Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTEK

COMPREHENSIVE HEALTH ASSESSMENT


ASUHAN KEPERAWATAN KEPADA KLIEN DENGAN POST ORIF ELEKTIF
FRAKTUR MANDIBULA DEXTRA

Pendahuluan
Fraktur adalah discontinuitas dari jaringan tulang yang biasanya disebabkan oleh adanya
kecelakaan yang timbul secara langsung. Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang
mandibula. Hilangnya kontinuitas pada rahang bawah (mandibula), yang diakibatkan trauma
oleh wajah ataupun keadaan patologis, dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan benar
(Sjamsuhidajat, 2005). Dari seluruh fraktur di daerah wajah, sekitar dua pertiga adalah fraktur
mandibula. Meskipun mandibula merupakan tulang wajah yang terpadat dan terkuat, bentuk
anatomis dan posisi mandibula mengakibatkan lebih sering terjadi fraktur dibandingkan tulang
muka lain (Julia, 2005).
Tingginya kejadian kecelakaan lalu lintas setara dengan meningkatnya angka kejadian fraktur
tulang wajah. Tulang wajah yang paling sering mengalami fraktur adalah mandibula (61 %),
diikuti zygoma (27 %), dan tulang hidung (19,5 %) (Rai, 2006). Data yang dikeluarkan PBB
(Perserikatan Bangsa-Bangsa) angulus mandibula 24% dan daerah simfisis parasimfisis
mandibula 22% (Moenadjat, 2002).
Menurut hasil penelitian SO.Ajike (An epidemiologic survey of maxillofacial fractures and
concomitant injuries in Kaduna, Nigeria) didapat bahwa fraktur maksilofasial akibat kecelakaan
lalu lintas pada pengendara sepeda motor ini lebih banyak dijumpai pada laki-laki dari pada
perempuan dengan rasio 3,7:1. Dengan insidensi terbanyak adalah fraktur mandibula sebesar
75%, fraktur sepertiga wajah tengah sebesar 25%, serta fraktur kombinasi maksilofasial 12%
(Ajike, 2005).
Hasil penelitian di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) tahun 2006 hingga 2010
menyebutkan terdapat sejumlah 404 kasus fraktur tulang wajah setara dengan 10,3 kasus
perbulan (Schwartz, 2010). Dalam tatanan pelayanan kesehatan di Rumah Sakit ada dua cara
penanganan fraktur, yaitu dengan pembedahan (operatif) atau tanpa pembedahan yang meliputi
imobilisasi, reduksi dan rehabilitasi. Metode operatif dilakukan dengan reduksi terbuka. Reduksi

