Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit Herpes Simpleks Virus (veneral disease) termasuk dalam penyakit
kelamin yang sudah lama di kenal. Infeksi virus Herpes simplex genitalis tercatat
meningkat terus sejak pertengahan 1960 sampai awal era epidemik AIDS. Laporan
tahunan di AS meningkat pada tahun 1966 tercatat 300.000 menjadi lebih dari
450.000 kasus pada tahun 1985, kemudian menurun sedikit pada tahun 1987.
Demikian juga penemuan kasus baru tahun 1966 sebesar 18.000 meningkat 8,8 kali
lipat menjadi 157.000 pada tahun 1984, kemudian menurun mulai tahun 1987.
Berdasar kan analisis antibodi didapatkan kesimpulan bahwa :
-

Infeksi herpes genital simptomatik hanya sedikit bila dibandingkan dengan


seluruh jumlah kasus herpes.

Wanita cenderung lebih banyak terserang HSV-2 (Herpes Simpleks Virus)


dibandingkan pria.

Prevalensi antibodi HSV-2 lebih tiggi pada kulit berwarna dibandingkan kulit
putih.

Prevalensi HSV-2 (+) lebih banyak dijumpai pada kelas ekonomi sosial rendah.

Insiden Herpes neonatal meningkat tajam di beberapa daerah di AS dan


diperkirakan lebih dari 15 kasus per 100.000 kelahiran. Penigkatan insidens tersebut
seiring dengan peningkatan insidens pada ibu hamil. Infeksi herpes pada ibu dapat
ditularkan kepada bayi sehingga dapat mengakibatkan meningitis, ensefalitis,
pneumonitis dan hepatitis. Hal yang penting diperhatikan pada ibu hamil adalah:
-

Hanya 1/3 jumlah ibu dari bayi yang tertular, diketahui mempunyai lesi herpes
sewaktu persalinan.

Hanya 1 dari 14 ibu yang menularkan herpes mengaku menderita herpes.


Herpes genital primer sewaktu kehamilan mempunyai resiko penularan yang

besar.
-

Herpes genital primer pada trimester ketiga merupakan pembawa (carrier)


dengan resiko penularan yang besar (50%).

Dari 143 wanita hamil dengan resiko terkena herpes genital, ternyata hanya
2,4% yang positif menularkan virus pada saat melahirkan. Sedangkan penelitian pada
wanita yang datang di klinik KB dengan pemeriksaan Immunodot assay menunjukkan
hasil seroprevalensi HSV-2 sebesar 21,6% dan ada hubungan yang bermakna dengan
aktivitas seksual, ras, dan usia. Demikian juga penelitian di Singapura menunjukkan
hubungan antara herpes dengan usia, yaitu insidens puncak episode awal herpes
terjadi pada usia antara 20-29 tahun dan insidens herpes primer sebesar 68,3% dari 43
penderita yang datang ke klinik RS.
Data-data di beberapa RS di Indonesia menunjukkan bahwa prevelensi herpes
rendah sekali yaitu tahun 1992 di RSU Dr. Moewadi hanya 10 kasus dari 9983
penderita poliklinik, di RSU Dr. Hasan Sadikin sebesar 9 kasus dari 9727 penderita
poliklinik, sedangkan di RSUP Dr. Kariadi, selama 5 tahun yaitu 1990-1994 jumlah
penderita herpes sebanyak 110 atau 0,14% dari seluruh penderita yang berobat di
poliklinik. Namun demikian prevalensi herpes genital di RSUD Dr. Soetomo agak
tinggi yaitu sebesar 64 kasus dari 653 kasus IMS dan terlebih lagi di RSUP Denpasar
jumlah kasusnya paling tinggi yaitu sebesar 22 kasus dari 126 kasus IMS(Infeksi
Menular Seksual).
Perubahan pola distribusi maupun pola perilaku penyakit Herpes Simpleks
tersebut di atas tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain faktor
medis tentunya sangat dipengaruhi juga oleh faktor-faktor sosial, seperti: Mobilitas
penuduk yang bertambah, Prostitusi, Kebebasan inidvidu(seperti berganti-ganti
pasangan seksual), Ketidaktahuan, Peledakan jumlah penduduk, Kemajuan sosial
ekonomi terutama dalam bidang industri yang menyebabkan lebih banyak kebebasan
sosial maupun kebebasan seks serta perkawinan antar ras/negara yang berbeda.
Oleh karena infeksi herpes simpleks ini bisa menular kepada bayi yang
dikandung oleh ibu yang menderita penyakit tersebut dan dapat mengakibatkan

meningitis, ensefalitis, pneumonitis dan hepatitis pada bayi yang sedang dikandung,
maka penulis bermaksud ingin mencari solusi dari permasalahan tersebut. Agar angka
penyebaran dari penyakit herpes simpleks atau genital ini bisa sedikit berkurang.

1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Untuk megetahui bagaimana penyebaran penyakit kelamin yaitu Herpes
Simpleks yang dilihat baik dari aspek medis maupun dari aspek sosial
budaya. Juga untuk mengetahui peran perawat kepada pasien dan mencari
solusi untuk mengurangi penyebarannya.
1.2.2. Tujuan Khusus:
1.

Untuk mengidentifikasi definisi, gejala klinis, etiologi, patogenesis,


epidomiologi dari penyakit Herpes Simpleks

2.

