PEMBIMBING :
dr. Dewi Wijayanti, Sp.OG
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.
Laporan kasus yang berjudul Preeklamsia Berat dan Solusio Plasenta ini disusun
dalam rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bagian SMF Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Umum Daerah Praya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
1. Dr. A. Rusdhy H. Hamid, Sp.OG, selaku Ketua SMF Obstetri dan Ginekologi RSUP
NTB.
2. Dr. I Made W. Mahayasa, Sp.OG, selaku Koordinator Pendidikan SMF Obstetri dan
Ginekologi RSUP NTB.
3. Dr. Dewi Wijayanti, Sp.OG, selaku pembimbing
4. Dr. H. Doddy A. K., Sp.OG (K), selaku supervisor
5. Dr. Agus Thoriq, Sp.OG, selaku supervisor
6. Dr. Edi Prasetyo Wibowo, Sp.OG, selaku supervisor
7. Dr. I Made Putra Juliawan, Sp.OG, selaku supervisor
8. Dr. Puspa Ambara, SP.OG, selaku supervisor
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan
bantuan kepada penulis.
Akhirnya penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan
khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari
sebagai dokter. Terima kasih.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), angka kematian maternal
di Indonesia pada tahun 1998-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut
masih cukup jauh dari tekad pemerintah yang menginginkan penurunan angka kematian
maternal menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup untuk tahun 2010. Angka kematian
maternal ini merupakan yang tertinggi di antara Negara negara ASEAN. Angka kematian
maternal di Singapura dan Malaysia masing-masing 5 dan 70 orang per 100.000 kelahiran
hidup (Ariani, 2005).
Penyebab utama kematian ibu di Indonesia di samping perdarahan adalah
preeklampsia atau eklampsia (Rozikhan, 2005). Angka kejadian preeklampsia berkisar antara
515% dari seluruh kehamilan di seluruh dunia. Di rumah sakit Cipto Mangunkusumo
ditemukan 400 -500 kasus/40005000 persalinan per tahun. Sampai saat ini etiologinya yang
pasti belum diketahui. Terdapat beberapa hipotesis mengenai etiologi preeklampsia antara
lain iskemik plasenta, maladaptasi imun dan faktor genetik. Akhir-akhir ini disfungsi endotel
dianggap berperan dalam patogenesis preeklampsia (Dharma, 2005).
Di Indonesia, yang paling banyak menyebabkan kematian maternal adalah perdarahan.
(Prawirohardjo, 2002). Perdarahan pada ibu hamil dibedakan atas perdarahan antepartum
(perdarahan sebelum janin lahir) dan perdarahan postpartum (setelah janin lahir). Solusio
plasenta merupakan 30% dari seluruh kejadian perdarahan antepartum yang terjadi
(Pritchard, 2001; WHO, 2003).
Solusio plasenta merupakan penyakit kehamilan yang relatif umum dan dapat secara
serius membahayakan keadaan ibu. Seorang ibu yang pernah mengalami solusio plasenta,
mempunyai resiko yang lebih tinggi mengalami kekambuhan pada kehamilan berikutnya.
Solusio plasenta juga cenderung menjadikan morbiditas dan bahkan mortalitas pada janin dan
bayi baru lahir. Angka kematian janin akibat solusio plasenta berkisar antara 50-80%. Tetapi
ada literatur lain yang menyebutkan angka kematian mendekati 100% (Pritchard, 2001).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Angka kejadian preeklampsia dan eklampsia adalah 6%-8% di antara seluruh wanita
hamil di beberapa rumah sakit di Indonesia angka ini sangat bervariasi seperti yang terlihat
pada tabel dibawah ini (Roeshadi, 2006) :
Tabel 1. Angka Kejadian Preeklampsia dan Eklampsia di Beberapa Rumah Sakit di Indonesia
Tahun
1993 1997
1996 1997
1995 1998
2000 2002
2002
Rumah Sakit
RSPM
12 Rumah Sakit
RSHS
RSHAM-RSPM
RSCM
Persent (%)
5,75
0,8 14
13,0
7,0
9,17
Penulis
Simanjuntak J
Tribawono A
Maizia
Girsang E
Priyatini
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya preeklampsia,
tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi terjadinya
preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:
1. Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia atau riwayat
keluarga dengan preeklampsia maka akan meningkatkan resiko terjadinya preeklampsia
4
bukti
yang
menunjukkan
peran
faktor
genetik
pada
kejadian
muncul. Dalam perjalanannya keempat faktor di atas tidak berdiri sendiri, tetapi kadang
saling berkaitan dengan titik temunya pada invasi tropoblast dan terjadinya iskemia
plasenta.
2.3 GAMBARAN KLINIS PREEKLAMPSIA
Biasanya tanda-tanda preeklampsia timbul dalam urutan: pertambahan berat badan yang
berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada preeklampsia ringan
tidak ditemukan gejala-gejala subjektif. Pada preeklampsia berat didapatkan sakit kepala di
daerah frontal, skotoma, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau
muntah-muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Tekanan darah pun meningkat lebih
tinggi, edema menjadi lebih umum, dan proteinuria bertambah banyak (Rachimhadhi, 2006).
Biasanya sindroma ini muncul pada akhir trimester kedua sampai ketiga kehamilan.
Gejalanya berkurang atau menghilang setelah melahirkan sehingga terapi definitifnya
mengakhiri kehamilan. Preeklampsia dapat berakibat buruk baik pada ibu maupun janin yang
dikandungnya. Komplikasi pada ibu berupa sindroma HELLP (hemolysis, elevated liver
enzyme, low platelet), edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio plasenta bahkan
kematian ibu. Komplikasi pada bayi dapat berupa kelahiran premature, gawat janin, berat
badan lahir rendah atau intra uterine fetal death (IUFD) (Dharma, 2005).
hipertensi menahun. Untuk diagnosis penyakit ginjal saat timbulnya proteinuria banyak
menolong. Proteinuria pada preeklampsia jarang timbul sebelum triwulan ketiga, sedangkan
pada penyakit ginjal timbul lebih dahulu (Rachimhadhi, 2006).
Cukup istirahat
Diet biasa (tidak perlu diet rendah garam)
Tidak perlu diberi obat-obatan
Pantau tekanan darah, pemeriksaan urin (proteinuria), refleks patella dan
kondisi janin.