merupakan prosedur yang sering dilakukan untuk mengoreksi fraktur, salah satunya adalah
dengan pemasangan fiksasi internal dan fiksasi eksternal melalui proses operasi (Smeltzer &
Bare, 2009). Pada prosedur terbuka bagian yang mengalami fraktur di buka dengan pembedahan
dan segmen fraktur direduksi serta difiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat/plat
yang disebut dengan wire atau plate osteosynthesis.
Berdasarkan masalah tersebut diatas dan komplikasi yang mungkin terjadi pada pasien fraktur
bila tidak dilakukan tindakan secara adekuat akan terjadi resiko cedera yang lebih berat serta
beresiko infeksi yang berat hingga terjadi sepsis, dan agar penulis juga lebih memahami dan
mendalami tentang masalah fraktur guna untuk melakukan asuhan perawatan pasien pada fraktur
yang lebih komprehensif yang mencakup kebutuhan biopsikososial spiritual yang terkait dengan
masalah tersebut. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk mengambil Asuhan Keperawatan yang
judul: Asuhan Keperawatan Pada Tn. S dengan POST ORIF ELEKTIF FRAKTUR
MADIBULA DEXTRA di Ruang Lantai 6 Bedah DOKMIL RSPAD GS Jakarta Pusat dan juga
menjadi studi kasus Keperawatan.
Pembahasan
Pada pengkajian riwayat kesehatan didapatkan klien Tn. S yang berusia 27 tahun, Tn. S datang
ke IGD pada tanggal 29 Februari 2016 pukul 22.15 WIB dengan keluhan Pre operasi nyeri pada
rahang sebelah kanan setelah mengalami kecelakaan sepeda motor, klien tampak memar pada
dagu dan tampak bengkak pada wajah sebelah kanan. Klien didiagnosa, dengan Frakur
Mandibula DextraPemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu foto rongent panorama dengan
hasil Fraktur mandibula dextra sehingga direncanakan operasi ORIF elektif. . Klien telah di
operasi dengan jenis pembedahan Orif Elektif dengan anastesi umum. Setelah operasi, klien
mengeluh nyeri pada rahang bawah kanan dengan skala nyeri 6 dari 10, nyeri saat mulut dan
wajah digerakan, nyeri dirasakan terus menerus seperti di tusuk-tusuk dan ekspresi wajah klien
tampak meringis. Keluhan lain klien merasa mual dan sulit untuk makan karena nyeri yang
dirasakan. Pemeriksaan TTV: TD : 110/80, N : 91x/menit, RR: 22x/menit SB : 36,6 0C. Hasil
pemeriksaan laboratorium: Hemoglobin : 14,6 g/dl, Trombosit: 177.000 /uL, Hematokrit: 47 %,
Eritrosit: 5,3 juta/uL, Leukosit: 11.200 /uL. Klien dianjurkan untuk dirawat inap.
Pengkajian menurut pola Gordon. Pola pertama yaitu persepsi dan pemeliharaan kesehatan,
saat klien sakit biasanya berobat ke rumah sakit, saat ini klien dirawat dengan keluhan utama
nyeri pada rahang bawah. Klien banyak bertanya tentang sakit yang dialaminya. Masalah
keperawatan yang muncul adalah Kurang Pengetahuan

Pola Nutrisi dan Metabolik, saat dikaji klien mengatakan sebelum sakit dirumah biasanya
makan 3 kali sehari dan biasanya klien dapat menghabiskan 1-2 porsi. Klien tidak memiliki
alergi pada makanan, obat,dll. Setelah sakit klien mengatakan sulit untuk makan dan merasa
mual karena nyeri yang dirasakan. Klien tampak terpasang balutan pada rahang bawah kanan dan
tampak ada jahitan di bagian mulut klien. Sebelum sakit saat di rumah pasien minum 8 Gelas
perhari dengan air putih, setelah di rawat di RS klien minum sama 8 gelas air putih dan susu.
Berat badan sebelum sakit 73 Kg dan berat badan setelah sakit 72 kg, tinggi badan 176 cm, IMT
= 21,88. Diet yang dianjurkan adalah Diet cair 6x200 cc . Klien terpasang IVFD I RL per 24
jam.. Hasil laboratorium: hemoglobin 14,6 g/dL. Masalah keperawatan yang muncul adalah
Gangguan Integritas Kulit, Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Pola Eliminasi, saat dikaji klien mengatakan sebelum sakit BAB dan BAK tidak ada keluhan,
saat sakit BAK sehari 3-4 kali, tidak ada keluhan. BAB 1 kali sehari dengan warna kuning
kecoklatan dan konsistensi lembek, tidak ada keluhan. Capillary refill < 2 detik, bising usus (+).
Hasil laboratorium Natrium 145 mmoL/L (normal), Kalium 3,9 mmoL/L (normal), Clorida 103
mmoL/L (normal). Terpasang IVFD I RL per 24 jam, input 600 cc (minum dan makan 400 cc,
parenteral 200 cc). Output 480 cc (BAB belum ada, BAK 300 cc, dan IWL: 180 cc per 6 jam (S
36,8C)). Balance Cairan per 6 jam = + 120 cc. Tidak ditemukan masalah keperawatan.
Pola Aktifitas dan latihan, saat dikaji sebelum sakit klien bekerja sebagai TNI, dan rutin
berolahraga. Setelah operasi, klien tampak terbaring lemah ditempat tidur dan aktifitas klien di
bantu keluarga dan perawat. TTV: S: 36,6 C, RR 22 x/menit (dalam dan irama teratur), TD
110/80 mmHg, Nadi 91 x/menit. Masalah keperawatan yang ditemukan adalah Hambatan
Mobilitas fisik
Pola Istirahat dan Tidur, saat dikaji klien biasanya tidur malam selama 5-6 jam, biasanya
waktu tidur malam pukul 10 dan bangun pukul 5 pagi. Kebiasaan sebelum tidur tidak ada. Saat
sakit klien tidur malam selama 5-6 jam sehari. Tidak ditemukan masalah keperawatan.
Pola Persepsi Sensori dan Kognitif/perseptual, saat dikaji sebelum sakit klien tidak punya
gangguan dalam kemampuan sensori. Saat sakit, klien mengeluh nyeri pada rahang bawah kanan
dengan skala nyeri 6 dari 10, nyeri saat mulut dan wajah digerakan, nyeri dirasakan terus
menerus seperti di tusuk-tusuk, ekspresi wajah klien tampak meringis, kesadaran pasien compos

