidikalang, Tebingtinggi Pematang Siantar- Prapat Balige Siborong borong Tarutung
Sibolga, Padang Sidempuan Batang toru
(3) Pengembangn jaringan yang terpisah dengan jaringan jalan nasional atau pun provinsi yaitu
Lingkar Pulau Nias dan Pulau Samosir
(4) Peningkatan kapasitas jaringan bebas hambatan ruas Belmera (Belawan - Medan - Tanjung
Morawa)
(5) Pengembangan dengan pembangunan baru bebas jalan hambatan dalam dan antar kota yang
mendukung perkembangan PKN Mebidangro meliputi :
a. Ruas Medan Lubuk Pakam - Kualanamu Tebing Tinggi
b. Ruas Tebing Tinggi - Kisaran
c. Ruas Kisaran - Rantau Prapat
d. Ruas Binjai Langsa
e. Ruas Tebing Tinggi Pematang Siantar Parapat
f. Ruas Medan - Binjai

14

(6)

(7)

Pengembangan derajat aksesibilitas antara Provinsi Sumatera Utara dengan Nangroe Aceh
Darussalam adalah melalui jalur Medan - Stabat - Pangkalan Brandan ke arah Langkat dan Medan Sidikalang - ke arah Tapaktuan.
Akses ke Provinsi Riau dibentuk melalui peningkatan jalur Medan - Perbaungan - Tebing Tinggi Tanjungbalai - Kota Pinang ke arah Dumai dan jalur kereta api dari Medan - Tebing Tinggi Kisaran - Rantau Prapat ke arah Dumai. Sedangkan akses dengan Provinsi Sumatera Barat
dikembangkan melalui jalur Padang Sidempuan ke arah Muara Sipongi dan jalur Sibolga - Lumut Natal ke arah Air Bangis.
Sistim Jaringan Kereta Api
Pasal 16

(1)

(2)

(3)

jaringan jalur kereta api di Provinsi Sumatera Utara terdiri atas:


a. jaringan jalur kereta api antarkota; dan
b. jaringan jalur kereta api perkotaan.
Jaringan jalur kereta api antarkota dikembangkan untuk menghubungkan:
a. antar-PKN;
b. PKW dengan PKN; atau
c. antar-PKW
Jaringan jalur kereta api perkotaan dikembangkan untuk:
a. menghubungkan kawasan perkotaan dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan
primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional; dan
b. mendukung aksesibilitas di kawasan perkotaan.
Sistim Jaringan Kereta Api di Provinsi Sumatera Utara
Pasal 17

Pengembangan sistim jaringan jalan di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk :

(1)
(2)

Pengembangan Jaringan jalur kereta api yang merupakan bagian Trans Asia Raillway
meliputi : Banda Aceh Pangkalan Susu Medan Rantau Prapat Teluk Bayur
Pemantapan jalur KA antar kota di pantai timur yang menhubungkan batas NAD Medan
Lubuk Pakam Tebing tinggi kisaran - Rantau Prapat - batas Riau

(3)

Pemantapan jaur kereta api antar kota di pantai timur yang menhubungkan batas NAD Medan
Lubuk Pakam Tebing tinggi kisaran - Rantau Prapat - batas Riau
(4) pemantapan jalur kereta api antar kota di bagian tengah utara yang menghubungkan batas Riau
Gunung Tua Rantau Prapat
(5) pengembangan jalur kereta api antar kota di pantai barat bagian utara yang menghubungkan Kota
Sibolga ke Tapak Tuan
(6) pembangunan jaur trasportasi kerea api antar kota Sibolga- Padangsidempuan Rantau Prapat,
Pematang siantar Tebing Tinggi, Kisaran Tanjung Balai.
(7) Pengembangan simpul kereta api di stasiun KA antar kota Medan, Sibolga, Pematang Siantar dan
stasiun KA kelas B di Tebing Tinggi, Kisaran, Rantau Prapat.
(8) Pengembangan jalur KA menuju pelabuhan yaitu Belawan Gabion (Pelabuhan Peti Kemas),
Bandar Tinggi Pel. Kuala Tanjung, Kisaran Pelabuhan. Tanjung. Tiram, R.Prapat A.NabaraNegeri Lama-Lab.Bilik
(9) Pengembangan jalur KA menuju bandar udara Kuala Namu.
(10) Pengoperasian kembali jalur Medan - Pancur Batu dan Medan - Deli Tua untuk antisipasi rencana
relokasi perguruan tinggi, pembangunan sarana olah raga, dan taman botani di sekitar Pancur Batu.
(11) Pembangunan jalan layang (fly over) pada beberapa titik pertemuan rel kereta api dengan jalan
raya.
Sistim Jaringan Angkutan Sungai dan Penyebrangan
Pasal 18
(1)

Jaringan transportasi sungai dan danau dan penyebrangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
ayat (1) terdiri atas:

15

(2)
(3)

(4)

a. pelabuhan sungai dan pelabuhan danau; dan


b. alur pelayaran untuk kegiatan angkutan sungai dan alur pelayaran untuk kegiatan angkutan
danau.
Jaringan transportasi penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terdiri atas
pelabuhan penyeberangan dan lintas penyeberangan.
Pelabuhan penyeberangan terdiri atas:
a. pelabuhan penyeberangan lintas antarprovinsi dan antarnegara;
b. pelabuhan penyeberangan lintas antarkabupaten/kota;dan
c. pelabuhan penyeberangan lintas dalam kabupaten/kota.
Lintas penyeberangan terdiri atas:
a. lintas penyeberangan antarprovinsi yang menghubungkan antarjaringan jalan nasional dan
antarjaringan jalur kereta api antarprovinsi;
b. lintas penyeberangan antar negara yang menghubungkan antar jaringan jalan pada kawasan
perbatasan;
c. lintas penyeberangan lintas kabupaten/kota yang menghubungkan antarjaringan jalan provinsi
dan jaringan jalur kereta api dalam provinsi; dan
d. lintas pelabuhan penyeberangan dalam kabupaten/kota yang menghubungkan antarjaringan
jalan kabupaten/kota dan jaringan jalur kereta api dalam kabupaten/kota.
Sistim Jaringan Angkutan Sungai dan Penyebrangan di Provinsi Sumatera Utara
Pasal 19

Pengembangan sistim angkutan sungai dan penyebrangan di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk :
(1) Penyebrangan lintas negara yaitu Belawan Malaysia dan Tanjung Balai Malaysia
(2) Penyebrangan lintas kabupaten/kota yaitu Sibolga- Gunung Sitoli, Ajibata Tomok, Simanindo
Tigaras, Belawan Lama- Batang Sere, Belawan Lama- Karang Gading
Rencana dan Pengembangan Sistim JaringanTransportasi Laut
Pasal 20
(1)

(2)
(3)

(4)

(5)

(6)

tatanan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) terdiri atas:
a. pelabuhan umum; dan
b. pelabuhan khusus.
pelabuhan umum terdiri atas pelabuhan internasional hub, pelabuhan internasional, pelabuhan
nasional, pelabuhan regional, dan pelabuhan lokal.
pelabuhan internasional hub dan pelabuhan internasional dikembangkan untuk:
a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional
dalam jumlah besar;
b. menjangkau wilayah pelayanan sangat luas; dan
c. menjadi simpul jaringan transportasi laut internasional.
Pelabuhan nasional dikembangkan untuk:
a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional
dalam jumlah menengah;
b. menjangkau wilayah pelayanan menengah; dan
c. memiliki fungsi sebagai simpul jaringan transportasi laut nasional.
Pelabuhan regional dikembangkan untuk:
a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran
rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah; dan
b. menjangkau wilayah pelayanan menengah.
Pelabuhan lokal dikembangkan untuk:
a. melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat,
angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil; dan
b. menjangkau wilayah pelayanan terbatas.

16

Sistim Transportasi Laut di Provinsi Sumatera Utara


Pasal 21
Pengembangan sistim transportasi laut di Provinsi Sumatera Utara diarahkan untuk :
(1) Pelabuhan internasional direncanakan di Belawan dan Sibolga, pelabuhan nasional direncanakan
di Tanjung Balai.
(2) pelabuhan skala regional dan lokal di Provinsi Sumatera Utara yang dikembangkan untuk
menunjang perkembangan aktifitas ekonomi wilayah pelayanannya, adalah :
a. pelabuhan Labuhan Bilik dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani
angkutan barang di wilayah pantai Timur bagian Selatan, sehingga komoditi setempat tidak
berorientasi ke Pelabuhan Dumai di Provinsi Riau.
b. pelabuhan Barus dikembangan sebagai pelabuahn pengumpan lokal untuk melayani pergerakan
di wilayah pantai timur Provinsi Sumatera Utara
c. pelabuhan Pangkalan Brandan dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal dengan
skala pelayanan angkutan penumpang dan barang di wilayah pantai Timur Sumatera Utara
d. pelabuhan Natal dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan
penumpang dan barang di wilayah pantai Barat bagian Selatan, sehingga komoditi setempat
tidak berorientasi ke pelabuhan Teluk Bayur di Sumatera Barat.
e. pelabuhan Gunung Sitoli dan Sirambu dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal
untuk melayani angkutan penumpang dan barang dari dan menuju Pulau Nias.
f. pelabuhan Balige, Pelabuhan Ajibata, Pelabuhan Simanindo dan Pelabuhan Pangururan
dikembangkan sebagai pelabuhan pengumpan lokal untuk melayani angkutan tourist/wisatawan
mengunjungi objek-objek wisata di daerah tujuan wisata Danau Toba.
(3) alur pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) terdiri atas alur pelayaran
internasional dan alur pelayaran nasional.

Rencana dan Pengembangan Sistim Jaringan Transportasi Udara


Pasal 22
(1)

(2)

tatanan kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) terdiri atas:
a. bandar udara umum; dan
b. bandar udara khusus.
bandar udara umum terdiri atas:
a. bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer;
b. bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan sekunder;
c. bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan tersier;dan
d. bandar udara bukan pusat penyebaran
Pasal 23

Rencana pengembangan jaringan transportasi udara terdiri dari :


(1) Bandara udara Kuala Namu, Deli Serdang sebagai pusat penyebaran primer berskala internasional
(2) Bandara udara Silangit, Siborong-borong, Tapanuli Utara sebagai pusat penyebaran tersier
(3) Bandara bandar udara Dr. Ferdinand Lumban Tobing, Sibolga ditingkatkan menjadi pusat
penyebaran sekunder
(4) Bandar Udara Aek Godang, di Tapanuli Selatan, Bandar Udara Sibisa di Toba Samosir, Bandar
udara Binaka di Gunung Sitoli Pulau Nias, Lasondre Pulau Batu sebagai pusat penyebaran tersier.
(5) Bandar udara perintis di Aek Nabara Labuhan Batu dan Madina.
Paragraf kedua
Kriteria Sistem Jaringan Transportasi
Pasal 24
(1)

Jalan arteri primer diarahkan untuk melayani pergerakan antar kota antar provinsi, dengan kriteria
sebagai berikut :

17

(2)

(3)
(4)

(5)
(6)

(7)

(8)

a. Menghubungkan antar-PKN
b. Menghubungkan antara PKN dan PKW
c. Menghubungkan PKN dan/atau PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan
primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/ nasional;
d. Berupa jalan umum yang melayani angkutan utama;
e. Melayani perjalanan jarak jauh;
f. Memungkinkan untuk lalu-lintas dengan kecepatan rata-rata tinggi; dan
g. Jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.
Jalan kolektor primer dikembangkan untuk menghubungkan antar kota dalam provinsi, dengan
kriteria sebagai berikut :
a. Menghubungkan antar-PKW;
b. Menghubungkan antara PKW dengan PKL;
c. Berupa jalan umum yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi;
d. Melayani perjalanan jarak sedang;
e. Memungkinkan untuk lalu-lintas dengan kecepatan rata-rata sedang; dan
f. Membatasi jumlah jalan masuk.
Jalan strategis nasional dikembangkan berdasarkan kriteria menghubungkan PKN dan/atau PKW
dengan kawasan strategis nasional.
Jalan tol dibangun untuk memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang dan
meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang
peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Pengembangan jalan kereta api ditetapkan dengan kriteria menghubungkan antar PKN, PKW
dengan PKN, antar PKW dan menghubungkan pusat-pusat Sentra produksi dan distribusi.
Pengembangan terminal regional tipe A, dengan kriteria sebagai berikut :
a. Lokasi terletak di PKN dan/atau di PKW dalam jaringan trayek antar kota, antar provinsi
(AKAP);
b. Terletak di jalan arteri primer dengan kelas jalan minimum IIIA;
c. Jarak antara terminal regional tipe A sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) km;
d. Luas minimum 5 (lima) ha;
e. Mempunyai akses masuk atau keluar jalan dari terminal minimum 100 (seratus)m; dan
f. Berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan AKAP, AKDP, Angkutan Perkotaan,
serta Angkutan Pedesaan
Pengembangan terminal regional tipe B, dengan kriteria sebagai berikut :
a. Lokasi terletak di PKW dan/ atau di PKL dalam jaringan trayek antar kota, antar provinsi
(AKAP);
b. Terletak di jalan arteri atau kolektor primer dengan kelas jalan minimum IIIB;
c. Jarak antara terminal regional tipe B dan/atau antara terminal regional tipe B dengan terminal
regional tipe A sekurang-kurangnya 15 (lima belas) km;
d. Luas minimum 3 (tiga) ha;
e. Mempunyai akses masuk atau keluar jalan dari terminal minimum 50 (lima puluh) m; dan
f. Berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan AKDP, Angkutan Perkotaan, serta
Angkutan Pedesaan.
Rencana pengembangan pelabuhan internasional dengan fungsi pelabuhan utama ditetapkan dengan
kriteria :
a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut internasional dalam
jumlah besar;
b. Menjangkau wilayah pelayanan sangat luas;
c. Menjadi simpul utama pendukung pengembangan produksi kawasan andalan ke pasar
internasional;
d. Berhadapan lansung dengan alur laut kepulauan Indonesia dan/atau jalur pelayaran
internasional;
e. Berjarak paling jauh 500 (lima ratus) mil dari alur laut kepulauan Indonesia atau jalur pelayaran
internasional;
f. Bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antar negara;
g. Berada di luar kawasan lindung; dan

