Anda di halaman 1dari 9

Latar Belakang

Filariasis merupakan salah satu penyakit yang termasuk endemis di Indonesia. Seiring dengan
terjadinya perubahan pola enyebaran penyakit di negara-negara sedang berkembang, penyakit
menular masih berperan sebagai penyebab utama kesakitan dan kematian. Salah satu penyakit
menular adalah penyakit kaki gajah (Filariasis). Penyakit ini merupakan penyakit menular
menahun yang disebabkan oleh cacing filaria. Di dalam tubuh manusia cacing filaria hidup di
saluran dan kelenjar getah bening(limfe), dapat menyebabkan gejala klinis akut dan gejala
kronis. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk. Akibat yang ditimbulkan pada
stadium lanjut (kronis) dapat menimbulkan cacat menetap seumur hidupnya berupa
pembesaran kaki (seperti kaki gajah) dan pembesaran bagian bagian tubuh yang lain seperti
lengan, kantong buah zakar, payudara dan alat kelamin wanita
Pada tahun 1994 World Health Organization (WHO) telah menyatakan bahwa penyakit kaki
gajah dapat di eleminasi dan dilanjutkan pada tahun 1997 World Health Assembly membuat
resolusi tentang eliminasi penyakit kaki gajah dan pada tahun 2000 WHO telah menetapkan
komitmen global untuk mengeliminasi penyakit kaki gajah (The Global Goal of Elimination
of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the year 2020).
Di Indonesia penyakit kaki gajah pertama kali ditemukan di Jakarta pada tahun 1889.
Berdasarkan rapid mapping kasus klinis kronis filariasis tahun 2000 wilayah Indonesia yang
menempati ranking tertinggi kejadian filariasis adalah Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi
Nusa Tenggara Timur dengan jumlah kasus masing-masing 1908 dan 1706 kasus kronis.
Menurut Barodji dkk (1990 1995) Wilayah Kabupaten Flores Timur merupakan daerah
endemis penyakit kaki gajah yangdisebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti dan Brugia
timori. Selanjutnya oleh Partono dkk (1972) penyakit kaki gajah ditemukan di Sulawesi. Di
Kalimantan oleh Soedomo dkk (1980) Menyusul di Sumatra oleh Suzuki dkk (1981)
Sedangkan penyebab penyakit kaki gajah yang ditemukan di Sulawesi, Kalimantan dan
Sumatra tersebut adalah dari spesies Brugia malayi.
Selain ke tiga wilayah kepulauan tersebutdiatas sebagaimana yang termuat didalam modul
eleminasi penyakit kaki gajah yang di terbitkan oleh Depkes. RI melalui Ditjen PPM &
PLDirektorat P2B2 Subdit Filariasis dan Schistosomiasis (2002) endemisitas kejadian
filariasis juga terdapat dibeberapa propinsi lainya di Indonesia, diantaranya Kabupaten
Bekasi Propinsi Jawa Barat, Kabupaten Pekalongan Propinsi Jawa Tengah, Kabupaten Lebak
Tangerang Propinsi Banten, Batam Propinsi Riau, Lampung Timur Propinsi Lampung,
Mamuju Propinsi Sulawesi Selatan, Donggala Propinsi Sulawesi Tengah, Kab. Pontianak
Propinsi Kalimantan Barat, Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah, dan Kota Baru
Propinsi Kalimantan Selatan. Menurut Harijani AM. (1981) ditemukan Brugia malayi di
Kalimantan Selatan bersifat Zoonosis karena dari penangkapan berbagai binatang, kucing,
monyet daun mengandung Brugia malayi stadium dewasa dan vektornyadapat menggigit baik
manusia maupun hewan.

1.2 RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN


a.

RUMUSAN MASALAH

Tingginya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit kaki gajah (Filariasis)

b.

TUJUAN

1.

Untuk mengetahui pengertian penyakit kaki gajah

2.

