Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS OBSTETRI

PREEKLAMSIA BERAT DAN SOLUSIO PLASENTA

I Gusti Agung Putra Mahautama


H1A 008 020

PEMBIMBING :
dr. Dewi Wijayanti, Sp.OG

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI SMF KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN RSUP NTB DAN RSUD
PRAYA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
2012

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus yang berjudul Preeklamsia Berat dan Solusio Plasenta ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Daerah Praya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
1. Dr. A. Rusdhy H. Hamid, Sp.OG, selaku Ketua SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP
NTB.
2. Dr. I Made W. Mahayasa, Sp.OG, selaku Koordinator Pendidikan SMF Obstetri dan
Ginekologi RSUP NTB.
3. Dr. Dewi Wijayanti, Sp.OG, selaku pembimbing
4. Dr. H. Doddy A. K., Sp.OG (K), selaku supervisor
5. Dr. Agus Thoriq, Sp.OG, selaku supervisor
6. Dr. Edi Prasetyo Wibowo, Sp.OG, selaku supervisor
7. Dr. I Made Putra Juliawan, Sp.OG, selaku supervisor
8. Dr. Puspa Ambara, SP.OG, selaku supervisor
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari
sebagai dokter. Terima kasih.

Mataram, 15 Oktober 2012

Penulis
2

BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian maternal
di Indonesia pada tahun 1998-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut
masih cukup jauh dari tekad pemerintah yang menginginkan penurunan angka kematian
maternal menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup untuk tahun 2010. Angka kematian
maternal ini merupakan yang tertinggi di antara Negara negara ASEAN. Angka kematian
maternal di Singapura dan Malaysia masing-masing 5 dan 70 orang per 100.000 kelahiran
hidup (Ariani, 2005).
Penyebab utama kematian ibu di Indonesia di samping perdarahan adalah
preeklampsia atau eklampsia (Rozikhan, 2005). Angka kejadian preeklampsia berkisar antara
515% dari seluruh kehamilan di seluruh dunia. Di rumah sakit Cipto Mangunkusumo
ditemukan 400 -500 kasus/40005000 persalinan per tahun. Sampai saat ini etiologinya yang
pasti belum diketahui. Terdapat beberapa hipotesis mengenai etiologi preeklampsia antara
lain iskemik plasenta, maladaptasi imun dan faktor genetik. Akhir-akhir ini disfungsi endotel
dianggap berperan dalam patogenesis preeklampsia (Dharma, 2005).
Di Indonesia, yang paling banyak menyebabkan kematian maternal adalah perdarahan.
(Prawirohardjo, 2002). Perdarahan pada ibu hamil dibedakan atas perdarahan antepartum
(perdarahan sebelum janin lahir) dan perdarahan postpartum (setelah janin lahir). Solusio
plasenta merupakan 30% dari seluruh kejadian perdarahan antepartum yang terjadi
(Pritchard, 2001; WHO, 2003).
Solusio plasenta merupakan penyakit kehamilan yang relatif umum dan dapat secara
serius membahayakan keadaan ibu. Seorang ibu yang pernah mengalami solusio plasenta,
mempunyai resiko yang lebih tinggi mengalami kekambuhan pada kehamilan berikutnya.
Solusio plasenta juga cenderung menjadikan morbiditas dan bahkan mortalitas pada janin dan
bayi baru lahir. Angka kematian janin akibat solusio plasenta berkisar antara 50-80%. Tetapi
ada literatur lain yang menyebutkan angka kematian mendekati 100% (Pritchard, 2001).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 DEFINISI PREEKLAMPSIA


Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik preeklampsia meliputi
tiga elemen, yaitu onset baru hipertensi pada wanita yang sebelumnya normotensif, onset
baru proteinuria (pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan onset baru edema
yang bermakna (Pangemanan, 2002).
1.2 KLASIFIKASI PREEKLAMSIA
1. Preeklamsia Ringan
Timbulnya hipertensi 140/90 mmHg sampai < 160/110 mm Hg yang disertai
proteinuria (0,3 gr / dalam 24 jam atau secara kualitatif (+) dan atau edema setelah
2

umur kehamilan 20 minggu.


Preeklamsia Berat
Timbulnya hipertensi 160 /110 mmHg disertai proteinuria (> 5 gram / 24 jam atau
kualitatif ( +++ ) dan atau edema pada kehamilan setelah 20 minggu.

1.3 INSIDEN DAN FAKTOR RESIKO PREEKLAMPSIA

Angka kejadian preeklampsia dan eklampsia adalah 6%-8% di antara seluruh wanita
hamil di beberapa rumah sakit di Indonesia angka ini sangat bervariasi seperti yang terlihat
pada tabel dibawah ini (Roeshadi, 2006) :
Tabel 1. Angka Kejadian Preeklampsia dan Eklampsia di Beberapa Rumah Sakit di Indonesia
Tahun
1993 1997
1996 1997
1995 1998
2000 2002
2002

Rumah Sakit
RSPM
12 Rumah Sakit
RSHS
RSHAM-RSPM
RSCM

Persent (%)
5,75
0,8 14
13,0
7,0
9,17

Penulis
Simanjuntak J
Tribawono A
Maizia
Girsang E
Priyatini

Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya preeklampsia,
tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya
preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:
1. Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia atau riwayat
keluarga dengan preeklampsia maka akan meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia
4

2. Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi penghambat (blocking


antibodies) belum sempurna sehingga meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia
Perkembangan preklamsia semakin meningkat pada umur kehamilan pertama dan
kehamilan dengan umur yang ekstrem, seperti terlalu muda atau terlalu tua
3. Kegemukan
4. Kehamilan ganda. Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang mempuyai bayi
kembar atau lebih
5. Riwayat penyakit tertentu. Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tertentu
sebelumnya, memiliki risiko terjadinya preeklampsia. Penyakit tersebut meliputi
hipertensi kronik, diabetes, penyakit ginjal atau penyakit degenerati seperti reumatik
arthritis atau lupus

2.1 ETIOLOGI PREEKLAMPSIA


Sampai dengan saat ini etiologi pasti dari preeklampsia/eklampsia masih belum
diketahui. Ada beberapa teori mencoba menjelaskan perkiraan etiologi dari kelainan tersebut
di atas, sehingga kelainan ini sering dikenal sebagai the diseases of theory. Adapun teori-teori
tersebut antara lain (Sudhaberata, 2001) :
1. Peran Prostasiklin dan Tromboksan
Pada preeklampsia/eklampsia didapatkan kerusakan pada endotel vaskuler, sehingga
terjadi penurunan produksi prostasiklin (PGI 2) yang pada kehamilan normal meningkat,
aktivasi penggumpalan dan fibrinolisis, yang kemudian akan diganti trombin dan plasmin.
Trombin akan mengkonsumsi antitrombin III, sehingga terjadi deposit fibrin. Aktivasi
trombosit menyebabkan pelepasan tromboksan (TXA2) dan serotonin, sehingga terjadi
vasospasme dan kerusakan endotel.
2. Peran Faktor Imunologis
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan tidak timbul lagi pada kehamilan
berikutnya. Hal ini dapat diterangkan bahwa pada kehamilan pertama pembentukan
blocking antibodies terhadap antigen placenta tidak sempurna, yang semakin sempurna
pada kehamilan berikutnya. Fierlie FM (1992) mendapatkan beberapa data yang
mendukung adanya sistem imun pada penderita preeklampsia/eklampsia :
a. Beberapa wanita dengan preeklampsia/eklampsia mempunyai komplek imun dalam
serum

b. Beberapa studi juga mendapatkan adanya aktivasi sistem komplemen pada


preeklampsia/eklampsia diikuti dengan proteinuri.
3. Peran Faktor Genetik/Familial
Beberapa

bukti

yang

menunjukkan

peran

faktor

genetik

pada

kejadian

preeklampsia/eklampsia antara lain :


