cg17 PDF
cg17 PDF
Pusat Palawija
Daftar Isi
Halaman
Daftar Tabel dan Gambar ...................................................................................................
vii
Pengantar ...........................................................................................................................
xi
Prakata
...........................................................................................................................
xii
Pernyataan Penghargaan .....................................................................................................
xiii
Ikhtisar
...........................................................................................................................
xv
1. Pendahuluan ............................................................................................................
Tujuan studi...........................................................................................................
Metodologi dan jangkauan ...................................................................................
1
2
2
5
5
6
10
13
15
15
16
21
24
25
27
27
27
31
32
35
38
41
41
43
44
45
46
47
48
51
51
53
56
58
61
61
61
63
63
65
69
69
73
73
74
75
77
77
78
Lampiran ...........................................................................................................................
Anggota Tim Studi ...............................................................................................
Singkatan ..............................................................................................................
81
81
83
85
vi
Tabel
Halaman
1.2 Propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa yang terliput dalam studi sistem komoditas
kedelai, 1984 ..............................................................................................................
3
2.1 Perkembangan luas panen dan produksi kedelai, 1969-1986 .....................................
2.3 Luas panen palawija dan kedelai menurut propinsi (rata-rata 1969-1971 dan .. 19791981) ...........................................................................................................................
11
2.4 Location quotient produksi kedelai menurut propinsi (rata-rata 1969-1971dan 19791981) ...........................................................................................................................
12
3.1 Ukuran dan ciri keluarga petani kedelai menurut daerah, 1983/1984 ........................
15
3.2 Pemilikan lahan garapan dan budidaya kedelai rata-rata tiap keluarga petani,
1983/1984 ..................................................................................................................
16
18
3.4 Persentase kedelai yang ditanam dalam berbagai pola tanam di daerah sampel,
1983/1984 ..................................................................................................................
18
3.5 Persentage petani yang diwawancarai, yang turut serta dalam program BIMAS
kedelai, 1983/1984 .....................................................................................................
21
3.6 Tingkat masukan setiap hektar kedelai yang ditanam di daerah sampel, 1983/1984 .
22
3.7 Biaya dan pendapatan produksi kedelai per hektar di daerah sampel, 1983/1984 .....
23
24
4.1 Rata-rata luas panen, hasil, dan masukan dari 113 petani sampel di berbagai daerah
28
4.2 Rata-rata luas panen, hasil dan masukan dari 113 petani sampel pada berbagai
kondisi pertanaman .....................................................................................................
28
vii
4.3 Analisis regresi ganda terhadap 113 petani kedelai sampel berdasarkan luas lahan dan
pemakaian benih, 1984 ..............................................................................................
33
4.4 Analisis regresi ganda terhadap para petani kedelai sampel menurut daerah
berdasarkan luas lahan, 1984 .....................................................................................
34
4.5 Analisis regresi ganda terhadap para petani kedelai sampel menurut faktor
berdasarkan luas lahan, 1984 .....................................................................................
34
4.6 Perkiraan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk 113 petani kedelai sampel, 1984 .....
36
4.7 Perkiraan fungsi produksi Cobb-Douglas bagi para petani kedelai sampel menurut
daerah, 1984 ...............................................................................................................
37
5.1 Persentase harga kedelai pada berbagai tingkat perdagangan terhadap harga eceran di
Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat,- 1975-1976 ................................
43
47
47
6.1 Banyaknya kedelai yang diolah oleh satuan industri menurut tiga studi kasus ..........
54
6.2 Biaya dan pendapatan produsen tahu dan tempe (rata-rata dari 7 kasus) di Jawa Barat,
1984 ...........................................................................................................................
54
6.3 Kegiatan ekonomi industri tahu dan tempe (rata-rata dari 7 kasus) di Jawa Barat,
1984 ...........................................................................................................................
55
56
6.5 Jumlah perusahaan pengolah tahu, tempe, dan kecap, 1979 ......................................
57
6.6 Pertumbuhan industri tempe/tahu selama 1975-1981 (sampel produsen besar dan
sedang) .......................................................................................................................
58
6.7 Pertumbuhan industri kecap selama 1978-1981 (sampel produsen besar dan sedang)
58
59
59
6.10 Proveksi konsumsi produk peternakan selama 1984-1988 (PELITA IV) ...................
60
viii
7.1 Konsumsi berbagai produk kedelai di tiga daerah terpilih, 1974 ...............................
65
7.2 Elastisitas pengeluaran untuk berbagai barang di Indonesia, 1976 (model log ganda)
66
7.3 Elastisitas pengeluaran untuk berbagai barang di Indonesia, 1976 (model linier) .....
67
7.4 Elastisitas pengeluaran menurut tanaman di Indonesia, 1976 (model log ganda) ......
67
71
75
Gambar
Halaman
1.1 Letak kabupaten-kabupaten yang diliput oleh studi sistem komoditas kedelai...........
2.4 Perubahan location quotient kedelai di beberapa propinsi terpilih, 1969-1971 dan
1979-1981 ..................................................................................................................
12
3.1 Penyebaran curah hujan dan pola tanam di Jember dan Wonogiri, 1983 ...................
17
3.2 Penyebaran curah hujan dan pola tanam di Gunung Kidul dan Lampung Tengah,
1983 ...........................................................................................................................
19
3.3 Alasan menanam kedelai bagi para petani di daerah sampel, 1983/1984 ...................
20
4.1 Rata-rata luas panen, hasil, dan masukan dari 113 petani sampel di berbagai daerah
29
4.2 Rata-rata luas panen, hasil, dan masukan dari 113 petani sampel pada berbagai
kondisi pertanaman .....................................................................................................
30
42
5.2 Perubahan harga kedelai pada berbagai tingkat perdagangan di Ujung Pandang
(Sulawesi Selatan) dan Brebes (Jawa Tengah), 1977 .................................................
44
45
ix
49
6.1 Perubahan konsumsi kedelai (di luar pakan ternak), 1970-1980 ................................
52
7.1 Perubahan produksi dalam negeri dan impor kedelai, 1969-1986 .............................
62
64
70
8.2 Perubahan realisasi dan target luas tanam kedelai dalam program intensifikasi di
Indonesia, 1974/1975-1984/1985................................................................................
71
Pengantar
Pada tahun 1983, Pusat Palawija (CGPRT Centre), Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan, dan Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor, bekerjasama mengadakan studi
sosial ekonomi sistem komoditas kedelai di Indonesia, atas permintaan Kepala Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian.
Studi ini diadakan untuk mengetahui posisi kedelai di Indonesia. Hingga tahun 1985,
penyediaan kedelai di Indonesia sangat tergantung pada impor, hal mana memprihatinkan
pemerintah. Untuk memperbaiki keadaan ini, pemerintah mengadakan program intensifikasi dan
ekstensifikasi untuk meningkatkan produktivitas dan hasil kedelai.
Studi ini meliputi aspek produksi, pemasaran, pemanfaatan dan pengolahan, permintaan
dan konsumsi, serta kebijaksanaan pemerintah. Kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dan saransaran yang diajukan dimaksudkan sebagai dasar bagi studi-studi lain yang lebih mendalam
tentang komponen-komponen sistem komoditas kedelai dimasa yang akan datang.
Edisi bahasa Indonesia ini merupakan terjemahan dari edisi kedua bahasa Inggris. Kami
berharap studi ini dapat memberi sumbangan bagi usaha peningkatan produksi kedelai di
Indonesia.
Ibrahim Manwan
Kepala
Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan
Shiro Okabe
Direktur
Pusat Palawija
xi
Prakata
Edisi bahasa Indonesia ini merupakan terjemahan dari edisi kedua bahasa Inggris. Edisi
kedua bahasa Inggris itu merupakan hasil perbaikan atas edisi pertama berdasarkan pemasukan
data terbaru dari Biro Pusat Statistik dan perbaikan atas beberapa ketidak-tepatan informasi.
Data dan hasil aktual survei masih tetap dipertahankan.
Dalam kurun 1984-1987 telah terjadi perubahan-perubahan nyata dalam produksi kedelai
di Indonesia, termasuk peningkatan pesat pada luas tanam kedelai di luar Jawa yang diikuti
dengan peningkatan produksi. Perkembangan tersebut ditunjukkan dalam laporan ini, tetapi
analisis yang mendalam belum dapat dilakukan karena kurangnya data.
Ikhtisar dan saran-saran masih tetap seperti dalam edisi pertama dengan sedikit penambahan.
J.W.T. Bottema
Penyunting
xii
Pernyataan Penghargaan
Studi ini diprakarsai oleh Dr. Rusli Hakim, mantan Kepala Puslitbangtan (Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan) pada tahun 1983, yang telah memberikan
petunjuk-petunjuk pelaksanaannya. Dr. B.H. Siwi, mantan terakhir Kepala Puslitbangtan telah
memberikan banyak dukungan. Bapak Shiro Okabe, Direktur Pusat Palawija (CGPRT Centre),
telah memberikan dukungan dan dorongan pada semua tahap studi ini. Dr. Irlan Soejono dari
Pusat Palawija juga telah menyumbangkan banyak gagasan yang berharga dalam diskusidiskusi.
Kami telah pula memperoleh manfaat dari saran-saran yang diberikan oleh Dr. M.
Ismunadji, Kepala Balittan (Balai Penelitian Tanaman Pangan) Bogor. Interaksi dengan rekanrekan lain, termasuk diskusi panjang dengan Dr. Sadikin Somaatmadja dan Dr. Sumarno dari
Balittan Bogor, amatlah penting bagi studi ini.
Staf Kelompok Peneliti Sosial-ekonomi Balittan Bogor dan Dinas Pertanian Propinsi
telah memberikan berbagai bantuan yang tak ternilai selama survei. Penghargaan kami tujukan
pula pada para petani di desa-desa atas usaha mereka memberikan data tentang kegiatan
ekonomi kedelai.
Kepada semua yang telah kami sebutkan diatas, serta banyak pihak lain yang tidak dapat kami
sebutkan satu-persatu, kami ucapkan banyak terimakasih.
Tim Studi
xiii
Ikhtisar
Studi sistem komoditas kedelai di Indonesia indirencanakan oleh ESCAP CGPRT Centre
atas permintaan Pemerintah Indonesia pada akhir tahun 1983, berkenaan dengan makin
meningkatnya permintaan akan produk-produk asal kedelai yang berakibat makin
bergantungnya Indonesia pada impor selama tahun-tahun terakhir. Studi ini dilaksanakan pada
tahun 1984 dengan kerjasama dari para peneliti Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.
Tujuan studi ini adalah:
1. Meninjau keadaan penawaran dan permintaan akan kedelai di Indonesia;
2. Mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi kendala-kendala produksi kedelai;
3. Mengidentifikasi penelitian lebih lanjut yang diperlukan untuk meningkatkan produksi
kedelai.
Pendekatan menyeluruh telah dilakukan meliputi berbagai komponen sistem komoditas
kedelai di Indonesia, yang terdiri atas tiga bagian pokok:
1. Survei produksi di tingkat petani. Daerah survei dipilih di empat propinsi penghasil
utama kedelai: Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Lampung, meliputi 187
petani.
2. Survei pemasaran dan pengolahan di Jawa Barat.
3. Studi kebijaksanaan pemerintah dengan memakai data sekunder dari berbagai sumber.
Studi ini lebih bersifat penjajagan. Jangkauan kesimpulan-kesimpulan yang mengenai
produksi berlaku terbatas bagi daerah-daerah yang dikenal sebagai penghasil utama kedelai;
sedangkan penelitian terhadap pemasaran, pengolahan, dan kebijaksanaan dilakukan pada
tingkat nasional.
Hasil studi menunjukkan bahwa kendala-kendala pokok dalam sistem komoditas kedelai
berkaitan dengan produksi dalam negeri. Masukan-masukan (inputs) tampaknya cukup tinggi
kendati hasilnya (yield) masih rendah (600-700 kg/ha). Peningkatan hasil yang besar tidak dapat
diharapkan dari intensifikasi pemakaian masukan, bila cara budidaya masih seperti sekarang.
Karena sangat beragamnya pemakaian masukan dan cara bertani di tiap daerah penghasil
kedelai, maka adopsi paket teknik anjuran hendaknya dipertimbangkan dengan hati-hati.
Program-program penelitian nasional dan regional yang bertujuan mengembangkan paket-paket
teknologi untuk disebar- luaskan melalui penyuluhan perlu juga memperhitungkan keragaman
antar daerah.
Program-program penelitian kedelai dewasa ini sebaiknya dipusatkan pada perbaikan
cara budidaya yang diterapkan petani. Studi yang mendalam perlu
xiv
dipusatkan pada serangan hama dan penyakit serta implikasinya yang menyangkut perbaikan
cara pengendaliannya. Karena adanya interaksi antara serangan hama dan penyerapan hara,
maka respon tanaman terhadap pemupukan dan keadaan hara mikro sebaiknya juga diteliti.
Implikasi hasil studi ini juga menunjukkan perlunya penelitian di daerah penghasil kedelai yang
marjinal maupun daerah-daerah baru, dimana tingkat masukan masih perlu dikembangkan.
Upaya-upaya penyuluhan selayaknya mempertimbangkan sistem usahatani yang
dipraktekkan dewasa ini, selain ditujukan untuk memperbaiki cara budidaya melalui kerjasama
dengan lembaga-lembaga penelitian nasional dan regional.
Sangat beragamnya masukan dan cara budidaya yang digunakan perlu dipelajari untuk
mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku petani serta yang menimbulkan
keragaman itu sendiri. Bersamaan dengan studi ini, penelitian khusus perlu diadakan guna
mengetahui alasan-alasan tidak diadopsinya kedelai dalam pola tanam oleh sebagian petani di
daerah-daerah yang sesungguhnya sesuai untuk produksi kedelai.
Dewasa ini ada dua sistem pemasaran. Sistem pemasaran tradisional menyerap produksi
dalam negeri, yang terdiri dari pedagang dan pabrik pengolahan yang relatif kecil, dan melayani
kebutuhan rumahtangga. Sistem ini memasarkan kedelai melalui toko-toko dan pasar-pasar
kecil. Sistem kedua, dimana peran BULOG penting sekali, mengimpor kedelai untuk diolah
pabrik-pabrik besar yang membuat pakan ternak dan barang-barang konsumsi. Harga c.i.f.
(harga barang impor di pelabuhan bongkar) kedelai impor sejak 1974 lebih rendah daripada
harga riel kedelai dalam negeri.
Produksi kedelai dalam negeri secara tidak langsung disubsidi oleh pemerintah melalui
subsidi pupuk dan obat-obatan. Situasi ini menimbulkan persoalan bagi kebijaksanaan nasional,
karena biaya produksi kedelai di Indonesia lebih tinggi daripada harganya di pasaran
internasional dewasa ini. Hal ini berhubungan dengan kelangsungan (viabilitas) ekonomi
program subsidi pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan produksi dalam negeri. Namun
penting pula dilakukan perlindungan terhadap produksi kedelai, karena banyak industri kecil
pedesaan secara langsung bergantung kepada produksi kedelai setempat. Peningkatan produksi
diperlukan agar biaya ekonomi program pemerintah tidak menjadi beban yang terlalu berat bagi
ekonomi nasional. Dianjurkan agar kelangsungan ekonomi dan finansial kebijaksanaan produksi
kedelai di Indonesia ditinjau dengan menggunakan cara-cara seperti analisa biaya sumberdaya
domestik dan biaya komparatif untuk menentukan kebijaksanaan yang optimal.
Studi ini memperlihatkan bahwa sektor swasta bekerja secara efisien dalam jual- beli
kedelai di pedesaan; petani menerima kira-kira 75% dari harga eceran. Akan tetapi, studi-studi
yang mendalam diperlukan bagi penggolongan mutu, penyimpanan, dan pemasaran kedelai
pada tingkat desa dan daerah untuk mengurangi kerugian selama penyimpanan dan
memperpanjang daya simpan produk akhir. Ada petunjuk bahwa sistem penyaluran kedelai
impor kurang efisien dibandingkan dengan sistem sektor swasta. Dianjurkan agar kedua sistem
itu dipelajari untuk memperbaiki efisiensi pemasaran secara keseluruhan demi keuntungan
produsen dan konsumen.
