Anda di halaman 1dari 29

3.

PROVINSI SULAWESI UTARA


A. PENDAHULUAN
Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) yang berada di paling ujung utara
Nusantara terletak di bagian paling utara dari semenanjung Pulau
Sulawesi, yaitu antara 00301-50351 Lintang Utara dan antara 12307011270001 Bujur Timur. Sebelah utara berbatasan dengan Filipina, sebelah
timur dengan Provinsi Maluku Utara, sebelah selatan berbatasan dengan
Provinsi Gorontalo, dan di sebelah barat dibatasi oleh Laut Sulawesi. Luas
wilayah semenanjung ini adalah 15.376,99 km yang terbagi dalam tiga
belas daerah Kabupaten/Kota definitif.
Gambar L3.1
Peta Administrasi Provinsi Sulawesi Utara

3
.
1

Sulawesi Utara mempunyai latar belakang sejarah yang cukup panjang


sebelum disyahkankan menjadi Provinsi kedua puluh empat dari Republik
Indonesia. Dalam sejarah pemerintahan daerahnya, maka Sulawesi Utara
mengalami beberapa kali perubahan administrasi pemerintahan, seiring
dengan dinamika penyelenggaraan pemerintahan. Pada permulaan
kemerdekaan RI, daerah ini berstatus karisidenan yang merupakan bagian
dari Provinsi Sulawesi. Provinsi Sulawesi ketika itu beribukota di Makassar
dengan Gubernurnya, DR.G.S.S.J. Ratulangi.
Dalam perkembangan selanjutnya, tercatat satu momentum penting
dalam lembar sejarah pembentukan Sulawesi Utara, yaitu dikeluarkannya
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1964 (23 September 1964) yang
menetapkan status Daerah Tingkat I Sulawesi Utara sebagai daerah
otonom Tingkat I dengan ibukotanya Manado. Momentum ini kemudian
ditetapkan sebagai hari lahirnya Daerah Tingkat I Sulawesi Utara. Adapun
daerah tingkat II yang masuk dalam wilayah Sulawesi Utara, yaitu

55

Kotamadya Manado, Kotamadya Gorontalo, Kabupaten Minahasa,


Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Bolaang Mongondow, dan Kabupaten
Sangihe Talaud. Gubernur Provinsi Dati I Sulawesi Utara yang pertama
adalah F.J. Tumbelaka.
Seiring dengan spirit reformasi dan otonomi daerah, maka dibentuk
Provinsi Gorontalo sebagai pemekaran dari Sulawesi Utara melalui
Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000. Dengan dibentuknya Provinsi
Gorontalo, maka wilayah Sulawesi Utara meliputi Kota Manado (157,25
km), Kota Bitung (304,00 km), Kabupaten Minahasa (1.117,15 km),
Kabupaten Sangihe (746,57 km) dan Talaud dan Kabupaten Bolaang
Mongondow (8.358,04 km). Pada tahun 2003, Sulawesi Utara mengalami
penambahan tiga kabupaten dan satu kota dengan Kabupaten Minahasa
sebagai kabupaten induk, yaitu Kabupaten Minahasa Selatan (1.409,97
km), Kabupaten Minahasa Utara (932,20 km), Kabupaten Kepulauan
Talaud (1.240,40 km) serta Kota Tomohon (114,20 km). Kemudian pada
Mei 2007 bertambah lagi tiga kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten
Minahasa Tenggara (710,83 km), Kabupaten Bolaang Mongondow Utara
(1.843,92 km), Kabupaten Kepulauan Sitaro (275,96 km) dan Kota
Kotamobagu (68,06 km).
Sulawesi Utara merupakan salah satu dari tujuh provinsi kepulauan, yang
terdiri dari 258 Pulau dan sebelas diantaranya berbatasan langsung
dengan negara tetangga Philipina dan laut Pasifik. Adapun secara
administratif, pulau-pulau yang masuk wilayah Provinsi Sulawesi Utara
dapat dilihat pada bagan berikut:
Tabel L3.1
Rekapitulasi Jumlah Pulau Di Provinsi Sulawesi Utara
Kabupaten/Kota
Kota Manado
Kota Bitung
Kab. Bolaang Mongondow
Kab. Bolmong Utara
Kab. Minahas Utara
Kab. Minahasa Tenggara
Kab. Minahasa Selatan
Kab. Kep. Talaud
Kab. Kep. Sangihe
Kab. Kep. Sitaro
Jumlah

Jml
Tidak
Berpenghuni
Pulau
Berpenghuni
3
3
17
1
16
17
4
13
6
6
19
7
12
24
3
21
4
4
16
7
9
105
27
78
47
7
40
258
59
199

Jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Utara tahun 2006 2.121.017 jiwa,


yang menyebar pada setiap kota dan kabupaten yang terdiri dari tiga kota
dan enam Kabupaten. Pertumbuhan penduduk di Sulawesi Utara per
tahun adalah 140 jiwa/km (data BPS Sulawesi Utara tahun 2005)

55

dengan laju rata-rata pertumbuhan tiap tahun (2003 2005) adalah


sebesar 2.34%. Wilayah dengan penduduk terbanyak adalah Kabupaten
Bolaang Mangondow (474.908 jiwa) dan yang terkecil adalah Kota
Tomohon (60.649 jiwa). Sedangkan pada 2007, jumlah penduduk Provinsi
Sulawesi Utara adalah 2.217.290 jiwa dengan tingkat kepadatan
penduduk sebesar 144.20 jiwa/km2.
Masyarakat di provinsi ini didominasi oleh Suku Minahasa (33,2%), diikuti
Suku Sangir (19,8%), Suku Bolaang Mangondow (11,3%), Suku Gorontalo
(7,4%) lalu Suku Totemboan (6,8%). Masing-masing kelompok etnis
tersebut terbagi pula subetnis yang memiliki bahasa, tradisi dan normanorma kemasyarakatan yang khas, misalnya dari segi pemakaian bahasa.
Berdasarkan hasil survei Badan Pusat Statistik tahun 2004, angka IPM
Sulawesi Utara sampai dengan tahun 2003 menunjukkan angka 71,3 dan
menduduki peringkat kedua nasional sesudah DKI Jakarta.
Potensi paling besar di Sulawesi Utara bila dilihat dari aspek kemiringan
tanah dan jenis tanah kompleks (meliputi 76,5% dari total luas seluruh
provinsi) adalah pengembangan pertanian pangan, tanaman perkebunan,
hijauan pakan ternak sapi dan kambing, dan pengembangan hutan
produktif. Hal ini semakin mengukuhkan sumber penghidupan sebagian
besar masyarakat Sulawesi Utara di sektor pertanian dan perkebunan.
Nilai produksi barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan dalam setahun
oleh para pelaku ekonomi di Sulawesi Utara tercermin dari PDRB (Produk
Domestik Regional Bruto) untuk tahun 2004 mencapai Rp 14,13 triliun
(HB) dan Rp 3,88 triliun (Harga HK). Nilai tersebut telah mengalami
perkembangan hampir 6,5 kali untuk harga berlaku (HB) dan untuk harga
konstan (HK) mengalami perkembangan lebih dari 1,5 kali dari tahun
1993. Lokomotif pertumbuhan PDRB Sulawesi Utara terutama
disumbangkan oleh sektor pertanian sebesar 26,45%, kemudian diikuti
oleh sektor angkutan dan komunikasi sebesar 17,14%, sektor jasa-jasa
13,98%, sektor perdagangan, hotel, dan restoran 13,39%, sektor
bangunan 10,62%. Selanjutnya untuk sektor industri pengolahan,
pertambangan, dan penggalian, listrik, gas, dan air, serta sektor
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan semuanya hanya berperan di
bawah 10%.

