Anda di halaman 1dari 14

Hukum Suku Bunga Bank

MUI akhirnya menjatuhkan vonis haram atas bunga bank, tepat di penghujung
tahun 2003 kemarin. Tak ayal, keputusan yang oleh sebagian orang dianggap
mendadak ini memancing respons dari pelbagai pihak. Tidak sedikit yang kemudian
bertanya-tanya. Benarkah bunga yang selama ini dijadikan basis oleh bank-bank
konvensional adalah riba? Tidak adakah pengecualian untuk bunga yang wajar dan
proporsional? Bagaimana kesimpulan halal atau haramnya bunga bank diperoleh?
Tulisan ini akan mencoba untuk melakukan pengkajian ulang, dari sudut pandang
syariah Islam, terhadap bunga bank. Mudah-mudahan ia dapat memberi kontribusi
untuk melihat jelas duduk persoalan bunga bank.
ANTARA BUNGA DAN RIBA
Pada dasarnya, bagi bank-bank konvensional, bunga memang merupakan salah satu
aspek yang memainkan peran yang sangat vital dalam kegiatan usahanya. Hal ini
disebabkan ia terkait langsung dengan banyak dari produk jasa bank itu sendiri. Baik
itu berbentuk simpanan maupun kredit. Masing-masing dengan bentuknya yang
beraneka ragam seperti giro, deposito berjangka, tabungan, obligasi, KUK, dan lainlain. Mengingat luasnya bidang usaha perbankan tersebut, pembahasan ini akan lebih
memfokuskan diri pada konsep bunga bank itu sendiri dan tidak terlalu jauh merinci
aplikasi sistem bunga dalam praktiknya. Menurut Dahlan Siamat, bunga (interest),
dari sisi permintaan adalah biaya atas pinjaman; dan dari sisi penawaran merupakan
pendapatan atas pemberian kredit.

Bunga di sini dipandang sebagai sewa atau harga dari uang. Ia adalah imbalan atas
pemakaian uang. Katakanlah Anda meminjam dana sebesar Rp. 10.000 dari Bank
XYZ. Pada akhir tahun, Anda diharuskan untuk mengembalikan sebesar Rp. 10.100.
Selisih antara uang pokok dan jumlah yang harus dikembalikan, yaitu Rp. 100, adalah
bunga.
Selanjutnya adalah riba. Lebih khusus lagi riba yang berhubungan langsung dengan
transaksi keuangan atau utang-piutang. Dalam hal ini adalah riba nasiah dan riba
jahiliyyah. Dalam Al-Qamus Al-Fiqhiy, riba nasiah dirumuskan dengan tambahan
yang dipersyaratkan yang diambil oleh pemberi piutang dari orang yang berutang
sebagai ganti penundaan (pembayaran).
Adapun riba jahiliyyah, maka ia dijelaskan sebagai ketika seseorang berutang pada
orang lain dan waktu pelunasan telah jatuh tempo, pemberi piutang berkata: engkau
lunasi sekarang atau engkau menambah (waktu pelunasan)? Jika ia memberi tambahan
(waktu), ia juga mewajibkan tambahan (atas uang pokok). Dengan kata lain, riba
jahiliyyah adalah kredit yang dibayar lebih dari pokoknya karena kreditur tidak
mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan.
Dari dua rumusan riba di atas nampak bahwa inti dari riba dalam transaksi keuangan
dan utang-piutang, menurut pengertian ahli-ahli fiqhi, adalah penambahan atas utang.
Inti dari riba ini persis sama dengan pengertian bunga. Sehingga bisa dikatakan bahwa
sebenarnya riba adalah terjemahan Arab dari kata bunga. Untuk contoh yang
dikemukakan tadi, Anda sebenarnya cukup mengembalikan utang dalam jumlah yang

sama dengan yang Anda pinjam: Rp. 10.000. Tambahan Rp. 100, dalam kaca mata
Islam, adalah riba.
DALIL-DALIL TENTANG HARAMNYA BUNGA BANK
Dalil-dalil yang mengharamkan bunga diangkat dari Al-Quran, Hadits, atsar-atsar
dari sahabat Nabi dan ijma. Berikut perinciannya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (QS. alBaqarah(2): 278-279)Ayat ini menegaskan bagian yang berhak diambil oleh debitur
atas kredit yang ia berikan, yaitu ruusu amwalikum, pokok hartamu. Tidak lebih
tidak kurang.
Senada dengan ayat ini adalah hadits berikut :