mentis dengan GCS 15 (E4 M6 V5), hasil TTV: TD : 110/80, N : 91x/menit, RR: 22x/menit SB :
36,60C. Klien dapat berorientasi pada waktu, tempat dan orang, serta bahasa yang digunakan
bahasa Indonesia, komunikasi baik. Masalah keperawatan yang ditemukan adalah Gangguan
rasa nyaman : Nyeri (Akut).
Pola persepsi diri/konsep diri, saat sakit klien tidak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya.
Saat berdiskusi, klien mempertahankan kontak mata. Ekspresi wajah klien sesuai dengan
ungkapan perasaan yang diucapkan dan di sampaikan. Tidak ditemukan masalah keperawatan.
Pola peran/hubungan, saat dikaji klien berumur 24 tahun dan belum menikah. Klien merupakan
anak ke-2 dari 3 bersaudara. Klien tinggal di asrama Tentara. Klien dekat dengan teman
sekamarnya. Saat sakit klien tampak dijaga oleh keluarga dan teman, kadang saudara-saudara
dan teman se-asrama klien datang berkunjung ke rumah sakit. Tidak ditemukan masalah
keperawatan.
Pola seksual/reproduksi, klien berjenis kelamin laki-laki, klien menolak untuk dilakukan
pemeriksaan genital. Tidak ditemukan masalah keperawatan.
Pola Mekanisme Koping/toleransi stress, sebelum sakit klien mengatakan bila ada masalah
didiskusikan bersama dan yang membuat keputusan adalah klien dan keluarga. Saat di rumah
sakit klien tampak kooperatif saat perawat melakukan asuhan keperawatan dan bila ada masalah
selalu didiskusikan dengan keluarga. Tidak ditemukan masalah keperawatan.
Pola Nilai Kepercayaan, klien beragama Islam, sebelum masuk ke rumah sakit pasien sering
datang pengajian dilingkungan asrama Tentara. Pasien mengatakan keturunan jawa. Saat di
rumah sakit klien sholat dan berdoa di tempat tidurnya. Tidak ditemukan masalah keperawatan.

