Anda di halaman 1dari 18

Pencegahan Peningkatan HIV/ AIDS di Indonesia

Monica Halim
102012237
Fakultas Kedokteran,Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510. Telepon: (021)5694-2061, fax: (021)563-1731
monicahalim@yahoo.com
Pendahuluan
Angka kejadian HIV-AIDS semakin hari semakin memprihatinkan. Sampai dengan
triwulan III tahun 2014 jumlah kasus baru HIV 7335 kasus, infeksi tertinggi menurut golongan
umur adalah 25-49 tahun mencapai 69, 1% 20-24 = 17,2% umur 50 tahun=5,5%. Rasio lakilaki:perempuan =1:1. Sementara itu kasus AIDS pada usia 30-39 tahun (42%) umur 20-29 tahun
(36,9%) dan umur 40-49 (13,1%). Rasio AIDS laki-laki perempuan adalah 2:1. Yang menarik
adalah adanya 4% kasus berasal dari ibu yang HIV positif yang menular kepada anak nya.
Pemerintah saat itu sedang melaksanakan program yang bertujuan untuk meningkatkan
pengetahuan dan prilaku masyarakat terhadap penyakit HIV-ASID ini, antara lain dalam program
VCT (Voluntary, Counseling, dan test). Diharapkan mampu menjaring sebanyakmungkin kasus
HIV-Asid sedini mungkin untuk mencegah penularan lebih lanjut. Selain itu sasaran lainnya
adalah usia muda dan remaja agar mampu melaksanakan upaya promosi dan prevensi terhadap
penyakit ini.
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS). Virus ini akan membunuh limfosit T helper (CD4), yang menyebabkan
hilangnya imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain yang mempunyai
protein CD4 pada permukaannya seperti makrofag dan monosit juga dapat diinfeksi oleh virus
ini. Sehingga penderita HIV-AIDS sangat mudah tertular penyakit yang disebabkan oleh bakteri,
virus, parasit, maupun jamur. Sampai saat ini bebum ada obat yang dapat menyembuhkan
penyakit ini, hanya terdapat obat-obat yang mengurang efek samping dari penyakit ini.1

Pembahasan
I.

Rantai Penularan
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency

syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini
bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan HIV2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus
atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi dengan menggunakan enzim
reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia
Virus ini akan membunuh limfosit T helper (CD4), yang menyebabkan hilangnya
imunitas yang diperantarai sel. Selain limfosit T helper, sel-sel lain yang mempunyai protein
CD4 pada permukaannya seperti makrofag dan monosit juga dapat diinfeksi oleh virus ini. Maka
berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia yang mengindikasikan berkurangnya sel-sel darah
putih yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh manusia, sehingga ini meningkatkan
probabilitas seseorang untuk mendapat infeksi oportunistik.2
HIV dapat ditemukan di darah dan cairan tubuh manusia seperti semen dan cairan vagina.
Virus ini tidak dapat hidup lama di luar tubuh, maka untuk transmisi HIV perlu ada penukaran
cairan tubuh dari orang yang telah terinfeksi HIV. Cara menular virus ini paling banyak adalah
melalui kontak seksual, jarum suntik, dan dari ibu ke anak. Hubungan seksual secara global,
penularan virus HIV paling banyak berlaku melalui heteroseksual. Pengguna narkoba jarum
suntik, pengguna narkoba jarum suntik adalah kelompok risiko tinggi untuk mendapat HIV.
Berkongsi penggunaan jarum suntik secara bergantian adalah cara yang efisien untuk transmisi
virus yang menular melalui darah seperti HIV dan Hepatitis C. Cara ini akan meningkatkan
risiko tiga kali lebih besar daripada transmisi HIB melalui hubungan seksual. Penularan dari ibu
ke anak, wanita hamil yang mempunyai HIV boleh mentransmisi virus ini saat hamil, partus dan
saat menyusui. Melalui transfusi darah atau produk darah yang sudah tercemar dengan virus
HIV.3
`

Semua jalur penularan ini merupakan faktor prilaku. Lebih penting lagi, hal ini

menyangkut isu-isu tentang moral, agama, kebudayaan dan sosialekonomi, yang saling
berinteraksi disaat yang sama. Pemahaman tentang hubungan seksual, misalnya, merupakan
pusat dari sitem moral religius yang saling berinteraksi di saat yang sama. Pemahaman tentang

hubungan seksual, misalnya merupakan pusat dari sistemmoral religius yang ada dalam setiap
masyarakat dan kebudayaan. Dengan demikian prilaku seksual terkait erat dengan definisis
gender dan hubungan lintas budaya dan pasti menyangkut isu-isu kemiskinan dan kemakmuran.
Dengan demikian untuk memahami penularan HIV melalui hubungan seksual ditempat
tertentu.Pola penyebaran HIV bervariasi berdasarkan HIV bervariasi berdasarkan negara,
masyarakat, gender, dan kelompok etnis. Bukan itusaja pola-pola ini selalu berubah seiring
epidemik. Pembahasan tentang prilaku beresiko dengan Hiv sangat kompleks. Setiap jalur utama
penularan, banyak pola prilaku yang berhubungan dengan kebiasaan, dan behadapan dengan
masalah besar variasi lintas budaya dan lingkungan.3
II.

