Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
Glomerulonefritis

merupakan

suatu

istilah

yang

dipakai

untuk

menjelaskan berbagai ragam penyakit ginjal yang mengalami proliferasi dan


inflamasi glomerulus yang disebabkan oleh suatu mekanisme imunologis. Istilah
akut (glomerulonefritis akut, GNA) mencerminkan adanya korelasi klinikopatologis selain menunjukan adanya gambaran tentang etiologi, patogenesis,
perjalanan penyakit dan prognosis1,2
Telah lama diketahui bahwa beberapa orang anak setelah menderita
scarlet fever, dapat mengalami edema dan hematuria nyata, penyakit ini dikenal
sebagai glomerulonefritis pascastreptokok. Sejak adanya kemajuan di bidang
antibioktik dan kesehatan masyarakat yang makin baik, angka kejadian penyakit
ini menurun drastis di Amerika Serikat. Tetapi di negara-negara berkembang,
glomerulonefritis pascactreptokok masih tetap merupakan penyakit yang banyak
menyerang anak. Untungnya penyakit ini merupakan penyakit yang bersifat selflimiting pada sebagian besar anak dengan kesembuhan yang sempurna, meskipun
pada sebagaian kecil dapat mengakibatkan gagal ginjal akut1
Penyakit ini adalah contoh klasik dari sindrom nefritis akut. Mulainya
mendadak dari hematuria makroskopis, edema, hipertensi dan insuffisiensi ginjal.
Dulu, penyakit ini merupakan penyebab tersering hematuria makroskopis pada
anak, tetapi frekuensinya menurun selama beberapa dekade terakhir dimana
nefropati-IgA sekarang merupakan penyebab hematuria makroskopis yang paling
lazim. Sindrom ini ditandai dengan timbulnya edema yang timbul mendadak,
hipertensi, hematuri, oliguri, GFR menurun, insuffisiensi ginjal3

BAB II
PEMBAHASAN
1. Definisi
Glomerulonefritis merupakan penyakit ginjal dengan suatu inflamasi dan
proliferasi sel glomerulus. Peradangan tersebut terutama disebabkan
mekanisme imunologis yang menimbulkan kelainan patologis glomerulus
dengan mekanisme yang masih belum jelas. Pada anak kebanyakan kasus
glomerulonefritis akut adalah pasca infeksi, paling sering infeksi streptokokus
beta hemolitikus grup A.1,2
2. Epidemiologi
Di Indonesia tahun 1980, Glomerulonefritis menempati urutan pertama
sebagai penyebab penyakit ginjal tahap akhir dan meliputi 55% penderita
yang mengalami hemodialisis4
Insidens tidak dapat diketahui dengan tepat, diperkirakan jauh lebih tinggi
dari data statistik yang dilaporkan oleh karena banyaknya pasien yang tidak
menunjukkan gejala sehingga tidak terdeteksi. Kaplan memperkirakan
separuh pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok pada suatu epidemi
tidak terdeteksi1,2
Glomerulonefritis akut pascastreptokok terutama menyerang anak pada
masa awal usia sekolah dan jarang menyerang anak di bawah usia 3 tahun.
Perbandingan antara anak laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Hasil
penelitian multicentre di Indonesia pada tahun 1988, melaporkan terdapat 170
pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien
terbanyak dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di
Jakarta (24,7%), Bandung (17,6%) dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki
dan perempuan berbanding 1,3:1 dan terbanyak menyerang anak pada usia
antara 6-8 tahun (40,6%). Penyakit ini lebih sering terjadi pada musim dingin
dan puncaknya pada musim semi1
3. Etiologi
Glomerulonefritis pascastreptokok didahului oleh infeksi Streptococcus hemolyticus grup A jarang oleh streptokokus dari tipe yang lain. Hanya