18

h. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 12 (dua belas) meter untuk
pelabuhan internasional hub dan 9 (sembilan) meter untuk pelabuhan internasional.
(9) Rencana pengembangan pelabuhan nasional dengan fungsi pelabuhan pengumpul ditetapkan
dengan kriteria :
a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional
dalam jumlah menengah;
b. Menjangkau wilayah pelayanan menengah;
c. Memiliki fungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasn andalan ke pasar
nasional;
d. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi
antar provinsi;
e. Memberikan akses bagi pengembangan pulau-pulau kecil dan kawasan andalan laut, termasuk
pengembangan kawasan tertinggal;
f. Berada di luar kawasan lindung; dan
g. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 9 (sembilan) meter.
(10) Rencana pengembangan pelabuhan regional dengan fungsi pelabuhan pengumpul ditetapkan
dengan kriteria :
a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran
rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah;
b. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dan PKW dalam sistem
transportasi antar provinsi;
c. Berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan andalan ke pasar regional;
d. Memberi akses bagi pengembangan kawasan andalan laut, kawasan pedalaman sungai, dan
pulau-pulau kecil, termasuk pengembangan kawasan tertinggal;
e. Berada di luar kawasan lindung; dan
f. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 4 (empat) meter. 25
(11) Rencana pengembangan pelabuhan lokal dengan fungsi pelabuhan pengumpan ditetapkan dengan
kriteria :
a. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat,
angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil;
b. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKW/ PKWp atau PKL dalam
sistem transportasi antar kabupaten/kota dalam satu provinsi;
c. Berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan budidaya di sekitarnya ke
pasar lokal;
d. Berada di luar kawasan lindung;
e. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 1,5 (satu setengah) meter; dan
f. Dapat melayani pelayaran rakyat.

Bagian Keempat
Rencana Pengembangan dan Kriteria Jaringan Energi di Provinsi Sumatera Utara
Paragraf Pertama
Rencana Pengembangan Jaringan Energi di Provinsi Sumatera Utara
Pasal 25
(1)

(2)

sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. penyediaan minyak dan gas bumi;
b. pembangkit tenaga listrik; dan
c. jaringan transmisi tenaga listrik.
Pengembangan jaringan energi bertujuan untuk mewujudkan ketersediaan daya energi yang
menjangkau seluruh wilayah dalam kapasitas dan pelayanannya guna untuk peningkatan kualitas
hidup masyarakat, mendukung aspek politik dan pertahanan negara

19

Pasal 26
Pengembangan sistem jaringan energi di Provinsi Sumatera Utara adalah :
(1) pengembangan pengelolaan sistim penyediaan minyak dan gas bumi yang berasal dari Pangkalan
Susu, Kabupaten Langkat, dan Riau (Pertamina Sumbagut)
(2) Pengembangan pembangkit tenaga listrik dengan peningkatan kapasitas pembangkit tenaga listrik
antara lain PLTG/U Belawan, PLTG Paya, Pasir, PLTG Glugur, PLTD Titi Kuning, PLTA
Sipansihaporas, PLTA Renun, PLTU Labuhan Angin, PLTA Inalum, PLTP Sibayak, PLTM
Kombih I & VII, PLTM Boho, PLTM Silang, PLTM Sibundong, PLTD G. Sitali, PLTD T. Dalam,
PLTMH Batang Gadis I & II, PLTMH Aek Raisan I & II
(3) Pengembangan dan penyediaan pembangkit listrik baru yang berbasiskan pertambangan batu bara,
panas bumi, hidro, yaitu:

No
.
1
2
3
4
5
6
7
(4)

(5)
(6)

Nama Pembangkit

Jenis

PLTG Barge Maunted


Asahan I
Sumut
Sarulla
Kuala Tanjung
Paluh Merbau
Asahan III

PLTG
PLTA
PLTU
PLTP
PLTU
PLTU
PLTA

Jumlah Unit
1
2
2
3
2

Unit Size
(MW)
60

Kapasitas
(MW)
60

90

180

200

400

110
125

330

125

250
250

87

174

Pengembangan sistim jaringan terisolasi pada pulau-pulau kecil atau gugus pulau serta kawasan
terpencil dilaksanakan dengan sistem pembangkit mikrohidro, tenaga surya, tenaga angin dan
tenaga diesel.
Pengembangan sistim jaringan transmisi interkoneksi se Sumatera dan sistim energi Asean
Pengembangan sistim jaringan strasmisi SUTET dan SUTUT dengan mempertimbangkan pola
pemanfaatan ruang yang ada
Paragraf Kedua
Kriteria Jaringan Energi di Provinsi Sumatera Utara
Pasal 27

(1)

(2)

Pengembangan prasarana energi ditujukan untuk peningkatan kapasitas pembangkit listrik dengan
kriteria :
a. Mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan di kawasan perkotaan,
perdesaan, dan pulau-pulau kecil;
b. Mendukung pemanfaatan teknologi tinggi yang mampu menghasilkan energi untuk mengurangi
ketergantungan sumber energi tak terbarukan;
c. Berada pada lokasi aman dari bahaya bencana alam dan aman terhadap kegiatan lain;
d. Tidak berada pada kawasan lindung.
Pengembangan prasarana jaringan energi listrik ditetapkan dengan kriteria :
a. Mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan di kawasan perkotaan,
perdesaan, dan pulau-pulau kecil;
b. Melintasi kawasan permukiman, wilayah sungai, laut, hutan, pertanian, dan jalur transportasi;
c. Mendukung pemanfaatan teknologi tinggi yang mampu menghasilkan energi untuk mengurangi
ketergantungan sumber energi tak terbarukan;

Bagian Kelima
Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Telekomunikasi

20

Paragraf Pertama
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 28
(1)

(2)

Sistem jaringan telekomunikasi Provinsi Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf d terdiri atas :
a. jaringan terestrial dan
b. jaringan satelit termasuk yang menggunakan spektrum frekuensi radio sebagai sarana transmisi,
Pengembangan jaringan telekomunikasi bertujuan untuk mewujudkan sarana komunikasi dan
informasi yang menjangkau seluruh wilayah dalam kapasitas dan pelayanannya guna untuk
peningkatan kualitas hidup masyarakat, mendukung aspek politik dan pertahanan negara.
Pasal 29

Sistim jaringan telekomunikasi di Provinsi Sumatera Utara adalah :


(1) sistim jaringan telekomunikasi teresterial dikembangkan di jaringan pusat pertumbuhan di wilayah
pantai timur
(2) sistim jaringan telekomunikasi teresterial dikembangkan di jaringan pelayanan di PKN Mebidangro
dan di pusat pertumbuhan wilayah pantai barat
(3) sistim jaringan telekomunikasi satelit dikembangkan pada kawasan tertinggal, terisolasi dan
kawasan perbatasan yaitu Pulau Berhala serta pembangunan Stasiun Bumi di Kabupaten Karo
Paragraf Pertama
Kriteria Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 30
(1)

(2)

Pengembangan jaringan telekomunikasi dengan sistem terestrial ditetapkan dengan keriteria :


a. Jaringan dikembangkan secara berkesinambungan dan terhubung dengan jaringan nasional;
b. Menghubungkan antar pusat kegiatan; dan
c. Mendukung kawasan pengembangan ekonomi.
Pengembangan jaringan sistem satelit ditetapkan dengan kriteria :
a. Mendukung dan melengkapi pengembangan jaringan terestrial;
b. Mendukung pengembangan telekomunikasi seluler; dan
c. Pemanfaatan bersama menara untuk paling sedikit 3 (tiga) operator setiap menara.
Bagian Keenam
Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air
Paragraf Pertama
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air
Pasal 31

(1)
(2)
(3)

sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf e merupakan
sistem sumber daya air pada setiap wilayah sungai dan cekungan air tanah.
wilayah sungai meliputi wilayah sungai lintas provinsi, wilayah sungai strategis nasional dan
wilayah sungai strategis provinsi.
cekungan air tanah meliputi cekungan air tanah lintas provinsi.
Pasal 32

Pengembangan prasarana sumber daya air di Provinsi Sumatera Utara bertujuan untuk :
(1) Pengembangan, pengelolaan dan konservasi SDA antara lain sungai, danau, rawa dan sumber daya
air lainnya
(2) Pengembangan dan pengelolaan jaringan sumberdaya air bagi penyediaan air baku di pusat pusat
pertumbuhan dan kawasan perkotaan.

21

(3)
(4)

Pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi, rawa dan jaringan pengairan lainnya untuk
mendukung ketahanan pangan
Pengembangan bagi pengendalian banjir dan pengamanan pantai pada kawasan pusat pertumbuhan.
Pasal 33

Sistim Jaringan Sumaber Daya Air di Provinsi Sumatera Utara adalah :


(1) Pengembangkan waduk/bendungan, situ, dan embung, Waduk Lau Simeme (multi Purpose dam)
di Kecamatan Sibiru-biru, Kabupaten Deli Serdang.
(2) Satuan Wilayah Sungai Strategis nasiolnal adalah SWS Belawan Ular Padang, SWS Toba
Asahan dan SWS Batang Angkola -Batang Gadis.
(3) SWS Lintas Provinsi yaitu SWS Alas Singkil dengan Provinsi NAD, SWS Batang Natal-Batang
Batahan Sumatera Barat dan SWS Rokan dengan Riau.
(4) SWS Lintas Kabupaten Kota yaitu SWS Wampu - Besitang, SWS Bah Bolon, SWS Barumun
Kualuh, SWS Pulau Nias, SWS Sibundong - Batang Toru.

Paragraf Kedua
Kriteria Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air
Pasal 34
Wilayah sungai dan cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas kabupaten/kota ditetapkan dengan
kriteria melintasi dua atau lebih provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Prasarana Lingkungan
Pasal 35
Sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf f meliputi :
a. Tempat pembuangan akhir (TPA) terpadu (regional).
b. Tempat pengolahan dan atau pengelolaan limbah industri B3 dan non B3.
c. Sistem Jaringan Drainase.
d. Sistem pengelolaan air minum (SPAM).
e. Sarana dan prasarana lingkungan yang sifatnya menunjang kehidupan masyarakat

Paragraf Pertama
Rencana Pengembangan Sistem Jaringan Prasarana Lingkungan
Pasal 36
Rencana pengembangan sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud pasal 35 adalah upaya
bersama dalam menghadapi dampak lingkungan, maka perlu dikembangkan lokasi yang digunakan
bersama antara kabupaten/ kota dengan sistem pengelolaan yang berwawasan lingkungan.
Pasal 37
(1)

(2)

Arahan pengembangan pengelolaan jaringan persampahan dimaksudkan untuk:


a. Meningkatkan pengembangan pengelolaan lingkungan di permukiman baik di perkotaan
maupun pedesaan yang dapat berpengaruh langsung untuk memperbaiki dan meningkatkan
kesehatan individu
b. Meningkatkan dan mempertahankan kualitas lingkungan dan sumber daya alam terutama air
dari kerusakan dan penurunan kualitasnya yang disebagkan oleh pencemaran.
Sistim Jaringan Persampahan terdiri dari :

22

(3)

a. Revitalisasi TPA yang telah ada dari sistim open dumping menjadi control lanfill pada TPA
Terjun Kota Medan, TPA Namo Bintang, TPA Pancur Batu, TPA Tanjung Mowawa
Kabupaten Deliserdang, TPA Mencirim di Kota Binjai
b. Penyediaan TPA Regional dan pengolahan sampah/limbah regional untuk melayani kawasan
perkotaan antara lain Kawasan Mebidangro, Kota Siboga kota Pandan, Tapanuli Tengah,
Kota Tebing Tinggi - Rampah Serdang Bedagei, Kota Tanjung Balai-Kisaran, Asahan, Kota
Pematang Siantar - Kabupaten Simalungun dan di Kabupaten Nias
Arahan pengembangan sistem jaringan air minum di Provinsai Sumatera Utara adalah sebagai
berikut :
a Jaringan air minum dikembangkan di pusat-pusat primer dan sekunder. Di kota tertentu lainnya
yang memiliki potensi permintaan cukup memadai dapat dikembangkan sistem penyediaan air
bersih.
b Prasarana air minum yang dikembangkan meliputi fasilitas air bersih dan sumber air yang akan
dimanfaatkan guna meningkatkan pelayanan air minum yang memenuhi standar kesehatan.
Paragraf Kedua
Kriteria Sistem Prasarana Lingkungan
Pasal 38

Sistem prasarana lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) ditetapkan dengan
kriteria mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB IV
RENCANA POLA RUANG WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 39
(1)

(2)

(3)

(4)

Rencana pola ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara meliputi:


a. kawasan lindung provinsi; dan
b. kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis provinsi.
Kawasan lindung provinsi terdiri atas:
a. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya;
b. kawasan perlindungan setempat;
c. kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya;
d. kawasan rawan bencana alam;
e. kawasan lindung lainnya
Kawasan budi daya terdiri atas:
a. kawasan peruntukan hutan produksi;
b. kawasan peruntukan hutan rakyat;
c. kawasan peruntukan pertanian;
d. kawasan peruntukan perkebunan;
e. kawasan peruntukan perikanan;
f. kawasan peruntukan peternakan;
g. kawasan peruntukan pertambangan;
h. kawasan peruntukan industri;
i. kawasan peruntukan pariwisata;
j. kawasan peruntukan permukiman; dan/atau
k. kawasan peruntukan lainnya
rencana pola ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara digambarkan dalam peta dengan tingkat
ketelitian 1:250.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