Untuk mengetahui etiologi, masa inkubasi, diagnosis penyakit kaki gajah

3.

Untuk mengetahuicara penularan penyakit kaki gajah

4.

Untuk mengetahui pencegahan dan penanggulangan penyakit kaki gajah

BAB II
TELAAH PUSTAKA

2.1 Pengertian penyakit kaki gajah ( FILARIASIS )


a. Filariasis adalah suatu infeksi cacing gelang melalui nyamuk yang hanya sesekali bersifat
zoonik. Dapat menimbulkan pembesaran yang menyolok dan cacat dari anggota tubuh
b. Filariasis adalah suatu kelompok penyakit yang disebabkan oleh filarioidea di negaranegara tropis dan sub tropis.
c. Filariasis adalah penyakit kaki gajah yang disebabkan oleh cacing benang (Kamus Besar
Bahasa Indonesia)
d. Filariasis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat dipindahkan oleh cacing filaria ke tubuh

2.2 Etiologi penyakit kaki gajah ( FILARIASIS )


Wuchereria bancrofti hanya ditemukan pada manusia; Brugia malayi sering kali menyebar
kepada manusia melalui inang hewan. Parasit dewasa hidup di sistem limphatik. Microfilaria

yang dilepaskan oleh betina gravit ditemukan di darah perifer, biasanya pada malam hari.
Infeksi menyebar melalui banyak genera nyamuk; vektor Wuchereria bancrofti adalah aedes,
culex, dan anopheles; vektor Brugia malayi adalah anopheles dan mansonia. Microfilaria
dimakan oleh nyamuk, berkembang di otot torax serangga, dan kemudian matur dan
bermigrasi ke bagian mulut serangga. Jika nyamuk terinfeksi menggigit inang baru,
microfilaria masuk ke tempat gigitan dan akhirnya mencapai saluran limfatik, dimana mereka
manjadi matur.
Inflamasi dan fibrosis yang terjadi disekitar cacing dewasa dan mudah menghasilkan
obstruksi limfatik progresif. Microfilaria mungkin tidak berperang langsung dalam reaksi
inang.
2.3 Masa inkubasi dan diagnos
A.

Masa inkubasi
Pada manusia antara 3-15 bulan sedangkan pada hewan bervariasi sampai beberapa bulan

Masa inkubasi mungkin sesingkat 2 bulan. Periode pra paten (dari saat infeksi sampai
tampaknya microfilaria di dalam darah) sekurang-kurangnya 8 bulan.

B.

Diagnosis

Diagnosis Klinik

Ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan klinik. Diagnosis klinik penting


dalam menentukan angka kesakitan akut dan menahun (Acute and Chronic Disease Rate).
Pada keadaan amikrofilaremik, gejala klinis yang mendukung dalam diagnosis filariasis
adalah gejala dan pengalaman limfadenitis retrograd, limfadenitis berulang dan gejala
menahun.

Diagnosis Parasitologik

Ditemukan mikrofilaria pada pemeriksaan darah jari pada malam hari. Pemeriksaan dapat
dilakukan slang hari, 30 menit setelah diberi dietilkarbamasin 100 mg. Dari mikrofilaria
secara morfologis dapat ditentukan species cacing filaria.
Pada keadaan amikrofilaremia seperti pada keadaan prepaten, inkubasi, amikrofilaremia
dengan gejala menahun, occult filariasis, maka deteksi antibodi dan/atau antigen dengan cara
immunodiagnosis diharapkan dapat menunjang diagnosis.
Adanya antibodi tidak menunjukE3kan korelasi positif dengan mikrofilaremi, tidak
membedakan infeksi dini dan infeksi lama. Deteksi antigen merupakan deteksi metabolit,
ekskresi dan sekresi parasit tersebut, sehingga lebih mendekati diagnosis parasitologik,

antibodi monokional terhadap O.gibsoni menunjukkan korelasi yang cukup baik dengan
mikrofilaremia W. bancrofti di Papua New Guinea.