Berdasarkan hasil pengkajian menggunakan pendekatan 11 pola Gordon, masalah keperawatan


utama yang akan dibahas adalah Pertama, Gangguan rasa nyaman: Nyeri (Akut)
berhubungan dengan post pembedahan ORIF elektif yang ditandai dengan klien mengeluh
nyeri pada rahang bawah kanan dengan skala nyeri 6 dari 10, nyeri saat mulut dan wajah
digerakan, nyeri dirasakan terus menerus seperti di tusuk-tusuk, ekspresi wajah klien tampak
meringis menahan sakit. Hasil pemeriksaan TTV didapatkan TD : 110/80, N : 91x/menit, RR:
22x/menit SB : 36,60C. pemeriksaan laboratorium: Hemoglobin : 14,6 g/dl, Trombosit:
177.000 /uL, Hematokrit: 47 %, Eritrosit: 5,3 juta/uL, Leukosit: 11.200 /uL. Nyeri (Akut) adalah
keadaan dimana individu mengalami dan melaporkan adanya rasa ketidaknyamanan yang hebat
atau sensasi yang tidak menyenangkan selama 6 bulan atau kurang (Wilkinson, 2012). Benturan
yang keras dapat menyebabkan fraktur pada mandibula tersebut. Fraktur atau patah tulang adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer & Bare, 2001)
atau setiap retak atau patah pada tulang yang utuh (Reeves & Lockhart, 2001). Pasien dengan
post operasi fraktur mandibula maupun dislokasi mandibula akan merasakan adanya nyeri. Nyeri
merupakan masalah utama yang dirasakan oleh sebagian besar pasien yang mengalami
hospitalisasi, termasuk didalamnya pasien post operasi (Erniyati, 2002). Nyeri post operasi
biasanya berlokasi pada area pembedahan. Nyeri setelah pembedahan normalnya dapat
diprediksi hanya terjadi dalam durasi yang terbatas, lebih singkat dari waktu yang diperlukan
untuk perbaikan alamiah jaringan-jaringan yang rusak (Hayati, 2011).

Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah Nyeri (Akut) diawali dengan
tindakan keperawatan mandiri yaitu kaji karakteristik nyeri (PQRST), observasi TTV, ajarkan
teknik relaksasi napas dalam, tindakan kolaborasi pemberian analgetik Ketorolac 3 x 30 mg,
Ceftriaxone 2 x 1 gr. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24 jam diharapkan nyeri
berkurang dengan kriteria hasil secara subjektif, klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat
diatasi, mengidentifikasi aktifitas yang meningkatkan atau mengurangi nyeri, klien tidak gelisah,
skala nyeri 0-1 atau teratasi. Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas
nyeri melalui mekanisme yaitu dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme
yang disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah
dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang mengalami spasme dan iskemik dan teknik
relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opioid endogen
yaitu endorphin dan enkefalin (Smeltzer & Bare, 2002). Teknik relaksasi nafas dalam merupakan
suatu bentuk asuhan keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien
bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan
bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri,
teknik relaksasi nafas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan
oksigenasi darah (Smeltzer & Bare, 2002). Berdasarkan penelitian kepada pasien post operasi
yang mengalami nyeri yang dilakukan tindakan manajemen nyeri non farmakologis berupa
teknik relaksasi mendapatkan hasil bahwa nyeri yang dialami pasien post operasi mengalami
penurunan skala nyeri. Skala nyeri yang berhasil diturunkan rata-rata berkisar 2.77. Teknik
relaksasi dilakukan sekitar 30 menit dan dilakukan 2 jam setelah pemberian analgesik (Ikhsan,
2012).
Manajemen farmakologis yang biasa digunakan adalah analgetik golongan opioid, tujuan
pemberian opioid adalah untuk meredakan nyeri. (Smeltzer & Bare, 2002). obat golongan
NSAID yaitu ketorolac untuk menangani rasa nyeri sedang sampai berat, ketorolac diunggulkan
untuk menangani rasa nyeri setelah operasi (Koda, 2009). Penggunaan analgesik opioid tidak
meningkatkan kesalahan diagnosis dan pengobatan (Manterola, 2011).
Setelah diberikan tindakan selama 3 hari, evaluasi pada kasus Tn. S adalah klien mengatakan
nyeri mulai berkurang dengan skala nyeri 4 dari 10, nyeri dirasakan saat mulut digerakkan dan

hilang timbul seperti ditusuk-tusuk. Ekspresi wajah klien tampak lebih nyaman. Hasil
pemeriksaan TTV didapatkan RR: 20x/menit dengan irama teratur, TD: 120/80 mmHg, S 36,2
0

C, N 88 x/menit. Tindakan dilanjutkan diruang perawatan.