sedikit Streptococcus -hemolyticus grup A bersifat nefritogenik yang mampu


mengakibatkan timbulnya glomerulonefritis pascastreptokokus. Beberapa tipe
yang sering menyerang saluran napas adalah dari tipe M1, 2, 4, 12, 18, 25 dan
yang menyerang kulit adalah tipe M49, 55, 57, 601,2
Glomerulonefritis akut pascastreptokokus menyertai infeksi tenggorokan
atau kulit oleh strain nefritogenik dari streptococcus -hemolyticus grup A
tertentu. Faktor-faktor yang memungkinkan bahwa hanya strain streptokokus
tertentu saja yang menjadi nefritogenik tetap belum jelas. Selama cuaca
dingin glomerulonefritis streptokokus biasanya menyertai tonsilofaringitis
streptokokus, sedangkan selama cuaca panas glomerulonefritis biasanya
menyertai infeksi kulit atau pioderma streptokokus. Epidemi nefritis telah
diuraikan bersama dengan infeksi tenggorokan (serotipe 12) maupun infeksi
kulit (serotipe 49), tetapi penyakit ini sekarang paling lazim terjadi secara
sporadik1,2
Penyakit infeksi lain yang juga dapat berhubungan ialah skarlatina, otitis
media, mastoiditis, abses peritonsiler dan bahkan infeksi kulit. Jasad reniknya
hampir selalu streptokok beta hemolitik golongan A, dan paling sering ialah
tipe 12. Strain nefritogenik lain yang dapat ditemukan pula ialah tipe 4, 47, 1,
6, 25 dan Red Lake (49)1,2,5
Periode antara infeksi saluran nafas atau kulit dengan gambaran klinis dari
kerusakan glomerulus dinamakan periode laten. Periode laten ini biasanya
antara 1-2 minggu, merupakan ciri khusus dari penyakit ini sehingga dapat
dibedakan dengan sindrom nefritik akut karena sebab lainnya. Periode laten
dari infeksi kulit (impetigo) biasanya antara 8-21 hari5
4. Patologi
Makroskopik
Ginjal pada glomerulonefritis akut membesar secara simetris hingga
meregang, mudah terkelupas, berpermukaan licin, dan berwarna merah
tengguli disertai bercak-bercak perdarahan fokal. Gambaran korteks tampak
sembab dan melebar, korteks dan medula berbatas jelas1,2,4
Glomerulus dapat terlihat sebagai titik-titik putih kelabu, kadang-kadang
terdapat daerah-daerah merah fokal. Piramida-piramida dan pelvis kongestif
atau normal1,2

Mikroskopik
Dari pemeriksaan secara mikroskopis, hampir semua glomerulus yang
terkena memperlihatkan gambaran pembesaran dan hiperselularitas, sehingga
dinamakan sebagai glomerulonephritis acuta proliferativa. Belum ada
kesepakatan mengenai jenis sel yang berproliferasi, kemungkinan ialah
endotelial, mesangial atau sebukan sel monokleus. Sebukan leukosit
polimorfonukleus mungkin ada. Akibat proliferasi sel, lumen kapiler-kaliper
tersumbat, dan glomelurus seolah-olah menjadi avaskuler. Kadang-kadang
dapat pula ditemukan trombus dalam kapiler-kaliper. Sekali-kali tampak
nekrosis fibrinoid dinding kapiler. Dalam ruang Bowman kadang-kadang
dapat ditemukan banyak eritrosit. Selain eritrosit, ruang Bowman berisi
endapan protein dan leukosit. Proliferasi sel epitel mungkin juga ada, tetapi
hanya ringan, kadang-kadang dengan pembentukkan bulan sabit (crescent)
dan mungkin terjadi perlekatan antara gelung glomerulus dan simpai
Bowman. Membrana basalis kapiler dapat menunjukkan penebalan fokal1,2,4
Tubulus menunjukkan vakuolisasi lipoid dan pembentukkan hyalinedroplet dalam sel epitel dan dilatasi tubulus proximalis. Dalam tubulus dapat
ditemukan berbagai torak (cast). Pada bentuk nekrotik dan hemoragik
ditemukan torak eritrosit yang berdegenerasi dalam tubulus distalis2,4
Interstisium bersebukan leukosit polimorfonukleus atau sel mononukleus dan
menunjukkan edema setempat. Pembuluh darah arteri dan arteriol tidak
menunjukkan kelainan jelas4
5. Patogenesis
Glomerulonefritis pascastreptokok dapat terjadi setelah radang tenggorok
dan jarang dilaporkan bersamaan dengan demam reumatik akut. Berdasarkan
hubungannya dengan infeksi streptokokus, gejala klinis, dan pemeriksaan
imunofluoresensi