Kedelai memainkan peran penting dalam penyediaan protein dan asam amino esensial
bagi keseimbangan gizi pangan di desa dan kota. Tingginya elastisitas pendapatan yang
mendukung permintaan untuk konsumsi manusia serta berkembangnya industri pakan ternak
menunjang pendapat bahwa kecil kemungkinannya terjadi kelebihan produksi, terutama
mengingat besarnya potensi
xv
permintaan akan bungkil kedelai. Pengembangan fasilitas di sektor itu akan diperlukan.
Karenanya, studi kelayakan industri pengolahan kedelai, baik untuk produksi dalam negeri
maupun impor, perlu dilakukan lebih jauh.
Sejak 1982 produksi kedelai nasional telah meningkat dua kali lipat menjadi 1.227.000 t
dalam 1986. Peningkatan itu terutama merupakan hasil perluasan areal tanam (ekstensifikasi) di
luar Jawa, sementara hasil di Jawa maupun luar Jawa naik menjadi hampir 1 t/ha. Walaupun
peningkatan tersebut sangat mengesankan, namun produktivitas masih perlu terus ditingkatkan.
Sehubungan dengan pengurangan subsidi pupuk, dibutuhkan usaha-usaha meningkatkan
produktivitas dan menurunkan biaya produksi. Jawabannya mungkin terletak pada perbaikan
teknik budidaya, pengelolaan hama dan penyakit, pengelolaan air, serta ketersediaan benih
bermutu.
xvi
xvii
1
Pendahuluan
kg/tahun
171,38
(143,17)
73,09
12,95
Serealia
(beras)
Makanan berpati
Gula
Kacang-kacangan dan
bijian berlemak
22,46
(kedelai)
(6,44)
Buah-buahan
10,72
Sayuran
21,17
Daging
13,12
Telur
1,7
Susu
3,19
Ikan
11,51
Minyak nabati
6,74
Lemak hewani
0,13
Total
(nabati)
(hewani)
Sumber: BPS, Neraca bahan pangan, 1985
g/hari
469,53
(392,22)
200,25
35,48
61,52
(17,64)
29,37
58
35,08
4,65
8,74
31,53
18,84
0,36
10,11
(6,16)
0,87
0,35
1,63
0,60
0,28
3,71
0,08
52,72
46,50
6,22
g/lemak/hr
5,06
(2,75)
0,56
0,15
18,11
(3,19)
0,17
0,10
1,82
0,56
0,31
0,63
18,30
0,35
46,12
42,45
3,67
Pendahuluan
Dalam tahun 1978, hasil tanaman sumber nabati telah memberikan pada tiap orang tiap
hari 42,9 g protein dan 43,8 g lemak; di antaranya, kedelai telah menyumbangkan 4,66 g protein
dan 1,35 g lemak. Di tahun 1985, kedelai memberikan 6,16 g protein dan 3,19 g lemak pada
setiap orang per hari, yang merupakan suatu peningkatan nyata. Pada periode itu, tanaman
masih dominan sebagai sumber nabati protein dan lemak.
Tujuan studi
Studi ini diadakan untuk mengevaluasi kedudukan kedelai dewasa ini serta prospeknya
di masa mendatang di Indonesia, agar para pembuat kebijaksanaan dapat merumuskan program
yang efektif untuk meningkatkan produksi sebagaimana ditetapkan dalam PELITA IV.
Pendekatan sistem komoditas telah dipakai untuk mengidentifikasi hubungan timbal balik
berbagai faktor dalam pengembangan kedelai.
Tujuan khusus adalah:
1.
2.
3.
Menganalisis dan mengevaluasi status pemasaran dan konsumsi kedelai pada saat ini;
Mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat dan mendorong perkembangan
kedelai, termasuk ketersediaan sumberdaya, teknologi produksi, harga relatif, serta
kebijaksanaan pemerintah yang ada kaitannya;
Meramalkan potensi produksi dan berbagai kegunaan kedelai di masa mendatang di
Indonesia, serta menyarankan penelitian dan kebijaksanaan lanjutan yang perlu untuk
mengembangkan tanaman ini.
Data primer dari para responden survei dan wawancara dengan kelompok- kelompok
informan, termasuk petani, pedagang, dan pengolah kedelai.
Data sekunder dari badan-badan pemerintah di tingkat nasional dan daerah,
Pendahuluan
seperti BPS (Biro Pusat Statistik), Ditprod (Direktorat Bina Produksi Tanaman Pangan),
BULOG, dan Diperta (Dinas Pertanian).
Karena adanya kendala-kendala dana dan waktu, pengumpulan data primer dipusatkan di
4 dari 5 propinsi penghasil kedelai terbesar: Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan
Lampung. Di setiap propinsi itu dipilih dua kabupaten yang mewakili daerah-daerah penghasil
kedelai utama (Tabel 1.2 dan Gambar 1.1). Selanjutnya dalam setiap kabupaten yang terpilih itu
dipilih dua kecamatan, dan kemudian satu desa dalam tiap kecamatan. Pada setiap tingkat
dipilih daerah dengan luas tanam dan luas panen kedelai paling besar.
Di tiap desa sampel, sepuluh petani diwawancarai secara perorangan dan juga dalam
kelompok 5-10 petani. Secara keseluruhan, 189 petani telah diwawancarai oleh tim survei.
Analisis pemasaran didasarkan pada informasi yang diperoleh dari pedagang-pedagang kedelai
di daerah-daerah survei.
Tabel 1.2 Propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa yang terliput dalam studi sistem
komoditas kedelai, 1984.
Propinsi
Jawa Timur
Kabupaten
Ponorogo
Jember
Jawa Tengah
Wonogiri
Grobogan
Yogyakarta
Gunung Kidul
Lampung
Lampung Tengah
Kecamatan
Kauman
Badegan
Balung
Wuluhan
Pracimantoro
Baturetno
Purwodadi
Toroh
Ponjong
Karangmojo
Bangunrejo
Jabung
Desa
Semanding
Menang
Karang Duren
Glundengan
Putat
Duwet
Putat
Tambirejo
Tanggul Angin
Ngawis
Bangunsari
Gunung Mekar
Sebanyak 16 pedagang kedelai dari desa atau kecamatan sampel di Jawa Tengah dan
Yogyakarta diwawancarai. Survei dilakukan pada tempat-tempat pengolahan di tiga kabupaten
di Jawa Barat, yakni Garut, Ciamis, dan Bandung, dimana banyak ditemui pabrik tahu dan
tempe. Metode studi kasus telah digunakan dalam bagian penelitian ini.
Disadari bahwa pemilihan daerah-daerah produksi utama sebagai dasar studi akan berarti
bahwa hasilnya tidak mewakili sistem komoditas kedelai secara keseluruhan di Indonesia,
melainkan lebih mencerminkan keadaan di daerah-daerah yang paling berhasil memproduksi
kedelai. Cara penarikan contoh ini dipilih untuk memperoleh keterangan yang berguna sebanyak
mungkin dalam satu tahun dan dengan personil serta sumberdaya yang ada.
Oleh karena itu, hasil studi ini mempunyai dua kegunaan: sebagai panduan cara
pengembangan kedelai di daerah-daerah lain di Indonesia; dan sebagai dasar awal studi-studi
yang lebih mendalam di masa mendatang. Studi-studi yang mendalam itu diperlukan untuk
mengidentifikasi kendala-kendala baik biofisik maupun sosial- ekonomi yang menghambat
petani mencapai hasil seperti yang diperoleh para peneliti di kebun-kebun percobaan.
Gambar 1.1 Letak kabupaten-kabupaten yang diliput oleh studi sistem komoditas kedelai.
2
Kecenderungan dalam Produksi Kedelai
Sektor pertanian menyumbang 25% dari produk domestik bruto Indonesia pada tahun
1981 (BPS 1983). Angka ini lebih rendah daripada tahun 1972 (sekitar 40%), yang berarti
terjadi perkembangan pesat dalam kegiatan bukan-pertanian. Tanaman pangan merupakan lebih
dari separuh sumbangan yang diberikan sektor pertanian.
Sekalipun mengalami penurunan, pertanian masih terus memainkan peran yang sangat penting
dalam kehidupan bangsa. Diperkirakan sekitar 75% kehidupan penduduk Indonesia secara
langsung tergantung pada pertanian (Departemen Pertanian 1983). Kira-kira 60% dari tenaga
kerja terlibat dalam kegiatan pertanian. Di samping itu, laju pertambahan penduduk yang tinggi
mengakibatkan terus meningkatnya kebutuhan akan bahan pangan.
Untuk mencapai swasembada pangan nasional, pemerintah Indonesia telah menyediakan
berbagai subsidi sebagai bagian dari PELITA sejak tahun 1969. Selama PELITA I sampai III,
penyediaan bahan pangan utama, beras, telah meningkat secara nyata (Mears 1984). Selama
PELITA IV (1984-88), program intensifikasi massai untuk meningkatkan produksi palawija
dilancarkan. Ini berarti bahwa perhatian tidak hanya dipusatkan pada bahan pangan yang
mengandung karbohidrat melainkan juga pada bahan makanan yang kaya akan protein. Dalam
hubungan ini, kacang-kacangan teristimewa kedelai dikenal sebagai tanaman berkadar
protein tinggi.
Berikut ini adalah tinjauan atas kecenderungan-kecenderungan dalam produksi kedelai,
baik pada tingkat nasional maupun daerah, selama kurun waktu 1969 hingga 1986.
berbagai jenis lahan, baik sawah maupun lahan kering, karena kemampuannya menyerap
nitrogen dan memperbaiki sifat tanah. Dengan tingkat penggunaan pupuk yang rendah pada
tanaman palawija, kacang-kacangan merupakan tanaman paling cocok setelah panen tanaman
utama. Kedelai berperan penting sebagai tanaman tumpangsari dalam pergiliran tanaman yang
lazim dikerjakan para petani.
Gambar 2.1 memperlihatkan perubahan-perubahan relatif luas panen enam tanaman
palawija penting (jagung, ubikayu, ubijalar, kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau) dari tahun
1969 hingga 1982. Gambar itu menunjukkan bahwa biji-bijian (jagung) mengambil kira-kira
50% dari luas panen palawija, ubi-ubian (ubikayu dan ubijalar) kurang lebih 30%, sedang
kacang-kacangan (kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau) 20% sisanya.
Walaupun tidak terlihat pada Gambar 2.1, luas panen jagung, ubikayu, dan ubijalar
cenderung berkurang, sementara terjadi sedikit peningkatan pada kedelai dan kacang tanah.
Dilaporkan bahwa tanah yang biasanya ditanami ubikayu dan ubijalar cenderung dialihkan
untuk padi; padi lebih menguntungkan karena mendapat bantuan pemerintah berupa subsidi
masukan dan pengendalian harga (Mears 1984).
kering (bulan bercurah-hujan kurang dari 100 mm). Musim hujan biasanya mulai dari
November/Desember hingga Maret/ April. Kedelai sering ditanam di sawah pada bulan April
setelah panen padi, dan dipanen pada permulaan bulan Juli. Kemudian padi, sebagai tanaman
utama, ditanam pada bulan Desember (Naito et al. 1983). Sumarno (1984) memperkirakan
bahwa 60% dari kedelai di Jawa ditanam di sawah setelah padi, dan 40% sisanya ditanam di
lahan kering.
Produksi ('000 t)
Luar Jawa
52
66
66
69
95
125
125
115
108
110
130
121
122
114
134
194
236
394
Total
399
471
513
518
535
577
589
538
523
593
665
719
703
572
535
716
807
115
Pada tahun 1982, kira-kira 42% luas panen kedelai di luar Jawa terpusat di Sumatra. Di
Lampung dan Aceh kedelai merupakan tanaman utama, yang ditanam tiga kali setahun.
Gambar 2.2 memperlihatkan perubahan tahunan luas panen kedelai d! Jawa dan di luar
Jawa selama PELITA I hingga IV (1969-1986). Sekalipun luas panen cenderung meningkat,
namun besarannya amat beragam dari tahun ke tahun. Berbagai faktor menyebabkan ketidakstabilan ini; khususnya cuaca dan hujan yang tidak dapat diprakirakan, bencana alam seperti
kemarau dan banjir, serta kepekaan tanaman terhadap hama dan penyakit.
Ketidak-pastian dalam penyediaan masukan-masukan pokok seperti pupuk dan pestisida
diduga turut menentukan produksi. Pada tahun 1972 dan 1975, misalnya, beberapa pertanaman
kedelai terserang ulat grayak, cendawan, dan tikus. Musim kemarau panjang di tahun 1982
menyulitkan petani bertanam kedelai, dan menggagalkan banyak panen (Somaatmadja dan Siwi
1983). Produksi kedelai menunjukkan kecenderungan serupa (Gambar 2.2). Koefisien korelasi
selama 1969-1982 antara luas panen dan produksi adalah 0,869.
Tabel 2.2 dan Gambar 2.3 membandingkan hasil tanaman kedelai dari tahun 1969
sampai 1986. Hasil rata-rata terus meningkat dari 0,7 t/ha pada 1979, sampai sekitar 0,9 t/ha
pada 1981 dan menjadi 0.99 t/ha pada 1986. Seperti terlihat pada gambar,
koefisien keragaman hasil di luar pulau Jawa (27,3%) lebih besar daripada di Jawa (13,8%). Ini
menunjukkan bahwa hasil di luar Jawa lebih tidak stabil, yang mencerminkan tingkat teknologi
yang lebih rendah, iklim yang tidak stabil, lebih banyak bencana alam, dan lebih banyak
budidaya di lahan kering.
Jawa
1969
703
1970
717
1971
762
1972
771
1973
741
1974
744
1975
769
1976
804
1977
810
1978
842
1979
868
1980
1003
1981
912
1982
876
1983
848
1984
900
1985
996
1986
1046
Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan
Hasil (kg/ha)
Luar
Jawa
585
682
672
625
680
814
823
794
803
792
811
826
788
803
828
853
887
914
Indonesia
685
712
749
748
730
759
780
802
809
832
856
968
888
860
843
887
962
995
Indeks
(100)
(104)
(109)
(109)
(107)
(111)
(114)
(117)
(118)
(121)
(125)
(141)
(130)
(126)
(123)
(129)
(140)
(145)
10
11
Table 2.3 Luas panen palawija dan kedelai menurut propinsi (rata-rata 1969-1981).
a
12
Tabel 2.4 Location quotient produksi kedelai menurut propinsi (rata-rata 1969-1971 dan 1979-1981).
a
Propinsi
Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat
Jawa Timur
Lampung
Aceh
Jawa Tengah
Sulawesi Utara
Irian Jaya
Bali
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Jawa Barat
Bengkulu
Sumatra Selatan
Kalimantan Timur
Sumatra Utara
Sulawesi Tengah
Sumatra Barat
Kalimantan Barat
Maluku
Nusa Tenggara Timur
Riau
Kalimantan Selatan
Jambi
Kalimantan Tengah
Jakarta
Timor Timur
a
Sesuai LQ 1979-1981
1969-1971
1979-1981
1,43
2,80
2,37
0,88
0,16
1,09
0,05
0,02
0,94
0,14
0,02
0,25
0,06
0,05
0,06
0,27
0,17
0,06
0,05
0,51
0,02
0,01
0,04
0,03
0,00
2,75
2,31
2,01
1,59
1,33
1,18
0,75
0,68
0,63
0,31
0,30
0,24
0,24
0,24
0,24
0,23
0,18
0,11
0,10
0,05
0,05
0,05
0,04
0,04
0,03
Gambar 2.4 Perubahan location quotient kedelai di beberapa propinsi terpilih, 1969-1971 dan 1979-1981.
13
Kelompok tani
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Sebagai tambahan, suatu program dimulai tahun 1983 dengan memberi kapur kepada
petani guna memperbaiki tanah-tanah masam. Program ini diharapkan bermanfaat terutama
untuk pertanaman kedelai. Semua usaha itu akan dibahas lebih lanjut dalam Bab 8.
