Keputusan MUI yang merekomendasikan bahwa BPJS Kesehatan belum sesuai syariah menimbulkan kontroversi baik dari kalangan DPR, Ormas seperti NU dan Muhammadiyah, termasuk dari yang "merasa ahli" tetapi sesungguhnya tidak atau belum mengerti tentang syariah. Salah satu keputusan Muktamar NU, menegaskan bahwa BPJS Kesehatan halal. Hal itu karena BPJS itu tergolong dalam konsep syirkah taawwun yang sifatnya gotong royong (sukarela), bukan seperti asuransi yang menjadi dasar dari fatwa haram oleh MUI. Karena itu BPJS hukumnya boleh karena sifatnya syirkah taawwun bukan asuransi. Namun ada sejumlah catatan yang harus dilakukan pemerintah terkait BPJS kesehatan tersebut. Pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang sifat gotong royong atau sukarela dari BPJS Kesehatan itu agar tidak memahami BPJS Kesehatan sebagai asuransi seperti pada umumnya. BPJS hendaknya dipahami sebagai sedekah dan saling membantu, sehingga tidak sama dengan asuransi yang profit. Muhammadiyah pada saat Muktamar di Makassar, menyebut BPJS masih belum jelas, apakah halal atau haram. Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin membenarkan bahwa BPJS haram lantaran tak sesuai syariat islam. sistem BPJS Kesehatan konvensional yang berlaku selama ini mengandung transaksional yang belum mencerminkan konsep ideal akan jaminan sosial dalam Islam. Kebijakan tersebut dinilai mengandung unsur gharar (ketidakjelasan), maisir (berjudi) dan riba. Salah satunya mengenai bunga dua persen sebagai denda jika peserta menunggak bayar bulanan. Maka keluarlah fatwa BPJS tidak sesuai syariah karena ada bunga dan akad yang tak sesuai dengan syariah. serta dipertanyakan asal dana yang diinvestasikan. Untuk itu (versi MUI) solusinya dengan membuka sistem BPJS Kesehatan sesuai dengan prinsip syariah. Seperti halnya pegadaian syariah, bank syariah, asuransi syariah dan produk-produk syariah lainnya. Dengan menjalankan BPJS berdasarkan peraturan serta melibatkan lembaga keuangan syariah. Prof Dr H Ahmad Rofiq MA menyatakan bahwa pada intinya yang menjadi persoalan pada BPJS adalah tentang apa dan bagaimana pengelolaan dananya? Penempatan dimana? Harus ada kesepakatan dan dikirim ke MUI.
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
BPJS Kesehatan menurut Peraturan Perundangan Oleh : Hardian Retno Satuti, SKM selaku Kepala Unit Kepesertaan BPJS KCU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011. Sesuai Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba. Jadi BPJS merupakan penyelenggara yang kinerjanya diawasi oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) untuk menyukseskan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). UU No 40 Tahun 2004 menyatakan bahwa Setiap penduduk diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit. Jaminan Kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Hal itu sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 UU No 40 Tahun 2004. Sehingga dengan prinsip seperti itu menjadi tanggungan bersama dan iuran menjadi terjangkau. Di Indonesia, model pembiayaan kesehatannya menggunakan model Social Health Insurance (SHI) yang mana pembiayaannya dibiayai pemberi kerja & pekerja sedangkan penduduk miskin dan terlantar dibiayai oleh Negara. Model tersebut juga dipakai oleh diterapkan di Negara Jerman, Korea, Taiwan, Filipina. BPJS Kesehatan yang pada sebelumnya merupakan PT Askes ini berbadan hukum publik dengan koordinasi lansung di bawah Presiden yang fungsinya mengelola Jaminan Kesehatan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Sebegai penyelenggara maka BPJS berfungsi mengembangkan Sistem Pelayanan, sistem pembayaran dan sistem kendali mutu biaya. Sifat kepesertaan Jaminan Kesehatan itu wajib mencakup seluruh Penduduk Indonesia sebagaimana ditetapkan melalui UU 40/2004 ttg SJSN : pasal 4 Perpres 111/2013 pasal 6 (1) . Kelompok peserta BPJS Kesehatan antara lain Penerima Bantuan Iuran (PBI) JK dan Bukan PBI JK (Pekerja Penerima Upah, Pekerja bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja). Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan meliputi : Pelayanan kesehatan tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik, Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan dan Pelayanan Katastropik. Banyak tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan untuk menyukseskan Progam JKN tersebut antara lain : demografi penduduk, pergeseran pola penyakit dari infeksi ringan ke penyakit degeneratif kronis, perkembangan teknologi kedokteran semakin maju, lemahnya posisi tawar menawar pasien saat berhadapan dengan pelayanan kesehatan, dan sakit berdampak sosial dan ekonomi. Untuk itu
BPJS Kesehatan berharap ada dukungan dan kerjasama semua pihak dalam pembangunan sistem pelayanan kesehatan yang bermutu.