Kedua, Gangguan integritas kulit berhubungan dengan luka post operasi yang ditandai
dengan Klien tampak terpasang balutan pada rahang bawah kanan dan tampak bengkak dan ada
jahitan di bagian mulut serta rahang kanan klien. Hasil pemeriksaan Leukosit: 11.200 /uL.
Menurut Wilkinson (2012), Gangguan integritas kulit adalah perubahan yang terjadi pada
epidermis dan dermis. Masalah keperawatan kerusakan integritas kulit ini muncul karena
integritas kulit masuk dalam kebutuhan keselamatan dan rasa aman (Elizabeth, 2003). Kerusakan
integritas kulit adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami atau berada pada resiko
kerusakan jaringan epidermis dan dermis dengan batasan karakteristik mayor terputusnya
jaringan epidermal dan dermal, sedangkan karakteristik minor yaitu kulit gundul, etitema, lesi
(Carpenito, 2008).
Tindakan keperawatan yang dilakukan untuk mengatasi masalah gangguan integritas kulit
diawali dengan tindakan mandiri yaitu mengkaji kulit (lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah
dan tipe cairan luka), mengidentifikasi pada tahap perkembangan luka, dan kolaborasi dalam
perawatan luka/penggantian balutan. Perawatan luka adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan
untuk merawat luka agar dapat mencegah terjadinya trauma (injuri) pada kulit membran mukosa
atau jaringan lain, fraktur, luka operasi yang dapat merusak permukaan kulit. Serangkaian
kegiatan itu meliputi pembersihan luka, memasang balutan, mengganti balutan, pengisian
(packing) luka, memfiksasi balutan, tindakan pemberian rasa nyaman yang meliputi
membersihkan kulit dan daerah drainase, irigasi, pembuangan drainase, pemasangan perban
(Briant, 2007).
Prinsip implementasi atau penanganan masalah ini adalah melakukan perawatan luka yang dapat
dilakukan dibangsal nantinya, karena perawatan luka dengan prinsip steril membantu mencegah
kontaminasi. Demikian juga dijelaskan Saiffudin (2005) bahwa perawatan luka dengan prinsip
steril dapat menghancurkan mikroorganisme. Selain itu didalam tubuh terdapat flora normal
yang dapat mempertahankan keseimbangan sensitif dengan mikroorganisme lain untuk
mencegah infeksi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 hari, Klien tampak ada luka balutan pada
rahang kanan bawah, tampak pada bekas insisi bedah tidak keluar darah atau cairan yang
merembes dan balutan kering. Tindakan dilanjutkan diruang perawatan.

Ketiga, Hambatan mobilitas Fisik berhubungan dengan kelemahan post operasi yang
ditandai dengan klien tampak terbaring lemah ditempat tidur setelah post operasi. Tampak
seluruh aktivitas di bantu oleh Keluarga dan Perawat. klien mengeluh nyeri pada daerah rahang
sebelah kanan dan saat digerakkan terasa sakit. Menurut Wilkinson (2012), hambatan mobilitas
fisik adalah keterbatasan dalam kebebasan untuk pergerakan fisik tertentu pada bagian tubuh
atau satu atau lebih pada ekstremitas. dimana pada pasien fraktur yang mengalami pergeseran
fragmen tulang terjadi deformitas (bentuk abnormal seperti fraktur) pada tulang yang
menyebabkan gangguan fungsi rentang gerak. Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam
klien mampu melakukan aktifitas sesuai kemampuannya dengan kriteria hasil klien dapat
mengikuti program latihan, tidak mengalami kontraktur sendi, kekuatan otot bertambah, dan
klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas serta memberikan bantuan dalam
melakukan mobilisasi; mengawasi tekanan darah dengan melakukan aktivitas serta
memperhatikan keluhan pusing; membantu mengubah posisi klien secara periodik dan
mendorong untuk latihan batuk/napas dalam. Kemudian rencana kolaborasi yang akan dilakukan
adalah konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan/atau rehabilitasi spesialis mengenai latihan
pasca fraktur.