a. Preeklampsia hanya terjadi pada manusia.
b. Terdapatnya kecendrungan meningkatnya frekwensi preeklampsia/eklampsia pada
anak-anak dari ibu yang menderita preeklampsia/eklampsia.
c. Kecendrungan meningkatnya frekwensi preeklampsia/eklampsia pada anak dan cucu
ibu hamil dengan riwayat PE-E dan bukan pada ipar mereka.
4. Peran Renin-Angiotensin-Aldosteron System (RAAS)
2.2 PATOFISIOLOGI PREEKLAMPSIA
Saat ini terdapat empat hipotesa yang mendasari patogenesa dari preeklampsia,
sebagai berikut (Roeshadi, 2006) :
1. Iskemia Plasenta
Peningkatan deportasi sel tropoblast yang akan menyebabkan kegagalan invasi ke arteri
sperialis dan akan menyebabkan iskemia pada plasenta.
2. Mal Adaptasi Imun
Terjadinya mal adaptasi imun dapat menyebabkan dangkalnya invasi sel tropoblast pada
arteri spiralis. Dan terjadinya disfungsi endothel dipicu oleh pembentukan sitokin, enzim
proteolitik, dan radikal bebas.
3. Genetic Inprenting
Terjadinya preeklampsia dan eklampsia mungkin didasarkan pada gen resesif tunggal atau
gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Penetrasi mungkin tergantung pada
genotip janin.
4. Perbandingan Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan Toxicity Preventing Activity
(TxPA)
Sebagai kompensasi untuk peningkatan energi selama kehamilan, asam lemak nonesterifikasi akan dimobilisasi. Pada wanita hamil dengan kadar albumin yang rendah,
pengangkatan kelebihan asam lemak non-esterifikasi dari jaringan lemak ke dalam hepar
akan menurunkan aktivitas antitoksik albumin sampai pada titik di mana VLDL
terekspresikan. Jika kadar VLDL melebihi TxPA maka efek toksik dari VLDL akan
6

muncul. Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi kadang
saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia
plasenta.
2.3 GAMBARAN KLINIS PREEKLAMPSIA
Biasanya tanda-tanda preeklampsia timbul dalam urutan: pertambahan berat badan yang
berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada preeklampsia ringan
tidak ditemukan gejala-gejala subjektif. Pada preeklampsia berat didapatkan sakit kepala di
daerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau
muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun meningkat lebih
tinggi, edema menjadi lebih umum, dan proteinuria bertambah banyak (Rachimhadhi, 2006).
Biasanya sindroma ini muncul pada akhir trimester kedua sampai ketiga kehamilan.
Gejalanya berkurang atau menghilang setelah melahirkan sehingga terapi definitifnya
mengakhiri kehamilan. Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang
dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver
enzyme, low platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan
kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat janin, berat
badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD) (Dharma, 2005).

2.4 DIAGNOSIS PREEKLAMPSIA


Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan mortalitas rendah
bagi ibu dan anaknya. Pada umumnya diagnosis preeklampsia didasarkan atas adanya dua
dari trias tanda utama: hipertensi, edema, dan proteinuria. Adanya satu tanda harus
menimbulkan kewaspadaan oleh karena cepat tidaknya penyakit meningkat tidak dapat
diramalkan, dan bila eklamsia terjadi maka prognosis bagi ibu dan janin menjadi jauh lebih
buruk (Rachimhadhi, 2006).
Diferensial diagnosis antara preeklamsia dengan hipertensi menahun atau penyakit ginjal
tidak jarang menimbulkan kesukaran. Pada hipertensi menahun, adanya tekanan darah yang
meninggi sebelum hamil, pada hamil muda, atau 6 bulan postpartum akan sangat berguna
untuk membuat diagnosis. Pemeriksaan funduskopi juga berguna karena perdarahan dan
eksudat jarang ditemukan pada preeklampsia, kelainan tersebut biasanya menunjukkan
7

hipertensi menahun. Untuk diagnosis penyakit ginjal saat timbulnya proteinuria banyak
menolong. Proteinuria pada preeklampsia jarang timbul sebelum triwulan ketiga, sedangkan
pada penyakit ginjal timbul lebih dahulu (Rachimhadhi, 2006).

2.5 PENATALAKSANAAN PREEKLAMPSIA


Preeklamsia Ringan
1. Rawat Jalan

Cukup istirahat
Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam)
Tidak perlu diberi obat-obatan
Pantau tekanan darah, pemeriksaan urin (proteinuria), refleks patella dan

kondisi janin.
Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya pre-

eklampsia berat dan eklampsia.


Kunjungan ulang setiap 1 minggu

2. Rawat Inap
a. Kriteria rawat inap :

Bila dalam pengobatan 2 minggu tidak ada perbaikan

Cenderung menuju gejala pre-eklampsia berat

Hasil pemeriksaan kesejahteraan janin meragukan

atau jelek

(USG/KTG)
b. Pengobatan / evaluasi selama rawat inap :

Tirah baring

Pemeriksaan laboratorium : Hb, hematokrit, urine lengkap, asam urat


darah, trombosit, fungsi hati, fungsi ginjal.
c. Konsultasi dengan Bagian lain :

SMF Mata

SMF Penyakit Dalam

SMF Penyakit Jantung, dll


d. Evaluasi hasil pengobatan
Pemeriksaan kesejahteraan janin ( fetal well being )
Bila jelek : Terminasi kehamilan
Bila ragu
: Ulangi pemeriksaan kesejahteraan janin
Bila baik
:
Usia kehamilan < 37 minggu
Bila tensi normal, persalinan ditunggu sampai aterm.
Bila tensi turun tetapi tidak mencapai normal, kehamilan dapat
-

diakhiri pada umur kehamilan > 37 minggu.


Usia kehamilan 37 minggu
8

Bila tensi normal, persalinan ditunggu sampai inpartu.


Bila tensi tidak mencapai normal dilakukan terminasi.
Cara persalinan
Pervaginam bila tidak ada kontra indikasi
Bila perlu mempercepat kala II (Ekstraksi Vakum/Forseps)

Preeklamsia Berat
Perawatan Konservatif
1. Bila umur kehamilan < 37 minggu, tanpa adanya keluhan subyektif dengan keadaan janin
baik.
2. Pengobatan dilakukan di Kamar Bersalin / Ruang Isolasi
a. Tirah baring dengan miring ke satu sisi (kiri)
b. Infus Dekstrose 5 %, 20 tts/menit
c. Pasang kateter tetap
d. Pemberian obat anti kejang : Magnesium Sulfat ( MgSo4 )

Langsung berikan dosis pemeliharaan MgSO4 2 g/jam IV

Caranya :

1) Siapkan larutan infus Dekstrose 5% atau NaCL 0,9% 500 cc


2) Masukkan MgSO4 40% 30 cc ke dalam 500 cc larutan infus

3) Atur tetesan 28 tetes/menit (1 kolf/ 6 jam)


4) Monitor jumlah tetesan, bersamaan dengan monitor tanda
vital

Syarat syarat pemberian MgSO4 :


1) Harus tersedia antidotum

MgSO4 yaitu Calcium Glukonas

10% (1 gr dalam 10 cc) diberikan IV pelan (3 menit)


2) Refleks patella (+)
3) Frekuensi pernafasan > 16 X / menit
4) Produksi Urine > 100cc dalam 4 jam sebelumnya
e. Pemberian anti hipertensi (bila tekanan darah 180/110 mm Hg)

Injeksi Clonidin 1 ampul (0,15 mg/cc) dilarutkan/diencerkan dalam larutan Dekstrose


5% 10 cc. Mula-mula disuntikkan 5 cc IV perlahan-lahan selama 5 menit. Kemudian
setelah 5 menit tekanan darah diukur bila belum ada penurunan maka diberikan lagi 5
cc IV perlahan-lahan selama 5 menit. Injeksi Clonidin dapat diberikan tiap 4 jam
sampai tekanan darah diastolik normal.
f.

Pemeriksaan Laboratorium

Hb, Trombosit, Hematokrit, Asam Urat

Urine lengkap dan produksi urine 24 jam

Fungsi hati

Fungsi ginjal

g. Konsultasi

SMF . Penyakit Dalam

SMF . Mata

SMF . Jantung, dll.

3. Pengobatan dan evaluasi selama rawat inap di Kamar Bersalin


a. Tirah Baring
b. Medikamentosa

Nifedipin 3 x 10 mg (po).