B.
POTENSI
DAN
SULAWESI UTARA

KEJADIAN

BENCANA

PROVINSI

1. Deskripsi
Ekosistem
Provinsi
Sulawesi
Utara
dan
Peruntukkannya
Ekosistem Wilayah Provinsi Sulawesi Utara dipengaruhi oleh letak
geografisnya yang terdiri dari dua ekosistem utama, yaitu daratan
(terestrial) dan perairan (estuaria). Sebagian besar wilayah daratan
Sulawesi Utara terdiri dari pegunungan dan bukit-bukit diselingi oleh
lembah yang membentuk dataran. Dataran rendah dan tinggi Sulawesi
Utara secara potensial mempunyai nilai ekonomi bagi para penghuninya,
55

terutama dalam komoditas pertanian (padi dan sayur-mayur) dan


perkebunan (kelapa, cengkeh, pala, kopi, dan vanili). Beberapa dataran
yang terdapat di Sulawesi Utara antara lain Tondano (2.850 ha), Langowan
(2.381 ha), Modoinding (2.350 ha), Tompaso Baru (2.587 ha) di Kabupaten
Minahasa; Taruna (265 ha) di Sangihe Talaud; Dumoga (21.100 ha), Ayong
(2.700 ha), Sangkub (6.575 ha), Tungoi (8.020 ha), Poigar (2.440 ha),
Molibagu (3.260 ha), Bintauna (6.300 ha) di Bolaang Mongondow.
Gunung-gunung terletak berantai dengan ketinggian di atas 1000 m dari
permukaan laut (dpl). Beberapa gunung yang terdapat di Provinsi
Sulawesi Utara, yaitu G. Klabat (1895 m) di wilayah Minahasa Utara, G.
Lokon (1579 m) dan G. Mahawu (1331 m) di wilayah Kota Tomohon, G.
Soputan (1789 m) di wilayah Minahasa, G. Dua Saudara (1468 m) di
wilayah Kota Bitung, G. Awu (1784 m), G. Ruang (1245 m), G.Karangetan
(1320 m), G. Dalage (1165 m) di wilayah Sangihe dan Talaud, G. Ambang
(1689 m), G. Gambula (1954 m), G. Batubulawan (1970 m), G. Kapoya
(1.112 m) di wilayah Bolaang Mongondow. Jumlah keseluruhan gunung
yang tersebar di Kabupaten Bolaang Mongondow adalah 41 (empat puluh
satu) gunung, lalu diikuti oleh Kabupaten Minahasa sebanyak 16 (enam
belas) gunung dan di Kabupaten Sangihe dan Talaud sebanyak delapan
(8) gunung.
Provinsi Sulawesi Utara dialiri 30 (tiga puluh) buah sungai. Di Kabupaten
Bolaang Mongondow mengalir 18 (delapan belas) sungai dengan panjang
keseluruhan 472,4 km, dimana Sungai Dumoga adalah sungai terpanjang
(87,2) km. Di Kabupaten Minahasa, Minahasa Selatan dan Minahasa Utara
terdapat 12 (dua belas) sungai dengan panjang sungai keseluruhan 362,7
km, dimana sungai terpanjang adalah Sungai Poigar (54,2) km. Sungai
Tondanooutlet di Danau Tondano yang terletak di Kabupaten Minahasa,
alirannya sampai ke muara melewati Kabupaten Minahasa Utara dan Kota
Manado. Peran Sungai Tondano untuk pengembangan infrastruktur publik
sangat berarti, terutama terhadap pemakaian air dan listrik sangat
dipengaruhi debit air Sungai Tondano.
Sulawesi Utara sendiri memiliki 16 (enam belas) Daerah Aliran Sungai
(DAS), yaitu DAS Tondano, DAS Kosibidan, DAS Sangkup, DAS Ranoyapo,
DAS Pororosen, DAS Poigar, DAS Ongkak Mongondow, DAS Nuangan, DAS
Ranowangko/Nimangan, DAS Likupang, DAS Buyat, DAS Bolangitang, DAS
Ayong, DAS Andegile, DAS Dumoga dan DAS Bone (berdasarkan Peta
Pembagian DAS Sulawesi Utara).
Terdapat 17 (tujuh belas) danau yang tersebar mulai dari Kabupaten
Bolaang Mongondow (8 danau) dengan luas keseluruhan 998 hektar,
dengan danau terluasnya Danau Moat (617 hektar). Di Minahasa terdapat
delapan 8 danau dengan luas keseluruhan 4.415 ha, dimana danau
terluas adalah Danau Tondano (4.278 hektar). Di Sangihe Talaud terdapat
sebuah danau, yaitu Danau Makalehi dengan luas 56 hektar.

55

Keanekaragaman hayati tinggi di pesisir dan laut juga dimiliki oleh


Sulawesi Utara. Flora dan fauna yang terdapat di pesisir seperti habitat
bakau, padang lamun dan juga yang terdapat di laut seperti teripang,
udang barong, ikan hias, dll memiliki nilai ekonomi tinggi. Taman Nasional
Bunaken, Taman Nasional Dumoga Bone adalah sumber-sumber daya
yang sangat potensial sebagai obyek wisata dan peranan ekologis.
Sektor perikanan Sulawesi Utara juga termasuk salah satu sektor
unggulan provinsi ini. Sulawesi Utara merupakan pusat pengembangan
industri perikanan sejak 2001, pemerintah setempat melaksanakan
Gerakan Pengembangan Komoditas Unggulan Berbasis Agribisnis
(Gerbang Kuba) meliputi industri ikan tuna, cakalang dan layang. Selain
itu juga dikembangkan, Daerah Perlindungan Laut yang Berbasis
Masyarakat (DPL-BM) yang ada di Kabupaten Minahasa Selatan (Desa
Blongko), di Kabupaten Minahasa Tenggara (Desa Bentenan dan Desa
Tumbak) dan di Kabupaten Minahasa Utara (Pulau Talise).
Luas hutan di Sulawesi Utara mencapai 788.691,88 ha 1. Fungsi hutan itu
dibagi menjadi:
1. Hutan Lindung: 175.958,33 ha, (22,3% luas kawasan hutan/11,1% luas
provinsi);
2. Cagar Alam (CA): 16.853 ha (2,1% luas kawasan hutan/1,1% luas
provinsi);
3. Suaka Margasatwa (SM): 31.095 ha (3,9% luas kawasan hutan/2,0%
luas provinsi);
4. Taman Nasional (TN): 266.180 ha (47,7% luas kawasan hutan/23,6%
luas provinsi)
5. Taman Wisata Alam (TWA): 1.250 Ha (0,2% luas kawasan hutan/0,1%
luas provinsi);
6. Hutan Produksi (HP): 67.423,55 ha, (8,5% luas kawasan hutan/4,2%
luas provinsi);
7. Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas 219.908,86 ha, (26,6% luas
kawasan hutan/13.2% luas provinsi); dan
8. Hutan Produksi Konversi (HPK): 14.643,40 ha (1,9% luas kawasan
hutan/0,9% luas provinsi).
Gambar L3.2
Luas Kawasan Hutan (Ha) di Povinsi Sulawesi Utara 2
Luas (ha) Kawasan Hutan Sulawesi Utara

Minahasa , 23348

Minsel , 88353
Minut, 72276

Tomohon , 2895

Manado , 16192
Bolmong , 513815
Bitung , 15643
1
2

Sumber: BPKH tahun 2006; Sk Menhutbun No.452/Kpts-II/99 tanggal 17 Juni 1999


Sumber: BPKH Wilayah VI, Tahun 2006.
Talaud , 42351

Sangihe , 13820

55

Penggunaan lahan untuk kawasan budidaya adalah penggunaan lahan di


luar kawasan lindung yang kondisi fisik dan potensi sumber daya alamnya
dapat dan perlu dimanfaatkan baik bagi kepentingan produksi maupun
pemenuhan kebutuhan masyarakat dan permukiman. Kawasan-kawasan
budidaya tersebut meliputi Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Pertanian,
Kawasan Pertambangan, Kawasan Industri, Kawasan Pariwisata, dan
Kawasan Permukiman. Berikut adalah tabel tentang luas penggunaan
lahan di Provinsi Sulawesi Utara, yaitu:
Tabel L3.2
Luas Penggunaan Lahan di Provinsi Sulawesi Utara
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Penggunaan Lahan
Sawah
Ladang/ tegalan
Pemukiman
Padang rumput/ Perkebunan
Danau dan rawa-rawa
Kolam/ Tambak
Lahan kering tidak digarap
Hutan
Lain-lain
Total

Luas (ha)
57.096
261.877
48.573
323.277
8.390
3.588
74.352
519.806
236.366
1.533.325

%
3,72
17,08
3,17
21,08
0,55
0,23
4,85
33,90
15,42
100

Lain-lain
Lain-lain

Sawah
Sawah

Ladang/
Ladang/tegalan
tegalan
Pemukiman
Pemukiman

Hutan
Hutan

/ / Padang
Padangrumput
rumput
Perkebunan
Perkebunan
- -Danau
Danaudan
danrawa
rawa
rawa
rawa

Lahan
Lahankering
keringtidak
tidak
digarap
digarap
Kolam/
Kolam/Tambak
Tambak

Keadaan suhu di Sulawesi Utara rata-rata per tahun dalam kurun tahun
19982005 adalah 26,5 C dengan sebaran 26,2 C - 26,8 C. Sedangkan
curah hujan rata-rata tahun 1998 2005 ialah 289,1 mm dengan sebaran
220-309 mm. Kecepatan angin rata-rata (1998 2005) ialah 2,7 knot
dengan sebaran 1,9-3,6 knot. Iklim di daerah Sulawesi Utara dipengaruhi
oleh Angin Muson. Pada bulan September sampai April, bertiup angin
pembawa hujan lebat. Bulan Mei sampai November bertiup angin selatan
ke barat laut. curah hujan di darerah pedalaman Sulawesi Utara terhitung
tinggi, yaitu 4188 mm/tahun dan jumlah curah hujan mencapai 195 hari.
Suhu pesisir pantai agak tinggi, namun daerah pegunungan temperatur
menunjukkan 26-27 derajat celsius pada musim hujan.
2.