Dari Sulaiman bin Amr bin al-Ahwash, bapakku menceritakan kepada kami

bahwa ia melaksanakan haji wada bersama Rasulullah . (Ketika


berkhutbah, Nabi memulai dengan) memuji Allah lalu beliau memberi peringatan dan
nasihat. Kemuadian beliau berkata: . . . Ketahuilah, sesungguhnya semua riba pada
masa jahiliyyah dibatalkan. Bagi kalian (hanya) uang pokok kalian, kalian tidak
menzalimi dan tidak pula dizalimi . . . .

Dari Abdullah bin Amr bahwa Rasulullah bersabda: Tidak halal

(melakukan

transaksi

ganda:)

utang-piutang

bersama

jual-bel

(pada

satu

waktu).Alasan pelarangan ini, wallahu alam, adalah karena ketika seorang pedagang
menawarkan barangnya kepada calon pembeli dan pada saat yang sama ia memberi
pinjaman kepadanya, ia akan menaikkan harga barang untuk mendapatkan tambahan
dari pinjaman yang ia berikan. Dan ini adalah riba.

Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma berkata: Barangsiapa yang memberi

pinjaman, janganlah ia mempersyaratkan (keuntungan tertentu) selain pelunasan (uang


pokoknya).

Ibnu Masud radhiyallahu anhu berkata: Barangsiapa yang memberi piutang,

janganlah ia mempersyaratkan (sesuatu) yang lebih dari piutangnya. Karena walaupun


hanya segenggam makanan hewan (yang engkau ambil) maka ia adalah riba.

Para ulama Islam telah ijma (konsensus) mengenai haramnya bunga. Syaikhul

Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan: Telah sepakat para ulama bahwa kreditor, jika
ia mempersyaratkan tambahan atas kredit yang ia berikan, sebagai sesuatu yang
haram. Dalam disertasinya, Dr. Umar al-Mutrik menghimpun sebelas pernyataan
ulama, dari zaman yang berbeda-beda, yang melaporkan ijma ini.
Demikianlah dalil-dalil mengenai haramnya bunga. Tidak terkecuali, tentu saja,
termasuk di dalamnya bunga bank. Semua dalil yang diangkat tadi berlaku umum dan
universal, sebagaimana keumuman dan universalisme Islam itu sendiri. Sampai di
sini, Anda mungkin menangkap bahwa pembicaraan kita sejak tadi hanya berkisar

pada bunga atas pinjaman. Lalu, apa pasal dengan simpanan? Apakah hukum riba ini
juga berlaku untuk tambahan atas simpanan? Berikut ini pembahasaannya.
JASA PENYIMPANAN BANK DALAM PERSPEKTIF SYARIAH
Akar permasalahannya ialah: benarkah simpanan di bank (berupa giro, deposito atau
tabungan) adalah simpanan menurut Islam? Persoalan ini hendaknya diperjelas
terlebih dahulu untuk mendapatkan jawaban yang benar-benar islami. Simpanan, yang
dalam terminologi para ahli fiqih disebut wadiah, didefinisikan sebagai amanah yang
sengaja ditinggalkan pada orang lain untuk dijaga. Sebagaimana pada jenis transaksi
syariah yang lain, wadiah juga memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya
dengan transaksi-transaksi syariah yang lain.
Di antaranya adalah, Pertama, aset yang disimpan berstatus amanah. Ketentuan ini
bermakna bahwa kerusakan dan atau kehilangan yang terjadi pada aset tersebut diluar
tanggung jawab penerima simpanan. Aturan ini berlaku, dengan catatan, tidak ada
unsur kelalaian dan atau kesengajaan pada rusak atau hilangnya aset yang dimaksud.
Penerima simpanan telah melakukan prosedur yang semestinya terhadap barang
simpanan. Pakaian disimpan di dalam lemari, uang di brankas, dan mobil di garasi;
adalah contoh-contoh sederhana. Ketentuan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi
Barangsiapa yang diberi simpanan, ia tidak wajib menanggung.