Epidemiologi
Epidemi HIV merupakan masalah dan tantangan serius terhadap kesehatan masyarakat di

dunia baik di negara-negara yang sudah maju maupun di Negara negara berkembang. Pada tahun
2008 jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di seluruh dunia diperkirakan sudah
mencapai 33,4 juta (31,135,8 juta) dan diperkirakan 2 juta orang meninggal karena AIDS.
Departemen Kesehatan melaporkan bahwa pada tahun 2008 terjadi laju peningkatan kasus baru
AIDS yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir ini. Hal ini terlihat dari jumlah kasus
baru AIDS dalam 3 tahun terakhir lebih dari 3 kali lipat dibanding jumlah yang pernah
dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di Indonesia.1
Berdasarkan laporan situasi perkembangan HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan
30 Juni 2010, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan adalah 21.770 kasus AIDS
yang berasal dari 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Cara penularan kasus AIDS kumulatif
dilaporkan melalui hubungan seks heteroseksual (49,3%), Injecting Drug User atau IDU
(40,4%), hubungan seks sesama lelaki (3,3%), dan perinatal (2,7%). Rasio kasus AIDS antara
laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada
kelompok umur 20-29 tahun (48,1%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (30,9%) dan
kelompok umur 40-49 tahun (9,1%). Kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Jawa Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera
Utara, dan Riau. Khusus untuk kelompok umur 15-24 tahun, kasus AIDS berdasarkan faktor
risiko didominasi oleh hubungan heteroseksual (9,29%) dan IDU (8,7%). Sementara itu,
berdasarkan laporan yang diperoleh dari layanan klinik VCT (Voluntary Counselling and HIV

Testing), sampai dengan 30 Juni 2010 kasus HIV positif kumulatif terdapat sebanyak 44.292
kasus dengan positive rate rata-rata 10,3%. Kasus HIV positif tersebut dilaporkan dari 357 klinik
VCT yang ada di 33 Provinsi menyebar pada unit pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun
non pemerintah dan LSM. Persentase kumulatif klien yang menggunjungi layanan klinik VCT di
Indonesia sampai dengan Juni 2010 adalah 562.413 (77.5%) dan kumulatif infeksi HIV sampai
dengan 30 Juni 2010 yang diperoleh pada kelompok umur 15-19 tahun sebesar 15% dan
kelompok umur 20-29 sebesar 16%. Berdasarkan laporan monitoring layanan perawatan,
dukungan dan pengobatan ODHA, perawatan HIV di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2005
dengan jumlah yang masih dalam pengobatan ARV (anti retroviral) pada tahun 2005 sebanyak
2.381 (61% dari yang pernah menerima ARV). Kemudian sampai dengan 30 Juni 2010 terdapat
16.982 ODHA yang masih menerima ARV (60,3% dari yang pernah menerima ARV).1
Jumlah ODHA yang dalam pengobatan ARV tertinggi dilaporkan dari provinsi DKI
Jakarta (7.242 orang), Jawa Barat (2.001 orang), Jawa Timur (1.517 orang), Bali (984 orang),
Papua (685 orang), Jawa Tengah (575 orang), Sumatera Utara (570 orang), Kalimantan Barat
(463 orang), Kepulauan Riau (426 orang), dan Sulawesi Selatan (343 orang). Pengobatan ARV
terbukti membawa dampak yang signifikan bagi pengurangan tingkat kematian ODHA. Hanya
dalam waktu tiga tahun, kematian ODHA menurun dari 46% pada tahun 2006 menjadi 18% pada
tahun 2009. Angka-angka di atas memberitahukan kepada kita bahwa epidemi ini masih
berlanjut dan belum ada kecenderungan turun atau dapat dikendalikan. Meskipun Indonesia
masih dikategorikan sebagai negara dengan level epidemi terkonsentrasi yakni terkonsentrasi
hanya pada populasi paling berisiko (Wanita Penjaja Seks, IDU, LSL atau lelaki berhubungan
seks dengan lelaki dan waria), namun tanda-tanda menyebar ke populasi umum sudah terjadi.
Papua sering dikatakan sebagai provinsi yang telah mengalami generalized epidemic.
Tampaknya upaya pencegahan harus lebih digencarkan, diperluas, ditingkatkan kualitasnya dan
didukung semua sektor, organisasi dan masyarakat. Pencegahan bukan saja kepada mereka yang
berisiko tinggi tetapi juga kepada segmen populasi yang paling banyak terinfeksi, orang muda.1

III.

Pogram pencegahan penyakit


Pelayanan HIV-AIDS dan IMS Komprehensif dan Berkesinambungan bukan merupakan

suatu konsep yang baru, konsep layanan seperti ini telah diinisiasi oleh Kemenkes sejak tahun