23

Bagian Kedua
Rencana Pengembangan Kawasan Lindung
Paragraf Pertama
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya
Pasal 40
Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (2) huruf a terdiri atas:
(1) kawasan hutan lindung, berada pada ketinggian 2.000 meter d.p.l. dengan kelerengan lebih dari
45%, mempunyai skor lebih dari 175, mempunyai jenis tanah dengan nilai 5 (regosol, litosol,
organosol dan rezina) dan kelas lereng lebih besar dari 15 %, memiiki bercurah hujan tinggi dan
mampu meresapkan air ke dalam tanah, termasuk kawasan tanah gambut dengan ketebalan 3 m
yang terdapat dibagian hulu sungai/rawa dan yang ditetapkan sebagai hutan lindung
(2) kawasan lahan gambut di Kabupaten Asahan, Labuhan Batu, Tapanuli Tengah serta hutan
mangrove di kawasan pantai timur.
(3) kawasan resapan terletak menyebar di wilayah kabupaten dan kota, yang secara rinci kawasan
tersebut akan ditetapkan oleh masingmasing kabupaten dan kota;

Kriteria kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya


Pasal 41
(1)

(2)
(3)

Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasa 34 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan
kriteria:
a. kawasan hutan dengan faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan yang jumlah
hasil perkalian bobotnya sama dengan 175 (seratus tujuh puluh lima) atau lebih;
b. kawasan hutan yang mempunyai kemiringan lereng paling sedikit 40% (empat puluh persen);
atau
c. kawasan hutan yang mempunyai ketinggian paling sedikit 2.000 (dua ribu) meter di atas
permukaan laut.
Kawasan bergambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan
kriteria ketebalan gambut 3 (tiga) meter atau lebih yang terdapat di hulu sungai atau rawa.
Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan
kriteria kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan dan sebagai
pengontrol tata air permukaan.

Paragraf Kedua
Kawasan perlindungan setempat
Pasal 42
kawasan perlindungan setempat di Provinsi Sumatera Utara terdiri atas:
(1) kawasan sempadan pantai, meliputi dataran sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional
dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dihitung dari sepertiga titik pasang
tertinggi ke arah daratan;
(2) kawasan sempadan sungai meliputi daratan sepanjang kiri dan kanan sungai-sungai besar dan kecil;
(3) kawasan sekitar danau/waduk, meliputi daratan sekeliling tepian yang lebarnya proporsional
dengan bentuk kondisi fisik danau/waduk (antara 50 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah
daratan);
(4) kawasan sekitar mata air, meliputi kawasan sekurang-kurangnya dengan radius 200 meter di
sekililing mata air, kecuali untuk kepentingan umum;
(5) Ruang terbuka hijau kota ditetapkan 30% dari luas wilayah dengan dominasi komunitas tumbuhan
yang dapat berbentuk satu hamparan, berbentuk jalur dan atau kombinasi keduanya.

24

Kriteria kawasan perlindungan setempat


Pasal 43
(1)

(2)

(3)

(4)

Sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf a ditetapkan dengan
kriteria:
a. daratan sepanjang tepian laut dengan jarak paling sedikit 100 (seratus) meter dari titik pasang
air laut tertinggi ke arah darat; atau
b. daratan sepanjang tepian laut yang bentuk dan kondisi fisik pantainya curam atau terjal dengan
jarak proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik pantai.
Sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf b ditetapkan dengan
kriteria:
a. daratan sepanjang tepian sungai bertanggul dengan lebar paling sedikit 5 (lima) meter dari kaki
tanggul sebelah luar;
b. daratan sepanjang tepian sungai besar tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan
lebar paling sedikit 100 (seratus) meter dari tepi sungai; dan
c. daratan sepanjang tepian anak sungai tidak bertanggul di luar kawasan permukiman dengan
lebar paling sedikit 50 (lima puluh) meter dari tepi sungai.
Kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf c
ditetapkan dengan kriteria:
a. daratan dengan jarak 50 (lima puluh) meter sampai dengan 100 (seratus) meter dari titik pasang
air danau atau waduk tertinggi; atau sepanjang tepian danau atau waduk yang lebarnya
proporsional terhadap bentuk dan kondisi fisik danau atau waduk.
Ruang terbuka hijau kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf d ditetapkan dengan
kriteria:
a. lahan dengan luas paling sedikit 2.500 (dua ribu lima ratus) meter persegi;
b. berbentuk satu hamparan, berbentuk jalur, atau kombinasi dari bentuk satu hamparan dan jalur;
dan
c. didominasi komunitas tumbuhan.
Paragraf Ketiga
Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya
Pasal 44

Kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya di Provinsi Sumatera Utara, terdiri atas:
(1) Kawasan cagar alam antara lain Sibolangit (Deli Serdang); Liang Balik dan Batu Ginurit (Labuhan
Batu); Dolok Sibual buali (Tapanuli Selatan), Dolok Sipirok (Tapanuli Selatan), Sei Ledong
(Labuhan Batu), Lubuk Raya Tapanuli Selatan
(2) Kawasan Suaka margasatwa antara lain Karang Gading (Deli Serdang dan Langkat); Siranggas
(Dairi); Dolok Surungan (Toba Samosir); Dolok Saut (Tapanuli Utara), Barumun (Tapanuli
Selatan) dan Pulau Nias serta kawasan pantai hutan bakau atau hutan mangrove.
(3) Kawasan pelestarian alam termasuk di dalamnya adalah Taman Nasional Gunung Leuser di
Langkat; Taman Nasional Batang Gadis di Mandailing Natal, Taman Hutan Raya Bukit Barisan
(Deli Serdang, Simalungun, Karo, dan Langkat), Taman Wisata Alam di Sibolangit (Deli Serdang),
Holiday Resort (Labuhan Batu), Lau Debuk-Debuk (Karo), Deleng Lancuk (Karo), Si Cikeh-Cikeh
(Dairi), Sijaba Hutan Ginjang (Tapanuli Utara), dan Muara (Tapanuli Utara).
(4) Kawasan cagar budaya yaitu kawasan yang merupakan lokasi bangunan hasil budaya manusia
yang bernilai tinggi maupun yang memiliki bentuk geologi alami yang khas. Terdapat di kawasan
permukiman baik di perkotaan maupun di pedesaan antara lain, Kompeks Istana Maimoon, rumah
adat Lingga di Simalungun, makam batu dan permukiman tradisionil di Tomok pulau Samosir
permukiman tradisional di Pulau Nias.
(5) Pulau-pulau kecil dengan luasan maksimal 10 km2 yang terletak di perairan pantai Barat dan di
perairan Pantai Timur.
(6) Kawasan Pantai Berhutan Bakau atau hutan mangrove, terletak membentang di wilayah Pantai
Timur dari pantai utara Kabupaten Langkat ke daerah selatan pantai Kabupaten Labuhan Batu. Di

25

wilayah
Pantai
Barat
membujur
Tengah serta di daerah ke Kepulauan Nias.

dari

pantai

selatan

Kabupaten

Tapanuli

Kriteria kawasan suaka alam, pelestarian alam, dan cagar budaya


Pasal 45
(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf a ditetapkan dengan
kriteria:
a. kawasan yang memiliki keanekaragaman biota, ekosistem, serta gejala dan keunikan alam yang
khas baik di darat maupun di perairan; dan/atau b. mempunyai fungsi utama sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman jenis biota, ekosistem, serta gejala dan keunikan alam yang
terdapat di dalamnya.
Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3)
huruf b ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki ekosistem khas, baik di lautan maupun di perairan lainnya; dan
b. merupakan habitat alami yang memberikan tempat atau perlindungan bagi perkembangan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa.
Suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3)
huruf c ditetapkan dengan kriteria:
a. merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari suatu jenis satwa yang perlu dilakukan
upaya konservasinya;
b. memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi;
c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; atau
d. memiliki luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.
Cagar alam dan cagar alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf d ditetapkan
dengan kriteria:
a. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa, dan tipe ekosistemnya;
b. memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;
c. memiliki kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli atau belum diganggu
manusia;
d. memiliki luas dan bentuk tertentu; atau
e. memiliki ciri khas yang merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya
memerlukan konservasi.
Kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf e ditetapkan
dengan kriteria koridor di sepanjang pantai dengan lebar paling sedikit 130 (seratus tiga puluh) kali
nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan, diukur dari garis air surut
terendah ke arah darat.
Taman nasional dan taman nasional laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf f
ditetapkan dengan kriteria:
a. berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan satwa yang beragam;
b. memiliki luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologi secara alami;
c. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis
satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh;
d. memiliki paling sedikit satu ekosistem yang terdapat di dalamnya yang secara materi atau fisik
tidak boleh diubah baik oleh eksploitasi maupun pendudukan manusia; dan
e. memiliki keadaan alam yang asli untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam.
Taman hutan raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf g ditetapkan dengan
kriteria:
a. berhutan atau bervegetasi tetap yang memiliki tumbuhan dan/atau satwa yang beragam;
b. memiliki arsitektur bentang alam yang baik;
c. memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata;
d. d merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang
ekosistemnya masih utuh maupun kawasan yang sudah berubah;
e. memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam; dan

26

f.

(8)

(9)

memiliki luas yang memungkinkan untuk pengembangankoleksi tumbuhan dan/atau satwa jenis
asli dan/atau bukan asli.
Taman wisata alam dan taman wisata alam laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal34 ayat (3)
huruf h ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa dan ekosistemnya yang masih asli serta
formasi geologi yang indah, unik, dan langka;
b. memiliki akses yang baik untuk keperluan pariwisata;
c. memiliki luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi kegiatan wisata alam; dan
d. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan kegiatan wisata alam.
Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) huruf
i ditetapkan dengan kriteria sebagai hasil budaya manusia yang bernilai tinggi yang dimanfaatkan
untuk pengembangan ilmu pengetahuan.

Paragraf Keempat
Kawasan Bencana Alam Geologi
Pasal 46
(1)

Kawasan rawan bencana alam geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (5) huruf b
terdiri atas:
a. kawasan rawan letusan gunung berapi;
b. kawasan rawan gempa bumi;
c. kawasan rawan gerakan tanah;
d. kawasan yang terletak di zona patahan aktif;
e. kawasan rawan tsunami;
f. kawasan rawan abrasi; dan
g. kawasan rawan bahaya gas beracun.

(2)

Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (5) huruf c terdiri atas:
a. kawasan imbuhan air tanah; dan
b. sempadan mata air.

Pasal 47
Kawasan bencana aam geologi di Provinsis sumatera utara terletak pada :
(1) kawasan rawan tanah longsor; termasuk dalam kawasan ini sekeliling Danau Toba, Tapanuli
Selatan bagian Selatan, Utara Sibolga, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Tapanuli Tengah, bagian
selatan Mandailing Natal, Asahan, Labuhan Batu, Langkat, Pulau Nias bagian Selatan dan bagian
Tengah. Sebagian besar wilayah Sumatera Utara di sekitar Bukit Barisan membujur arah Utara Selatan pada dasarnya potensial terhadap gerakan tanah, rayapan, longsoran, gelombang pasang dan
banjir bandang.
(2) kawasan rawan gelombang pasang; terletak pada wilayah Pantai Timur dan Pantai Barat Provinsi
Sumatera Utara serta wilayah pantai Pulau Nias
(3) kawasan rawan banjir terletak pada kawasan perkotaan di sepanjang Pantai Timur yang dilalui oleh
jalur lintas timur sumatera
(4) Kawasan rawan kebakaran hutan terletak di

Kriteri Kawasan Bencana Alam Geologi


Pasal 48
(1)

Kawasan rawan letusan gunung berapi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf a
ditetapkan dengan kriteria:
a. wilayah di sekitar kawah atau kaldera; dan/atau

27

(2)

(3)
(4)

(5)
(6)
(7)

b. wilayah yang sering terlanda awan panas, aliran lava, aliran lahar lontaran atau guguran batu
pijar dan/atau aliran gas beracun.
Kawasan rawan gempa bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf b ditetapkan
dengan kriteria kawasan yang berpotensi dan/atau pernah mengalami gempa bumi dengan skala VII
sampai dengan XII Modified Mercally Intensity (MMI).
Kawasan rawan gerakan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf c ditetapkan
dengan kriteria memiliki tingkat kerentanan gerakan tanah tinggi.
Kawasan yang terletak di zona patahan aktif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) huruf
d ditetapkan dengan kriteria sempadan dengan lebar paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) meter
dari tepi jalur patahan aktif.
Kawasan rawan tsunami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf e ditetapkan dengan
kriteria pantai dengan elevasi rendah dan/atau berpotensi atau pernah mengalami tsunami.
Kawasan rawan abrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf f ditetapkan dengan
kriteria pantai yang berpotensi dan/atau pernah mengalami abrasi.
Kawasan rawan bahaya gas beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) huruf g
ditetapkan dengan kriteria wilayah yang berpotensi dan/atau pernah mengalami bahaya gas
beracun.
Pasal 49

(1)

(2)

(3)