Beberapa Persoalan Imlementasi Bpsjs Dilapangan
Oleh : Heru Sulistyo (LPP Unissula) Dilihat dari Undang-undang, betapa mulianya program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Namun di dalam pelaksanaannya masih masih banyak ditemukan permasalahan-permasalahan sehingga implementasi pelayanan kesehatan belum berjalan optimal. Sehingga muncul keluhan masyarakat tentang penyelenggaraan program Jamkes yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan baik dalam hal sosialisasi, administrasi, pelayanan, fasilitas kesehatan, tenaga medis, rumah sakit (rawat inap dan tindakan operasi) Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh LPP Unissula terkait penyelenggaraan Jamkes ini persoalan yang dikeluhkan masyarakat seperti persoalan administrasi, layanan, obat, rawat inap, dan kesejahteraan. Persoalan administrasi Rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan karena menerapkan alur pelayanan berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat pertama, yaitu puskesmas / dokter keluarga untuk mendapat rujukan. Bila pasien sakit di tengah malam, sementara puskemas dan dokter keluarga sudah tutup, periksa di IGD tetap membayar meskipun sudah membawa kartu BPJS. Penetapan keputusan rawat inap melalui IGD seringkali terlalu rigid (sesuai kriteria yang baku tanpa melihat kondisi pasien yang ada) dan terlalu lama. Persoalan pelayanan Masih ada perlakuan diskriminasi rumah sakit terhadap pengguna bpjs dalam memperoleh fasilitas kesehatan dibanding yang bukan bpjs (dianggap gratis, padahal membayar iuran). Sistem antrian pelayanan pengguna bpjs untuk mendapatkan fasilitas kesehatan sering dinomorduakan dengan alasan penuh Persoalan obat Obat yang diresepkan selama satu bulan hanya diberikan untuk jangka waktu 10 hari, sisanya harus membayar sendiri. Pembayaran obat yang tidak ditanggung sepenuhnya oleh bpjs (khususnya bila tidak masuk dalam kriteria bpjs). Persoalan rawat inap Pasien pengguna bpjs ketika harus rawat inap diarahkan oleh pihak rumah sakit untuk naik kelas dengan alasan kelas yang ada du bpjs penuh. Ketidatahuan masyarakat dampak naik kelas kamar rawat inap berimplikasi juga pada biaya dokter dan lain2. Penggantian biaya rawat inap oleh bpjs akibat naik kelas dengan penyakit yang sama, kelas yang sama seringkali berbeda besarannya Persoalan kesejahteraan
Terjadi penurunan layanan kesehatan dari para responden yang sebelumnya
telah memiliki layanan kesehatan tersendiri . Fenomena yang miskin membantu orang yang mapan secara ekonomi dalam layanan kesehatan. Dari persoalan yang timbul itu, LPP unissula merekomendasikan beberapa hal diantara adalah : 1. perlunya perbaikan koordinasi dan sinergi dalam menyatukan persepsi tentang pelayanan bpjs, diantara penyelenggara bpjs,fasilitas kesehatan (dokter,puskesmas, rumah sakit). 2. Meninjau ulang kembali berbagi item pelayanan kesehatan yang dapat di cover oleh bpjs. 3. Pemikiran ulang bahwa semua warga negara harus mengikuti program bpjs, khususnya bagi mereka yang sudah mampu / kaya.