Roboransia

c. Pemeriksaan Laboratorium :

Hb, Trombosit, Hematokrit, asam urat

Urine lengkap dan produksi urine 24 jam

Fungsi hati

Fungsi Ginjal

d. Diet biasa
e. Dilakukan penilaian kesejahteraan janin (KTG / USG)
4. Perawatan Konservatif dianggap gagal bila :
a. Adanya tanda-tanda Impending Eklampsia ( keluhan subyektif )
b. Penilaian kesejahteraan janin jelek
c. Kenaikan tekanan darah progresif
d. Adanya Sindroma HELLP
e. Adanya kelainan fungsi ginjal

10

5. Perawatan konservatif dianggap berhasil bila : penderita sudah mencapai perbaikan


dengan tanda-tanda pre eklampsia ringan dan perawatan dilanjutkan sekurang-kurangnya
selama 3 hari lagi kemudian penderita boleh pulang.
6. Bila perawatan konservatif gagal dilakukan terminasi.
(Doddy, 2008)
Perawatan Aktif
1. Indikasi
a. Penilaian kesejahteraan janin jelek
b. Adanya keluhan subyektif ( Impending Eklampsia )
c. Adanya sindroma HELLP
d. Kehamilan Aterm
e. Perawatan konservatif gagal
f. Perawatan selama 24 jam, tekanan darah tetap 160 / 110 mmHg
2. Pengobatan Medikamentosa
a. Tirah baring miring ke satu sisi ( kiri )
b. Infus Dekstrose 5% 20 tetes / menit
c. Pemberian MgSO4

Dosis Awal : Berikan MgSO4 4 g IV (bolus)


Caranya :

1) Masukkan MgSO4 40 % 10 cc ke dalam spuit 20 cc


2) Tambahkan aquadest 10 cc
3) Berikan secara IV perlahan (5-10 menit)
4) Bila tidak tersedia spuit 20 cc, dapat menggunakan spuit 10 cc :
Mula-mula masukkan MgSO4 40% 5 cc ke dalam spuit 10 cc
lalu tambahkan aquadest 5 cc kemudian tambahkan lagi
aquadest 5 cc dan suntikkan kembali

Dosis Pemeliharaan : MgSO4 2 g/jam IV


1) Setelah tindakan (pervaginam atau seksio sesarea) pasien segera minum 1 s/d
2 gelas
2) Setelah bayi lahir monitor : keluhan subyektif, tekanan darah dan diuresis
dalam 2 jam (100 cc/jam)
3) Bila tidak ada keluhan subjektif, tekanan darah sesuai kriteria Preeklampsia
ringan dan diuresis 100cc/jam maka pemberian MgSO4 dihentikan.
11

4) Bila timbul tanda-tanda intoksikasi MgSO4 segera berikan Calcium Gluconas


10%, 1gr dalam 10cc IV pelan-pelan selama 3 menit.
5) Bila sebelum pengobatan MgSO4 telah diberikan Diazepam maka dilanjutkan
pengobatan dengan MgSO4.
6) Bila tekanan darah 180 / 110 mmHg diberikan injeksi Clonidin 0,15 mg IV
yang diencerkan 10 cc Dekstrose 5% diberikan sama dengan perawatan
konservatif dilanjutkan Nifedifin 3 x 10 mg.
3. Terminasi kehamilan
a. Induksi persalinan dengan drips Oksitosin bila

Kesejahteraan janin baik

Skor pelvik (Bishop) 5

b. Operasi Seksio Sesarea bila

Kesejahteraan janin jelek


Skor pelvik ( Bishop ) < 5
(Doddy, 2008)

SOLUSIO PLASENTA
2.2.1 DEFINISI SOLUSIO PLASENTA
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi
normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir (Gasong,
1997; Slava; 2006). Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta sebagai
separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri sebelum janin lahir
(Cunningham, 2001). Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20 minggu maka mungkin
akan didiagnosis sebagai abortus imminens (Rachimhadhi, 2002). Sedangkan Abdul Bari
Saifuddin dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari
tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini hanya berlaku apabila
terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram (Abdul, 2002)

12

2.2.2 KLASIFIKASI SOLUSIO PLASENTA


a. Trijatmo Rachimhadhi membagi solusio plasenta menurut derajat pelepasan plasenta
(Rachimhadhi, 2002) :
1. Solusio plasenta totalis, plasenta terlepas seluruhnya.
2. Solusio plasenta partialis, plasenta terlepas sebagian.
3. Ruptura sinus marginalis, sebagian kecil pinggir plasenta yang terlepas.
b. Pritchard JA membagi solusio plasenta menurut bentuk perdarahan (Pritchard, 2001) :
1. Solusio plasenta dengan perdarahan keluar
2. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi, yang membentuk hematoma
retroplacenter
3. Solusio plasenta yang perdarahannya masuk ke dalam kantong amnion .
c. Cunningham dan Gasong masing-masing dalam bukunya mengklasifikasikan solusio
plasenta menurut tingkat gejala klinisnya, yaitu (Cunningham, 2001, Gasong, 1997) :
1. Ringan : perdarahan kurang 100-200 cc, uterus tidak tegang, belum ada tanda renjatan,
janin hidup, pelepasan plasenta kurang 1/6 bagian permukaan, kadar fibrinogen plasma
lebih 150 mg%.
2. Sedang : Perdarahan lebih 200 cc, uterus tegang, terdapat tanda pre renjatan, gawat
janin atau janin telah mati, pelepasan plasenta 1/4-2/3 bagian permukaan, kadar
fibrinogen plasma 120-150 mg%.
3. Berat : Uterus tegang dan berkontraksi tetanik, terdapat tanda renjatan, janin mati,
pelepasan plasenta bisa terjadi lebih 2/3 bagian atau keseluruhan.
2.2.3 EPIDEMIOLOGI SOLUSIO PLASENTA

13

Insiden solusio plasenta bervariasi, antara 0,2-2,4 % dari seluruh kehamilan. Literatur
lain menyebutkan insidennya 1 dalam 77-89 persalinan, dan bentuk solusio plasenta berat 1
dalam 500-750 persalinan (Pernoll, 1999). Slava dalam penelitiannya melaporkan insidensi
solusio plasenta di dunia adalah 1% dari seluruh kehamilan. Di sini terlihat bahwa tidak ada
angka pasti untuk insiden solusio plasenta, karena adanya perbedaan kriteria dalam
menegakkan diagnosis (Slava, 2006). Di Parkland Memorial Hospital terjadi 1 kasus dalam
500 persalinan. Tetapi seiring dengan penurunan frekuensi ibu dengan paritas tinggi, terjadi
pula penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750 persalinan (Cunningham, 2001).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Deering didapatkan 0,12% dari semua kejadian
solusio plasenta di Amerika Serikat menjadi sebab kematian bayi (Pernoll, 1999). Penelitian
retrospektif yang dilakukan oleh Ducloy di Swedia melaporkan dalam 894.619 kelahiran
didapatkan 0,5% terjadi kasus solusio plasenta (Ducloy, 2005).
Cunningham di Amerika Serikat melakukan penelitian pada 763 kasus kematian ibu
hamil yang disebabkan oleh perdarahan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut :

Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa solusio plasenta menempati tempat pertama sebagai
penyebab kematian ibu hamil yang disebabkan oleh perdarahan dalam masa kehamilan
(Cunningham, 2001). Di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSUPCM)
Jakarta didapat angka 2% atau 1 dalam 50 persalinan. Antara tahun 1968-1971 solusio
plasenta terjadi pada kira-kira 2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solusio
plasenta sedang dan 86% solusio plasenta berat. Solusio plasenta ringan jarang didiagnosis,
mungkin karena penderita terlambat datang ke rumah sakit atau tanda-tanda dan gejalanya
terlalu ringan sehingga tidak menarik perhatian penderita maupun dokternya (Rachimhadhi,
2002). Sedangkan penelitian yang dilakukan Suryani di RSUD. DR. M. Djamil Padang dalam
periode 2002-2004 dilaporkan terjadi 19 kasus solusio plasenta dalam 4867 persalinan
(0,39%) atau 1 dalam 256 persalinan (Suryani, 2004).
2.2.4 ETIOLOGI SOLUSIO PLASENTA
14

Penyebab solusio plasenta tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada kasus kasus berat
terdapat korelasi dengan penyakit hipertensi vaskuler menahun, dan 15,5% disertai pula oleh
preeklamsia. Faktor lain yang diduga turut berperan sebagai penyebab terjadinya solusio
plasenta adalah tingginya tingkat paritas dan makin bertambahnya usia ibu (Rachimhadhi,
2002).
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa
kondisi yang menjadi predisposisi (Cunningham, 2001; Pritchard, 2001) :
1. Hipertensi kronis dan preeklamsia
2. Bertambahnya usia dan paritas ibu
3. Trauma
4. Merokok dan penggunaan kokain
5. Dekompresi uterus yang mendadak
6. Tekanan pada vena kava inferior karena pembesaran uterus.
7. Pernah mengalami solusio plasenta pada kehamilan sebelumnya.
8. Anomali uterus atau tumor uterus
9. Malnutrisi/defisiensi gizi.
Para ahli juga mengemukakan teori mengenai penyebab solusio plasenta :
Akibat turunnya tekanan darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke
ruangan interviller, maka terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum
menjadi nekrosis, spasme hilang dan darah kembali ke dalam intervili, namun pembuluh
darah distal tadi sudah sedemikian rapuh sehingga mudah pecah, kemudian terbentuk
hematoma yang lambat laun melepaskan plasenta dari rahim. Darah yang berkumpul di
belakang plasenta disebut hematoma retroplacenter (Ducloy, 2005).
Beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya solusio plasenta :
1. Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia
(Moechtar, 1998; Chalik, 1997). Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat
hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi
tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh
kehamilan. Disini terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi
pada ibu (Pritchard, 2001).
2. Faktor trauma
- Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.