Kawasan rawan tanah longsor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf a ditetapkan
dengan kriteria kawasan berbentuk lereng yang rawan terhadap perpindahan material pembentuk
lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran.
Kawasan rawan gelombang pasang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf b
ditetapkan dengan kriteria kawasan sekitar pantai yang rawan terhadap gelombang pasang dengan
kecepatan antara 10 sampai dengan 100 kilometer per jam yang timbul akibat angin kencang atau
gravitasi bulan atau matahari.
Kawasan rawan banjir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) huruf c ditetapkan dengan
kriteria kawasan yang diidentifikasikan sering dan/atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam
banjir.
Pasal 50

(1)

(2)

Kawasan imbuhan air tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf a ditetapkan
dengan kriteria:
a. memiliki jenis fisik batuan dengan kemampuan meluluskan air dengan jumlah yang berarti;
b. memiliki lapisan penutup tanah berupa pasir sampai lanau;
c. memiliki hubungan hidrogeologis yang menerus dengan daerah lepasan; dan/atau
d. memiliki muka air tanah tidak tertekan yang letaknya lebih tinggi daripada muka air tanah yang
tertekan.
Kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (3) huruf b ditetapkan
dengan kriteria:
a. daratan di sekeliling mata air yang mempunyai manfaat untuk mempertahankan fungsi mata
air; dan
b. wilayah dengan jarak paling sedikit 200 (dua ratus) meter dari mata air.
Kawasan lindung lainnya
Pasal 51

Kawasan lindung lainnya di Provinsi Sumatera Utara terdiri atas ;


(1) cagar biosfer;
(2) ramsar;
(3) kawasan lindung Taman Buru Pulau Pini di kepulauan Nias .
(4) kawasan perlindungan plasma nutfah;
(5) kawasan pengungsian satwa;

28

(6)

(7)

kawasan terumbu karang terletak di pesisir pantai Kabupaten Tapanuli Selatan, perairan Kabupaten
Tapanuli Tengah yaitu perairan pulau Poncan Godang, Poncan Kecil, Pulau Unggas, Pulau Bakal,
Pulau Tunggul Nasi, Pulau Bansalar dan Pulau Talam, di kepulauan Nias sekitar perairan Pulau
Nias, Pulau Masin, Pulau Pasakek, Pulau Sumbawa dan Pulau Kasik, di Pantai Timur perairan
sekitar pulau Berhala Kabupaten Serdang Bedagai
kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi

Kriteria kawasan lindung lainnya


Pasal 52
(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

Cagar biosfer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki keterwakilan ekosistem yang masih alami, kawasan yang sudah mengalami degradasi,
mengalami modifikasi, atau kawasan binaan;
b. memiliki komunitas alam yang unik, langka, dan indah;
c. merupakan bentang alam yang cukup luas yang mencerminkan interaksi antara komunitas alam
dengan manusia beserta kegiatannya secara harmonis; atau
d. berupa tempat bagi pemantauan perubahan ekologi melalui penelitian dan pendidikan.
Ramsar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf b ditetapkan dengan kriteria:
a. berupa lahan basah baik yang bersifat alami atau mendekati alami yang mewakili langka atau
unit yang sesuai dengan biogeografisnya;
b. mendukung spesies rentan, langka, hampir langka, atau ekologi komunitas yang terancam;
c. mendukung keanekaragaman populasi satwa dan/atau flora di wilayah biogeografisnya; atau
d. merupakan tempat perlindungan bagi satwa dan/atau flora saat melewati masa kritis dalam
hidupnya.
Taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf c ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki luas yang cukup dan tidak membahayakan untuk kegiatan berburu; dan
b. terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan yang memungkinkan perburuan secara teratur dan
berkesinambungan dengan mengutamakan segi aspek rekreasi, olahraga, dan kelestarian satwa.
Kawasan perlindungan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf d
ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki jenis plasma nutfah tertentu yang memungkinkan kelangsungan proses
pertumbuhannya; dan
b. memiliki luas tertentu yang memungkinkan kelangsungan proses pertumbuhan jenis plasma
nutfah.
Kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf e ditetapkan
dengan kriteria:
a. merupakan tempat kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut;
b. merupakan tempat kehidupan baru bagi satwa; dan
c. memiliki luas tertentu yang memungkinkan berlangsungnya proses hidup dan kehidupan serta
berkembangbiaknya satwa.
Terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (6) huruf f ditetapkan dengan kriteria:
a. berupa kawasan yang terbentuk dari koloni masif dari hewan kecil yang secara bertahap
membentuk terumbu karang;
b. terdapat di sepanjang pantai dengan kedalaman paling dalam 40 (empat puluh) meter; dan
c. dipisahkan oleh laguna dengan kedalaman antara 40 (empat puluh) sampai dengan 75 (tujuh
puluh lima) meter.
Kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 ayat (6) huruf g ditetapkan dengan kriteria:
a. berupa kawasan memiliki ekosistem unik, biota endemik, atau proses-proses penunjang
kehidupan;
b. mendukung alur migrasi biota laut.
Pasal 53

29

(1)

(2)

Sebaran kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) dan ayat (6), serta Pasal
53 ayat (1) dengan luas paling sedikit 1.000 (seribu) hektar tercantum dalam Lampiran VIII yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
Sebaran kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) dan ayat (6), serta Pasal
53 ayat (1) dengan luas kurang dari 1.000 (seribu) hektar dan sebaran kawasan lindung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), serta Pasal 53 ayat (2) dan
ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Bagian Ketiga
Rencana Pengembangan Kawasan Budi Daya
Paragraf Pertama
Kawasan peruntukan hutan produksi
Pasal 54
Kawasan peruntukan hutan produksi di Provinsi Sumatera utara terdiri atas:
(1) kawasan peruntukan hutan produksi terbatas, berlokasi di Kabupaten Langkat, Karo, Dairi, Pakpak Bharat , Tapanuli Tengah bagian Utara, Tapanuli Utara bagian Selatan, Simalungun bagian
Selatan, Asahan, Labuhan Batu bagian Barat, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal (di sekitar
kawasan lindung), Toba Samosir, Pulau Nias bagian Utara dan Timur, Pulau Tanahmasa bagian
Selatan, dan Pulau Tanahbala bagian Tengah.
(2) kawasan peruntukan hutan produksi tetap, berlokasi di Kabupaten Langkat sebelah Barat, Deli
Serdang bagian Selatan, Simalungun bagian Utara dan Barat, Asahan bagian Selatan, Labuhan Batu
bagian Utara dan Timur, kawasan sekitar Danau Toba (Toba Samosir), Mandailing Natal bagian
Selatan dan Utara, Tapanuli Selatan bagian Timur, hutan Siosar (Karo) serta di Pulau Nias, Pulau
Tanahmasa dan Tanahbala.
(3) kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi, berlokasi di Kabupaten Asahan,
Labuhan Batu, dan Pulau Nias dan sekitarnya, Deli Serdang, Dairi dan Tapanuli Selatan.

Kriteria Kawasan peruntukan hutan produksi


Pasal 55
(1)

(2)

(3)

(4)

kawasan peruntukan hutan produksi terbatas ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan
lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor 125 (seratus dua puluh lima) sampai
dengan 174 (seratus tujuh puluh empat).
kawasan peruntukan hutan produksi tetap ditetapkan dengan kriteria memiliki faktor kemiringan
lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling besar 124 (seratus dua puluh
empat).
kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki faktor kemiringan lereng, jenis tanah, dan intensitas hujan dengan jumlah skor paling
besar 124 (seratus dua puluh empat); dan/atau
b. merupakan kawasan yang apabila dikonversi mampu mempertahankan daya dukung dan daya
tampung lingkungan.
kriteria teknis kawasan peruntukan hutan produksi terbatas, kawasan peruntukan hutan produksi
tetap, dan kawasan peruntukan hutan produksi yang dapat dikonversi ditetapkan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang kehutanan.

Paragraf Kedua
Kawasan peruntukan hutan tanaman rakyat

30

Pasal 56
Kriteria Kawasan peruntukan hutan tanaman rakyat
Pasal 57
(1)
(2)

kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan dengan kriteria kawasan yang dapat diusahakan
sebagai hutan oleh orang pada tanah yang dibebani hak milik.
kriteria teknis kawasan peruntukan hutan rakyat ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang kehutanan.

Paragraf Ketiga
Kawasan peruntukan pertanian
Pasal 58
(1)
(2)

kawasan budidaya pertanian terdiri atas kawasan pertanian tanaman pangan, kawasan pertanian
tanaman perkebunan, kawasan peternakan, kawasan perikanan, dan kawasan kehutanan;
rencana pengembangan kawasan budidaya pertanian tanaman pangan adalah :
a. kawasan budidaya pertanian tanaman pangan terdiri dari tanaman pangan lahan basah dan
pertanian tanaman pangan lahan kering dengan jenis tanaman padi sawah dan padi ladang,
palawija, dan hortikultura;
b. lokasi pertanian lahan basah yang tersebar di seluruh kabupaten tetap dipertahankan dan untuk
beberapa lokasi dilakukan pengembangan pada lahan yang sesuai dan belum dimanfaatkan
untuk kegiatan lain, yaitu di Langkat, Asahan, Labuhan Batu, Karo, Tapanuli Utara, Toba
Samosir, Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Nias.
c. lokasi lahan kering yang merupakan lahan pertanian tanaman pangan yang ada tetap
dipertahankan dan dilakukan pengembangan pada lahan yang sesuai, antara lain di kabupaten
Tapanuli Selatan, Labuhan Batu, Tapanuli Utara, Simalungun, Dairi, Toba Samosir, dan
Langkat;

Pasal 59
(1)

rencana pengembangan kawasan perkebunan adalah:


a. kawasan budidaya tanaman perkebunan/kegiatan perkebunan merupakan sektor hulu dari
kegiatan industri pengolahan hasil perkebunan, khususnya industri pengolahan minyak kelapa
sawit dan berbagai kegiatan hilir lainnya;
b. pengembangan perkebunan diarahkan ke beberapa lokasi yang sesuai, diantaranya : di
Kabupaten Langkat, Karo, Dairi, Tapanuli Utara, Labuhan Batu, Tapanuli Selatan, dan Nias,
sedangkan untuk perkebunan besar di Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Toba Samosir,
Tapanuli Utara, Labuhan Batu, dan Tapanuli Selatan.
Pasal 60

(1)

rencana pengembangan kawasan peternakan adalah:


a. kawasan budidaya peternakan diarahkan sesuai dengan lokasi kegiatan pertanian, baik lahan
basah, lahan kering, maupun kebun campuran;
b. pengembangan jenis ternak besar potensial di Kabupaten Nias, Tapanuli Selatan, Tapanuli
Tengah, Tapanuli Utara, Dairi, Simalungun, Karo, Langkat, Deli Serdang, Labuhan Batu,
Asahan, Toba Samosir, dan Mandailing Natal. Jenis ternak kecil dikembangkan di seluruh
kabupaten/kota, kecuali kota Pematangsiantar, Medan, dan kabupaten Mandailing Natal

Kriteria Kawasan peruntukan pertanian


Pasal 61

31

(1)

(2)
(3)

(4)
(5)

(6)

kawasan peruntukan pertanian lahan basah ditetapkan dengan kriteria:


a. memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian;
b. ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan abadi;
c. mendukung ketahanan pangan nasional; dan/atau
d. dapat dikembangkan sesuai dengan tingkat ketersediaan air.
kriteria teknis kawasan peruntukan pertanian ditetapkan oleh instansi yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang pertanian.
kawasan peruntukan perkebunan ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki kesesuaian lahan untuk perkebunan
b. memiliki lahan yang cukup untuk pengembangan kegiatan perkebunan
c. didukung oleh prasarana dan sarana yang memadai untuk pengembangannya
kriteria teknis kawasan peruntukan perkebunan ditetapkan oleh instansi bertanggung jawab di
bidang perkebunan .
kawasan peruntukan peternakan ditetapkan dengan kriteria:
a. terdapat pada wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan peternakan
b. tidak mengganggu lingkungan sosial kemasyarakatan serta lingkungan disekitarnya
kriteria teknis kawasan peruntukan peternakan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang peternakan
Paragraf Keempat
Kawasan peruntukan perikanan
Pasal 62

(1)

(2)

(3)

rencana pengembangan kawasan budidaya perikanan adalah:


a. pemanfaatan lahan perikanan budidaya tersebar di seluruh kabupaten/kota, sedangkan
pengembangan pemanfaatan ruang bagi perikanan danau di kabupaten yang memiliki kawasan
danau terutama di Toba Samosir; Simalungun, Tapanuli Utara, Karo, Dairi dan Tapanuli
Selatan;
b. perikanan laut dikembangkan di seluruh daerah kabupaten/kota yang memiliki potensi
perikanan laut terutama di kabupaten Asahan, Langkat, Deli Serdang, Sibolga, Tanjung Balai,
Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, Nias, Labuhan Batu dan Kota Medan.
kawasan peruntukan perikanan ditetapkan dengan kriteria:
a. wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan penangkapan, budi daya, dan industri
pengolahan hasil perikanan; dan/atau
b. tidak mengganggu kelestarian lingkungan hidup.
kriteria teknis kawasan peruntukan perikanan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang perikanan.
Paragraf Kelima
Kawasan peruntukan pertambangan
Pasal 63

(1)

(2)

(3)

kawasan peruntukan pertambangan yang memiliki nilai strategis nasional terdiri atas pertambangan
mineral dan batubara, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan panas bumi, serta air
tanah.
kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki sumber daya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan
peta/data geologi;
b. merupakan wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk pemusatan kegiatan pertambangan secara
berkelanjutan; dan/atau
c. merupakan bagian proses upaya merubah kekuatan ekonomi potensial menjadi kekuatan
ekonomi riil.
kriteria teknis kawasan peruntukan pertambangan ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab
di bidang pertambangan.

