Anda di halaman 1dari 30

20

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Depresi
3.1.1 Pengertian Depresi
Depresi adalah gangguan jiwa umum yang disertai dengan
perasaan sedih, kehilangan minat atau kegembiraan, rasa bersalah,
kurang percaya diri , pola tidur dan nafsu makan terganggu, kurang
energi, kurangnya konsentrasi serta keinginan bunuh diri14.
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang
berkaitan dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya,
termasuk perubahan pada pola tidur dan nafsu makan, psikomotor,
konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa putus asa dan tak berdaya, serta
gagasan bunuh diri12.
3.1.2

Epidemiologi
Prevalensi kejadian depresi cukup tinggi hampir lebih dari 350 juta
penduduk dunia mengalami depresi. Survey yang dilakukan di 17
negara eropa, rata-rata 1 dari 20 orang pernah mengalami depresi14.
Prevalensi gangguan mental emosional penduduk di atas 15 tahun
di Indonesia berdasarkan data Riskesda tahun 2007 mencapai 11,6%
atau diderita sekitar 19 juta orang13.
Depresi lebih sering terjadi pada wanita dari pada laki-laki dengan
risiko 2 kali lebih besar. Rata-rata usia onset untuk depresi adalah
sekitar 40 tahun. 50% dari semua pasien mempunyai onset antara 2050 tahun. Prevalensi depresi tidak berbeda dari satu ras ke ras lain.
Pada umumnya, depresi paling sering terjadi pada orang yang tidak
memiliki hubungan interpersonal yang erat atau yang bercerai atau
berpisah12.

21

3.1.3

Penyebab Depresi
Dasar penyebab depresi yang pasti tidak diketahui, banyak usaha
untuk mengetahui penyebab dari gangguan ini. Menurut Kaplan,
faktor-faktor yang berhubungan dengan penyebab depresi dapat dibagi
atas: faktor biologi, faktor genetik, faktor psikososial. Dimana faktorfaktor tersebut juga dapat saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya12.
a. Faktor Biologi
Norepinefrin dan serotonin merupakan dua neurotransmitter yang
paling berperan dalam patofisiologi gangguan mood. Penurunan
serotonin dapat mencetuskan depresi, dan beberapa pasien yang
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin di dalam cairan
serebospinal yang rendah dan konsentrasi tempat ambilan serotonin
yang rendah di trombosit. Penurunan jumlah norepineprin yang
dilepaskan pada sinaps dapat menyebabkan timbulnya gejala
depresi17.
Walaupun norepineprin dan serotonin adalah amin biogenik yang
paling sering dihubungkan dengan patofisiologi depresi, dopamine,
juga telah diperkirakan memiliki peranan dalam depresi. Data
menyatakan bahwa aktivitas dopamine menurun pada depresi dan
meningkat pada mania12.
b. Faktor Genetik
Data genetik dengan kuat menyatakan bahwa suatu faktor penting di
dalam perkembangan gangguan mood adalah genetika. Tetapi, pola
penurunan genetika adalah jelas melalui mekanisme yang kompleks.
Bukan saja tidak mungkin untuk menyingkirkan efek psikososial,
tetapi faktor non genetik kemungkinan memainkan peranan kausatif
dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya beberapa
orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara derajat
pertama dari penderita gangguan depresi berat berkemungkinan 2
sampai 3 kali lebih besar terkena depresi daripada sanak saudara
derajat pertama subjek kontrol12.

22

Resiko untuk terjadinya depresi meningkat antara 2040% untuk


keluarga keturunan pertama. Dapat dikatakan bahwa anak-anak dari
orangtua yang depresi psikotik dan depresi nonpsikotik terdapat
insiden yang tinggi dari gejala depresi ini. Memiliki satu orang tua
yang mengalami depresi, meningkatkan resiko dua kali pada
keturunannya. Resiko itu meningkat menjadi empat kali bila kedua
orangtuanya sama-sama mengalami depresi17.
c. Faktor Psikososial
Peristiwa kehidupan dan stres lingkungan dimana suatu pengamatan
klinik menyatakan bahwa peristiwa atau kejadian dalam kehidupan
yang penuh ketegangan sering mendahului episode gangguan mood.
Suatu teori menjelaskan bahwa stres yang menyertai episode
pertama akan menyebabkan perubahan fungsional neurotransmitter
dan sistem pemberi tanda intra neuronal yang akhirnya perubahan
tersebut menyebabkan seseorang mempunyai resiko yang tinggi
untuk menderita gangguan mood selanjutnya 12.
Faktor kepribadian premorbid menunjukkan tidak ada satu
kepribadian

atau

bentuk

kepribadian

yang

khusus

sebagai

predisposisi terhadap depresi. Semua orang dengan ciri kepribadian


manapun dapat mengalami depresi, walaupun tipe kepribadian
seperti dependen, obsesi kompulsif, histironik mempunyai risiko
yang besar mengalami depresi dibandingkan dengan lainnya 12.
Faktor Psikoanalitik dan Psikodinamik : Freud (1917) menyatakan
suatu hubungan antara kehilangan objek dan melankoli. Ia
menyatakan bahwa kemarahan pasien depresi diarahkan kepada diri
sendiri karena mengidentifikasikan terhadap objek yang hilang.
Freud percaya bahwa introjeksi merupakan suatu cara ego untuk
melepaskan diri terhadap objek yang hilang12.
Faktor ketidakberdayaan yang dipelajari dimana ditunjukkan dalam
hewan

percobaan,

dimana

binatang

secara

berulang-ulang

dihadapkan dengan kejutan listrik yang tidak dapat dihindarinya,


binatang tersebut akhirnya menyerah dan tidak mencoba sama sekali
untuk menghindari kejutan selanjutnya. Mereka belajar bahwa

