Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
Prevalensi antibodi HSV-2 lebih tiggi pada kulit berwarna dibandingkan kulit
putih.
Prevalensi HSV-2 (+) lebih banyak dijumpai pada kelas ekonomi sosial rendah.
Hanya 1/3 jumlah ibu dari bayi yang tertular, diketahui mempunyai lesi herpes
sewaktu persalinan.
besar.
-
Dari 143 wanita hamil dengan resiko terkena herpes genital, ternyata hanya
2,4% yang positif menularkan virus pada saat melahirkan. Sedangkan penelitian pada
wanita yang datang di klinik KB dengan pemeriksaan Immunodot assay menunjukkan
hasil seroprevalensi HSV-2 sebesar 21,6% dan ada hubungan yang bermakna dengan
aktivitas seksual, ras, dan usia. Demikian juga penelitian di Singapura menunjukkan
hubungan antara herpes dengan usia, yaitu insidens puncak episode awal herpes
terjadi pada usia antara 20-29 tahun dan insidens herpes primer sebesar 68,3% dari 43
penderita yang datang ke klinik RS.
Data-data di beberapa RS di Indonesia menunjukkan bahwa prevelensi herpes
rendah sekali yaitu tahun 1992 di RSU Dr. Moewadi hanya 10 kasus dari 9983
penderita poliklinik, di RSU Dr. Hasan Sadikin sebesar 9 kasus dari 9727 penderita
poliklinik, sedangkan di RSUP Dr. Kariadi, selama 5 tahun yaitu 1990-1994 jumlah
penderita herpes sebanyak 110 atau 0,14% dari seluruh penderita yang berobat di
poliklinik. Namun demikian prevalensi herpes genital di RSUD Dr. Soetomo agak
tinggi yaitu sebesar 64 kasus dari 653 kasus IMS dan terlebih lagi di RSUP Denpasar
jumlah kasusnya paling tinggi yaitu sebesar 22 kasus dari 126 kasus IMS(Infeksi
Menular Seksual).
Perubahan pola distribusi maupun pola perilaku penyakit Herpes Simpleks
tersebut di atas tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain faktor
medis tentunya sangat dipengaruhi juga oleh faktor-faktor sosial, seperti: Mobilitas
penuduk yang bertambah, Prostitusi, Kebebasan inidvidu(seperti berganti-ganti
pasangan seksual), Ketidaktahuan, Peledakan jumlah penduduk, Kemajuan sosial
ekonomi terutama dalam bidang industri yang menyebabkan lebih banyak kebebasan
sosial maupun kebebasan seks serta perkawinan antar ras/negara yang berbeda.
Oleh karena infeksi herpes simpleks ini bisa menular kepada bayi yang
dikandung oleh ibu yang menderita penyakit tersebut dan dapat mengakibatkan
meningitis, ensefalitis, pneumonitis dan hepatitis pada bayi yang sedang dikandung,
maka penulis bermaksud ingin mencari solusi dari permasalahan tersebut. Agar angka
penyebaran dari penyakit herpes simpleks atau genital ini bisa sedikit berkurang.
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk megetahui bagaimana penyebaran penyakit kelamin yaitu Herpes
Simpleks yang dilihat baik dari aspek medis maupun dari aspek sosial
budaya. Juga untuk mengetahui peran perawat kepada pasien dan mencari
solusi untuk mengurangi penyebarannya.
1.2.2. Tujuan Khusus:
1.
2.
3.
4.
3.
4.
Apa saja dampak bagi pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks
terutama pada kehamilan?
Apa saja peran perawat dalam menangani pasien yang terserang herpes
Simpleks?
7.
1.4. Manfaat
1.
2.
3.
4.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Herpes Simpleks
2.1.1. Definisi
Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes
Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok
dengan dasar eritema pada daerah mukotan, sedangkan infeksi dapat
berlangsung baik primer maupun rekurens.
SINONIM
Fever blister, ciold store, herpes febrilis, herpes labialis, herpes
progenitalis (genitalis)
2.1.2. Epidemiologi
Penyakit ini menyebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupin
wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpes simpleks
virus (HSV) tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi
HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan
peningkatan aktivitas seksual.