Diagnosis Epidemiologik

Endemisitas filariasis suatu daerah ditentukan dengan menentukan microfilarial rate (mf
rate), Acute Disease Rate (ADR) dan Chronic Disease Rate (CDR) dengan memeriksa
sedikitnya 10% dari jumlah penduduk.
Pendekatan praktis untuk menentukan daerah endemis filariasis dapat melalui penemuan
penderita elefantiasis.
Dengan ditemukannya satu penderita elefantiasis di antara 1000 penduduk, dapat
diperkirakan ada 10 penderita klinis akut dan 100 yang mikrofilaremik.
2.5 Cara penularan
Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut digigit
nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ). Nyamuk
tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah penderita
mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria. Siklus
Penularan penyakit kaki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam tubuh
nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan
reservoair.
Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa ; Demam berulang-ulang selama 3-5 hari. Demam
dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan kelenjar
getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang tampak
kemerahan, panas dan sakit ; radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan
sakit yang menjalar dari pangkal kaki atau pangkal lengan kearah ujung (retrograde
lymphangitis) ; filarial abses akibat seringnya menderita pembengkakan kelenjar getah
bening, dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah ; pembesaran tungkai, lengan, buah
dada, buah zakar yang terlihat agak kemerahan dan terasa panas (early lymphodema). Gejal
klinis yang kronis ; berupa pembesaran yang menetap (elephantiasis) pada tungkai, lengan,
buah dada, buah zakar (elephantiasis skroti).
2.5 Pencegahan dan Penanggulangan

a.

Pencegahan

Bagi penderita penyakit gajah diharapkan kesadarannya untuk memeriksakan


kedokter dan mendapatkan penanganan obat-obtan sehingga tidak menyebarkan penularan
kepada masyarakat lainnya. Untuk itulah perlu adanya pendidikan dan pengenalan penyakit
kepada penderita dan warga sekitarnya.

Pemberantasan nyamuk diwilayah masing-masing sangatlah penting untuk memutus


mata rantai penularan penyakit ini. Menjaga kebersihan lingkungan merupakan hal terpenting
untuk mencegah terjadinya perkembangan nyamuk diwilayah tersebut.

b. Penanggulangan

Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah
membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam tubuh penderita, sehingga tingkat
penularan dapat ditekan dan dikurangi.

Dietilkarbamasin {diethylcarbamazine (DEC)} adalah satu-satunya obat filariasis


yang ampuh baik untuk filariasis bancrofti maupun malayi, bersifat makrofilarisidal dan
mikrofilarisidal. Obat ini tergolong murah, aman dan tidak ada resistensi obat. Penderita yang
mendapatkan terapi obat ini mungkin akan memberikan reaksi samping sistemik dan lokal
yang bersifat sementara dan mudah diatasi dengan obat simtomatik.

Dietilkarbamasin tidak dapat dipakai untuk khemoprofilaksis. Pengobatan diberikan oral


sesudah makan malam, diserap cepat, mencapai konsentrasi puncak dalam darah dalam 3
jam, dan diekskresi melalui air kemih. Dietilkarbamasin tidak diberikanpada anak berumur
kurang dari 2 tahun, ibu hamil/menyusui, dan penderita sakit berat ataudalam keadaan lemah.

Namun pada kasus penyakit kaki gajah yang cukup parah (sudah membesar) karena tidak
terdeteksi dini, selain pemberian obat-obatan tentunya memerlukan langkah lanjutan seperti
tindakan operasi.