Untuk mengidentifikasi penatalaksanaan bagi pasien penderita Herpes


Simpleks.

3.

Untuk mengidentifikasi penyebaran penyakit Herpes Simpleks baik dari


aspek medis maupun dari aspek sosial budaya.

4.

Untuk mengidentifikasi dampak bagi pasien yang menderita penyakit


Herpes Simpleks terutama pada kehamilan.

5. Untuk mengidentifikasi perasaan pasien dari aspek psikologis.


6.

Untuk mengidentifikasi peran perawat dalam menangani pasien yang


terserang herpes

7. Untuk memberi solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit


herpes simpleks.

1.3. Rumusan Masalah


1.

Apa definisi, gejala klinis, etiologi, patogenesis, epidomiologi dari


penyakit Herpes Simpleks?

2. Bagaimana penatalaksanaan bagi pasien penderita Herpes Simpleks?

3.

Bagaimana penyebaran penyakit Herpes Simpleks baik dari aspek medis


maupun dari aspek sosial budaya?

4.

Apa saja dampak bagi pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks
terutama pada kehamilan?

5. Bagaimana perasaan pasien dari aspek psikologis?


6.

Apa saja peran perawat dalam menangani pasien yang terserang herpes
Simpleks?

7.

Bagaimana solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit


herpes simpleks?

1.4. Manfaat
1.

Dapat mengetahui definisi, gejala klinis, etiologi, patogenesis,


epidomiologi dari penyakit Herpes Simpleks

2.

Dapat mengetahui bagaimana penatalaksanaan bagi pasien penderita


Herpes Simpleks.

3.

Dapat mengetahui penyebaran penyakit Herpes Simpleks baik dari aspek


medis maupun dari aspek sosial budaya.

4.

Dapat mengetahui dampak bagi pasien yang menderita penyakit Herpes


Simpleks terutama pada kehamilan.

5. Dapat mengetahui perasaan pasien dari aspek psikologis.


6. Dapat mengetahui peran perawat dalam menangani pasien yang terserang
herpes
7.

Dapat mengetahui solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh


penyakit herpes simpleks.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Herpes Simpleks
2.1.1. Definisi
Herpes genitalis adalah infeksi pada genital yang disebabkan oleh Herpes
Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok
dengan dasar eritema pada daerah mukotan, sedangkan infeksi dapat
berlangsung baik primer maupun rekurens.
SINONIM
Fever blister, ciold store, herpes febrilis, herpes labialis, herpes
progenitalis (genitalis)

2.1.2. Epidemiologi
Penyakit ini menyebar kosmopolit dan menyerang baik pria maupin
wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi primer oleh herpes simpleks
virus (HSV) tipe I biasanya dimulai pada usia anak-anak, sedangkan infeksi
HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau III, dan berhubungan dengan
peningkatan aktivitas seksual.

2.1.3. Etiologi
Herpes genitalis disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) ATAU
Herpes Virus Hominis (HVH), UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui
bahwa penyakit ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan

SHARLITT pada tahun 1940 membedakan antara HSV tipe 1 (HSV-1) dan HSV
tipe 2 (HSV-2). Sebagian besar penyebabnya adalah HSV-2, tetapi walaupun
demikian dapat juga disebabkan oleh HSV-1 ( 16,1%) akibat hubungan kelamin
secara urogenital atau penularan melalui tangan.
Secara serologik, biologik dan sifat fisikokimia HSV-1 dan HSV-2 sukar
dibedakan. Dari penelitian seroepidemiologik didapat bahwa antibodi HSV-1
sudah terdapat pada anak-anak sekitar umur 5 tahun, meningkat 70% pada usia
remaja dan 97% pada orang tua. Penelitian seroepidemiologik terhadap antibodi
HSV-2 sulit untuk dinilai berhubung adanya reaksi silang antara respons imun
humoral HSV-1 dan HSV-2.
Dari data yang dikumplkan di WHO dapat diambil kesimpulan bahwa
antibodi terhadap HSV-2 rata-rata baru terbentuk setelah melakukan aktivitas
seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang dari 30%, pada kelompok
wanita di atas umur 40 tahun naik sampai 60%, dan pada pekerja seks wanita
(PSW) ternyata antibodi HSV-2 10 kali lebih tinggi daripada orang normal.

2.1.4. Patogenesis
Bila seseorang terpajan HSV, maka infeksi dapat berbentuk episode 1
infeksi primer (inisial), episode 1 non infeksi primer, infeksi rekurens,
asimtomatik atau tidak terjadi infeksi sama sekali. Pada episode 1 infeksi primer,
virus yang berasal dari ,luar masuk ke dalam tubuh Hospes. Kemudian terjadi
penggabungan dengan DNA hospes di dalam tubuh hospes tersebut dan
mengadakan multiplikasi/replikasi serta menimbulkan kelainan pada kulit. Pada
waktu itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, ini bisa mengakibatkan
timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi berat. Selanjutnya
virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion saraf regional
(ganglion sakralis) dan berdian di sana serta bersifat laten.
Pada episode I non infeksi primer, infeksi sudah lama berlangsung tetapi
belum menimbulkan gejala klinis, tubuh sudah membentuk zat anti sehingga
pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat episode I

dengan infeksi primer.


