Anda di halaman 1dari 8

PENDAHULUAN

Dalam sejarah perkembangan filsafat sejak zaman pra-Yunani kuno


hingga abad XX sekarang ini, telah banyak aliran filsafat bermunculan.
Setiap aliran filsafat memiliki kekhasan masing-masing sesuai dengan
metode yang dijalankan dalam rangka memperoleh kebenaran.
Filsafat zaman modern berfokus pada manusia, bukan kosmos
(seperti pada zaman kuno), atau Tuhan (pada abad pertengahan). Dalam
zaman modern ada periode yang disebut Renaissance (kelahiran kembali).
Kebudayaan klasik warisan Yunani-Romawi dicermati dan dihidupkan
kembali; seni dan filsafat mencari inspirasi dari sana.
Para filsuf zaman modern menegaskan bahwa pengetahuan tidak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa,
tetapi dari diri manusia sendiri. Namun tentang aspek mana yang
berperan ada Perbedaan pendapat. Aliran rasionalisme beranggapan
bahwa sumber pengetahuan adalah rasio: kebenaran pasti berasal dari
rasio (akal). Aliran empirisme, sebaliknya, meyakini pengalamanlah
sumber pengetahuan itu, baik yang batin, maupun yang inderawi. Lalu
muncul aliran kritisisme, yang mencoba memadukan kedua pendapat
berbeda itu.
Demikian Immanuel Kant membuat kritik atas seluruh pemikiran
filsafat, membuat suatu sintesis, dan meletakkan dasar bagi aneka aliran
filsafat masa kini.

PEMBAHASAN
A. Kritisisme Imanuel Kant
Filsafat Kant merupakan titik tolak periode baru bagi filsafat Barat. Ia
mengatasi dan menyimpulkan aliran Rasionalisme dan Empirisme, yang
dibantah oleh Copleston VI. Dari satu pihak

ia

mempertahankan

obyektifitas, universalitas, dan keniscayaan. Dalam filsafat Kant, tekanan


yang utama terletak pada kegiatan atau pengertian dan penilaian
manusia. Bukan seperti empirisme yang menekankan pada aspek

psikologi, melainkan sebagai analisa kritis, pada pemahaman Kant yang


baru, dan sering disebut revolusi Kopernikus yang kedua.
Kant memandang rasionalisme dan empirisme senantiasa berat
sebelah

dalam

menilai

akal

dan

pengalaman

sebagai

sumber

pengetahuan. Kant tidak menentang adanya akal murni, ia hanya


menunjukkan bahwa akal murni itu terbatas. Akal murni menghasilkan
pengetahuan tanpa dasar indrawi atau independen dari alat pancaindra.
Kant

dalam

argumennya,

bahwa

akal

dipandu

oleh

tiga

ide

transcendental, yaitu ide psikologis yang disebut jiwa, ide dunia, dan ide
tentang Tuhan. Ketiganya tersebut memiliki fungsi masing-masing, yaitu
ide jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah yang
merupakan cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang
psikis, ide dunia menyatakan segala gejala jasmaniah, ide Tuhan
mendasari segala gejala, segala yang ada, baik batiniah maupun yang
lahiriah (Ahmad Tafsir, 2005:150-151, lihat Mircea Eliade,t.:247)[1]
Kant mengarang macam-macam kritik mengenai akalbudi, kehendak,
rasa, dan agama. Dalam karyanya yang sering disebut metafisika.
Menurutnya

Metafisika

merupakan

uraian

sistematis

mengenai

keseluruhan pengertian filosofis yang dapat dicapai. Ia berpendapat


bahwa

pada

sekurang-kurangnya

pada

prinsipnya

mungkin

untuk

memperkembangkan suatu metafisika sistematis yang lengkap. Namun


Kant mulai meragukan kemungkinan dan kompetensi metafisik, sebab
menurut dia metafisik tidak pernah menemukan metode ilmiah yang pasti
untuk

memecahkan

masalahnya,

maka

perlu

diselidiki

dahulu

kemampuan dan batas-batas akal-budi.


Immannuel Kant membedakan akal (vertstand) dari rasio dan budi
(vernuft). Tugas akal merupakan yang mengatur data-data indrawi, yaitu
dengan mengemukakan putusan-putusan. Sebgaimana kita melihat
sesuatu, maka sesuatu itu ditrasmisikan ke dalam akal, selanjutnya akal
mengesaninya. Hasil indra diolah sedemikian rupa oleh akal, selanjutnya
bekerja dengan daya fantasi umtuk menyusun kesan-kesan itu sehingga
menjadi suatu gambar yang dikuasai oleh bentuk ruang dan waktu.

