Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Menurut American College of Obstetrian & Gynaecologyst kehamilan postterm
adalah usia kehamilan genap atau lebih dari 42 minggu (294 hari) dari hari pertama
menstruasi terakhir. Ketetapan usia gestasi sebaiknya mengacu pada hasil ultrsonografi pada
trimester 1. Kesalahan perhitungan dengan rumus Naegele dapat mencapai 20%.3Insidens
kehamilan post-term tergantung pada beberapa faktor : tingkat pendidikan masyarakat,
frekuensi kelahiran pre-term, frekuensi induksi persalinan, frekuensi seksio sesaria elektif,
pemakaian USG untuk menentukan usia kehamilan, dan definisi kehamilan post-term ( 41
atau 42 minggu lengkap ).Faktor predisposisi terjadinya kehamilan postterm : anensepali,
hipoplasia adrenal, defisiensi plasental sulfatase. Pada keadaan diatas, tidak terdapat kadar
estrogen tinggi seperti pada kehamilan normal.2
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian kehamilan lewat waktu bervariasi antara 4%-14% dengan rata-rata
sebesar 10%. Hal ini sangat tergantung kepada kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis 2
Data menyatakan bahwa 8% dari 4 juta bayi yang dilahirkan di Amerika Serikat
sepanjang tahun 1997, diperkirakan dilahirkan pada usia gestasi 42 minggu sedangkan yang
dilahirkan preterm (usia gestasi 36 minggu) hanya sebesar 11%.2
2.3 Etiologi
Penyebab pasti dan poses terjadinya kehamilan postterm sampai saat ini masih belum
diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk menerangkan penyebab
terjadinya kehamilan postterm antara lain:2
1.

Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan postterm

adalah karena masih berlangsungnya pengaruh progesteron melewati waktu yang semestinya.
2.
Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil pada
usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab terjadinya kehamilan
postterm.
3.
Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga
produksi progesteron berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses ini selanjutnya
berpengaruh terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan
dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar
1

hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga
kehamilan berlangsung lewat bulan.
4.
Teori saraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada
keadaan tidak terdapatnya tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser yang
membangkitkan kontraksi uterus, seperti pada keadaan kelainan letak, tali pusat pendek, dan
masih tingginya bagian terbawah janin.
5.
Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah
dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007) menyatakan dalam hasil
penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah mengami kehamilan postterm akan memiliki
risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm pada kehamilan berikutnya. Hasil
penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh
faktor genetik.

Mogren (1999) menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami

kehamilan postterm saat melahirkan anak perempuan, maka besar kemungkinan anak
perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.2

2.4 Patofisiologi Kehamilan Postterm


Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion, plasenta,
maupun janin. Pengetahuan mengenai perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan dasar
untuk mengelola kasus persalinan postterm.
1. Perubahan pada Plasenta.
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan
postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada
kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu. Rendahnya
fungsi plasenta ini berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 2-4 kali
lebih tinggi. Penurunan fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan
plasenta laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut.
Penimbunan kalsium. Peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta sesuai dengan
progresivitas degenerasi plasenta. Proses degenerasi jaringan plasenta yang terjadi seperti
edema, timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis intervilli, spasme arteri spiralis dan infark
villi. Selapot vaskulosinsial menjadi tambah tebal dan jumlahnya berkurang. Keadaan ini
dapat menurunkan metabolisme transport plasenta. Transport kalsium tudak terganggu tetapi
aliran natrium, kalium, glukosa, asam amino, lemak dan gamma globulin mengalami

gangguan sehingga janin akan mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat janin.
1

2. Oligohidramnion
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah
cairan amnion mencapai puncak pada usia kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan
menurun menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan
amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga 160 ml pada usia
kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. 1
Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan dengan
penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan Doppler
velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance
index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan
pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan amnion
pada kasus kehamilan postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian
perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat.
Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat intra
partum. 2
Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion sehingga
menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi
fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paru-paru janin akan mengakibatkan
perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya
pengeluaran mekonium akan mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan
meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium. 1
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah satu metode
yang cukup populer adalah pengukuran diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada
setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal
dengan sebutan indeks cairan anmion (Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun
hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion. 1

3. Perubahan pada janin

Berat janin. Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada plasenta, maka terjadi
penurunan berat janin. Namun, seringkali pula plasenta masih dapat berfungsi dengan baik
sehingga berat janin bertmbah terus sesuai bertambahnya umur kehamilan. Risiko persalinan
bayi dengan berat lebih dari 4000 gram pada kehamilan postterm meningkat 2-4 kali lebih
besar.
Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada kehamilan postterm
juga mengalami berbagai perubahan fisik khas disertai dengan gangguan pertumbuhan dan
dehidrasi yang disebut dengan sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara
lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik
kaseosa dan lanugo. Keadaan ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan
cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit
kehijauan atau kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh
neonatus kehamilan postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta.
Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda postmaturitas pada kehamilan
postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium: 2
a. Stadium 1

: Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa


kulit kering, rapuh, dan mudah mengelupas.

b. Stadium 2

: Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.