32

Paragraf Kelima
Kawasan peruntukan Industri
Pasal 64
.
(1)

(2)

(3)

wilayah pengembangan industri khususnya Pengembangan industri kecil diarahkan di seluruh


kabupaten/kota, baik berupa industri pengolahan hasil pertanian maupun jenis industri rumah
tangga lainnya. Sedangkan untuk industri besar dan menengah diarahkan di Kawasan Perkotaan
Mebidang sebagai pusat kegiatan industri terbesar di Sumatera Utara, sedangkan industri besar dan
menengah lainnya diarahkan di Labuhan Batu termasuk Rantau Prapat, di Asahan termasuk
Tanjungbalai, serta Pematangsiantar. Bagi Kabupaten Toba Samosir, kota Porsea dan Balige
sebagai pusat industri dan untuk kota Sibolga serta kota lainnya di Pantai Barat, Padangsidimpuan
untuk industri pengolahan hasil perikanan.
kawasan peruntukan industri ditetapkan dengan kriteria:
a. berupa wilayah yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan industri;
b. tidak mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan/atau
c. tidak mengubah lahan produktif.
kriteria teknis kawasan peruntukan industri ditetapkan oleh instansi yang bertanggung jawab di
bidang industri.
Paragraf Keenam
Kawasan peruntukan pariwisata
Pasal 65

(1)

(2)

(3)

kawasan pariwisata diarahkan untuk dikembangkan di kawasan yang memiliki obyek wisata yang
potensial. Pengembangan kawasan wisata utama diarahkan di Danau Toba dan sekitarnya untuk
wisata alam dan budaya; Nias dan sekitarnya untuk wisata alam, budaya, dan minat khusus;
Brastagi dan Tanah Karo untuk wisata alam dan budaya; serta Bahorok untuk wisata alam, minat
khusus, dan budaya. Kawasan Pantai Timur sekitar kabupaten Deli Serdang dan kawasan Pantai
Barat Kabupaten Tapanuli Tengah dan Sibolga dan Mandailing Natal untuk wisata bahari dan
minat khusus.
kawasan peruntukan pariwisata ditetapkan dengan kriteria:
a. memiliki objek dengan daya tarik wisata; dan/atau
b. mendukung upaya pelestarian budaya, keindahan alam, dan lingkungan.
kriteria teknis kawasan peruntukan pariwisata ditetapkan instansi yang bertanggung jawab di
bidang pariwisata.
Paragraf Keenam
Kawasan peruntukan permukiman
Pasal 66

(1)
(2)

(3)

kawasan permukiman diarahkan pada kawasan perkotaan Mebidangro serta kawasan perkotaan
pada ibu kota kabupaten/kota.
kawasan peruntukan permukiman ditetapkan dengan kriteria:
a. berada di luar kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan rawan bencana;
b. memiliki akses menuju pusat kegiatan masyarakat di luar kawasan; dan/atau
c. memiliki kelengkapan prasarana, sarana, dan utilitas pendukung.
kriteria teknis kawasan peruntukan permukiman ditetapkan oleh instansi yang bertanggung
jawabnya di bidang perumahan dan permukiman.

BAB IV
PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS PROVINSI SUMATERA UTARA
Bagian Ke satu
Umum
Pasal 67

33

Penetapan kawasan strategis di Provinsi Sumatera Utara dilakukan berdasarkan kepentingan:


(1) pertahanan dan keamanan;
(2) pertumbuhan ekonomi;
(3) sosial dan budaya;
(4) pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi; dan/atau
(5) fungsi dan daya dukung lingkungan hidup
Pasal 68
Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pertahanan dan keamanan ditetapkan dengan kriteria:
a. Diperuntukkan bagi kepentingan pemeliharaan keamanan dan pertahanan negara berdasarkan
geostrategi nasional;
b. Diperuntukkan bagi basis militer, daerah latihan militer, daerah pembuangan amunisi dan
peralatan pertahanan lainnya, gudang amunisi, daerah uji coba system persenjataan, dan/atau
kawasan industri sistem pertahanan; atau
c. Merupakan wilayah kedaulatan negara termasuk pulau-pulau kecil terluar yang berbatasan
langsung dengan Negara tetangga dan/atau laut lepas.

Pasal 69
Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pertumbuhan ekonomi ditetapkan dengan kriteria:
a. Memiliki potensi ekonomi cepat tumbuh;
b. Memiliki sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional;
c. Memiliki potensi ekspor;
d. Didukung jaringan prasarana dan fasilitas penunjang kegiatan ekonomi;
e. Memiliki kegiatan ekonomi yang memanfaatkan teknologi tinggi;
f. Berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi pangan nasional dalam rangka mewujudkan
ketahanan pangan nasional;
g. Berfungsi untuk mempertahankan tingkat produksi sumber energi dalam rangka mewujudkan
ketahanan energi nasional; atau
h. Ditetapkan untuk mempercepat pertumbuhan kawasan tertinggal.
Pasal 70
Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan sosial dan budaya ditetapkan dengan kriteria:
a. Merupakan tempat pelestarian dan pengembangan adat istiadat atau budaya nasional;
b. Merupakan prioritas peningkatan kualitas sosial dan budaya serta jati diri bangsa;
c. Merupakan aset nasional atau internasional yang harus dilindungi dan dilestarikan;
d. Merupakan tempat perlindungan peninggalan budaya nasional;
e. Memberikan perlindungan terhadap keanekaragaman budaya; atau
f. Memiliki potensi kerawanan terhadap konflik sosial skala nasional.
Pasal 71
Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi
tinggi ditetapkan dengan kriteria:
a. Diperuntukkan bagi kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan
lokasi sumber daya alam strategis nasional, pengembangan antariksa, serta tenaga atom dan
nuklir;
b. Memiliki sumber daya alam strategis nasional;
c. Berfungsi sebagai pusat pengendalian dan pengembangan antariksa;
d. Berfungsi sebagai pusat pengendalian tenaga atom dan nuklir; atau
e. Berfungsi sebagai lokasi penggunaan teknologi tinggi strategis.

34

Pasal 72
Kawasan strategis provinsi dari sudut kepentingan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup ditetapkan
dengan kriteria:
a. Merupakan tempat perlindungan keanekaragaman hayati;
b. Merupakan aset nasional berupa kawasan lindung yang ditetapkan bagi perlindungan
ekosistem, flora dan/atau fauna yang hampir punah atau diperkirakan akan punah yang harus
dilindungi dan/atau dilestarikan;
c. Memberikan perlindungan keseimbangan tata guna air yang setiap tahun berpeluang
menimbulkan kerugian negara;
d. Memberikan perlindungan terhadap keseimbangan iklim makro;
e. Menuntut prioritas tinggi peningkatan kualitas lingkungan hidup;
f. Rawan bencana alam nasional; atau
g. Sangat menentukan dalam perubahan rona alam dan mempunyai dampak luas terhadap
kelangsungan kehidupan.

Tujuan Kawasan Strategis Provinsi Sumatera Utara


Pasal 73
1. Mendukung terciptanya struktur ruang Propinsi Sumatera Utara yang dituju.
2. Meningkatkan fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya yang terpadu dan serasi.
3. Menciptakan kawasan unggulan yang potensial dikembangkan secara nasional untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi Propinsi Sumatera Utara dan wilayah Sumatera bagian Utara.
4. Membangun pusat pertumbuhan ekonomi yang dapat mendorong perkembangan wilayah di
sekitarnya.
5. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang mantap terutama bagi
masyarakat berpenghasilan rendah, sesuai prinsip ekonomi kerakyatan.
6. Mengembangkan Kawasan Danau Toba sekitarnya dan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang
dilengkapi dengan penataan kawasan yang memikili fungsi utama melestarikan dan melindungi
Bagian Kedua
Penetapan Kawasan Strategis Provinsi Sumatera Utara
Pasal 74
Penetapan Kawasan Strategis Provinsi Sumatera Utara sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Kawasan Mebidangro
Kawasan Danau Toba dsk
Kawasan Ekosistem Leuser dan Bahorok
Kawasan Lindung Tapanuli dan sekitarnya (termasuk Taman Nasional Batang Gadis dan Hutan
Lindung Batang Toru)
e. Kawasan Pulau Nias
f. Kawasan Labuhan Angin Sibolga
g. Kawasan Tanjung Balai - Asahan
h. Kawasan Agropolitan Dataran Tinggi
i. Kawasan Tebingtinggi Siantar

BAB VI
ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PROVINSI SUMATERA UTARA
Pasal 75
(1)
(2)

Pemanfaatan ruang wilayah provinsi berpedoman pada rencana struktur ruang dan pola ruang.
Pemanfaatan ruang wilayah provinsi dilaksanakan melalui penyusunan dan pelaksanaan program
pemanfaatan ruang beserta perkiraan pendanaannya.

35

(3)

(1)

(2)
(3)

Perkiraan pendanaan program pemanfaatan ruang disusun sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 76
Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) disusun berdasarkan
indikasi program utama lima tahunan yang ditetapkan dalam Lampiran IV yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
Pendanaan program pemanfaatan ruang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, investasi swasta, dan/atau kerja sama pendanaan.
Kerja sama pendanaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 77
(1)
(2)

arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi digunakan sebagai acuan dalam
pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
arahan pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas:
a. indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi;
b. arahan perizinan;
c. arahan pemberian insentif dan disinsentif; dan
d. arahan sanksi.
Bagian Kedua
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Ruang Wilayah Provinsi
Pasal 78

(1)

(2)

indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2)
huruf a digunakan sebagai pedoman bagi pemerintah daerah kabupaten/kota dalam menyusun
peraturan zonasi.
indikasi arahan peraturan zonasi sistem provinsi meliputi indikasi arahan peraturan zonasi untuk
struktur ruang dan pola ruang, yang terdiri atas:
a. sistem perkotaan provinsi;
b. sistem jaringan transportasi provinsi;
c. sistem jaringan energi nasional;
d. sistem jaringan telekomunikasi provinsi;
e. sistem jaringan sumber daya air;
f. Sistim jaringan persampahan
g. kawasan lindung provinsi dan
h. kawasan budi daya.

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Struktur Ruang


Pasal 79
Indikasi arahan peraturan zonasi untuk sistem perkotaan provinsi dan jaringan prasarana provinsi disusun
dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang di sekitar jaringan prasarana provinsi untuk mendukung berfungsinya sistem
perkotaan nasional dan jaringan prasarana provinsi;

36

b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang menyebabkan gangguan terhadap berfungsinya sistem
perkotaan provinsi dan jaringan prasarana provinsi; dan
c. pembatasan intensitas pemanfaatan ruang agar tidak mengganggu fungsi sistem perkotaan provinsi
dan jaringan prasarana provinsi.

Paragraf
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Perkotaan Provinsi
Pasal 80
(1)

(2)

(3)

Peraturan zonasi untuk PKN disusun dengan memperhatikan:


a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala internasional dan nasional yang
didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi
yang dilayaninya; dan
b. pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat intensitas
pemanfaatan ruang menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya ke
arah vertikal.
Peraturan zonasi untuk PKW disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan ekonomi perkotaan berskala provinsi yang didukung dengan
fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;
dan
b. pengembangan fungsi kawasan perkotaan sebagai pusat permukiman dengan tingkat intensitas
pemanfaatan ruang menengah yang kecenderungan pengembangan ruangnya ke arah horizontal
dikendalikan.
Peraturan zonasi untuk PKL disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk kegiatan
ekonomi berskala kabupaten/kota yang didukung dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang
sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya
Paragraf Ketiga
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Transportasi Provinsi
Pasal 81

Peraturan zonasi untuk jaringan jalan provinsi disusun dengan memperhatikan:


a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jalan nasional dengan tingkat intensitas menengah hingga
tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
b. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan provinsi;
dan
c. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jalan nasional yang memenuhi ketentuan ruang
pengawasan jalan.
Pasal 82
Peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api dilakukan dengan tingkat
intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi;
b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat mengganggu
kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian;
c. pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta
api di sepanjang jalur kereta api;
d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan; dan
e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan
dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api.
Pasal 83

37

(1)

(2)
(3)

peraturan zonasi untuk jaringan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan disusun dengan
memperhatikan:
a. keselamatan dan keamanan pelayaran;
b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas perairan yang berdampak pada
keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan;
c. ketentuan pelarangan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan alur
pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan; dan
d. pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai,
danau, dan penyeberangan.
pemanfaatan ruang di dalam dan di sekitar pelabuhan sungai, danau, dan penyeberangan harus
memperhatikan kebutuhan ruang untuk operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan.
pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan
Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pasal 84

(1)

(2)

peraturan zonasi untuk pelabuhan umum disusun dengan memperhatikan:


a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan;
b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas badan air yang berdampak pada
keberadaan jalur transportasi laut; dan
c. pembatasan pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah
Lingkungan Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
peraturan zonasi untuk alur pelayaran disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang pada badan air di sepanjang alur pelayaran dibatasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan; dan
b. pemanfaatan ruang pada kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar badan air di sepanjang
alur pelayaran dilakukan dengan tidak mengganggu aktivitas pelayaran.
Pasal 85

(1)

(2)
(3)

peraturan zonasi untuk jaringan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan disusun dengan
memperhatikan:
a. keselamatan dan keamanan pelayaran;
b. ketentuan pelarangan kegiatan di ruang udara bebas di atas perairan yang berdampak pada
keberadaan alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan;
c. ketentuan-ketentuan pelarangan kegiatan di bawah perairan yang berdampak pada keberadaan
alur pelayaran sungai, danau, dan penyeberangan; dan
d. pembatasan pemanfaatan perairan yang berdampak pada keberadaan alur pelayaran sungai,
danau, dan penyeberangan.
pemanfaatan ruang di dalam dan di sekitar pelabuhan sungai, danau, dan penyeberangan harus
memperhatikan kebutuhan ruang untuk operasional dan pengembangan kawasan pelabuhan.
pemanfaatan ruang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan
Kepentingan Pelabuhan harus mendapatkan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 86
(1)

peraturan zonasi untuk bandar udara umum disusun dengan memperhatikan:


a. pemanfaatan ruang untuk kebutuhan operasional bandar udara;
b. pemanfaatan ruang di sekitar bandar udara sesuai dengan kebutuhan pengembangan bandar
udara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
c. batas-batas kawasan keselamatan operasi penerbangan dan batas-batas kawasan kebisingan.