15

- Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar
atau pertolongan persalinan.
- Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
Dari penelitian yang dilakukan Slava di Amerika Serikat diketahui bahwa trauma yang terjadi
pada ibu (kecelakaan, pukulan, jatuh, dan lain-lain) merupakan penyebab 1,5-9,4% dari
seluruh kasus solusio plasenta (Abdul, 2002). Di RSUPCM dilaporkan 1,2% kasus solusio
plasenta disertai trauma (Rachimhadhi, 2002).
3. Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari
83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18
pada primipara (Moechtar, 1998; Chalik, 1997). Pengalaman di RSUPCM menunjukkan
peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat
diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium
(Rachimhadhi, 2002).
4. Faktor usia ibu
Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan
kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan
karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun (Prawirohardjo, 2002;
Rachimhadhi, 2002).
5. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta
apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma (Pritchard, 2001,
Moechtar, 1998).
6. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan
katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah
uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara
definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar
antara 13-35% (Deering, 2005).
7. Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai
dengan 25% pada ibu yang merokok 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada
ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada
mikrosirkulasinya (Maryuni, 2007). Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko

16

terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya
kehamilan (Deering, 2005).
8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta
adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta
sebelumnya (Pritchard, 2001, Slava, 2006, Deering, 2005).
9. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava
inferior, dan lain-lain (Chalik, 2007).
2.2.5 PATOGENESIS SOLUSIO PLASENTA
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan
terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium
atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan
perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus (Cunningham, 2001; Pritchard, 2001;
Blumenfelt, 1997)

Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan mendesak jaringan plasenta
dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum
jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan didapatkan
cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna
kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus menerus karena otot uterus yang
meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi untuk menghentikan perdarahan.
Akibatnya hematom subkhorionik akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya
seluruh plasenta akan lepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput
ketuban, keluar melalui vagina atau menembus masuk ke dalam kantong ketuban, atau
mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila ekstravasasinya
17

berlangsung hebat akan terjadi Uterus Couvelaire, dimana seluruh permukaan uterus akan
tampak bercak kebiruan atau berwarna ungu. Uterus seperti ini akan terasa sangat tegang dan
nyeri dan akan mengganggu kontraktilitas uterus setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya
akan terjadi perdarahan post partum yang hebat (Pritchard, 2001; Rachimhadhi, 2002)
Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin
yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler
dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu
jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi
gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh
lainnya (Rachimhadhi, 2002).
2.2.6 GAMBARAN KLINIS SOLUSIO PLASENTA
Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas pengelompokannya
menurut gejala klinis (Cunningham,2001; Rachimhadhi, 2002; Gasong, 1997) :
1. Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat
pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan
pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau
terus menerus agak tegang. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba.
Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, apakah menjadi semakin tegang karena
perdarahan yang berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio
plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitamhitaman
(Cunningham,2001; Rachimhadhi, 2002; Gasong, 1997).
2. Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari seperempatnya, tetapi belum duapertiga
luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan,
tetapi bisa juga secara mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak lama
kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam dapat
sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah
jatuh kedalam syok, demikian pula janinnya jika masih hidup mungkin telah berada dalam
keadaan gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagianbagian janin sukar untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar.
Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun hal tersebut

18

lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat (Cunningham,2001; Rachimhadhi, 2002;
Gasong, 1997).
3. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari sepertiga permukaannnya. Terjadi sangat tibatiba.
Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok, dan janinnya telah meninggal. Uterusnya
sangat tegang seperti papan, dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai
dengan keadaan syok ibu, malahan perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat
terjadi. Pada keadaan- keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada
pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal (Cunningham,2001; Rachimhadhi,
2002; Gasong, 1997).
Perdarahan pada solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa
oleh karena pada kejadian tertentu perdarahan yang tampak keluar melalui vagina hampir
tidak ada atau tidak sebanding dengan perdarahan yang berlangsung internal yang sangat
banyak. Penampakan yang mengecoh inilah sebenarnya yang membuat solusio plasenta lebih
berbahaya karena dalam keadaan yang demikian seringkali perkiraan jumlah darah yang telah
keluar sukar diperhitungkan, padahal janin telah mati dan ibu berada dalam keadaan syok
(Rachimhadhi, 2002).
Gejala dan tanda solusio plasenta sangat beragam, sehingga sulit menegakkan
diagnosisnya dengan cepat. Dari penelitian oleh Hard dan kawan-kawan diketahui bahwa
15% dari kasus solusio plasenta didiagnosis dengan persalinan premature idiopatik, sampai
kemudian terjadi gawat janin, perdarahan hebat, kontraksi uterus yang hebat, hipertoni uterus
yang menetap, gejala-gejala ini dapat ditemukan sebagai gejala tunggal, tapi lebih sering
berupa gejala kombinasi (Cunningham, 2001).
2.2.7 KOMPLIKASI SOLUSIO PLASENTA
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang
terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat
terjadi pada ibu :
1. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah,
kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah selesai sekalipun,
penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat
untuk menghentikan perdarahan pada kala III dan adanya kelainan pada pembekuan darah.

19

Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan proporsi perdarahan
yang terlihat (Cunningham,2001; Pritchard, 2001; Deering, 2005).
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah
pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kematian dan kesakitan ibu
tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis
hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan
penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya
perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah.
Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi
keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal,
karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh
platelet dan faktor pembekuan (Blumenfelt, 1997).
2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering pada solusio plasenta, pada dasarnya
disebabkan hipovolemia oleh karena perdarahan. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang
mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi
ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan
terjadi akibat nekrosis tubuli atau korteks ginjal mendadak (Cunningham, 2001,
Rachimhadhi, 2002). Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran
pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan
gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi
hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan
darah (Cunningham, 2001).
3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan

pembekuan

darah

pada

solusio

plasenta

biasanya

disebabkan

oleh

hipofibrinogenemia. Dari penelitian yang dilakukan oleh Wirjohadiwardojo di RSUPCM


dilaporkan kelainan pembekuan darah terjadi pada 46% dari 134 kasus solusio plasenta yang
ditelitinya (Rachimhadhi, 2002).
Kadar fibrinogen plasma normal pada wanita hamil cukup bulan ialah 450 mg%, berkisar
antara 300-700 mg%. Apabila kadar fibrinogen plasma kurang dari 100 mg% maka akan
terjadi gangguan pembekuan darah (Cunningham, 2001, Rachimhadhi, 2002, Slava, 2006).
Mekanisme gangguan pembekuan darah terjadi melalui dua fase (Slava, 2006; Maryuni,
2005):
a. Fase I
20

Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan darah, disebut
disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi)
terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat
tersebut, maka fase I disebut juga coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom
subkhorionik mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler
tersebut. Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan
pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan
oliguria/anuria (Slava, 2006).
b. Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha badan untuk membuka kembali
peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan fibrinolisis.
Fibrinolisis yang berlebihan, lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi
perdarahan patologis (Maryuni, 2005). Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah
harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di klinik pengamatan pembekuan
darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik. Karena pemeriksaan laboratorium lainnya
memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita
saat itu (Cunningham, 2001).
4. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah
perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan
gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru yang biasa disebut
Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak tergantung pada
kesanggupannya menghentikan perdarahan (Suryani, 2004). Komplikasi yang dapat terjadi
pada janin (Slava, 2006; Deering, 2005; Ducloy, 2005) :
1. Fetal distress dan gangguan pertumbuhan/perkembangan
2. Hipoksia dan anemia
3. Kematian
2.2.8 DIAGNOSIS SOLUSIO PLASENTA
Keluhan dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas. Sebagai contoh,
perdarahan eksternal bisa banyak sekali, meskipun pelepasan plasenta belum begitu luas
sehingga menimbulkan efek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal
tidak ada, tetapi plasenta sudah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat
langsung dari keadaan ini. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi mengandung
21

ancaman bahaya yang jauh lebih besar bagi ibu, hal ini bukan saja terjadi akibat
kemungkinan koagulopati yang lebih tinggi, namun juga akibat intensitas perdarahan yang
tidak diketahui sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau terlambat (2,3).
Menurut penelitian retrospektif yang dilakukan Hurd dan kawan-kawan pada 59 kasus
solusio plasenta dilaporkan gejala dan tanda pada solusio plasenta (Cunningham, 2001;
Pritchard, 2001) :