Pemikiran-pemikiran Kant yang terpenting diantaranya adalah tentang


akal murni. Menurut Kant dunia luar itu diketahui hanya dengan sensasi,
dan jiwa, bukanlah sekedar tabula rasa. Tetapi jiwa merupakan alat yang
positif, memilih

dan merekontruksi hasil sensasi yang masuk itu

dikerjakan oleh jiwa dengan menggunakan kategori, yaitu dengan


mengklasifikasikan dan memersepsikannya ke dalam idea. Melalui alat
indara sensasi masuk ke otak, lalu objek itu diperhatikan kemudian
disadari. Sensasi-sensasi itu masuk ke otak melalui saluran-saluran
tertentu yaitu hukum-hukum, dan hukum-hukum tersebut tidak semua
stimulus yang menerpa alat indra dapat masuk ke otak. Penangkapan
tersebut telah diatur oleh persepsi sesuai dengan tujuan. Tujuan inilah
yang dinamakan hukum-hukum(Ahmad Syadali dan Mudzakir, 2004: 121).
Demikian gagasan Immanuel Kant yang menjadi penggagas Kritisisme.
Filsafat

memulai

perjalanannya

dengan

menyelidiki

batas-batas

kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia. Maka Kritisisme


berbeda dengan corak filsafat modern sebelum sebelumnya yang
mempercayai kemampuan rasio secara mutlak.
Dengan Kritisisme yang diciptakan oleh Immanuel Kant, hubungan
antara rasio dan pengalaman menjadi harmonis, sehingga pengetahuan
yang benar bukan hannya pada rasio, tetapi juga pada hasil indrawi. Kant
memastikan adanya pengetahuan yang benar-benar pasti, artinya
menolak aliran skeptisisme, yaitu aliran yang menyatakan tidak ada
pengetahuan yang pasti.
Zaman

pencerahan

atau

yang

dikenal

di

Inggris

dengan

enlightenment. Terjadi pada abad ke 18 di Jerman. Immanuel Kant


mendefinisikan zaman itu dengan mengatakan dengan aufklarung,
manusia akan keluar dari keadaan tidak akil balig (dalam bahasa Jerman:
unmundigkeint), yang dengan ia sendiri bersalah. Sebabnya menusia
bersalah karena manusia tidak menggunakan kemungkinan yang ada
padanya yaitu rasio. Dengan demikian zaman pencerahan merupakan
tahap baru dalam proses emansipasi manusia barat yang sudah dimulai
sejak Renaissance dan reformasi. Di Jerman, seorang filosof besar yang
melebihi zaman aufklarung telah lahir yaitu Immanuel Kant.[2]

B.

Ciri-ciri Kritisisme
Isi utama dalam kritisisme yaitu gagasan Immanuel Kant tentang teori
pengetahuan, etika, dan estetika. Gagasan tersebut muncul karena ada
pertanyaan-pertanyaan yang mendasar yang timbul pada pemikiran
Immanuel Kant. Pertanyaan-pertanyaan tersebut yaitu:
Ciri-ciri Kritisisme Immanuel Kant dapat disimpulkan menjadi tiga hal
yaitu:
1.

Menganggap objek pengenalan berpusat pada subjek dan bukan

pada objek.
2.

Menegaskan

keterbatasan

kemampuan

rasio

manusia

untuk

menetahui realitas atau hakikat sesuatu, rasio hanya mampu menjangkau


gejalanya atau fenomenanya saja.
3.

Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh

atas perpaduan antara peranan unsure a priori (sebelum di buktikan


tapi kita sudah percaya) yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan
waktu dan peranan unsur aposteoriori (setelah di buktikan baru
percaya) yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.
C. Kritisisme Jerman-Immanuel Kant(1724-1804)
Immanuel Kant adalah seorang filsuf Jerman kelahiran Konigsberg,
22 April 1724 12 februari 1804. Ia dikenal sebagai tokoh kritisisme.
Filsafat

kritis

yang

ditampilkannya

bertujuan

untuk

menjembatani

pertentangan antara kaum Rasionalisme dengan kaum Empirisme. Bagi


Kant, baik Rasionalisme maupun Empirisme belum berhasil memberikan
sebuah pengetahuan yang pasti berlaku umum dan terbukti dengan jelas.
Kedua aliran itu memiliki kelemahan yang justru merupakan kebaikan bagi
seterusnya masing-masing.
Menurut

kant,

pengetaahuan

yang

dihasilkan

oleh

kaum

Rasionalisme tercermin dalam putusan yang bersifat analitik-apriori, yaitu


suatu bentuk putusan dimana predikat sudah termasuk dengan sendirinya
kedalam subyek. Memang mengandung kepastian dan berlaku umum,

tetapi tidak memberikan sesuatu yang baru. Sedangkan yang dihasilkan


oleh kaum Empirisme itu tercermin dalam putusan yang bersifat sintetikaposteriori, yaitu suatu bentuk putusan dimana predikat belum termasuk
kedalam subyek. Meski demikian, sifat sintetik-apesteriori ini memberikan
pengetahuan yang baru, namun sifatnya tidak tetap, sangat bergantung
pada ruang dan waktu. Kebenaran disini sangat bersifat subyektif.
Dengan melihat kebaikan yang terdapat diantara dua putusan
tersebut, serta kelemahannya sekaligus, kant memadukaa keduanya
dalam suatu bentuk putusan yang bersifat umum-universal, dan pasti di
dalamnya, akal budi dan pengalaman indrawi dibutuhkan serentak.
Bagaimana cara untuk mendapatkan putusan sintetik-apriori?
Dalam hal ini kant menunjukan pada 3 bidang sebagai tahapan yang
harus dilalui, yaitu:
a.

Bidang indrawi
Peranan subyek lebih menonjol, namun harus ada dua bentuk murni

yaitu ruang dan waktu yag dapat diterapkan pada pegalaman. Hasil yang
diterapkan pada ruang dan waktu merupakan fenomena konkrit. Namun
pengetahuan yang diperoleh indrawi ini selalu berubah-ubah, tergantung
pada subyek yang mengalami dan situasi yang melingkupinya.
b.

Bidang Akal
Apa yang telah diperoleh melalui bidang indrawi tersebut, untuk

memperoleh pengetahuan yang bersifat objektif-universal. Haruslah


dituangkan ke bidang akal. Disini terkandung 4 bentuk kategori:
1. Kategori

kuantitas,

terdiri

atas;

singulir(kesatuan),

partikulir(sebagian), dan universal(umum).


2. Kategori

kualitas,

terdiri

atas;

realitas(kenyataan),

negasi(pengingkaran), dan limitasi(batas-batas)


3. Kategori

relasi,

terdiri

atas;

categories(tidak

bersyarat),

hypothetis(sebab dan akibat), disjunctif(saling meniadakan)

4. Kategori

modalitas,

terdiri

atas;

mungkin/tidak,

ada/tiada,

keperluan/kebetulan.[3]
c.

Bidang Rasio
Pengetahuan yang telah diperoleh akal itu baru dapat dikatakan

sebagai putusan sintetik-apriori, setelah dikaitkan 3 macam ide, yaitu;


Allah(ide teologis), jiwa(ide psikologis), dan dunia (ide kosmologis).
Namun ketiga macam ide itu sendiri tidak dapat dicapai oleh akal
pikiran manusia. Ketiga ide ini hanya merupakan petunjuk untuk
menetapkan kesatuan pengetahuan. Selain itu Immanual kant juga
mengangkat aliran Aufk Larung ke puncak perkembangannya sekaligus
mengantar keruntuhannya. Pendapatnya adalah;

a. Ajarannya tentang pengetahuan


ialah pendapat-pendapat yang sintesis dengan suatu pertanyaan;
bagaimana mungkin orang dapat menetapkan pendapat yang apriori
(terlepas dari pengalaman) tentang suatu objek dengan mempergunakan
logika?
b. Ajarannya tentang kesusilaan
adalah bertentangan dengan ajaran etika/ kesusilaan dari aufk larung
(rasa senang/ kenikmatan dan faedah). Maka ajaran etikanya berprinsip
bahwa segala sesuatu hanya tergantung pada kehendak/ suasana yang
menjadi dasar perbuatan-perbuatan kita. Perbuatan baik dari sudut susila
adalah berdasarkan keinsafan kewajiban dengan pengertian bahwa setiap
perbuatan kita bisa menjadi hukum umum yang berlaku. Asas pokok
kesusilaan adalah imperatif kategoris, artinya suatu imperatif/ perintah
dari dalam diri kita yang memerintahkan kepada kita tanpa memandang
sebab dan akibatnya, cara berbuatnya, dsb. Berbuat baik adalah berbuat
dengan berpangkal pada hukum kesusilaan yang dibuat oleh diri kita
sendiri seara otonom karena menghormati hukum kesusilaan.