Potensi Bencana Alam Provinsi Sulawesi Utara

Berdasarkan kondisi geografis dan ekosistem Provinsi Sulawesi Utara,


maka provinsi ini ternyata menyimpan beragam potensi bencana yang
tidak kalah banyaknya dengan potensi sumber penghidupan untuk
masyarakatnya. Apalagi selain kondisi tersebut, faktor lain yang juga
berkontribusi adalah faktor kualitas lingkungan hidup di Sulawesi Utara
terus mengalami degradasi. Kekayaan sumberdaya alam makin menipis,
sementara ancaman bencana alam karena kerusakan lingkungan makin

55

besar. Dari hasil identifikasi yang dilakukan terhadap wilayah ini, maka
beberapa potensi bencana yang ada yaitu:
2.1.Gempa Bumi
Provinsi Sulawesi Utara tergolong daerah berpotensi tinggi atau rawan
dan rentan terhadap bencana gempa bumi, baik tektonik maupun
vulkanik. Kegiatan Lempeng Halmahera, dan kegiatan penunjaman
Lempeng Maluku ke arah barat di bawah busur Minahasa-Sangihe yang
masih aktif sampai sekarang dapat mengakibatkan terjadinya gempa
bumi tektonik. Menurut Peta Geologi (Apandi, 1977), di Provinsi Sulawesi
Utara terdapat beberapa Sesar, yaitu Sesar Amurang - Belang, Sesar
Ratatotok, Sesar Likupang, Sesar Selat Lembeh, Sesar yang termasuk
dalam sistem Sesar Bolaang Mongondow, dan Sesar Manado Kema.
Gempa bumi yang terjadi di daerah Sulawesi Utara antara tahun 1990
sampai dengan bulan April tahun 2007 (kurun waktu 17 tahun) tercatat
sebanyak 397 kali dengan kisaran magnitude 4,0-7,4 skala Richter (SR).
Dari data yang ada, gempa dengan magnitude 4,0-5,0 SR terjadi
sebanyak 131 kali (33,08%), gempa bumi dengan magnitude 5,1-6,0 SR
sebanyak 227 kali (57,32%), gempa bumi dengan magnitude 6,1-7,0 SR
sebanyak 36 kali (9,09%), dan gempa bumi dengan magnitude 7,1-8,0 SR
sebanyak 2 kali (0,51%). Umumnya pusat gempa terletak di Laut Maluku
dan di samping itu juga terdapat di Laut Sulawesi, di Laut Kepulauan
Talaud, di Laut Kepulauan Sangihe, di Laut Banda dan di Laut Teluk Tomini.
Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan gempa bumi yang dirasakan di
Sulawesi Utara.

Tabel L3.3
Gempa Bumi di Sulawesi Utara dan Sekitarnya (Tahun 1990- April
2007)

Tahun
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997

Kekuatan Gempa (Skala


Richter)
4,05,16,17,15,0
6,0
7,0
8,0
14
9
11
4
5
5
0
3

7
1
19
21
9
7
6
7

0
1
1
3
0
0
2
2

Jumlah
0
0
0
0
0
0
0
0

21
11
31
28
14
12
8
12

55

1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Jumlah
%

10
2
5
4
10
7
8
10
6
18
131
33,08
%

9
11
11
11
11
11
7
17
18
44
227
57,32
%

3
4
3
4
0
1
0
3
5
4
36
9,09%

0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
2
0,51%

22
17
19
19
22
19
15
30
30
66
396
100%

Sumber: Badan Meteorologi dan Geofisika Manado, 2007.

Data terakhir dari Bakornas-PB mencatat, kejadian gempa bumi terakhir


yang melanda Sulawesi Utara adalah pada pertengahan Januari 2007
menyebabkan enam orang tewas, dan 19.322 orang mengungsi yang
sebagian besar berasal dari Kota Manado, Bitung dan Kabupaten
Minahasa Utara.
2.2.Gelombang Pasang/Tsunami
Pesisir pantai utara dan selatan Provinsi Sulawesi Utara berpotensi
mengalami
gelombang
pasang/tsunami,
mengingat
wilayah
ini
merupakan daerah yang sering mengalami gempa bumi.

Gambar L3.3
Peta Daerah Berpotensi Tsunami

Sumber: BMG
Jakarta

55

Sumber: Badan Metereologi dan Geofisika, Jakarta

Pantai kritis di Provinsi Sulawesi Utara membentang sepanjang 49,50 km


dari garis pantai 1.767,68 km. Sampai dengan tahun 2004, pantai kritis
yang sudah tertangani mencapai 11,02 km. Tujuan penanganan daerah
pantai adalah untuk melindungi prasarana umum dan pemukiman dan
bahaya gelombang pasang, abrasi pantai dan mundurnya garis pantai.
Jumlah pantai kritis yang makin meningkat ini, juga membawa potensi
dampak kerugian yang lebih masif apabila terjadi gelombang
pasang/tsunami dalam skala besar.
2.3.Letusan Gunung Berapi
Berdasarkan deskripsi pada bagian sebelumnya, maka telah dijelaskan
bahwa sebagian besar kondisi topografi di Provinsi Sulawesi Utara
dikelilingi oleh daerah pegunungan, terutama gunung api aktif (vulkanik)
yang berjumlah sekitar 65 (enam puluh lima) gunung. Gunung api sendiri
dapat didefinisikan sebagai bentukan gunung yang memiliki lubang
kepundan atau rekahan pada kerak bumi tempat keluarnya magma, gas
atau cairan lainnya ke permukaan.
Bencana letusan gunung api disebabkan oleh aktifnya gunung api
sehingga menghasilkan erupsi. Bahaya letusan gunung api dapat
berpengaruh secara langsung (primer) dan tidak langsung (sekunder).
Bahaya primer letusan gunung api adalah lelehan lava, aliran piroklastik
(awan panas), jatuhan piroklastik, letusan lahar dan gas vulkanik beracun.
Bahaya sekunder adalah ancaman yang terjadi setelah atau saat gunung
api tidak aktif seperti lahar dingin, banjir bandang dan longsoran material
vulkanik.
Letusan gunung api di Sulawesi Utara, umumnya memiliki tipe letusan
freatomagmatik yang ditandai dengan semburan material pijar, dan
kadang-kadang diikuti oleh leleran lava pijar. Selain itu, ciri khas gunung
api di Sulawesi Utara menampakkan gejala perpindahan pusat letusan,
semisal Gunung Lokon dan Soputan yang sangat umum terjadi.
Perpindahan ini mengikuti garis lemah pada kerak bumi yang di wilayah
Sulawesi Utara berarah utara selatan agak timur laut-barat daya. Hampir
semua gunung api di Sulawesi Utara terletak pada arah dominan ini.
Karena itu pula, bentuk daratan Sulawesi Utara memanjang pada arah ini.
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Utara
Tahun 1991, untuk mengantisipasi dampak yang ditimbulkan dari potensi
bencana letusan gunung api, maka pemerintah setempat didukung
instansi terkait lainnya di tingkat pusat (Badan Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana, ESDM) menyusun peta kawasan rawan bencana letusan gunung
55

api. Pengertian Kawasan Rawan Bencana ini adalah kawasan yang sering
atau berpotensi tinggi mengalami letusan gunung api. Sulawesi Utara
sendiri memiliki sembilan gunung api aktif, yaitu:
a G. Awu ( 1.320 m dpl, + 3.300 m dari dasar laut), berada di bagian
utara Pulau Sangihe.
b G. Karangetang ( 1.820 m dpl, + 2.700 m dari dasar laut), berada di
bagian utara Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Sitaro.
c G. Ruang ( 714 m dpl, + 1.700 m dari dasar laut), G. Submarin
Banuawuhu (+ 400 m dari dasar laut), dan G. Soputan (+ 1.784 m
dpl), terletak di perbatasan Kabupaten Minahasa Selatan, Minahasa
dan Minahasa Tenggara.
d G. Lokon ( 1.579 m dpl) dan Gunung Mahawu ( 1.331 m dpl),
terletak di perbatasan Kota Tomohon dan Kabupaten Minahasa.
e G. Ambang ( 1.689 m dpl) di perbatasan Bolaang Mongondow dan
Minahasa Selatan.
f G. Tangkoko (G. Tangkoko 1.149 m dpl) di Kota Bitung.
Gambar L3.4
Peta Kawasan Rawan Bencana Letusan Gunung Api di Sulawesi
Utara

5
.
1
4

Sumber: Badan Metereologi dan Geofisika, Jakarta

Namun dari sekian banyak gunung api yang mengelilingi sebagian besar
wilayah Sulawesi Utara, ada beberapa gunung api yang perlu diwaspadai,
terutama luasan daerahnya yang terkena dampak letusan tersebut. Tabeltabel berikut akan memaparkan lebih lanjut mengenai risio dari potensi
bencana gunung api:
Tabel L3.4
Tabel Letusan Gunung Api Dengan Luasan Daerah Berbahaya

55

No
.
1.
2.
3.