Demikianlah jaminan hukum yang diberikan Islam kepada penerima simpanan.


Kedua, di sisi lain, penerima simpanan juga diikat oleh aturan lain. Penerima
simpanan tidak dibenarkan oleh syariah untuk melakukan transaksi dalam bentuk
apapun terhadap barang simpanan yang ada di tangannya. Tidak untuk tujuan

produktif maupun konsumtif. Aset tersebut bukan miliknya, ia tetap merupakan milik
penuh

pemberi

simpanan.

Pelanggaran

terhadap

ketentuan

ini

merupakan

pengkhianatan terhadap amanah yang ia pegang.


Demikianlah beberapa di antara spesifikasi wadiah dalam Islam. Berdasarkan pada
spesifikasi wadiah ini, tidak sulit untuk memahami bahwa konsep wadiah dalam
Islam sangat jauh berbeda dengan praktik pada jasa penyimpanan uang di bank.
Seorang nasabah tidak akan mau ambil pusing terhadap kerugian yang diderita bank
akibat kebakaran, misalnya. Ia tetap akan menuntut untuk mendapatkan kembali uang
depositonya. Plus, bunga yang dijanjikan bank. Di lain pihak, bagi bank sendiri, uang
simpanan nasabah adalah sumber dana baginya untuk menjalankan roda kegiatan
usahanya. Dana ini selanjutnya akan dialokasikan kepada bentuk bidang-bidang usaha
bank yang lain.
Kalau demikian halnya, apakah hakikat simpanan pada bank menurut Islam? Melihat
karakteristik simpanan uang di bank, ia adalah kredit oleh bank dari masyarakat. UU
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sendiri menyebutkan bahwa kredit (dalam jasa
bank) adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil
keuntungan.
Tidak menjadi masalah bagi pihak debitor untuk tujuan apa kreditnya akan
dimanfaatkan. Pihak peminjam bebas melakukan transaksi apa saja yang ia kehendaki

terhadap kredit yang ia peroleh. Yang penting, debitor mendapatkan kembali uangnya
setelah jangka waktu yang disepakati. Ini berarti, bunga yang diserahkan oleh pihak
bank terhadap nasabahnya yang menyimpan uang adalah riba yang diharamkan Islam.
Ia adalah tambahan atas utang. Walau demikian, beberapa pemikir memandang bunga
bank dalam perspektif yang berbeda. Sementara pemikir ini berpendapat bahwa bunga
bank memiliki alasan-alasan pembenaran tersendiri.
BEBERAPA ARGUMEN TENTANG HALALNYA BUNGA BANK
Walau demikian, beberapa pemikir memandang bunga bank dalam perspektif yang
berbeda. Sementara pemikir ini berpendapat bahwa bunga bank memiliki alasanalasan pembenaran tersendiri. Berikut ini yang terpenting di antaranya:
a. Pada masa Rasulullah tidak ada inflasi. Mata uang yang dipergunakan
pada masa itu adalah mata uang yang stabil, dinar dan dirham. Karenanya,
pengembalian hutang sebesar jumlah pinjaman menggambarkan keadilan. Dalam
suatu kurun waktu di mana inflasi melanda mata uang tertentu, maka pengembalian
hutang sebesar jumlah pinjaman belum menggambarkan keadilan. Bahkan sebaliknya,
kerugian sepihak. Apalagi jika statemen la tazlimun wa la tuzlamun, kalian tidak
menzalimi dan tidak pula dizalimi (TQS. al-Baqarah[2]: 278) dijadikan sebagai kata
kunci untuk memahami esensi riba. Sehingga illat (alasan hukum) larangan riba pada
hakikatnya adalah zulm, bukan tambahan.
Tanggapan
Tidak dapat dipungkiri bahwa mata uang dinar dan dirham relatif lebih stabil
dibandingkan dengan mata uang lain. Kekebalan relatif ini disebabkan oleh nilai