2.1.3. Etiologi
Herpes genitalis disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) ATAU
Herpes Virus Hominis (HVH), UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui
bahwa penyakit ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan
SHARLITT pada tahun 1940 membedakan antara HSV tipe 1 (HSV-1) dan HSV
tipe 2 (HSV-2). Sebagian besar penyebabnya adalah HSV-2, tetapi walaupun
demikian dapat juga disebabkan oleh HSV-1 ( 16,1%) akibat hubungan kelamin
secara urogenital atau penularan melalui tangan.
Secara serologik, biologik dan sifat fisikokimia HSV-1 dan HSV-2 sukar
dibedakan. Dari penelitian seroepidemiologik didapat bahwa antibodi HSV-1
sudah terdapat pada anak-anak sekitar umur 5 tahun, meningkat 70% pada usia
remaja dan 97% pada orang tua. Penelitian seroepidemiologik terhadap antibodi
HSV-2 sulit untuk dinilai berhubung adanya reaksi silang antara respons imun
humoral HSV-1 dan HSV-2.
Dari data yang dikumplkan di WHO dapat diambil kesimpulan bahwa
antibodi terhadap HSV-2 rata-rata baru terbentuk setelah melakukan aktivitas
seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang dari 30%, pada kelompok
wanita di atas umur 40 tahun naik sampai 60%, dan pada pekerja seks wanita
(PSW) ternyata antibodi HSV-2 10 kali lebih tinggi daripada orang normal.
2.1.4. Patogenesis
Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode 1
infeksi primer (inisial), episode 1 non infeksi primer, infeksi rekurens,
asimtomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali. Pada episode 1 infeksi primer,
virus yang berasal dari ,luar masuk ke dalam tubuh Hospes. Kemudian terjadi
penggabungan dengan DNA hospes di dalam tubuh hospes tersebut dan
mengadakan multiplikasi/replikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada
waktu itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan
timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya
virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional
(ganglion sakralis) dan berdian di sana serta bersifat laten.
Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi
belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga
pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I
2.
Virus secara terus menerus dilepaskan ke sel epitel dan adanya faktor
pensetus ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi
rekurens.
juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV tipe II
mempunyai tempat prediksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di
daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi
neonatus.
Pada infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama
dan berat kira-kira 3 minggu. Biasanya di dahului rasa terbakar dan gatal di
daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi
timbul dapat diserta gejala konstitusi seperti malaise, demam dan nyeri otot.
Lesi pada kulit berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar eriterm.
Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multiple. Tanpa infeksi
sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu lima sampai tujuh hari dan
tidak terjadi jaringan parut, tetapi bila ada, penyembuhan memerlukan waktu
lebih lama dan meninggalkan jaringan parut.
Klenjar limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan.
Infeksi di saerah serviks, dapat menimbulkan beberapa perubahan termasuk
peradangan difus, ulkus multiple sampai terjadinya ulkus yang besar dan
nekrotik. Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul,
penyembuhan memerlukan waktu yang cukup lama, dapat dua sampai empat
minggu, sedangkan pada serangan berikutnya penyembuhan akan lebih
cepat. Disamping itu pada infeksi pertama dapat terjadi disuria bila lesi
terdapat di daerah uretra dan periuretra, sehingga dapat menimbulkan
mielitis dan radikulitis.
1. Infeksi Laten
Fase ini berarti penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV
dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif dalam ganglion dorsalis.
2. Infeksi Rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan
tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kilit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa
trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual dan
sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat
pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang. Infeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat li sekitarnya (non loco).
Infeksi rekures dapat terjadi dengan cepat/lambat, sedangkan gejala
yang timbul biasanya lebih ringan kira-kira 7-10 hari, karena telah ada
antibodi spesifik dan penyembuhan juga akan lebih cepat. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, infeksi inisial dan rekurensi selain disertai gejala klinis
bisa tanpa gejala. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya antibodi
terhadap HSV-2 pada orang yang tidak ada riwayat penyakit herpes genitalis
sebelumnya. Adanya antibodi terhadap HSV-1 menyebabkan infeksi HSV-1
lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi inisial HSV-2 berjalan
asimtomatik pada penderita yang pernah mendapat infeksi HSV-1.
Tempat predileksi pada pria biasanya di preputium, glans penis, batang
penis, dapat juga di uretra dan daerah anal (pada homoseks),sedangkan
daerah skrotum jarang terkena. Lesi pada wanita dapat ditemukan di daerah
labia major/minor, klitoris, introitus vaginae, serviks, sedangkan pada daerah
perianal, bokong dan mons pubis jarang ditemukan. Infeksi pada wanita
sering dihubungkan dengan servisitis, karena itu perlu pemeriksaan sitologi
secara teratur.