c. Ajarannya tentang kesenian


Rasa estetis itu khususnya berupa suatu rasa senang/ nikmat yang
bercampur dengan perasaan tak senang. Dapat mengikat menjadi
perasaan luhur yang berlebih-lebihan yang dapat membuat kita merasa
luhur/ mulia.
Adapun karya Kant yang terpenting adalah Kritik der Reinen Vernunft
1781. Dalam bukunya ini ia membatasi pengetahuan manusia, atau
dengan kata lain apa yang bisa diketahui manusia
Kant sebenarnya hanya meneruskan perjuangan Thomas Aquinas
yang pernah melakukannya. Immanuel Kant sendiri mulanya sangat
beregang teguh dengan rasionalisme, secara dia adalah seorang Jerman,
namun dia tersadarkan akan empirisme dari bukunya David Hume (filsuf
Inggris). Dan sejak itulah Immanuel Kant merasa rasionalisme dan
empirisme bisa digabungkan dan merupakan sebuah bagian yang dapat
melengkapi satu sama lain.
Kritisisme Rasionalis Jerman yang diajarkan Immanuel Kant adalah
metodeloginya yang dikenal dengan metode induksi, dari partkular datadata terkecil baru mencapai kesimpulan universal.
Dengan

kritisisme

Immanuel

Kant

(1724-1804)

mencoba

mengembangkan suatu sintesis atas dua pendekatan yang bertentangan


ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing pendekatan benar separuh,
dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita tentang dunia
berasal dari indera kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang
menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisikondisi tertentu dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia
tentang dunia. Kant setuju dengan Hume bahwa kita tidak mengetahui
secara pasti seperti apa dunia "itu sendiri", namun hanya dunia itu seperti
tampak "bagiku", atau "bagi semua orang". Namun, menurut Kant, ada
dua unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia
tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahirilah, ruang dan
waktu yang tidak dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan
indera kita. Ruang dan waktu adalah cara pandang dan bukan atribut dari

dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah kondisi-kondisi


batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada
hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.
Immanuel Kant juga beranggapan bahwa data inderawi manusia
hanya bisa menentukan Fenomena saja. Fenomena itu sendiri adalah
sesuatu yang tampak yang hanya menunjukkan fisiknya saja. Seperti
Benda pada dirinya, bukan isinya atau idenya. seperti ada ungkapan "The
Think in itself". Sama halnya dengan Manusia hanya bisa melihat Manusia
lain secara penampakannya saja atau fisiknya saja, tetapi tidak bisa
melihat ide manusia tersebut. Inderawi hanya bisa melihat Fenomena
(fisik) tapi tidak bisa melihat Nomena (Dunia ide abstrak- Plato)
Immanuel Kant memang cenderung mendapatkan "ilham" atau
terinmspirasi dari Plato, tapi tidak semuanya, dia "menyempurnakannya"
dengan

menggabungkan

dengan

Pengalaman

Empirisme

ajaran

Aristoteles. Plato beranggapan Fenomena yang membentuk Nomena, Ide


di atas segalanya, Ide yang membentuk sebuah yang nyata, seperti
halnya Tuhan menciptakan Manusia.[3]
Immanuel Kant terinspirasi dari Plato terlihat dari teori 3 postulat
"buatan". Sesuatu yang kita percaya, namun sulit dibuktikan.
1. Free Will, Kehendak yang bebas
2. Keabadian Jiwa, Immortaolitas Jiwa (warisan Plato. Manusia mati, tetapi
Jiwa tak pernah Mati, makanya ide bersifat abstrak dan di atas segalanya)
3. Tuhan, merupakan sesuatu yang kita percaya dan yakini akan
keadaanya, akan tetapi sulit untuk mebuktikan kenampakan fisiknya.

Anda mungkin juga menyukai