2004. Pengembangan pedoman dan konsep LKB ini didukung oleh WHO, juga mitra lainnya
yaitu KPAN, NU, PKBI, SUM, IPIPPI dan sebagainya, diskusi intensif dari mulai
pengembangan pedoman, modul dan juga pemilihan kab/kota, pembagian tugas dan fungsi
dengan mitra didiskusikan secara bersama - sama. Sebagai gambaran, LKB ini mencakup semua
bentuk layanan HIV dan IMS, seperti kegiatan KIE pengetahuan komprehensif, promosi
penggunaan kondom, pengendalian/pengenalan faktor risiko, Konseling dan Tes HIV, Perawatan,
Dukungan, dan Pengobatan (PDP), Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA),
Pengurangan Dampak Buruk NAPZA , layanan IMS, Pencegahan penularan melalui darah donor
dan produk darah lainnya, kegiatan monev dan surveilan epidemiologi di Puskesmas Rujukan
dan Non- Rujukan termasuk fasilitas kesehatan lainnya, dan Rumah Sakit Rujukan di
Kabupaten/Kota, dengan keterlibatan aktif dari sektor masyarakat.4
Layanan komprehensif adalah upaya yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif yang mencakup semua bentuk layanan HIV dan IMS sedangkan layanan yang
berkesinambungan adalah pemberian layanan HIV & IMS secara paripurna, yaitu sejak dari
rumah atau komunitas, ke fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit
dan kembali ke rumah atau komunitas; juga selama perjalanan infeksi HIV (semenjak belum
terinfeksi sampai stadium terminal). Kegiatan ini harus melibatkan seluruh pihak terkait, baik
pemerintah, swasta, maupun masyarakat (kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, ODHA,
keluarga, PKK, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta organisasi/kelompok yang
ada di masyarakat). Layanan komprehensif dan berkesinambungan juga memberikan dukungan
baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial ODHA selama perawatan dan
pengobatan untuk mengurangi atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya.
Puskesmas Rujukan (puskesmas terpilih yang memiliki sarana dan tenaga tertetu sesuai
dengan standar yang ditetapkan) dan Rumah Sakit Rujukan perlu didukung oleh ketersediaan
pemeriksaan laboratorium di samping adanya pusat rujukan laboratorium di kabupaten/kota
(Labkesda) untuk pemeriksaan CD4 dan pusat rujukan laboratorium diprovinsi (BLK/fasilitas
kesehatan lainnya), untuk akses pemeriksaan viral load.

Komponen LKB terdiri dari 5 komponen utama dalam pengendalian HIV di Indonesia yaitu:

1.
2.
3.
4.
5.

Pencegahan
Perawatan
Pengobatan
Dukungan
Konseling

Pencegahan infeksi HIV x Pencegahan HIV Melalui Transmisi Seksual (PMTS)


Penularan melalui jalur seksual merupakan salah satu pendorong epidemi HIV di Indonesia.
Selain itu, IMS sendiri akan meningkatkan risiko penularan HIV. Untuk itu dijalankanlah
program pencegahan berbasis kabupaten/kota untuk mengendalikan penularan HIV melalui
transmisi seksual, yang terdiri dari 4 komponen, yaitu: 1. Peningkatan peran positif pemangku
kepentingan lokal untuk lingkungan yang kondusif 2. Komunikasi perubahan perilaku yang
berazaskan pemberdayaan 3. Jaminan ketersediaan dan akses kondom dan pelicin 4. Manajemen
IMS yang komprehensif Pelaksanaan program ini dilakukan secara bersamasama antara KPA,
LSM, dan Dinkes setempat, melalui Pokja PMTS, dengan pembagian tanggung jawab sesuai
bidang keahlian dan kewenangan masingmasing. Di kabupaten/kota, program ini menyasar
seluruh populasi kunci di wilayah tersebut (total coverage), dengan tujuan umum menurunkan
prevalensi IMS Pedoman Penerapan Layanan Komprehensif HIV-IMS Berkesinambungan 9 di
kabupaten/kota tersebut, melalui pemakaian kondom konsisten dan penapisan rutin, diagnosis
dini serta pengobatan IMS yang tepat.4
IV.

Pencegahan
Pencegahan primer. Dilakukan sebelum seseorang terinfeksi HIV. Hal ini diberikan pada

seseorang yang sehat secara fisik dan mental. Pencegahan ini tidak bersifat terapeutik; tidak
menggunakan tindakan yang terapeutik; dan tidak menggunakan identifikasi gejala penyakit.
Pencegahan ini meliputi dua hal, yaitu: Peningkatan kesehatan, misalnya: dengan pendidikan
kesehatan reproduksi tentang HIV/AIDS; standarisasi nutrisi; menghindari seks bebas;
secreening, dan sebagainya.Perlindungan khusus, misalnya: imunisasi; kebersihan pribadi; atau
pemakaian kondom.
Pencegahan sekunder. Berfokus pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) agar tidak
mengalami komplikasi atau kondisi yang lebih buruk. Pencegahan ini dilakukan melalui
pembuatan diagnosa dan pemberian intervensi yang tepat sehingga dapat mengurangi keparahan