3
Cara-cara Produksi Usahatani
Bab ini mengemukakan hasil survei produksi usahatani di 12 desa pada empat propinsi
penghasil kedelai utama Indonesia. Analisis pengelolaan pertanaman kedelai di usahatani kecil
sangat rumit karena adanya keragaman pola tanam, terutama di lahan kering dan dataran tinggi.
Kerumitan semacam ini dialami di Lampung Tengah dan Gunung Kidul. Sampel-sampel di
Grobogan dan Ponorogo ternyata memperlihatkan keseragaman, sedangkan yang di Jember dan
Wonogiri tidak terlalu rumit tetapi juga tidak seragam.
Ciri-ciri umum
Rata-rata keluarga petani sampel terdiri atas 4,5 orang (Tabel 3.1). Sekitar 64% dari
anggota keluarga bekerja di usahatani. Keluarga-keluarga petani di Gunung Kidul (Yogyakarta)
mempunyai angka terkecil untuk nisbah anggota keluarga yang bekerja di usahatani sendiri
(44%) walaupun kesempatan untuk bekerja di luar usahatani di daerah ini kecil (<10%). Di
Wonogiri dan Grobogan (Jawa Tengah) para anggota keluarga lebih aktif bekerja di bidang
bukan pertanian (14%). Semua ini menyatakan bahwa usahatani masih merupakan sumber
pendapatan utama di daerah-daerah survei sekalipun sumberdaya lahan terbatas.
Tabel 3.1 Ukuran dan ciri keluarga petani kedelai menurut daerah, 1983/1984
Daerah
Jumlah
anggota
tiap
keluarga
% anggota
bekerja di
usahatani
a
sendiri
% pendapatan
dari
usahatani
b
luar
% pendapatan
dari bukan
c
usahatani
Jawa Timur
Ponorogo
Jember
11,6
11,0
54
77
8
8
8
8
Jawa Tengah
Wonogiri
Grobogan
4,2
3,7
57
78
6
5
14
14
Yogyakarta
Gunung Kidul
4,9
44
8
7
8
9
Lampung
Lampung Tengah
5,4
87
Semua sampel
4,5
64
a
usahatani sendiri = usahatani milik sendiri.
b
usahatani luar = usahatani milik orang lain.
c
bukan usahatani = bukan bidang pertanian, seperti dagang, tukang kayu, dsb
16
Rata-rata luas lahan yang dapat digarap adalah 0,92 ha per keluarga kendati rata- rata
luas pemilikan berkisar dari 0,55 ha di Gunung Kidul hingga 1,53 ha di Jember (Tabel 3.2).
Kebanyakan lahan garapan di Jawa adalah sawah. Gunung Kidul merupakan perkecualian,
dimana lahan garapan berupa lahan kering karena wilayahnya berbukit-bukit. Di Lampung
Tengah, hampir 60% dari lahan garapan adalah juga lahan kering.
Tabel 3.2 Pemilikan lahan garapan dan budidaya kedelai rata-rata tiap keluarga petard, 1983/1984 (ha).
Daerah
Jawa Timur
Ponorogo
Jember
Sawah
Lahan kering
Pekarangan
Jumlah
0,62
1,29
0
0,24
0
0
0,62
1,53
Jawa Tengah
Wonogiri
Grobogan
0,69
0,65
0,04
0,04
0
0
0,73
0,69
Yogyakarta
Gunung Kidul
0,14
0,33
0,08
0,55
Lampung
Lampung Tengah
Rata-Rata
0,35
0,62
0,80
0,25
0,24
0,06
Untuk kedelai
1,40
0,92
Luas lahan
Luas tanam
per tahun
Jawa Timur
Ponorogo
Jember
0,62
1,53
0,62
1,94
Jawa Tengah
Wonogiri
Grobogan
0,73
0,70
1,35
0,75
Yogyakarta
Gunung Kidul
0,40
0,65
Lampung
Lampung Tengah
Rata-Rata
1,05
0,84
1,66
1,16
17
Lebih dari separuh kedelai ditanam sebagai tanaman tunggal; sisanya yang 46% ditanam
secara tumpangsari bersama tanaman pangan lain atau tanaman tahunan (Tabel 3.4). Gambar
3.1 dan 3.2 melukiskan sistem tanam kedelai yang paling lazim di enam daerah studi. Kacangkacangan terutama ditanam tunggal di Ponorogo, Wonogiri, dan Jember, tetapi
ditumpangsarikan di Grobogan, Gunung Kidul, dan Lampung Tengah (Tabel 3.4). Jika ditanam
tunggal di sawah, kedelai biasanya ditanam pada bulan Juni atau Juli, pada musim kemarau
setelah panen padi kedua. Sedangkan sebagai tanaman tunggal di lahan kering, kedelai ditanam
dari Februari sampai April. Kebanyakan kedelai tumpangsari ditanam pada bulan Oktober dan
November di lahan kering dan sawah.
Gambar 3.1 Penyebaran curah hujan dan pola tanam di Jember dan Wonogori, 1983.
18
Tabel 3.3 Persentase pertanaman kedelai di berbagai macam lahan di daerah sample, 193/1984
Daerah
Lahan
kering
Sawah
Pekarangan
Jumlah
Jawa Timur
Ponorogo
Jember
87
100
13
0
100
100
Jawa Tengah
Wonogiri
Grobogan
95
93
5
7
100
100
Yogyakarta
Gunung Kidul
77
18
100
11
72
79
25
10
3
100
100
Lampung
Lampung Tengah
Seluruhnya
Tabel 3.4 Persentase kedelai yang ditanam dalam berbagai pola tanam di daerah sampel, 1983/1984.
Jawa Timur
Bagian
dari seluruh
daerah survei
Tanaman tunggal
Sawah
Okt - Des
Feb - Apr
Jun - Jul
Lahan kering
Okt - Des
Feb - Apr
Jun - Jul
Sub jumlah
Jawa Tengah
Lampunga
Lampung
Tengah
16,4
Seluruhnva
Ponorogo
Jember
Wonogiri
Grobogan
10,6
18,0
23.8
15.9
100
29
50
33
5
36
9
9
2
2
97
78
10
10
11
70
14
100
Tumpangsari2
Sawah
Okt - Des
Feb - Apr
Jun - Jul
Lahan kering
Okt - Des
Feb - Apr
Jun - Jul
Yogyakarta
Gunung
Kidul
15,3
100
6
28
10
2
3
100
24
10
3
24
13
41
35
52
22
13
4
6
2
54
16
9
4
Sub jumlah
3
22
90
76
87
46
Jumlah
100
100
100
100
100
100
100
a
Lahan kering di Lampung Tengah meliputi pekarangan
b
Tumpang sari di sawah kebanyakan dengan jagung: dilahan kering dengan jagung (39%), ubikayu, padi gog (23%),
dan tanaman lain (12%)
Gambar 3.2 Penyebaran curah hujan dan pola tanam di Gunung Kidul dan Lampung Tengah, 1983.
19
20
Petani perlu mempertimbangkan banyak faktor dalam mengelola usahatani dan memilih
tanaman, yang mencakup pemenuhan berbagai kebutuhan keluarga, keadaan sumberdaya,
adanya kendala yang dihadapi, pemilihan teknologi yang ada, dan pemasaran. Alasan petani
memilih kedelai sebagai komponen dari pola tanamnya direrlihatkan pada Gambar 3.3.
Sebagian terbesar petani menanam kedelai untuk meningkatkan pendapatan. Sementara itu
petani di Wonogiri dan Grobogan menyadari akan keuntungan menanam kedelai. Di Jember,
Wonogiri, dan Gunung Kidul, kedelai sudah ditanam sejak lama dan menjadi bagian dari tradisi
mereka.
Gambar 3.3 Alasan menanam kedelai bagi para petani di daerah sampel, 1983/1984.
21
Teknologi produksi
Hanya 30% dari petani yang diwawancarai menyatakan ikut dalam program BIMAS
kedelai . (Tabel 3.5). Banyak petani tidak terlibat dalam program itu karena berpendapat tanah
mereka subur dan mereka mempunyai cukup dana. Akan tetapi, hal
sebaiknya diinterpretasi dengan hati-hati karena sejumlah besar petani tidak menjawab
pertanyaan mengenai hal itu.
Pupuk
Lebih dari 80% petani menggunakan pupuk dan pestisida untuk pertanaman mereka.
Kebanyakan dari mereka memakai pupuk urea dan TSP sedangkan beberapa menggunakan
amonium sulfat dan KC1. Kurang lebih separuh (49%) dari para petani yang ditanyai memakai
urea hanya satu kali selama musim tanam, yakni 15-30 hari setelah tanam. Sebagaimana diduga,
kebanyakan petani hanya sekali memakai TSP, yaitu pada saat tanam. Lebih dari 70% petani
memakai pupuk N dengan cara tabur dan kira-kira 60% menaburkan pupuk P.
Pestisida.
Paling sedikit terdapat 14 merk pestisida yang tersedia selama survei dilangsungkan.
Hampir 80% petani mengendalikan hama 2-4 kali, terutama dalam kurun 15-45 hari setelah
tanam (72% dari kasus). Lima puluh tujuh persen petani yang memakai pestisida
menggunakannya secara teratur. Selebihnya menggunakan pestisida hanya bila dirasa perlu,
yakni bila diduga serangan hama akan mengurangi hasil. Masukan-masukan ini tersedia di dekat
rumah para petani, di KUD dan koperasi koperasi lain, serta pasar.
Benih.
Benih merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan produksi tanaman. Dalam
memilih benih kedelai, petani mencari benih kedelai yang padat, berkilat, tidak pecah, kering,
bersih, dan cukup besar. Sekitar 30% petani memakai benih mereka sendiri. KUD dan toko-toko
menyediakan benih kedelai untuk 16% petani, dan pasar menyediakan 16% lainnya. Kira-kira
11% dari petani membeli benih kedelai, mungkin varitas anjuran, dari Dinas Pertanian, Balai
Benih, BIMAS, dan PERTANI.
Tabel 3.5 Persentase petani yang diwawancarai, yang turut serta dalam program BIMAS kedelai, 1983/1984.
Daerah
% petani
BIMAS
% petani
memakai pupuk
% petani
memakai pestisida
Jawa Timur
Ponorogo
Jember
10
5
55
79
60
100
Jawa Tengah
Wonogiri
Grobogan
25
29
95
95
80
100
Yogyakarta
Gunung Kidul
64
100
100
Lampung
Lampung Tengah
Seluruhnya
45
30
50
80
83
47
22
Tabel 3.6 Tingkat masukan setiap hektar kedelai yang ditanam di daerah sampel, 1983/1984.
Bibit
(kg/ha)
Pekarangan
Lampung Tengah
25
Sawah
Ponorogoa
Jember
Wonogirib
Groboganc
70
65
49
34
Lahan kering
Jember
Wonogiri
Grobogan
Gunung Kidul
Lampung Tengah
52
48
25
56
31
Hewan
(hari hewan)
Pekarangan
Lampung Tengah
Sawah
Ponorogo
Jember
Wonogiri
Grobogan
8
7
7
Pupuk
(kg/ha)
Pestisida
(kg atau 1/ha)
3,32
117d
42
138
154
96
60
126
164
38
Tenaga kerja per ha
Buruh (hari
orang kerja)
5,30
4,40
8,20
5,20
2,63
4,50
0,30
2,70
3,02
% Buruh keluarga/
gotong royong
225
100
147
79
152
162
42
64
82
60
Lahan kering
Jember
1.2
110
Wonogiri
156
Grobogan
8,4
154
Gunung Kidul
6,8
138
Lampung Tengah
1,2
89
a
Hari-hari selebihnya dikerjakan oleh buruh tani, bHanya pola padi-padi-kedelai
b
Kebanyakan kedelai-padi-kedelai, dHanya kedelai+jagung-padi jagung
47
100
66
69
72
23
Tabel 3.7 Biaya dan pendapatan produksi kedelai per hektar di daerah sampel, 1983/1984a
(Rp '000).
Bibit
Pekarangan
Lampung Tengah
12,5
Sawah
Ponorogo
Jember
Wonogiri
Grobogan
63,0
29,2
24,5
19,5
Lahan kering
Jember
Wonogiri
Grobogan
Gunung Kidul
Lampung Tengah
Pekarangan
Lampung Tengah
Sawah
Ponorogo
Jember
Wonogiri
Grobogan
11,9
8,6
12,4
13,5
Upah
5,3
6,8
9,0
11,0
15,2
12,4
60,3
29,0
34,4
49,6
23,4
24,0
14,4
25,2
15,5
Jumlah
biaya
11,9
5,4
11,0
14,8
3,2
Pendapatan
brutob
6,8
13,0
0,5
4,8
6,1
Nilai
tambah
37,2
13,8
75,0
45,6
19,0
Nisbah
nilai
tambah
24,6
238,0
213,4
8,67
144,2
77,8
86,5
95,0
400,5
324,0
367,2
553,2
256,3
246,2
280,7
458,2
1,78
3,16
3,25
4,82
Lahan kering
Jember
79.3
244,8
165,5
2,09
Wonogiri
56,2
275,4
219,2
3,90
Grobogan
100,9
447,2
346,3
3,43
Gunung Kidul
90,4
193,1
102,7
1,14
Lampung Tengah
43,8
244,8
201,0
4,59
a
Analisis ini tidak membedakan pola tanam yang berlainan secara terpisah.
b
Harga rata-rata tiap kg biji kedelai yang diterima petani: Lampung Tengah Rp 340, Grobogan Rp 461, Jember Rp 360,
Gunung Kidul Rp 431, Wonogiri Rp 459. dan Ponorogo Rp 445.
Pemakaian pupuk terendah terjadi di Lampung Tengah (38 kg/ha) dan tertinggi di
Grobogan & Gunung Kidul (126-154 kg/ha dan 164 kg; ha). Namun demikian hasil yang
diperoleh di Gunung Kidul masih sangat rendah. Dosis pestisida tertinggi (4-8 kg atau 1/ha)
digunakan petani Wonogiri. Pemakaian benih sebanyak 70 kg/ha (tertinggi) di Ponorogo
diragukan, terutama karena petani di daerah itu menanam varitas yang benihnya kecil.
Dibandingkan dengan yang telah dipakai dalam tahun 1978 (Tabel 3.8), pupuk dan
pestisida yang dipakai para petani kedelai sekarang jauh lebih banyak. Tingkat pemakaian benih
masih sebanding karena proporsi antara tanaman tunggal dan tumpangsari masih tetap sama.
Akan tetapi perlu diingat bahwa data 1978 itu diperoleh dari penelitian yang sifatnya berbeda.
Lagi pula tim survei sekarang ini hanya meneliti daerah-daerah produksi yang paling berhasil.
24
Para petani memakai tenaga hewan atau tenaga buruh didalam usahatani mereka. Di
Wonorigi semua petani mengolah tanah mereka dengan tenaga manusia. Sedangkan kebanyakan
petani di Grobogan memakai tenaga hewan, walaupun tidak hanya untuk kedelai karena di
daerah ini kebanyakan kedelai ditanam secara tumpangsari. Para anggota keluarga dan tetangga
secara gotong royong mengerjakan lebih dari 70% pekerjaan usahatani di Lampung Tengah dan
Wonogiri, tetapi hanya sekitar 50% di Ponorogo dan Jember. Keadaan di Gunung Kidul dan
Grobogan berada di antara kedua ekstrim tersebut.
Rata-rata tingkat pemberian masukan secara nasional dan propinsi dapat dilihat pada
Tabel 3.8. Pesatnya peningkatan dosis pupuk dan pestisida amat mencolok. Hal itu dibenarkan
oleh data survei, dimana pemakaian pupuk dan bahan kimia telah berkembang pesat akhir-akhir
ini. Mungkin terjadi bias sehingga data 1979 kelihatannya lebih kecil daripada yang sebenarnya
karena metode statistik yang digunakan.
Keragaman masukan yang digunakan di Jawa dan daerah luar Jawa mencerminkan
perbedaan antara teknologi produksi yang relatif lebih berkembang di Jawa dibandingkan
dengan di luar Jawa.