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perdarahan pervaginam merupakan gejala atau
tanda terbanyak dari kasus solusio plasenta. Berdasarkan kepada gejala-gejala dan tandatanda yang terdapat pada solusio plasenta klasik umumnya tidak sulit menegakkan diagnosis,
tapi tidak demikian halnya pada bentuk solusio plasenta sedang dan ringan. Solusio plasenta
klasik mempunyai ciri-ciri nyeri yang hebat pada perut yang datangnya cepat disertai uterus
yang tegang terus menerus seperti papan, penderita menjadi anemia dan syok, denyut jantung
janin tidak terdengar dan palpasi perut sulit meraba bagian-bagian janin.
Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta
antara lain (Rachimhadhi, 2002; Blumenfelt, 1997) :
1. Anamnesis
- Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat melokalisir tempat mana
yang paling sakit.
- Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat dan tiba tiba (non-recurrent) terdiri dari
darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman .
- Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak
bergerak lagi).
- Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat anemis
yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam.
- Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2. Inspeksi
- Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
22

- Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.


- Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).
3. Palpasi
- Fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.
- Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik
waktu his maupun di luar his.
- Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.
- Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.
4. Auskultasi
Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar biasanya di atas 140,
kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari
sepertiga.
5. Pemeriksaan dalam
- Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.
- Kalau sudah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his
maupun di luar his.
- Apabila ketuban sudah pecah dan plasenta sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini akan
turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus placenta, ini sering
meragukan dengan plasenta previa.
6. Pemeriksaan umum
- Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita penyakit
vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok. Nadi cepat, kecil
dan filiformis.
7. Pemeriksaan laboratorium
- Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen terdapat silinder dan leukosit.
- Darah : Hb menurun (anemia), periksa golongan darah, lakukan crossmatch test. Karena
pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah hipofibrinogenemia, maka
diperiksakan pula COT (Clot Observation test) tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen
(fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen (kadar normalnya 150 mg%).
8. Pemeriksaan plasenta
Saat setelah bayi dan plasenta lahir, periksa plasentanya. Biasanya tampak tipis dan
cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau darah beku di
belakang plasenta., yang disebut hematoma retroplacenter.
9. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)
23

- Temuan yang beragam


- Terlihat daerah terlepasnya plasenta
- Janin dan kandung kemih ibu
- Darah
- Tepian plasenta
2.2.9 TERAPI SOLUSIO PLASENTA
Penanganan solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis, yaitu:
a. Solusio plasenta ringan
Ekspektatif, bila kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan
berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi
ketat, kemudian tunggu persalinan spontan (Cunningham, 2001). Bila ada perburukan
(perdarahan berlangsung terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan
USG daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri. Bila
janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan amniotomi disusul infus oksitosin
untuk mempercepat persalinan (WHO, 2003; Moses, 2006).
b. Solusio plasenta sedang dan berat
Apabila tanda dan gejala klinis solusio plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah
sakit meliputi transfusi darah, amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria.
Apabila diagnosis solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi sekurangkurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan (Rachimhadhi, 2002).
Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya
cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat implantasi dan mengurangi
masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktorfaktor pembekuan dari hematom subkhorionik. Persalinan juga dapat dipercepat dengan infus
oksitosin yang memperbaiki kontraksi uterus (Pritchard, 2001).
Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio plasenta. Biasanya yang terjadi adalah
nekrosis tubuli ginjal mendadak yang umumnya masih dapat tertolong dengan penanganan
yang baik. Tetapi bila telah terjadi nekrosis korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada
tahap oliguria, keadaan umum penderita biasanya masih baik. Oleh karena itu oliguria hanya
dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang teliti yang harus secara rutin
dilakukan pada penderita solusio plasenta sedang dan berat, apalagi yang disertai hipertensi
menahun dan preeklamsia. Pencegahan gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang,

24

pemberantasan infeksi yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia, menyelesaikan


persalinan secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan darah (Blumenfelt, 1997).
Kemungkinan kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan
pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya hepatitis, oleh
karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita yang sangat memerlukan, dan
bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat
mencegah kelainan pembekuan darah (Blumenfelt, 1997).
Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi
jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infuse oksitosin,
maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Uterus Couvelaire tidak
merupakan indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan
setelah dilakukan seksio sesaria, tindakan histerektomi perlu dilakukan (Rachimhadhi, 2002).
2.2.10 PROGNOSIS SOLUSIO PLASENTA
Prognosis ibu tergantung luasnya plasenta yang terlepas dari dinding uterus, banyaknya
perdarahan, ada atau tidak hipertensi menahun atau preeklamsia, tersembunyi tidaknya
perdarahan, dan jarak waktu terjadinya solusio plasenta sampai terjadinya persalinan. Angka
kematian ibu pada kasus solusio plasenta berat berkisar antara 0,5-5%. Sebagian besar
kematian tersebut disebabkan oleh perdarahan, gagal jantung dan gagal ginjal (Rachimhadhi,
2002).
Hampir 100% janin pada kasus solusio plasenta berat mengalami kematian. Tetapi ada
literatur yang menyebutkan angka kematian pada kasus berat berkisar antara 50-80%. Pada
kasus solusio plasenta ringan sampai sedang, keadaan janin tergantung pada luasnya plasenta
yang lepas dari dinding uterus, lamanya solusio plasenta berlangsung dan usia kehamilan.
Perdarahan lebih dari 2000 ml biasanya menyebabkan kematian janin. Pada kasus tertentu
seksio sesaria dapat mengurangi angka kematian janin (Rachimhadhi, 2002).

25

BAB III
STATUS OBSTETRI
I. IDENTITAS
Nama
Usia
Pekerjaan
Agama
Suku
Alamat
MRS

:
:
:
:
:
:
:

Ny. R
23 tahun
IRT
Islam
Sasak
Meninting, Batu layar, Lombok Barat.
6 September 2012 / 16.30 WITA

II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut hilang timbul yang menjalar ke pinggang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan dari Puskesmas Meninting dengan G1P0A0H0 37 38 minggu T/H/IU
presentasi kepala, partus kala I fase aktif dengan preeklamsia berat. Pasien mengeluh
nyeri perut hilang timbul yang menjalar ke pinggang sejak pukul 00.00 WITA
(06/09/2012). Bloody slim (+) sejak pukul 04.00 WITA (06/09/2012). Riwayat keluar
darah berwarna kehitaman pada pukul 15.00 WITA (06/09/2012). Riwayat keluar air dari
jalan lahir (-). Pasien mengaku masih merasakan gerakan janinnya. Riwayat sakit kepala
(-), riwayat pandangan kabur (-), riwayat nyeri ulu hati (-).
Kronologis di Puskesmas Meninting
06/09/2012 (13.00)
S : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut yang menyebar ke pinggang sejak
06/09/2012. Bloody slim (+).
O : GC : Baik
TD : 140/110 mmHg
HR
: 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T
: 37 oC
TFU : 27 cm
TBJ : 2480 gram
His : 2x/10~20
DJJ
: 11-11-12 (136 x/menit)
L1
: Bokong
L2
: Punggung di sebelah kiri
L3
: Kepala
L4
: 3/5
VT : 4 cm, effacement 50%, amnion (+), teraba kepala HI, tidak teraba bagian
terkecil janin dan tali pusat.
A : G1P0A0H0 37 38 minggu T/H/IU presentasi kepala, partus kala I fase aktif dengan
preeklamsia berat.
26

P:

Nifedipine 5 mg sublingual
Infus RL + MgSO4 40% drip 28 tpm
Bolus MgSO4 4 gr
Pasang DC
Rujuk ke RSUP NTB

Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat penyakit jantung, ginjal, hipertensi, diabetes mellitus, ataupun asma disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat keluarga memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus, ataupun asma disangkal.
Riwayat Alergi :
Alergi terhadap obat-obatan dan makanan disangkal.
Riwayat Obstetri :
Pasien memiliki riwayat kehamilan sebagai berikut :
1. Ini
HPHT
: 16/12/2011
Taksiran Persalinan : 23/09/2012
Riwayat ANC
: > 4 kali di Posyandu, Polindes dan Puskesmas
ANC terakhir
: 11/08/2012
Hasil ANC
: Normal
Riwayat USG
: 1 kali di Puskesmas Meninting
Hasilnya janin T/H/IU, presentasi kepala, 38-39 minggu, TBJ
3504 g, HTP 11/07/2012.
Riwayat KB
Rencana KB