kondisi dan memungkinkan ODHA tetap bertahan melawan penyakitnya. Pencegahan sekunder
terdiri dari teknik skrining dan pengobatan penyakit pada tahap dini. Hal ini dilakukan dengan
menghindarkan atau menunda keparahan akibat yang ditimbulkan dari perkembangan penyakit;
atau meminimalkan potensi tertularnya penyakit lain.
Pencegahan tersier. Dilakukan ketika seseorang teridentifikasi terinfeksi HIV/AIDS dan
mengalami ketidakmampuan permanen yang tidak dapat disembuhkan. Pencegahan ini terdiri
dari cara meminimalkan akibat penyakit atau ketidakmampuan melalui intervensi yang bertujuan
mencegah komplikasi dan penurunan kesehatan. Kegiatan pencegahan tersier ditujukan untuk
melaksanakan rehabilitasi, dari pada pembuatan diagnosa dan tindakan penyakit. Perawatan pada
tingkat ini ditujukan untuk membantu ODHA mencapai tingkat fungsi setinggi mungkin, sesuai
dengan keterbatasan yang ada akibat HIV/AIDS. Tingkat perawatan ini bisa disebut juga
perawatan preventive, karena di dalamnya terdapat tindak pencegahan terhadap kerusakan atau
penurunan fungsi lebih jauh. Misalnya, dalam merawat seseorang yang terkena HIV/AIDS,
disamping memaksimalkan aktivitas ODHA dalam aktivitas sehari-hari di masyarakat, juga
mencegah terjadinya penularan penyakit lain ke dalam penderita HIV/AIDS; Mengingat
seseorang yang terkena HIV/AIDS mengalami penurunan imunitas dan sangat rentan tertular
penyakit lain.
Selain hal-hal tersebut, pendekatan yang dapat digunakan dalam upaya pencegahan
penularan infeksi HIV/AIDS adalah penyuluhan untuk mempertahankan perilaku tidak beresiko.
Hal ini bisa dengan menggunakan prinsip ABCDE yang telah dibakukan secara internasional
sebagai cara efektif mencegah infeksi HIV/AIDS lewat hubungan seksual. ABCDE ini meliputi: 4
A = abstinensia, tidak melakukan hubungan seks terutama seks berisiko tinggi dan seks
pranikah. B = be faithful, bersikap saling setia dalam hubungan perkawinan atau hubungan
tetap. C = condom, cegah penularan HIV dengan memakai kondom secara benar dan konsisten
untuk para penjaja seksual. D = drugs, hindari pemakaian narkoba suntik.E = equipment , jangan
memakai alat suntik bergantian.
Sedangkan Untuk mencegah penularan HIV dari ibu hamil kepada bayinya dapat
dilakukan dengan pemberian obat antiretroviral azidotimidin (AZT), dan menghindari proses
kelahiran pervagina atau melalui seksio sesaria. Selain itu bayi juga dianjurkan untuk diberikan
susu formula bukan ASI dari ibu yang positif HIV.4

Terakhir, pendekatan agama bagi sebagian besar masyarakat juga merupakan pendekatan
yang penting. Sebab, dengan meningkatkan ajaran agama dan nilai budaya diharapkan perilaku
hubungan seks berisiko dapat dikurangi termasuk di kalangan muda mudi, sehingga angka
pertumbuhan HIV dapat menurun.
Sistem pencatatan dan pelaporan terpadu

puskesmas (SP2TP)

merupakan kegiatan dan

pelaporan data umum, sarana, tenaga dan upaya pelayanan kesehatan di masyarakat (SK Menkes
No 63/Menkes/SK/11/1981).Sistem pencatatan dan pelaporan terpadu puskesmas (SP2TP)
adalah tata cara pencatatan dan pelaporan yang lengkap untuk pengelolaan puskesmas ,meliputi
keadaan fisik, tenaga, sarana, dan kegiatan pokok yang dilakukan serta hasil yang dicapai oleh
puskesmas.4
V.

Konseling dan Tes Sukarela ( Voluntary Counselling and Testing )


Konseling bertujuan untuk memberi dukungan psikologis pada mereka yang hidupnya

telah atau mungkin akan dipengaruhi oleh HIV/AIDS dan sekaligus untuk mencegah terjadinya
penularan HIV kepada orang lain. Manfaat konseling antara lain adalah pengurangan perilaku
beresiko, kesempatan yang dini untuk memperoleh perawatan dan pencegahan penyakit yang
terkait dengan HIV, dukungan emosional, dan kemampuan lebih baik dalam menanggulangi
kegelisahan terkait dengan HIV.5
Sasaran Tes HIV
Selama ini yang melalu menjadi sasaran tes HIV sebagian besar adalah sekelompok
orang yang diperkirakan beresiko, yaitu IDU (Injecting Drug User), para pekerja seks dan pria
homoseksual. Banyak orang melakukan perilaku beresiko tanpa menyadari dirinya termasuk
dalam kelompok beresiko. Musalnya, seorang perempuan yang melakukan hubungan seksual
tanpa kondom dengan pasangan tetapi tidak sadar bahwa pasangannya kadang menyuntuk
narkoba dengan peralatan suntik bergantian.5
Seorang konselor dapat menanyakan beberapa pertanyaan untuk menilai resiko seseorang
yang meminta tes HIV. Sebagian besar orang merasa malu dan tidak merasa nyaman dalam
membahas masalah pribadinya. Bahasa yang dipakai harus sesuai dengan latar belakang agama
dan budaya orang tersebut. Pertanyaan yang sebaiknya diajukan antara lain;

Apakah pasangan anda, atau orang lain yang berhubungan seks atau memakai narkotika
dengan pasangan anda, diketahui terinfeksi HIV/AIDS?
Kegiatan seks jenis apa yang anda lakukan?
Apakah anda memakai kondom? Bagaimana dan kapan?
Apakah anda berhbungan seks sewaktu mamakai narkotika atau alcohol?
Apakah salah satu pasangan anda bermasalah dengan narkotika atau alcohol?
Apakah anda pernah menyuntin narkotika? Kapan terakhir anda menyuntikannya?
Apakah anda pernah terinfeksi PMS?
Apakah anda pernah mengalami hepatitis atau TB?
Apakah anda pernah menjalani bedah atau menerima transfusi darah?
Penggunaan Tes HIV
Tes HIV dipakai untuk sirveilans masyarakat (surveilans sentinel) dan untuk diagnosis
perorangan. Surveilans masyarakat biasanya dilakukan secara intensif terhadap kelomok kunci
dalam masyarakat agar dapat diketahui luasnya penyebaran. Orang yang di tes tidak diberitahu
hasilnya dan juga anonym.
Tes perorangan adalah untuk mereka yang terpapar oleh HIV melalui penyuntikan, seks
yang tidak terlindungi, atau transfuse darah. Tes ini harus mencakup konseling pretes dan
pascates.5
Pengertian konseling
Dalam konseling dua orang yang tidak ada hubungannya satu sama lain bertemu untuk
memecahkan krisis atau membuat keputusan yang melibatkan perilaku dan persoalan yang
sangan pribadi. Konselor tidak boleh menilai masalah pasien dengan melbatkan emosinya.5
Tujuan utama konseling
1.