2.2. Penatalaksanaan
Setelah diagnosi ditegakkan, baik secara klinis, dengan maupun tanpa
pemeriksaan
penunjang,
maka
langkah
selanjutnya
adalah
memberikan
b.
c.
d.
2. Pengobatan non-spesifik
a.
b.
c.
3. Pengobatan Spesifik
Berbagai macam obat antivirus telah pernah dipakai untuk mengatasi
penyakit herpes genitalis, misalnya idoksuridin topikal, sitarabin (Ara-C) dan
Viradabin (Ara-A) secara intravena, inosipleks (isoprinosin), dan interferon.
Obat antivirus yang kini telah banyak dipakai ialah asiklovir, dan saat ini ada
lagi 2 macam obat antivirus baru yaitu valasiklovir dan famsiklovir.
a. Asiklovir
Asiklovir merupakan obat antivirus yang spesifik terhadap virus
herpes, dapat diberikan pada penderita dengan infeksi mukokotan disertai
defisiensi imunitas. Obat ini hanya bekerja pada sel-sel yang terkena
infeksi. Tidak mempunyai efek teratogenik. Toleransi obat bai, tidak ada
toksisitasa akut dan tidak menimbulkan penekanana sumsum tulang, hati
dan ginjal. Tetapi walaupun demikian pernah dilaporkan efek samping
seperti kolik ginjal, kenaikan kadar ureum/ kreatinin dalam serum, reaksi
setempat pada suntikan nausea dan vomitus.
Asiklovir dapat diberikan secara intravena, oral dan topikal. Cara
pemberian intravena harus perlahan-lahan dan perlu pengawasan. Oleh
karena itu ssebaiknya diberikan di rumah sakit. Dosis setiap kali
pemberian adalah 5 mg/kgBB, dengan interval 8 jam. Pengobatan
asiklovir secara intravena pada herpes genital episode pertama, yang
memerlukan waktu selama 5-10 hari. Ternyata tidak dapat mengurangi
rekurensi (Corey DKK, 1985). Bila secara oral diberikan dengan dosis 200
mg 5 kali sehari selama 5-10 hari. Seperti secara intravena, pengobatan per
oral mengurangi viral shedding secara dramatis.
Banyak sarjana berpendapat bahwa pada infeksi primer sebaiknya
diberi asiklovir secara intravena dan pada infeksi rekurens diberikan
secara oral. Pembrian obat secara oral juga tidak menjamin tidak timbul
rekurensi. Kinghorn dkk (1986) telah membuktikan bahwa asiklovir 200
mg lima kali sehari per oral ditambah kotromoksazol (160 mg dan 800 mg
sulfametoksazol) dua kali sehari selama 7 hari memperpendek waktu
penyembuhan lesi secara bermakna dibandingkan dengan pengobatan
asiklovir saja.
Penanganan infeksi rekurens menurut Moreland dkk (1990) dapat
ditempuh dengan 4 cara:
1.
2.
Asiklovir peroral secara episodik dengan dosis 5x200 nm/ hari selama
5 hari. Cara ini diberikan pada penderita dengan riwayat lesi multiple
atau serangan yang lama (7 hari)
3.
b.
c.
d.
b. Valasiklovir
Obat ini merupakan derivat ester L-valil dari asiklovir. Bahan iktif
antivirusnya ialah asiklovir, sehingga kemanjuran dan spesifitasnya
berhubungan dengan cara kerja asiklovir. Setelah diabsorbsi, valasiklovir
dengan cepat dan hampir seluruhnya, diubah menjadi asiklovir dan L-
valin. Bioavailabilitasnya 3-5 kali lebih tonggi dari pada yang dapat
dicapai oleh asiklovir oral dosis tinggi. kadar dalam plasma setelah
valasiklovir oral 1000 mg mendekati kadar yang dapat dicapai oleh
asiklovir yang diberikan secara intravena.