Pupuk
(kg/ha)
Pestisida
(kg/ha)
Jawa
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
Yogyakarta
Jawa/Madura
41.66
37.68
48.05
41.46
44.46
128.78
71.28
91.87
48.03
85.35
3.44
2.55
3.24
2.86
2.86
Luar Jawa
Sumatra
Kalimantan
Sulawesi
Bali/Nusa Tenggara
30.83
19.01
44.12
44.90
36.28
11.18
14.08
0.24
1.96
0.04
0.34
0.68
Indonesia
1979
38
16
1980
45
38
1983
43.01
69.38
1984
38.64
72.71
37.72
77.67
1985a
Sumber: Biro Pusat Statistik, 1985, Struktur ongkos usahatani padi,
a
palawija atidak termasuk DKI Jaya.
0.8
1.5
2.45
2.17
2.07
25
Jember masih mencabut tanaman dengan tangan. Panen dengan mempergunakan sabit
meningkatkan mutu biji karena butir kedelai tidak banyak bercampur tanah.
Tanaman kemudian dijemur di atas anyaman bambu, lantai jemur, atau di atas tanah.
Setelah polongnya kering, kedelai digebug hingga biji-bijinya rontok. Biji-biji itu lalu
dibersihkan dan dimasukkan ke dalam karung-karung plastik untuk disimpan. Belum terlihat
adanya perbaikan atas cara tradisional ini.
Sebagian petani menjual semua kedelainya segera setelah panen bila mereka
memerlukan uang untuk pertanaman berikutnya atau kebutuhan mendesak lainnya. Atau,
mereka menjual sedikit-sedikit, bergantung pada kebutuhan. Tak seorang petani- pun
mengijonkan kedelainya.
Petani jarang menyimpan kedelai terlalu lama kecuali 5-10% yang akan dipergunakan sebagai
benih. Menurut para petani, kedelai yang bermutu baik pun hanya dapat disimpan paling lama
satu setengah bulan.
4
Hubungan antara Masukan dan Keluaran
Pemabahasan dalam bab ini akan dipusatkan pada faktor-faktor penentu dan korelasi
keragaman produktivitas. Tujuannya adalah untuk mengetahui respon keluaran (output)
terhadap masukan-masukan produksi dalam kondisi-kondisi pertanaman yang berlainan.
Prasyarat analisis masukan dan keluaran
Sebelum menguraikan hasil-hasil survei, beberapa hal perlu diingat. Yang pertama
adalah keterbatasan ukuran sampel. Wawancara hanya meliput enam kabupaten dengan 189
usahatani. Akan tetapi hanya 113 kuesioner yang dapat dipakai untuk analisis terinci hubungan
antara masukan dan keluaran. Jawaban-jawaban dari Ponorogo, yang hanya berjumlah tujuh,
disatukan dengan yang dari Jember; keduanya di Jawa Timur. Pengelompokan lebih jauh tidak
dilakukan mengingat adanya per- bedaan-perbedaan besar dalam kondisi-kondisi pertanaman.
Karena di setiap daerah kedelai ditanam di lahan yang berlainan (sawah/lahan kering), musim
yang berbeda (kemarau/hujan), dan sistem yang tidak sama (pertanaman tunggal/tumpangsari),
kiranya jelas bahwa ukuran sampel tidaklah memadai untuk penilaian yang tepat atas pengaruh
berbagai faktor pada tingkat daerah itu.
Persoalan kedua adalah ketelitian jawaban para petani. Misalnya, pengetahuan mereka
akan areal pertanaman dipandang meragukan dan terbatas karena adanya keragaman dalam
penggunaan lahan menurut sistem tumpangsari. Dalam banyak sistem pertanaman di Indonesia,
kedelai merupakan salah satu pilihan untuk ditanam tumpangsari dalam pergiliran yang biasa
dilakukan petani. Sistem tanam di sawah irigasi dan/atau tadah hujan didasarkan terutama atas
padi. Namun, sekalipun ditanam tunggal, kedelai tidak selalu ditanam di seluruh luasan sawah.
Pada kondisi tadah hujan para petani lazimnya menanam kedelai bersama berbagai tanaman
lainnya. Karenanya, suatu survei sosial ekonomi tanaman palawija akan melibatkan sejumlah
faktor yang kompleks dan sulit.
Hal ketiga yang perlu diingat sebelum membahas hasil survei ini adalah adanya keraguan
terhadap cara penarikan sampel, karena luas pertanaman kedelai rata-rata 113 usahatani sampel
jauh lebih besar daripada luas rata-rata di daerah survei. Ini dapat mempengaruhi kesimpulan
yang ditarik, bukan hanya menyangkut lahan yang ditanami melainkan juga mengenai
pemakaian masukan, karena usahatani yang besar lebih mudah memperoleh masukan dan
kredit. Kemungkinan lain ialah bahwa hanya petani-petani yang memiliki lahan relatif luas yang
dapat menyediakan luasan lahan yang berarti untuk kedelai, sedangkan petani-petani kecil Iebih
mengutamakan lahannya bagi tanaman-tanaman pangan lain yang lebih penting.
28
data itu perlu ditafsirkan secara hati-hati karena adanya keragaman ukuran dan klasifikasi
sampel. Gambar 4.1. memperlihatkan adanya keragaman besar antar faktor-faktor masukan .dan
keluaran produksi kedelai di tingkat petani dari daerah ke daerah. Rata-rata luas panen, hasil,
dan masukan pada berbagai kondisi pertanaman diperlihatkan dalam Tabel 4.2 dan Gambar 4.2.
Tabel 4.1 Rata-rata tuas panen, basil, dan masukan dari 113 petani sampel di berbagai daerah.
Ponorogo/
a
Jember
1,2
810
13,6
86
Wonogiri
Grobogan
Gunung
Kidul
0,34
520
10,2
226
Lampung
Tengah
0,72
810
33,4
150
Seluruhnya
0,55
1.000
16,7
209
0,64
1.870
36,3
188
70
208
2,6
52
280
6,3
57
217
0,75
25
93
1,1
55
165
2,4
21
20
15
113
Masukan
Benih (kg/ha)
Pupuk (kg/ha)
Pestisida (kg/ha)
65
44
1,5
0,67
990
21
163
Tabel 4.2 Rata-rata luas panen, hasil, dan masukan dari 113 petani sampel pada berbagai kondisi pertanaman.
Jenis
Sawah
Luas panen (ha)
Hasil: (kg/ha)
(kg/kg benih)
Tenaga kerja (HOK/ha)
Masukan
Benih (kg/ha)
Pupuk (kg/ha)
Pestisida (kg/ha)
Jumlah sampel (n)
0,82
1.210
21,8
157
lahan
Lahan
Kering
0,47
680
20,4
171
Pola
Tanaman
tunggal
0,81
960
17,7
147
tanam
Tumpangsari
0,55
1.010
23,3
178
Hujan
Musim
Kemarau
0,55
1.000
22,2
175
1,45
930
15,2
93
62
171
3,4
45
156
1,1
63
121
1,8
48
204
3,0
53
182
2,6
68
65
1,6
66
47
53
60
97
16
Berdasarkan data tersebut di atas, suatu model regresi ganda linier diterapkan pada
produksi kedelai menurut daerah dan/atau kondisi pertanaman untuk melihat hubungan antara
masukan dan keluaran. Masukan-masukan dalam fungsi produktivitas kedelai adalah: tenaga
kerja, benih, pupuk dan pestisida; serta peubah-peubah boneka (dummy variables) lahan (sawah
atau lahan kering), pola tanam (tunggal atau tumpangsari), dan musim (hujan atau kemarau).
Hasilnya diikhtisarkan dalam Tabel.4.3 sampai dengan 4.5.
Gambar 4.1 Rata-rata tuas panen, hash, dan masukan dari 113 petani sampel di berbagai daerah.
29
30
Gambar 4.2 Rata-rata tuas panen, hasil, dan masukan dari 113 petani sampel pada berbagai kondisi
pertanaman.
31
32
antar tanaman dalam tumpangsari. Namun demikian, respon terhadap kedua hal itu kecil dan
tidak nyata.
Tidak ada alasan agronomis yang jelas yang dapat menerangkan adanya perbedaanperbedaan dalam tingkat pemakaian pestisida. Tentu saja dapat diduga lebih banyak gangguan
pada pertanaman tunggal. Jadi, alasan itu mungkin sekali dapat dihubungkan dengan bias
sampel. Pemakaian pestisida jauh lebih banyak di Grobogan, di mana tumpangsari merupakan
kebiasaan, jika dibandingkan dengan tempat lain. Harus dicatat bahwa respon terhadap pestisida
sangat nyata dalam tumpangsari, tetapi tidak nyata dalam pertanaman tunggal.
Musim : hujan/kemarau. Pembandingan musim hujan dengan kemarau kurang berarti karena
semua sampel musim kemarau diambil dari Jawa Timur sehingga hanya mencerminkan
karakteristik daerah itu saja.
Peubah-peubah boneka (dummy variables) telah dipakai untuk menerangkan keragaman
lingkungan dalam analisis regresi seluruh sampel. Respon terhadap peubahpeubah ini hampir
nihil kecuali dalam hal pola-pola pertanaman (pertanaman tunggal memberi hanya sedikit
keuntungan hasil, 110 kg/ha). Pemakaian peubah-peubah lingkungan ini tidak memperbaiki
koefisien determinasi, tidak pula memodifikasi respon yang diperhitungkan terhadap masukanmasukan.
33
Tabel 4.3 Analisis regresi ganda terhadap 113 petani kedelai sampel berdasarkan luas lahan dan pemakaian
benih, 1984.
Intersep
Tenaga kerja
Masukan
Benih
Pupuk
Pestisida
Kasus 1
153,822
(594,672)
-0759*b
(0,437)
7,009***
(1,900)
1,224***
(0,388)
153,065***
(18,895)
6,311***
(2,104)
1,278***
(0,399)
155,019***
(20,498)
0,696
0.545
(1,356)
2,049
(95,102)
113,606
(134,228)
0,698
Bonekac
Lahan kering/sawah
Tanaman tunggal/
tumpangsari
Musim hujan/
kemarau
R2
Kasus 2
177,080
(600,642)
-0,718
(0,450)
Kasus 3a
10,667
(13,596)
1,429**
(0,620)
0,023
(0,374)
90,786***
(20,410)
0,936
(2,995)
0,304
Peubah tak bebas dalam kasus 3 adalah hasil benih (seed yield). Disini masukan dihitung untuk tiap kg benih, bukan
tiap satuan luas lahan.
b
***Koefisien nyata pada tingkat 0,01; ** pada tingkat 0,05; dan * pada tingkat 0,10. Simpangan baku dalam tanda
kurung.
cPeubah boneka adalah: jenis lahan (sawah 1/Iahan kering 0). pola pertanaman (tanaman tunggal I/ tumpangsari 0), danmusim (hujan l/kemarau 0).
34
Tabel 4.4 Analisis regresi ganda terhadap para petani kedelai sampel menurut daerah berdasarkan tuas lahan,
19M.
Intersep
Tenaga kerja
Ponorogo/
Jember
12,669
(257,723)a
1,279
(0,783)
Masukan
Benih
8,704***b
(2,595)
Pupuk
0,430
(1,018)
Pestisida
73,747*
(42,078)
R2
0,470
n
32
a
Simpangan baku dalam tanda kurung.
b
***Koefisien nyata pada tingkat 0.01:
** pada tingkat 0.05: dan
*pada tingkat 0.10.
Wonogiri
Grogoban
685,490
(581,300)
0,712
(1,203)
-94,207
(761,889)
-1,744
(3,042)
Gunung
Kidul
194,027
(327,639)
0,779
(0,848)
-2,804
(5,052)
1,843
(1,724)
-9,045
(40,308)
0,460
21
29,3645*
(12,861)
1,460
(1,380)
56,110
(61,473)
0.892
21
2,181
(2,524)
0,452
(0,655)
-93,556
(156,533)
0,246
20
Lampung
Tengah
824,020***
(250,153)
0,451
(1,281)
-10,590
(15,334)
-0,441
(0,589)
200,621***
(71,336)
0,552
15
Tabel 4.5 Analisis regresi ganda terhadap para petani kedelai sampel menurut faktor berdasarkan tuas lahan,
1984.
Macam lahan
Sawah
Tegalan
Intersep
123,090
640,212*
(662,180)a
(325,175)
-1,174**b
(0,582)
-0,510
(0,542)
7,064**
(2,972)
Pupuk
2,821**
(0,679)
Pestisida
102,785***
(27,388)
R2
0,763
n
66
a
Simpangan baku dalam tanda kurung.
b
***koefisien nyata pada tingkat 0,01;
**pada tingkat 0,05;
*pada tingkat 0,10.
-0,361
(1,896)
0,388
(0,317)
78,518*
(40,211)
0,152
47
Tenaga kerja
Masukan
Benih
Pola tanam
Tanaman Tumpangtunggal sari
387,445 273,216
(480,017)
(633,287)
0,229 -1,617
(0,559) (0,982)
5,191* 4,559
(2,849) (2,746)
1,050* 1,061*
(0,618) (0,577)
46,804 199,632***
(30,491) (26,140)
0,460 0,790
53
60
Musim
Hujan
Kemarau
151,066
281,244
(637,399)
(258,585)
-0,730
(0,494)
-0,307
(1,080)
6,739***
(2,288)
1,236***
(0,432)
153,966***
(20,881)
0,699
97
6,809**
(2,796)
0,620
(1,246)
107,099
(65,084)
0,411
16
Dari uraian diatas kiranya dapat dikemukakan hipotesis bahwa tingkat masukan kurang
berkaitan dengan kemampuan petani membeli masukan-masukan, sebaliknya berkaitan dengan
perhatian yang diberikan petani kepada pertanaman kedelainya.
35
P
LA
LB
36
Penilaian statistik
Sejumlah peubah boneka telah dimasukkan dalam persamaan-persamaan untuk
mengukur pengaruh perbedaan-perbedaan regional (1 untuk daerah survei yang ditetapkan);
jenis lahan (1 untuk sawah); pola pertanaman (1 untuk pertanaman tunggal), dan musim (1
untuk musim kemarau). Sebagaimana ditunjukkan dalam Kasus 3 (Tabel 4.6), peubah-peubah
daerah mendukung analisis terdahulu sehubungan dengan adanya perbedaan-perbedaan
produktivitas di tiap daerah. Hasil analisis menunjukkan, bahwa fungsi produksi di
Ponorogo/Jember menempati kedudukan lebih tinggi daripada Grobogan dan Lampung Tengah;
sementara Gunung Kidul dan Wonogiri kebalikannya (negatif). Dalam Kasus 3, berkat adanya
peubah-peubah boneka daerah koefisien determinasi, R2, telah diperbaiki dari 0,627 menjadi
0,756.
Peubah-peubah boneka kondisi pertanaman memberikan koefisien yang tidak nyata,
kecuali untuk pertanaman tunggal dan tumpangsari. Fungsi produksi pada pertanaman tunggal
cenderung berubah bila kedelai diusahakan bersama dengan tanaman lain. Pada tingkat
kabupaten, hasil regresi peubah-peubah bebas lebih bermacam-macam. Didalam bentuk
persamaan terpisah, semuanya kurang nyata bila dibandingkan dengan model yang menyeluruh
(Tabel 4.7). Ini menunjukkan bahwa keragaman kuantitas masukan antar kebupaten lebih besar.
Tabel 4.6 Perkiraan fungsi produksi Cobb-Douglas untuk 113 petani kedelai sampel, 1984.
intersep
Lahan
Tenaga kerja
Masukan
Benih
Pupuk
Pestisida
Kasus 1
4,6007***
(0,6276)b
0,4195***
(0,1317)
0,1778* (0,0982)
Kasus 2
4,8680***
(0,6058)
0,4707***
(0,1280)
0,1363
(0,0948)
Kasus 3
3,8646***
(0,5835)
0,2159***
(0,1156)
0,1664*
(0,0908)
Kasus 4
3,3840***"
(0,5394)
0,2177*
(0,1118)
0,2228**
(0,0898)
0.3220***
(0,1111)
-0,0180
(0,0119)
0,0616***
(0,0176)
0,2879***
(0,1094)
0,5058***
(0,1095)
-0,0059
(0,0111)
0,0416***
(0,0150)
0,4870***
(0,1087)
-0,0056
(0,0108)
0,0386 **
(0,0152)
Boneka
Gunung Kidul
0,0558***
(0,0173)
-0,6137***
Wonogiri
Grobogan
Lampung
-0,4542**
(0,1690)
-0,1431
(0,1532)
0,4988***
(0.1657)
0,3295
(0,2008)
Lahan kering/sawah
Pertanaman tunggal/
tumpangsari
Musim hujan/kemarau
R2
0,6275
a
***Kcefisien nyata pada tingkat0.01;
**pada tingkat 0.05; dan
* pada tingkat 0,10.
b
Simpangan baku dalam tanda kurung.