Memberi dukungan psikososial pada orang-orang yang terpengaruh oleh masalah

HIV/AIDS.

2.

Mencegah infeksi HIV dan penularannya kepada orang lain.

Ini dapat dicapai dengan memberikan informasi kepada klien tentang apa itu HIV ,
bagaimana cara penularannya, bagaimana mencegahnya , apa saja yang tercakup dalam
pelaksanaan tes.Membantu orang yang menangani gejolak emosi yang timbull akibat tes HIV
positif Membahas tindakan-tindakan yang perlu diambil berkenan dengan keadaan dan
kebutuhan klien tetapi tanpa kesan menggutui. Mendorong perubahan perilaku intuk mencegah
penularan.
Sasaran konseling
Orang yang akan melakukan tes HIV
Orang yang terinfeksi dan pasangan atau keluarganya
Orang yang mengalami kesulitan dengan masalah pekerjaan , perumahan dan keuangan
akibat HIVOrang yang memerlukan bantuan karena perilaku beresiko di masa lalu, atau di
masa sekarang.
Kerahasiaan adalah penting, seorang klien harus mempercayai konselornya dan
menentukan sendiri mengenai siapa yang nantinya akan diberitahu jika ternyata ia terinfeksi
HIV.5
Keuntungan Tes Sukarela
Tes sukarela dapat member keuntungan pada orang yang menjalani te , pasangan seksnya,
dan komunitas yang lebih luas, asalkan merupakan bagian dari suatu paket kegiatan pencegahan ,
konseling, perawatan dan dukungan. Tes sukaraela dapat membawa klien pada pengobatan medis
lebih dini, pemeliharaan kesehatan yang lebih baik, pengambilan keputusan yang lebih baik,
dukungan emosi, peningkatan motivasi untuk mencegah penularan dan sikap hidup yan glebih
positif dalam menjalani hidup dengan HIV.5
Kerugian Tes Sukarela
Menjalani tes sukarela dan mengetahui status HIV nya dapat menimbulkan kerugian yang
serius bagi yang bersangkutan. Kerugian itu meliputi masalah penerimaan terhadap hasil tes,
stigma, penolakan, diskriminasi, serta pelanggaran hak asasi manusia.5

Konseling Pretes
Konseling pretes tertuju pada riwayat pribadi klien dan resiko terpapar oleh HIV baik
sekarang maupun sebelumnya, dan pengetahuan klien tentang HIV/AIDS dan kemampuan untuk
mengatasi krisis.
Untuk menilai resiko konselor harus mencermati masalah-masalah:Perilaku beresiko tinggi saat
ini dan sebelumnya (penggunan jarum suntik bergantian) Perilaku seksual saat ini atau
sebelumnya, pekerjaan sebagai pekerja seks atau bersenggama dengan pekerja seks.Penggunaan
kondom, kebiasaan seksual yang lebih aman, frekuensi hubungan seksual vaginal atau anal tanpa
kondom.Riwayat menerima transfuse darah atau pencangkokan organ tubuh.
Sesudah konselor menilai resiko klien terinfeksi HIV, pengetahuan mengenai virus dan
kemampuan untuk mengatasi masalah, konselor harus member informasi lengkap mengenai
HIV/AIDS dan apa artinya jika hasil positif atau negative , apa itu positif palsu atau negative
palsu, massa jendela, cara mencegah penularan virus, berapa waktu yang diperlukan untuk
memperoleh hasil tes.5
Konseling pascates
Konseling pascates terutama untuk memberitahukan hasil tes, mungkin dibutuhkan lebih
dari satu kali pertemuan, baik bagi yang hasilnya positif maupun negative. Bila hasilnya positif,
diperlukan tempat dengan suasana pribadi pada waktu penyampaian,klien juga harus merasa
aman dan rahasia terjamin.konselor harus member dukungan dan peka terhadap keterkejutan ,
ketakutan, kemarahan klien. Konselor menjelaskan arti hasil positif,pokok-pokok yang harus
disampaikan adalah;
Infeksi HIV bukan AIDS Harus menjaga kesehatan dan jangan sampai terpapar penyakit
lain yang melemahkan system imun. Bagaimana HIV menular dan cara-cara jangan sampai
menularkan kepada orang lain. Tidak mungkin dengan mengetahui hasil tes HIV dapat
mengetahui sejak kapan ia tertular HIV, hal ini sangat penting jangan sampai klien merasa
tertular karena pasangan yang tidak setia.
Bila hasilnya negative, ada beberapa hal yang perlu disampaikan kepada klien.

Hasil negative belum pasti tidak terinfeksi HIV karena ada masa jendela, sebaiknya pasien

tes lagi setelah 3 atau 6 bulan.


Mengingatkan klien jangan sampai terpapar terhadap infeksi HIV . informasi perilaku

seksual dan penggunaan jarum suntik yang aman perlu dijelaskan secara rinci.
Member kesempatan kepada pasangan untuk ikut dalam konseling berikutnya.