: (-)
: Suntikan tiap 3 bulan

III. STATUS GENERALIS


Keadaan umum : Sedang
Kesadaran
: Compos Mentis E4V5M6
Tanda Vital
- Tekanan darah
: 160/100 mmHg
- Frekuensi nadi
: 120 x/menit
- Frekuensi napas : 24 x/menit
- Suhu
: 37 oC
Pemeriksaan Fisik Umum
- Mata
: anemis +/+, ikterus -/- Jantung
: S1S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
- Paru
: vesikuler +/+, ronki (-), wheezing (-)
- Abdomen
- Ekstremitas

: bekas luka operasi (-), striae gravidarum (+), linea nigra (+),
nyeri tekan (+), defans muscular (-).
: edema - akral teraba hangat + +
27

- -

+ +

IV. STATUS OBSTETRI


L1
: bokong
L2
: punggung di sebelah kiri
L3
: kepala
L4
: 4/5
TFU
: 28 cm
TBJ
: 2635 gram
HIS
: 2x/10~ 35
DJJ
: 11-12-11 (136 x/menit)
VT
: 4 cm, effacement 50%, amnion (+), teraba kepala HI, denominator belum
PE

CTG

jelas, tidak teraba bagian kecil janin dan tali pusat.


: kesan luas
- Spina ischiadica tidak prominen
- Os coccygeus mobile
- Arcus pubis > 90o
: Reaktif

V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

HGB
RBC
HCT
WBC
PLT

:
:
:
:
:

9,9
5,49
34,3
15
451

g/dl
106/L
%
106/L
106/L

- HbSAg : (-)
- Proteinuria : + 3
VI. DIAGNOSIS
G1P0A0H0 37 38 minggu T/H/IU presentasi kepala, persalinan kala I fase aktif
dengan preeklamsia, solusio plasenta, dan anemia ringan.
VII. TINDAKAN

Observasi kesra ibu dan janin


Observasi kemajuan persalinan

Oksigen nasal canul 4 lpm

Infus RL + Drip MgSO4 40% 6 gr 28 tpm


Nifedipine 3 x 1 10 mg per oral
Pemeriksaan laboratorium : DL, UL, HbsAg, SGOT, SGPT
DM mengusulkan ke SPV : pro akselerasi dengan oksitosin drip

SPV advice : Konsul ke dokter jaga terlebih dahulu.


DM mengusulkan ke dr. jaga : pro akselerasi dengan oksitosin drip
Kemudian dr. jaga konsul ke SPV : pro akselerasi dengan oksitosin drip
28

SPV advice : acc akselerasi dengan oksitosin drip


24.00 (06/09/2012)
Ditemukan :
Retro plasenta hematom

AS Bayi : 5-7

Planing :

Cek DL ulang setelah persalinan selesai


Bayi dibawa ke NICU untuk perawatan intensif

VIII. BAYI LAHIR


Jenis persalinan
Indikasi
Lahir tanggal, jam
Jenis kelamin
APGAR Score
Lahir
Berat
Amnion
Kelainan kongenital
Anus

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Partus spontan dengan akselerasi drip oksitosin


Kala II
06/09/2012, pukul 23.40 WITA
Perempuan
5-7
Hidup
2400 gram
Jernih
(-)
(+)

IX. PLASENTA
Lahir
Lengkap
Berat
Perdarahan
Temuan

:
:
:
:
:

Spontan
Ya
+ 300 gram
+ 300 cc
Ditemukan retro plasenta hematom dan kalsifikasi

X. KONDISI IBU 2 JAM POST PARTUM


Keadaan umum
: Baik
Kesadaran
: Compos mentis E4V5M6
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Frekuensi nadi
: 112 x/menit
Frekuensi napas
: 20 x/menit
Suhu
: 36,2 C
Kontraksi uterus
: (+) baik
TFU
: 2 jari di bawah umbilikus
Perdarahan aktif
: (-)
Lochea rubra
: (+)
Pemeriksaan Laboratorium :

HGB
RBC
HCT
WBC
PLT

:
:
:
:
:

8,8
4,86
30,5
21,09
384

g/dl
106/L
%
106/L
106/L
29

XII. KONDISI IBU 1 HARI POST PARTUM


Keadaan umum
Kesadaran
Tekanan darah
Frekuensi nadi
Frekuensi napas
Suhu
Kontraksi uterus
TFU
Perdarahan aktif
Lochea rubra

:
:
:
:
:
:
:
:
:
:

Baik
Compos mentis E4V5M6
110/70 mmHg
108 x/menit
20 x/menit
36 C
(+) baik
2 jari di bawah umbilikus
(-)
(+)

30

TIME
06/09/2012
16.30

SUBJECTIVE

Pasien

rujukan

OBJECTIVE

dari

Puskesmas Status Generalis


Meninting dengan G1P0A0H0 37 38 KU : Sedang
minggu T/H/IU presentasi kepala, partus
kala I fase aktif dengan preeklamsia
berat. Pasien mengeluh nyeri perut hilang
timbul yang menjalar ke pinggang sejak
pukul 00.00 WITA (06/09/2012). Bloody
slim (+) pada pukul 04.00
(06/09/2012).

Riwayat

keluar

Kesadaran : Compos mentis E4V5M6


TD : 160/100 mmHg
HR : 120 x/menit
RR : 24 x/menit
Suhu : 37 oC
Mata : anemis (+/+), icteric (-/-)
Cor : S1S2 tunggal regular, Murmur (-),

Gallop (-).
WITA Pulmo : vesicular (+/+), wheezing (-/-),

darah ronkhi (-/-).

berwarna kehitaman pada pukul 15.00


WITA (06/09/2012). Riwayat keluar air

Abdomen : scar (-), stria gravidarum

merasakan

gerakan

G1P0A0H0 37 38
minggu T/H/IU
presentasi kepala,

PLANNING

Observasi kesra ibu dan

janin
Observasi kemajuan
persalinan

persalinan kala I fase


aktif dengan PEB,
solusio plasenta, dan

Oksigen nasal canul 4 lpm

Infus RL + Drip MgSO4

40% 6 gr 28 tpm
Nifedipine 3 x 1 10 mg per

oral
Pemeriksaan laboratorium :

anemia ringan.

(+), linea nigra (+), nyeri tekan (+),

DL, UL, HbsAg, SGOT,

defans muskular (-).

SGPT
DM mengusulkan ke SPV :

dari jalan lahir (-). Pasien mengaku Extremitas : edema (-/-), warm acral
masih

ASSESSMENT

janinnya. (+/+).

pro akselerasi dengan

hati (-).

Status Obstetri
L1 : bokong
TFU : 28 cm
L2 : puki
TBJ : 2635 gram
L3 : kepala
His : 2x/10~35
L4 : 4/5
DJJ : 11-12-11 (136

Riwayat DM (-), HT (-), asthma (-).

x/menit)

HPHT : 16/12/2011

VT : 4 cm, effacement 50%, amnion

HTP : 23/09/2012

jaga : pro akselerasi dengan

(+), teraba kepala, HI, denom belum

Riwayat ANC : > 4x di Puskesmas

jelas, tidak teraba bagian terkecil janin

oksitosin drip
Kemudian dr. jaga konsul

ANC terakhir : 11/08/2012

dan tali pusat.

ke SPV : pro akselerasi

Riwayat

sakit

kepala

(-),

riwayat

pandangan kabur (-), riwayat nyeri ulu

oksitosin drip
SPV advice : Konsul ke
dokter jaga terlebih dahulu.
DM mengusulkan ke dr.

31

Hasil ANC terakhir : Normal


Pelvic Evaluation :
Riwayat USG : 1x di Puskesmas Meninting
Hasil USG : Janin T/H/IU, presentasi Spina ischiadica tidak menonjol
Os coccygeus mobile
kepala, 38-39 minggu, Arcus pubis > 90o

TBJ

3504

g,

HTP

11/07/2012.
Riwayat KB : (-)
Rencana KB : injeksi 3 bulan
Riwayat Obstetri :

Pemeriksaan Laboratorium :
Hb : 9,9 g/dl
RBC : 5,49 x 106/L
HCT : 34,4 %
WBC : 15,00 x 106/L
PLT : 451 x 106/L
HbSAg : (-)
Proteinuria : +3

dengan oksitosin drip


SPV advice : acc akselerasi
dengan oksitosin drip

CTG : reaktif DM
melakukan akselerasi drip
oksitosin. Drip oxitocin

dimulai pada 8 tpm.

