Anda di halaman 1dari 2

Kakek Penanda Waktu

Selasa, 01 Oktober 2013, 23:00 WIB


Komentar : 4

Republika/Agung Supri

Shalat berjamaah (ilustrasi).


A+ | Reset | AREPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Yunahar Ilyas
Walaupun umurnya sudah mendekati tujuh puluh tahun, tetapi badannya masih tegap. Kalau berjalan
masih cepat seperti kebiasaannya sejak muda.
Setiap pagi setelah shalat Subuh sang kakek rutin jalan pagi menempuh jarak 6-8 km pulang pergi.
Menurut pengakuannya, waktu muda sang kakek suka main sepak bola. Bergabung dengan klub sepak
bola di kampungnya.
Setelah menamatkan pendidikan setingkat sekolah lanjutan pertama, dia mulai berdagang, walaupun
bapaknya sebenarnya menginginkan dia meneruskan sekolahnya ke tingkat yang lebih tinggi, minimal
setingkat sekolah lanjutan atas.
Sebagai seorang pedagang yang sukses, bapaknya sanggup membiayai pendidikannnya sampai ke
perguruan tinggi. Tetapi rupanya darah dagang bapaknya lebih menonjol mempengaruhi dirinya.
Mula-mula dia berdagang di kota tempat kelahirannya, lalu kemudian merantau. Berpindah dari satu
kota ke kota lainnya di pulau Sumatera, kemudian ke Singapura dan Malaysia. Pada akhir masamasanya berdagang, sempat juga dia merasakan bagaimana kerasnya kehidupan di kota Jakarta.
Sudah lebih sepuluh tahun sang kakek pensiun dari berdagang dan menetap di kampung halamannya.
Hari-hari tuanya benar-benar dia nikmati untuk beribadah.
Hidupnya hanya bergerak dari rumah ke masjid. Setelah selesai shalat malam, dia bersiap pergi ke
masjid untuk shalat Subuh. Selesai shalat Subuh, kalau tidak ada pengajian, dia bergegas pulang
berganti pakaian olah raga, terus jalan pagi.

Sebelum waktu Zhuhur dia sudah berjalan menuju masjid. Begitu juga sebelum Ashar dan Maghrib.
Setelah Maghrib dia tidak pulang, membaca Al-Qur'an dan berzikir di masjid menunggu Isya'.
Kadang-kala antara Maghrib dan 'Isya ada pengajian, maka sang kakek akan mengikutinya dengan
tekun. Para muballigh yang rutin mengisi pengajian di masjid itu sudah hafal dengan wajah sang
kakek.
Kalau shalat dia selalu di shaf pertama, mengambil posisi tidak tepat di belakang imam, tetapi agak
kekiri sedikit. Jamaah lain pun sudah hafal posisi sang kakek, sehingga tidak ada yang mengambil
posisi itu.
Kalau pun ada yang akan mengambil posisi itu, biasanya kalah cepat dari sang kakek, karena dia sudah
berada di sana sebelum waktu shalat masuk.
Seisi rumah, apalagi cucu-cucunya sudah hafal. Jika sang kakek sudah sibuk ke kamar mandi pertanda
tidak lama lagi waktu shalat akan masuk.
Sebelum meninggalkan rumah, tidak lupa sang kakek mengingatkan seisi rumah untuk segera bersiapsiap melaksanakan shalat.
Terutama sebelum Ashar dan Maghrib, tatkala cucu-cucunya masih asyik menonton televisi, akan
terdengar suara kakek: "Ayoo semua, shalatshalatmatikan tivi"
Tidak jarang cucunya menjawab: "belum azan kakekwaktunya masih lama..." Jika cucu-cucunya
masih membandel, tidak jarang kakek bertindak mematikan televisi. Baginya shalat di awal waktu
lebih penting dari semua acara televisi itu.
Jarak dari rumah sang kakek ke masjid sekitar setengah kilometer. Melewati jalan yang kiri kanannya
penuh warung dan toko. Penjaga warung dan toko sudah sangat hafal, jika sang kakek lewat di depan
warung dan toko mereka menuju arah masjid, berarti waktu shalat sudah hampir masuk.
Sang kakek dijadikan sebagai penanda waktu-waktu shalat akan masuk. Setelah sang kakek meninggal
dunia, tidak ada lagi orang lewat di depan warung dan toko yang bisa dijadikan penanda waktu.

Anda mungkin juga menyukai