Penyedia konseling
Pada kenyataannya konseling merupakan bagian dari pekerjaan orang yang terlibat dalam
program pencegahan HIV. Konseling bukan merupakan peristiwa yang hanya terjadi satu kali.
Berkenaan dengan tes HIV , konseling paling sedikit diberikan dua kali, yaitu sebelum dan
sesudah tes. Tetapi konseling juga dapat terjadi sehari-hari di jalan, di warung, di rumah orang,
atau di klinik. Konseling dapat terjadi tanpa direncanakan lebih dulu, misalnya seorang perawat
yang merawat abses seorang IDU . Bersama-sama mereka dapat membahas mengapa sampai ia
mempunyai abses dank lien mendapat kesempatan untuk bertanya.
Tes mandatory
Gagasan wajib tes (Mandatory testing ) adalah tes HIV tanpa diberi pilihan, atau bila
bersangkutan sulit menolak, misalnya pada pekerja seks, calon anggota militer , IDU , migram,
pengungsi, orang yang mauu menikah, pemohon visa, pelancong internasonal, penerima
beasiswa. Alasan untuk melakukan tes mandatory adalah untuk melindunngi masyarakat lebih
luas. Sebaliknya tes mandatory dapat menyebabkan kerugian serius baik bagi orang yang dites
maupun masyarakat luas. 5
Kerugian tes mandatory adalah adanya masa jendela, orang yang hasilnya negative tapi
dapat terinfeksi setelah tes, menghalangi orang mencari perawatan medis, nasehat dan konseling
karena takut akan dites di luar kemauan mereka, tes tanpa informed consent dan konseling dapat
menurunkan kemungkinan orang tersebut mengubah perilaku beresikonya untuk mencegah
penularan, menyebabkan bunuh diri, menciptakan rasa aman yang semu.
Tes mandatory ditolak oleh sebagian besar Negara akibat biaya yang tinggi, masalah
logistic, secara ilmiah tidak dibenarkan, dan dapat menimbulkan perlakuan tidak adil,
stigmatisasi dan pengucilan. Tiga Negara yang mewajibkan tes adalah kuba (75% penduduk
dites) Bulgaria (45%) dan bekas USSR (30%). Di negara lain kelompok tertentu dijadikan

sasaran tes , seringkali tanpa persetujuan dari yang bersangkutan , misalnya narapidana, pekerja
seks, pengguna narkotika di tempat rehabilitasi, dan perempuan hamil.5
VI.

Strategi Kesehatan
1. Advokasi

1.1 Kajian dan pemetaan kebijakan yang mendukung upaya KIA Tingkat Nasional. Kegiatan
kajian dan pemetaan dimaksudkan untuk mengetahuikebijakan-kebijakan apa yang sudah ada
dan kebijakan apa lagi yang perlu dikembangkan untuk mendukung upaya KIA secara nasional.
1.2 Sosialisasi hasil kajian dan pemetaan kebijakan KIA. Sosialisasi dimaksudkan untuk
menginformasikan hasil kajian dan pemetaan kebijakan yang mendukung upaya KIA.
1.3 Mengembangkan Media Advokasi Kit KIA. Media Advokasi Kit perlu direview dan
dikembangkan sesuai masalah dan perkembangan Program KIA terkini serta kecenderungannya
ke depan untuk dijadikan bahan pelaksanaan advokasi di pusat maupun di daerah.
1.4 Menyusun modul pelatihan advokasi KIA bagi Kelompok Kerja/Jejaring KIA. Modul
pelatihan advokasi menjadi acuan pelaksanaan pelatihan advokasi secara berjenjang. Modul ini
memuat materi KIA secara terintegrasi dengan gizi dan imunisasi.Menggandakan dan
mendistribusikan modul pelatihan advokasi bagi Kelompok Kerja /Jejaring KIA. Menggandakan
dan mendistribusikan modul pelatihan advokasi ke provinsi dan kabupaten/kota.
1.6 Melaksanakan pelatihan Advokasi KIA (DTPS-KIBBLA, KIA, Kadarzi dan Imunisasi) bagi
Kelompok Kerja/Jejaring KIA Pusat dan Daerah. Pelatihan Advokasi dilaksanakan agar
Kelompok Kerja/Jejaring KIA Pusat dan Daerah mampu menyiapkan bahan dan melaksanakan
advokasi.
1.7 Melaksanakan advokasi kepada pembuat kebijakan. Melakukan advokasi baik formal
maupun informal kepada para pimpinan atau pembuat kebijakan untuk memperoleh dukungan
kebijakan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, surat keputusan, surat edaran dari
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Bappenas, Kementerian Pendidikan Nasional, dan
Kementerian Dalam Negeri yang mendukung pelaksanaan program KIA dan anggaran.
1.8 Melakukan evaluasi hasil advokasi program KIA terhadap realisasi dukungan para penentu
kebijakan.1
2. Bina Suasana