Bila pada suatu waktu ada faktor pencetus (trigger factor) , virus akan
mengalami reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi
rekurens. Pada saat ini di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik
sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu
infeksi primer. Tringger factor tersebut antara lain adalah trauma, koitus yang
berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stress, emosi, kelelahan, makanan
yang merangsang, alkohol, obat-obatan (immunosupresif, kortkosteroid), dan
pada beberapa kasus sukar dketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa
pendapat mengenai terjadinya infeksi rekurens:
1.

Reaksi pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion


dan virus akan turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang
dipersarafinya dan akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta
menimbulkan lesi.

2.

Virus secara terus menerus dilepaskan ke sel epitel dan adanya faktor
pensetus ini menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi
rekurens.

2.1.5. Gejala klinis


Manifestasi klinik dapat dipengaruhi oleh faktor herpes pajanan HSV
sebelumnya. Episode tedahulu dan tipe virus. Masa inkubasi umumnya berkisar
antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala yang timbul dapat bersifat berat,
tetapi bisa juga asimtomatik terutama bila lesi ditemukan pada daerah serviks.
Pada penelitian retrospektif 50-70% infeksi HSV-2 adalah asimtomatik.
Infeksi HSV ini berlangsung dalam 3 tingkat :
1. Infeksi primer
Tempat prediksi HSV tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di
daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi
dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter
gigi atau pada orang yang sering menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini

juga sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV tipe II
mempunyai tempat prediksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di
daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi
neonatus.
Pada infeksi inisial gejalanya lebih berat dan berlangsung lebih lama
dan berat kira-kira 3 minggu. Biasanya di dahului rasa terbakar dan gatal di
daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi
timbul dapat diserta gejala konstitusi seperti malaise, demam dan nyeri otot.
Lesi pada kulit berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar eriterm.
Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multiple. Tanpa infeksi
sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu lima sampai tujuh hari dan
tidak terjadi jaringan parut, tetapi bila ada, penyembuhan memerlukan waktu
lebih lama dan meninggalkan jaringan parut.
Klenjar limfe regional dapat membesar dan nyeri pada perabaan.
Infeksi di saerah serviks, dapat menimbulkan beberapa perubahan termasuk
peradangan difus, ulkus multiple sampai terjadinya ulkus yang besar dan
nekrotik. Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat pertama kali timbul,
penyembuhan memerlukan waktu yang cukup lama, dapat dua sampai empat
minggu, sedangkan pada serangan berikutnya penyembuhan akan lebih
cepat. Disamping itu pada infeksi pertama dapat terjadi disuria bila lesi
terdapat di daerah uretra dan periuretra, sehingga dapat menimbulkan
mielitis dan radikulitis.
1. Infeksi Laten
Fase ini berarti penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi HSV
dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif dalam ganglion dorsalis.
2. Infeksi Rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion dorsalis yang dalam keadaan
tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kilit
sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa
trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual dan
sebagainya), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat

pula timbul akibat jenis makanan dan minuman yang merangsang. Infeksi
rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat
lain/tempat li sekitarnya (non loco).
Infeksi rekures dapat terjadi dengan cepat/lambat, sedangkan gejala
yang timbul biasanya lebih ringan kira-kira 7-10 hari, karena telah ada
antibodi spesifik dan penyembuhan juga akan lebih cepat. Sebagaimana telah
disebutkan di atas, infeksi inisial dan rekurensi selain disertai gejala klinis
bisa tanpa gejala. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya antibodi
terhadap HSV-2 pada orang yang tidak ada riwayat penyakit herpes genitalis
sebelumnya. Adanya antibodi terhadap HSV-1 menyebabkan infeksi HSV-1
lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi inisial HSV-2 berjalan
asimtomatik pada penderita yang pernah mendapat infeksi HSV-1.
Tempat predileksi pada pria biasanya di preputium, glans penis, batang
penis, dapat juga di uretra dan daerah anal (pada homoseks),sedangkan
daerah skrotum jarang terkena. Lesi pada wanita dapat ditemukan di daerah
labia major/minor, klitoris, introitus vaginae, serviks, sedangkan pada daerah
perianal, bokong dan mons pubis jarang ditemukan. Infeksi pada wanita
sering dihubungkan dengan servisitis, karena itu perlu pemeriksaan sitologi
secara teratur.

2.2. Penatalaksanaan
Setelah diagnosi ditegakkan, baik secara klinis, dengan maupun tanpa
pemeriksaan

penunjang,

maka

langkah

selanjutnya

adalah

memberikan

pengobatan. Pengobatan dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu profilaksis,


pengobatan non-spesifik dan pengobatan spesifik.
1. Tindakan Prolaksis
a.

Penderita diberi penerangan tentang sifat penyakit yang dapat menulat


terutama bila sedang terkene serangan, karena itu sebaiknya melaksanakan
abstinensia.

b.

Proteksi individual. Digunakan dua macam alat perintang, yaitu busa


spermisidal dan kondom. Komninasi tersebujt, bila diikuti dengan pencucian
alat kelamin memakai air dan sabun pasca koitus, dapat mencegah transmisi
herpes genitalis hampir 100% (Raab dan Lorincz, 1981). Busa supermisidal
secara in vitro ternyata mempunyai sifat virisidal, dan kondom dapat
mengurangi penetrasi virus.

c.