38

(2)

peraturan zonasi untuk ruang udara untuk penerbangan disusun dengan memperhatikan pembatasan
pemanfaatan ruang udara yang digunakan untuk penerbangan agar tidak mengganggu sistem
operasional penerbangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.
Paragraf Keempat
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Energi
Pasal 87

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Untuk Sistem Jaringan Energi disusun dengan memperhatikan:
(1) peraturan zonasi untuk jaringan pipa minyak dan gas bumi disusun dengan memperhatikan
pemanfaatan ruang di sekitar jaringan pipa minyak dan gas bumi harus memperhitungkan aspek
keamanan dan keselamatan kawasan di sekitarnya.
(2) peraturan zonasi untuk pembangkit tenaga listrik disusun dengan memperhatikan jarak aman dari
kegiatan lain.
(3) peraturan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan ketentuan
pelarangan pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 88
Peraturan zonasi untuk jaringan energi disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang yang memanfaatkan energi baik energi non terbarukan maupun energi baru
terbarukan harus memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain;
b. pelarangan pemanfaatan ruang bebas disepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. pemanfaatan ruang disepanjang jaringan terinterkoneksi dibatasi hanya untuk fungsi budidaya
non hunian; dan
d. pemanfaatan ruang di sekitar jaringan terisolasi harus memperhatikan keamanan jaringan
terisolasi.

(1)

(2)

Paragraf Kelima
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Telekomunikasi
Pasal 89
peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi disusun dengan memperhatikan
pemanfaatan ruang untuk menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek
keamanan dan keselamatan aktivitas kawasan disekitarnya.
peraturan zonasi untuk jaringan telekomunikasi disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang disepanjang jaringan telekomunikasi harus memperhatikan aspek keamanan
terhadap fungsi jaringan mikro digital dan kabel serat optik; dan
b. pelarangan pemanfaatan ruang bebas disepanjang jalur telekomunikasi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Paragraf Keenam
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Sistem Jaringan Prasarana Sumber Daya Air
Pasal 90
(1)

(2)

pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar jaringan sumber daya air disusun dengan
memperhatikan pemanfaatan ruang untuk menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung
kawasan.
indikasi arahan untuk pemanfaatan ruang pada kawasan disekitar jaringan Sumber Daya Air
disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang disekitar jaringan wilayah sungai lintas provinsi secara selaras dengan
pemanfaatan ruang pada jaringan wilayah sungai di provinsi yang berbatasan;
b. pembatasan pemanfaatan ruang disekitar kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan
rawan bencana alam;

39

c. pembatasan pemanfaatan ruang yang menurunkan kualitas fungsi lingkungan.


Paragraf Ketujuh
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Persampahan
Pasal 91

Bagian Ketiga
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Pola Ruang
Pasal 92
Peraturan zonasi untuk kawasan lindung dan kawasan budi daya disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendidikan dan penelitian tanpa mengubah bentang alam;
b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang yang membahayakan keselamatan umum;
c. pembatasan pemanfaatan ruang di sekitar kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan
rawan bencana alam; dan
d. pembatasan pemanfaatan ruang yang menurunkan kualitas fungsi lingkungan.

Paragraf pertama
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Kawasan Lindung Provinsi
Pasal 93
(1)

(2)

(3)

peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung disusun dengan memperhatikan:


a. pelarangan merubah bentang alam;
b. pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luasan kawasan hutan termasuk
kegiatan penambangan liar;
c. pembatasan kegiatan pertambangan tertutup.
peraturan zonasi untuk kawasan bergambut disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;
b. pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi merubah tata air dan ekosistem unik; dan
c. pengendalian material sedimen yang masuk ke kawasan bergambut melalui badan air.
peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki
kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
b. penyediaan sumur resapan air dan waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan
c. penerapan prinsip zero delta terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan
izinnya.
Pasal 94

(1)

(2)

(3)

peraturan zonasi untuk kawasan hutan lindung disusun dengan memperhatikan:


a. pelarangan merubah bentang alam;
b. pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luasan kawasan hutan termasuk
kegiatan penambangan liar;
c. pembatasan kegiatan pertambangan tertutup.
peraturan zonasi untuk kawasan bergambut disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;
b. pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi merubah tata air dan ekosistem unik; dan
c. pengendalian material sedimen yang masuk ke kawasan bergambut melalui badan air.
peraturan zonasi untuk kawasan resapan air disusun dengan memperhatikan:

40

a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki
kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
b. penyediaan sumur resapan air dan waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan
c. penerapan prinsip zero delta terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan
izinnya.
Pasal 95
(1)

(2)

(3)

(4)

peraturan zonasi untuk sempadan pantai disusun dengan memperhatikan:


a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. pengembangan struktur alami dan struktur buatan untuk mencegah abrasi;
c. pendirian bangunan yang dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan rekreasi pantai;
d. pelarangan pendirian bangunan selain dimaksud pada huruf c;
e. pelarangan semua jenis kegiatan yang dapat menurunkan luas, nilai ekologis, dan estetika
kawasan.
peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan sekitar kawasan danau/waduk disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau;
b. pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan
air dan/atau pemanfaatan air;
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; dan
a. penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
peraturan zonasi untuk kawasan sekitar mata air disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan
b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air.
peraturan zonasi untuk kawasan terbuka hijau kota disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi;
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas
umum lainnya; dan
c. pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud pada huruf b.
Pasal 96

(1)

(2)

(3)

(4)

peraturan zonasi untuk kawasan suaka alam laut serta suaka alam laut dan perairan lainnya disusun
dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata alam;
b. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya alam;
c. pelarangan pemanfaatan biota yang dilindungi peraturan perundang- undangan;
d. pelarangan kegiatan yang dapat mengurangi daya dukung dan daya tampung lingkungan; dan
e. pelarangan kegiatan yang dapat merubah bentang alam dan ekositem.
peraturan zonasi untuk kawasan pantai berhutan bakau disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan pendidikan, penelitian, dan wisata alam;
b. pelarangan pemanfaatan kayu bakau; dan
c. pelarangan kegiatan yang dapat merubah mengurangi luas dan/atau mencemari ekosistem
bakau.
peraturan zonasi untuk taman provinsi dan taman provinsi laut disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;
b. pelarangan kegiatan budi daya di zona inti;
c. pelarangan kegiatan budi daya yang berpotensi mengurangi tutupan vegetasi atau terumbu
karang di zona penyangga; dan
d. pemanfaatan ruang kawasan untuk kegiatan budi daya hanya diizinkan bagi penduduk asli di
zona penyangga dalam luasan tetap, tidak mengurangi fungsi lindung kawasan, dan di bawah
pengawasan ketat.
peraturan zonasi untuk taman hutan raya disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk penelitian, pendidikan, dan wisata alam;
b. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;

41

(5)

(6)

(7)

c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada
huruf a; dan
d. pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.
peraturan zonasi untuk taman wisata alam disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam;
b. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebgaimana dimaksud pada
huruf a; dan
d. pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.
peraturan zonasi untuk cagar alam dan suaka margasatwa disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruant untuk penelitian, pendidikan, dan wisata alam;
b. pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf a;
c. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan sebagaimana dimaksud pada
huruf a;
d. pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c. Dan
e. pelarangan terhadap penanaman flora dan pelepasan satwa yang bukan merupakan flora dan
satwa endemik kawasan.
peraturan zonasi untuk kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan disusun dengan
memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk penelitian, pendidikan, dan pariwisata; dan
b. pelarangan kegiatan dan pendirian bangunan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan.
Pasal 87

(1)

(2)

peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis dan ancaman bencana;
b. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan
c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan
kepentingan umum.
untuk kawasan rawan bencana banjir, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan zonasi
disusun dengan memperhatikan:
a. penetapan batas dataran banjir;
b. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan
kepadatan rendah; dan
c. pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum dengan
kepadatan rendah dan fasiitas umum penting lainnya.

Pasal 98
(1)

(2)
(3)

(4)

(5)

Peraturan zonasi untuk cagar biosfer disusun dengan memperhatikan:


a. pemanfaatan untuk pariwisata tanpa mengubah bentang alam;
b. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam; dan
c. pengendalian kegiatan budi daya yang dapat merubah bentang alam dan ekosistem.
Peraturan zonasi untuk ramsar disusun dengan memperhatikan peraturan zonasi untuk kawasan
lindung.
Peraturan zonasi untuk taman buru disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk kegiatan perburuan secara terkendali;
b. penangkaran dan pengembangbiakan satwa untuk perburuan;
c. ketentuan pelarangan perburuan satwa yang tidak ditetapkan sebagai buruan; dan
d. penerapan standar keselamatan bagi pemburu dan masyarakat di sekitarnya.
Peraturan zonasi untuk kawasan perlindungan plasma nutfah disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;
b. pelestarian flora, fauna, dan ekosistem unik kawasan; dan
c. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam.
Peraturan zonasi untuk kawasan pengungsian satwa disusun dengan memperhatikan:

42

(6)

(7)

a. pemanfaatan untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam;


b. pelestarian flora dan fauna endemik kawasan; dan
c. pembatasan pemanfaatan sumber daya alam.
Peraturan zonasi untuk terumbu karang disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk pariwisata bahari;
b. ketentuan pelarangan kegiatan penangkapan ikan dan pengambilan terumbu karang; dan
c. ketentuan pelarangan kegiatan selain yang dimaksud pada huruf b yang dapat menimbulkan
pencemaran air.
Peraturan zonasi untuk kawasan koridor bagi jenis satwa atau biota laut yang dilindungi disusun
dengan memperhatikan:
a. ketentuan pelarangan penangkapan biota laut yang dilindungi peraturan perundang-undangan;
b. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan untuk mempertahankan makanan bagi
biota yang bermigrasi.

Pasal 99
(1)

(2)

(3)

peraturan zonasi untuk kawasan keunikan batuan dan fosil disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan untuk pariwisata tanpa mengubah bentang alam;
b. pelarangan kegiatan pemanfaatan batuan; dan
c. kegiatan penggalian dibatasi hanya untuk penelitian arkeologi dan geologi.
peraturan zonasi untuk kawasan keunikan bentang alam disusun dengan memperhatikan
pemanfaatannya bagi pelindungan bentang alam yang memiliki ciri langka berupa proses geologi
tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan/atau pariwisata
peraturan zonasi untuk kawasan keunikan proses geologi disusun dengan memperhatikan
pemanfaatannya bagi pelindungan kawasan yang memiliki ciri langka dan/atau bersifat indah untuk
pengembangan ilmu pengetahuan, budaya, dan/atau pariwisata.
Pasal 100

(1)

(2)

peraturan zonasi untuk kawasan rawan bencana alam disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis dan ancaman bencana;
b. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan
c. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan
kepentingan umum.
untuk kawasan rawan bencana banjir, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), peraturan zonasi
disusun dengan memperhatikan:
a. penetapan batas dataran banjir;
b. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan
kepadatan rendah; dan
c. pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum dengan
kepadatan rendah dan fasiitas umum penting lainnya.
Pasal 101

(1)
(2)

peraturan zonasi untuk kawasan rawan letusan Gunung Berapi diklasifikasikan berdasarkan 3 (tiga)
tipologi, yaitu Tipe A, Tipe B dan Tipe C.
acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe A adalah:
a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya.
b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan beton bertulang
maupun tidak bertulang; (2) kepadatan bangunan tinggi (>60 unit/Ha), sedang (30-60 unit/Ha)
dan rendah (<30 unit/Ha); (3) pola permukiman dapat mengelompok maupun menyebar.
c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat kepadatan bangunan
diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100).
d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang
ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri besar, sedang, maupun kecil.

43

(3)

(4)

e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan,
perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep
kelestarian lingkungan.
f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural.
g. diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir.
acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe B adalah:
a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya.
b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan beton bertulang:
kepadatan bangunan sedang dan rendah dengan pola permukiman menyebar; (2) konstruksi
bangunan semi permanen: kepadatan bangunan tinggi, sedang dan rendah dengan pola
permukiman mengelompok dan menyebar: (3) konstruksi bangunan tradisional: kepadatan
bangunan tinggi, sedang dan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar.
c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat kepadatan bangunan
sedang (KDB 50-70; KLB 100-200) hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100).
d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang
ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri sedang, maupun kecil.
e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan,
perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep
kelestarian lingkungan.
f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata biotis dan abiotis.
g. Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir.
h. untuk kawasan yang tidak konsisten dalam pemanfaatan, akan dikembalikan pada kondisi dan
fungsi semula secara bertahap.
acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe C adalah:
a. ditentukan sebagi kawasan lindung.
b. masih dapat dimanfaatkan sebagai kawasan budi daya terbatas, antara lain kehutanan dan
pariwisata dengan jenis wisata geofisik (kawasan puncak gunug berapi).