Hambatan mobilitas fisik adalah keadaan ketika individu mengalami keterbatasan atau beresiko
mengalami keterbatasan gerak fisik, tetapi bukan imobilisasi (Carpenito, 2009). Tindakan
keperawatan yang dilakukan adalah memberikan bantuan aktivitas perawatan diri sesuai indikasi
dan periode aktivitas, mengevaluasi peningkatan mobilitas fisik klien. Adapun tindakan
kolaborasi dalam memberikan asuhan keperawatan dalam menangani gangguan hambatan
mobilitas fisik yaitu kolaborasi dengan keluarga untuk memotivasi pasien untuk berpartisipasi
dalam beraktivitas. Setiap aktivitas yang menimbulkan kelelahan harus dihindari atau dilakukan
adaptasi. Pasien harus dibantu untuk mengidentifikasi stres emosional dan menggali cara-cara
menyelesaikannya (Smeltzer & Bare, 2001).
Setelah diberikan tindakan keperawatan selama 3 hari, Klien tampak sudah mampu
melakukan aktifitas seperti BAK, BAB namun makan masih dibantu perawat dan keluarga.
observasi TTV TD : 120/80mmHG Nadi : 88x/mnt, suhu : 36,2 oC, RR : 20x/mnt. Masalah
keperawatan hambatan mobilitas fisik belum teratasi, intervensi dilanjutkan selama perawatan
Tindakan dilanjutkan di ruang perawatan.

Kesimpulan
Berdasarkan pengkajian 11 pola Gordon, masalah keperawatan yang paling signifikan ditemukan
pada pola ke-2 (Pola Nutrisi-Metabolik), pola ke-4 (Pola Aktivitas-Latihan), pola ke-6 (Pola
Persepsi Sensori dan Kognitif/perseptual), Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 hari,
perkembangan pasien terlihat dari data subjektif dan objektif yang ditemukan pada hari ke-3
pemberian asuhan keperawatan yaitu klien mengatakan nyeri mulai berkurang dengan skala
nyeri 4 dari 10, nyeri dirasakan saat mulut digerakkan dan hilang timbul seperti ditusuk-tusuk.
Ekspresi wajah klien tampak lebih nyaman. Tampak ada luka balutan pada rahang kanan bawah,
tampak pada bekas insisi bedah tidak keluar darah atau cairan yang merembes dan balutan
kering. Hasil pemeriksaan TTV : RR 20x/menit dengan irama teratur, TD: 120/80 mmHg, S 36,2
0

C, N 88 x/menit, klien tampak lebih nyaman. Klien tampak sudah mampu melakukan aktifitas

seperti BAK, BAB namun makan masih dibantu perawat dan keluarga. Tindakan keperawatan
dilanjutkan diruang perawatan dan dimodifikasi lagi.
SARAN
Dari studi kasus ini, penulis menyarankan bahwa Fraktur mandibula dapat terjadi pada siapa saja
dan penting bagi kita untuk mengetahui dan memahami tentang fraktur mandibula serta cara
perawatannya. Pentingnya kerjasama dari keluarga pasien dalam membantu memotivasi klien
dapat berpengaruh pada kesembuhan klien dan komunikasi yang efektif antara klien dan perawat
diperlukan agar asuhan keperawatan yang diberikan pada klien terlaksana dengan tepat.