Konseling pasien dan keluarganya tentang tanda-tanda bahaya pre-
2. Rawat Inap
a. Kriteria rawat inap :
atau jelek
(USG/KTG)
b. Pengobatan / evaluasi selama rawat inap :
Tirah baring
SMF Mata
Preeklamsia Berat
Perawatan Konservatif
1. Bila umur kehamilan < 37 minggu, tanpa adanya keluhan subyektif dengan keadaan janin
baik.
2. Pengobatan dilakukan di Kamar Bersalin / Ruang Isolasi
a. Tirah baring dengan miring ke satu sisi (kiri)
b. Infus Dekstrose 5 %, 20 tts/menit
c. Pasang kateter tetap
d. Pemberian obat anti kejang : Magnesium Sulfat ( MgSo4 )
Caranya :
Pemeriksaan Laboratorium
Fungsi hati
Fungsi ginjal
g. Konsultasi
SMF . Mata
Nifedipin 3 x 10 mg (po).
Roboransia
c. Pemeriksaan Laboratorium :
Fungsi hati
Fungsi Ginjal
d. Diet biasa
e. Dilakukan penilaian kesejahteraan janin (KTG / USG)
4. Perawatan Konservatif dianggap gagal bila :
a. Adanya tanda-tanda Impending Eklampsia ( keluhan subyektif )
b. Penilaian kesejahteraan janin jelek
c. Kenaikan tekanan darah progresif
d. Adanya Sindroma HELLP
e. Adanya kelainan fungsi ginjal
10
SOLUSIO PLASENTA
2.2.1 DEFINISI SOLUSIO PLASENTA
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi
normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan 20 minggu dan sebelum janin lahir (Gasong,
1997; Slava; 2006). Cunningham dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta sebagai
separasi prematur plasenta dengan implantasi normalnya korpus uteri sebelum janin lahir
(Cunningham, 2001). Jika separasi ini terjadi di bawah kehamilan 20 minggu maka mungkin
akan didiagnosis sebagai abortus imminens (Rachimhadhi, 2002). Sedangkan Abdul Bari
Saifuddin dalam bukunya mendefinisikan solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta dari
tempat implantasi normalnya sebelum janin lahir, dan definisi ini hanya berlaku apabila
terjadi pada kehamilan di atas 22 minggu atau berat janin di atas 500 gram (Abdul, 2002)
12
13
Insiden solusio plasenta bervariasi, antara 0,2-2,4 % dari seluruh kehamilan. Literatur
lain menyebutkan insidennya 1 dalam 77-89 persalinan, dan bentuk solusio plasenta berat 1
dalam 500-750 persalinan (Pernoll, 1999). Slava dalam penelitiannya melaporkan insidensi
solusio plasenta di dunia adalah 1% dari seluruh kehamilan. Di sini terlihat bahwa tidak ada
angka pasti untuk insiden solusio plasenta, karena adanya perbedaan kriteria dalam
menegakkan diagnosis (Slava, 2006). Di Parkland Memorial Hospital terjadi 1 kasus dalam
500 persalinan. Tetapi seiring dengan penurunan frekuensi ibu dengan paritas tinggi, terjadi
pula penurunan kasus solusio plasenta menjadi 1 dalam 750 persalinan (Cunningham, 2001).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Deering didapatkan 0,12% dari semua kejadian
solusio plasenta di Amerika Serikat menjadi sebab kematian bayi (Pernoll, 1999). Penelitian
retrospektif yang dilakukan oleh Ducloy di Swedia melaporkan dalam 894.619 kelahiran
didapatkan 0,5% terjadi kasus solusio plasenta (Ducloy, 2005).
Cunningham di Amerika Serikat melakukan penelitian pada 763 kasus kematian ibu
hamil yang disebabkan oleh perdarahan. Hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut :
Pada tabel diatas dapat dilihat bahwa solusio plasenta menempati tempat pertama sebagai
penyebab kematian ibu hamil yang disebabkan oleh perdarahan dalam masa kehamilan
(Cunningham, 2001). Di Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo (RSUPCM)
Jakarta didapat angka 2% atau 1 dalam 50 persalinan. Antara tahun 1968-1971 solusio
plasenta terjadi pada kira-kira 2,1% dari seluruh persalinan, yang terdiri dari 14% solusio
plasenta sedang dan 86% solusio plasenta berat. Solusio plasenta ringan jarang didiagnosis,
mungkin karena penderita terlambat datang ke rumah sakit atau tanda-tanda dan gejalanya
terlalu ringan sehingga tidak menarik perhatian penderita maupun dokternya (Rachimhadhi,
2002). Sedangkan penelitian yang dilakukan Suryani di RSUD. DR. M. Djamil Padang dalam
periode 2002-2004 dilaporkan terjadi 19 kasus solusio plasenta dalam 4867 persalinan
(0,39%) atau 1 dalam 256 persalinan (Suryani, 2004).
2.2.4 ETIOLOGI SOLUSIO PLASENTA
14
Penyebab solusio plasenta tidak diketahui dengan pasti, tetapi pada kasus kasus berat
terdapat korelasi dengan penyakit hipertensi vaskuler menahun, dan 15,5% disertai pula oleh
preeklamsia. Faktor lain yang diduga turut berperan sebagai penyebab terjadinya solusio
plasenta adalah tingginya tingkat paritas dan makin bertambahnya usia ibu (Rachimhadhi,
2002).
Penyebab primer solusio plasenta belum diketahui secara pasti, namun ada beberapa
kondisi yang menjadi predisposisi (Cunningham, 2001; Pritchard, 2001) :
1. Hipertensi kronis dan preeklamsia
2. Bertambahnya usia dan paritas ibu
3. Trauma
4. Merokok dan penggunaan kokain
5. Dekompresi uterus yang mendadak
6. Tekanan pada vena kava inferior karena pembesaran uterus.
7. Pernah mengalami solusio plasenta pada kehamilan sebelumnya.
8. Anomali uterus atau tumor uterus
9. Malnutrisi/defisiensi gizi.
Para ahli juga mengemukakan teori mengenai penyebab solusio plasenta :
Akibat turunnya tekanan darah secara tiba-tiba oleh spasme dari arteri yang menuju ke
ruangan interviller, maka terjadilah anoksemia dari jaringan bagian distalnya. Sebelum
menjadi nekrosis, spasme hilang dan darah kembali ke dalam intervili, namun pembuluh
darah distal tadi sudah sedemikian rapuh sehingga mudah pecah, kemudian terbentuk
hematoma yang lambat laun melepaskan plasenta dari rahim. Darah yang berkumpul di
belakang plasenta disebut hematoma retroplacenter (Ducloy, 2005).
Beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya solusio plasenta :
1. Faktor kardio-reno-vaskuler
Glomerulonefritis kronik, hipertensi essensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia
(Moechtar, 1998; Chalik, 1997). Pada penelitian di Parkland, ditemukan bahwa terdapat
hipertensi pada separuh kasus solusio plasenta berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi
tersebut mempunyai penyakit hipertensi kronik, sisanya hipertensi yang disebabkan oleh
kehamilan. Disini terlihat solusio plasenta cenderung berhubungan dengan adanya hipertensi
pada ibu (Pritchard, 2001).
2. Faktor trauma
- Dekompresi uterus pada hidroamnion dan gemeli.
15
- Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar
atau pertolongan persalinan.
- Trauma langsung, seperti jatuh, kena tendang, dan lain-lain.
Dari penelitian yang dilakukan Slava di Amerika Serikat diketahui bahwa trauma yang terjadi
pada ibu (kecelakaan, pukulan, jatuh, dan lain-lain) merupakan penyebab 1,5-9,4% dari
seluruh kasus solusio plasenta (Abdul, 2002). Di RSUPCM dilaporkan 1,2% kasus solusio
plasenta disertai trauma (Rachimhadhi, 2002).
3. Faktor paritas ibu
Lebih banyak dijumpai pada multipara dari pada primipara. Holmer mencatat bahwa dari
83 kasus solusio plasenta yang diteliti dijumpai 45 kasus terjadi pada wanita multipara dan 18
pada primipara (Moechtar, 1998; Chalik, 1997). Pengalaman di RSUPCM menunjukkan
peningkatan kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu dengan paritas tinggi. Hal ini dapat
diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin kurang baik keadaan endometrium
(Rachimhadhi, 2002).
4. Faktor usia ibu
Dalam penelitian Prawirohardjo di RSUPCM dilaporkan bahwa terjadinya peningkatan
kejadian solusio plasenta sejalan dengan meningkatnya umur ibu. Hal ini dapat diterangkan
karena makin tua umur ibu, makin tinggi frekuensi hipertensi menahun (Prawirohardjo, 2002;
Rachimhadhi, 2002).
5. Leiomioma uteri (uterine leiomyoma) yang hamil dapat menyebabkan solusio plasenta
apabila plasenta berimplantasi di atas bagian yang mengandung leiomioma (Pritchard, 2001,
Moechtar, 1998).
6. Faktor pengunaan kokain
Penggunaan kokain mengakibatkan peninggian tekanan darah dan peningkatan pelepasan
katekolamin, yang mana bertanggung jawab atas terjadinya vasospasme pembuluh darah
uterus dan dapat berakibat terlepasnya plasenta. Namun, hipotesis ini belum terbukti secara
definitif. Angka kejadian solusio plasenta pada ibu-ibu penggunan kokain dilaporkan berkisar
antara 13-35% (Deering, 2005).
7. Faktor kebiasaan merokok
Ibu yang perokok juga merupakan penyebab peningkatan kasus solusio plasenta sampai
dengan 25% pada ibu yang merokok 1 (satu) bungkus per hari. Ini dapat diterangkan pada
ibu yang perokok plasenta menjadi tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada
mikrosirkulasinya (Maryuni, 2007). Deering dalam penelitiannya melaporkan bahwa resiko
16
terjadinya solusio plasenta meningkat 40% untuk setiap tahun ibu merokok sampai terjadinya
kehamilan (Deering, 2005).
8. Riwayat solusio plasenta sebelumnya
Hal yang sangat penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solusio plasenta
adalah bahwa resiko berulangnya kejadian ini pada kehamilan berikutnya jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang tidak memiliki riwayat solusio plasenta
sebelumnya (Pritchard, 2001, Slava, 2006, Deering, 2005).
9. Pengaruh lain, seperti anemia, malnutrisi/defisiensi gizi, tekanan uterus pada vena cava
inferior, dan lain-lain (Chalik, 2007).
2.2.5 PATOGENESIS SOLUSIO PLASENTA
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan
terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium
atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan
perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus (Cunningham, 2001; Pritchard, 2001;
Blumenfelt, 1997)
Apabila perdarahan sedikit, hematom yang kecil hanya akan mendesak jaringan plasenta
dan peredaran darah utero-plasenter belum terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum
jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan didapatkan
cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna
kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus menerus karena otot uterus yang
meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi untuk menghentikan perdarahan.
Akibatnya hematom subkhorionik akan bertambah besar, sehingga sebagian dan akhirnya
seluruh plasenta akan lepas dari dinding uterus. Sebagian darah akan masuk ke bawah selaput
ketuban, keluar melalui vagina atau menembus masuk ke dalam kantong ketuban, atau
mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium. Apabila ekstravasasinya
17
berlangsung hebat akan terjadi Uterus Couvelaire, dimana seluruh permukaan uterus akan
tampak bercak kebiruan atau berwarna ungu. Uterus seperti ini akan terasa sangat tegang dan
nyeri dan akan mengganggu kontraktilitas uterus setelah bayi dilahirkan sebagai akibatnya
akan terjadi perdarahan post partum yang hebat (Pritchard, 2001; Rachimhadhi, 2002)
Akibat kerusakan miometrium dan bekuan retroplasenter adalah pelepasan tromboplastin
yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler
dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu
jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi
gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh
lainnya (Rachimhadhi, 2002).
2.2.6 GAMBARAN KLINIS SOLUSIO PLASENTA
Gambaran klinis dari kasus-kasus solusio plasenta diterangkan atas pengelompokannya
menurut gejala klinis (Cunningham,2001; Rachimhadhi, 2002; Gasong, 1997) :
1. Solusio plasenta ringan
Solusio plasenta ringan ini disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat
pelepasan sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan
pervaginam, warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau
terus menerus agak tegang. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba.
Uterus yang agak tegang ini harus selalu diawasi, apakah menjadi semakin tegang karena
perdarahan yang berlangsung. Salah satu tanda yang menimbulkan kecurigaan adanya solusio
plasenta ringan ini adalah perdarahan pervaginam yang berwarna kehitamhitaman
(Cunningham,2001; Rachimhadhi, 2002; Gasong, 1997).
