Anda di halaman 1dari 7

BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Hukum Islam

Oleh : Prof Dr H Ahmad Rofiq MA


Keputusan MUI yang merekomendasikan bahwa BPJS Kesehatan belum sesuai
syariah menimbulkan kontroversi baik dari kalangan DPR, Ormas seperti NU dan
Muhammadiyah, termasuk dari yang "merasa ahli" tetapi sesungguhnya tidak
atau belum mengerti tentang syariah.
Salah satu keputusan Muktamar NU, menegaskan bahwa BPJS Kesehatan halal.
Hal itu karena BPJS itu tergolong dalam konsep syirkah taawwun yang sifatnya
gotong royong (sukarela), bukan seperti asuransi yang menjadi dasar dari fatwa
haram oleh MUI. Karena itu BPJS hukumnya boleh karena sifatnya syirkah
taawwun bukan asuransi.
Namun ada sejumlah catatan yang harus dilakukan pemerintah terkait BPJS
kesehatan tersebut. Pemerintah harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat
tentang sifat gotong royong atau sukarela dari BPJS Kesehatan itu agar tidak
memahami BPJS Kesehatan sebagai asuransi seperti pada umumnya. BPJS
hendaknya dipahami sebagai sedekah dan saling membantu, sehingga tidak
sama dengan asuransi yang profit.
Muhammadiyah pada saat Muktamar di Makassar, menyebut BPJS masih belum
jelas, apakah halal atau haram.
Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin membenarkan
bahwa BPJS haram lantaran tak sesuai syariat islam. sistem BPJS Kesehatan
konvensional yang berlaku selama ini mengandung transaksional yang belum
mencerminkan konsep ideal akan jaminan sosial dalam Islam. Kebijakan tersebut
dinilai mengandung unsur gharar (ketidakjelasan), maisir (berjudi) dan riba.
Salah satunya mengenai bunga dua persen sebagai denda jika peserta
menunggak bayar bulanan.
Maka keluarlah fatwa BPJS tidak sesuai syariah karena ada bunga dan akad yang
tak sesuai dengan syariah. serta dipertanyakan asal dana yang diinvestasikan.
Untuk itu (versi MUI) solusinya dengan membuka sistem BPJS Kesehatan sesuai
dengan prinsip syariah. Seperti halnya pegadaian syariah, bank syariah, asuransi
syariah dan produk-produk syariah lainnya. Dengan menjalankan BPJS
berdasarkan peraturan serta melibatkan lembaga keuangan syariah.
Prof Dr H Ahmad Rofiq MA menyatakan bahwa pada intinya yang menjadi
persoalan pada BPJS adalah tentang apa dan bagaimana pengelolaan dananya?
Penempatan dimana? Harus ada kesepakatan dan dikirim ke MUI.

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL


BPJS Kesehatan menurut Peraturan Perundangan
Oleh : Hardian Retno Satuti, SKM selaku Kepala Unit Kepesertaan
BPJS KCU
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS merupakan lembaga yang
dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di Indonesia menurut
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun
2011. Sesuai Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional, BPJS merupakan badan hukum nirlaba. Jadi BPJS merupakan
penyelenggara yang kinerjanya diawasi oleh DJSN (Dewan Jaminan Sosial
Nasional) untuk menyukseskan program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional).
UU No 40 Tahun 2004 menyatakan bahwa Setiap penduduk diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak apabila terjadi hal-hal yang dapat
mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit.
Jaminan Kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial dan prinsip ekuitas. Hal itu sesuai dengan Pasal 19 ayat 1 UU No
40 Tahun 2004. Sehingga dengan prinsip seperti itu menjadi tanggungan
bersama dan iuran menjadi terjangkau.
Di Indonesia, model pembiayaan kesehatannya menggunakan model Social
Health Insurance (SHI) yang mana pembiayaannya dibiayai pemberi kerja &
pekerja sedangkan penduduk miskin dan terlantar dibiayai oleh Negara. Model
tersebut juga dipakai oleh diterapkan di Negara Jerman, Korea, Taiwan, Filipina.
BPJS Kesehatan yang pada sebelumnya merupakan PT Askes ini berbadan
hukum publik dengan koordinasi lansung di bawah Presiden yang fungsinya
mengelola Jaminan Kesehatan untuk seluruh masyarakat Indonesia. Sebegai
penyelenggara maka BPJS berfungsi mengembangkan Sistem Pelayanan, sistem
pembayaran dan sistem kendali mutu biaya.
Sifat kepesertaan Jaminan Kesehatan itu wajib mencakup seluruh Penduduk
Indonesia sebagaimana ditetapkan melalui UU 40/2004 ttg SJSN : pasal 4 Perpres
111/2013 pasal 6 (1) . Kelompok peserta BPJS Kesehatan antara lain Penerima
Bantuan Iuran (PBI) JK dan Bukan PBI JK (Pekerja Penerima Upah, Pekerja bukan
Penerima Upah dan Bukan Pekerja).
Manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) BPJS Kesehatan meliputi : Pelayanan kesehatan
tingkat pertama, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik, Pelayanan kesehatan rujukan tingkat
lanjutan, yaitu pelayanan kesehatan dan Pelayanan Katastropik.
Banyak tantangan yang dihadapi BPJS Kesehatan untuk menyukseskan Progam JKN tersebut antara
lain : demografi penduduk, pergeseran pola penyakit dari infeksi ringan ke penyakit degeneratif
kronis, perkembangan teknologi kedokteran semakin maju, lemahnya posisi tawar menawar pasien
saat berhadapan dengan pelayanan kesehatan, dan sakit berdampak sosial dan ekonomi. Untuk itu