23

mereka tidak berdaya. Pada penderita depresi, dapat menemukan hal


yang sama dari keadaan ketidak berdayaan tersebut12.
Pada teori kognitif, Beck menunjukkan perhatian gangguan kognitif
pada depresi. Dia mengidentifikasikan 3 pola kognitif utama pada
depresi yang disebut sebagai triad kognitif, yaitu pandangan negatif
terhadap masa depan, pandangan negatif terhadap diri sendiri,
individu menganggap dirinya tak mampu, bodoh, pemalas, tidak
berharga, dan pandangan negatif terhadap pengalaman hidup12.
3.1.4

Manifestasi Klinis
Pada penderita depresi dapat ditemukan berapa tanda dan gejala
umum menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder
IV (DSM-IV)2:
a. Perubahan fisik
Penurunan nafsu makan
Gangguan tidur
Kelelahan atau kurang energy
Agitasi
Nyeri, sakit kepala, otot kram dan nyeri tanpa penyebab fisik
b. Perubahan Pikiran
Merasa bingung, lambat berpikir
Sulit membuat keputusan
Kurang percaya diri
Merasa bersalah dan tidak mau dikritik
Adanya pikiran untuk membunuh diri
c. Perubahan Perasaan
Penurunan ketertarikan dengan lawan jenis dan melakukan
hubungan suami istri.
Merasa sedih
Sering menangis tanpa alasan yang jelas.
Irritabilitas, mudah marah dan terkadang agresif.
d. Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari
Menjauhkan diri dari lingkungan social
Penurunan aktivitas fisik dan latihan.
Menunda pekerjaan rumah
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia, edisi ke-3. Gejala depresi dibagi menjadi:
Gejala utama

24

Afek depresif
Kehilangan minat dan kegembiraan
Berkurangnya energi sehingga meningkatnya keadaan mudah
lelah (rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit) dan
menurunnya aktivitas.
Gejala lainnya
Konsentrasi dan perhatian berkurang
Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
pandangan masa depan yang suram dan pesimis
gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
tidur terganggu
nafsu makan berkurang
Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya
2 minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu dari 2 minggu.

25

3.1.5

Diagnosis Episode Depresi Berat


PPDGJ III membagi depresi menurut tingkat keparahannya yakni
ringan, sedang, berat dan disertai atau tanpa gejala psikotik. Sementara
DSM IV hanya menyatakan adanya gangguan depresi berat (Mayor
Depressive Disorder).
Menurut PPDGJ (2003), diagnosis episode depresi berat dapat
ditegakkan jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
Semua 3 gejala utama depresi harus ada
Ditambah 4 dari gejala lainnya, dan beberapa diantaranya harus
berintensitas berat.
Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)
yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Dalam hal
demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan.
Lamanya seluruh episode berlangsung minimum 2 minggu, akan
tetapi jika fejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang
dari 2 minggu.
Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan
social, pekerjaan atau urusaan rumah tangga, kecuali pada taraf yang
sangat terbatas.
Menurut DSM IV, diagnosis gangguan depresi berat dapat
ditegakkan jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Lima (atau lebih) gejala berikut telah ditemukan selama periode dua
minggu. Sekurangnya satu dari gejala adalah mood terdepresi atau
hilangnya minat atau kesenangan.
1. Mood terdepresi hampir sepanjang hari, hampir setiap hari,
seperti yang ditunjukkan oleh laporan subjektif (merasa sedih atau
kosong) atau pengamatan yang dilakukan orang lain (misalnya,
tampak sedih). Catatan: pada anak-anak dan remaja, dapat berupa
mood yang mudah tersinggung.
2. Hilangnya minat atau kesenangan secara jelas dalam semua, atau
hampir semua, aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti

26

yang ditunjukkan keterangan subjektif atau pengamatan orang


lain).
3. Penurunan berat badan yang bermakna jika tidak melakukan diet
atau penambahan berat badan (misalnya perubahan berat badan
lebih dari 5%) dalam satu bulan, atau penurunan atau peningkatan
nafsu makan hampir setiap hari. Catatan: pada anak-anak,
pertimbangkan kegagalan untuk mencapai pertambahan berat
badan yang diharapkan.
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap hari (dapat dilihat
oleh orang lain, tidak semata-mata perasaan subjektif adanya
kegelisahan atau menjadai lambat).
6. Kelelahan atau hilangnya energy hampri setiap hari.
7. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang berlebihan atau
tidak tepat (mungkin bersifat waham) hampir setiap hari (tidak
semata-mata mencelah diri sendiri atau menyalahkan