Pasal 102
(1)
(2)

(3)

peraturan zonasi untuk kawasan rawan Gempa Bumi diklasifikasikan berdasarkan 6 (enam)
tipologi, yaitu Tipe A, Tipe B, Tipe C, Tipe D, Tipe E, dan Tipe F.
acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe A adalah;
a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya.
b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan beton bertulang
maupun tidak bertulang; (2) kepadatan bangunan tinggi (>60 unit/Ha), sedang (30-60 unit/Ha)
dan rendah (<30 unit/Ha); (3) pola permukiman dapat mengelompok maupun menyebar.
c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat konstruksi bangunan
tahan gempa dan kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga
rendah (KDB < 50; KLB < 100).
d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang
ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri besar, sedang, maupun kecil.
e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan,
perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep
kelestarian lingkungan.
f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural.
g. diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir.
acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe B adalah:
a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya.
b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan beton bertulang:
kepadatan bangunan sedang dan rendah dengan pola permukiman menyebar; (2) konstruksi
bangunan semi permanen: kepadatan bangunan tinggi, sedang dan rendah dengan pola
permukiman mengelompok dan menyebar: (3) konstruksi bangunan tradisional: kepadatan
bangunan tinggi, sedang dan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar.

44

(4)

(5)

(6)
(7)

c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat konstruksi bangunan
tahan gempa dan kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga
rendah (KDB < 50; KLB < 100).
d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang
ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri besar, sedang, maupun kecil.
e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan,
perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep
kelestarian lingkungan.
f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural.
g. diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan batu dan pasir.
acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe C adalah:
a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya.
b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan semi permanen:
kepadatan bangunan sedang dan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan
menyebar: (2) konstruksi bangunan tradisional: kepadatan bangunan sedang dan rendah dengan
pola permukiman mengelompok dan menyebar.
c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat konstruksi bangunan
tahan gempa dan kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200) hingga
rendah (KDB < 50; KLB < 100).
d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang
ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri sedang, maupun kecil.
e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan,
perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep
kelestarian lingkungan.
f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural.
acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe D adalah:
a. dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai infrastruktur penunjangannya.
b. diizinkan untuk kegiatan pemukiman dengan syarat: (1) konstruksi bangunan semi permanen:
kepadatan bangunan rendah dengan pola permukiman mengelompok dan menyebar: (2)
konstruksi bangunan tradisional: kepadatan bangunan rendah dengan pola permukiman
mengelompok dan menyebar.
c. diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan syarat konstruksi bangunan
tahan gempa dan kepadatan bangunan sedang (KDB 50-70; KLB 100-200).
d. diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan pengendalian yang
ketat, yaitu konstruksi bangunan tanah gempa dan skala industri kecil.
e. diijinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, perikanan,
perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep
kelestarian lingkungan.
f. diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio-kultural dan wisata agro-kultural
acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe E ditetapkan sebagai kawasan lindung.
acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe F ditetapkan sebagai kawasan lindung.

Pasal 103
(1)
(2)

(3)

peraturan zonasi untuk kawasan rawan Longsor diklasifikasikan berdasarkan 3 (tiga) tipologi,
yaitu Tipe A, Tipe B, Tipe C.
klasifikasi zona berpotensi longsor berdasarkan tingkat kerawanan :
a. kawasan longsor dengan tingkat kerawanan tinggi: merupakan kawasan dengan total nilai bobot
tertimbang dalam aspek fisik dan aspek aktifitas manusia/tingkat resiko berada pada kisaran
2,40 3,00.
b. kawasan dengan tingkat kerawanan sedang: merupakan kawasan dengan nilai bobot tertimbang
dalam aspek fisik dan aspek aktifitas manusia/tingkat resiko berada pada kisaran 1,70 2,39.
c. kawasan dengan tingkat kerawanan rendah: merupakan kawasan dengan nilai bobot tertimbang
dalam aspek fisik dan aspek aktifitas manusia/tingkat resiko berada pada kisaran 1.00 1,69.
acuan Peraturan Zonasi untuk kawasan Tipe A adalah;

45

(4)

(5)

a. acuan peratuan zonasi kawasan Tipe A Tingkat Kerawanan Tinggi:


- tidak diizinkan untuk dibangun dan mutlak untuk dilindungi.
- diizinkan untuk kegiatan pariwisata terbatas dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) jenis
wisata alam, (3) jenis usaha wisata pondokan, pendaki gunung dan camping ground.
- diizinkan untuk kegiatan hutan kota dengan persyaratan: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan
jenis vegetasi yang mendukung fungsi daerah resapan dan kelestarian lingkungan, (3) untuk
jenis kegiatan penelitian.
- fungsi tidak berubah/diubah sebagai kawasan dengan dominasi fungsi lindung.
b. acuan peraturan zonasi kawasan Tipe A Tingkat Kerawanan Sedang :
- diizinkan untuk kegiatan pariwisata terbatas, dengan syarat: (1) Analisis geologi, daya
dukung lingkungan, kestabilan lereng, dan amdal, (2) Rekayasa teknis memperkecil lereng,
jaringan transportasi yang mengikuti kontur, sistem drainase, (3) Jenis wisata alam,
pemilihan tanaman yang tepat, (4) Jenis usaha wisata pondokan, camping ground, dan
pendaki gunung.
- diizinkan untuk kegiatan hutan kota dengan persyaratan pembangunan serta pengawasan
dan pengendalian ketat: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan jenis vegetasi yang mendukung
fungsi resapan dan kelestarian lingkungan, terasering dan sistem drainase yang tepat, (3)
untuk jenis kegiatan penelitian.
- tidak diizinkan untuk kegiatan-kegiatan: hunian/permukiman, industri, pertambangan,
hutan produksi, perkebunan, pertanian pangan, perikanan, dan peternakan.
- fungsi tidak berubah/diubah sebagi kawasan dengan dominasi fungsi lindung.
c. acuan peraturan zonasi kawasan Tipe A Tingkat Kerawanan Rendah:
- diizinkan untuk kegiatan pariwisata terbatas dan hutan kota/ruang terbuka hijau kota.
- layak utuk kegiatan pertambangan dengan syarat: aspek kestabilan lereng, daya dukung
lingkungan, reklamasi lereng, revitalisasi kawasan.
- tidak layak untuk kegiatan industri, dapat untuk semua jenis kegiatan dengan persyaratan
tertentu.
- diperlukan pengawasan dan pengendalian, tetap memelihara fungsi lindung.
acuan Zonasi Utuk Kawasan Tipe B adalah :
a. acuan zonasi untuk Kawasan Tipe B Tingkat Kerawanan Tinggi :
- tidak diizinkan untuk kegiatan budidaya
- diizinkan untuk kegiatan pariwisata terbatas dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) jenis
wisata alam, (3) jenis usaha wisata pondokan, camping ground.
- diizinkan untuk kegiatan hutan kota, hutan, dan hutan produksi dengan syarat: (1) rekayasa
teknis, (2) pemilihan jenis vegetasi yang mendukung fungsi daerah resapan dan kelestarian
lingkungan, (3) untuk jenis kegiatan penelitian.
b. acuan zonasi untuk kawasan Tipe B Tingkat Kerawanan Sedang :
- diizinkan untuk kegiatan Pertanian dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan jenis
vegetasi, (3) untuk kawasan yang tidak konsisten dalam pemanfaatan dikembalikan pada
kondisi dan fungsi semula secara bertahap.
- diizinkan untuk kawasan budidaya terbatas, dapat dikembangkan bersyarat.
c. acuan zonasi untuk kawasan Tipe B Tingkat Kerawanan Rendah :
- diizinkan untuk kegiatan pariwisata dengan syarat : (1) Rekayasa teknis, (2) Jenis wisata
alam, (3) Jenis usaha wisata pondokan, camping ground.
- diizinkan untuk kegiatan hutan kota dan hutan produksi, dengan syarat: (1) rekayasa teknis,
(2) pemilihan vegetasi, (3) untuk jenis kegiatan penelitian.
- diizinkan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2)
pemilihan vegetasi seperti karet dan kayu jati.
acuan Zonasi Untuk Kawasan Tipe C adalah :
a. acuan zonasi untuk kawasan Tipe C Tingkat Kerawanan Tinggi :
- diperuntukan sebagai kawasan lindung
- diizinkan untuk kegiatan hutan kota, dan hutan produksi dengan syarat: (1) rekayasa teknis,
(2) pemilihan jenis vegetasi yang mendukung fungsi daerah resapan & kelestarian
lingkungan, (3) untuk jenis kegiatan penelitian
- diizinkan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan dengan syarat: (1) Rekayasa teknis, (2)
pemilihan jenis vegetasi dan teknis pengelolaan.

46

diizinkan untuk kegiatan pariwisata dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) jenis wisata air,
(3) untuk kawasan yang tidak konsisten dalam pemanfaatan, dikembalikan pada kondisi
dan fungsi semula secara bertahap.
b. acuan zonasi untuk kawasan Tipe C Tingkat Kerawanan Sedang :
- diizinkan untuk kegiatan peternakan dengan syarat: (1) rekayas teknis, (2) menjaga
kelestarian lingkungan.
- diizinkan untuk kegiatan pertambangan dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) menjaga
kelestarian lingkungan, (3) pengendalian kegiatan tambang sesuai peraturan yang ada.
- diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan syarat: (1) rekayasa teknis/rumah panggung,
(2) pemilihan tipe bangunan rendah hingga sedang, (3) menjaga kelestarian lingkungan.
- diizinkan untuk transportasi dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) mengikuti pola kontur,
(3) fungsi tidak diubah/berubah sebagai hutan lindung, (4) diperlukan pengawasan tinggi
terhadap pemanfaatan ruang.
c. acuan zonasi untuk kawasan Tipe C Tingkat Kerawanan Rendah:
- diizinkan untuk kegiatan peternakan dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) menjaga
kelestarian lingkungan.
- diizinkan untuk kegiatan pertambangan dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) menjaga
kelestarian lingkungan, (3) pengendalian kegiatan pertambangan sesuai peraturan yang ada.
- diizinkan untuk permukiman dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) pemilihan tipe
bangunan rendah hingga sedang, (3) menjaga kelestarian lingkungan.
- diizinkan untuk transportasi dengan syarat: (1) rekayasa teknis, (2) mengikuti pola kontur,
(3) fungsi tidak diubah/berubah sebagai hutan lindung, (4) diperlukan pengawasan tinggi
terhadap pemanfaatan ruang.
Pasal 104
(1)

(2)

Peraturan zonasi untuk kawasan imbuhan air tanah disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki
kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan;
b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; dan
c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang
diajukan izinnya.
Peraturan zonasi untuk kawasan sempadan mata air disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; dan
b. pelarangan kegiatan yang dapat menimbulkan pencemaran terhadap mata air.

Paragraf Kedua
Indikasi Arahan Peraturan Zonasi untuk Kawasan Budidaya Provinsi
Pasal 105
Peraturan zonasi untuk kawasan hutan produksi dan hutan rakyat disusun dengan memperhatikan:
a. pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan;
b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan; dan
c. pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf b.
Pasal 106
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian disusun dengan memperhatikan:
a. pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budi daya non pertanian kecuali untuk pembangunan
sistem jaringan prasarana utama;
b. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah;
c. penerapan pola tanam yang sejalan dengan upaya pengendalian hama; dan
d. pembatasan penggunaan input produksi yang dapat mengurangi produktivitas lahan.

47

Pasal 107
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perikanan disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dan/atau nelayan denan kepadatan rendah;
b. pembatasan pemanfaatan sumber daya perikanan agar tidak melebihi potensi lestari;
c. pelarangan penangkapan biota yang dilindungi peraturan perundang-undangan; dan
d. pelarangan penggunaan peralatan tangkap yang mengancam kelestarian sumber daya perikanan;
Pasal 108
Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan pertambangan adalah:
a. pengelolaan lingkungan pasca kegiatan pertambangan;
b. pengolahan limbah agar tidak mencemari tanah, udara, dan badan air;
c. penerapan standar keselamatan untuk melindungi pekerja dan masyarakat di sekitar kawasan
pertambangan;
d. pengaturan pendirian bangunan agar tidak mengganggu fungsi alur pelayaran yang ditetapkan
peraturan perundang-undangan; dan
e. pengaturan kawasan tambang dengan memperhatikan keseimbangan antara biaya dan manfaat serta
keseimbangan antara resiko dan manfaat.
Pasal 109
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan industri disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan kemampuan penggunaan
teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah sekitarnya; dan
b. pembatasan pembangunan perumahan baru sekitar kawasan peruntukan industri.
Pasal 110
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata disusun dengan memperhatikan:
a. pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan;
b. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau;
c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata; dan
d. ketentuan pelarangan pendirian bangunan selain yang dimaksud pada huruf c.
Pasal 111
Peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan permukiman disusun dengan memperhatikan:
a. penetapan amplop bangunan;
b. penetapan tema arsitektur bangunan;
c. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan; dan
d. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan.

Bagian Keempat
Arahan Perizinan
Pasal 112
(1)

(2)
(3)

Arahan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf b merupakan acuan bagi
pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang berdasarkan rencana struktur dan
pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini.
Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya.
Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang - undangan.

48

(4)

Pemberian izin pemanfaatan ruang yang berdampak besar dan penting dikoordinasikan oleh
Gubernur.
Bagian Kelima
Arahan Insentif dan Disinsentif
Pasal 113

(1)
(2)
(3)

Arahan pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf c
merupakan acuan bagi pemerintah dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif.
Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana struktur ruang, rencana pola
ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi yang diatur dalam Peraturan Daerah ini.
Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah, dibatasi, atau dikurangi
keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

Pasal 114
(1)
(2)

Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah provinsi dilakukan
oleh Pemerintah kepada pemerintah daerah dan kepada masyarakat.
Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 115

(1)

Insentif kepada pemerintah daerah diberikan, antara lain, dalam bentuk:


a. pemberian kompensasi;
b. urun saham;
c. pembangunan serta pengadaan infrastruktur; atau
d. penghargaan.