4.
5.

Tinggi
DPL
(m)

Kabupaten/Kota
Nama Gunung
Bolaang
Mongondow
G. Ambang
Minahasa Selatan
G. Soputan
Kep. Sangihe
G. Karangetang
G. Ruang
G. Banuawuhu
G. Awu
Kota Tomohon
G.Lokon
G. Mahawu
Kota Bitung
G. Tangkoko

Daerah
Berbahaya
(km2)

Daerah
Waspada
(km2)

Letusan
Terakhir
(thn)

1.689

62,9

70,2

1967

1.783,3

74,0

126,5

2000, 2008

1.820
1700
0
1.784

28,0
78,6
78,6
144,
5

6,0
122,5
122,5
55,3

2001
1949
1919, 1922
1966

1.579,6
1.331

30,5
28,7

55,5
66,8

2001
1958

1.149

100,
5

89,4

1880

Sumber: Sulawesi Utara Dalam Angka Tahun 2006 (BPS)

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa 5 dari 9 kabupaten/kota di


Provinsi Sulawesi Utara memiliki gunung api dengan berbagai risiko, baik
bencana maupun kesuburan lahan. Daerah berbahaya terluas akibat
letusan adalah daerah sekitar G. Awu di Kabupaten Kepulauan Sangihe
dan daerah waspada terluas adalah di sekitar G. Soputan di Kabupaten
Minahasa Selatan.G. Tangkoko di Kota Bitung, selama 127 tahun terakhir
tidak menampakkan aktivitas letusan. Sedangkan G. Soputan, G.
Karangetang dan G. Lokon relatif lebih aktif dibanding lainnya.
Tabel berikutnya adalah tabel mengenai Daftar Gunung Api Di Provinsi
Sulawesi Utara Yang Perlu Diwaspadai (Data terakhir: 13 Juni 2008). Tabel
ini biasanya dipakai sebagai dokumen resmi yang dikirimkan kepada
pejabat pemerintah setempat dimana lokasi gunung api tersebut berada,
sehingga mereka dapat mempersiapkan semua warga dan perlengkapan
dalam situasi darurat.
Tabel L3.5
Daftar Gunung Api Di Provinsi Sulawesi Utara Yang Perlu
Diwaspadai
Nama
Gunung
Api

LOKON
(1579 m)

Posisi
Geografis &
Administrati
f

Status
Kegiata
n

Rekomendasi

Level 2 Tidak diperbolehkan


1 21 30 LU
124 47 30 (Waspad berkemah di kawah
a)
dan Puncak G. Lokon.
BT
Kab.
Minahasa,

Keterangan

Bahaya
Letusan
Freatik
secara tibatiba

55

Nama
Gunung
Api

MAHAW
U
(1331 m)

Posisi
Geografis &
Administrati
f
Provinsi
Sulawesi
Utara
1 21 30 LU
124 51 30
BT
Kota
Tomohon,
Provinsi
Sulawesi
Utara

Status
Kegiata
n

Level 1
(Aktif
Normal)

Rekomendasi

Tidak diperbolehkan
berkemah di Puncak
G. Mahawu.

Keterangan
melontarkan
pasir, batu.
Tingginya
konsentrasi
gas Sulfur
yang
berbahaya
bagi
kehidupan.

AMBANG
(1689 m)

Level 1
0 44 30 LU
124 243 00 (Aktif
Normal)
BT
Kab.
Minahasa,
Kab. Bolaang
Mongondow
Provinsi
Sulawesi
Utara.

Tidak
diperbolehkan
turun ke kawah.
Tidak
diperbolehkan
berada di
beberapa titik
hembusan
Solfatara dan
Fumarola.

SOPUTA
N
(1783 m)

Level 3 Masyarakat agar


1 06 30 LU
tidak beraktifitas
124 43 00 (SIAGA)
pada radius sekitar
BT
6 Km dari puncak
Kab.
G. soputan, guna
Minahasa,
menghindari
Provinsi
ancaman guguran
Sulawesi
lava dan awan
Utara
panas guguran.
Untuk masyarakat
yang bermukim di
luar radius 6 Km
dari puncak G.
Soputan tidak perlu
dilakukan
pengungsian.
Dilarang melakukan
pendakian ke
puncak dan tidak
melakukan
aktivitas pada dan
sekitar camping
ground.
Mewaspadai
terjadinya ancaman

Semburan
gas-gas
beracun
yang dapat
membahaya
kan bagi
kehidupan.

Tanggal; 6
Juni - 7 Jun
2008, terjadi
letusan
magmatik G.
Soputan.
Bahaya
Letusan abu,
lontaran pijar
dan awan
panas
guguran
serta aliran
Lahar jika
terjadi hujan.

55

Nama
Gunung
Api

Posisi
Geografis &
Administrati
f

Status
Kegiata
n

Rekomendasi

Keterangan

banjir lahar,
terutama pada
sungai-sungai yang
berhulu di sekitar
lereng G. Soputan,
seperti S.
Ranowangko, S.
Pentu, S. Lawian
dan S. Popang.
Jika terjadi hujan
abu, masyarakat
dianjurkan
menggunakan
masker penutup
hidung dan mulut,
guna
mengantisipasi
terhadap gangguan
saluran
pernapasan.
RUANG
(1700 m)

02o17 LU
Level 1
o
125
2530 (Aktif
BT
Normal)
Pulau Ruang,
Kab. Sitaro,
Provinsi
SulawesiUtara
.

Tidak
diperbolehkan
berada di bibir
kawah.
Tidak
diperbolehkan
berada di
beberapa titik
hembusan di
sekitar G. Ruang.

Semburan
gas-gas
beracun
yang mem
bahayakan
bagi
kehidupan

AWU
(1320 m)

03o40 LU
125o 30 BT
Kab. Sangihe,
Provinsi
SulawesiUtara
.

Level 1
(Aktif
Normal)

Tidak
diperbolehkan
turun ke kawah.
Tidak
diperbolehkan
berada di
beberapa titik
hembusan
Solfatara dan
Fumarola.

Kawah
sebagai
pusat
letusan
mempunyai
kandungan
gas beracun
yang
membahaya
kan bagi
kehidupan

KARANG
ETANG
(1820 m)

02o47 LU
125o 29 BT
Pulau Siau,
Kab. Sitaro,
Provinsi
SulawesiUtara

Level 2
(Waspa
da)

Bagi penduduk
yang bermukim di
sekitar daerah
aliran K. Batu
Awang, K.
Kahetang, K.
Keting, K.

Letusan
asap/abu
hingga
lontaran
batu,
Guguran

55

Nama
Gunung
Api

Posisi
Geografis &
Administrati
f
.

Status
Kegiata
n

Rekomendasi

Keterangan

Bahembang, K.
Kinali dan K. Nanitu
agar tetap
meningkatkan
kewaspadaannya
terhadap bahaya
awan panas
guguran dan
guguran lava yang
sewaktu-waktu
dapat terjadi
karena kubah lava
masih belum stabil.

Awan Panas,
aliran lava,
berpotensi
aliran Lahar
jika terjadi
hujan

Bagi masyarakat
yang bermukim di
sekitar Gunung api
Karangetang,
direkomendasikan
agar:
a Tetap waspada
dan tidak
mendekati
kawah - kawah
yang ada di G.
Karangetang
mengingat
kawah aktif
tersebut sebagai
pusat aktivitas
letusan dan gas
yang
membahayakan
bagi kehidupan.
b Pada musim
hujan
masyarakat yang
tinggal di sekitar
aliran sungai
Batuawang dan
Kahetang tetap
waspada
terhadap bahaya
sekunder berupa
aliran lahar.