Faktor-faktor pencetus sedapat mungkin dihindari.

d.

Konsultasi psikiatrik dapat dapat membantu karena faktor psikis mempunyai


oeranan untuk timbunya serangan.

2. Pengobatan non-spesifik
a.

Rasa nyeri dan gejala lain bervariasi, sehingga pemberian analgetika,


antipretik dan antipruritus disesuaikan dengan kebutuhan individual.

b.

Zat-zat pengering yang berisifat antiseptik, seperti jodium povidon secara


topikal mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder dan mempercepat
waktu penyembuhan.

c.

Antibiotika atau kontrimoksasol dapat diberikan untuk mencegah infeksi


sekunder.

3. Pengobatan Spesifik
Berbagai macam obat antivirus telah pernah dipakai untuk mengatasi
penyakit herpes genitalis, misalnya idoksuridin topikal, sitarabin (Ara-C) dan
Viradabin (Ara-A) secara intravena, inosipleks (isoprinosin), dan interferon.

Obat antivirus yang kini telah banyak dipakai ialah asiklovir, dan saat ini ada
lagi 2 macam obat antivirus baru yaitu valasiklovir dan famsiklovir.
a. Asiklovir
Asiklovir merupakan obat antivirus yang spesifik terhadap virus
herpes, dapat diberikan pada penderita dengan infeksi mukokotan disertai
defisiensi imunitas. Obat ini hanya bekerja pada sel-sel yang terkena
infeksi. Tidak mempunyai efek teratogenik. Toleransi obat bai, tidak ada
toksisitasa akut dan tidak menimbulkan penekanana sumsum tulang, hati
dan ginjal. Tetapi walaupun demikian pernah dilaporkan efek samping
seperti kolik ginjal, kenaikan kadar ureum/ kreatinin dalam serum, reaksi
setempat pada suntikan nausea dan vomitus.
Asiklovir dapat diberikan secara intravena, oral dan topikal. Cara
pemberian intravena harus perlahan-lahan dan perlu pengawasan. Oleh
karena itu ssebaiknya diberikan di rumah sakit. Dosis setiap kali
pemberian adalah 5 mg/kgBB, dengan interval 8 jam. Pengobatan
asiklovir secara intravena pada herpes genital episode pertama, yang
memerlukan waktu selama 5-10 hari. Ternyata tidak dapat mengurangi
rekurensi (Corey DKK, 1985). Bila secara oral diberikan dengan dosis 200
mg 5 kali sehari selama 5-10 hari. Seperti secara intravena, pengobatan per
oral mengurangi viral shedding secara dramatis.
Banyak sarjana berpendapat bahwa pada infeksi primer sebaiknya
diberi asiklovir secara intravena dan pada infeksi rekurens diberikan
secara oral. Pembrian obat secara oral juga tidak menjamin tidak timbul
rekurensi. Kinghorn dkk (1986) telah membuktikan bahwa asiklovir 200
mg lima kali sehari per oral ditambah kotromoksazol (160 mg dan 800 mg
sulfametoksazol) dua kali sehari selama 7 hari memperpendek waktu
penyembuhan lesi secara bermakna dibandingkan dengan pengobatan
asiklovir saja.
Penanganan infeksi rekurens menurut Moreland dkk (1990) dapat
ditempuh dengan 4 cara:
1.

Tidak diberi terapi spesifik (terutama pada infeksi yang ringan)

2.

Asiklovir peroral secara episodik dengan dosis 5x200 nm/ hari selama
5 hari. Cara ini diberikan pada penderita dengan riwayat lesi multiple
atau serangan yang lama (7 hari)

3.

Supresi kronis asiklovir, dapat dipertimbangkan bila seseorang


mengalami keadaan sebagai berikut :
a.

Rekurensi lebih dari 8 kali per tahun.

b.

Rekurensi lebih dari 1 kali per bulan.

c.

Rekurensi menimbulkan beban psikologis yang berat .

d.

Bila terapi dirasakan lebih bermanfaat dibandingkan biaya untuk


penderita tersebut.
Dosis asiklovir yang di berikan minimal 2 x 200 mg/hari dan

dapat ditinggikan sampai 3-4 x 200 mg/hari tergantung pada keadaan.


Cara ini efektif dan aman untuk jangkam waktu minimal 1 tahun,
dengan penilaian ulang setiap 6 bulan.
4.

Supresi episodik dengan asiklovir, diberikan pada individu dengan


rekurensi terutama bila ada stress.
Asiklovir topikal diberikan dalam bentuk krim 5%. Obat ini bekerja

langsung pada sel yang terinfeksi serta memperpendek viral shedding .