2. Solusio plasenta sedang
Dalam hal ini plasenta telah terlepas lebih dari seperempatnya, tetapi belum duapertiga
luas permukaan. Tanda dan gejala dapat timbul perlahan-lahan seperti solusio plasenta ringan,
tetapi bisa juga secara mendadak dengan gejala sakit perut terus menerus, yang tidak lama
kemudian disusul dengan perdarahan pervaginam. Walaupun perdarahan pervaginam dapat
sedikit, tetapi perdarahan sebenarnya mungkin telah mencapai 1000 ml. Ibu mungkin telah
jatuh kedalam syok, demikian pula janinnya jika masih hidup mungkin telah berada dalam
keadaan gawat. Dinding uterus teraba tegang terus-menerus dan nyeri tekan sehingga bagianbagian janin sukar untuk diraba. Apabila janin masih hidup, bunyi jantung sukar didengar.
Kelainan pembekuan darah dan kelainan ginjal mungkin telah terjadi, walaupun hal tersebut
18
lebih sering terjadi pada solusio plasenta berat (Cunningham,2001; Rachimhadhi, 2002;
Gasong, 1997).
3. Solusio plasenta berat
Plasenta telah terlepas lebih dari sepertiga permukaannnya. Terjadi sangat tibatiba.
Biasanya ibu telah jatuh dalam keadaan syok, dan janinnya telah meninggal. Uterusnya
sangat tegang seperti papan, dan sangat nyeri. Perdarahan pervaginam tampak tidak sesuai
dengan keadaan syok ibu, malahan perdarahan pervaginam mungkin saja belum sempat
terjadi. Pada keadaan- keadaan di atas besar kemungkinan telah terjadi kelainan pada
pembekuan darah dan kelainan/gangguan fungsi ginjal (Cunningham,2001; Rachimhadhi,
2002; Gasong, 1997).
Perdarahan pada solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa
oleh karena pada kejadian tertentu perdarahan yang tampak keluar melalui vagina hampir
tidak ada atau tidak sebanding dengan perdarahan yang berlangsung internal yang sangat
banyak. Penampakan yang mengecoh inilah sebenarnya yang membuat solusio plasenta lebih
berbahaya karena dalam keadaan yang demikian seringkali perkiraan jumlah darah yang telah
keluar sukar diperhitungkan, padahal janin telah mati dan ibu berada dalam keadaan syok
(Rachimhadhi, 2002).
Gejala dan tanda solusio plasenta sangat beragam, sehingga sulit menegakkan
diagnosisnya dengan cepat. Dari penelitian oleh Hard dan kawan-kawan diketahui bahwa
15% dari kasus solusio plasenta didiagnosis dengan persalinan premature idiopatik, sampai
kemudian terjadi gawat janin, perdarahan hebat, kontraksi uterus yang hebat, hipertoni uterus
yang menetap, gejala-gejala ini dapat ditemukan sebagai gejala tunggal, tapi lebih sering
berupa gejala kombinasi (Cunningham, 2001).
2.2.7 KOMPLIKASI SOLUSIO PLASENTA
Komplikasi solusio plasenta pada ibu dan janin tergantung dari luasnya plasenta yang
terlepas, usia kehamilan dan lamanya solusio plasenta berlangsung. Komplikasi yang dapat
terjadi pada ibu :
1. Syok perdarahan
Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solusio plasenta hampir tidak dapat dicegah,
kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila persalinan telah selesai sekalipun,
penderita belum bebas dari perdarahan postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat
untuk menghentikan perdarahan pada kala III dan adanya kelainan pada pembekuan darah.
19
Pada solusio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan proporsi perdarahan
yang terlihat (Cunningham,2001; Pritchard, 2001; Deering, 2005).
Titik akhir dari hipotensi yang persisten adalah asfiksia, karena itu pengobatan segera ialah
pemulihan defisit volume intravaskuler secepat mungkin. Angka kematian dan kesakitan ibu
tertinggi terjadi pada solusio plasenta berat. Meskipun kematian dapat terjadi akibat nekrosis
hipofifis dan gagal ginjal, tapi mayoritas kematian disebabkan syok perdarahan dan
penimbunan cairan yang berlebihan. Tekanan darah tidak merupakan petunjuk banyaknya
perdarahan, karena vasospasme akibat perdarahan akan meninggikan tekanan darah.
Pemberian terapi cairan bertujuan mengembalikan stabilitas hemodinamik dan mengkoreksi
keadaan koagulopathi. Untuk tujuan ini pemberian darah segar adalah pilihan yang ideal,
karena pemberian darah segar selain dapat memberikan sel darah merah juga dilengkapi oleh
platelet dan faktor pembekuan (Blumenfelt, 1997).
2. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering pada solusio plasenta, pada dasarnya
disebabkan hipovolemia oleh karena perdarahan. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang
mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang baik. Perfusi
ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan intravaskuler. Oliguri dan proteinuri akan
terjadi akibat nekrosis tubuli atau korteks ginjal mendadak (Cunningham, 2001,
Rachimhadhi, 2002). Oleh karena itu oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran
pengeluaran urin yang harus secara rutin dilakukan pada solusio plasenta berat. Pencegahan
gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang secukupnya, pemberantasan infeksi, atasi
hipovolemia, secepat mungkin menyelesaikan persalinan dan mengatasi kelainan pembekuan
darah (Cunningham, 2001).
3. Kelainan pembekuan darah
Kelainan
pembekuan
darah
pada
solusio
plasenta
biasanya
disebabkan
oleh
Pada pembuluh darah terminal (arteriole, kapiler, venule) terjadi pembekuan darah, disebut
disseminated intravasculer clotting. Akibatnya ialah peredaran darah kapiler (mikrosirkulasi)
terganggu. Jadi pada fase I, turunnya kadar fibrinogen disebabkan karena pemakaian zat
tersebut, maka fase I disebut juga coagulopathi consumptive. Diduga bahwa hematom
subkhorionik mengeluarkan tromboplastin yang menyebabkan pembekuan intravaskuler
tersebut. Akibat gangguan mikrosirkulasi dapat mengakibatkan syok, kerusakan jaringan
pada alat-alat yang penting karena hipoksia dan kerusakan ginjal yang dapat menyebabkan
oliguria/anuria (Slava, 2006).
b. Fase II
Fase ini sebetulnya fase regulasi reparatif, yaitu usaha badan untuk membuka kembali
peredaran darah kapiler yang tersumbat. Usaha ini dilaksanakan dengan fibrinolisis.