2.1 Optimalisasi Kelompok Kerja KIA/Komite Ahli Imunisasi/Forum Gizi Nasional. Saat ini
kondisi Kelompok Kerja KIA/Komite Ahli Imunisasi/Forum Gizi Nasional belum optimal, maka
perlu ada peningkatan forum komunikasi untuk peningkatan komitmen dan berperan aktif sesuai
dengan tugas dan fungsinya masing-masing, menggerakkan potensi sumber daya
pendukung dan sinkronisasi kegiatan.
2.2 Mengembangkan, memproduksi dan mendistribusikan paket media bagi petugas kesehatan,
organisasi kemasyarakatan, media massa, tokoh masyarakat dan kader. Media ini dimaksudkan
sebagai sumber informasi bagi petugas kesehatan, organisasi kemasyarakatan, media massa,
tokoh masyarakat dan kader tentang KIA.
2.3 Menyelenggarakan sosialisasi/lokakarya/orientasi/sarasehan/semiloka. Kegiatan tersebut
dilakukan dengan organisasi kemasyarakatan, dunia usaha/swasta, media massa, organisasi
profesi dan lain-lain. agar mereka mendukung upaya gerakan pemberdayaan masyarakat dan
mobilisasi sosial untuk KIA.
2.4 Menyusun Panduan Strategi Komunikasi Perubahan Perilaku KIA. Strategi KPPKIA fokus
pada perubahan perilaku sesuai dengan analisis situasi dan analisis perilaku yang terdapat di
suatu wilayah, seperti kesehatan ibu dan bayi baru lahir (KIBBLA).
2.5 Melaksanakan pelatihan pelatih (Training of trainers) secara berjenjang bagi petugas provinsi
dan kabupaten/kota. Pelatihan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan petugas
provinsi dan kabupaten/kota dalam menyusun strategi komunikasi perubahan perilaku dan
intervensi perubahan perilaku yang diperlukan untuk mendukung peningkatan pengetahuan dan
keterampilan petugas untuk mengatasi masalah KIA.
2.6 Melakukan fasilitasi dan bimbingan teknis ke kabupaten/kota. Fasilitasi dan bimbingan
teknis ke daerah yang cakupan pelayanan KIA rendah, jumlah kematian ibu dan bayi tinggi,
rawan gizi, Daerah Terpencil Perbatasan dan Kepulauan (DTPK).1
3. Pemberdayaan Masyarakat
3.1 Mengembangkan dan memproduksi media promosi KIA. Untuk menjaga adanya konsistensi
pesan dan desain media promosi KIA, perlu dikembangkan dan diproduksi prototipe media
dalam bentuk media cetak (poster, leaflet, selebaran, stiker, lembar balik, spanduk, umbulumbul,
billboard, baliho, tas, kaos, topi dll) dan media elektronik berupa TV Spot dan Radio Spot.
Prototipe ini dapat dijadikan acuan bagi provinsi dan kabupaten/kota dalam memproduksi atau

menggandakan media KIA. Penyebarluasan informasi disesuaikan dengan jenis media, metode
dan teknik promosi KIA yang akan dilaksanakan, seperti komunikasi intrapersonal dan konseling
(KIP-K) menggunakan lembar balik dan leaflet, diskusi kelompok dengan menggunakan leaflet
dan selebaran.
3.2 Melaksanakan kampanye KIA yang bersifat nasional. Kampanye nasional sebaiknya
dilaksanakan secara rutin setiap tahun untuk meningkatkan kesadaran stakeholder dan
masyarakat untuk meningkatkan KIA.
3.3 Menyusun, memproduksi dan menggandakan Pedoman Pemberdayaan Masyarakat di bidang
KIA. Pedoman ini akan menjadi acuan dalam memberdayakan masyarakat yang berisi langkah
dan kiat-kiat menumbuhkan gerakan masyarakat terkait upaya peningkatan KIA.
3.4 Menyelenggarakan Pelatihan Pelatih/TOT Pemberdayaan Masyarakat di bidang KIA. TOT
dilaksanakan dalam rangka pembinaan KIA di Desa/Kelurahan Siaga Aktif.
3.5 Memfasilitasi kegiatan pendukung KIA di masyarakat melalui civil society organization
(CSO). Fasilitasi dilaksanakan oleh TP-PKK, organisasi kemasyarakatan dan Gerakan Pramuka
dengan memanfaatkan bantuan dana hibah dari negara donor seperti kegiatan peningkatan
cakupan imunisasi rutin dan pelayanan KIA melalui dana Global Alliance Vaccination
Immunization (GAVI).
3.6 Mengupayakan Puskesmas Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Dasar (PONED) dan
Rumah Sakit Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK).
3.7 Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan promosi KIA. Pemantauan kegiatan
promosi KIA dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh kegiatan berjalan sesuai rencana yang
telah ditetapkan. Evaluasi dilaksanakan untuk mengukur peningkatan pengetahuan dan akses
masyarakat terhadap pelayanan KIA di fasilitas kesehatan.1
4. Kemitraan
4.1 Menyusun data base mitra potensial. Data base mitra potensial dimanfaatkan untuk
menggalang kerjasama kemitraan dengan para mitra potensial dalam upaya peningkatan KIA.
4.2 Melaksanakan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan para mitra
potensial. Penandatanganan Nota Kesepahaman dengan para mitra sebaiknya
dilakukan, agar ada kesepakatan dan rencana kerjasama sesuai dengan potensi mitra dalam upaya
peningkatan KIA.