Sumber: Situs resmi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Dep. ESDM,
Bandung, www.vsi.esdm.go.id

55

Kerugian akibat potensi letusan gunung api yang selama ini terjadi di
Sulawesi Utara kebanyakan mendatangkan kerugian dalam urusan
materiil, terutama ketika status letusan gunung api mengharuskan warga
yang tinggal di sekitar lereng tersebut harus mengungsi ke daerah yang
lebih aman. Biaya selama di masa pengungsian inilah yang cukup
memakan anggaran pemerintah setempat untuk membantu para
warganya. Sebut saja, kejadiaan G. Karangetang di Kabupaten Kepulauan
Sitaro pada tahun 2007 lalu yang menyebabkan 984 KK harus diungsikan
ke area yang lebih aman. Selain itu, risiko bencana alam letusan gunung
api terutama yang berada di daerah kepulauan kecil dan daerah
pedalaman akan membatasi perkembangan kawasan permukiman di
lereng-lerengnya. Kondisi tersebut yang menyebabkan pertumbuhan
permukiman di daerah pedalaman dan kepulauan kecil (Sangihe, Talaud,
dan Sitaro) tidak secepat pertumbuhan di kawasan pesisir.
2.4.Banjir
Banjir merupakan peristiwa bencana alam yang tidak bisa dilihat dari satu
sisi penyebab. Banjir merupakan akumulasi dari surface run off yang ada
di hulu dan ditambah dengan intensitas hujan di daerah hilir. Akibat dari
penyebab multi faktor. Penyebab multi faktor ini memberikan kontribusi
banjir yang berbeda satu sama lain. Pengaruh catchment area terhadap
surface run off adalah melalui bentuk dan ukuran catchment area
(catchment area morfometri), kerapatan sungai (drainage density),
topografi, geologi, jenis tanah, lahan kritis, dan penutupan lahan
(landcover).
Daerah rawan banjir di wilayah Provinsi Sulawesi Utara meliputi daerah
muara sungai, dataran banjir dan dataran aluvial, terutama di sepanjang
Sungai. Faktor-faktor penyebab banjir antara lain adalah curah hujan yang
tinggi, penutupan lahan di daerah hulu berkurang dan kapasitas alur
sungai terutama di daerah hilir berkurang karena sedimentasi dan
topografis daerah.
Kota Manado yang terletak di bagian hilir daerah aliran Sungai Tondano
(DAS Tondano) merupakan kawasan rawan banjir, terutama di kawasan
permukiman dekat bantaran sungai. Menurut Dinas PU Provinsi Sulawesi
Utara Tahun 2000, banjir yang tergolong ekstrim terjadi di Kota Manado
dengan luas genangan mencapai + 761 ha pada tahun 1996 pada saat
tinggi muka air mencapai + 7,04 meter di atas permukaan air laut. Khusus
untuk konteks kejadian banjir di Kota Manado yang hampir tiap tahun
terjadi, maka berdasarkan data hasil penelitian yang dilakukan Dinas
Kehutanan Sulawesi Utara Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Tondano (2005), maka faktor yang berpengaruh dalam memberikan
kontribusi banjir secara langsung adalah kondisi drainase yang buruk,
tingginya intensitas hujan, dan kapasitas sungai yang tidak mampu
menampung seluruh air hujan, dan pasang surut air laut.

55

Pada tahun 2000, dengan tinggi genangan mencapai 2,5 meter, kota
Manado kembali dilanda banjir. Kejadian banjir lainnya yang melanda
wilayah Provinsi Sulawesi Utara adalah di daerah Inobonto, sekitar Desa
Kaiya (Kabupaten Bolaang Mongondow) yang terjadi pada awal tahun
2006 dan di wilayah Tanawangko, Kabupaten Minahasa (hilir Sungai
Ranowangko) serta di Kota Tomohon pada Februari 2005.
Hutan di Provinsi Sulawesi Utara menurut data Citra Landsat tahun 2007,
sekitar 70% di antaranya kondisinya sudah rusak parah. Rusaknya hutan
itu akibat pembabatan hutan dan penambangan emas tanpa izin (PETI)
kian marak, termasuk Izin Pengelolaan Kayu (IPK) yang dikeluarkan
pemerintah serta Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Selain pembabatan
hutan oknum-oknum yang tak bertanggung jawab dan maraknya
penambangan emas serta penebangan kayu untuk pembuatan rumah,
pengalokasian transmigrasi di Sulawesi Utara menyebabkan kerusakan
hutan. Hal inilah yang ikut menyumbangkan terjadinya frekuensi banjir
hingga banjir bandang semakin tinggi dari tahun ke tahun.
Kejadian bencana banjir di Sulawesi Utara kebanyakan diikuti dengan
kejadian tanah longsor yang membawa dampak kerugian jiwa dan hartabenda yang cukup masif. Berdasarkan data dari PPK-Depkes dan BakornasPB, maka frekuensi kejadian banjir dan banjir yang diikuti tanah longsor
dapat dipaparkan dalam tabel berikut ini:
Tabel L3.6
Kejadian Bencana Banjir dan Tanah Longsor Di Sulawesi Utara
(2005-2007)
Tempat

Tangg
al

Benca
na

Kota Manado

200503-25

Banjir

200602-14

Banjir
dan
tanah
longsor

Kab.
Minahasa

Kota Manado
200602-19

Banjir
dan
Tanah
Longsor

Korban
Tewa Hilan
s
g

Mengun
gsi

26

12965

Estimasi
Jumlah
Kerugian
Rp. 38 M
400 rumah
rusak, 75
rumah
penduduk
hilang dan
rusak berat
di 5 desa.
Rp. 100 M
1.526 rumah
tergenang
air, 139
rumah rusak
berat, 31
rumah
hanyut dan
40 rumah
rusak

55

Tempat

Tangg
al

Benca
na

Kab.
Minahasa
Utara

Banjir
dan
Tanah
Longsor

Kab
Minahasa
Selatan

Banjir
dan
Tanah
Longsor

Kab. Bolaang
Mongondow

200604-12

Kab. Bolaang
Mongondow
Kab.
Minahasa
Kab.
Minahasa
Utara
Kab.
Minahasa
Utara

200606-23
200707-25
200703-25

Kab.
Minahasa

2007

Kota Manado

2007

200707-25

Kab.
Minahasa
Tenggara

2007

Kab.Kepulau
an Sangihe

200701-11

Banjir
Bandan
g
Banjir
Banjir

Korban
Tewa Hilan
s
g

Mengun
gsi

2441

37596

31996

105

477

105

341

Estimasi
Jumlah
Kerugian
ringan.
Rp 283
miliar
Bendungan
di Sawangan
dan tanggul
rusak berat
serta
sejumlah
lahan
pertanian
dan rumah
penduduk
rusak parah.
Rp. 42 M
390 rumah
tergenang
air, 57
rumah rusak
berat.

Banjir
Banjir
dan
Tanah
Longsor
Banjir
dan
Tanah
Longsor
Banjir
dan
Tanah
Longsor
Banjir
dan
Tanah
Longsor
Banjir
dan
Tanah
Longsor

30

3790

55

2.5. Tanah Longsor


Terjadinya tanah longsor sangat tergantung pada kestabilan/kemiringan
lereng, topografi, geomorfologi dan kondisi geologi. Daerah yang memiliki
kemiringan lereng yang curam, > 25% ditambah curah hujan yang tinggi
sangat berpotensi untuk terjadinya gerakan massa dan akhirnya
menimbulkan longsor. Di samping itu, kegiatan pemotongan lereng bukit
karena pembuatan jalan di daerah-daerah berlereng curam dan/atau
kegiatan lain sering menjadi penyebab terjadinya longsor. Gejala umum
tanah longsor diantaranya adalah munculnya retakan-retakan di lereng
yang sejajar dengan arah tebing, munculnya mata air baru secara tibatiba dan tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan.
Peristiwa tanah longsor yang terjadi di Sulawesi Utara pada umumnya
terdapat pada daerah dengan kondisi geologi yang tidak stabil dan
seringkali dipicu oleh terjadinya hujan deras yang melebihi titik tertinggi,
terutama bulan-bulan di penghujung tahun hingga awal tahun (DesemberMaret). Keadaan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan yang
tidak lestari (Illegal Logging and Trading) dalam kurun waktu lima tahun
terakhir ini ternyata juga menjadi faktor penyumbang tingginya intensitas
terjadinya longsor di Sulawesi Utara. Faktor lainnya adalah terdeviasinya
peruntukan fungsi kawasan untuk fungsi peruntukkan lainnya, terutama
mengenai spot lahan pemukiman yang menempati area dengan
kemiringan di atas 15% (tidak dianjurkan sesuai peraturan yang berlaku).
Hal ini khususnya terjadi di ibukota Sulawesi Utara, yaitu Kota Manado,
dimana hal tersebut menunjukkan terjadinya penyimpangan terhadap
standar hunian yang disyaratkan secara teoritis dan juga penyimpangan
terhadap peraturan yang ada.
Gambar L3.4
Peta Prakiraan Wilayah Berpotensi Longsor pada Bulan Oktober
2006

55

Kawasan rawan longsor di daerah Provinsi Sulawesi Utara tersebar di


beberapa wilayah kabupaten dan kota, seperti daerah Manganitu, Tamako
dan Siau Timur (Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Sitaro), pada delapan
Kecamatan di Kota Manado, yaitu Kecamatan Wanea, Winangun, Singkil,
Tuminting, Tikala, Mapanget, Bunaken dan Malalayang. Juga pada jalur
jalan
Manado-Amurang,
Manado-Tomohon,
Amurang-Modoinding,
Tondano-Airmadidi dan jalur jalan Noongan-Ratahan-Belang, serta wilayah
Torosik Kabupaten Bolaang Mongondow. Panjang sungai rawan longsor di
Sulawesi Utara sekitar 1.523,15 km, dan sampai tahun 2004 tebing sungai
kritis yang telah berhasil ditanggulangi baru sekitar 16 km.