0,6195
0,7569
(0,1976)
-0,0968
(0,1546)
0,7553***
(0,1845)
0,5586**
(0,2268)
-0,0100
(0,1722)
0,3889***
(0,1268)
0,0158
(0,1297)
0,7811
Tabel 4.7 Perkiraan fungsi produksi Cobb-Douglas bagi para petani kedelai sampel menurut daerah, 1984.
Intersep
Lahan
Tenaga kerja
Masukan
Benih
Pupuk
Pestisida
Boneka
Lahan kering/Sawah
Tanaman tunggal/
tumpangsari
Ponorogo/Jember
Kasus 1 Kasus 2
3,5188***
3,7213***
(1,0316)a
(1,1461)
0,3355
0,3929
(0,2321)
(0,2429)
0,2558**b
0,2136*
(0,1016)
(0,1074)
0,5226**
(0,2098)
0,0153
(0,0125)
0,0245
(0,0194)
0,4976**
(0,2158)
0,0102
(0,0129)
0,0092
(0,0197)
Wonogiri
Kasus 3 Kasus 4
3,4586*
1,9284
(1,6622)
(1,4981)
0,2568
-0,0465
(0,2819)
(0,2602)
0,0262
0,2249
(0,2613)
(0,2303)
Grobogan
Kasus 5
2,1746
(1,7129)
-0,1218
(0,2559)
0,2627
(0,4229)
0,7273*
(0,3540)
0,0315
(0,0424)
0,0847*
(0,0415)
0,0943
(0,3566)
0,6014
(0,3508)
0,1130
(0,0992)
0,6107**
(0,2458)
0,3295**
(0,1477)
0,0716*
(0,0376)
0,0441
(0,6827)
-0,0343
(0,0261)
0,0551
(0,0334)
0,7289
.20
0,6669
16
0,8011
15
0,7720**
(0,3165)
0,0771
(0,0392)
0,0482
(0,0378)
-0,1863
(0,2240)
-0,3433
(0,4796)
0,3571
(0,2906)
0,6944**
(0,2433)
Gunung Kidul
Kasus 6
2,2965**
(0,8798)
-0,3287
(0,2457)
-0,1403
(0,2568)
Lampung Tengah
Kasus 7
5,9060**
(2,5970)
0,6235
(0,6036)
0,0870
(0,3499)
Musim hujan/
kemarau
-0,3161
(0,1528)
R2
0,8857
0,9084
0,6758
n
32
`K2
21
a
***kcefisien nyata pada tingkat 0,01; **pada tingkat 0,05; dan *pada tingkat 0,10.
bSimpangan baku dalam tanda kurun
0,8016
21
Di hampir semua kasus kabupaten, faktor benih secara tak terduga besar kontribusinya.
Ini disebabkan antara lain oleh multi-kolinearitas dan penyimpanganpenyimpangan dalam
pengukuran. Walaupun tidak dikemukakan di sini, perumusan fungsi produksi yang lain tidak
membuahkan hasil yang lebih memuaskan.
Beberapa penelitian telah memakai fungsi-fungsi produksi yang menggunakan data
usahatani lahan kering di Indonesia. Roche (1983) memakai fungsi Cobb-Douglas untuk sistemsistem produksi ubikayu di Jawa dan Madura. Dalam studi itu pun ia menghadapi masalah
statistik peubah kondisi-kondisi lahan dan tenaga kerja.
Kedelai memberikan persoalan yang berbeda dengan ubikayu karena masa tumbuhnya
lebih pendek. Sebagaimana telah dikemukakan, di kebanyakan daerah luas tanam kedelai lebih
besar daripada luas lahan garapan, yang menunjukkan bahwa kedelai dibudidayakan lebih dari
satu kali dalam satu tahun. Di Jember, luas tanam kedelai hampir dua kali luas lahannya. Karena
para petani menanam kedelai bersama tanaman-tanaman lain sebagai tanaman sela atau
campuran, maka luas tanam mungkin terlampau beragam untuk dilaporkan secara akurat.
Benih kedelai yang bermutu baik sulit diperoleh para petani. Para peneliti dan penyuluh
berulang kali menekankan pentingnya penyediaan benih untuk memperbaiki usahatani kedelai.
Kontribusi faktor benih secara implisit dapat mendukung pandangan ini.
Fungsi produksi Cobb-Douglas yang dipakai dalam studi ini tidak didasarkan pada nilai.
Dari segi ekonomi, data nilai lebih berarti karena para petani akan mengubah jumlah masukan
sesuai dengan harga-harga nisbi masukan dan keluaran.
39
Karenanya, kesimpulan sementara adalah bahwa dengan pengetahuan yang ada sekarang, tidak
banyak yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kedelai di daerah-daerah
survei. Masukan-masukan telah dipakai dalam jumlah yang tinggi dan tampaknya yang menjadi
persoalan pokok adalah bagaimana meningkatkan efisiensi masukan, bukan bagaimana
meningkatkan pemakaiannya.
Hasil penting lain adalah bahwa keragaman penggunaan masukan dan keragaman hasil yang
diperoleh biasanya jauh lebih tinggi dalam daerah pertanaman yang terpilih, atau dalam tipe-tipe
lingkungan yang luas, daripada antar mereka. Apakah keragaman sedemikian berhubungan
dengan faktor-faktor sosial ekonomi atau dengan sifat-sifat lingkungan yang khas, masih harus
dilihat. Implikasinya adalah bahwa keabsahan konsep-konsep seperti "rata-rata petani" atau
lingkup anjuran yang seragam, hendaknya dipelajari dengan hati-hati melalui penelitian dan
pengembangan lebih lanjut.
5
Situasi Pemasaran dan Harga
Enam belas pedagang dari Jawa Tengah dan Yogyakarta telah diwawancarai dan data
primer yang diperoleh dilengkapi dengan data dari berbagai sumber sekunder.
Struktur pemasaran
Saluran-saluran pemasaran kedelai dapat dilihat pada Gambar 5.1 Skema itu dibuat
berdasar wawancara dengan para petani, pedagang desa, pengumpul tingkat kecamatan, dan
pedagang tingkat kabupaten di Jawa Tengah dan Yogyakarta, serta keterangan dari beberapa
anggota KOPTI (Koperasi Produsen Tahu dan Tempe Indonesia) di Jawa Barat.
Para petani dapat memilih cara memasarkan kedelai mereka. Biasanya kedelai mereka
jual kepada pedagang yang dapat memberi harga yang baik. Kebanyakan perdagangan
dilakukan di pasar (50%) dan di desa (25-30%). Kira-kira 4-7% petani menjual ke toko di ibu
kota kabupaten jika kedelainya banyak; bila tidak, mereka menjual kepada tengkulak di
desanya.
Di Gunung Kidul, pembeli kedelai mungkin sekali mewakili industri pembuatan tempe.
Pembeli tak pernah membayar dengan cicilan; mereka selalu membayar tunai segera setelah
kedelai diterima. Ada perbedaan yang menarik antara jumlah kedelai yang terjual di Ponorogo,
Jember, dan Grobogan di satu pihak, dan Wonogiri, Gunung Kidul, dan Lampung di pihak lain.
Para petani di daerah-daerah terdahulu menjual 80% dari hasil panen, sedangkan di daerahdaerah terakhir hanya 60%.
Winarno et al. (1976) menemukan bahwa para petani kedelai menjual sebagian besar
dari panen mereka. Dari rata-rata produksi 861 kg per usahatani, 25 kg disimpan untuk benih
dan hanya 21 kg untuk konsumsi rumah tangga. Sisanya dijual langsung ke pasar.
Di daerah-daerah seperti Grobogan, penyediaan kedelai sedemikian besarnya sehingga beberapa
pengumpul tingkat kabupaten menjual kepada para pedagang di kota-kota besar lainnya di Jawa
Tengah seperti Surakarta, Semarang, Purwokerto, dan Yogyakarta. Para pedagang borongan
tingkat kabupaten dapat menjual komoditas itu kepada pedagang-pedagang di propinsi lain
seperti Jakarta dan Jawa Barat, dan Banyuwangi di Jawa Timur.
Survei yang dilakukan Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1976 (Winarno et al.
1976) menetapkan karakteristik pedagang sebagai berikut:
1. Pedagang tingkat desa menangani 3,33-41,5 t kedelai per tahun; para pedagang di
daerah-daerah penghasil kedelai utama, seperti Jawa Timur, menangani bagian
terbesar.
2. Di Jawa Barat, Bali, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat, petani menjual produk
mereka secara lokal; sedangkan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, beberapa transaksi
terjadi di tempat pembeli.
3. Pedagang tingkat kecamatan membeli kedelai langsung dari para petani, dan
menangani 8,3-81,7 t kedelai setiap tahun. Pembayaran umumnya tunai, beberapa
dengan panjar.
4. Para pedagang tingkat kabupaten dan propinsi setiap tahun membeli 14,4-118,7 t
kedelai. Dari jumlah kedelai yang ditangani, kedua golongan pedagang itu tidak bisa
dibedakan. Demikian juga halnya dengan para pedagang tingkat kecamatan.
Marjin pemasaran
Marjin yang berhubungan dengan saluran-saluran pemasaran pada Gambar 5.1 tidak
dikemukakan disini karena hasil-hasil studi ini tidak konsisten untuk tingkat petani dan berbagai
tingkat pedagang. Data sekunder disajikan pada Gambar 5.2 dan Tabel 5.1 ,untuk memberi
gambaran situasinya.
Tabel 5.1 Persentase harga kedelai pada berbagai tingkat perdagangan terhadap harga eceran di Jawa Timur,
Lampung, dan Nusa Tenggara Barat, 1975-1976.
Jawa
1975
Timur
Lampung
1976
1975
1976
Petani
60,6
80,9
69,7
69,2
Kecamatan
88,2
77,2
Kabupaten
84,0
93,2
77,0
86,5
Propinsi
92,8
94,6
87,9
88,9
Pengecer
100,0
100,0
100,0
100,0
Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Vademekum Pemasaran, 1976
Gambar 5.2 memberi gambaran umum tentang marjin di Ujung Pandang (Sulawesi
Selatan) dan Brebes (Jawa Tengah) dalam tahun 1977 pada berbagai tingkat transaksi: petani,
kecamatan, kabupaten, dan eceran. Harga di tingkat petani pada saat itu kirakira 75% dari harga
eceran di kedua daerah. Harga tingkat petani mendekati harga eceran karena rendahnya biaya
pemasaran dan marjin di tiap tingkat dalam rantai pemasaran.
Dalam Januari 1984, harga c.i.f. (cost, insurance, and freight: harga barang impor di
pelabuhan bongkar) kedelai impor Rp 280/kg, dan harga eceran Rp 450/kg. Harga c.i.f. hanya
62% harga eceran. Jadi, marjin kedelai impor dapat dianggap terlampau tinggi karena lebih
besar daripada jumlah marjin kedelai dalam negeri (Gambar 5.2).
Harga dasar kedelai dalam negeri Rp 280/kg pada Januari 1984 lebih rendah daripada harga di
tingkat petani, yang menunjukkan bahwa harga dasar tersebut tidak efektif pada saat itu. Ini
dibenarkan oleh kenyataan bahwa BULOG tidak perlu menopang harga melalui pembelian
kedelai antara Desember 1983 hingga Juli 1984 (Business News, 1 Agustus 1984). Harga dasar
pada bulan Desember 1984 naik menjadi Rp 300/kg.
Marjin pemasaran yang ditunjukkan Tabel 5.1 lebih besar daripada yang diperlihatkan
Gambar 5.2. Namun Jawa Timur, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat (Tabel 5.1) merupakan
penghasil kedelai yang lebih besar daripada Brebes (Jawa Tengah) dan Ujung Pandang
(Sulawesi Selatan), sehingga karenanya harga di tingkat petani lebih rendah.
44
Gambar 5.2 Perubahan harga kedelai pada berbagai tingkat perdagangan di Ujung Pandang (Sulawesi Selatan)
dan Brebes (Jawa Tengah), 1977.
Sumber : Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Vademekum Pemasaran 1978/1979.
Spesialisasi pedagang
Para pedagang kedelai sering pula berjual-beli komoditas lain. Winarno mengutip
persentase jenis pedagang kedelai:
Hanya kedelai
56,7%
Kedelai dan kacang-kacangan lain
23,4%
Kedelai dan komoditas pertanian lain
19,9%
45
Lebih banyak padagang mengkhususkan diri pada kedelai di jawa tengah (65,4%), di
susul oleh Jawa Barat (60,8%), Bali (56,5%), dan Jawa Timur (41,7%). Kebanyakan pedagang
kedelai menjalankan usaha swasta perorangan (87,7%), tetapi sebagaian lagi (10,3%) adalah
anggota koperasi.
Salah satu Kemungkinan alas an mengapa pedagan kedelai juga berjual-beli sejumlah
komoditas lain adalah soal musim, yang bergantung pada karakteristik pertamanan setempat. Di
Jawa Timur berdagang kedelai murapakan usaha sepanjang tahun; penanaman dan panen terjadi
di bagian besar waktu dalam setahun. Alan Tetapi panen besar terpusat pada masa yang lebih
pendek (Gambar 5.3)
Gambar 5.3 Bulan-bulan utama perdagangan dan panen kedelai. Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman
Pangan
Sumber Direktorat Jendral Tanaman Pangan
1) Keterangan tentang bulan-bulan panen utama di Bali tidak dapat diperoleh
46
47
Tabel 5.2. Semua standar tersebut kini telah diganti dengan Surat Keputusan Menteri bulan
Agustus 1984 yang menetapkan tiga mutu baku (Tabel 5.3).
Kedelai produksi dalam negeri di pasar bermutu rendah karena petani dan pedagang
tidak melakukan penanganan pasca panen yang cukup baik. Pedagang enggan melakukan
tindakan yang meningkatkan mutu kedelai karena harga pasar tidak menentu sedangkan modal
yang diperlukan relatif besar dibandingkan dengan keuntungan yang dapat diperolehnya.
Tabel 5.2 Spesifikasi standar mutu kedelai sebelum 1984.
1
70
Tingkat mutu
2
3
68
66
4
63
18
18
5
10
10
Tingkat mutu
2
3
16
8
5
10
5
5
48
harga yang ditentukan oleh hubungan dagang dan cara . pembayaran yang dipakai (tunai atau
cicilan); harga tertinggi adalah Rp 375/kg.
Cakupan monopoli kedelai impor lebih luas daripada bungkilnya, dimana bukan hanya
impor saja melainkan jugapenyalurannya. Sejak Oktober 1983 kegiatan para pedagang besar
kedelai sangat dibatasi. BULOG menugasi PT Berdikari untuk mengimpor kedelai dan INKUD
(Induk Koperasi Unit Desa) menyalurkannya ke koperasi-koperasi, sementara P.T. Watraco
(cabang dari PT Berdikari) menyalurkannya ke para pembeli yang lain.
Perubahan-perubahan aturan distribusi yang diadakan baru-baru ini belum mengakibatkan harga
kedelai stabil, sekalipun BULOG melakukan impor. Monopoli telah menyebabkan distorsi
harga kedelai impor karena PT Watraco mengaitkan distribusi kedelai dengan promosi
pemasaran tapioka (dari sebuah koperasi di Jawa Tengah). Untuk setiap pembelian 10 t kedelai
dengan harga Rp 430/kg pada bulan Februari 1984 (atau Rp 450/kg pada September 1984),
pedagang diharuskan membeli 1 t tepung tapioka dengan harga Rp 270/kg. Pada April 1984,
keharusan itu menjadi 0,5 t tapioka; tetapi pada bulan September 1984 jumlah tapioka yang
harus dibeli kembali menjadi 1 t.