c. Stadium 3

: Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

2.5 Diagnosis Kehamilan Postterm


Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari seluruh
kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena kekeliruan dalam
menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm,
informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting. Hal ini
disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula
risiko bagi janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun
sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan
dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.
4

1. Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan apabila
keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT
dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung lebih dari 42
minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). 1
Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak bisa
dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan
postterm memiliki tingkat keakuratan hanya 30 persen. Riwayat haid dapat dipercaya jika
telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b)
siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. 2
Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan
berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm
dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia
kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung
selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir. Pendekatan ini
berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal
HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi
tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular, yang
bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari,
masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya, terjadi kesalahan
dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi
sampai lahirnya bayi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika
berdasarkan HPHT adalah 1,37 minggu. 6
2. Riwayat pemeriksaan antenatal
Tes kehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah terlambat
haid 2 minggu, maka dapat diperkirakan keamilan telah berlangsung 6 minggu.
Gerak janin. Gerak janin pada umumnya dirasakan ibu pada umur kehamilan 18-20
minggu. Pada primigravida dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu, sedangkan pada
multigravida pada 16 minggu. Keadaan klinis yang ditemukan ialah gerakan janin yang
jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7 kali/20 menit, atau secara obyektif dengan CTG
kurang dari 10 kali/20 menit.
5

Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar mulai
umur kehamilan 18-20 minggu, sedangakn dengan Doppler dapat terdengar pada usia
kehamilan 10-12 minggu.
Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan
postterm bila didapat 3 atau lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif


Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler
Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan
stetoskop Laennec.

3. Tinggi Fundus Uteri


Dalam trisemester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri serial dalam sentimeter (cm)
dapat bermanfaat bila dilakukan pemeriksaan secara berulang setiap bulan. Lebih dari 20
minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan umur kehamilan secara kasar. 7
4. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah banyak
menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa kehamilan postterm. Beberapa
penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan melalui
pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode
HPHT.
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang didapatkan akan
semakin akurat sehingga kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin
rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan
pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length) adalah 4 hari dari taksiran persalinan.
Pada usia kehamilan antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal
diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan ketepatan 7 hari dari
taksiran persalinan.2
Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil penelitian
Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT
maupun USG trimester I dan II. Pemeriksaan sesaat setelah trisemester III dapat dipakai
untuk menentukan berat janin, keadaan air ketuban ataupun keadaan plasenta yang berkaitan
6

dengan kehamilan postterm, tetapi sukar untuk menentukan usia kehamilan. Ukuran-ukuran
biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat
kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan
estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan
bisa mencapai 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat
ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air
ketuban.

5. Pemeriksaan laboratorium
a.

Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam

cairan amnion. Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan
diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih,
maka usia kehamilan 39 minggu atau lebih.
b.
Tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil
membuktikan bahwa cairan amnion mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini
meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan 41-42 minggu, ACTA
berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA
<45 detik. Bila didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa kehaminan
sudah postterm.
c.
Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada usia
kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan 32 minggu,
perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan
ini tidak dapat dipakai untuk menentukan kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk
menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk dilahirkan.
d.
Sitologi vagina. Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20%)
mempunyai sensitivitas 755. Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat dipakai
untuk menentukan usia gestasi.2
2.6

Komplikasi Kehamilan Postterm


Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu seperti korioamnionitis, laserasi perineum, perdarahan

post partum, endomiometritis dan penyakit tromboemboli.


Komplikasi terjadi pada bayi seperti hipoksia, hipovolemia, asidosis, sindrom gawat nafas,
hipoglikemia, hipofungsi adrenal.3

2.7

Tatalaksana Post Term

a. Pengelolaan Antepartum

Dalam pengelolan antepartum diperhatikan tentang umur kehamilan. Menentukan


umur kehamilan dapat dengan menghitung dari tanggal menstruasi terakhir, atau dari hasil
pemeriksaan ultrasonografi pada kehamilan 12-20 minggu. Pemeriksaan ultrasonografi pada
kehamilan postterm tidak akurat untuk menentukan umur kehamilan. Tetapi untuk
menentukan volume cairan amnion (AFI), ukuran janin, malformasi janin dan tingkat
kematangan plasenta.
Untuk menilai kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 40 minggu dengan
pemeriksaan Non Stess Test (NST). Pemeriksaan ini untuk mendeteksi terjadinya insufisiensi
plasenta tetapi tidak adekuat untuk mendiagnosis oligohidramnion, atau memprediksi trauma
janin.
Secara teori pemeriksaan profil biofisik janin lebih baik. Selain NST juga menilai
volume cairan amnion, gerakan nafas janin, tonus janin dan gerakan janin. Pemeriksaan lain
8

yaitu Oxytocin Challenge Test (OCT) menilai kesejahteraan janin dengan serangkaian
kejadian asidosis, hipoksia janin dan deselerasi lambat. Penilaian ini dikerjakan pada umur
kehamilan 40 dan 41 minggu. Setelah umur kehamilan 41 minggu pemeriksaan dikerjakan 2
kali seminggu. Pemeriksaan tersebut juga untuk menentukan pengelolaan. Penulis lain
melaporkan bahwa kematian janin secara bermakna meningkat mulai umur kehamilan 41
minggu. Oleh karena itu pemeriksaan kesejahteraan janin dimulai dari umur kehamilan 41
minggu.