Efek toksiknya sangat minimal, absorbsinya minimal dan tidak
mengadakan interaksi dengan obat lain yang digunkan secra bersamaan.
Selain itu juga data mengurangi rasa nyeri dan gatal. Karena hasilnya
kurang efektif dibandingkan dengan pemberian secara oral, maka
pemakaiannya hanya untuk mengurangi keparahan dan lamanya episode
rekurens.

b. Valasiklovir
Obat ini merupakan derivat ester L-valil dari asiklovir. Bahan iktif
antivirusnya ialah asiklovir, sehingga kemanjuran dan spesifitasnya
berhubungan dengan cara kerja asiklovir. Setelah diabsorbsi, valasiklovir
dengan cepat dan hampir seluruhnya, diubah menjadi asiklovir dan L-

valin. Bioavailabilitasnya 3-5 kali lebih tonggi dari pada yang dapat
dicapai oleh asiklovir oral dosis tinggi. kadar dalam plasma setelah
valasiklovir oral 1000 mg mendekati kadar yang dapat dicapai oleh
asiklovir yang diberikan secara intravena.
Pada uji klinik yang membandingkan valasiklovir 2 x 500 mg/hari,
dengan asiklovir oral 5 x 200 mg/hari, dan plasebo dalam waktu 24 jam
setelah timbulnya keluhan dan gejala klinis pertama episode herpes
genitalis rekurens menunjukkan bahwa terapi valasiklovir secara
bermakna mengurangi rasa nyeri dan mempercepat penyembuhan lesi
serta dengan cepat memperpendek masa viral shedding. Efek samping
yang paling sering dilaporkan ialah nyeri kepala dan mual.

c. Famsiklovir
Obat intivirus yang baru lain ialah famsiklovir (famciclovir) yang
merupakan derivat diasetil-6-deoksi pensiklovir. Sedangkan pensiklovir
sendiri merupakan golongan antivirus dengan komponen guanin, yang
dapat diberikan secara topikal dan intravena. Famsiklovir, dikembangkan
untuk pengobatan infeksi virus herpes, dengan cara pemberian per oral.
Cara kerja Famsiklovir sama seperti asiklovir, yaitu menghambat sintesis
DNA.
Pada

penderita

herpes

genitalis

episode

pertama,

pemberian

famsiklovir 3 kali 500 mg pe hari selama 5 hari, ternyata mempersingkat


viral shedding dan waktu penyembuhan, dibandingkan plasebo. Bila
dibandingkan dengan pengobatan asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari,
pemberian famsiklovir 3x 750 mg/hari dalam waktu yang sama, secara
statistik tidak menunjukkan oerbedaan dalam lamanya viral shedding,
waktu menghilangnya vesikel dan ulkus, serte terjadinya krustasi dan
hilangnya rasa sakit.

Penatalaksanaan Wanita Hamil Dengan Herpes Genitalis


Wanita hamil yang menderita herpes genitalis primer dalam 6 minggu
terakhir masa kehamilannya dianjurkan untuk dilakukan seksio sesarea
sebelum atau dalam 4 jam sesudah pecahnya ketuban. Seksio sesarea tidak
dilakukan secara rutin pada wanita yang mendeeita herpes genitalis rekurens.
Hanya wanita dengan viral shedding pad saat atau hampir melahirkan
memerlukan seksio sesarea. Disarankan untuk melakukan pemeriksaan
virologik dan sitologik sejak kehamilan 32 dan 36 minggu. Setelah itu
sekurang-kurangnya dilakukan kultur sekret serviks dan genetalia eksterna.
Bila kultur virus yang di inkubasi minimal 4 hari,memberikan hasil negatif 2
kali berturut-turut, serta tidak ada lesi genital pada saat melahirkan maka
dapat diannjurkan partus per vaginam.
Kontak yang lama dengan sekret yang infeksius, secara relatif dapat
meningkatkan resiko penularan penyakit. Oleh karena itu banyak penulis
menganjurkan, sebaiknya seksio sesarea dilakukan sebelum atau dalam 4 jam
sesudah ketuban pecah untuk mencegah bayi idtulari.
Pemberian asiklovir pada wanita hamil dapat dipertimbangkan, terutama
pada infekdi primer. Pada pertemuan International Herpes Management
Forum di San Fransisco AS November 1994, telah disetujuipenatalaksanaan
herpes genitalis pada wanita hamil dengan mempertimbangkan apakah
merupakan infeksi primer atau rekurens, serta usia kehamilan. Episode awal
herpes genitalis pada kehamilan dengan gejala yang berat, dianjurkan untuk
diberikan Asiklovir oral 5 x 200 mg/hari selama 7-10 hari. Asiklovir oral
dosis supresif secara rutin tidak dianjurkan untuk herpes. Genitalis rekurens
selama kehmilan atau dekat dengan akhir kehamilan.

Penatalaksanaan Bayi Lahir dari Ibu dengan Herpes Genitalis


Banyak rumah sakit yang menganjurka isolasi untuk bayi yang lahir dari
ibu dengan herpes genitalis. Kultur virus, pemeriksaan fungsi hati dan cairan
cerebrospinal harus dilakukan. Serta bayi harus diawasi ketat selama satu

bulan pertama kehidupannya. Spesimen untuk pemeriksaan kultur virus


diambil dari konjuntiva, umbilikus, nasofaring, dan setiap lesi kulit yang
dicurigai pada 24-48 jam pertama.
Bila ibu mengidap herpes genitalis primer pada saat persalinan per
vaginam, harus diberikan profilaksis asiklovir intravena kepada bayi selama
5-7 hari dengan dosis 3 x 10 mg/kgBB/hari.
Infeksi herpes simpleks pada neonatus prognosisnya buruk bila tidak di
obati. Penelitian pengobatan dengan asiklovir 10 mg/kgBB tiap 8 jam selama
10-21 hari, atau Ara-A 30 mg/kgBB/hari menurunkan angka kematian
dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat pengobatan. Cara
pengobatan ini juga dapat mencegah progresivitas penyakit (infeksi herpes
pada sususnan saraf pusat atau infeksi diseminata). Oleh karena itu
identifikasi lesi kulit sangat penting untuik menentukan ada/tidaknya infeksi
HSV pada neonatus.