Harga tapioka itu lebih tinggi daripada harga tepung tapioka di pasaran. Untuk menutupi
kerugian dalam pembelian tapioka itu, para pedagang berusaha menjual kedelai dengan harga
yang lebih tinggi. Dalam bulan Januari 1984, harga kedelai tingkat pedagang besar di Jakarta
adalah Rp 500/kg; pada bulan Februari turun menjadi Rp 455; tetapi naik lagi menjadi Rp 490 495 pada bulan April dan Rp 495 - Rp 500 pada bulan Mei (Business News 1984).
Kecenderungan harga riel
Harga aktual kedelai di pasar tingkat desa, kabupaten, dan tingkat pedagang besar di
Jakarta telah meningkat dengan cepat (Gambar 5.4). Tetapi harga di Jakarta naik lebih lambat
daripada harga di desa. Harga di desa naik Rp 28,90 setiap tahun (diperkirakan dengan regresi
linier); harga di Jakarta naik hanya Rp 24,97 setiap tahun. Dari segi elastisitas waktu, harga
kedelai di desa naik kira-kira 1,15% untuk setiap 1% dari selang waktu antara 1969 dan 1982.
Harga di Jakarta, di lain pihak, naik dengan hanya 1,07%.
Angka-angka itu tampak berbeda bila inflasi ikut diperhitungkan dengan menggunakan
harga-harga yang dideflasikan (Gambar 5.4). Harga deflasi kedelai di pasar desa dan kabupaten
ternyata cenderung tetap. Ini berarti bahwa selama 14 tahun belakangan ini para petani belum
memperoleh keuntungan dari peningkatan harga aktual kedelai. Para petani tampaknya
memperoleh tambahan pendapatan (jika ada) dari peningkatan produksi, bukan dari harga aktual
yang lebih tinggi.
Perlu dicatat bahwa sejak 1975 harga pedagang besar di Jakarta sebenarnya lebih rendah
daripada harga pasar desa. Ini mungkin sekali disebabkan karena kedelai impor sejak tahun
1974 lebih murah daripada kedelai dalam negeri. Harga deflasi di Jakarta menunjukkan gejala
lain yang menarik. Dalam paruh pertama tahun 1970-an, harga riel naik, sedangkan dalam paruh
kedua dasawarsa itu, harga riel turun. Penurunan harga itu mungkin disebabkan oleh impor yang
dimulai pada tahun 1974. Impor kelihatannya menekan harga dalam negeri sehingga tidak
menggairahkan petani untuk meningkatkan produksi.
49
Gambar 5.4 Harga rata-rata kedelai di beberapa tingkat pasar, 1969-1982. Sumber: Biro Pusat Statistik.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Vademekum Pemasaran.
Harga-harga deflasi: 1) pasar desa, didasarkan atas indeks harga 12 bahan pangan di pasar desa Jawa dan Madura (1969
= 100)
2) pasar kabupaten, didasarkan -atas indeks harga 9 komoditas pokok di pasar desa di Jawa dan
Madura (1971 = 100); dan
3) pasar pedagang besar di Jakarta, didasarkan atas indeks harga partai besar sektor pertanian (1975
= 100).
50
6
Pemanfaatan dan Pengolahan
Kedelai mempunyai banyak kegunaan di Indonesia: konsumsi manusia, pakan ternak,
dan benih. Neraca Bahan Pangan dari Biro Pusat Statistik menunjukkan bahwa 90% kedelai di
Indonesia digunakan sebagai pangan (Gambar 6.1); akan tetapi laporan itu tidak mencakup
pemakaian untuk pakan ternak. Kedelai untuk konsumsi manusia tersedia dalam berbagai
bentuk olahan: tempe, tahu, tauco, dan kecap; dan beberapa bentuk lain: tauge, sere di Bali,
yuba, dan susu kedelai. Hanya sedikit kedelai dipakai untuk pakan ternak, khususnya ayam,
tetapi jumlahnya semakin meningkat. Biasanya hanya bungkil kedelai impor yang dipakai untuk
pakan karena harganya lebih murah.
Makanan Indonesia dari kedelai
Kedelai telah menjadi sumber penting protein, lemak, dan penyedap bagi masyarakat Asia
selama ribuan tahun. Berbagai macam pangan dari kedelai dapat digolongkan dalam dua
kelompok: yang diragikan dan yang tidak diragikan. Peragian makanan melibatkan
mikrobiologi yang cukup canggih, yang merupakan prestasi mengagumkan pada permulaan
sejarah Cina.
Produk utama kedelai ragian di Indonesia adalah tempe, oncom, tauco, dan kecap.
Produk-produk yang bukan ragian meliputi tahu, tauge, susu kedelai, kedelai goreng (sebagai
kudapan), kedelai rebus (juga sebagai kudapan), dan kedelai yang dimasak sebagai sayur atau
bahan sop.
Produk-produk ragian
Tempe dibuat dari kedelai yang diragikan dengan bakteri Rhizopus. Kedelai direndam
selama 12 jam, kemudian dikupas dan direbus selama 2 jam. Setelah itu, kedelai rebusan itu
disebar agar atus (kering) dan dingin. Kedelai lalu diinokulasi dengan Rhizopus dan dibungkus
dengan plastik atau daun pisang serta dibiarkan meragi pada suhu ruang selama 2 hari. Selama
proses peragian itu, biji-biji kedelai tertutup dan saling terikat oleh miselium putih.
Berbagai macam perbaikan dalam cara membuat tempe telah dikembangkan baik melalui
penelitian di laboratorium maupun melalui pengalaman para pembuat tempe. Kebanyakan
tempe dibuat dari kedelai kuning atau hijau. Beberapa sumber mengatakan "bahwa tempe telah
dibuat di Indonesia sejak tahun 1875.
Oncom juga merupakan hasil peragian yang dibuat dari bungkil kedelai atau kacang
tanah. Di Jawa Barat oncom populer sebagai pengganti daging atau sebagai kudapan. Awal
pembuatannya adalah penambahan pati pada bungkil kedelai. Pati akan meningkatkan kegiatan
jamur Neurospora. Bungkil itu dikukus, didinginkan, dan kemudian diinokulasi dengan laru
oncom (Neurospora sitophila) dan dibiarkan selama satu hari.
52
Gambar 6.1 Perubahan konsumsi dedelai (di luar padan ternad), 1970-1980.
53
54
Tabel 6.1 Banyaknya dedelai yang diolab oleb satuan industri menurut tiga studi dasus
(t/tabun).
Tempe
Tahu
Kecap
Tauco
BPS, 1974
Industri kecil
12,3
15,2
3,7
6,3
(5_9)a
(5-19)
(5-19)
(5-19)
Industri rumah tangga
1,8
3,8
0,8
4,7
(1-4)
(1-4)
(1-4)
(1-4)
Winarno et al. 1976
5,9
10,8
13,3
49,2
(2-3)
(4-5)
(10-11)
(2-3)
Tim studi Sistem
58,6
44,5
Komoditas Kedelai, 1984b
(4-5)
(3-4)
a
Angka dalam kurung adalah jumlah rata-rata buruh tiap pabrik bWawancara di Garut, Jawa
Barat.
Tabel 6.2 Biaya dan pendapatan produsen tabu dan tempe (rata-rata dari 7 dasus) di Jawa Barat,
Tahu
Modal
Komponen biaya
Kedelai
Pengangkutan
Pengolahan
Buruh
Pemasaran
Biaya total
Pendapatan kotor
Pendapatan bersih
Setiap satuan
% (Rp '000/bulan)
1.225
53,7
Tempe
Setiap satuan
% dari biaya
(Rp '000/bulan)
total
1.107
4,51
1.839
40
313
73
15
2.280
3.138
857
80,7
1,7
13,7
3,2
0,7
100,0
137,8
37,8
2.180
35
87
66
88
2.456
3.461
1.005
% dari biaya
total
88,8
1,4
3,5
2,7
3,6
100,0
140,9
40,9
55
informal, dimana majikan menentukan berapa upah dan atas dasar persyaratan apa. Berhubung
suiitnya memperoleh pekerjaan, buruh terpaksa menerima pekerjaan apa saja dan majikan
mudah memperoleh buruh pengganti. Buruh tanpa keterampilan lain sulit memperoleh
pekerjaan di tempat lain.
Data serupa tentang tujuh pembuat tempe juga diperlihatkan oleh Tabel 6.3. Jam kerja
harian dalam industri tempe lebih sedikit daripada dalam industri tahu yaitu, hanya lima
setengah jam; tetapi upah juga lebih rendah, Rp 14.000/bulan/pekerja. Biaya pengolahan, di luar
tenaga kerja, juga jauh lebih rendah (Tabel 6.2), karena pembuatan tempe lebih sederhana.
Biaya pemasaran tempe lebih tinggi, menunjukkan bahwa transaksi jual-beli diadakan di luar
pabrik. Ciri-ciri lainnya hampir sama halnya dengan keadaan pembuat tahu.
Tabel 6.3 Kegiatan ekonomi industri tahu dan tempe (rata-rata dari 7 dasus) di
Jawa Barat, 1984.
Modal investasi (Rp '000)
Modal kerja (Rp '000)
Jumlah buruh
Pria
Wanita
Upah/buruh/bulan (Rp '000)
Jam bekerja/buruh/hari (jam)
Investasi setiap tenaga kerja (Rp '000)
Modal kerja/tenaga kerja (Rp '000)
Jumlah kedelai/tahun (ton)
Tahu
1.225
1.839
7,6
(4,3)
(3,3)
20
10
343
515
44,5
Tempe
1.107
2.456
4,6
(2,6)
(2,0)
14
5,5
242
537
58,6
56
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jawa Timur
Jakarta
Yogyakarta
Sumatra
Kalimantan
Jumlah
Jumlah
koperasi
primer
Jumlah
satuan
kerja
32
24
6
5
5
12
1
85
83
130
8
24
39
3
1
288
Jumlah
anggota
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jawa Timur
Jakarta
Yogyakarta
Sumatra
Kalimantan
Jumlah
5.769
5.700
42
2.623
2.268
715
30
17.147
Jumlah
kelompok
produksi
177
288
119
77
7
2
670
Jumlah
buruh
7.293
11.055
1.392
4.256
7.022
944
51
32.013
Anggota
Tempe
3.201
3.243
33
2.064
1.513
484
1
10.539
Tahu
2.558
2.424
9
558
753
156
29
6.487
Lain-lain
10
33
1
2
75
121
10.534
10.591
2.104
6.488
3.144
1.231
30
34.122
Fungsi utama KOPTI adalah memperoleh dan menyalurkan kedelai bagi para
anggotanya. Seluruh kebutuhan kedelai di kabupaten Bandung sendiri setiap hari berjumlah
kira-kira 30 t. Akan tetapi KOPTI dewasa ini belum dapat menyediakan seluruh kebutuhan itu.
Koperasi itu baru dapat menyediakan 40% yang diperlukan para pengolah besar, yang
menangani lebih dari 100 kg kedelai setiap hari. Selebihnya harus dibeli para pengolah itu di
pasaran bebas dengan harga lebih tinggi. Untuk para pengolah yang lebih kecil, KOPTI
biasanya menyediakan 100% dari jumlah yang dibutuhkan.
KOPTI membeli kedelai dari BULOG dengan harga Rp 365/kg dan menjual
dengan harga Rp 400/kg kepada para anggotanya. KOPTI cabang Bandung menerima
kira-kira Rp 9,5 juta setiap bulan yang diperoleh dari anggotanya melalui biaya
tambahan Rp 20/kg kedelai. Biaya tambahan itu dipakai sebagai modal kerja untuk
membeli kedelai secara langsung dari koperasi-koperasi petani didaerah sekitarnya.
Diduga, menjelang Mei 1984 sekitar 16.000 ha kedelai akan dipanen di kabupaten itu.
Di Sumedang, di sebelah timur Bandung, KOPTI mengelola kebun benih seluas 45
ha bekerjasama dengan petani-petani setempat. Benih yang dihasilkan digunakan
57
(%)
Industri tahu/tempe
Jawa
Jawa Tengah
Jawa Barat
Jawa Timur
Yogyakarta
Jakarta
Sub-jumlah
1.990
1.410
1.328
98
98
4.924
33,7
23,9
22,5
1,7
1,7
83,3
Luar Jawa
Lampung
Sumatra Utara
Lain-Lain
Sub-jumlah
746
84
156
986
12,6
1,4
2,7
16,7
5.910
Jumlah
Industri kecap
Jawa
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Yogyakarta
Jakarta
Sub-jumlah
Luar Jawa
Riau
Kalimantan Barat
Lain-Lain
Sub-jumlah
Jumlah
Sumber: Biro Pusat Statistik
Perusahaan
besar
(%)
6
3
17
1
7
34
17,7
8,8
50,0
2,9
20,6
100
100
34
100
93
64
52
5
21
235
31,1
21,4
17,4
1,7
7,0
78,6
5,3
12
14
4
32
31,6
36,8
10,3
84,2
21
13
30
64
7,0
4,3
10,1
21,4
6
6
15,8
15,8
299
100
38
100
58
Tumbuhnya industri tempe, tahu dan kecap di perlihatkan dalam table 6.6 dan 6.7.
Berhubungan sample di ambil dari pengolah besar dan menengah yang relative terdiri lebih
banyak produsen tahu maka data pada Tabel 6.6 dan 6.7 cenderung bias ke produksi tahu.
Nisbah anatara keluaran dan masukan lebuh tinggi pada industri kecap karena sifat
pengolahannya. Namun semua data itu menggambarkan laju pertumbuhan yang relatf tinggi
dalam industri pengolahan kedelai dan- demikian pula- tanggung jawab KOPTI.
1975
17
1980
38
1981
35
351
2
353
2.127
18
2.145
2.832
43
2.875
Keluaran
Tahu
375
2.634
Tempe
55
109
a
5
38
Lain-Lain
Sub-jumlah
435
2.781
Nisbah
keluaran/masukan
1,23
1,30
Sumber: Biro Pusat Statistik 1983 (disederhanakan).
a
Termasuk tauco, oncom, dan ampas.
3.852
57
3.909
1,40
1975
32
1980
38
1981
38
88
251
339
553
1.723
2.276
648
2.149
2.797
608
17
625
3.686
325
4.011
4.519
375
4.894
1,84
1,76
1,76
59
6.8. Bungkil kedelai merupakan unsur penting dalam pakan ternak; dan karena produksi kedelai
dalam negeri terbatas jumlahnya. Indonesia terpaksa mengimpor dalam jumlah besar (Tabel
6.9). Keadaan ini sama halnya dengan komoditas palawija lain karena produksi kebanyakan
tanaman itu meningkat lebih lambat daripada permintaannya.
1978
Jagung
122
Bungkil kelapa
176
Kulit gabah
863
Kulit Jagung
152
Bungkil kedelai
56
Tepung ikan
22
Gaplek
328
Sagu
63
Lain-Lain
174
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan
1982
315
243
1.201
199
167
65
425
91
247
Pertumbuhan/
tahun (%)
26,8
8,5
8,6
7,0
31,2
30,9
6,7
9,8
9,2
lmpor
kedelai
('000 t)
2
89
130
160
193
351
354
391
400
301
359
Impor
bungkil
('000 t)
3
1
8
9
20
28
26
169
71
103
206
175
313
Bungkil
setara kedelai
('000 t)
4
1
10
12
27
37
35
223
94
136
271
230
411
Penggunaan
dalam negeri
('000 t)
1+ 2+ 4
497
515
518
541
589
591
532
624
774
878
951
1278
970
1064
1441
1350
1967
60
Para petani tradisional biasanya hanya memelihara jenis unggas lokal yang tidak
memerlukan pakan khusus. Akan tetapi, jumlah semua jenis ternak yang dipelihara secara
tradisional itu cenderung berkurang, yang menggaris-bawahi perlunya perhatian khusus atas
produksi ternak dan pakan dalam PELITA yang sekarang maupun yang akan datang.