ginjal,

jelaslah

kiranya

bahwa

glomerulonefritis

pascastreptokokus adalah suatu glomerulonefritis yang bermediakan proses


imunologis. Meskipun secara umum patogenesis glomerulonefritis telah

dimengerti, namun mekanisme yang tepat bagaimana terjadinya lesi


glomerulus, terjadinya proteinuria dan hematuria pada glomerulonefritis
pascastreptokokus belumlah jelas benar. Pembentukan kompleks-imun
bersirkulasi dan pembentukan kompleks-imun in situ, telah ditetapkan
sebagai mekanisme patogenesis glomerulonefritis pascastreptokok. Hipotesis
lain yang sering disebut-sebut adalah adanya neuraminidase yang dihasilkan
oleh streptokokus yang mengubah IgG endogen sehingga menjadi
autoantigenik. Akibatnya terbentuklah autoantibody terhadap IgG yang
telah berubah tersebut, yang mengakibatkan pembentukan kompleks imun
bersirkulasi, yang kemudian mengendap dalam ginjal2
Adanya periode laten antara infeksi streptokok dengan gambaran klinis
dari kerusakan glomerulus menunjukan bahwa proses imunologis memegang
peranan penting dalam patogenesis glomerulonefritis. Glomerulonefritis akut
pasca streptokok merupakan salah satu contoh dari penyakit kompleksimun1,2,4
Pada penyakit kompleks-imun, antibodi tubuh (host) akan bereaksi dengan
circulating antigen dan komplemen yang beredar dalam darah untuk
membentuk circulating immunne complexes. Pembentukkan circulating
immunne complexes ini memerlukan antigen dan antibodi dengan
perbandingan 20 : 1. Jadi antigen harus lebih banyak atau antibodi lebih
sedikit. Antigen yang bersirkulasi dalam darah bersifat heterolog baik
eksogen maupun endogen. Kompleks-imun yang beredar dalam darah dalam
jumlah banyak dan waktu yang singkat akan menempel/melekat pada kapilerkapiler glomeruli dan terjadi proses kerusakan mekanis melalui aktivasi
sistem

komplemen,

reaksi

peradangan

dan

sistematisnya dapat dilihat pada skema berikut ini:

mikrokoagulasi.

Untuk

gambar 1. Patogenesa mekanisme kompleks-imun Glomerulonefritis Akut


Pascastreptokok 2

6. Patofisiologi
Patofisiologi pada gejala-gejala klinik berikut:
1. Kelainan urinalisis: proteinuria dan hematuria

Kerusakan dinding kapiler glomerulus sehingga menjadi lebih


permeable dan porotis terhadap protein dan sel-sel eritrosit, maka terjadi
proteinuria dan hematuria2
2. Edema
Mekanisme retensi natrium dan edema pada glomerulonefritis tanpa
penurunan tekanan onkotik plasma. Hal ini berbeda dengan mekanisme
edema pada sindrom nefrotik.
Penurunan faal ginjal yaitu laju filtrasi glomerulus (LGF) tidak
diketahui

sebabnya,

mungkin

akibat

kelainan

histopatologis

(pembengkakan sel-sel endotel, proliferasi sel mesangium, oklusi kapilerkaliper) glomeruli. Penurunan faal ginjal LFG ini menyebabkan
penurunan ekskresi natrium Na+ (natriuresis), akhirnya terjadi retensi
natrium Na+. Keadaan retensi natrium Na+ ini diperberat oleh pemasukan
garam natrium dari diet. Retensi natrium Na+ disertai air menyebabkan
dilusi plasma, kenaikan volume plasma, ekspansi volume cairan
ekstraseluler, dan akhirnya terjadi edema1,2
3. Hipertensi
a. Gangguan keseimbangan natrium (sodium homeostasis)
Gangguan keseimbangan natrium ini memegang peranan dalam
genesis hipertensi ringan dan sedang.
b. Peranan sistem renin-angiotensin-aldosteron biasanya pada hipertensi
berat. Hipertensi dapat dikendalikan dengan obat-obatan yang dapat
menurunkan konsentrasi renin, atau tindakan nefrektomi.
c. Substansi renal medullary hypotensive factors, diduga prostaglandin.
Penurunan konsentrasi dari zat ini menyebabkan hipertensi2
4. Bendungan Sirkulasi
Bendungan sirkulasi merupakan salah satu ciri khusus dari sindrom
nefritik akut, walaupun mekanismenya masih belum jelas.
Beberapa hipotesis yang berhubungan telah dikemukakan dalam
kepustakaan-kepustakaan antara lain:
a. Vaskulitis umum
Gangguan pembuluh darah dicurigai merupakan salah satu tanda
kelainan patologis dari glomerulonefritis akut. Kelainan-kelainan
pembuluh darah ini menyebabkan transudasi cairan ke jaringan
interstisial dan menjadi edema.
b. Penyakit jantung hipertensif