4.3 Merencanakan serta melaksanakan program dan kegiatan kemitraan. Hasil kemitraan adalah
adanya rencana serta pelaksanaan program dan kegiatan KIA bersama mitra baik jangka pendek
maupun jangka panjang yang dapat mengungkit pencapaian target KIA.
4.4 Menyusun pedoman program kerjasama kemitraan dan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan
(Corporate Social Responsibility/CSR) untuk KIA. Menyusun pedoman yang dapat dijadikan
acuan dalam mengembangkan program kerjasama dan program CSR di bidang kesehatan bagi
para mitra untuk mendukung kegiatan KIA.
4.5 Menyusun dan menerbitkan newsletter KIA. Menerbitkan newsletter secara berkala 3 edisi
dalam setahun dan didistribusikan ke seluruh stakeholders dan mitra terkait di pusat maupun
daerah.
4.6 Melaksanakan forum kemitraan. Forum kemitraan dapat dalam bentuk pertemuan bagi
Kelompok Kerja KIA/Komite Ahli Imunisasi/Forum Gizi Nasional untuk berbagi informasi
terkini, menggalang dukungan kerjasama dan koordinasi pelaksanaan kegiatan dari para mitra
terkait.
Pertemuan ini diselenggarakan secara rutin dan berkala, yang melibatkan seluruh mitra
potensial antar kementerian, organisasi kemasyarakatan (TP-PKK,Gerakan Pramuka, dll)
organisasi profesi (IDI, IDAI, IBI, PPNI, IPANI, POGI, PERSAGI, IAKMI, dll), LSM, dunia
usaha/swasta, media massa, dan kelompok lainnya serta lembaga donor dan lembaga
international yang sepakat mendukung peningkatan KIA.
4.7 Menyusun pedoman pelaksanaan promosi KIA bagi anggota jejaring/ mitra potensial.
Penyusunan pedoman untuk memperjelas strategi komunikasi, peran dan fungsi masing-masing
mitra serta perlunya saling koordinasi, integrasi serta sinkronisasi dalam implementasi kegiatan.1
VII.

Laporan SP2TP

Laporan yang digunakan untuk kegiatan SP2TP adalah:


1) Laporan bulanan, yang mencakup: Data Kedakitan (LB.1), Data Obat-Obatan (LB.2), Gizi,
KIA, Imunisasi dan Pengamatan Penyakit menular (LB.3) serta Data Kegiatan Puskesmas (LB.4)
2) Laporan Sentinel, yang mencakup: LaporanBulanan Sentinel (LB1S) dan Laporan Bulanan
Sentinel (LB2S)

3) Laporan Tahunan, yang mencakup: Data dasar Puskesmas (LT-1), Data Kepegawaian (LT-2)
dan, Data Peralatan (LT-3)6.

SP2TP dikirim kedinas kesehatan kabupaten atau kota setiap awal bulan. Dinas kesehatan
kabupaten atau kota mengolah kembali laporan puskesmas dan mengirimkan umpan baliknya
kedinas kesehatan provinsi dan departemen kesehatanpusat. Feed back terhadap laporan
puskesmas harus dikirimkan kembali secara rutin kepuskesmas untuk dapat dijadikan evaluasi
keberhasilan program.6
Pemanfaatan data SP2TP untuk memenuhi kebutuhan administrasi pada jenjang yang
lebih tinggi dalam rangka pembinaan, penetapan kebijaksanaan dan dimanfaatkan oleh
puskesmas untuk peningkatan upaya kesehatan puskesmas melalui perencanaan, penggerakan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan penilaian. Selain itu berfungsi untuk petugas di
tingkat puskesmas lebih bertanggungjawab dalam mencatat seluruh upaya kesehatan yang
dilaksanakannya dan melaporkan secara teratur dan tepat waktu serta mampu memanfaatkan data
dan informasi dari data SP2TP sehingga dapat memberikan umpan balik.6
Tujuan SP2TP dapat terwujud apa bila:
1)

Data SP2TP dan data lainnya diolah disajikan dan diinterprestasikan sesuai dengan

petunjuk Pengolahan dan Pemanfaatan data SP2TP.


2)

Pengolahan, analisis, interprestasi dan penyajian dilakukan oleh para penanggungjawab

masing-masing kegiatan di Puskesmas dan mengelola program disemua jenjang administrasi.


3)

Informasi yang diperoleh dari pengolahan dan interprestasi data SP2TP dan sumber lainnya

dapat bersifat kualitatif (seperti meningkat, menurun, dan tidak ada perubahan) dan bersifat
kuantitatif dalam bentuk angka seperti jumlah, persentase dan sebagainya.6

Yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan semua jenis data yang telah dibuat dalam
laporan sebagai masukan untuk menyusun perencanaan puskesmas (micro planning) dan

lokakarya mini puskesmas (LKMP). Analisis data hasil kegiatan progam puskesmas akan diolah
dengan menggunakan statistic sederhana dan distribusi masalah dianalisis menggunakan
pendekatan epidemiologis deskriptif. Data tersebutakan disusun dalam bentuk table dan grafikin
formasi kesehatan dan digunakan sebagai masukkan untuk perencanaan pengembangan progam
puskesmas. Data yang digunakan dapat bersumber dari pencatatan masing-masing kegiatan
progam kemudian data dari pimpinan puskesmas yang merupakan hasil supervise lapangan.6

Daftar Pustaka
1. Departemen kesehatan RI Pusat Promosi Kesehatan. Rencana oprasional promosi
kesehatan dalam pengendalian HIV dan AIDS. Jakarta; 2010. Hl. 5-23.
2. Brooks, Geo. Butel, Janet. Mikrobilogi kedokteran. Ed 23. Jakarata;EGC: 2008.hl 617.
3. Edberdg, Mark. Buku ajar kesehatan masyarakat. Jakarta; EGC: 2010.23-6.
4. Dirktorat jendral pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan, Kementrian
kesehatan RI. Pedoman layanan komprehensif HIV AIDS. Jakarta:2012 h.41-3.
5. Departeman Kesehatan RI. Modul Penelitian Konseling dan tes sukarela HIV. Jakarta;
2015.
6. Departemen kesehatan RI, Petunjuk pengolahan dan pemanfaatan data SP2TP. Jakarta;
2007.hl. 1-3.

Anda mungkin juga menyukai