1. Ini
Kronologis di Puskesmas Meninting
06/09/2012 (13.00)
S : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut
yang menyebar sampai ke pinggang sejak
06/09/2012. Bloody slim (+).
O : GC : baik
TD : 140/110 mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 37 oC
TFU : 27 cm
TBJ : 2480 gram

His : 2x/10~20
DJJ : 11-11-12 (136 x/menit)
L1 : Bokong

32

L2 : Puki
L3 : Kepala
L4 : 3/5
VT : 4 cm, effacement 50%, amnion (+),
teraba kepala HI, denom belum jelas,
tidak teraba bagian terkecil janin dan tali
pusat.
Protein urine : + 3
A : G1P0A0H0 37 38 minggu T/H/IU
presentasi kepala, persalinan kala I fase aktif
dengan PEB.
P:

Nifedipine 5 mg sublingual
Infus RL + MgSO4 40 % drip 28
tpm

Bolus MgSO4 4 gr
Pasang DC
Rujuk ke RSUP NTB

33

17.00

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

17.30

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

18.00

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

18.30

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

His : 2x/10~35
DJJ : 13-12-13 (152 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 160/100 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,2 0C

His : 2x/10~35
DJJ : 13-12-12 (148 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 160/100 mmHg
N : 92 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,4 0C

His : 2x/10~35
DJJ : 13-12-13 (152 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 160/90 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,2 0C
His : 3x/10~35
DJJ : 12-12-12 (144 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip
MgSO4 40% 6 gr 28 tpm

Tingkatkan tetesan oxytocin


drip menjadi 12 tpm

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip
MgSO4 40% 6 gr 28 tpm

Tingkatkan tetesan oxytocin


drip menjadi 16 tpm

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip
MgSO4 40% 6 gr 28 tpm

Tingkatkan tetesan oxytocin


drip menjadi 20 tpm

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip

34

19.00

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

19.30

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

20.00

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

20.30

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

TD : 160/90 mmHg
N : 102 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,4 0C
His : 3x/10~35
DJJ : 12-12-13 (148 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 160/90 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 35,9 0C
His : 3x/10~35
DJJ : 12-12-12 (144 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 108 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36 0C
His : 3x/10~40
DJJ : 12-13-12 (148 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 102 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,5 0C
His : 3x/10~40
DJJ : 12-11-12 (140 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 108 x/menit
RR : 24 x/menit

MgSO4 40% 6 gr 28 tpm

Tingkatkan tetesan oxytocin


drip menjadi 24 tpm

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip
MgSO4 40% 6 gr 28 tpm

Tingkatkan tetesan oxytocin


drip menjadi 28 tpm

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip
MgSO4 40% 6 gr 28 tpm

Tingkatkan tetesan oxytocin


drip menjadi 32 tpm

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip MgSO4
40% 6 gr 28 tpm
Tingkatkan tetesan oxytocin

drip menjadi 36 tpm


G1P0A0H0 37 38
minggu T/H/IU
presentasi kepala,
persalinan kala I fase

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip MgSO4
40% 6 gr 28 tpm
Maintenance tetesan oxytocin

35

T : 36,3 0C

drip di 36 tpm

aktif dengan PEB,

VT : 8 cm, effacement 75%, amnion solusio plasenta, dan


(-), teraba kepala, HI, denom uuk, anemia ringan.
tidak teraba bagian terkecil janin dan
tali pusat.
21.00

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

21.30

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

22.00

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

His : 3x/10~40
DJJ : 12-13-13 (152 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 102 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,5 0C

His : 3x/10~40
DJJ : 12-12-13 (148 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 108 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,7 0C

His : 3x/10~40
DJJ : 12-13-13 (152 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 140/90 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,4 0C

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip
MgSO4 40% 6 gr 28 tpm

Maintenance tetesan
oxytocin drip di 36 tpm
Observasi kesra ibu & janin
Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip
MgSO4 40% 6 gr 28 tpm

Maintenance tetesan
oxytocin drip di 36 tpm
Observasi kesra ibu & janin
Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip
MgSO4 40% 6 gr 28 tpm

Maintenance tetesan
oxytocin drip di 36 tpm
36

22.30

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

23.00

Pasien mengeluhkan nyeri abdomen hilang


timbul

23,30

Pasien ingin mengedan dan keluar darah dari


vaginanya

His : 4x/10~40
DJJ : 12-12-12 (144 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 140/90 mmHg
N : 102 x/menit
RR : 24 x/menit

membuka,

Lanjutkan infus RL + drip

MgSO4 40% 6 gr 28 tpm


Maintenance tetesan oxytocin

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan

Lanjutkan infus RL + drip

MgSO4 40% 6 gr 28 tpm


Maintenance tetesan oxytocin
drip di 36 tpm

His : 4x/10~40
DJJ : 10-11-11 (128 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 112 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,2 0C
Inspeksi : Tekanan anus, perineum
vulva

Observasi kesra ibu & janin


Observasi kemajuan persalinan

drip di 36 tpm

T : 36,2 0C
His : 4x/10~40
DJJ : 12-13-13 (152 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 140/90 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 35,8 0C

menonjol,

G1P0A0H0 37 38

Observasi kesra ibu & janin

minggu T/H/IU

Lanjutkan infus RL + drip

MgSO4 40% 6 gr 28 tpm


Maintenance tetesan oxytocin

presentasi kepala,
persalinan kala II
dengan PEB, solusio
plasenta, dan anemia

drip di 36 tpm

Pimpin persalinan

aktif ringan.

bleeding (+)
VT : lengkap, effacement 100%,
amnion (+), teraba kepala, HII,

37

denom

uuk,

tidak

teraba

bagian

terkecil janin dan tali pusat.

Bayi lahir, laki - laki, 2400 gram,

23.40

AS

5-7.

Anus

(+),

anomaly

congenital (-). Amnion jernih.


Plasenta lahir spontan, lengkap,
terdapat retro plasenta hematom &
kalsifikasi.
Perdarahan 200 cc
Cek Laboratorium ulang post
02.00

Pasien mengeluhkan nyeri di daerah vagina

KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 120/80 mmHg
N : 112 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,2 0C
Kontraksi uterus : (+) Baik
TFU : 2 jari dibawah umbilicus
Perdarahan aktif : (-)

2 Jam post partum

partum
Observasi

kesra

ibu

perdarahan aktif

Lochea rubra : (+)


Pemeriksaan Laboratorium :
Hb : 8,8 g/dl
RBC : 4,86 x 106/L

38

dan

HCT : 30,5 %
WBC : 21,09 x 106/L
PLT : 384 x 106/L

06.00

Pasien mengeluhkan nyeri di daerah vagina

KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 110/70 mmHg
N : 108 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36 0C
Kontraksi uterus : (+) Baik
TFU : 2 jari dibawah umbilicus
Perdarahan aktif : (-)

1 Hari post partum

Observasi

perdarahan aktif
Anjurkan ibu untuk makan dan

kesra

ibu

minum

Lochea rubra : (+)

39

dan

BAB IV
PEMBAHASAN
Preeklampsia berat adalah timbulnya hipertensi 160/110 mmHg disertai
proteinuria +3 dan atau edema pada kehamilan setelah 20 minggu. Pada kasus ini pasien
dikatakan mengalami preeklampsia berat karena pasien sudah hamil lebih dari 20 minggu dan
mengalami hipertensi, yaitu tekanan darahnya sebesar 160/100 mmHg dan disertai
proteinuria +3. Walaupun edema pada pasien ini tidak ada, namun terdapatnya kriteria
tekanan darah tinggi disertai proteinuria +3 sudah cukup untuk mendiagnosis pasien menjadi
preeklamsia berat.
Hipertensi terjadi sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tahanan perifer agar
oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Proteinuria terjadi karena pada preeklampsia
permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat. Edema terjadi karena terjadi
penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial. Pada preeklampsia dijumpai
kadar aldosteron yang rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi daripada kehamilan
normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air
dan natrium. Pada preeklampsia terjadi perubahan pada ginjal yang disebabkan oleh aliran
darah kedalam ginjal menurun sehingga mengakibatkan filtrasi glomerulus berkurang atau
mengalami penurunan. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriole ginjal
menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun yang menyebabkan retensi garam
dan juga retensi air.
Tanda lain dari preeklampsia berat yang tidak dijumpai pada kasus ini adalah

Oliguria, jumlah produksi urine < 500 cc / 24 jam yang disertai kenaikan kadar
kreatinin darah. Hal ini terjadi karena pada preeklampsia filtrasi glomerulus dapat turun
sampai 50% dari normal sehingga menyebabkan diuresis menurun; pada keadaan lanjut
dapat terjadi oliguria atau anuria.