intrinsik (nilai nominal yang tertulis sesuai dengan nilai bahan baku) yang dimiliki
mata uang ini karena terbuat dari emas dan perak. Berbeda dengan mata uang lain
yang tidak memiliki nilai intrinsik tersebut. Terlebih lagi karena ia adalah mata uang
tidak berbangsa. Dalam kondisi stabil, selama kurun waktu 1.500 tahun, dengan
modal uang 1-2 dinar, misalnya, seseorang tetap dapat membeli seekor kambing,
tergantung pada besar dan kecilnya. Demikianlah sebagian keunggulan yang dimiliki
oleh dinar dan dirham. Akan tetapi, mengasumsikan bahwa dinar dan dirham sama
sekali tidak mungkin didera inflasi juga terlalu berlebihan. Karena pada akhirnya,
betapapun, nilai yang dimiliki oleh dinar dan dirham adalah nilai yang diberikan oleh
publik. Sama seperti nilai yang telah diberikan publik kepada mata uang lain.
Sehingga, seluruh dampak mekanisme pasar yang mungkin menimpa mata uang lain
juga mungkin terjadi pada dinar dan dirham.
Ibnu Taimiyah, yang bernota bene hidup di era penggunaan dinar dan dirham (w. 728
H/1328 M), pun menyadari hal ini. Ia mengakui bahwa mata uang pada masanya
tersebut bukanlah maksud dan tujuan akhir. Ia tidak lebih dari sekadar fasilitas dalam
transaksi manusia. Nilai yang dimilikinya diperoleh dari konsensus publik. Media apa
pun, jika memiliki fungsi dan nilai yang sama, dapat menggantikan perannya.
Sependapat dengan Ibnu Taimiyah, jauh sebelumnya, Malik telah menyatakan bahwa
seandainya manusia sepakat untuk mempergunakan kulit-kulit binatang sebagai uang
maka ia akan menghukuminya sama sebagaimana hukum dinar dan dirham.
Selanjutnya,

andaipun

kita

ingin

menjadikan

inflasi

sebagai

faktor

yang

dipertimbangkan dalam pembayaran hutang, maka hendaknya kita melakukannya

secara adil dan konsisten. Disamping memperhitungkan kondisi inflasi, kita pun
hendaknya memperhitungkan kondisi deflasi.
Tersisa masalah zulm yang diangkat dan dijadikan sebagai illat. Secara sederhana,
ada baiknya bagi kita untuk secara jeli membedakan antara hikmah dan illat. Jika
yang disebut pertama tidak dapat dijadikan sebagai landasan qiyas (metode analogi
hukum Islam), yang disebut terakhir justru sebaliknya. Ia merupakan komponen
penting dalam metodologi qiyas. Untuk lebih mudahnya, ambil contoh ibadah puasa.
Sudah jamak diketahui bahwa ritual ini ternyata terbukti membawa dampak positif
bagi kesehatan seseorang. Dampak positif bagi kesehatan di sini adalah hikmah puasa.
Dan tentu merupakan sebuah kekeliruan jika seseorang enggan melakukan kewajiban
puasa dengan alasan kondisi kesehatannya telah optimal sehingga tidak lagi
membutuhkan puasa.
b. Bunga yang dilarang adalah bunga yang keji dan berlipat ganda (riba fahisy). Suku
bunga yang wajar dan proporsional diperkenankan. Bukankah Allah sendiri berfirman
di dalam Al-Quran:


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
(QS. Ali Imran[3]: 130)
Tanggapan

Dalil-dalil pengharaman bunga telah menetapkan bahwa kreditor tidak berhak


mendapatkan selain modal pokok yang ia berikan. Penunjukannya lebih jelas dan
lebih pasti terhadap perkara besar atau kecilnya bunga. Sedangkan penyebutan
berlipat-lipat di dalam ayat ini adalah semata-mata dalam rangka menjelaskan
kenyataan yang kerap terjadi di dalam praktik riba. Ayat tersebut sama sekali tidak
mengindikasikan pembatasan jenis riba yang terlarang pada bunga yang berlipat-lipat
saja. Gaya bahasa semacam ini dapat kita temukan pada banyak tempat dalam AlQuran. Sebagai contoh adalah dalam surat sebelumnya, Al-Baqarah, pada ayat 41
disebutkan:

dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayat-Ku dengan harga yang rendah, dan
hanya kepada Akulah kamu harus bertakwa.
Ayat ini tentu tidak bermakna bahwa boleh menukarkan ayat-ayat Allah apabila
dengan harga yang tinggi. Ayat ini menyebut harga yang rendah untuk
menginformasikan bahwa demikianlah keadaannya yang banyak terjadi. Adakah
sesuatu yang lebih mahal daripada ayat-ayat Allah?
Memahami teks-teks keagamaan (Al-Quran dan Hadits) secara parsial memang dapat
membawa kepada kesalahan fatal. Untuk terhindar dari kesalahan ini, seorang peneliti
hendaknya memahami teks-teks tersebut sebagai sebuah kesatuan yang utuh. Tidak
tergesa-gesa menyimpulkan sebelum melihat teks-teks yang lain, utamanya yang juga
membahas topik yang sama.

c. Pihak debitor telah mengorbankah modalnya kepada pihak kreditor untuk ia kelola
sehingga mendapatkan hasil. Seandainya modal tersebut ia investasikan, tentu ia akan
mendapatkan untung yang mungkin jauh lebih banyak. Maka sudah selayaknya jika
pengorbanan ini dihargai dalam bentuk pemberian bunga.
Tanggapan
Dalam utang-piutang, pihak debitor sebenarnya tidak dirugikan. Bahkan ia
diuntungkan. Pasalnya, keberadaan uangnya pada kreditor menjadi jaminan terhadap
uang tersebut. Bukankah keberadaan uangnya di tangannya membawa risiko uang
tersebut terbakar, dicuri dan sebagainya? Ketika uang tersebut ia pinjamkan, bahkan
seandainya kreditor sedang menderita kerugian, ia tetap berhak terhadap sejumlah
uangnya secara penuh. Ini yang pertama.
Persoalan kedua, atas dasar apa sehingga debitor ini selalu mengasumsikan dirinya
mendapatkan untung dari usahanya. Bukankah setiap usaha selalu menghadapi risiko
gagal? Di sini, ia telah bertindak diskriminatif. Sebab dengan sistem bunga, ia telah
menjadikan dirinya dalam posisi selalu beruntung dengan mengabaikan risiko untungrugi kreditor.
d. Keuntungan yang ditawarkan oleh sistem bagi hasil tidak jauh berbeda dengan
bunga, kalau tidak bisa dikatakan sama.
Tanggapan

Terdapat banyak perbedaan yang signifikan antara keuntungan dalam sistem bunga
dan keuntungan dalam sistem bagi hasil. Tabel berikut menunjukkan perbedaanperbedaan tersebut.
BUNGA

BAGI HASIL

Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Penentuan besarnya rasio bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek
yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi

Bagi hasil bergantung pada

keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung
bersama oleh kedua belah pihak
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keun-tungan berlipat
atau keadaan ekonomi sedang booming.