Penatalaksanaan Herpes Genitalis pada Immunocompromised


Pada penderita Immunocompromised. Pengobatan infeksi herpes simpleks
memerlukan waktu yang lebih lama. Asiklovir oral dapat diberikan dengan
dosis 5 x 200 mg 400 mg/hari selama 5-10 hari. Pada yang beresiko tinggi
untuk menjadi diseminata, atau yang tidak dapat menerima pengobatan oral,
mka asiklovir diberikan secara intravena 3 x 5 mg/kgBB/hari selama 7-14
hari. Bila terdapat bukti terjadinya infeksi sinstemik dianjurkan terapi
asiklovir intravena 3 x 10 mg/kgBB/hari selama paling sedikit 10 hari.
Oeh karena pada keadaan tersebut lebih sering terjadi rekurensi
pengobatan supresif lebih dianjurkan, dengan dosis asiklovir paling sedikit
harus 2 x 400 mg/hari hingga keadaan Immunocompromisnya hilang (jika
mungkin).
Untuk penderita infeksi HIV simtomatik atau AIDS, digunakan asiklovir
oral 4-5 x 400 mgg/hari hingga lesi sembuh, setelah itu dapat diberikan terapi
supresif.

2.3. Penyebaran Penyakit Herpes Simpleks dilihat dari Aspek Budaya


Penyakit herpes simpleks yang merupakan penyakit kelamin ini terdapat
banyak di negara manapun juga, baik di negara yang sedang berkembang
maupun yang sudah maju dan tersebar luas pada semua lapisan masyarakat baik
yang miskin maupun yang kaya. Banyaknya penyakit kelamin dalam masyarakat,
mencerminkan keadaan sosial penderita karena sebagian besar tergantung pada
tingkah laku manusia, faktor psikologis dan keadaan sosio ekonominya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit herpes simpleks ini
diantaranya :
1. Faktor dasar
a. Adanya penularan penyakit
b. Berganti-ganti pasangan seksual
2. Faktro medis
a. Gejala klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis
b. Pengobatan modern
c.

Pengolahan yang mudah, murah, cepat dan efektif, sehingga risiko


resistensi tinggi, dan bila disalahgunakan akan meninggalkan risiko
penyebaran infeksi.

3.

Alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan pil KB hanya bermanfaat bagi
pencegahan kehamilannya saja, berbeda dengan kondom yang juga ddapat
digunakan sebagai alat pencegahan terhadap penularannya

4. Faktor sosial
a. Mobilitas penuduk yang bertambah
b. Prostitusi
c. Waktu yang santai
d. Kebebasan inidvidu
e. Ketidaktahuan
f. Peledakan jumlah penduduk
g.

Kemajuan sosial ekonomi terutama dalam bidang industri yang

menyebabkan lebih banyak kebebasan sosial maupun kebebasan seks.


Selain faktor-faktor tersebut di atas masih ada beberapa faktor lain yang
mempengaruhi perbedaan prevalensi antara negara maju dan berkembang:
a) Diagnosis yang kurang tepat karena keterbatasan sarana penunjang
b)

Komplikasi lebih banyak ditemukan di negara berkembnag, karena


keterlambatan diagnosis ddan pengobatan.

5.

Perubahan sikap terutama dalam bidang agama dan moral akibat perubahan
demografik

6. Kelalaian dalam memberikan pendidikan seks.


7. Perasaan aman karena kemudahan mendapatkan obat dan alat kontrasepsi.
8. Fasilitas kesehatan yang kurang memadai
9.

Banyak kasus yang tidak memberikan gejala tetapi dapat menular kepada
orang lain.

10. Kurangnya informasi tentang penularan penyakit Herpes di masyarakat dan


juga bahaya-bahaya penyakit kelamin baik untuk dirinya maupun
keturunannya.

BAB III
PEMBAHASAN

3.1.Dampak Bagi pasien


Herpes Genitalis pada Kehamilan
Bila pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang
serius, karena melalui plasenta virus dpat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat
menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal
mempunyaimangka mortilitas 60% separuh dari yang hidup menderita cacat
neuroligis atau kelainan pada mata.
Kelainan yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, mikrosefali,
hidrosefali, koroidoretinitis, keratokonjungtivitis, atau hepatitis, disamping itu
dapat juga timbul lesi pada kulit. Di amerika serikat frekuensi herpes neonatal
adalah satu per 7500 kelahiran hidup. Bila trans =misi terjadi pada trimester I
cenderung terjadi abortus, sedangkan bila pada trimester II, terjadi

prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intrapartum atau
pasca partum.