PELAKSANAAN PROGRAM BPJS KESEHATAN
DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG Dr. H. Masyhudi AM, M.Kes Dirut RSI Sultan Agung Semarang BPJS diibaratkan bayi yang lahir prematur yang seharusnya dijaga dan dirawat dengan perlakuan khusus supaya tetap survive dan berkembang sebagaimana amanah Undang-undang. BPJS/JKN dalah upaya reformasi bahkan revolusi dalam sistem kesehatan , dimulai dari sub-sistem pembiayaan dan berdampak pada sub-sistem pelayanan . Terkait pelaksanaanya diperlukan monitoring, evaluasi dan perbaikan yang terus menerus karena JKN/BPJS menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia, sehingga seluruh rakyat berkepentingan. Regulasi JKN / BPJS memberikan dampak bagi Rumah Sakit Swasta. Rumah Sakit Swasta dapat (tidak harus) menjalin kerja sama dengan BPJS implikasinya RS Swasta pada posisi yang labil. Tidak ada perbedaan tarif antara RS Swasta dengan RS Pemerintah implikasinya Rumah Sakit Swasta harus berjuang keras untuk bisa tumbuh dan berkembang. Kemudian tidak boleh ada urun biaya, kecuali hanya yang naik kelas perawatan implikasinya dana dari orang kaya tidak bisa termanfaatkan pada layanan kesehatan, terutama pada Rumah Sakit Swasta. Selain itu RS Swasta belum bisa ikut dalam program e-catalog & epurchasingnya implikasinya Cost Rumah Sakit menjadi tinggi Terkait pelaksanaan pelayanan kesehatan, RSI Sultan Agung tetap melaksanakan sesuai dengan regulasi BPJS Kesehatan seperti Peserta BPJS harus membawa rujukan dari Faskes Primer atau Rumah Sakit yang lain, kecuali dalam kondisi emergensi. Selain itu terkait dengan rujukan dari PPK 1 bisa dirujuk langsung ke RSISA sebab RSI Sultan Agung termasuk PPK 2, yang tidak bisa dirujuk langsung ke PPK 3. Seluruh Layanan di RSI Sultan Agung bisa dimanfaatkan pasien BPJS, kecuali LASIX. Pelayanan pasien umum dan BPJS tidak dibedakan sama sekali dalam standar prosedur, perbedaan hanya dalam hal akomodasi sesuai kelas yang menjadi haknya. Tidak ada pembatasan jumlah TT di RSI Sultan Agung, Selama ada TT yang kosong bisa dimanfaatkan seluruhnya untuk pasien BPJS Dengan memahami betapa mulianya tujuan JKN maka RSIS berkomitmen : -
Tidak ada kuota kamar untuk peserta BPJS Kesehatan
Tidak ada iur biaya apabila sesuai hak kelas peserta Taat pada aturan/ketentuan JKN ( tidak melakukan fraud) Bersama-sama mencegah fraud
MENUJU BPJS KESEHATAN SYARIAH
H. Muhyiddin Ketua Kom. Fatwa MUI Jateng BPJS Kesehatan resmi beroperasi pada 1 januari 2014. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan MUI, Pelaksanaan program jaminan kesehatan oleh BPJS masih mengandung gharar, maysir, riba. Karena itu pada 29 Juni 2015, berdasarkan ijtima ulama memutuskan bahwa BPJS kesehatan tidak sesuai syariah. Sebagai upaya mencari solusinya, tetap status quo (darurat). Pemerintah harus melahirkan BPJS Syariah dengan demikian BPJS yang sudah ada menawarkan produk layanan syariah. Kedudukan JKN/BPJS sudah diatur dalam UU No. 40/2004 ttg Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24/2011 ttg BPJS. Kewajiban Negara