Bendungan sirkulasi paru akut diduga berhubungan dengan hipertensi


yang dapat terjadi pada glomerulonefritis akut.
c. Miokarditis
Pada sebagian pasien glomerulonefritis tidak jarang ditemukan
perubahan-perubahan elektrokardiogram: gelombang T terbalik pada
semua lead baik standar maupun precardial. Perubahan-perubahan
gelombang T yang tidak spesifik ini mungkin berhubungan dengan
miokarditis.
d. Retensi cairan dan hipervolemi tanpa gagal jantung
Hipotesis ini dapat menerangkan gejala bendungan paru akut,
kenaikan cardiac output, ekspansi volume cairan tubuh. Semua
perubahan patofisiologi ini akibat retensi natrium dan air1,2,4
7. Gejala Klinis
Gejala klinis glomerulonefritis akut pasca streptokok sangat bervariasi,
dari keluhan-keluhan ringan atau tanpa keluhan sampai timbul gejala-gejala
berat dengan bendungan paru akut, gagal ginjal akut, atau ensefalopati
hipertensi1,2
Kumpulan gambaran klinis yang klasik dari glomerulonefritis akut dikenal
dengan sindrom nefritik akut. Bendungan paru akut dapat merupakan
gambaran klinis dari glomerulonefritis akut pada orang dewasa atau anak
yang besar. Sebaliknya pada pasien anak-anak, ensefalopati akut hipertensif
sering merupakan gambaran klinis pertama.
a. Infeksi Streptokok
Riwayat klasik didahului (10-14 hari) oleh faringitis, tonsilitis atau infeksi
kulit (impetigo). Data-data epidemiologi membuktikan, bahwa prevalensi
glomerulonefritis meningkat mencapai 30% dari suatu epidemi infeksi
saluran nafas. Insiden glomerulonefritis akut pasca impetigo relatif rendah,
sekitar 5-10%.
b. Gejala-gejala umum
Glomerulonefritis akut pasca streptokok tidak memberikan keluhan dan
ciri khusus. Keluhan-keluhan seperti anoreksia, lemah badan, tidak jarang
disertai panas badan, dapat ditemukan pada setiap penyakit infeksi.
c. Keluhan saluran kemih
Hematuria makroskopis (gross) sering ditemukan, hampir 40% dari semua
pasien. Hematuria ini tidak jarang disertai keluhan-keluhan seperti infeksi

saluran kemih bawah walaupun tidak terbukti secara bakteriologis.


Oligouria atau anuria merupakan tanda prognosis buruk pada pasien
dewasa.
d. Hipertensi
Hipertensi sistolik dan atau diastolik sering ditemukan hampir pada semua
pasien. Hipertensi biasanya ringan atau sedang, dan kembali normotensi
setelah terdapat diuresis tanpa pemberian obat-obatan antihipertensi.
Hipertensi berat dengan atau tanpa ensefalopati hanya dijumpai pada kirakira 5-10% dari semua pasien.
e. Edema dan bendungan paru akut
Hampir semua pasien dengan riwayat edema pada kelopak mata atau
pergelangan kaki bawah, timbul pagi hari dan hilang siang hari. Bila
perjalanan penyakit berat dan progresif, edema ini akan menetap atau
persisten, tidak jarang disertai dengan asites dan efusi rongga pleura1,2

8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi:
Gagal ginjal akut
Kongesti sirkulasi dan hipertensi
Hiperkalemia
Hiperfosfatemia
Hipokalsemia
Asidosis
Kejang-kejang
Uremia

9. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis glomerulonefritis akut pascastreptokok perlu dicurigai pada
pasien dengan gejala klinis berupa hematuria nyata yang timbul mendadak,
sembab dan gagal ginjal akut setelah infeksi streptokokus. Tanda
glomerulonefritis yang khas pada urinalisis, bukti adanya infeksi streptokokus
secara laboratoris dan rendahnya kadar komplemen C3 mendukung bukti untuk
menegakkan diagnosis. Tetapi beberapa keadaan lain dapat menyerupai
glomerulonefritis akut pascastreptokok pada awal penyakit, yaitu nefropati-IgA
dan glomerulonefritis kronik. Anak dengan nefropati-IgA sering menunjukkan
gejala hematuria nyata mendadak segera setelah infeksi saluran napas atas
seperti glomerulonefritis akut pascastreptokok, tetapi hematuria makroskopik
pada nefropati-IgA terjadi bersamaan pada saat faringitis (synpharyngetic
hematuria), sementara pada glomerulonefritis akut pascastreptokok hematuria
timbul 10 hari setelah faringitis, sedangkan hipertensi dan sembab jarang
tampak pada nefropati-IgA1,2,4
Glomerulonefritis kronik lain juga menunjukkan gambaran klinis berupa
hematuria makroskopis akut, sembab, hipertensi dan gagal ginjal. Beberapa
glomerulonefritis

kronik

yang

menunjukkan

gejala

tersebut

adalah

glomerulonefritis membranoproliferatif, nefritis lupus dan glomerulonefritis


proliferatif

kresentik.

Perbedaan

dengan

glomerulonefritis

akut

pascastreptokok sulit diketahui pada awal sakit2


Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria,
kelainan sedimen urin dengan eritrosit dismorfik, leukosituria serta torak
seluler, granular dan eritrosit. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum
meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis,
hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tanpak adanya proteinuria
masif dengan gejala sindrom nefrotik. Komplemen hemolitik total serum (total
hemolytic complement) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam
minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan
kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan
adanya aktivasi jalur alternatif komplemen. Penurunan C3 sangat mencolok
pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan kadar antara 20-40

mg/dl (harga normal 50-140 mg/dl). Penurunan C3 tidak berhubungan dengan


parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplemen akan mencapai harga
normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan
diagnosis, karena pada glomerulonefritis yang lain (glomerulonefritis
membrans proliferatif, nefritis lupus) yang juga menunjukkan penurunan kadar
C3, ternyata berlangsung lebih lama1,2
Pada glomerulonefritis akut pascastreptokok perjalanan penyakitnya cepat
membaik (hipertensi, sembab dan gagal ginjal akan cepat pulih). Sindrom
nefrotik dan proteinuria masif lebih jarang terlihat pada glomerulonefritis akut
pascastreptokok dibandingkan pada glomerulonefritis kronik. Pola kadar
komplemen C3 serum selama tindak lanjut merupakan tanda (marker) yang
penting untuk membedakan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan
glomerulonefritis kronik yang lain. Kadar komplemen C3 serum kembali
normal dalam waktu 6-8 minggu pada glomerulonefritis akut pascastreptokok
sedangkan pada glomerulonefritis yang lain jauh lebih lama2
Eksaserbasi hematuria makroskopis sering terlihat pada glomerulonefritis
kronik akibat infeksi karena streptokok dari strain non-nefritogenik lain,
terutama

pada

glomerulonefritis

membranoproliferatif.

Pasien

glomerulonefritis akut pascastreptokok tidak perlu dilakukan biopsi ginjal


untuk menegakkan diagnosis, tetapi bila tidak terjadi perbaikan fungsi ginjal
dan terdapat tanda sindrom nefrotik yang menetap atau memburuk, biopsi
merupakan indikasi1,2
Konfirmasi diagnosis memerlukan bukti yang jelas akan adanya infeksi
streptokokus. Dengan demikian, biakan tenggorokan positif dapat mendukung
diagnosis atau mungkin hanya menggambarkan status pengidap. Untuk
mendokumentasi infeksi streptokokus secara tepat, harus dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi terhadap antigen streptokokus. Meskipun biasanya
paling banyak diperoleh, penentuan titer Anti Sterptolisin Titer O (ASTO)
mungkin tidak membantu karena titer ini jarang meningkat pascainfeksi
streptokokus kulit. Titer antibodi tunggal yang paling baik diukur adalah titer
terhadap antigen DN-ase B. Pilihan lain adalah uji Streptozime (Wampole
Laboratoris, Stamford, Ct), suatu prosedur aglutination slide yang mendeteksi