BPJS Kesehatan berharap ada dukungan dan kerjasama semua pihak dalam pembangunan sistem
pelayanan kesehatan yang bermutu.

Beberapa Persoalan Imlementasi Bpsjs Dilapangan


Oleh : Heru Sulistyo (LPP Unissula)
Dilihat dari Undang-undang, betapa mulianya program JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional). Namun di dalam pelaksanaannya masih masih banyak ditemukan
permasalahan-permasalahan sehingga implementasi pelayanan kesehatan
belum berjalan optimal. Sehingga muncul keluhan masyarakat tentang
penyelenggaraan program Jamkes yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan baik
dalam hal sosialisasi, administrasi, pelayanan, fasilitas kesehatan, tenaga medis,
rumah sakit (rawat inap dan tindakan operasi)
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh LPP Unissula terkait penyelenggaraan
Jamkes ini persoalan yang dikeluhkan masyarakat seperti persoalan administrasi,
layanan, obat, rawat inap, dan kesejahteraan.
Persoalan administrasi
Rumitnya alur pelayanan BPJS Kesehatan karena menerapkan alur pelayanan
berjenjang. Sebelum ke rumah sakit, peserta wajib terlebih dulu ke faskes tingkat
pertama, yaitu puskesmas / dokter keluarga untuk mendapat rujukan. Bila pasien
sakit di tengah malam, sementara puskemas dan dokter keluarga sudah tutup,
periksa di IGD tetap membayar meskipun sudah membawa kartu BPJS.
Penetapan keputusan rawat inap melalui IGD seringkali terlalu rigid (sesuai
kriteria yang baku tanpa melihat kondisi pasien yang ada) dan terlalu lama.
Persoalan pelayanan
Masih ada perlakuan diskriminasi rumah sakit terhadap pengguna bpjs dalam
memperoleh fasilitas kesehatan dibanding yang bukan bpjs (dianggap gratis,
padahal membayar iuran). Sistem antrian pelayanan pengguna bpjs untuk
mendapatkan fasilitas kesehatan sering dinomorduakan dengan alasan penuh
Persoalan obat
Obat yang diresepkan selama satu bulan hanya diberikan untuk jangka waktu 10
hari, sisanya harus membayar sendiri. Pembayaran obat yang tidak ditanggung
sepenuhnya oleh bpjs (khususnya bila tidak masuk dalam kriteria bpjs).
Persoalan rawat inap
Pasien pengguna bpjs ketika harus rawat inap diarahkan oleh pihak rumah sakit
untuk naik kelas dengan alasan kelas yang ada du bpjs penuh. Ketidatahuan
masyarakat dampak naik kelas kamar rawat inap berimplikasi juga pada biaya
dokter dan lain2. Penggantian biaya rawat inap oleh bpjs akibat naik kelas
dengan penyakit yang sama, kelas yang sama seringkali berbeda besarannya
Persoalan kesejahteraan