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 EPIDEMIOLOGI PENYAKIT FILARIASIS


Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh parasit filaria yang menyerang kelenjar
dan pembuluh getah bening Di Indonesia filariasis limfatik disebabkan oleh Wuchereria
bancrofti (filariasis bancrofti) serta Brugia malayi dan Brugiatimori (filariasis brugia) dan

dikenal umum sebagai penyakit kaki gajah atau demam kaki gajah. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan ditemukan mikrofilaria dalam peredaran darah.
W. bancrofti dan B. timori hanya ditemukan pada manusia. Berdasarkan sifat biologik B.
malayi di Indonesia didapatkan dua bentuk yaitu bentuk zoophilic dan anthropophilic.
Periodisitas mikrofilaria di peredaran darah pada jenis infeksi yang hanya ditemukan pada
manusia bersifat noktumal, sedangkan yang ditemukan pada manusia dan hewan (kera dan
kucing) dapat aperiodik, sub-periodik atau periodik.
Filariasis ditularkan melalui vektor nyamuk Culex quinque-fasciatus di daerah perkotaan dan
oleh Anopheles spp., Aedes spp. dan Mansonia spp. di daerah pedesaan. Di dalam nyamuk,
mikrofilaria yang terisap bersama darah berkembang menjadi larva infektif. Larva infektif
masuk secara aktif ke dalam tubuh hospes waktu nyamuk menggigit hospes dan berkembang
menjadi dewasa yang melepaskan mikrofilaria ke dalam peredaran darah. Filariasis
ditemukan di berbagai daerah dataran rendah yang berawa dengan hutan-hutan belukar yang
umumnya didapat di pedesaan di luar JawaBali. Filariasis brugia hanya ditemukan di
pedesaan sedangkan filariasis bancrofti didapatkan juga di perkotaan. Prevalensi filariasis
bervariasi antara 2% sampai 70% pada tahun 1987.
Penyakit kaki gajah di Indonesia disebabkan oleh tiga spesies cacing filaria yaitu Wuchereria
bancrofti, Brugia malayi, Brugiatimori, sedangkan vektor penyakitnya adalah nyamuk.
Nyamuk yang menjadi vektor filaria di Indonesia hingga saat ini telah diketahui terdapat 23
spesies nyamuk dari genus Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres. Menurut
Soedarto (1989) sejumlah nyamuk yang termasuk dalam genus Culex dikenal sebagai vektor
penyakit menular. Culex gunguefasciatus atau Culex fatigans menyukai air tanah dan rawarawa sebagai tempat berkembang biaknya, vektor ini dapat menularkan demam kaki gajah
pada manusia. Beberapa jenis culex lainnya berkembang biaknya berbeda-beda jenisnya baik
berupa air hujan dan air lainnya yang mempunyai kadar bahan organik yang tinggi.
Umumnya menyukai segala jenis genangan air terutama yang terkena sinar matahari.
Menurut Hudoyo (1983) Anopheles barbirotris tempat perkembangannya adalah di air tawar
yang tergenang di tempat terbuka baik alamiah (rawa-rawa) maupun buatan atau kolam, di air
mengalir yang perlahan-lahan ditumbuhi tanaman air. Di beberapa daerah, terutama di
pedesaan penyakit ini masih endemis. Sumber penularnya adalah penderita penyakit kaki
gajah baik yang sudah menimbulkan gejala-gejala ataupun tidak, karena didalam darah
terdapat mikrofilaria yang dapat ditularkan oleh nyamuk.
Menurut Menkes (2009) menyebutkan, saat ini di Indonesia tercatat 11 ribu orang menderita
penyakit kaki gajah yang tampak, dimana telah terjadi pembesaran di kaki dan kelenjar getah
bening lainnya. Pendudu yang terinfeksi tentunya jauh lebih banyak, mereka akan diketahui
setelah dilakukan tes darah.
Tetapi hal ini juga sulit dilakukan karena micro filaria hanya dapat terdeteksi pada malam
hari, sehingga penemuan kasus Filariasis menjadi sulit. Dijelaskannya, filariasis ditularkan
melalui nyamuk, karena sifatnya yang demikian maka hal yang harus dilakukan yakni, jika
ada seseorang di suatu daerah terkena kaki gajah maka harus dilakukan pengobatan bagi