karena

sakit).
8. Hilangnya kemampuan untuk berpikir atau memusatkan perhatian
atau tidak dapat mengambil keputusan hampir setiap hari (baik
bagi keterangan subjektif atau seperti dilihat orang lain).
9. Pikiran akan kematian yang rekuren (bukan hanya takut mati), ide
bunuh diri yang rekuren tanpa rencana spesifik atau usaha bunuh
diri atau rencana khusus untuk bunuh diri.
b. Gejala tidak memenuhi untuk episode campuran.
c. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau
gangguan dalam fungsi social, pekerjaan, atau fungsi penting lain.
d. Gejala bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat
(misalnya, obat yang disalahgunakan, suatu mediakasi) atau suatu
kondisi medis umum (misalnya, hipotiroidisme).
e. Gejala tidak lebih baik diterangkan oleh duka cita, yaitu setelah
kehilangan orang yang dicintai, gejala menetap lebih dari 2 bulan
atau ditandai oleh gangguan

fungsional yang jelas, preokupasi

premorbid dengan rasa tidak berharga, ide bunuh diri, gejala


psikotik, atau retardasi psikomotor.

27

Kriteria untuk penentuan keparahan untuk episode depresi berat


berdasarkan DSM IV diterangkan sebagai berikut:
a. Ringan: jika ada gejala yang melebihi dari yang diperlukan untuk
membuat diagnosis dan gejala menyebabkan hanya gangguan ringan
dalam fungsi pekerjaan atau dalam aktivitas sosial yang biasanya
atau hubungan dengan orang lain.
b. Sedang: geala atau gangguan fungsional berada diantara ringan dan
parah
c. Parah tanpa ciri psikotik: beberapa gejala adalah melebihi dari yang
diperlukan untuk membuat diagnosis, dan gejala dengan jelas
mengganggu fungsi pekerjaan atau aktivitas sosial yang biasanya
atau hubungan dengan orang lain.
d. Dengan ciri psikotik: waham atau halusinasi. Jika mungkin sebutkan
apakah ciri psikotik adalah sejalan dengan mood atau tidak sejalan
dengan mood.
Ciri psikotik sejalan dengan mood: waham atau halusinasi yang
isi keseluruhannya adalah konsisten dengan tema depresif tipikal
tentang ketidakberdayaan probadi, rasa bersalah, penyakit,
kematian, nihilism atau hukuman yang layak diterima.
Ciri psikotik yang tidak sejalan dengan mood: waham atau
halusinasi yang isinya tidak memiliki tema depresif tipikal
tentang ketidakberdayaan probadi, rasa bersalah, penyakit,
kematian, nihilism atau hukuman yang layak diterima. Termasuk
di sini adalah gejala tertentu seperti waham kejar (tidak secara
langsung berhubungan dengan tema depresif), sisip pikiran, siar
pikiran dan waham dikendalikan.
3.1.6 Tatalaksana Episode Depresi Berat
Tujuan terapi depresi adalah untuk mengurangi gejala depresi akut,
meminimalkan efek samping, memastikan kepatuhan pengobatan,
membantu pengembalian ketingkat fungsi sebelum depresi, dan
mencegah episode lebih lanjut8.
Tatalaksana pada pasien episode depresi berat terdiri dari
farmakoterapi dan psikoterapi. Sebagian besar klinisi dan peneliti

28

percaya bahwa kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi adalah


pengobatan yang paling efektif.
3.1.6.1 Psikoterapi
Psikoterapi terdiri dari terapi kognitif, terapi interpersonal dan
terapi psikodinamik12.
a. Terapi kognitif
Tujuan :
Bertujuan memberikan peringanan gejala melalui perubahan
pikiran sasaran, mengidentifikasi kognisi yang menghancurkan
diri sendiri, memodifikasi anggapan salah yang spesifik dan
mempermudah pengendalian diri terhadap pola pikiran.
Teknik :
Teknik yang digunakan adalah mencatat dan memonitor kognisi,
mengoreksi tema yang menyimpang dengan tes logika dan
eksperimental, memberikan isi pikiran alternatif, dan pekerjaan
rumah.

29

b. Terapi interpersonal
Tujuan :
Bertujuan memberikan keringanan somatik melalui pemecahan
masalah

interpersonal

melibatkan

keluarga

sekarang,
atau

menurunkan

pekerjaan,

dan

stres

yang

meningkatkan

keterampilan interpersonal.
Teknik :
Teknik yang digunakan adalah menjelaskan dan menangani
hubungan maladaptif dan mempelajari hubungan yang baru
melalui latihan komunikasi dan keterampilan sosial, dan
memberikan informasi tentang penyakit.
c. Terapi psikodinamik
Tujuan :
Bertujuan menimbulkan perubahan kepribadian melalui
pengertian konflik masa lalu, mencapai tilikan ke dalam
pertahanan, distorsi ego dan defek superego, memberikan model
peran; dan memungkinkan pelepasan katartik dari agresi.
Teknik :
Teknik yang digunakan adalah menganalisis transferensi dan
resistensi secara penuh atau parsial, konfrontasi dengan
pertahanan, dan menjelaskan distorsi ego dan superego.
3.1.6.2 Farmakoterapi
Saat akan memberikan terapi obat-obatan, pasien dan keluarga
pasien perlu diberikan informasi tentang pengobatannya. Saat
memperkenalkan masalah pengobatan pada pasien, dokter harus
menekankan bahwa gangguan depresi adalah suatu kombinasi faktor
biologis dan psikologis, dan semua manfaat dari terapi obat. Dokter
juga harus menekankan bahwa pasien tidak akan mengalami ketagihan
terhadap antidepresan, karena obat tersebut tidak memberika pemuasan
yang segera. Dokter harus mengatakan pada pasien mungkin
diperlukan waktu 3 sampai 4 minggu untuk dapat dirasakan efek