Fibrinolisis yang berlebihan, lebih menurunkan lagi kadar fibrinogen sehingga terjadi
perdarahan patologis (Maryuni, 2005). Kecurigaan akan adanya kelainan pembekuan darah
harus dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, namun di klinik pengamatan pembekuan
darah merupakan cara pemeriksaan yang terbaik. Karena pemeriksaan laboratorium lainnya
memerlukan waktu terlalu lama, sehingga hasilnya tidak mencerminkan keadaan penderita
saat itu (Cunningham, 2001).
4. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)
Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan di bawah
perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum. Perdarahan ini menyebabkan
gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus berubah menjadi biru yang biasa disebut
Uterus couvelaire. Tapi apakah uterus ini harus diangkat atau tidak tergantung pada
kesanggupannya menghentikan perdarahan (Suryani, 2004). Komplikasi yang dapat terjadi
pada janin (Slava, 2006; Deering, 2005; Ducloy, 2005) :
1. Fetal distress dan gangguan pertumbuhan/perkembangan
2. Hipoksia dan anemia
3. Kematian
2.2.8 DIAGNOSIS SOLUSIO PLASENTA
Keluhan dan gejala pada solusio plasenta dapat bervariasi cukup luas. Sebagai contoh,
perdarahan eksternal bisa banyak sekali, meskipun pelepasan plasenta belum begitu luas
sehingga menimbulkan efek langsung pada janin, atau dapat juga terjadi perdarahan eksternal
tidak ada, tetapi plasenta sudah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai akibat
langsung dari keadaan ini. Solusio plasenta dengan perdarahan tersembunyi mengandung
21
ancaman bahaya yang jauh lebih besar bagi ibu, hal ini bukan saja terjadi akibat
kemungkinan koagulopati yang lebih tinggi, namun juga akibat intensitas perdarahan yang
tidak diketahui sehingga pemberian transfusi sering tidak memadai atau terlambat (2,3).
Menurut penelitian retrospektif yang dilakukan Hurd dan kawan-kawan pada 59 kasus
solusio plasenta dilaporkan gejala dan tanda pada solusio plasenta (Cunningham, 2001;
Pritchard, 2001) :
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa perdarahan pervaginam merupakan gejala atau
tanda terbanyak dari kasus solusio plasenta. Berdasarkan kepada gejala-gejala dan tandatanda yang terdapat pada solusio plasenta klasik umumnya tidak sulit menegakkan diagnosis,
tapi tidak demikian halnya pada bentuk solusio plasenta sedang dan ringan. Solusio plasenta
klasik mempunyai ciri-ciri nyeri yang hebat pada perut yang datangnya cepat disertai uterus
yang tegang terus menerus seperti papan, penderita menjadi anemia dan syok, denyut jantung
janin tidak terdengar dan palpasi perut sulit meraba bagian-bagian janin.
Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solusio plasenta
antara lain (Rachimhadhi, 2002; Blumenfelt, 1997) :
1. Anamnesis
- Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat melokalisir tempat mana
yang paling sakit.
- Perdarahan pervaginam yang sifatnya bisa hebat dan tiba tiba (non-recurrent) terdiri dari
darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman .
- Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti (anak tidak
bergerak lagi).
- Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu terlihat anemis
yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam.
- Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.
2. Inspeksi
- Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.
22
24
25
BAB III
STATUS OBSTETRI
I. IDENTITAS
Nama
Usia
Pekerjaan
Agama
Suku
Alamat
MRS
:
:
:
:
:
:
:
Ny. R
23 tahun
IRT
Islam
Sasak
Meninting, Batu layar, Lombok Barat.
6 September 2012 / 16.30 WITA
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama : Nyeri perut hilang timbul yang menjalar ke pinggang
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien rujukan dari Puskesmas Meninting dengan G1P0A0H0 37 38 minggu T/H/IU
presentasi kepala, partus kala I fase aktif dengan preeklamsia berat. Pasien mengeluh
nyeri perut hilang timbul yang menjalar ke pinggang sejak pukul 00.00 WITA
(06/09/2012). Bloody slim (+) sejak pukul 04.00 WITA (06/09/2012). Riwayat keluar
darah berwarna kehitaman pada pukul 15.00 WITA (06/09/2012). Riwayat keluar air dari
jalan lahir (-). Pasien mengaku masih merasakan gerakan janinnya. Riwayat sakit kepala
(-), riwayat pandangan kabur (-), riwayat nyeri ulu hati (-).
Kronologis di Puskesmas Meninting
06/09/2012 (13.00)
S : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut yang menyebar ke pinggang sejak
06/09/2012. Bloody slim (+).
O : GC : Baik
TD : 140/110 mmHg
HR
: 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T
: 37 oC
TFU : 27 cm
TBJ : 2480 gram
His : 2x/10~20
DJJ
: 11-11-12 (136 x/menit)
L1
: Bokong
L2
: Punggung di sebelah kiri
L3
: Kepala
L4
: 3/5
VT : 4 cm, effacement 50%, amnion (+), teraba kepala HI, tidak teraba bagian
terkecil janin dan tali pusat.
A : G1P0A0H0 37 38 minggu T/H/IU presentasi kepala, partus kala I fase aktif dengan
preeklamsia berat.
26
P:
Nifedipine 5 mg sublingual
Infus RL + MgSO4 40% drip 28 tpm
Bolus MgSO4 4 gr
Pasang DC
Rujuk ke RSUP NTB
: (-)
: Suntikan tiap 3 bulan
: bekas luka operasi (-), striae gravidarum (+), linea nigra (+),
nyeri tekan (+), defans muscular (-).
: edema - akral teraba hangat + +
27
- -
+ +
CTG
V. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
HGB
RBC
HCT
WBC
PLT
:
:
:
:
:
9,9
5,49
34,3
15
451
g/dl
106/L
%
106/L
106/L
- HbSAg : (-)
- Proteinuria : + 3
VI. DIAGNOSIS
G1P0A0H0 37 38 minggu T/H/IU presentasi kepala, persalinan kala I fase aktif
dengan preeklamsia, solusio plasenta, dan anemia ringan.