memenuhi jaminan kesehatan masyarakat. JKN/BPJS merupakan asuransi kesehatan termurah dan lembaga dalam hal ini BPJS telah nyata memberikan layanan kesehatan masyarakat. Hal itu membuat keberadaan JKN/BPJS sagta dibutuhkan masyarakat, terutama masyarakat kalangan bawah (miskin). Semua penduduk/warga negara, pada tahun 2019 wajib ikut serta BPJS. Meskipun seperti itu menyisakan masalah seperti tidak/belum semua kebutuhan obat dicover BPJS kesehatan dan tidk/belum semua kebutuhan peserta dicover BPJS kesehatan. BPJS dianggap belum sesuai syariah karena hal-hal berikut ini : 1. Transfer of risk. resiko pertanggungan dialihkan kepada BPJS. Itu tidak sesuai dengan prinsip asuransi syariah yaitu ditanggung bersama. (BPJS memang mrpk asuransi sosial konvensional). 2. Paket yg diberikan tidak jelas, hak pertanggungan tidak pasti jadi berpotensial gharar. 3. Pengelolaan/penyimpanan dana di bank konvensional, tidak di bank syariah ( riba ) 4. Premi yg dibayarkan tidak dengan akad hibah dengan niat tabarru (non profit), atau taawun (bantu-membantu). Sehingga cenderung bersifat untung-untungan ( maysir ). Maka dari itu diperlukan BPJS Syariah. Alasannya adalah sebagai berikut : 1. BPJS kesehatan merupakan asuransi sosial konvensional wajib diikuti oleh semua warga negara. Target waktunya th 2019. 2. Setiap asuransi konvensional yg mengandung gharar, maysir, riba, itu tdk sesuai syariah, hukumnya haram. 3. MUI melalui fatwa DSN mengharamkan asuransi konvensional, dan memiliki pedoman fatwa asuransi syariah. 4. Selama BPJS tdk menawarkan produk layanan syariah, maka ikut serta BPJS kesehatan bagi masyarakat miskin dibolehkan karena dlarurat
5. MUI tdk bermaksud menghambat jalannya BPJS konvensional, tapi ingin ada alternatif produk BPJS syariah.
BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Hukum Islam
Oleh : KH Ubaidillah Sodaqoh Rois Syuriah PWNU Jateng Secara prinsip, hasil ijtima ulama MUI mengenai ketidaksyariahan BPJS tidak jauh berbeda dengan hasil muktamar ormas Muhamaddiyah maupun NU. Hanya saja penyampaiannya atau bahasanya berbeda. DIlihat dari UU dan Peraturannya, keberadaan BPJS itu merupakan hal yang darurat. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan masyarakat akan jaminan kesehatan sebgaimana diatur dalam UU No. 40/2004 ttg Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24/2011 ttg BPJS. Jika dilihat dari UU bukan dilihat dari pelaksanaannya, maka BPJS sudah sesuai dengan syariah. Salah satu keputusan Muktamar NU, menegaskan bahwa BPJS Kesehatan halal. Hal itu karena BPJS itu tergolong dalam konsep syirkah taawwun yang sifatnya gotong royong (sukarela), bukan seperti asuransi yang menjadi dasar dari fatwa haram oleh MUI. Karena itu BPJS hukumnya boleh karena sifatnya syirkah taawwun bukan asuransi. Pada Intinya hasil muktamar itu lebih menekankan rekomendasi perbaikan ke sistem-sistem yang tidak sesuai syariah. BPJS itu jika bertujuan baik untuk kemaslahatan umat maka hukumnya jadi wajib dipatuhi. Namun prakteknya perlu dikaji agar sesuai syariah.