30

antidepresan dan kendatipun pasien tidak menunjukkan perbaikan pada


waktu tersebut, medikasi lain tersedia. Dokter harus menjelaskan efek
samping yang diperkirakan secara terinci16.
Dalam pengobatan semua gangguan mental, alasan terbaik untuk
memilih obat adalah riwayat respon yang baik dengan obat tersebut
pada pasien atau anggota keluarga. Jika informasi tersebut tidak ada,
pemilihan obat didasarkan pada terutama efek yang merugikan dari
obat. Klinisi harus mempertimbangkan keparahan dan frekuensi efek
yang merugikan yang potensial jika menggunakan efek samping
sebagai dasar untuk memilih dari antara berbagai antidepresan yang
tersedia12.
Untuk melakukan pengobatan farmakoterapi pada pasien dengan
gangguan depresi sedang dan berat, ada 3 tahapan yang harus
dipertimbangkan antara lain :
a. Fase akut, fase ini berlangsung 6 sampai 10 minggu. pada fase ini
bertujuan untuk mencapai masa remisi (tidak ada gejala).
b. Fase lanjutan, fase ini berlangsung selama 4 sampai 9 bulan setelah
mencapai remisi. pada fase ini bertujuan untuk menghilangkan gejala
sisa atau mencegah kekambuhan kembali.
c. Fase pemeliharaan, fase ini berlangsung 12 sampai 36 bulan. Pada fase
ini tujuannya untuk mencegah kekambuhan kembali.
Obat antidepresan terdiri dari beberapa golongan, yaitu golongan

ikatan trisiklik dan tetrasiklik, golongan Mono Amine Oxidase


Inhibitor (MAOI) Reversible, golongan Selective Serotonin Reuptake
Inhibitor, golongan antidepresan atipikal.

31

Golongan Ikatan Trisiklik dan Tetrasiklik


Semua trisiklik memiliki inti tiga cincin dalam struktur
molekulernya sedangkan tetrasiklik memiliki inti empat cicin
dalam struktur molekulernya. Obat trisiklik memiliki banyak sifat
farmakokinetik dan farmakodinamik yang mirip dan memiliki sfat
reaksi

merugikan

yang

mirip.

Obat

tetrasiklik

awalnya

diperkenalkan berbeda secara bermakan dengan trisiklik , tetapi


penelitian lebih lanjut dan pemaikain klinis telah menunjukkan
bahwa kedua-duanya paling baik dipandang sebagai anggota
keluarga besar obat12.
Efek jangka pendek obat trisiklik dan tetrasiklin adalah
untuk menurunkan ambilan kembali norepinefrin dan serotonin,
dan menghambat reseptor asetilkolin muskarinik dan histamin5.
Pemberian jangka panjang obat trisiklik dan tetrasiklik
menyebabkan penurunan jumlah reseptor beta adrenergik dan
kemungkinan yang serupa dalam jumlah reseptor serotonin tipe 212.
Efek samping obat trisiklik dan tetrasiklik, yaitu mampu
merangsang aktivitas antikolinergik (antimuskarinik) yang dapat
menyebabkan sembelit, mulut kering, retensi urin dan dispepsia.
Pada pasien usia lanjut, efek samping yang lebih berat seperti
takikardia, kebingungan, agitasi bahkan delirium dapat terjadi.
Sementara
antihistamin

reaksi

antagonis

masing-masing

alfa1-adrenergik
dapat

dan

menyebabkan

reaksi

hipotensi

ortostatik dan peningkatan berat badan5.


Dosis obat untuk trisiklik dan tetrasiklik bervariasi dan
dijelaskan pada tabel 1.

32

Tabel 1. Dosis Obat Trisiklik dan Tetrasiklik pada Orang Dewasa

Dikutip dari Ciraulo, D. A., Shader, R. I. & Greenblatt, D. J. 2011. Clinical Pharmacology and
Therapeutics of Antidepressants. Department of Psychiatry, Boston University School of
Medicine. England. Hal: 33-100.

33

Golongan Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAOI)


Penghambat monoamine oksidase merupakan terpilih untuk
gangguan depresi sebagai indikasi utamanya dan biasanya
memiliki kemanjuran yang sama jika dibandingkan dengan obat
antidepresan lainnya.