Herpes Genitalis pada Imunodefisiensi


Herpes genitalis merupakan satu masalah pada penderita dengan
imunodefisiensi, oleh karena kelainan yang ditemukan cukup progresif
berupa ulkus yang dalam di daerah anogenital. Disamping itu lesi juga lebih
luas dibandingkan dengan keadaan biasanya. Pada keadaan imunodfisiesnsi
yang tidak berat didapatkan keluhan rekurensi yang lebih lama.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah akibat penyakit ini pada bayi
yang baru lahir. Herpes genitalis pada permulaan kehamilan bisa
menimbulkan abortus/malformasi kongenital berupa mikrosefali. Pada bayi
yang lahir pada ibu yang menderita herpes genitalis pada kehamilan dapat
ditemukan

kelainan

berupa

hepatitis,

infeksi

berat,

ensefalitis,

keratokunjungtivitis, erupsi kulit berupa vesikel herpetiformis dan bahkan


bisa lahir mati.
Pada orang tua, hepatitis karena HSV jarang ditemukan, sedangkan
meningitis dan ensefalitis pernah dilaporkan. Pada orang tua meningitis
hepatika biasanya disebabkan oleh HSV-2 sedangkan ensefalitis oleh HSV-1.
Disamping itu juga ditemukan hipersensitivitas terhadap virus, sehingga
timnul reaksi pada kulit berupa eritema eksudativum multiforme. Dapat juga
timbul ketakutan dan depresi terutama bila terjadi salah penanganan pada
penderita.

3.2.Perasaan Dari Segi Psikologis Pasien


Perasaan dari segi psikologis pasien
1. Kemarahan/Marah, rageful, atau perasaan dendam kepada diri sendiri dan

orang lain bahkan kepada Tuhan.


2.

Depresi Merasa sedih, putus asa, dan / atau tak berdaya, dan memiliki
harga diri yang rendah, kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam
makan, tidur, kebiasaan olahraga, pekerjaan, dan sosial.

3. Menyalahkan diri sendiri


4. Ketakutan
5. Berusaha menyembunyikan penyakitnya dari orang lain.
Masalah psikologis seperti tersebut, akan sangat memperburuk
kondisi dan juga dapat memperburuk sebuah hubungan seksual pada
pasangan suami istri, karena adanya kecemasan. Hal ini merupakan
konsekuensi yang sangat penting secara psikologis perselisihan seksual dan
setiap penghentian dari seks dapat membawa tekanan besar untuk hubungan
yang mengarah ke perpisahan. Situasi tersebut dapat lebih diperparah oleh
kebohongan, dalam mayoritas orang yang menderita herpes genital akan
menggunakan alasan untuk tidak berhubungan seks daripada mengakui
kebenaran bahwa mereka dipengaruhi oleh kondisi tersebut.

3.3.Peran Perawat dalam Menangani Pasien yang Terserang Herpes


Komunikasi yang baik dan keterampilan konseling memainkan bagian
penting dalam pengelolaan semua jenis kesulitan pasien, untuk pasien dengan
herpes kelamin, atau infeksi menular seksual lainnya.
Sejumlah penelitian telah menetapkan pentingnya hubungan antara
perawat dan pasien ketika mengelola dampak psikologis dari herpes genital.
Pedoman ini berfokus pada peran konseling dan komunikasi yang baik dalam
manajemen optimal dari pasien dengan herpes genital.

Perspektif pasien
Tidak mengherankan, ada tingkat yang sangat tinggi morbiditas psikologis
yang terkait dengan herpes kelamin, yang perlu ditangani ketika mengelola

aspek-aspek medis dari penyakit. Bagi banyak orang, diagnosis herpes


kelamin adalah berita terburuk yang pernah mereka terima. Sementara respon
bervariasi, pasien biasanya mengalami kejutan, kemarahan, rasa malu, rasa
bersalah dan ketakutan.
Perhatian utama adalah dampak potensial penyakit yang akan timbul pada
kehidupan. Seperti bagaimana mereka akan memberitahu teman-teman
mereka, keluarga dan pasangan seksual, bagaimana mereka akan dilihat oleh
mereka, apakah mereka akan ditolak, takut menulari orang lain, dan takut
yang pernah dapat hidup "normal" kehidupan, bentuk hubungan yang
langgeng dan memiliki sebuah keluarga.
Banyak orang bahkan takut konsultasi dengan dokter, khawatir bahwa
mereka akan dinilai sebagai kotor atau promiscuous.

Tujuan konseling
Konseling merupakan bagian integral dari keberhasilan pengelolaan
pasien dengan herpes dan memiliki sejumlah tujuan yang jelas. Tujuan yang
luas adalah jika pasien menerima bahwa herpes adalah bukan "hukuman"
melainkan suatu kondisi medis yang relatif umum, yang dapat dikelola
berhasil untuk meminimalkan dampak negatif pada kehidupan mereka.
Secara khusus, tujuan konseling adalah:
a)

Untuk menjalin hubungan dengan pasien, sesuai dengan pengobatan,


sehingga dari hari ke hari manajemen pemulihan dapat ditingkatkan

b)

Untuk memberikan informasi dan pendidikan tentang herpes, prevalensi


misalnya, transmisi, rekuren, mencegah infeksi lain, pilihan pengobatan
dan jaringan pendukung.

c)

Untuk meminimalkan sequela psikologis, yang biasanya merupakan hasil


dari kondisi kronis, termasuk libido berkurang, kehilangan diri, harga diri
rendah dan kecemasan tentang transmisi, rincian kemungkinan
hubungan, depresi dan rasa bersalah yang ekstrim.