Gangguan visus : mata berkunang-kunang karena terjadi vasospasme, edema / ablatio


retina. Hal ini dapat diketahui dengan oftalmoskop.

Gangguan Serebral : kepala pusing dan sakit kepala karena vasospasme / edema otak
dan adanya resistensi pembuluh darah dalam otak.

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen karena regangan
selaput hati oleh perdarahan / edema atau sakit akibat perubahan pada lambung.

40

Edema paru dan sianosis. Edema paru merupakan penyebab utama kematian pada
penderita preeklampsia dan eklampsia. Komplikasi ini terjadi sebagai akibat
dekompensasio kordis kiri.
Terapi preeklampsia berat menggunakan MgSO4 40% 6 gr dalam 500 cc larutan RL

(drip 28 tetes/ menit) dan MgSO4 40% 4 gr IV (bolus) dalam kasus ini terbukti efektif dalam
mencegah terjadinya kejang pada penderita. Pemberian Nifedipin 3 x 10 mg peroral juga
efektif pada pasien ini. Setelah bayi lahir keadaan tekanan darah pasien segera turun dan
berada dalam keadaan normotensi (tekanan darah normal). Walaupun tekanan darah pasien
sudah turun namun namun pemberian MgSO4 tetap dilanjutkan hingga 24 jam post partum
untuk mencegah terjadinya kejang yang dapat juga terjadi saat post partum. Keadaan terakhir
ibu dan bayi dalam keadaan sehat. Bayi segera dibawa ke NICU untuk mendapatkan
perawatan yang intensif oleh karena afgar skor bayi 5 7.
Untuk mengantisipasi preeklamsia pada kehamilan berikutnya ibu dianjurkan untuk ANC
yg lebih teratur pada kehamilan berikutnya, karena dengan ANC yg baik, ibu dapat
mengetahui tanda bahaya pada kehamilannya serta lebih dapat mempersiapkan mental dan
fisik ibu pada waktu persalinan. Pentingnya perkembangan ANC pada saat umur kehamilan <
20 mg akan membantu menegakkan diagnosa preeklampsi dan menyingkirkan diagnosa
banding hipertensi kronik dalam kehamilan. Selain itu ibu danjurkan untuk menggunakan KB
spiral untuk meningkatkan efektifitas program KB di masyarakat. Pada kasus ini ibu tidak
menyetujui pilihan KB tersebut karena alasan takut tidak bisa punya anak lagi dan lebih
memilih KB injeksi 3 bulan. Hal ini sangat disayangkan karena pengetahuan tentang KB
pasca persalinan secara lengkap seharusnya sudah didapat saat dilakukan ANC yang baik
oleh kader posyandu atau bidan puskesmas di tempat ibu memeriksakan diri.
Pada pasien ini juga terjadi solusio plasenta. Solusio plasenta adalah terlepasnya
sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi normalnya setelah kehamilan 20 minggu
dan sebelum janin lahir. Pada pasien ini kemungkinan terjadi solusio plasenta ringan karena
ditemukan perut tidak tegang, namun ditemukan nyeri tekan, dan adanya riwayat perdarahan
pervaginam yang berwarna kehitaman pada pasien, ibu terlihat anemis, belum adanya tanda
renjatan pada pasien, dan janin masih hidup dengan kondisi baik saat di dalam rahim. Saat
plasenta lahir ditemukan hematoma retroplacenta pada plasenta janin. Hematoma ini
merupakan koagulum atau darah beku di belakang plasenta yang menjadi pertanda khas
solusio plasenta.

41

Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan
terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium
atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan
perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus. Apabila perdarahan sedikit, hematom yang
kecil hanya akan mendesak jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum
terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah
plasenta lahir, yang pada pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya
dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung
terus menerus karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi
untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya hematom subkhorionik akan bertambah besar,
sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan lepas dari dinding uterus. Sebagian
darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, keluar melalui vagina atau menembus masuk ke
dalam kantong ketuban, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium.
Solusio plasenta ringan disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat pelepasan
sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam,
warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terus menerus
agak tegang. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak
tegang ini harus selalu diawasi, apakah menjadi semakin tegang karena perdarahan yang
berlangsung.
Penanganan solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis. Pada
pasien ini terjadi solusio plasenta ringan pada usia kehamilan aterm maka penanganan yang
dilakukan adalah terminasi kehamilan. Terminasi kehamilan dilakukan dengan amniotomi,
infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria. Amniotomi akan merangsang persalinan dan
mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan
dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang
mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik. Persalinan
juga dapat dipercepat dengan infus oksitosin yang memperbaiki kontraksi uterus.
Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi
jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infuse oksitosin,
maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Pasien ini dating dengan
bukaan 4 cm, solusio plasenta ringan, serta tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginan
jadi dapat dicoba terlebih dahulu persalinan pervaginam dengan melakukan akselerasi.
Hasilnya pun berakhir baik dimana bayi dapat dilahirkan secara pervaginam.

42

REFERENSI
Abdul BS. Kematian maternal. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002; 22-4.
Ariani DW, Astari MA, Anita H, et al. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku tentang Kehamilan,
Persalinan, serta Komplikasinya pada Ibu Hamil Nonprimigravida di RSUPN Cipto
Mangunkosumo. Majalah Kedokteran Indonesia vol 55, 2005; 631-38.
Blumenfelt M, Gabbe S. Placental Abruption. In: Sciarra Gynecology and Obstetrics;
Revised Ed, 1997. Philadelphia: Lippincott Raven Publ, 1997; 1-17
Chalik TMH. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika, 1997; 10926.
Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. Wiliam Obstetrics 21th
edition. Prentice Hall International Inc Appleton. Lange USA. 2001; 819-41.
Deering SH. Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2005 [2006 August 31]; Topic6:[11
screens]. Available from:URL: http://www.emedicine.com_med_topic6.htm
Dharma, R., Wibowo2, N., Raranta, H. 2005. Disfungsi Endotel Pada Preeklampsia. Makara,
Kesehatan. Volume: 9. No. 2.
Doddy AK, Soesbandoro, Damanik. 2008. Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. Bagian Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit
Umum Propinsi Nusa Tenggara Barat
Ducloy AS, de Flandre FJ, OLambret A. Obstetric Anaesthesia-Placental Abruption [Online]
2005 November [2006 August 31]; 417_01:[5 screens]. Available from:URL:
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1417_01.htm
Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum. Bagian
Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS; 1997. 3-8.
Maryuni SW. Ancaman Rokok terhadap Kehamilan. Informatika Kedokteran [Online] 2005
[Pekanbaru 2006 June 2] Available from:URL: http://www.riaupos.com
Moechtar R. Perdarahan Antepartum. Dalam: Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan
Obstetri Patologis, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998; 279-7.
Moses S. Placental Abruption/Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2006 December [2007
January 20]; Topic13:[11 screens]. Available from:URL: http://www. fpnotebook.com
/OB13.htm
Pangemanan, W.T. 2002. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia

43

Pernoll ML. Third Trimester Hemorrhage. Dalam : Current Obstetric & Gynecologic, 10th
ed. USA: Appleton & Lange, 1999; 400-44
Prawirohardjo S, Hanifa W. Kebidanan dalam masa lampau, kini dan kelak. Dalam: Ilmu
Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 3-21.
Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 20th ed. R Hariadi, R Prajitno
Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi 20. Surabaya: Airlangga
University Press, 2001; 456-70.
Rachimhadhi, T. 2006. Preeklampsia dan Eklampsia. Dalam Ilmu Kebidanan Edisi ketiga.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hal 287-288
Roeshadi, H. 2006. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Ibu Pada
Penderita Preeklampsia dan Eklampsia
Rozikhan. Faktor-faktor risiko terjadinya preeklampsia berat Di rumah sakit dr. H.
Soewondo Kendal.
Slava VG. Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2006 [2006 August 29]; Topic12:[9 screens].
Available from:URL: http://www.emedicine.com/emerg/topic12.htm.
Sudhaberata, K. 2001. Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia. Cermin Dunia
Kedokteran. No. 133
Suryani E. Solusio Plasenta di RSUP. Dr.M.Djamil padang selama 2 tahun (1 Januari 200231 Desember 2004). Skipsi. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, 2004; 1-40
Wiknjosastro. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Geneva: WHO, 2003. 518-20.

44

Anda mungkin juga menyukai