MAOI sekarang jarang digunakan

dikarenakan pembatasan diet yang harus diikuti untuk menghindari


krisis hipertensi akibat konsumsi tyramine. Empat jenis MAOI
yang sering digunakan di Amerika Serikat, yaitu Isocarboxazid,
Phenelzine, Tranylccypromine dan Selegiline12.
Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor memiliki
aktivitas spesifik dalam hal inhibisi ambilan kembali serotonin
tampa efek pada ambilan kembali norepinefrin dan dopamine.
SSRI juga tidak memiliki sama sekali aktivitas agonis dan
antagonis pada tiap reseptor neurotransmitter12.
Meskipun umumnya SSRI dapat ditoleransi dengan baik,
SSRI dapat menyebabkam rasa cemas, gangguan tidur dan
gangguan pencernaan. SSRI bisa dikelola dengan menurunkan
dosis atau memperlambat peningkatan dosis sementara mengobati
gejala sasaran (misalnya ondansetron untuk mual, lorazepam untuk
insomnia)5.
Dosis obat untuk Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
dijelaskan pada tabel 2.

34

Tabel 2. Dosis Obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor pada Orang Dewasa

Dikutip dari Ciraulo, D. A., Shader, R. I. & Greenblatt, D. J. 2011. Clinical Pharmacology and
Therapeutics of Antidepressants. Department of Psychiatry, Boston University School of
Medicine. England. Hal: 33-100.

Golongan Antidepresan Atipikal


Golongan antidepresan atipikal adalah obat antidepresan
yang tidak cocok jika dimasukkan dalam klasifikasi obat
antidepresan lainnya (trisiklik, MAOI, dan SSRI). Jenis obat
antidepresan atipikal, yaitu bupropion, venlafaxine, mirtazapine,
dan Trazodone.
Venlafaxine
Venlafaxine

termasuk

golongan

Serotonin

and

Norepinephrine Reuptake Inhibitors (SNRI). SNRI pada


dasarnya perkembangan dari obat SSRI dan memiliki efikasi
lebih tinggi dari pada SSRI karena SNRI mempunyai
mekanisme ganda, yaitu menghambat transporter serotonin dan
norepinefrin. Obat golongan SNRI yang digunakan adalah
venlafaxine7.
Venlafaxine adalah inhibitor nonselektif ambilan kembali 3
amin biogenic, yaitu serotonin, norepiefrin, dan dopamin. Obat
ini paling kuat sebagai inhibitor ambilan kembali serotonin,
tetapi potensinya sebagai inhibitor ambilan kembali norepinefrin
juga tinggi, dan potensinya sebagai inhibitor ambilan kembali
dopamine cukup bermakna7.

35

Bila venlafaxin tersedia dalam bentuk tablet 37,5 mg dan


75 mg. dosis awal lazimnya pada pasien depresi rawat jalan
adalah 75 mg sehari, diberikan dalam 2 sampai 3 dosis terbagi.
Pada populasi pasien tersebut dosis dapat ditingkatkan sampai
150 mg sehari, diberikan dalam 2 atau 3 dosis terbagi setelah
periode pemeriksaan klinis yang cukup dengan dosis lebih
rendah. Dosis maksimum venlafaxine adalah 375 mg sehari12.
Bupropion
Bupropion termasuk golongan
Norepinephrine and
Dopamine Reuptaking Inhibitors (NDRI), NDRI bekerja pada
transporter norepineprin dan dopamine sehingga meningkatkan
jumlah kedua neurotransmitter tersebut pada postsynaptic cell.
Bupropion juga tidak menyebabkan disfungsi seksual dan
penambahan berat badan sehingga diindikasikan pada orang
yang mengalami disfungsi seksual akibat SSRI7.
Bupropion tersedia dalam bentuk tablet 75 mg dan 100 mg.
awal terapi pada pasien dewasa rata-rata harus 100 mg per oral
2kali sehari. Pada hari ke empat terapi dosis dapat ditingkatkan
100 mg per oral 3 kali sehari. Dosis tunggal bupropion tidak
boleh melebih 150 mg dan dosis harian total tidak boleh melebih
450 mg12.
Mirtazapine
Mirtazapine termasuk golongan Noradrenergic and specific
antidepressants (NaSSA). Cara kerja NaSSA adalah dengan
menghambat reseptor alfa-2 adrenergik pada presinaptik dan
postsinaptik tetapi juga memiliki afinitas yang rendah pada
reseptor alfa-1 adrenergik. NaSSA juga menghambat reseptor
serotonin 5HT2 dan 5HT3. Dosis awal yang harus diberikan
adalah 15 mg dan maksimal 45 mg dikonsumsi setiap malam
sebelum tidur10.
Trazodone
Trazodone efektif dalam penanganan depresi mayor dengan
cara menghambat ambilan semula serotonin dan modulasi

36

neurotransmisi serotonergik. Trazodone juga mempunyai peran


signifikan

dalam

menghambat

reseptor

histamine

(H1).