antibodi terhadap streptolisin O, DN-ase B, hialuronidase, streptokinase, dan


NAD-ase1
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan
tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberikan
antimikroba. Bebarapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat
dipakai untuk membuktikan adanya infeksi streptokokus, antara lain
antistreptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti DN-ase B. Skrining
antistreptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi
terhadap beberapa antigen streptokokus. Titer anti streptolisin O meningkat
pada 75-80 % pasien dengan glomerulonefritis akut pascastreptokok dengan
faringitis, meskipun beberapa strain streptokokus tidak memproduksi
streptolisin O. Sebaiknya serum di uji terhadap lebih dari satu antigen
streptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90 % kasus
menunjukkan adanya infeksi streptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya
50% kasus glomerulonefritis akut pascastreptokok atau pascaimpetigo, tetapi
antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen streptokokus
biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi streptokokus belum
meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3
kali lipat berarti adanya infeksi. Tetapi, meskipun terdapat bukti adanya infeksi
streptokokus, hal tersebut belum dapat memastikan bahwa glomerulonefritis
tersebut benar-benar disebabkan karena infeksi streptokokus tersebut. Gejala
klinis dan perjalanan penyakit pasien penting untuk menentukan apakah biopsi
ginjal memang diperlukan2,4
Krioglobulin
juga
ditemukan

dalam

glomerulonefritis

akut

pascastreptokok dan mengandung IgG, IgM dan C3. Kompleks-imun


bersirkulasi juga ditemukan pada glomerulonefritis akut pascastreptokok.
Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak perlu dilakukan
secara rutin pada tatalaksana pasien1
10. Penatalaksanaan
Nonmedikamentosa
Istirahat pada fase akut, misalnya bila terdapat GGA, hipertensi berat,
kejang, payah jantung

Diet kalori adekuat terutama karbohidrat untuk memperkecil katabolisme

endogen dan diet rendah garam


Medikamentosa
Penisilin prokain 50.000 U/kgbb/kali i.m. 2x/hr
Penisilin V 50 mg/kgbb/hr p.o. 3 dosis
Eritromisin 50 mg/kgbb/hr p.o. 4 dosis
Bila disertai hipertensi
Ringan (130/80 mmHg) : tidak diberi anti hipertensi
Sedang (140/100 mmHg) : Hidralazin i.m. / p.o. atau Nefidipin sublingual
Berat (180/120 mmHg) : Klonidin drip / Nefidipin sublingual
Bila ada tanda hipervolemia (edema paru, gagal jantung) disertai oligouria
beri diuretik kuat (furosemid 1-2 mg/kgbb/kali)1,2
11. Prognosis
Penyembuhan sempurna terjadi pada lebih dari 95 % anak dengan
glomerulonefritis pascasteptokokus akut. Tidak ada bukti bahwa terjadi
penjelekan menjadi glomerulonefritis kronis. Namun, jarang fase akut dapat
menjadi sangat berat, menimbulkan hialinisasi glomerulus dan insuffisiensi
ginja kronis. Mortalitas pada fase akut dapat dihindari dengan manajemen
yang tepat pada gagal ginjal atau gagal jantung akut. Kekambuhan sangat
jarang terjadi1,2
12. Pencegahan
Terapi antibiotik sistemik pada awal infeksi streptokokus tenggorokan dan
kulit tidak akan menghilangkan risiko glomerulonefritis. Anggota keluarga
penderita dengan glomerulonefritis akut harus mendapat pemeriksaan
laboratorium untuk streptococcus -hemolyiticus grup A dan diobati jika
biakan positif1,2

DAFTAR PUSTAKA
1. Husein, A, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Jakarta : Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2012.
2. Behrman, Kliegman, Arvin. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 17.
Philadelphia; 2012.
3. http://jasn.asnjournals.org/content/19/10/1855.full
4. http://ftp.medicina.ufmg.br/ped/Arquivos/2013/gnpade8periodo_21_08_2
013.pdf
5. http://www.clinicalguidelines.scot.nhs.uk/Renal%20Unit%20Guidelines
%20Glomerulonephritis%20Sept%202008%20PDF%20Revision
%201.pdf

Anda mungkin juga menyukai