C. EVALUASI SISTEM PENANGGULANGAN


PROVINSI SULAWESI UTARA

BENCANA

Julukan supermal bencana alam kiranya pantas diberikan kepada


Provinsi Sulawesi Utara mengingat begitu banyaknya potensi bencana
alam yang mengancam maupun yang telah sering terjadi. Oleh sebab itu,
sudah semestinya bila daerah ini memiliki kebijakan dan strategi serta
program-program yang tidak hanya diarahkan untuk mengatasi situasi
darurat ketika terjadi bencana, namun program yang bersifat antisipatif
dan terencana dengan baik. Paparan berikut ini akan menampilkan sejauh
mana kebijakan Penanggulangan Bencana yang ada di Sulawesi Utara dan
implementasinya dapat bersinergi dengan dengan julukan supermal
bencana alam di provinsi ini dalam kurun waktu 2002-2007.
1. KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA PROVINSI SULAWESI
UTARA

55

Kebijakan penanggulangan bencana akan ditinjau dari beberapa sisi, yaitu


dari sisi berbagai peraturan yang secara khusus mengatur tentang
bencana itu sendiri, kebijakan lain yang memiliki kaitan erat dengan
penanggulangan bencana, sistem kelembagaan dalam penanggulangan
bencana dan kebijakan yang terkait dengan alokasi anggaran di bidang
kebencanaan.
1.1.Peraturan tentang Penanggulangan Bencana
Bila ditinjau dari sisi peraturan yang terkait dengan penanggulangan
bencana, maka saat ini Pemerintah Provinsi belum memiliki peraturan
setingkat Perda yang secara khusus mengatur mengenai upaya
penanggulangan bencana di Sulawesi Utara. Hasil wawancara dengan
pihak Bappeda Provinsi menjelaskan bahwa keinginan untuk menyusun
Perda mengenai penanggulangan bencana sudah mulai dibicarakan oleh
Gubernur Sulawesi Utara dalam beberapa raker bersama beberapa bupati
yang wilayahnya sering sekali dilanda bencana, namun untuk saat ini,
Pemerintah Provinsi sedang sejak berkonsentrasi melakukan revisi
terhadap aturan tata ruang Sulawesi Utara.
1.2.Kebijakan Terkait Lainnya
Pada dasarnya terdapat berbagai kebijakan yang terkait erat dan
mempengaruhi kebijakan penanggulangan bencana. Salah satu kebijakan
tersebut adalah kebijakan tata ruang. Sejak tahun 2007 hingga saat ini,
Pemerintah Provinsi sedang memfokuskan melakukan revisi terhadap
PERDA No. 3 Tahun 1991 (5 Desember 1991) tentang Rencana Struktur
Tata Ruang Provinsi (RSTRP) Daerah Tingkat I Sulawesi Utara.
Peninjauan ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan yang bila
dikaitkan dengan urusan penanggulangan bencana, maka pertimbangan
untuk dilakukannya peninjauan kembali Tata Ruang Sulawesi Utara untuk
tahun 2007-2027 (sesuai Revisi Undang-Undang Tata Ruang No. 27 Tahun
2007) adalah:
1. Pertimbangan Keserasian Lingkungan
Mengingat RTRW Provinsi Sulawesi Utara adalah acuan bagi penyusunan
RTRW Kabupaten/Kota, maka RTRW Provinsi diharapkan mampu
menserasikan pembangunan dengan tetap memperhatikan keserasian
antar kabupaten/kota di wilayah Provinsi Sulawesi Utara, juga keserasian
dengan wilayah provinsi terdekat. Apalagi hal pemanfaatan ruang wilayah
Sulawesi Utara sangat dipengaruhi oleh Gorontalo yang memisahkan diri
menjadi Provinsi tersendiri. (UU No. 38 Tahun 2000).
2. Pertimbangan Kelestarian Lingkungan
Melalui arahan pemanfaatan ruang yang jelas, berkekuatan hukum dan
didukung pemanfaatan ruang yang konsisten dan perangkat pengendalian

55

pemanfaatan ruang yang handal dan mempunyai integritas tinggi, maka


pembangunan berkelanjutan tetap dapat memperhatikan kelestarian
lingkungan. Salah satu perubahan pemanfaatan ruang yang signifikan
adalah luasan pemanfaatan ruang untuk hutan lindung. Perubahan luasan
ini terjadi karena rona daratan yang masuk ke wilayah Provinsi Gorontalo
pasca pemekaran didominasi untuk hutan lindung. Selain akibat
pemekaran, juga disebabkan belum efektifnya RSTRP (Rencana Struktur
Tata Ruang Provinsi) sebagai pengendali pemanfaatan ruang dimana
beberapa lokasi telah mengalami alih fungsi hutan lindung menjadi hutan
produksi atau hutan konversi, atau bahkan berubah menjadi kegiatan
bermukim atau permukiman.
Pemerintah Sulawesi Utara sendiri saat ini sudah memiliki peta KRB
(Kawasan Rawan Bencana) yang berbasis tata ruang yang lama, maupun
dalan draft revisi tata ruang yang saat ini tinggal menunggu pengesahan
dari Pemerintah Pusat. Peta KRB ini khususnya mengatur kawasan untuk
potensi bencana letusan gunung api saja, belum jenis bencana lainnya
yang dapat menjadi ancaman untuk masyarakatnya. Selain itu, dalam
dokumen revisi tata ruang Sulawesi Utara, telah mencoba memasukkan
kajian lingkungan strategis yang berbasisekosistem. Ini dilakukan dengan
tujuan untuk mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan bencana
yang akan terjadi dalam tahun-tahun ke depan.
Dari hasil evaluasi yang dilakukan terhadap aturan tata ruang yang ada,
maka aspek bencana telah menjadi salah satu faktor yang turut
diperhitungkan dalam penyusunan rencana tata ruang. Ini terbukti dari
argumentasi kuat yang disampaikan pihak Pemerintah Sulawesi Utara
dalam dokumen revisi tata ruangnya (2007-2027) untuk tidak mengubah
peruntukan kawasan di Kabupaten Minahasa Utara menjadi kawasan
pertambangan, karena hal ini akan bertentangan dengan peruntukkan
kawasan yang sudah ada dan berkembang saat ini, yaitu kawasan
perikanan dan pariwsata. Kedua sektor tersebut dalam beberapa tahun
terakhir ini ternyata telah menjadi salah satu andalan peningkatan PAD
provinsi ini (sekitar 30% dari total PAD).
Bila
Pemerintah
Pusat
tetap
ingin
memaksakan
perubahan
peruntukkannya untuk kawasan pertambangan hanya karena khawatir
dapat memperngaruhi penurunan nilai investasi di bidang sumberdaya
alam tak terbarukan, maka laju kerusakan lingkungan dan dampak
bencana masif yang justru akan menguras sumber pendapatan
pemerintah Sulawesi Utara bahkan sampai tingkat nasional untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut. Pemerintah Sulawesi Utara sudah
cukup banyak belajar dari pengalaman Kasus Tambang di Teluk Buyat dan
Eksplorasi Gas di Sidoarjo yang merubahnya menjadi kubangan lumpur
raksasa.
1.3.Sistem Kelembagaan