Trazodone dapat memperbaiki kualitas tidur hingga menurunkan


jumlah dan lama terjaga di malam hari. Trazodone sering
diberikan pada dosis rendah yaitu antara 25 mg hingga 50mg
sebagai pelengkap SSRI dalam merawat masalah insomnia10.
Algoritma pengobatan farmakoterapi episode depresi
sedang atau berat tanpa ada kontrindikasi terhadap antidepresan.
Gambar 1 Algoritma Pengobatan Farmakoterapi Episode Depresi Sedang atau Berat
Pasien depresi yang secra fisik sehat tanpa ada kontraindikasi terhadap antidepresan
SSRI (dipilih tergantung beberapa faktor)

Terapi gagal, tidak ada respon


atau timbul efek samping

Dipastikan kepatuhan
pengobatan
Diganti dengan alternatif lain
( SSRI yang lain,
antidepresan non- SSRI)

Respon parsial

Tingkatkan dosis, ganti


dengan antidepresan
lainnya atau terapi
kombinasi (dengan
Lithium)

Remisi penuh

Menjaga 4 9
bulan untuk terapi
lanjutan, jika perlu
12 36 bulan
untuk terapi
pemeliharaan

Remisi penuh
Dikutip dari Yuniastuti. 2013. Evaluasi Terapi Obat Antidepresan
Menjaga 4 9
bulan untuk terapi
lanjutan, jika perlu
12 36 bulan
untuk terapi
pemeliharaan

pada Pasien Depresi di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta Tahun


2011-2012.
Hal: 1-10.

Universitas Muhammadiyah Surakarta. Indonesia.

37

Jika obat yang diberikan kepada pasien tidak berespon


setelah pemakaian 2 minggu atau 3 minggu maka periksa apakah
obat memang benar dikonsumsi secara teratur atau ada disposisi
farmakokinetik16.
Jika obat antidepresan pertama telah digunakan secara
adekuat dan konsentrasi plasma yang adekuat telah dicapai tetapi
tidak memberikan respon yang maksimal maka dapat dilakukan
dua pilihan, yaitu memperkuat obat dengan lithium, liothyronine
atau L-tryptophan atau mengganti agen primer alternatif12.
Jika pengobatan 2 atau 3 minggu pertama memiliki respon
maka dokter wajib meyakinkan pasien depresi untuk melanjutkan
pengobatan minimal 6 bulan. Sarankan pasien depresi untuk
melanjutkan pengobatan paling sedikit 2 tahun untuk pasien yang
berisiko relapse. Pasien yang berisiko relapse, yaitu pasien yang
memiliki riwayat depresi lebih atau sama dengan 2 episode, pasien
yang memiliki gangguan fungsional yang berat, pasien yang
memiliki riwayat pengobatan yang lama.
Terapi alternatif terhadap terapi obat, yaitu elektrokonvulsif
dan fototerapi. Terapi elektrokonvulsif biasanya digunakan jika
pasien

tidak

respon terhadap

farmakoterapi,

pasien tidak

menoleransi farmakoterapi, situasi klinis sangat parah sehingga


diperlukan perbaikan cepat yang terlihat pada elektrokonvulsif.
Fototerapi adalah suatu pengobatan baru yang telah digunakan
pada pasien yang menderita gangguan mood dengan pola
musiman12.

38

3.2 Stroke Non Hemoragik


3.2.1 Definisi
Menurut WHO (World Health Organization) 2005 stroke adalah
suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan
tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung
lebih dari 24 jam, atau dapat langsung menimbulkan kematian, dan
semata-mata disebabkan gangguan peredaran darah otak non traumatik.
Stroke non hemoragik didefinisikan sebagai sekumpulan tanda
klinik yang berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini berlangsung 24
jam atau lebih pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran darah
ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian1.
3.2.2 Etiologi
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering
disebabkan oleh emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain
itu, stroke non hemoragik juga dapat diakibatkan oleh penurunan aliran
serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran
darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang
berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri10.
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis
akan tetapi dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik9.
a) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
Penyakit jantung dengan shunt yang menghubungkan bagian
kanan dengan bagian kiri atrium atau ventrikel;
Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun

yang

meninggalkan gangguan pada katup mitralis;


Fibralisi atrium;
Infark kordis akut;
Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial,

jantung miksomatosus sistemik;


b) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.

39

Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.


Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit
caisson).

Emboli

dapat

berasal

dari

jantung,

arteri

ekstrakranial, ataupun dari right-sided circulation (emboli


paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah
trombi valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup
buatan), trombi mural (seperti infark miokard, atrial fibrilasi,
kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma.
Sebanyak 2-3% stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard
dan 85% di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah
terjadinya infark miokard10.
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah
besar (termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil
(termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya
trombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri serebral
utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya
stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah
(sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis
(ulserasi plak), dan perlengketan platelet. Penyebab lain terjadinya
trombosis

adalah

fibromuskular

dari

polisetemia,
arteri

anemia

serebral,

dan

sickle

sel,

displasia

vasokonstriksi

yang

berkepanjangan akibat gangguan migren. Setiap proses yang


menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat menyebabkan
terjadinya stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik,
arteritis)10.