Terjadi penurunan layanan kesehatan dari para responden yang sebelumnya


telah memiliki layanan kesehatan tersendiri . Fenomena yang miskin membantu
orang yang mapan secara ekonomi dalam layanan kesehatan.
Dari persoalan yang timbul itu, LPP unissula merekomendasikan beberapa hal
diantara adalah :
1. perlunya perbaikan koordinasi dan sinergi dalam menyatukan persepsi
tentang pelayanan bpjs, diantara penyelenggara bpjs,fasilitas kesehatan
(dokter,puskesmas, rumah sakit).
2. Meninjau ulang kembali berbagi item pelayanan kesehatan yang dapat di
cover oleh bpjs.
3. Pemikiran ulang bahwa semua warga negara harus mengikuti program bpjs,
khususnya bagi mereka yang sudah mampu / kaya.

PELAKSANAAN PROGRAM BPJS KESEHATAN


DI RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG
Dr. H. Masyhudi AM, M.Kes
Dirut RSI Sultan Agung Semarang
BPJS diibaratkan bayi yang lahir prematur yang seharusnya dijaga dan dirawat
dengan perlakuan khusus supaya tetap survive dan berkembang sebagaimana
amanah Undang-undang. BPJS/JKN dalah upaya reformasi bahkan revolusi dalam
sistem kesehatan , dimulai dari sub-sistem pembiayaan dan berdampak pada
sub-sistem pelayanan . Terkait pelaksanaanya diperlukan monitoring, evaluasi
dan perbaikan yang terus menerus karena JKN/BPJS menyangkut hajat hidup
seluruh rakyat Indonesia, sehingga seluruh rakyat berkepentingan.
Regulasi JKN / BPJS memberikan dampak bagi Rumah Sakit Swasta. Rumah Sakit
Swasta dapat (tidak harus) menjalin kerja sama dengan BPJS implikasinya RS
Swasta pada posisi yang labil. Tidak ada perbedaan tarif antara RS Swasta
dengan RS Pemerintah implikasinya Rumah Sakit Swasta harus berjuang keras
untuk bisa tumbuh dan berkembang. Kemudian tidak boleh ada urun biaya,
kecuali hanya yang naik kelas perawatan implikasinya dana dari orang kaya
tidak bisa termanfaatkan pada layanan kesehatan, terutama pada Rumah Sakit
Swasta. Selain itu RS Swasta belum bisa ikut dalam program e-catalog & epurchasingnya implikasinya Cost Rumah Sakit menjadi tinggi
Terkait pelaksanaan pelayanan kesehatan, RSI Sultan Agung tetap melaksanakan
sesuai dengan regulasi BPJS Kesehatan seperti Peserta BPJS harus membawa
rujukan dari Faskes Primer atau Rumah Sakit yang lain, kecuali dalam kondisi
emergensi. Selain itu terkait dengan rujukan dari PPK 1 bisa dirujuk langsung ke
RSISA sebab RSI Sultan Agung termasuk PPK 2, yang tidak bisa dirujuk langsung
ke PPK 3.
Seluruh Layanan di RSI Sultan Agung bisa dimanfaatkan pasien BPJS, kecuali
LASIX. Pelayanan pasien umum dan BPJS tidak dibedakan sama sekali dalam
standar prosedur, perbedaan hanya dalam hal akomodasi sesuai kelas yang
menjadi haknya. Tidak ada pembatasan jumlah TT di RSI Sultan Agung, Selama
ada TT yang kosong bisa dimanfaatkan seluruhnya untuk pasien BPJS
Dengan memahami betapa mulianya tujuan JKN maka RSIS berkomitmen :
-

Tidak ada kuota kamar untuk peserta BPJS Kesehatan


Tidak ada iur biaya apabila sesuai hak kelas peserta
Taat pada aturan/ketentuan JKN ( tidak melakukan fraud)
Bersama-sama mencegah fraud