SELF REFLECTION
Setelah penulis menerapkan antara teori dengan kasus khususnya asuhan keperawatan tentang
fraktur dan penulis lebih memahami tentang bagaimana cara penerapan yang seharusnya
dilakukan dengan baik pada asuhan keperawatan tentang fraktur, dan diagnosa mana yang harus
utamakan dan diperhatikan, terutama dengan diagnosa yang sering timbul ketika seseorang
mengalami suatu penyakit khususnya fraktur yaitu gangguan rasa nyaman (nyeri akut) karena
penyebab awal timbulnya masalah penyerta seperti Resiko Gangguan integritas kulit, dan
Hambatan mobilitas fisik . Oleh sebab itu jika rasa nyeri berkurang atau hilang maka masalah

penyerta juga dapat berkurang ataupun hilang. Jadi penulis melakukan tindakan keperawatan
pada diagnosa tersebut dengan mengkaji karatkteristik nyeri. Mengajarkan teknik relaksasi,
berkolaborasi untuk pemberian obat analgetik dan antibiotik. Serta wawasan yang luas juga
sangat di perlukan untuk mempersiapkan diri dalam memberikan asuhan keperawatan.

DAFTAR PUSTAKA
Ajike SO, Adebayo ET, Amanyiewe EU. An epidemiologic survey of maxillofacial fractures and
concomitant injuries in kaduna, nigeria. Nigerian J of Surgical research 2005.
Bryant, Ruth. (2007). Acute & Chronic Wounds; Current Manangement Concept. Philadelphia :
Mosby Elsevier
Elizabeth, J. Corwin. 2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Hayati,

dkk.

2011.

Dislokasi

Sendi

Temporomandibular.

Diakses

dari

http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=pengaruh%2Bdislokasi
%2Bmandibula&source=web&cd=2&cad=rja&ved=0CDUQFjAB&url=http%3A
%2F%2Fxa.yimg.com%2Fkq%2Fgroups%2F13472721%2F1863404901%2Fname
%2FMAKALAH&ei=ZuHbUePwF5G0rAfWxoHgAQ&usg=AFQjCNGJEsySR9o
dI6BPNK1Y1APk7Ptyog&bvm=bv.48705608,d.bmk pada tanggal 05 April 2016.
Ikhsan. 2012. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam terhadap Penurunan Nyeri pada Pasien
Pasca Operasi di Rumah Sakit dr. M. Yunus Bengkulu. Diakses dari
http://www.saptabakti.ac.id/jo/index.php/jurnal/143-pengaruh-teknik-relaksasinafas-dalam-terhadap-penurunan-nyeri-pada-pasien-pasca-operasi-di-rumah-sakitdr-myunus-bengkulu-ikhsan pada tanggal 05 April 2016
Koda. 2009, Applied Therapeutics The Clinical Use of Drug. Lippincot Williams & Wilkins
Philadephian.
Materola. 2011. Analgesia In Patients With Acut Abdominal Pain, Jurnal NCBI.
Moenadjat Y. Strategi penatalaksanaan trauma muka. Proceeding of The 14th congress of
Indonesian Surgeon. Bali. Indonesia. 2002.
Saifuddin. 2005. Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan dengan
Sumber Daya Terbatas. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Schwartz SI. 2010. Trauma in principles of surgery. 7th edition. McGraw Hill.

Sjamsuhidajat, Jong W D. (2005). Buku Ajar ilmu bedah, Edisi 2, penerbit buku kedokteran
Jakarta: EGC
Smeltzer, Suzanne, C. Bare Brenda, G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth, Edisi VIII. Jakarta: EGC.
Thapliyal.

(2007).
Management
of
Mandibular
Fractures.
Available
http://medind.nic.in/maa/t08/i3/maat08i3p218.pdf. last update 05 April 2016.

at

Anda mungkin juga menyukai