Impor kedelai dan bungkil kedelai dalam jumlah besar belakangan ini telah mendorong
pemerintah menilai program produksi pakan ternak secara menyeluruh. Dua unit pengolahan
sedang direncanakan untuk menghasilkan minyak dan bungkil kedelai, yang akan mempunyai
kapasitas total sebanyak 2.200 t kedelai per hari.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika para penanam modal luar negeri, seperti
Cargill dan Charun Pokphand, bersedia menanamkan modal mereka dalam industri pakan ternak
di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar di dalam negeri muncul pula dalam industri pakan
dan peternakan, misalnya Cipendawa, Shinta Farm, dan Indonesia Pelletizing Company.
Menarik pula untuk dicatat bahwa berlawanan dengan industri kecil kecap, tahu, atau tempe,
industri pakan tampaknya merupakan lingkup cakupan perusahaan-perusahaan besar yang tidak
dapat disaingi oleh perusahaan-perusahaan kecil.
Produk peternakan
Daging
Sapi/kerbau
Domba/kambing
Babi
Unggas
Telur
Susu
Dalam negeri
Impor
1984
1988
Pertumbuhan/
tahun (%)
706
345
68
67
224
895
446
87
81
280
6,1
6,6
6,1
5,1
5,7
270
350
6,7
710
557
Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan
869
390
5,2
-8,6
7
Permintaan dan Konsumsi
Bab ini memberi ikhtisar keadaan permintaan akan kedelai dan pola-pola konsumsinya
di Indonesia yang didasarkan pada data sekunder dan berbagai hasil penelitian.
Kedelai di Indonesia bernilai tinggi karena tiga alasan: (1) produksinya di dalam negeri dapat
ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan nasional; (2) merupakan bahan pangan berkadar
protein tinggi yang dapat memperbaiki gizi masyarakat; dan (3) merupakan tanaman komersial
bagi petani lahan kering, termasuk petani transmigran.
Butir ketiga terutama berhubungan dengan ketersediaan informasi teknologi bagi
perbaikan maupun pemeliharaan kesuburan tanah dan peningkatan pendapatan petani. Bab ini
mengacu pada dua butir pertama dalam membahas situasi permintaan/konsumsi dan meninjau
beberapa masalah yang dijumpai sejak tahun 1970.
Impor kedelai
Impor kedelai cenderung meningkat sejak 1975 walaupun produksi dalam negeri pada
umumnya meningkat (Gambar 7.1). Pada tahun 1981, impor merupakan lebih dari 30% kedelai
yang dikonsumsi. Dilaporkan bahwa sekitar 360.000 t kedelai diimpor selama tahun 1981
(BULOG 1983), sedangkan permintaan yang lebih besar akan impor juga telah diramalkan
(Darmawan dan Rusastra 1984). Peningkatan impor kedelai yang mencolok belakangan ini
menunjukkan bahwa produksi dalam negeri ketingalan di bawah permintaan. Amerika Serikat
telah menjadi negara pengekspor kedelai yang penting bagi Indonesia. Dari 100.900 t kedelai
yang diimpor pada tahun 1983 (rencana laporan PAE), 94% berasal dari Amerika Serikat dan
5% dari Kanada.
Ditahun 1984 impor bungkil dan biji kedelai mencapai jumlah setara 670.000 t biji,
sementara di tahun 1985 impor total menurun menjadi setara 530.000 t biji. Impor cenderung
berfluktuasi antara 1980-1985. Dua alasan pokok dari peningkatan yang cepat ini adalah makin
meningkatnya konsumsi kedelai sebagai pangan serta makin bertambahnya permintaan bagi
pakan ternak.
Konsumsi pangan
Kebijaksanaan pangan Indonesia telah difokuskan terutama pada beras, yang lebih
disukai konsumen dan memberi lebih dari 50% kalori yang dibutuhkan penduduk (BPS 1980).
Palawija, termasuk kedelai, menyediakan lebih dari 30% kalori nasional. Akan tetapi dalam dua
PELITA pertama (1969-1978), telah terjadi perubahan nyata dalam pola konsumsi pangan yang
menyertai adanya perbaikan ekonomi nasional secara menyeluruh. Konsumsi beras setiap tahun
meningkat sekitar 25%, dari 96 kg menjadi 120 kg setiap orang, sedangkan konsumsi per kapita
tanaman palawija bukan kacang-kacangan, seperti jagung dan ubikayu, telah menurun.
Di lain pihak, konsumsi kedelai meningkat pesat sejak akhir dasawarsa 1970-an, dan
kedelai memainkan peran penting sekali dalam penyediaan protein dan
Gambar 7.1 Perubahan produksi dalam negeri dan impor kedelai, 1969-1982.
Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
keseimbangan gizi. Sehubungan dengan meningkatnya permintaan dan impor, perhatian lebih
besar kini dicurahkan pada produksi palawija, khususnya kedelai.
Tabor et al. (1988) memproyeksikan konsumsi protein kedelai akan meningkat dari 0,66
kg/bulan di tahun 1986 menjadi 0,71 kg/bulan sebelum tahun 2000. Konsumsi kedelai
diramalkan dalam studi ini meningkat dari 7,93 kg/tahun dalam tahun 1986 menjadi 8,53
kg/tahun sebelum tahun 2000.
Konsumsi pakan ternak
Bungkil kedelai diimpor untuk pakan ternak, karena kedelai merupakan sumber protein
terbaik bagi pakan ternak. BULOG memonopoli impor kedelai. Laporan BULOG tahun 1983
mengemukakan bahwa usaha pembelian bahan palawija dalam negeri secara keseluruhan sangat
menurun. Dengan permintaan yang terus meningkat, khususnya jagung dan kedelai untuk
industri pakan ternak, bahan pokok ini harus diimpor dalam jumlah yang jauh lebih tinggi pada
tahun 1982.
Data banyaknya impor bungkil kedelai menunjukkan keragaman, tergantung pada
sumber datanya. Menurut FAO jumlah itu meningkat cepat dari sekitar 30.000 t pada akhir
tahun 1970-an menjadi 114.000 t pada 1982. Dalam tahun 1981 diimpor 170.000 t bungkil
kedelai. Dengan asumsi bahwa nisbah antara bungkil dan biji kedelai adalah 0,76, jumlah itu
setara dengan 223.000 t biji kedelai.
Direktorat Jenderal Produksi Peternakan baru-baru ini memperkirakan bahwa laju
peningkatan permintaan akan bungkil kedelai akan menjadi 12,8% setiap tahun agar dapat
memenuhi sasaran produksi peternakan yang ditargetkan (Hidayat 1984). Akan tetapi, jumlah
protein yang berasal dari kedelai dalam pakan ternak amat sedikit jika dibandingkan dengan
permintaannya. Ini disebabkan karena jatah bungkil kedelai masih belum mencukupi.
Daerah konsumsi
Di Indonesia, Jawa merupakan penghasil utama kacang-kacangan, termasuk kedelai.
Data dasawarsa yang lalu menunjukkan, lebih dari 80% kedelai di Indonesia dihasilkan di Jawa.
Indeks produksi naik dari 100 pada tahun 1969 menjadi 170 pada tahun 1981. Selama kurun
waktu yang sama, indeks untuk luar Jawa naik dari 100 menjadi 260. Akan tetapi, walaupun
indeks perkembangan itu lebih besar, proporsi jumlah produksi di luar Jawa tetap dibawah 20%.
Kebanyakan produk kacang-kacangan Indonesia dikonsumsi di daerah-daerah penghasil.
Survei yang diadakan pada tahun 1970 (Hakim 1976) menunjukkan bahwa. tiap orang
mengkonsumsi kira-kira 5 kg kedelai setiap tahun di Jawa, tetapi kurang dari 1 kg di tempattempat lain (Gambar 7.2). Pengecualian atas hal ini adalah Nusa Tenggara Barat dimana
konsumsi kedelai per orang per tahun sekitar 14 kg. Sebagai perbandingan, di Jepang di mana
kedelai juga merupakan makanan utama sehari-hari, tingkat konsumsi itu adalah sekitar 15 kg
(Yuize 1971). Tempe merupakan produk kedelai yang paling penting dalam makanan
masyarakat Indonesia (Tabel 7.1), walaupun banyaknya tempe dan produk kedelai lain yang
dikonsumsi sangat beragam antar propinsi. Survei lebih lanjut diperlukan untuk meneliti
perubahan-perubahan tingkat dan daerah konsumsi kedelai.
Tabel 7.1 Konsunisi berbagai produce ceedelai di tiga daerah terpilih, 1974.
Lampung
18,33
Tempe
0,25
Tempe gembus
2,34
Oncom
3,30
Tahu
0,03
Ampas tahu
6,51
Tauge
0,29
Kedelai
Sumber: Pusat Penelitian Gizi 1982
Gram/orang/hari
Jawa Timur
4,63
Yogyakarta
4,24
20,08
0,53
1,83
1,83
3,05
1,07
1,57
0.35
66
dengan 7 bentuk fungsi Engel untuk 15 komoditas menurut beberapa kategori daerah.
Khususnya bentuk log ganda menunjukkan ketelitian yang paling tinggi.
Tabel 7.2 memperlihatkan: (1) elastisitas pengeluaran untuk sayuran dan buah serta
kacang lebih tinggi daripada untuk serealia dan ubikayu; dan (2) elastisitas pengeluaran untuk
daging bernilai paling tinggi, disusul oleh telur dan susu. Dilihat dari segi kebiasaan makan,
kacang-kacangan, termasuk kedelai, pada umumnya serupa dengan sayuran dan kacang. Di sini,
arti "kacang" meliputi kacang hijau, kedelai, kacang tanah, dan kacang tunggak.
Tabel 7.2 Elastisitas pengeluaran untuk berbagai barang di Indonesia 1976. (Arief: niodel
a
log ganda ).
Jawa
0,50
0,75
1,18
1,22
2,41
1,75
0,97
0,89
Luar Jawa
0,77
0,87
1,17
1,07
2,06
1,66
0,98
1,04
Jumlah pangan
0,82
0,94
0,88
Perumahan
Pakaian
Lain-lain (bukan pangan)
Jumlah bukan pangan
1,10
1,44
1,31
1,37
1,04
1,30
1,10
1,24
1,04
1,41
1,21
1,30
Serealia
Sayuran
b
Buah dan kacang
Ikan dan makanan laut
Daging
Telur dan susu
Alkohol dan tembakau
Makanan lain
Indonesia
0,62
0,81
1,22
1,26
2,40
1,71
1,00
0,93
67
pengeluaran hampir sama dengan dua kasus yang telah diuraikan diatas Menurut
perhitungannya, elastisitas harga sayur dan buah -0,97, sedang beras -0,63. Jadi jika kacangkacangan termasuk dalam kelompok sayur, konsumen lebih responsif terhadap harga kedelai
daripada terhadap harga beras; mereka membeli jauh lebih sedikit kedelai jika harganya naik,
tetapi terus membeli beras walau harganya naik.
Tabel 7.3 Elastisitas pengeluaran untuce berbagai barang di Indonesia 1976. (Hedley:
niodel linier).
Jawa
Kota
Serealia
Daging, ikan, susu, telur
Sayur, kacang, buah
Makanan lain
Jumlah pangan
Perumahan
Pakaian
Lain-lain (bukan pangan)
Jumlah bukan pangan
0,23
1,33
0,85
0,94
Desa
Luar
Kota
Jawa
Desa
0,82
1,24
1,04
1,31
0,56
1,65
1,02
0,88
0,88
0,97
1.28
1,43
0,38
1,18
1,11
0,99
0,85
1,28
1,10
1,36
0,69
1,23
1,09
0,95
0,93
1,04
1,17
1,14
1,28
1,39
1,33
1,26
Laporan dari Tim gabungan Indonesia- Amerika tentang Palawija (BULOG 1979)
memberikan perkiraan kasar tentang elastistas pengeluaran dari permintaan beberapa tanaman
pangan utama di Indonesia (Tabel 7.4) Perkiraan itu dihitung oleh USDA (Departemen
Pertanian Amerika Serikat) berdasarkan data cross sectional survey SUSENAS 1976. Angka
angka konsumsi kedelai dan kacang tanah hanya tersedia dalam bentuk nilai saja, dan perkiraan
elastisitas pengeluaran untuk kedua komoditas itu mungkin cenderung berbias keatas karena
konsumen biasanya beralih ke produk-produk yang lebih bermutu bila pendapatan mereka naik.
0,46
1,50
-0,42
Ubi-ubian
Ubi kayu
Gaplek
Ubi Jalar
0,18
-0,55
0,49
Kacang-kacangan
Kedelai
Kacang tanah
Sumber ;BULOG 1979.
0.92
1.50
68
Baik kedelai maupun kacang tanah, yang banyak dikonsumsi karena gizinya, mempunyai
elastisitas pendapatan atau pengeluaran yang tinggi dan positif. Sebaliknya, elastisitas jagung
dan ubikayu negatif. Ini berarti bahwa permintaan akan serealia (seperti jagung) dan ubikayu
akan tertekan dengan lebih meningkatnya pendapatan karena para konsumen beralih ke barangbarang yang lebih disukai, sementara permintaan terhadapnya akan meningkat bersamaan
dengan bertambahnya jumlah penduduk. Tetapi jika produsen kacang tanah dan kedelai
meningkatkan produksi, maka pasaran untuk kacang-kacangan ini, baik dalam bentuk olahan
atau untuk konsumsi manusia secara tak langsung sebagai pakan ternak, harus diperluas pula.
Tabor et al. (1988) menemukan bahwa elastisitas pengeluaran kedelai 0,56, padi 0,30,
dan kacang tanah 0,69. Secara umum, angka-angka itu serupa dengan hasil analisis SUSENAS:
kedelai 0,56, padi 0,34, dan kacang tanah 0,87.
Kehati-hatian diperlukan dalam membandingkan data dari studi-studi yang ber- beda
karena peubahnya mungkin ditetapkan secara tak sama; periode waktu dan sumber-sumbernya
pun mungkin berlainan.
Keragaman yang besar pada elastisitas membutuhkan pertimbangan yang bijak- sana
dalam penafsirannya.
8
Kebijaksanaan Pemerintah, Peraturan dan
Program Penunjang
Di negara-negara sedang berkembang, peran pemerintah dalam pembangunan pertanian
amatlah penting, terutama bila menyangkut petani kecil. Penjajah di Indonesia di masa lalu
tidak banyak berusaha mengembangkan pertanian kecil kecuali irigasi untuk padi. Untuk
menjaga agar upah tetap rendah, diperlukan persediaan beras sebagai bahan pangan pokok
secara berlebihan agar harganya pun tetap rendah.
Ternyata tidak mudah bagi pemerintah Indonesia untuk memulai program pembangunan
pertanian secara besar-besaran bagi usahatani kecil, karena tingkat pendidikan petani kurang
memadai, penyebaran lahan milik dalam persil-persil kecil, prasarana dan fasilitas pemasaran
yang kurang memadai, pelayanan penunjang yang kurang bermutu atau belum ada (seperti
kredit dan penyuluhan), serta penyebaran lahan dan daerah pertanaman yang kurang efisien.
Kesemuanya menghambat terwujudnya manfaat skala ekonomi.
Untuk padi, bangunan irigasi merupakan prasarana dasar; irigasi sering sejalan dengan
pembangunan suatu sistem yang mengakibatkan lahan-lahan luas tak-terputus (continous) yang
ditanami padi. Sekalipun terjadi pemecahan lahan kedalam persil-persil kecil, penerapan
manfaat skala ekonomi bagi pelayanan untuk padi masih relatif mudah. Karenanya dapat
dimengerti mengapa program intensifikasi padi secara massai di Indonesia telah berhasil
menjelang akhir tahun 1970-an. Namun hendaknya juga tidak dilupakan adanya kesulitankesulitan pada awal 1960-an sebelum ditemukan adanya varitas padi unggul baru.
70
nerapan azas manfaat skala ekonomi. INSUS lebih banyak memakai pupuk dan upaya
penyuluhan yang lebih intensif, sehingga memberi hasil lebih banyak.