d) Untuk membantu proses menginformasikan mitra pasien.

e)

Untuk tahu kapan untuk merujuk pasien pada terapi psikologis untuk
lebih intensif, dan

f)

Mengklarifikasi isu seputar transmisi yang dapat mempengaruhi


hubungan seksual saat ini, menumpahkan gejala misalnya

Aturan konseling pasien herpes kelamin


1. Memiliki lingkungan yang tepat
2. Memiliki sikap yang tepat.
Perawat harus menunjukkan sikap peduli, meminta pasien
membuka,

tidak

menghakimi

pertanyaan

dan

bertujuan

untuk

mengembangkan kepercayaan pasien. Mencoba untuk membayangkan diri


anda jika berada pada posisi seperti pasien dapat membantu untuk
membangun empati. Pertimbangkan konsultasi sebagai kesempatan untuk
secara terbuka jelajahi semua masalah-baik yang relevan medis dan
psikologis-sehingga pasien memiliki kesempatan terbaik untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan manajemen utama.
Hal ini penting untuk memiliki keseimbangan antara kebutuhan
untuk mendapatkan fakta-fakta dan memberikan saran dan kebutuhan
untuk mengembangkan hubungan yang terbuka dan saling percaya. Waktu
yang memadai harus diberikankan untuk menutupi poin kunci yang
relevan pada konsultasi awal (misalnya berurusan dengan shock menerima
diagnosis atau mengelola gejala-gejala fisik) dengan fakta lain dan isu
yang dibahas pada konsultasi-konsultasi berikutnya.
3. Menyediakan informasi yang tepat
Sebuah aspek utama dari konseling pasien herpes kelamin
misalnya seperti menghilangkan mitos dan memberikan informasi yang
jelas dan akurat tentang sifat dan pengelolaan penyakit. Ini harus
disediakan baik secara lisan maupun tertulis. Ada beberapa sumber yang
tersedia saat ini. Diantaranya harus mencakup:

Sifat klinis dan sejarah alam dari penyakit (misalnya infeksi,


pembentukan latency, gejala, diagnosa, frekuensi dan keparahan

kekambuhan, prodromes, transmisi, menumpahkan gejala, sifat kronis


penyakit dll)

Pengobatan pilihan (termasuk pendekatan yang berbeda untuk terapi


antivirus);

Kemungkinan pemicu dan cara menghindarinya

Manajemen saran gaya hidup (diet, olahraga, stres dll manajemen)

Praktik seks aman dan menghindari transmisi

Prevalensi penyakit (mereka tidak sendirian)

Hubungan Herpes dan kehamilan

Strategi untuk menginformasikan, dan

Pilihan untuk spesialis / konseling yang sedang berlangsung,


kelompok herpes dukungan, informasi lebih lanjut dll.

4. Mengatakan dan melakukan hal yang benar

BAB IV
PENUTUP
4.1.Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit herpes
simpleks. Baik itu dari aspek medis maupun dari aspek sosial budaya. Seseorang
atau pasien yang sedang menderita penyakit ini akan mengalami dampak
psikologis di dalam dirinya, seperti :
1. Kemarahan/Marah, rageful, atau perasaan dendam kepada diri sendiri dan
orang lain bahkan kepada Tuhan.
2.

Depresi Merasa sedih, putus asa, dan / atau tak berdaya, dan memiliki
harga diri yang rendah, kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam
makan, tidur, kebiasaan olahraga, pekerjaan, dan sosial.

3. Menyalahkan diri sendiri


4. Ketakutan dan
5. Berusaha menyembunyikan penyakitnya dari orang lain.
Oleh karena itu, peran perawat dalam hal ini memiliki hubungan yang
sangat penting. Disamping membantu memberikan pengobatan, perawat juga bisa
membantu memberikan konseling kepada pasien untuk mengurangi beban
psikologis yang dihadapinya. Selain itu perawat juga bisa memberikan informasi
atau penyuluhan kepada masyarakat mengenai bagaimana penyebaran penyakit
Herpes Simpleks ini, juga bahayanya jika di derita oleh ibu yang sedang hamil.
Karena akan menginfeksi pada bayi yang sedang dikandungnya. Perawat juga bisa
memberi informasi mengenai bagaimana cara penanganannya. Dengan demikian
diharapkan penyebaran penyakit ini dapat diminimalisir, dan akan menambah
pengetahuan masyarakat tentang penyakit Herpes Simpleks.

4.2.Saran
Pemberian konseling kepada pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks

harus perlu dilakukan perawat untuk mengurangi penyebaran dari penyakit ini.
Kita sebagai perawat harus memberi penyuluhan kepada masyarakat agar berhatihati, karena seorang wanita yang hamil dan menderita penyakit Herpes akan memberikan
dampak kepada bayi yang dikandungnya.
DAFTAR PUSTAKA

Utama, Hendra. 2007. Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Djuanda, Adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.
PUSDIKNAKES. 1997. Aids dan Penanggulangannya. Jakarta: Studio Driya
Media.
Entjang, Indan. 1991. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Shryock, Harold M.d. 2000. Modern Medical Guide. U.S.A: Review and Herald
Publishing.

Anda mungkin juga menyukai