VII. TINDAKAN
AS Bayi : 5-7
Planing :
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
IX. PLASENTA
Lahir
Lengkap
Berat
Perdarahan
Temuan
:
:
:
:
:
Spontan
Ya
+ 300 gram
+ 300 cc
Ditemukan retro plasenta hematom dan kalsifikasi
HGB
RBC
HCT
WBC
PLT
:
:
:
:
:
8,8
4,86
30,5
21,09
384
g/dl
106/L
%
106/L
106/L
29
:
:
:
:
:
:
:
:
:
:
Baik
Compos mentis E4V5M6
110/70 mmHg
108 x/menit
20 x/menit
36 C
(+) baik
2 jari di bawah umbilikus
(-)
(+)
30
TIME
06/09/2012
16.30
SUBJECTIVE
Pasien
rujukan
OBJECTIVE
dari
Riwayat
keluar
Gallop (-).
WITA Pulmo : vesicular (+/+), wheezing (-/-),
merasakan
gerakan
G1P0A0H0 37 38
minggu T/H/IU
presentasi kepala,
PLANNING
janin
Observasi kemajuan
persalinan
40% 6 gr 28 tpm
Nifedipine 3 x 1 10 mg per
oral
Pemeriksaan laboratorium :
anemia ringan.
SGPT
DM mengusulkan ke SPV :
dari jalan lahir (-). Pasien mengaku Extremitas : edema (-/-), warm acral
masih
ASSESSMENT
janinnya. (+/+).
hati (-).
Status Obstetri
L1 : bokong
TFU : 28 cm
L2 : puki
TBJ : 2635 gram
L3 : kepala
His : 2x/10~35
L4 : 4/5
DJJ : 11-12-11 (136
x/menit)
HPHT : 16/12/2011
HTP : 23/09/2012
oksitosin drip
Kemudian dr. jaga konsul
Riwayat
sakit
kepala
(-),
riwayat
oksitosin drip
SPV advice : Konsul ke
dokter jaga terlebih dahulu.
DM mengusulkan ke dr.
31
TBJ
3504
g,
HTP
11/07/2012.
Riwayat KB : (-)
Rencana KB : injeksi 3 bulan
Riwayat Obstetri :
Pemeriksaan Laboratorium :
Hb : 9,9 g/dl
RBC : 5,49 x 106/L
HCT : 34,4 %
WBC : 15,00 x 106/L
PLT : 451 x 106/L
HbSAg : (-)
Proteinuria : +3
CTG : reaktif DM
melakukan akselerasi drip
oksitosin. Drip oxitocin
1. Ini
Kronologis di Puskesmas Meninting
06/09/2012 (13.00)
S : Pasien datang dengan keluhan nyeri perut
yang menyebar sampai ke pinggang sejak
06/09/2012. Bloody slim (+).
O : GC : baik
TD : 140/110 mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 37 oC
TFU : 27 cm
TBJ : 2480 gram
His : 2x/10~20
DJJ : 11-11-12 (136 x/menit)
L1 : Bokong
32
L2 : Puki
L3 : Kepala
L4 : 3/5
VT : 4 cm, effacement 50%, amnion (+),
teraba kepala HI, denom belum jelas,
tidak teraba bagian terkecil janin dan tali
pusat.
Protein urine : + 3
A : G1P0A0H0 37 38 minggu T/H/IU
presentasi kepala, persalinan kala I fase aktif
dengan PEB.
P:
Nifedipine 5 mg sublingual
Infus RL + MgSO4 40 % drip 28
tpm
Bolus MgSO4 4 gr
Pasang DC
Rujuk ke RSUP NTB
33
17.00
17.30
18.00
18.30
His : 2x/10~35
DJJ : 13-12-13 (152 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 160/100 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,2 0C
His : 2x/10~35
DJJ : 13-12-12 (148 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 160/100 mmHg
N : 92 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,4 0C
His : 2x/10~35
DJJ : 13-12-13 (152 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 160/90 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,2 0C
His : 3x/10~35
DJJ : 12-12-12 (144 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
34
19.00
19.30
20.00
20.30
TD : 160/90 mmHg
N : 102 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,4 0C
His : 3x/10~35
DJJ : 12-12-13 (148 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 160/90 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 35,9 0C
His : 3x/10~35
DJJ : 12-12-12 (144 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 108 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36 0C
His : 3x/10~40
DJJ : 12-13-12 (148 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 102 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,5 0C
His : 3x/10~40
DJJ : 12-11-12 (140 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 108 x/menit
RR : 24 x/menit
35
T : 36,3 0C
drip di 36 tpm
21.30
22.00
His : 3x/10~40
DJJ : 12-13-13 (152 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 102 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,5 0C
His : 3x/10~40
DJJ : 12-12-13 (148 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 108 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,7 0C
His : 3x/10~40
DJJ : 12-13-13 (152 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 140/90 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,4 0C
Maintenance tetesan
oxytocin drip di 36 tpm
Observasi kesra ibu & janin
Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip
MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
Maintenance tetesan
oxytocin drip di 36 tpm
Observasi kesra ibu & janin
Observasi kemajuan persalinan
Lanjutkan infus RL + drip
MgSO4 40% 6 gr 28 tpm
Maintenance tetesan
oxytocin drip di 36 tpm
36
22.30
23.00
23,30
His : 4x/10~40
DJJ : 12-12-12 (144 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 140/90 mmHg
N : 102 x/menit
RR : 24 x/menit
membuka,
His : 4x/10~40
DJJ : 10-11-11 (128 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 150/90 mmHg
N : 112 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,2 0C
Inspeksi : Tekanan anus, perineum
vulva
drip di 36 tpm
T : 36,2 0C
His : 4x/10~40
DJJ : 12-13-13 (152 x/menit)
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 140/90 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 35,8 0C
menonjol,
G1P0A0H0 37 38
minggu T/H/IU
presentasi kepala,
persalinan kala II
dengan PEB, solusio
plasenta, dan anemia
drip di 36 tpm
Pimpin persalinan
aktif ringan.
bleeding (+)
VT : lengkap, effacement 100%,
amnion (+), teraba kepala, HII,
37
denom
uuk,
tidak
teraba
bagian
23.40
AS
5-7.