Pada uji klinik yang membandingkan valasiklovir 2 x 500 mg/hari,
dengan asiklovir oral 5 x 200 mg/hari, dan plasebo dalam waktu 24 jam
setelah timbulnya keluhan dan gejala klinis pertama episode herpes
genitalis rekurens menunjukkan bahwa terapi valasiklovir secara
bermakna mengurangi rasa nyeri dan mempercepat penyembuhan lesi
serta dengan cepat memperpendek masa viral shedding. Efek samping
yang paling sering dilaporkan ialah nyeri kepala dan mual.
c. Famsiklovir
Obat intivirus yang baru lain ialah famsiklovir (famciclovir) yang
merupakan derivat diasetil-6-deoksi pensiklovir. Sedangkan pensiklovir
sendiri merupakan golongan antivirus dengan komponen guanin, yang
dapat diberikan secara topikal dan intravena. Famsiklovir, dikembangkan
untuk pengobatan infeksi virus herpes, dengan cara pemberian per oral.
Cara kerja Famsiklovir sama seperti asiklovir, yaitu menghambat sintesis
DNA.
Pada
penderita
herpes
genitalis
episode
pertama,
pemberian
3.
Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan pil KB hanya bermanfaat bagi
pencegahan kehamilannya saja, berbeda dengan kondom yang juga ddapat
digunakan sebagai alat pencegahan terhadap penularannya
4. Faktor sosial
a. Mobilitas penuduk yang bertambah
b. Prostitusi
c. Waktu yang santai
d. Kebebasan inidvidu
e. Ketidaktahuan
f. Peledakan jumlah penduduk
g.
5.
Perubahan sikap terutama dalam bidang agama dan moral akibat perubahan
demografik
Banyak kasus yang tidak memberikan gejala tetapi dapat menular kepada
orang lain.
BAB III
PEMBAHASAN
prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intrapartum atau
pasca partum.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat penyakit ini pada bayi
yang baru lahir. Herpes genitalis pada permulaan kehamilan bisa
menimbulkan abortus/malformasi kongenital berupa mikrosefali. Pada bayi
yang lahir pada ibu yang menderita herpes genitalis pada kehamilan dapat
ditemukan
kelainan
berupa
hepatitis,
infeksi
berat,
ensefalitis,
Depresi Merasa sedih, putus asa, dan / atau tak berdaya, dan memiliki
harga diri yang rendah, kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam
makan, tidur, kebiasaan olahraga, pekerjaan, dan sosial.
Perspektif pasien
Tidak mengherankan, ada tingkat yang sangat tinggi morbiditas psikologis
yang terkait dengan herpes kelamin, yang perlu ditangani ketika mengelola
Tujuan konseling
Konseling merupakan bagian integral dari keberhasilan pengelolaan
pasien dengan herpes dan memiliki sejumlah tujuan yang jelas. Tujuan yang
luas adalah jika pasien menerima bahwa herpes adalah bukan "hukuman"
melainkan suatu kondisi medis yang relatif umum, yang dapat dikelola
berhasil untuk meminimalkan dampak negatif pada kehidupan mereka.
Secara khusus, tujuan konseling adalah:
a)
b)
c)
e)
Untuk tahu kapan untuk merujuk pasien pada terapi psikologis untuk
lebih intensif, dan
f)
tidak
menghakimi
pertanyaan
dan
bertujuan
untuk
BAB IV
PENUTUP
4.1.Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit herpes
simpleks. Baik itu dari aspek medis maupun dari aspek sosial budaya. Seseorang
atau pasien yang sedang menderita penyakit ini akan mengalami dampak
psikologis di dalam dirinya, seperti :
1. Kemarahan/Marah, rageful, atau perasaan dendam kepada diri sendiri dan
orang lain bahkan kepada Tuhan.
2.
Depresi Merasa sedih, putus asa, dan / atau tak berdaya, dan memiliki
harga diri yang rendah, kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam
makan, tidur, kebiasaan olahraga, pekerjaan, dan sosial.
4.2.Saran
Pemberian konseling kepada pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks
harus perlu dilakukan perawat untuk mengurangi penyebaran dari penyakit ini.
Kita sebagai perawat harus memberi penyuluhan kepada masyarakat agar berhatihati, karena seorang wanita yang hamil dan menderita penyakit Herpes akan memberikan
dampak kepada bayi yang dikandungnya.
DAFTAR PUSTAKA
Utama, Hendra. 2007. Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Djuanda, Adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
PUSDIKNAKES. 1997. Aids dan Penanggulangannya. Jakarta: Studio Driya
Media.
Entjang, Indan. 1991. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Shryock, Harold M.d. 2000. Modern Medical Guide. U.S.A: Review and Herald
Publishing.