Skoring biofisik menurut Manning

Variabel biofisik

Nilai 2

Nilai 0

Gerak nafas

Dalam 30 menit ada gerak

Tidak ada gerak nafas lebih

nafas minimal selama 30

dari 30 detik

detik
Gerak janin

Dalam 30 menit minimal

Gerak kurang dari 3 kali

ada 3 gerak janin yang


terpisah
Tonus

Ada gerak ekstensi dan

Tidak ada gerak/ekstensi

fleksi sempurna, atau

lambat disusul fleksi

gerak membuka dan

parsial

menutup tangan
NST reaktif

Dalam 30 menit minimal 2

Kurang dari 2 akselerasi,

akselerasi selama 15 detik

kurang dari 15 kali/menit

dengan amplitudo 15
kali/menit
Cairan amnion

Minimal ada satu kantung


amnion dengan ukuran
vertikal >1 cm

Penatalaksanaan:

Kantung amnion < 1 cm

Nilai 10 : janin normal, dengan risiko rendah terjadi asfiksia kronik. Pada postterm
pemeriksaan diulang 2 kali seminggu
Nilai 8 : janin normal, dengan risiko rendah terjadi asfiksia kronik. Bila ada oligohidramnion
dilakukan terminasi kehamilan.
Nilai < 6 : Kecurigaan terjadi asfiksia kronik dan dilakukan terminasi kehamilan.
Pemeriksaan amniosintesis dapat dikerjakan untuk menentukan adanya mekonium di
dalam cairan amnion. Bila kental maka indikasi janin segera dilahirkan dan memerlukan
amnioinfusion untuk mengencerkan mekonium.4

b. Pengelolaan Intrapartum
Persalinan pada kehamilan postterm mempunyai risiko terjadi bahaya pada janin.
Sebelum menentukan jenis pengelolaan harus dipastikan adakah disporposi kepala panggul,
profil biofisik janin baik. Induksi kehamilan 42 minggu menjadi satu putusan bila serviks
belum matang dengan monitoring janin secara serial. Pilihan persalinan tergantung dari tanda
adanya fetal compromise. Bila tidak ada kelainan kehamilan 41 minggu atau lebih dilakukan
dua pengelolaan. Pengelolaan tersebut adalah induksi persalinan dan monitoring janin.
Dilakukan pemeriksaan pola denyut jantung janin.
Selama persalinan dapat terjadi fetal distress yang disebabkan kompresi tali pusat
oleh karena oligohidramnion. Fetal distress dimonitor dengan memeriksa pola denyut jantung
janin. Sebaiknya seksio dilakukan bila terdapat deselerasi lambat berulang, variabilitas yang
abnormal (<5 dpm) pewarnaan mekonium, dan gerakan janin yang abnormal (<5/20 menit).
Kelainan obstetri (berat bayi > 4000 gr, kelainan posisi, partus > 18 jam) perlu diperhatikan
untuk indikasi seksio sesarea.
Bila cairan amnion kental dan terdapat mekonium maka kemungkinan terjadi
aspirasi sangat besar. Aspirasi mekonium dapat menyebabkan disfungsi paru berat dan
kematian janin. Keadaan ini dapat dikurangi tetapi tidak dapat menghilangkan dengan
penghisapan yang efektif pada faring setelah kepala lahir dan sebelum dada lahir. Jika
didapatkan mekonium, trakea harus diaspirasi segera mungkin setelah lahir. Selanjutnya janin
memerlukan ventilasi. Bayi dengan tanda postmatur mungkin mengalami hipovolemia,

10

hipoksia, asidosis, sindrom gawat nafas, hipoglikemia, dan hipofungsi afrenal. Dalam hal ini
perlutindakan yang adekuat sesuai dengan kausa tersebut.
The American College of Obstetricians and Gynecologist mempertimbangkan bahwa
kehamilan postterm (42 minggu) adalah indikasi induksi persalinan. Penelitian menyarankan
induksi persalinan antara umur kehamilan 41-42 minggu menurunkan angka kematian janin
dan biaya monitoring janin lebih rendah.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F.G., et al. 2001. Postterm Pregnancy, Antepartum Assessment, In :


Williams Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill. New York: 729 742. 1095-1108.
2. Wiknjosastro. H., Ilmu Kebidanan, edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo, Kehamilan Lewat Waktu, Jakarta, 2002 hal: 317-320.

11

3. Suryaningsih, Anik. 2003. Faktor Risiko Terjadi Fetal Distress Pada Persalinan Post
Term. Diakses tanggal 4 April 2016
4. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi Bayu. 2009. Landasan Teori
Serotinus(postdate/dostmatur).
http://thieryabdee.wordpress.com/2009/08/23/landasan-teori serotinus-post-date-postmatur/ diakses tanggal 4 April 2016.
5. Prawirohardjo, Sarwono dan Hanifa. Kehamilan Lewat Waktu. Ilmu Kandungan,
Edisi ke 2: 2005.

12

Anda mungkin juga menyukai