Jumlah pembagian laba meningkat

sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan


Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama, termasuk Islam
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil
Sumber: Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah: dari Teori ke Praktik,
(Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 61.

e. Manusia mengenal akad sewa-menyewa. Islam pun membolehkannya. Mengapa


bunga pinjaman tidak dianggap saja sebagai fee atas penyewaan uang?
Tanggapan
Islam yang membolehkan sewa-menyewa, ia pula yang mengharamkan bunga.
Mengqiyaskan antara dua hal yang jelas-jelas terdapat hukumnya dalam Islam
merupakan kekeliruan. Qiyas seperti ini cacat sejak awal. Ia menyalahi syarat qiyas
yaitu tidak bertentangan dengan nash. Di samping itu, Islam membedakan hukum
antara fee sewa-menyewa dan bunga pinjaman karena memang terdapat perbedaan
yang substansial antara akad utang-piutang dengan akad sewa-menyewa. Dalam
Islam, penerima pinjaman dituntut untuk melunasi hutangnya dalam kondisi
bagaimanapun juga. Seandainya uang yang ia pinjam dirampok orang, ia tetap
berkewajiban melunasi hutangnya. Berbeda dengan sewa-menyewa. Barang yang
disewa kemudian rusak atau hilang tidak wajib untuk diganti. Pemilik barang tidak
berhak untuk meminta gantirugi atas kerusakan barangnya jika terbukti tidak terdapat
unsur kelalaian dan atau kesengajaan pihak penyewa barang atas kerusakan tersebut.
FATWA-FATWA TENTANG BUNGA BANK
Setelah melihat dalil dari masing-masing, jelas kiranya bahwa fatwa pengharaman
bunga bank sudah semestinya diterima dengan baik. Dibandingkan dengan negara
berpenduduk mayoritas Muslim yang lain, Muslim Indonesia bisa dikatakan
terlambat. Sebab fatwa haramnya bunga bank sebenarnya telah lama didengungkan di
dunia luar. Tercatat sejak tahun 1900 hingga 1989, Mufti Negara Republik Arab Mesir
senantiasa menegaskan keputusannya tentang ribanya bunga bank. Tahun 1970, di

Pakistan, semua peserta Sidang Organisasi Konferensi Islam (OKI) II, sepakat dengan
suara bulat bahwa praktik bunga pada bank-bank konvensional bertentangan dengan
syariah Islam. Fatwa senada juga dikeluarkan masing-masing oleh Konsul Kajian
Islam Dunia di Kairo tahun 1965; Majmaul Fiqh Liga Muslim Dunia, Konferensi
Internasional Ekonomi Islam I yang berlangsung di Mekah, dan Konferensi
Internasional Fiqh Islam yang diselenggarakan di Riyadh. Abdullah al-Bassam bahkan
melaporkan bahwa fatwa riba bank telah menjadi kesepakatan dalam seluruh forum
fiqh Islam di dunia saat ini. Disamping itu, tidak ketinggalan pula fatwa-fatwa dari
ulama-ulama besar dan cendikiawan Muslim, seperti Syaikh Muhammad bin Ibrahim,
Syaikh Abdullah bin Baz, Abul Ala al-Maududi, Dr. Yusuf al-Qardhawi, dll. Sebagai
penutup, ada baiknya kita menyimak ungkapan Abdullah bin Sulaiman al-Mani
tentang transaksi keuangan berikut ini Siapa pun yang memperhatikan secara
saksama ajaran Islam mengenai aktivitas individu dan masyarakat dalam
pengumpulan harta dan pendistribusiannya akan memperoleh kesan bahwa Islam telah
berusaha mempersempit ruang tukar-menukar uang . . . dan bahwa keluarnya uang
dari perspektif ini akan berimplikasi negatif . . . karena menumpuknya uang pada
sejumlah kecil manusia akan memberi mereka peluang hegemoni terhadap kebutuhan
masyarakat luas . . . .
Wallahu taala alam

Anda mungkin juga menyukai