40

3.2.3 Faktor Risiko


Pemeriksaan faktor resiko dengan cermat dapat memudahkan
seorang dokter untuk menemukan penyebab terjadinya stroke. Terdapat
beberapa faktor resiko stroke non hemoragik, yakni9,10:
1. Usia lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri,
dan fibrilasi atrium kiri)
5. Hiperkolesterolemia
6. Riwayat mengalami penyakit serebrovaskuler
Resiko stroke juga meningkat pada kondisi di mana terjadi
peningkatan viskositas darah dan penggunaan kontrasepsi oral pada
pasien dengan resiko tinggi mengalami stroke non hemoragik10.
3.2.4 Klasifikasi
Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis1:
1.Serangan Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan
peredaran darah di otak akan menghilang dalam waktu 24 jam.
2.Defisit
Neurologik
Iskemia
Sepintas/Reversible
Ischemic
Neurological Deficit (RIND).
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih
dari 24 jam, tapi tidak lebih dari seminggu.
3.Stroke progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
4.Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Gejala klinis sudah menetap. Kasus completed stroke ini ialah
hemiplegi dimana sudah memperlihatkan sesisi yang sudah tidak ada
progresi lagi. Dalam hal ini, kesadaran tidak terganggu

41

Berdasarkan subtipe penyebab2 :


a. Stroke lakunar]
Terjadi

karena

penyakit

pembuluh

halus

hipersensitif

dan

menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa


jam atau kadang-kadang lebih lama. Infark lakunar merupakan infark
yang terjadi setelah oklusi aterotrombotik salah satu dari cabangcabang penetrans sirkulus Willisi, arteria serebri media, atau arteri
vertebralis dan basilaris. Trombosis yang terjadi di dalam pembuluhpembuluh ini menyebabkan daerah-daerah infark yang kecil, lunak,
dan disebut lacuna. Gejala-gejala yang mungkin sangat berat,
bergantung pada kedalaman pembuluh yang terkena menembus
jaringan sebelum mengalami trombosis.
b. Stroke trombotik pembuluh besar
Sebagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, saat pasien relative
mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Gejala dan
tanda akibat stroke iskemik ini bergantung pada lokasi sumbatan dan
tingkat aliran kolateral di jaringan yang terkena. Stroke ini sering
berkaitan dengan lesi aterosklerotik.
c. Stroke embolik
Asal stroke embolik dapat dari suatu arteri distal atau jantung. Stroke
yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik
mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit. Biasanya
serangan terjadi saat pasien beraktivitas. Pasien dengan stroke
kardioembolik memiliki risiko besar menderita stroke hemoragik di
kemudian hari.
d. Stroke kriptogenik
Biasanya berupa oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar
tanpa penyebab yang jelas walaupun telah dilakukan pemeriksaan
diagnostik dan evaluasi klinis yang ekstensif.

42

3.2.5 Patofisiologis
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stroke iskemik, salah
satunya adalah aterosklerosis, dengan mekanisme thrombosis yang
menyumbat arteri besar dan arteri kecil, dan juga melalui mekanisme
emboli. Pada stroke iskemik, penyumbatan bisa terjadi di sepanjang
jalur arteri yang menuju ke otak. Aterosklerosis dapat menimbulkan
bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:
1. Menyempitkan

lumen

pembuluh

darah

dan

mengakibatkan

insufisiensi aliran darah.


2. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau
perdarahan aterom.
3.Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai
emboli. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi
aneurisma yang kemudian dapat robek.
Suatu penyumbatan total dari aliran darah pada sebagian otak akan
menyebabkan hilangnya fungsi neuron yang bersangkutan pada saat itu
juga. Bila anoksia ini berlanjut sampai 5 menit maka sel tersebut dengan
sel penyangganya yaitu sel glia akan mengalami kerusakan ireversibel
sampai nekrosis beberapa jam kemudian yang diikuti perubahan
permeabilitas vaskular disekitarnya dan masuknya cairan serta sel-sel
radang.
Di sekitar daerah iskemi timbul edem glia, akibat berlebihannya
H+ dari asidosis laktat. K+ dari neuron yang rusak diserap oleh sel glia
disertai rentensi air yang timbul dalam empat hari pertama sesudah
stroke. Edem ini menyebabkan daerah sekitar nekrosis mengalami
gangguan perfusi dan timbul iskemi ringan tetapi jaringan otak masih
hidup. Daerah ini adalah iskemik penumbra. Bila terjadi stroke, maka di
suatu daerah tertentu dari otak akan terjadi kerusakan (baik karena
infark maupun perdarahan). Neuron-neuron di daerah tersebut tentu
akan mati, dan neuron yang rusak ini akan mengeluarkan glutamat, yang
selanjutnya akan membanjiri sel-sel disekitarnya. Glutamat ini akan

43

menempel pada membran sel neuron di sekitar daerah primer yang


terserang. Glutamat akan merusak membran sel neuron dan membuka
kanal kalsium (calcium channels). Kemudian terjadilah influks kalsium
yang mengakibatkan kematian sel. Sebelumnya, sel yang mati ini akan
mengeluarkan glutamat, yang selanjutnya akan membanjiri lagi neuronneuron disekitarnya. Terjadilah lingkaran setan. Neuron-neuron yang
rusak juga akan melepaskan radikal bebas, yaitu charged oxygen
molecules (seperti nitric acida atau NO), yang akan merombak molekul
lemak didalam membran sel, sehingga membran sel akan bocor dan
terjadilah influks kalsium. Stroke iskemik menyebabkan berkurangnya
aliran darah ke otak yang menyebabkan kematian sel.
`Pembuluh darah

Trombus/embolus karena plak


ateromatosa, fragmen, lemak, udara,
bekuan darah

Oklusi

Perfusi jaringan cerebral


Iskemia

Hipoksia

Metabolisme
anaerob

Aktivitas elektrolit
terganggu

Nekrotik jaringan otak

Asam laktat

Na & K pump
gagal

Infark

Na & K influk
Retensi cairan
Oedem serebral
Gg.kesadaran, kejang fokal,
hemiplegia, defek medan
penglihatan, afasia