71
Luas Panen
('000 ha)
Rata-Rata (1980-82)a
Target
1983
1984
1985
1986
1987
1988
Rata-rata peningkatan per
tahun
Produksi
('000 t)
Hasil
(kg/ha)
717
626
873
808
913
979
1.026
1.062
1.100
734
904
1.018
1.180
1.253
1.375
908
990
1.040
1.150
1.180
1.250
10%
4,1%
5,2%
Gambar 8.2 Perubaban realisasi dan target luas tanam kedelai dalam program intensifikasi di Indonesia,
1974/1975 - 1984/1985.
Sumber: Satuan Pengendali BIMAS.
72
73
74
Penyuluhan pertanian
Penyuluhan pertanian untuk tanaman palawija dipadukan dengan sistem penyuluhan
untuk padi, dan memakai kerangka kelembagaan yang sama:
1. Para penyuluh tidak secara langsung dibawahi oleh Diperta (Dinas Pertanian)
melainkan oleh Badan Diklatluh (Pendidikan, Latihan dan Penyuluhan Pertanian).
Akan tetapi, secara operasional mereka harus mengikuti petunjuk-petunjuk Diperta.
2. Badan Diklatluh tersebut membentuk lembaga-lembaga penyuluhan berikut ini:
a.
Balai Teknologi Pertanian (BTP); masing-masing melayani beberapa kabupaten.
Peran Balai tersebut adalah merencanakan dan memantau kegiatan penyuluhan
melalui program latihan, diskusi dan percobaan lapang.
b.
Balai Informasi Pertanian (BIP); satu di tiap propinsi; tugasnya mengumpulkan
dan menyebarkan bahan-bahan penyuluhan.
c.
Balai Penyuluhan Pertanian (BPP), memberi bimbingan langsung kepada para
PPL (Penyuluh Pertanian Lapang) di wilayahnya. BPP merencanakan dan
mengendalikan kegiatan para PPL yang meliputi kunjungan, demonstrasi dan
sebagainya.
3. Lembaga-lembaga penyuluhan ini diadakan untuk mendukung program pembangunan
pertanian di wilayah masing-masing, terutama program-program BIMAS, INMAS dan
INSUS. Mereka dikoordinasi dan dibimbing oleh DinasDinas Pertanian setempat.
4. Setiap BTP dikelola oleh seorang PPS (Penyuluh Pertanian Spesialis) yang lazimnya
seorang Insinyur. Setiap BPP dikelola seorang penyuluh senior, biasanya Sarjana Muda
atau Lulusan Sekolah Pertanian Menengah Atas yang berpengalaman. Tingkat
penyuluh yang paling bawah adalah PPL.
5. Setiap PPL bertugas di satu Wilayah Kelompok (Wilkel) yang luas daerahnya di Jawa
kira-kira 600 ha. Setiap PPL dibantu beberapa kontak tani yang masingmasing
mewakili satu kelompok tani. Satu kelompok tani meliputi daerah seluas kira-kira 50
ha.
Kerangka kerja tersebut terbukti efektif untuk intensifikasi padi, karena padi ditanam
semua petani pada saat yang hampir sama. Akan tetapi timbul masalah bila program itu
diterapkan untuk produksi palawija. Masalah-masalah itu antara lain:
1. Tidak semua petani dapat menanam palawija: kurangnya pemusatan produksi palawija
menimbulkan kesulitan dalam mencapai berbagai daerah;
2. Menanam palawija setelah padi, memerlukan pekerjaan tambahan atas tanah, pembuangan air, dan keadaan kelembaban.
3. Keharusan bagi penyuluh "polyvalent" menguasai teknologi produksi berbagai tanaman
yang merupakan masalah berat.
75
4. Peralihan dari teknologi tanaman tunggal ke sistem pola pertanaman dan usahatani
yang lebih rumit, sulit diwujudkan dengan staf penyuluhan yang ada.
5. Bila intensifikasi palawija dilaksanakan di lahan kering, masalah-masalah prasarana
dan teknologi menjadi kenyataan yang harus dihadapi. Pertanian lahan kering di semua
segi belum berkembang jika dibandingkan dengan pertanian di sawah.
Tabun
dilepas
Umur
(hari)
Rata-ratahasil (t/ha)
Reaksi terhadap
penyakit karat
1918
1919
1924
1935
1937
1938
1965
1965
95
100
105
90
85
85
85
85
1,1
1,1
1,2
1,2
1,2
1,0
1,2
1,2
Agak tahan
Peka
Peka
PELITA II
Orba
1974
90
1,5
Agak tahan
PELITA III
Galunggung
Lokon
Guntur
a
Wilis
1981
1982
1982
1983
85
76
78
88
1,5
1,1
1,1
1.6
Agak peka
Agak tahan
1,5
1,7
1,6
1,6
Taban
Agak tahan
Agak tahan
Agak tahan
PELITA IV
Dempo
1984
90
Kerinci
1985
87
Merbabu
1986
85
Raring
1987
85
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan
a
Agak talian terliadap penyakit virus
Agak tahan
Peka
76
Upaya berikutnya adalah mengembangkan varitas genjah. Varitas Ringgit me- rupakan
hasil persilangan antara No. 27 dengan varitas lokal bernama Cirebon. Varitas Ringgit masak
dalam 80-90 hari dan berdaya-hasil tinggi, tetapi peka terhadap penyakit karat. Pada tahun 1965,
varitas genjah Davros yang berbiji besar dikembangkan melalui seleksi galur hasil hibridisasi
varitas Wakashima dari Cina dengan varitas lokal bernama Garut.
Selanjutnya suatu varitas dari Taiwan bernama TK 5 dikembangkan dari Orba yang
tahan penyakit karat. Belum lama ini telah dilepas varitas genjah Galunggung, Lokon, Guntur,
dan Wilis, yang masak dalam 78-85 hari. Yang paling baru adalah Dempo yang juga tahan
penyakit karat.
9
Diskusi dan Kesimpulan
Latar belakang agro-ekonomi studi kedelai
Tingkat produktivitas kedelai yang rendah di Indonesia dan terus meningkatnya impor
kedelai dengan tegas menggambarkan bahwa masalah pokok sistem komoditas kedelai
Indonesia terletak dalam segi produksi.
Suatu studi umum sistem komoditas sulit memberi rekomendasi yang kuat untuk
mengatasi masalah-masalah mendasar. Lebih-lebih kedelai di Indonesia ditanam dalam kisar
lingkungan yang luas, bahkan di satu daerah dapat ditemukan di sawah maupun di lahan kering
dengan atau tanpa irigasi, hampir pada setiap waktu, dan ditanam baik sebagai tanaman tunggal
maupun dalam tumpangsari. Di satu daerah yang sama, cara budidaya pun dapat berbeda-beda.
Dengan semua faktor itu, sulit sekali membuat paket ajaib yang dapat berhasil di semua
keadaan.
Ada sejumlah alasan kuat untuk mempertanyakan efisiensi program INMAS dalam rangka
mencapai target, karena rekomendasi umum mungkin tidak dapat diterapkan pada berbagai
keadaan. Pemerintah Indonesia dalam PELITA IV (1984- 1988) menetapkan target kenaikan
produksi kedelai sebanyak 10% per tahun. Mengingat hal-hal diatas, target itu tampaknya akan
sulit tercapai.
Studi ini telah dilakukan di daerah-daerah penghasil utama kedelai. Jelaslah, hasilhasilnya kurang mewakili sistem komoditas kedelai di Indonesia secara keseluruhan. Hasil-hasil
itu hanya mencerminkan keadaan di daerah-daerah yang relatif berhasil dalam produksi kedelai.
Di daerah-daerah itu, para petani kedelai memakai pupuk dan pestisida sekehendak hati,
sementara masukan maupun kredit bukan merupakan kendala. Ini mempunyai implikasi pada
rancangan program-program intensifikasi yang didalamnya aspek-aspek itu biasanya sangat
ditekankan.
Misalnya, kebanyakan petani dalam studi ini menjelaskan bahwa kurangnya benih
unggul dan pH tanah yang rendah merupakan faktor-faktor utama penyebab rendahnya
produktivitas. Bahkan sebenarnya benih memainkan peran penting untuk menggeser fungsi
produksi kedelai ke arah yang lebih menguntungkan. Akan tetapi belum jelas sejauh mana ini
merupakan kendala tingkat hasil kedelai pada keadaan para petani dewasa ini. Beberapa petani
berpendapat bahwa varitas lokal lebih toleran terhadap hama dan penyakit atau terhadap
kekeringan dan banjir.
Demikian pula, pH yang rendah tidak dipelajari di daerah survei. Rendahnya pH
menandai daerah yang masih marjinal untuk budidaya kedelai. Dengan kata lain, pH rendah
muncul sebagai kendala perluasan penanaman kedelai di daerah-daerah baru, bukan sebagai
faktor yang menerangkan rendahnya hasil dewasa ini.
Oleh karena itu, kesimpulan sementara berdasarkan pengetahuan yang ada sekarang,
adalah bahwa tidak banyak yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kedelai di
daerah-daerah survei. Masukan-masukan telah dipakai dalam jumlah relatif banyak, namun
persoalan pokok rupanya meliputi usaha memperbaiki efisiensi pemakaiannya, bukan
bagaimana meningkatkan jumlah pemakaiannya.
78
Temuan penting lain adalah bahwa keragaman dalam pemakaian masukan dan
produktivitas yang diperoleh biasanya jauh lebih besar dalam tiap daerah tanam atau jenis
lingkungan yang luas, daripada antar mereka. Apakah keragaman itu berkaitan dengan faktorfaktor sosial ekonomi atau dengan karakteristik lingkungan, masih perlu diteliti lebih jauh. Akan
tetapi, keadaan lingkungan yang seragam hendaknya lebih diperhatikan dalam penelitian yang
akan datang.
79
Secara umum, upaya penelitian yang telah dilakukan terhadap kedelai dan palawija
lainnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian terhadap padi; demikian pula halnya
dengan pelayanan pelaksanaan program di daerah. Tujuan utama studi adalah sebagai
pendahuluan bagi penelitian-penelitian yang lebih mendalam atas berbagai komponen sistem
komoditas kedelai di masa yang akan datang. Penelitian yang mendalam seperti itu diperlukan
untuk mengidentifikasi secara rinci kendala- kendala yang menghambat usaha petani untuk
mencapai hasil tinggi yang sebanding dengan yang dicapai peneliti di kebun-kebun percobaan.
Lampiran
*Penulis laporan.
81
82
Singkatan
BPLLP
Badan Litbang
Pertanian
ASBIMTI
BTP
BIMAS
Bimbingan Masal
BIP
BPP
BPS
Ballitan
BULOG
CGPRT Centre
PAE
Puslitbangtan
Diperta
Dinas Pertanian
ESCAP
Komisi Ekoni dan Sosial Asia dan Pasifik, PBB (Economic and Social
Comision for Asia and Pacific, United Nations)
INKUD
IPB
INMAS
Intentsifikasi Massal
INSUS
Intensifikasi Khusus
INMUM
Intensifikasi Umum
Singkatan
84
JABAL
KUD
KOPTI
PELITA
PIR
PPL
PT BERDIKARI
PT WATRAW
SUSENAS
USDA
Departemen Pertanian
Amerika
Departement of Agriculture)
WILKEL
Wilayah Kelompok
Serikat (United
States
Daftar Pustaka
Arief, S. 1978. Pola-pola konsumsi di Indonesia: suatu studi ekonometris. Sritua Arief
Associates.
Boediono. 1978. Elastisitas permintaan akan berbagai barang di Indonesia: teknik
pendugaan Frish. Ekonomi dan Keuangan di Indonesia. 26(3):345-63.
Institut Pertanian Bogor: Sekretariat Tim Survei. 1976. Status kedelai di Indonesia dewasa ini.
(Sub-proyek I-l). Indonesia.
BULOG. 1979. Laporan Tim Gabungan Indonesia-Amerika tentang tanaman palawija.
Stensilan.
BULOG. 1983. Stabilisasi pangan/beras di Indonesia. Laporan tahunan. Business News Ltd.
Majalah Business News. Berbagai nomor. Biro Pusat Statistik. 1980. Neraca bahan
pangan. RTB 80-48. Biro Pusat Statistik. 1983. Buku saku statistik Indonesia.
Biro Pusat Statistik. 1985. Struktur ongkos usahatani padi, palawija.
Darmawan, D.H. dan I. Rusastra. 1984. Sistem komoditas minyak nabati di Indonesia (Konsep
I). Pusat Penelitian Agro-Ekonomi. Bogor.
Departemen Pertanian. 1983. Program peningkatan produksi pangan (khususnya beras) di
Indonesia 1968/1969 - 1982/1983. Stensilan.
Departemen Pertanian, Kehutanan dan Perikanan. 1983. Neraca bahan pangan.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Pelbagai tahun. Vademekum Pemasaran. Jakarta.
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 1984. Statistik pertanian tanaman pangan. Jakarta.
Direktorat Jenderal Ekonomi Tanaman Pangan. 1988. Permintaan dan penawaran tanaman
pangan.
Direktorat Perencanaan Tanaman Pangan. 1983. Padi dan palawija di Indonesia, 19681981. Sub
Direktorat Data dan Statistik.
Dixon, J.A. 1982. Food consumption patterns and related demand parameters in Indonesia: a
review of available evidence. Working Paper No.6. International Food Policy Research
Institute. (IFPRI).
86
Daftar Pustaka
Faisal, K., D.H. Darmawan, I.W. Rusastra, Erwidodo dan C.A. Rasahan. 1983. Pemasaran
kedelai di Indonesia. Pusat Penelitian Agro-Ekonomi.
Fukushima, D. dan H. Hashimoto. 1976. Oriental soybean foods. In: Hill, H.D. (ed.)
Proceedings of World Soybean Research Conference.
Hakim, R. 1976. Kacang-Kacangan di Indonesia. Dalam: Rifai, M.A. (ed.), Kacangkacangan
Asia, Lembaga Pusat Penelitian Pertanian, Bogor.
Hedley, D.D. 1978. Supply and demand for food in Indonesia. Paper presented at the Workshop
on Research Methodology, Institut Pertanian Bogor.
Heady, E.O. dan J.L. Dillon. 1969. Agricultural production functions. Iowa State University
Press.
Mears, L.A. 1984. Swasembada beras dan pangan di Indonesia. Buletin Studi Ekonomi
Indonesia. 20(2): 122-38.
Mears, L.A., A. Rachman, and Sakrani. 1981. Income elasticity of demand for rice in Indonesia.
Economics and Finance in Indonesia 29(l): 81-90.
Naito, A., Harnoto, and Iqbal. 1983. Current problems of insect pests in major soybean
production areas in Indonesia. Makalah seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Stensilan.
Pasaribu, D. and J.L. McIntosh. 1983. Increasing soybean production through improved
cropping systems and management in the tropics. In: Proceedings of the First
International Symposium on Soybean in Tropical and Subtropical Cropping Systems.
Trop. Agric. Res. Centre, Japan.
Roche, F.C. 1983. Cassava production systems on Java and Madura. Stanford University. PhD
Dissertation, Sanford University.
Singh, R.B. 1983. Cassava situation and prospect of improved production of coarse grains and
legumes in Asia Pacific Region. FAO Regional Office for Asia and the Pacific.
Somaatmadja, S. dan B.H. Siwi. 1983. Development of grain legumes in Indonesia. Paper
presented at the Consultant Group Meeting for Asian Region Research on Grain
Legumes. ICRISAT.
Sumarno. 1984. Defining soybean breeding objectives for the Indonesia cropping system
programme. Paper presented at the Asian Soybean Workshop. Jakarta.
Tyers, R. and A. Rachman. 1981. Food security and consumption diversification in Indonesia:
results from a multi-commodity stochastic simulation model. Working Paper WP-81-l,
Resource System Institute, East-West Center, USA.
Winarno, F.G. et al. 1976. The present status of soybean in Indonesia. Institut Pertanian Bogor.
Yuize, Yashuhiko. 1974. Economic analysis of food. Doubun-shoin, Tokyo.