Anus
(+),
anomaly
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 120/80 mmHg
N : 112 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,2 0C
Kontraksi uterus : (+) Baik
TFU : 2 jari dibawah umbilicus
Perdarahan aktif : (-)
partum
Observasi
kesra
ibu
perdarahan aktif
38
dan
HCT : 30,5 %
WBC : 21,09 x 106/L
PLT : 384 x 106/L
06.00
KU : Sedang
Kesadaran : CM E4V5M6
TD : 110/70 mmHg
N : 108 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36 0C
Kontraksi uterus : (+) Baik
TFU : 2 jari dibawah umbilicus
Perdarahan aktif : (-)
Observasi
perdarahan aktif
Anjurkan ibu untuk makan dan
kesra
ibu
minum
39
dan
BAB IV
PEMBAHASAN
Preeklampsia berat adalah timbulnya hipertensi 160/110 mmHg disertai
proteinuria +3 dan atau edema pada kehamilan setelah 20 minggu. Pada kasus ini pasien
dikatakan mengalami preeklampsia berat karena pasien sudah hamil lebih dari 20 minggu dan
mengalami hipertensi, yaitu tekanan darahnya sebesar 160/100 mmHg dan disertai
proteinuria +3. Walaupun edema pada pasien ini tidak ada, namun terdapatnya kriteria
tekanan darah tinggi disertai proteinuria +3 sudah cukup untuk mendiagnosis pasien menjadi
preeklamsia berat.
Hipertensi terjadi sebagai usaha untuk mengatasi kenaikan tahanan perifer agar
oksigenasi jaringan dapat tercukupi. Proteinuria terjadi karena pada preeklampsia
permeabilitas pembuluh darah terhadap protein meningkat. Edema terjadi karena terjadi
penimbunan cairan yang berlebihan dalam ruang interstitial. Pada preeklampsia dijumpai
kadar aldosteron yang rendah dan konsentrasi prolaktin yang tinggi daripada kehamilan
normal. Aldosteron penting untuk mempertahankan volume plasma dan mengatur retensi air
dan natrium. Pada preeklampsia terjadi perubahan pada ginjal yang disebabkan oleh aliran
darah kedalam ginjal menurun sehingga mengakibatkan filtrasi glomerulus berkurang atau
mengalami penurunan. Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriole ginjal
menyebabkan filtrasi natrium melalui glomerulus menurun yang menyebabkan retensi garam
dan juga retensi air.
Tanda lain dari preeklampsia berat yang tidak dijumpai pada kasus ini adalah
Oliguria, jumlah produksi urine < 500 cc / 24 jam yang disertai kenaikan kadar
kreatinin darah. Hal ini terjadi karena pada preeklampsia filtrasi glomerulus dapat turun
sampai 50% dari normal sehingga menyebabkan diuresis menurun; pada keadaan lanjut
dapat terjadi oliguria atau anuria.
Gangguan Serebral : kepala pusing dan sakit kepala karena vasospasme / edema otak
dan adanya resistensi pembuluh darah dalam otak.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen karena regangan
selaput hati oleh perdarahan / edema atau sakit akibat perubahan pada lambung.
40
Edema paru dan sianosis. Edema paru merupakan penyebab utama kematian pada
penderita preeklampsia dan eklampsia. Komplikasi ini terjadi sebagai akibat
dekompensasio kordis kiri.
Terapi preeklampsia berat menggunakan MgSO4 40% 6 gr dalam 500 cc larutan RL
(drip 28 tetes/ menit) dan MgSO4 40% 4 gr IV (bolus) dalam kasus ini terbukti efektif dalam
mencegah terjadinya kejang pada penderita. Pemberian Nifedipin 3 x 10 mg peroral juga
efektif pada pasien ini. Setelah bayi lahir keadaan tekanan darah pasien segera turun dan
berada dalam keadaan normotensi (tekanan darah normal). Walaupun tekanan darah pasien
sudah turun namun namun pemberian MgSO4 tetap dilanjutkan hingga 24 jam post partum
untuk mencegah terjadinya kejang yang dapat juga terjadi saat post partum. Keadaan terakhir
ibu dan bayi dalam keadaan sehat. Bayi segera dibawa ke NICU untuk mendapatkan
perawatan yang intensif oleh karena afgar skor bayi 5 7.
Untuk mengantisipasi preeklamsia pada kehamilan berikutnya ibu dianjurkan untuk ANC
yg lebih teratur pada kehamilan berikutnya, karena dengan ANC yg baik, ibu dapat
mengetahui tanda bahaya pada kehamilannya serta lebih dapat mempersiapkan mental dan
fisik ibu pada waktu persalinan. Pentingnya perkembangan ANC pada saat umur kehamilan <
20 mg akan membantu menegakkan diagnosa preeklampsi dan menyingkirkan diagnosa
banding hipertensi kronik dalam kehamilan. Selain itu ibu danjurkan untuk menggunakan KB
spiral untuk meningkatkan efektifitas program KB di masyarakat. Pada kasus ini ibu tidak
menyetujui pilihan KB tersebut karena alasan takut tidak bisa punya anak lagi dan lebih
memilih KB injeksi 3 bulan. Hal ini sangat disayangkan karena pengetahuan tentang KB
pasca persalinan secara lengkap seharusnya sudah didapat saat dilakukan ANC yang baik
oleh kader posyandu atau bidan puskesmas di tempat ibu memeriksakan diri.
Pada pasien ini juga terjadi solusio plasenta. Solusio plasenta adalah terlepasnya
sebagian atau keseluruhan plasenta dari implantasi normalnya setelah kehamilan 20 minggu
dan sebelum janin lahir. Pada pasien ini kemungkinan terjadi solusio plasenta ringan karena
ditemukan perut tidak tegang, namun ditemukan nyeri tekan, dan adanya riwayat perdarahan
pervaginam yang berwarna kehitaman pada pasien, ibu terlihat anemis, belum adanya tanda
renjatan pada pasien, dan janin masih hidup dengan kondisi baik saat di dalam rahim. Saat
plasenta lahir ditemukan hematoma retroplacenta pada plasenta janin. Hematoma ini
merupakan koagulum atau darah beku di belakang plasenta yang menjadi pertanda khas
solusio plasenta.