MENUJU BPJS KESEHATAN SYARIAH


H. Muhyiddin
Ketua Kom. Fatwa MUI Jateng
BPJS Kesehatan resmi beroperasi pada 1 januari 2014. Berdasarkan hasil survey
yang dilakukan MUI, Pelaksanaan program jaminan kesehatan oleh BPJS masih
mengandung gharar, maysir, riba. Karena itu pada 29 Juni 2015, berdasarkan
ijtima ulama memutuskan bahwa BPJS kesehatan tidak sesuai syariah.
Sebagai upaya mencari solusinya, tetap status quo (darurat). Pemerintah
harus melahirkan BPJS Syariah dengan demikian BPJS yang sudah ada
menawarkan produk layanan syariah.
Kedudukan JKN/BPJS sudah diatur dalam UU No. 40/2004 ttg Sistem Jaminan
Sosial Nasional dan UU No. 24/2011 ttg BPJS. Kewajiban Negara memenuhi
jaminan kesehatan masyarakat. JKN/BPJS merupakan asuransi kesehatan
termurah dan lembaga dalam hal ini BPJS telah nyata memberikan layanan
kesehatan masyarakat.
Hal itu membuat keberadaan JKN/BPJS sagta dibutuhkan masyarakat, terutama
masyarakat kalangan bawah (miskin). Semua penduduk/warga negara, pada
tahun 2019 wajib ikut serta BPJS. Meskipun seperti itu menyisakan masalah
seperti tidak/belum semua kebutuhan obat dicover BPJS kesehatan dan
tidk/belum semua kebutuhan peserta dicover BPJS kesehatan.
BPJS dianggap belum sesuai syariah karena hal-hal berikut ini :
1. Transfer of risk. resiko pertanggungan dialihkan kepada BPJS. Itu tidak sesuai
dengan prinsip asuransi syariah yaitu ditanggung bersama. (BPJS memang
mrpk asuransi sosial konvensional).
2. Paket yg diberikan tidak jelas, hak pertanggungan tidak pasti jadi
berpotensial gharar.
3. Pengelolaan/penyimpanan dana di bank konvensional, tidak di bank syariah (
riba )
4. Premi yg dibayarkan tidak dengan akad hibah dengan niat tabarru (non
profit), atau taawun (bantu-membantu). Sehingga cenderung bersifat
untung-untungan ( maysir ).
Maka dari itu diperlukan BPJS Syariah. Alasannya adalah sebagai berikut :
1. BPJS kesehatan merupakan asuransi sosial konvensional wajib diikuti oleh
semua warga negara. Target waktunya th 2019.
2. Setiap asuransi konvensional yg mengandung gharar, maysir, riba, itu tdk
sesuai syariah, hukumnya haram.
3. MUI melalui fatwa DSN mengharamkan asuransi konvensional, dan memiliki
pedoman fatwa asuransi syariah.
4. Selama BPJS tdk menawarkan produk layanan syariah, maka ikut serta BPJS
kesehatan bagi masyarakat miskin dibolehkan karena dlarurat

5. MUI tdk bermaksud menghambat jalannya BPJS konvensional, tapi ingin ada
alternatif produk BPJS syariah.

BPJS Kesehatan Dalam Perspektif Hukum Islam


Oleh : KH Ubaidillah Sodaqoh
Rois Syuriah PWNU Jateng
Secara prinsip, hasil ijtima ulama MUI mengenai ketidaksyariahan BPJS tidak jauh
berbeda dengan hasil muktamar ormas Muhamaddiyah maupun NU. Hanya saja
penyampaiannya atau bahasanya berbeda.
DIlihat dari UU dan Peraturannya, keberadaan BPJS itu merupakan hal yang
darurat. Pemerintah harus memenuhi kebutuhan masyarakat akan jaminan
kesehatan sebgaimana diatur dalam UU No. 40/2004 ttg Sistem Jaminan Sosial
Nasional dan UU No. 24/2011 ttg BPJS. Jika dilihat dari UU bukan dilihat dari
pelaksanaannya, maka BPJS sudah sesuai dengan syariah.
Salah satu keputusan Muktamar NU, menegaskan bahwa BPJS Kesehatan halal.
Hal itu karena BPJS itu tergolong dalam konsep syirkah taawwun yang sifatnya
gotong royong (sukarela), bukan seperti asuransi yang menjadi dasar dari fatwa
haram oleh MUI. Karena itu BPJS hukumnya boleh karena sifatnya syirkah
taawwun bukan asuransi.
Pada Intinya hasil muktamar itu lebih menekankan rekomendasi perbaikan ke
sistem-sistem yang tidak sesuai syariah. BPJS itu jika bertujuan baik untuk
kemaslahatan umat maka hukumnya jadi wajib dipatuhi. Namun prakteknya
perlu dikaji agar sesuai syariah.

Anda mungkin juga menyukai