55

Sistem kelembagaan merupakan salah satu faktor penting yang memiliki


pengaruh
besar
terhadap
keberhasilan
pelaksanaan
sistem
penanggulangan bencana di suatu wilayah. Bila sebelumnya Pemerintah
Daerah membentuk Satkorlak sebagai organisasi yang bertugas
mengatasi kejadian bencana, maka dengan dikeluarkannya UndangUndang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU PB),
maka terjadi perubahan kelembagaan, dari Satkorlak menjadi Badan
Penanggulangan Bencana Daerah/BPBD (Pasal 18 UU PB).
Amanat Pasal 18 UU PB ini ternyata ditanggapi positif oleh Pemerintah
Sulawesi Utara dan segera mengimplementasikannya melalui evaluasi
SOTK yang baru sesuai amanat Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007
tentang Perangkat Organisasi Daerah. Dalam SOTK yang telah disahkan
oleh DPRD Sulawesi Utara dan tinggal menunggu penandatangan dari
Gubernur, maka Pemerintah Provinsi membuatkan satu struktur
tersendiri untuk Badan Penaggulangan Bencana Daerah. Untuk
sementara, jabatan kepala Badan akan dijabat oleh Sekda secara ex
officio. Kedepannya akan menunjuk kepala pelaksana harian.
Hasil wawancara dengan Kepala Kesbanglinmas Provinsi (sekretaris
Satkorlak-PB) menyatakan bahwa walaupun struktur ini sudah ada, namun
Badan tersebut baru efektif akan diiisi oleh para personil dan program
mulai tahun 2009. Saat ini urusan penanganan kejadian bencana masih
tetap dilakukan oleh SKPD terkait dalam koordinasi dan komado SatkorlakPB Sulawesi Utara yang berada dalam pembinaan Kesbanglinmas. Hal ini
dilakukan sambil menunggu pedoman teknis tentang BPBD dari
Pemerintah di tingkat nasional dikeluarkan. Selain itu, bila ada permasalah
terkait urusan eselonisasi, tupoksi dan kriteria yang dapat mengisi
organisasi tersebut, diharapkan dapat diselesaikan melalui pedoman yang
tengah diproses di kementerian aparatur negara tersebut sampai laporan
antara ini disampaikan.
Provinsi Sulawesi Utara mungkin adalah provinsi pertama di Indonesia
Timur yang sudah membentuk kelembagaan baru untuk urusan
penanggulangan bencana, namun Kota Bitung mungkin juga bisa
dinobatkan menjadi kota pertama di Indonesia Timur atau bahkan
mungkin di republik ini, karena juga sudah membentuk kelembagaan
urusan
penanggulangan
bencana
untuk
daerah
pemerintahan
setingkatnya. Kelembagaan ini dikukuhkan dalam Perda No. 20 Tahun
2008 (12 Agustus 2008) Tentang Organisasi dan Tata Kerja Inspektorat,
Badana Perencanaan Pembangunan Daerah, Lembaga Teknis Daerah dan
Lembaga Lain Kota Bitung. Dalam aturan ini, pada Paragraf 2, Pasal 12
dijabarkan
lebih
lanjut
mengenai
susunan
organisasi
Badan
Penanggulangan Bencana Daerah Kota Bitung.
Fungsi Satkorlak-PB Sulawesi Utara sampai saat ini, kebanyakan berperan
pada masa tanggap darurat ketika suatu bencana terjadi dan melakukan
beragam kegiatan kesiapsiagaan (preparedness), termasuk peningkatan
kapasitas para personilnya (SDM) khusus untuk urusan respon (tanggap
darurat). Sedangkan untuk urusan pasca bencana, terutama kegiatan

55

rehabilitasi dan rekonstruksi, maka masih tetap diemban oleh masingmasing SKPD terkait, semisal Dinas Kesehatan, dan Dinas Pekerjaan
Umum serta masih menerapkan pola koordinasi yang telah diterapkan
sebelumnya.
Langkah Provinsi Sulawesi Utara membentuk BPBD adalah satu langkah
progresif setelah Jawa Tengah dan menjadi indikasi baik akan
meningkatnya kesadaran dan pemahaman mengenai pentingnya
kebijakan penanggulangan bencana di kalangan pemerintah dan legislatif
dengan dimensi baru sesuai Undang-Undang No. 24 Tahun 2007.
1.4.Kebijakan di Bidang Penganggaran
Sebuah kebijakan tanpa disertai anggaran akan sulit mencapai tujuannya
dengan efektif. Provinsi Sulawesi Utara sendiri melihat hal ini sebagai
salah satu masalah penting untuk dicarikan solusinya, sebab sampai saat
ini belum ada kebijakan khusus yang mengatur tentang alokasi anggaran
untuk masalah kebencanaan. Anggaran kebencanaan sampai saat ini
masih dalam bentuk dana tak terduga. Dana tersebutpun tidak
semuanya dapat digunakan untuk kebencanaan, namun bercampur
dengan urusan-urusan lain terkait fungsi pemerintahan dalam urusan
pelayanan kepada masyarakat.
Anggaran untuk program/kegiatan yang terkait kebencanaan, tersebar di
masing-masing SKPD yang memiliki Tupoksi kebencanaan dan belum
tentu diperoleh secara reguler tiap tahun. Apalagi mekanisme pencairan
dana dari anggaran tersebut masih memakai mekanisme penganggaran
dan keuangan dalam situasi normal yang artinya membutuhkan jalur
birokrasi yang tidak pendek. Padahal, dalam situasi tanggap darurat
ketika terjadi bencana, alokasi dana cepat dan dalam jumlah besar selalu
dibutuhkan segera untuk diberikan terutama kepada masyarakat yang
menjadi korban.
2. STRATEGI PENANGGULANGAN BENCANA PROVINSI SULAWESI
UTARA
Pelaksanaan kebijakan penanggulangan bencana perlu diikuti dengan
penyusunan sejumlah strategi. Dalam kegiatan telahaan ini, maka strategi
yang dimaksud adalah menjadikan penanggulangan bencana sebagai
bagian dari sistem perencanaan pembangunan di daerah, karena upaya
ini semestinya dapat menjamin keberlangsungan program dan
implementasi kegiatan, termasuk alokasi anggaran untuk pelaksanaan
kegiatan.
2.1.Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Hasil wawancara yang dilakukan dengan berbagai responden baik dengan
aktor pemerintah dan non-pemerintah di Sulawesi Utara, maka diperoleh
informasi bahwa urusan penanggulangan bencana saat ini sudah mulai

55

dibahas dan akan menjadi bagian dari Program pembangunan Jangka


Panjang untuk Sulawesi Utara, sehingga diharapkan program-program
penanggulangan bencana akan tetap mendapat perhatian dari berbagai
kalangan terutama dari pemerintah daerah, legislatif, dan masyarakat
sendiri.
2.2.Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
Penjelasan yang ditemui dalam Dokumen RPJMD Provinsi Silawesi Utara
tahun 2005-2010 merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program
Kepala Daerah (Gubernur Sulawesi Utara) yang penyusunannya
berpedoman pada RPJP Daerah dengan memperhatikan RPJM Nasional.
Dokumen RPJMD Provinsi Sulawesi Utara tahun 2005-2010 ternyata belum
secara deskriptif memasukkan urusan penanggulangan bencana menjadi
salah prioritas pembangunan provinsi ini.
2.3.Rencana Aksi Daerah Pengurangan Risiko Bencana (RAD-PRB)
Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara belum memiliki rencana aksi tertentu
yang memang secara khusus bertujuan mengurangi risiko bencana dalam
satu sistem manajemen penanggulangan bencana yang holistik, baik itu
risiko yang timbul dari bencana alam maupun non alam.
2.4.Rencana Kerja Tahunan SKPD
Upaya-upaya penanggulangan bencana sudah menjadi bagian dari Renja
SKPD meskipun rencana tersebut masih bersifat sektoral dan lebih
mengarah pada upaya antisipatif dan responsif. Dari sebagian besar
program dan kegiatan yang ada di SKPD, sebagian besar diarahkan pada
upaya penanggulangan bencana letusan gunung api, banjir dan tanah
longsor serta upaya pemulihan lingkungan, khususnya di wilayah hutan
lindung yang semakin rusak karena kegiatan pembalakan liar dan
penambangan serta wilayah pesisir yang juga makin meningkat
kerusakannya, terutama persoalan abrasi pantai dan vegetasi
tanaman/hutan penahan gelombang/tsunami.
2.5.Strategi Alokasi Anggaran untuk Penanggulangan Bencana
Alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana tersebar di seluruh
SKPD/dinas teknis terkait secara reguler, sesuai dengan Tupoksinya
masing-masing. Besaran anggran masih terbatas untuk kegiatan rutin
yang mendukung Tupoksi. Bila terjadi bencana bisa juga diambilkan dari
pos anggaran dana tak terduga yang dimilki ada di biro keuangan,
dimana pencairannya membutuhkan persetujuan dari DPRD Sulawesi
Utara.
3. SISTEM

OPERASI PENANGGULANGAN
SULAWESI UTARA

BENCANA

PROVINSI

55

Dalam
telahaan
ini
yang
dimaksud
dengan
sistem
operasi
penanggulangan bencana adalah prosedur-prosedur tetap yang
dipergunakan Pemerintah Daerah dalam urusan penanggulangan
bencana, termasuk tata komando dan tata komunikasi serta aspek-aspek
operasional lainnya.

3.1.

Prosedur

Tetap

Penanggulangan Bencana
Sama seperti di daerah lain di Indonesia, maka untuk urusan
penanggulangan bencana di Provinsi Sulawesi Utara, pemerintah
setempat masih menggunakan berbagai pedoman yang dikeluarkan
Pemerintah Pusat melalui sejumlah Departemen yang memiliki kaitan erat
dengan penanggulangan bencana, semisal BNPB, Departemen Kesehatan,
Departemen Sosial, Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dan
Departemen Dalam Negeri. Selain menggunakan pedoman tersebut,
Pemerintah Sulawesi Utara juga telah menyusun beberapa pedoman yang
terkait dengan penanggulangan bencana, terutama pada saat tanggap
darurat dalam hal pembagian tupoksi masing-masing SKPD/dinas teknis,
penetapan status aktivitas gunung api dan pemberian bantuan serta
proses rehabilitasi/rekonstruksi pasca kejadian bencana.
3.2.