41
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan
terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium
atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan
perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus. Apabila perdarahan sedikit, hematom yang
kecil hanya akan mendesak jaringan plasenta dan peredaran darah utero-plasenter belum
terganggu, serta gejala dan tandanya pun belum jelas. Kejadian baru diketahui setelah
plasenta lahir, yang pada pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya
dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Biasanya perdarahan akan berlangsung
terus menerus karena otot uterus yang meregang oleh kehamilan tidak mampu berkontraksi
untuk menghentikan perdarahan. Akibatnya hematom subkhorionik akan bertambah besar,
sehingga sebagian dan akhirnya seluruh plasenta akan lepas dari dinding uterus. Sebagian
darah akan masuk ke bawah selaput ketuban, keluar melalui vagina atau menembus masuk ke
dalam kantong ketuban, atau mengadakan ekstravasasi di antara otot-otot miometrium.
Solusio plasenta ringan disebut juga ruptura sinus marginalis, dimana terdapat pelepasan
sebagian kecil plasenta yang tidak berdarah banyak. Apabila terjadi perdarahan pervaginam,
warnanya akan kehitam-hitaman dan sedikit sakit. Perut terasa agak sakit, atau terus menerus
agak tegang. Walaupun demikian, bagian-bagian janin masih mudah diraba. Uterus yang agak
tegang ini harus selalu diawasi, apakah menjadi semakin tegang karena perdarahan yang
berlangsung.
Penanganan solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya gejala klinis. Pada
pasien ini terjadi solusio plasenta ringan pada usia kehamilan aterm maka penanganan yang
dilakukan adalah terminasi kehamilan. Terminasi kehamilan dilakukan dengan amniotomi,
infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria. Amniotomi akan merangsang persalinan dan
mengurangi tekanan intrauterin. Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan
dari tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu yang
mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom subkhorionik. Persalinan
juga dapat dipercepat dengan infus oksitosin yang memperbaiki kontraksi uterus.
Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi
jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infuse oksitosin,
maka satu-satunya cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria. Pasien ini dating dengan
bukaan 4 cm, solusio plasenta ringan, serta tidak ada kontraindikasi persalinan pervaginan
jadi dapat dicoba terlebih dahulu persalinan pervaginam dengan melakukan akselerasi.
Hasilnya pun berakhir baik dimana bayi dapat dilahirkan secara pervaginam.
42
REFERENSI
Abdul BS. Kematian maternal. Dalam: Ilmu Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2002; 22-4.
Ariani DW, Astari MA, Anita H, et al. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku tentang Kehamilan,
Persalinan, serta Komplikasinya pada Ibu Hamil Nonprimigravida di RSUPN Cipto
Mangunkosumo. Majalah Kedokteran Indonesia vol 55, 2005; 631-38.
Blumenfelt M, Gabbe S. Placental Abruption. In: Sciarra Gynecology and Obstetrics;
Revised Ed, 1997. Philadelphia: Lippincott Raven Publ, 1997; 1-17
Chalik TMH. Hemoragi Utama Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Widya Medika, 1997; 10926.
Cunningham FG, Macdonald PC, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC. Wiliam Obstetrics 21th
edition. Prentice Hall International Inc Appleton. Lange USA. 2001; 819-41.
Deering SH. Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2005 [2006 August 31]; Topic6:[11
screens]. Available from:URL: http://www.emedicine.com_med_topic6.htm
Dharma, R., Wibowo2, N., Raranta, H. 2005. Disfungsi Endotel Pada Preeklampsia. Makara,
Kesehatan. Volume: 9. No. 2.
Doddy AK, Soesbandoro, Damanik. 2008. Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Umum
Propinsi Nusa Tenggara Barat. Mataram. Bagian Obstetri dan Ginekologi Rumah Sakit
Umum Propinsi Nusa Tenggara Barat
Ducloy AS, de Flandre FJ, OLambret A. Obstetric Anaesthesia-Placental Abruption [Online]
2005 November [2006 August 31]; 417_01:[5 screens]. Available from:URL:
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u14/u1417_01.htm
Gasong MS, Hartono E, Moerniaeni N. Penatalaksanaan Perdarahan Antepartum. Bagian
Obstetri dan Ginekologi FK UNHAS; 1997. 3-8.
Maryuni SW. Ancaman Rokok terhadap Kehamilan. Informatika Kedokteran [Online] 2005
[Pekanbaru 2006 June 2] Available from:URL: http://www.riaupos.com
Moechtar R. Perdarahan Antepartum. Dalam: Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan
Obstetri Patologis, Edisi II. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998; 279-7.
Moses S. Placental Abruption/Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2006 December [2007
January 20]; Topic13:[11 screens]. Available from:URL: http://www. fpnotebook.com
/OB13.htm
Pangemanan, W.T. 2002. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia
43
Pernoll ML. Third Trimester Hemorrhage. Dalam : Current Obstetric & Gynecologic, 10th
ed. USA: Appleton & Lange, 1999; 400-44
Prawirohardjo S, Hanifa W. Kebidanan dalam masa lampau, kini dan kelak. Dalam: Ilmu
Kebidanan, edisi III. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2002; 3-21.
Pritchard JA, MacDonald PC, Gant NF. Williams Obstetrics, 20th ed. R Hariadi, R Prajitno
Prabowo, Soedarto, penerjemah. Obstetri Williams. Edisi 20. Surabaya: Airlangga
University Press, 2001; 456-70.
Rachimhadhi, T. 2006. Preeklampsia dan Eklampsia. Dalam Ilmu Kebidanan Edisi ketiga.
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta. Hal 287-288
Roeshadi, H. 2006. Upaya Menurunkan Angka Kesakitan dan Angka Kematian Ibu Pada
Penderita Preeklampsia dan Eklampsia
Rozikhan. Faktor-faktor risiko terjadinya preeklampsia berat Di rumah sakit dr. H.
Soewondo Kendal.
Slava VG. Abruptio Placentae. Emerg [Online] 2006 [2006 August 29]; Topic12:[9 screens].
Available from:URL: http://www.emedicine.com/emerg/topic12.htm.
Sudhaberata, K. 2001. Penanganan Preeklampsia Berat dan Eklampsia. Cermin Dunia
Kedokteran. No. 133
Suryani E. Solusio Plasenta di RSUP. Dr.M.Djamil padang selama 2 tahun (1 Januari 200231 Desember 2004). Skipsi. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, 2004; 1-40
Wiknjosastro. 2008. Ilmu Kandungan. Jakarta : Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
WHO. Managing Complications in Pregnancy and Childbirth. Geneva: WHO, 2003. 518-20.
44