(2)

Insentif kepada masyarakat diberikan, antara lain, dalam bentuk:


a. keringanan pajak;
b. pemberian kompensasi;
c. imbalan;
d. sewa ruang;
e. urun saham;
f. penyediaan infrastruktur;
g. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau
h. penghargaan.
Pasal 116

(1)

Disinsentif kepada pemerintah daerah diberikan, antara lain, dalam bentuk:


a. pembatasan penyediaan infrastruktur;
b. pengenaan kompensasi; dan/atau
c. penalti.

(2)

Disinsentif dari Pemerintah kepada masyarakat dikenakan, antara lain, dalam bentuk:
a. pengenaan pajak yang tinggi;
b. pembatasan penyediaan infrastruktur;
c. pengenaan kompensasi; dan/atau
d. penalti.
Pasal 117

49

(1)
(2)

Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dikoordinasikan oleh Gubernur.
Bagian Keenam
Arahan Pengenaan Sanksi
Pasal 118

Arahan sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (2) huruf d merupakan acuan dalam
pengenaan sanksi terhadap:
a.
b.
c.
d.

pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola RTRWP
pelanggaran ketentuan arahan peratuan zonasi sistem Provinsi;
pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWP;
pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan
RTRWP;
e. pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang
diterbitkan berdasarkan RTRWP;
f. pemanfataan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundangundangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau
g. pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang tidak benar.
Pasal 119

(1)
(2)

pelanggaran terhadap Peraturan Daerah ini dapat dikenakan sanksi administratif dan/atau sanksi
pidana;
sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada orang perseorangan dan/atau
korporasi yang melakukan pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 120

(1)

(2)

Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf a, huruf b, huruf d, huruf e,
huruf f, dan huruf g dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pencabutan izin;
f. pembatalan izin;
g. pembongkaran bangunan;
h. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
i. denda administratif.
Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 huruf c dikenakan sanksi
administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan;
c. penghentian sementara pelayanan umum;
d. penutupan lokasi;
e. pembongkaran bangunan;
f. pemulihan fungsi ruang; dan/atau
g. denda administratif.

50

BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 121
(1)

(2)

(3)

setiap orang yang tidak mentaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan, yang mengakibatkan
perubahan fungsi ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda
paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun
dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 122
(1)

(2)

(3)

(4)

setiap orang yang memanfaatkan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat
yang berwenang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan perubahan fungsi ruang,
pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta
benda atau kerusakan barang, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 123

Setiap orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00
(lima ratus juta rupiah).
Pasal 124
Setiap orang yang tidak memberikan akses terhadap kawasan yang oleh peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

(1)

(2)

Pasal 125
setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin tidak sesuai dengan rencana tata
ruang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
selain sanksi pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan
berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
Pasal 126

(1)

dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82
dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang

51

(2)

(1)

(2)

dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari
pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82;
selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan
berupa:
a. pencabutan izin usaha; dan/atau
b. pencabutan status badan hukum.
Pasal 127
setiap orang yang menderita kerugian akibat tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80, Pasal 81 dan Pasal 82 dapat menuntut ganti kerugian secara perdata kepada pelaku tindak
pidana.
tuntutan ganti kerugian secara perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai
dengan hukum acara pidana.

BAB X
PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Pertama
Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Masyarakat
Pasal 128
Dalam kegiatan penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara, setiap orang berhak :
a. mengetahui rencana tata ruang;
b. menikmati pertambahan nilai ruang
c. berperan serta dalam proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang;
d. mengetahui secara terbuka perencanaan penataan ruang wilayah provinsi, ruang wilayah
kabupaten/kota dan rencana detail lainnya;
e. menikmati manfaat ruang atau pertambahan nilai ruang sebagai akibat dari pembangunan dan
penataan ruang;
f. memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan perencanaan ruang.
Pasal 129
Dalam kegiatan penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera Utara, setiap orang wajib :
a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan
sebagai milik umum.
Pasal
Pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam penataan ruang , dilaksanakan dengan mematuhi dan
menerapkan kriteria, kaidah, dan baku mutu sesuai dengan nilai kebenaran ilmiah serta aturan-aturan
penataan ruang yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat
Pasal 130
(1)

untuk mengetahui perencanaan penataan ruang, masyarakat dapat melihat dan mempelajari
dokumen penataan ruang, dan mengetahui dari pengumuman atau penyebarluasan atau informasi
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah.

52

pengumuman atau penyebarluasan informasi tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
diketahui masyarakat di kantor-kantor yang secara fungsional menangani kegiatan penataan ruang atau
melalui media massa dan internet (Web Site).
Masyarakat dapat menikmati dan memanfaatkan ruang beserta sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya yang dilaksanakan atas dasar pemilikan, penguasaan, atau pemberian hak tertentu berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan ataupun atas hukum adat atau kaidah yang berlaku atas ruang
pada masyarakat setempat.
Pasal 131
(1)

(2)

hak memperoleh penggantian yang layak atas kerugian terhadap perubahan status semula yang
dimiliki oleh masyarakat sebagai akibat pelaksanaan Penataan Ruang diselenggaraan dengan cara
musyawarah antara pihak-pihak yang berkepentingan.
dalam hal tidak tercapai kesepakatan mengenai penggantian yang layak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), maka penyelesaiannya dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 132

Dalam pemanfaatan ruang di daerah, peran serta masyarakat dapat dilakukan, antara lain melalui:
a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan
c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Pasal 133
(1)

(2)

tata cara peran serta masyarakat dalam pemanfaatan ruang di daerah, dilakukan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dengan memperhatikan tata nilai, paradigma, dan
adat istiadat setempat.
pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikoordinasikan oleh
Gubernur/Bupati/Walikota.

Pasal 134
Dalam pengendalian pemanfaatan ruang, peran serta masyarakat dapat berbentuk :
a. pengawasan terhadap pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan, termasuk pemberian informasi atau
laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang dimaksud;
b. bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan ruang.

(1)
(2)

Pasal 135
Peran serta masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan ruang, dapat disampaikan secara lisan
atau tertulis kepada Kepala Daerah dan pejabat yang berwenang.
Apabila terjadi konflik tata ruang antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) maka
penyelesaiannya diupayakan melalui musyawarah mufakat berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku dan apabila tidak tercapai kesepakatan antara pihak yang berkepentingan,
maka penyelesaiannya dilakukan melalui Pengadilan Negeri setempat.

BAB XII
PENYELESAIAN SENGKETA
Pasal 136
(1)

penyelesaian sengketa penataan ruang pada tahap pertama diupayakan berdasarkan prinsip
musyawarah untuk mufakat.

53

(2)

dalam hal penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperoleh kesepakatan,
para pihak dapat menempuh upaya penyelesaian sengketa melalui pengadilan atau di luar
pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

BAB XIV
PENYIDIKAN
Pasal 137
(1)

(2)
(3)

(4)

(1)

(2)
(3)
(4)
(5)

penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dapat melakukan penyidikan atas tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam peraturan daerah ini, dan dalam pelaksanaannya dapat koordinasi
dengan Penyidik POLRI.
penyidik POLRI melakukan penyidikan kejahatan pidana sebagaimana dimaksud dalam peraturan
daerah ini, berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
dalam melaksanakan tugas penyidikan, Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
d. melakukan pemeriksaan, penyitaan benda dan atau surat;
e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik POLRI bahwa
tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan
selanjutnya melalui penyidik POLRI memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum,
tersangka dan keluarganya;
i. melakukan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
penyidik Pegawai Negeri Sipil membuat berita acara setiap tindakan dalam hal:
a. pemeriksaan tersangka;
b. pemasukan rumah;
c. penyitaan barang;
d. pemeriksaan saksi;
e. pemeriksaan tempat kejadian;
f. pemeriksaan surat.

BAB XV
PENGAWASAN PENATAAN RUANG
Pasal 138
untuk menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan penataan ruang daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, dilakukan pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan
penataan ruang.
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan
pelaporan.
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya.
pengawasan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan melibatkan
peran masyarakat.
peran masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dengan menyampaikan
laporan dan/atau pengaduan kepada Pemerintah Daerah.

54

Pasal 139
(1)
(2)

(3)

pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian antara
penyelenggaraan penataan ruang daerah dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
apabila hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbukti terjadi
penyimpangan administratif dalam penyelenggaraan penataan ruang daerah, Gubernur, dan
Bupati/Walikota mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan kewenangannya.
dalam hal Bupati/Walikota tidak melaksanakan langkah penyelesaian sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), Gubernur mengambil langkah penyelesaian yang tidak dilaksanakan Bupati/Walikota.
Pasal 140

Dalam hal penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang, pihak yang melakukan penyimpangan
dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XVI
ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Pasal 141
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi.

Pasal 142
(1)
(2)

(3)
(4)

(5)
(6)

(7)
(8)

(1)
(2)

ketentuan perizinan diatur oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah menurut kewenangan masingmasing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dibatalkan oleh
Pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
izin pemanfaatan ruang yang dikeluarkan dan/atau diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang
benar, batal demi hukum.
izin pemanfaatan ruang yang diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak
sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah
sesuai dengan kewenangannya.
terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat pembatalan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi izin.
izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai lagi akibat adanya perubahan rencana tata ruang wilayah
dapat dibatalkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan memberikan ganti kerugian yang
layak.
setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang
menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang.
ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur perolehan izin dan tata cara penggantian yang layak
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 143
dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang
wilayah dapat diberikan insentif dan/atau disinsentif oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
insentif, yang merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan
kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang, berupa:
a. keringanan pajak, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan urun saham;
b. pembangunan serta pengadaan infrastruktur;
c. kemudahan prosedur perizinan; dan/atau

55

(3)

(4)
(5)

(6)

(1)

(2)

d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau Pemerintah Daerah.


disinsentif, yang merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi
kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang, berupa:
a. pengenaan pajak yang tinggi yang disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk
mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan/atau
b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti.
insentif dan disinsentif diberikan dengan tetap menghormati hak masyarakat.
insentif dan disinsentif dapat diberikan oleh:
a. Pemerintah Daerah Provinsi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota;
b. Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota kepada masyarakat.
ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif oleh
Pemerintah Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 144
dalam pelaksanaan penataan ruang sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini, Pemerintah
Provinsi melakukan :
a. pengawasan atas pelaksanaan penataan ruang wilayah Provinsi oleh Kabupaten/Kota;
b. koordinasi pengendalian pemanfaatan ruang di Kabupaten/Kota;
c. koordinasi perencanaan pemanfaatan ruang oleh Kabupaten/Kota dalam upaya menciptakan
keselarasan/keterpaduan pembangunan dalam wilayah Provinsi;
d. pembinaan dan monitoring pelaksanaan kebijakan penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera
Utara oleh Kabupaten/Kota.
pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota secara operasional melakukan kegiatan pengendalian
pemanfaatan ruang sesuai dengan tugas dan kewenangannya.

BAB XVII
KETENTUAN LAIN LAIN
Pasal 145
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini, semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang daerah tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan
belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini ini.

Pasal 146
Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara, digunakan sebagai matra ruang dari Rencana
Pembangunan Daerah Provinsi Sumatera Utara jangka menengah dan jangka panjang.
Pasal 147
Materi teknis Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara, dapat ditinjau ulang untuk
dimutakhirkan atau disempurnakan setiap 5 (lima) tahun sekali.

Pasal 148
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Daerah ini, maka:
a. semua ketentuan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang
provinsi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini; dan
b. semua Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah ini
harus disesuaikan paling lambat dalam waktu 2 (dua) tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini.

56

BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 149
Jangka waktu Penataan Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara adalah 20 (dua puluh) tahun sejak
Peraturan Daerah ini diundangkan

Pasal 150
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Utara nomor 7
tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sumatera Utara tahun 2003 2018
dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Pasal 151
Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya akan
diatur lebih lanjut oleh Keputusan Gubernur Sumatera Utara.

Pasal 152
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Pasal 153
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Sumatera Utara.

Disahkan di
: MEDAN
Pada Tanggal :

GUBERNUR SUMATERA UTARA


dto

Diundangkan di
Pada tanggal

:
:

MEDAN

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI


dto

Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara


Tahun 2003 Nomor 9 Seri C

57

Lampiran Peta Tematik :


1.
Peta Batas Administrasi
2.
Peta Rencana Struktur Ruang
3.
Peta Rencana Poa Ruang
4.
Peta Rencana Struktur Perkotaan
5.
Peta Rencana Struktur Jaringan Transportasi
6.
Peta Rencana Struktur Jaringan Energi
7.
Peta Rencana Struktur Jaringan Telekomunikasi
8.
Peta Rencana Struktur Jaringan Prasarana SDA
9.
Peta Rencana Kawasan Strategis Provinsi
10. Peta Rencana Kawasan Andalan Provinsi

Skala 1 ; 500.000
Skala 1: 250.000 ( 4 lbr)
Skala 1: 250.000 ( 4 lbr)
Skala 1 ; 500.000
Skala 1 ; 500.000
Skala 1 ; 500.000
Skala 1 ; 500.000
Skala 1 ; 500.000
Skala 1 ; 500.000
Skala 1 ; 500.000

58

Anda mungkin juga menyukai