Tata
Komunikasi Penanggulangan Bencana

Komando

dan

Lembaga yang mengemban tugas dalam urusan penanggulangan


bencana di Provinsi Sulawesi Utara saat ini adalah Satkorlak-PB dalam
naungan Kesbang Provinsi, sehingga ini mempengaruhi tata komando dan
komunikasi upaya penanggulangan bencana.
Pelaksanaan tata komando jika terjadi bencana sampai sekarang masih
berada pada kendali Ketua Satkorlak-PB dengan Kepala Kesbang sebagai
sekretaris harian Satkorlak-PB dan menjadi the leading sector. Sebagai
pelaksana langsung komando tersebut adalah SKPD/dinas teknis terkait
sesuai dengan bidang keahliannya. Komunikasi internal dan intra
SKPD/dinas teknis relatif berjalan lancar.
Komunikasi kemudian akan bersifat koordinatif antar masing-masing
SKPD/dinas teknis ketika memasuki masa pasca dan sebelum terjadi
bencana kembali. Pada pasca bencana, cukup fungsi koordinatif yang
dilakukan, karena masing-masing SKPD/dinas teknis terkait (rehabilitasi
dan reskonstruksi) akan mengambil peran sesuai dengan tupoksinya.
Komunikasi koordinatif dan reguler juga dilakukan ketika sedang tidak
terjadi bencana antar SKPD/dinas terkait di Sulawesi Utara dengan tujuan
membangun kesiapsiagaan (sosialisasi, drill, dll) yang serupa dari segi
kualitas skil dan substansi tentang penanggulangan bencana dengan
paradigma baru.

55

D.EVALUASI IMPLEMENTASI SISTEM PENANGGULANGAN


BENCANA PROVINSI SULAWESI UTARA
Untuk melihat efesiensi dan efektifitas sebuah sistem, maka perlu
dilakukan evaluasi terhadap keduanya. Dalam telahaan ini, terdapat
sejumlah aspek yang digunakan untuk mengevaluasinya dan hasil dari
evaluasi tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:
1. Evaluasi Aspek Kebijakan
Evaluasi dari aspek kebijakan dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No
.

Aspek

Hasil Evaluasi

Efektifitas kebijakan
dalam
mengurangi
risiko bencana dan
saat bencana terjadi

Karena
kebijakan
(Perda)
yang
mendukung
penanggulangan
bencana
belum ada, maka efektifitas kebijakan
tersebut belum bisa dinilai.

Belum berjalan efektif, karena semua


kebijakan
terutama
yang
bersifat
implementatif dan menjadi suatu rencana
aksi dalam
urusan
penanggulangan
bencana belum ada.

Hambatan
dalam
penyusunan
kebijakan di bidang
penangulangan
bencana
(pusat
maupun daerah)

Sinergi implementasi
antar
peraturan
(adakah yang saling
kontraproduktif)

Tingkat
dukungan
politik
terkait
kebijakan
penanggulangan
bencana

Masih banyak terjadi ketidaksesuaian


antara desain yang diharapkan oleh pusat
dengan realitas pelaksanaan di daerah.

Masalah yang dihadapi dan kebutuhan


yang diperlukan oleh masing-masing
daerah tidak selalu sama.

Fokus
pembangunan
yang
memprioritaskan
dalam
urusan
penanggulangan bencana belum menjadi
sasaran utama untuk dilaksanakan di
Provinsi Sulawesi Utara.
Masih
ada
kontraproduktif
antara
peraturan yang dikeluarkan oleh masingmasing instansi/lembaga dan departemen.

Dukungan politik dari berbagai pihak


(Legislatif, Perguruan Tinggi dan LSM)
sangat baik.

Peran Gubernur Sulawesi Utara yang


sangat peduli dalam urusan dampak
kerusakan lingkungan (bencana karena
faktor manusia) sangat mempengaruhi

55

kinerja perangkat pemprov Sulawesi Utara,


untuk
mulai
memikirkan
kebijakan
penanggulangan bencana secara intensif.
5

Hambatan-hambatan
dalam
pelaksanaan
kebijakan
penanggulangan
bencana

Masih adanya ketidak sesuaian antara


kebijakan yang dikeluarkan pusat (antara
lembaga/instansi dan departemen) dengan
kebijakan daerah, sehingga berdampak
pada
lemahnya
komitmen
dan
kepercayaan dari Pemerintah Daerah.

Prioritas masalah yang dihadapi oleh


tiap-tiap daerah tingkat kabupaten/kota di
Sulawesi Utara tidaklah sama.

Masih ada kesan bahwa daerah


cenderung reaktif, tidak pro aktif. Sikap
menunggu kebijakan dari pusat dirasa lebih
aman.

Sumber: Hasil Analisis

2. Evaluasi Aspek Strategi


Evaluasi dari aspek strategi dapat dilihat pada tabel berikut ini:
No
.
1

Aspek

Hasil Evaluasi

Proses
penyusunan
Rencana
khusus
untuk
rencana-rencana
di
penanggulangan bencana belum disusun.
bidang penanggulangan
SKPD/Dinas terkait menyusun rencana
bencana
kegiatan sebatas hanya untuk mendukung
Tupoksinya,
sehingga
kegiatan
penanggulanagn bencana yang disusun
masih sangat terbatas ruang lingkupnya
sesuai
SKPD/Dinasnya
masing-masing
(sektoral).

Usulan dari SKPD akan diverifikasi


oleh Bapeda dan Tim Anggaran Daerah.

Dengan dibuatkannya satu struktur


baru dalam Perda SOTK yang baru dari
Pemprov
Sulawesi
Utara
mengenai
lembaga
BPBD,
harapannya,
semua
perencanaan,
penganggaran
dan
implementasi
program/kegiatan
penanggulangan bencana bisa dilakukan
secara
terintegrasi,
dengan
dikoordinasikan oleh lembaga ini.

55

Mekanisme
integrasi
Belum memiliki mekanisme integrasi
rencana strategis ke
khusus, karena rencana strategis khusus
dalam renja SKPD
yang
diarahkan
untuk
urusan
penanggulangan
bencana
ataupun
penguranga risiko bencana (PRB) belum
disusun.

Hambatan
dalam
Ada tumpang tindih kegiatan yang
penyusunan
rencana
diajukan oleh masing-masing SKPD/Dinas
dan
implementasi
terkait
terutama
dalam
urusan
rencana
penanggulangan bencana ketika bencana
penanggulangan
itu belum terjadi (pra bencana). Contoh:
bencana
kegiatan sosialisasi UU PB untuk sekolahsekolah. (kegiatan serupa, hanya beda
obyek).

Ada ego sektoral antar SKPD,


berdampak pada tidak maksimalnya
realisasi dari hasil dan dampak dari
suatu kegiatan.

Hambatan
dalam
Ada
aturan
dari
Pusat
yang
alokasi anggaran terkait
mengharuskan realisasi dari penggunaan
dengan
dana di masing-masing SKPD/dinas terkait
penanggulangan
di Sulawesi Utara berupa kegiatanbencana
kegiatan saja, bukan untuk situasi darurat
yang terkadang membutuhkan dana untuk
pembelian barang, bukan kegiatan.

Alokasi anggaran untuk kebencanaan


tersebar di SKPD/dinas terkait. Selama ini
SKPD merasakan terbatasnya anggaran
untuk kegiatan penanggulangan bencana.

Mekanisme pencairan dana dari suatu


mata anggaran, terutama untuk urusan
penanggulangan bencana di Sulawesi
Utara, masih sulit dilakukan (birokrasi
panjang).

Hambatan
dalam
Masih muncul ego sektoral antar
meraih komitmen SKPD
SKPD/dinas terkait, terutama pada situasi
dan
mekanisme
normal dan pasca bencana.
koordinasi
dalam
Tingkat pemahaman masing-masing
melaksanakan rencanaSKPD/dinas
terkait
dalam
urusan
rencana
penanggulangan bencana tidak seragam,
penanggulangan
bahkan cendrung masih sangat jauh dari
bencana
yang diharapkan.

Sumber: Hasil Analisis

3. Evaluasi Aspek Operasional


Evaluasi dari aspek operasional dapat dilihat pada tabel berikut ini:

55

No
.

Aspek

Hasil Evaluasi

Hambatan
dalam
Karena belum ada Protap khusus yang
implementasi protap di
disusun oleh SKPD terkait, maka Protap
lapangan
yang
dilaksanakan
masih
mengacu
kepada
instansi
vertikal
(departemen/dinas)

Hambatan
dalam
Koordinasi antar SKPD/dinas terkait
implementasi
tata
pada saat tanggap darurat kadang-kadang
komando
dan
tata
sulit dilakukan secara efektif.
komunikasi

Sumber: Hasil Analisis

55

Anda mungkin juga menyukai