seluruh penduduk dengan pemberian obat (pengobatan masal) satu kali selama satu tahun
berturut turut hingga lima tahun.
Di Indonesia sebenarnya sudah memiliki program pengobatan masal hasil rekomendasi WHO
ini sejak tahun 1970-an dan sudah ada maping yang menunjukkan bahwa filariasis terjadi di
386 kab/kota bukan hanya di kantong-kantong tetapi sudah merata, sejak tahun 2002 juga
sudah dilakukan pengobatan masal, ada sekitar 32 juta orang yang sudah meminum obat.
Untuk itu menurutnya, filariasis harus diatasi secara serius karena selain menyebabkan orang
menjadi tidak produktif, meskipun dapat sembuh namun akan terjadi kecacatan.

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Penyakit Kaki Gajah (Filariasis atau Elephantiasis) adalah golongan penyakit menular
yang disebabkan oleh cacing Filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk.

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi penyakit kaki gajah apabila orang tersebut
digigit nyamuk yang infektif yaitu nyamuk yang mengandung larva stadium III ( L3 ).
Nyamuk tersebut mendapat cacing filarial kecil ( mikrofilaria ) sewaktu menghisap darah
penderita mengandung microfilaria atau binatang reservoir yang mengandung microfilaria.
Siklus Penularan penyakit kaiki gajah ini melalui dua tahap, yaitu perkembangan dalam
tubuh nyamuk ( vector ) dan tahap kedua perkembangan dalam tubuh manusia (hospes) dan
reservoair.

Gejala klinis Filariais Akut adalah berupa ; Demam berulang-ulang selama 3-5 hari.
Demam dapat hilang bila istirahat dan muncul lagi setelah bekerja berat ; pembengkakan
kelenjar getah bening (tanpa ada luka) didaerah lipatan paha, ketiap (lymphadenitis) yang
tampak kemerahan, panas dan sakit

Tujuan utama dalam penanganan dini terhadap penderita penyakit kaki gajah adalah
membasmi parasit atau larva yang berkembang dalam tubuh penderita, sehingga tingkat
penularan dapat ditekan dan dikurangi.

4.2 SARAN

Menjaga kebersihan diri dan lingkungan merupakan syarat utama untuk menghindari
infeksi filariasis.

Pemberantasan nyamuk dewasa dan larva perlu dilakukan sesuai aturan dan indikasi.

Pemerintah harus terjun langsung kemasyarakat untuk memberikan penyuluhan kepada


masyakat.

DAFTAR PUSTAKA

1.
BARR, A. R. 1969. 1970. In: Proceedings of the 37th Annual Conference of the
California Mosquito Control Association Inc.,
2.
Basundari Sri Utami, 1990, Pusat Penelitian Penyakit Menular, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Jakarta
3.
Cartel JL, et al. 1992. Wuchereria bancrofti infection in human and mosquito
populations of a Polynesian village ten years after interruption of mass chemoprophylaxix
with diethylcarbamazine. Trans R Soc Trop Med Hyg.
4.
Chandra G et al, 1996. Age composition of filarial vector Culex quinquefasciatus
(Diptera: Culicidae) in Calcutta. Bull Ent Res.
5.
Depkes RI,Ditjen PPM & PL- Direktorat P2B2 Subdit Filariasis & Schistosomiasis,
2002, Pedoman Pengobatan Massal Penyakit Kaki Gajah (Filariasis), Jakarta.
6.

http://www.infopenyakit.com/2009/01/penyakit-kaki-gajah-filariasis-atau.html

7.

http://www.resep.web.id/kesehatan/filariasis-penyakit-kaki-gajah.htm

8.

http://kimiafarmaapotek.com/mobile/index.php/info/detail/1366/penyakit-umum

9.
Taylor MJ et all 2001. A new approach to the treatment of filariasis. Curr Opin Infect
Dis.
10. The Carter Center, 2007, Summary of the Third Meeting of the International Task Force
for Disease Eradication

Anda mungkin juga menyukai