44

3.2.6 Diagnosis
Gambaran Klinis
a) Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami
defisit neurologi akut (baik fokal maupun global) atau penurunan
tingkat kesadaran. Tidak terdapat tanda atau gejala yang dapat
membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik meskipun gejala
seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat kesadaran
lebih sering terjadi pada stroke hemoragik. Beberapa gejala umum
yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese, monoparese, atau
qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler,
diplopia, disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran
tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala tersebut dapat muncul sendiri
namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu
terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu
tidaknya pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat
mengganggu dalam mencari gejala atau onset stroke seperti:
Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak
didapatkan hingga pasien bangun (wake up stroke).
Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk
mencari pertolongan.
Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke
seperti kejang, infeksi sistemik, tumor serebral, subdural hematom,
ensefalitis, dan hiponatremia10.
b) Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab
stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang
menyerupai stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang
dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan
leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings.
Pemeriksaan juga dilakukan untuk mencari faktor resiko stroke
seperti obesitas, hipertensi, kelainan jantung, dan lain-lain10.

45

c) Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi
gejala stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki
gejala seperti stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk
mengetahui

keberhasilan

terapi.

Komponen

penting

dalam

pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan


tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan
sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda.
Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda
meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada
stroke harus dibedakan dengan Bells palsy di mana pada Bells palsy
biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau
mengerutkan dahinya6,10.
Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada
arteri yang tersumbat4:

Sirkulasi terganggu
A.Serebri media

Sensomotorik
Gejala klinis lain
Sindrom Sirkulasi Anterior
Hemiplegia kontralateral
Afasia global (hemisfer dominan),

(total)

(lengan lebih berat dari

Hemi-neglect (hemisfer non-

tungkai)

dominan), agnosia, defisit

Hemihipestesia

visuospasial, apraksia, disfagia

A.Serebri media

kontralateral.
Hemiplegia kontralateral

Afasia motorik (hemisfer dominan),

(bagian atas)

(lengan lebih berat dari

Hemi-negelect (hemisfer non-

46

A.Serebri media

tungkai) hemihipestesia

dominan), hemianopsia, disfagia

kontralateral.
Tidak ada gangguan

Afasia sensorik (hemisfer dominan),

(bagian bawah)

afasia afektif (hemisfer non-

A.Serebri media

Hemiparese kontralateral,

dominan), kontruksional apraksia


Afasia sensoris transkortikal

dalam

tidak ada gangguan

(hemisfer dominan), visual dan

sensoris atau ringan sekali

sensoris neglect sementara (hemisfer

Hemiplegia kontralateral

non-dominan)
Afasia transkortikal (hemisfer

(tungkai lebih berat dari

dominan), apraksia (hemisfer non-

lengan) hemiestesia

dominan), perubahan perilaku dan

kontralateral (umumnya

personalitas, inkontinensia urin dan

A.Serebri anterior

A.Basilaris (total)

ringan)
alvi
Sindrom Sirkulasi Posterior
Kuadriplegia, sensoris
Gangguan kesadaran samapi ke
umumnya normal

sindrom lock-in, gangguan saraf


cranial yang menyebabkan diplopia,
disartria, disfagia, disfonia, gangguan

A.Serebri posterior

Hemiplegia sementara,

emosi
Gangguan lapang pandang bagian

berganti dengan pola gerak

sentral, prosopagnosia, aleksia

chorea pada tangan,


hipestesia atau anestesia

Lacunar infark

terutama pada tangan


Pembuluh Darah Kecil
Gangguan motorik murni,
gangguan sensorik murni,
hemiparesis ataksik,
sindrom clumsy hand

Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan
mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia,
trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun
dapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini
seperti anemia9.

47

Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan


yang memiliki gejala seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau
dapat pula menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes,
gangguan

ginjal).

Pemeriksaan

koagulasi

dapat

menunjukkan

kemungkinan koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga


berguna jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan. Biomarker
jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan
penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya
hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan hasil yang buruk
dari stroke9.

48

Gambaran Radiologi
a) CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik
dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non
hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin.
Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi
anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan
lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma,
abses)9.

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus


dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense
regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3
jam terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan
pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain
terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign,
hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya
perberdaan gray-white matter9.
CT perfusion merupakan modalitas baru yang berguna untuk
mengidentifikasi

daerah

awal

terjadinya

iskemik.

Dengan

melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region


otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya
iskemik di daerah tersebut9.
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT
angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek
pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari
pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat

49

memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami


hipoperfusi memberikan gambaran hipodense9.
b) MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi
lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan
pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta
waktu pemeriksaan yang agak panjang. Protokol MRI memiliki
banyak kegunaan untuk pada stroke akut9.

c) USG, ECG, EKG, Chest X-Ray


Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai
stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan
dupleks

karotis.

USG

transkranial

dopler

berguna

untuk

mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di


antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler.
Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien
dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli
kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi
diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk
mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga
berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto
thoraks9.

Anda mungkin juga menyukai