Anda di halaman 1dari 4

Di Balik Satir

Oleh: Ulul Afidah

Matahari mulai menyembunyikan senyumnya. Angin mulai menyerukan suaranya.


Bising lalu lintas terngiang di telinga memecah heningnya pesantren. Suara adzan maghrib
disini, di Pondok Pesantren Al Fitrah ini mulai berkumandang. Tampak santriwan- santriwati
berlalu lalang menuju surau.
Hey. . .kenapa kau diam saja Nisa? Suara Rini memecah lamunanku. Ya. Nisa namaku,
yang berarti perempuan.
Mmmm, tak apa-apa. Jawabku lemas.
Oh aku tahu, kau merindukannya bukan?? Kata Rini mengejek.
Apa yang kamu katakan? Aku seorang perempuan. Tak pantas sekali rasanya aku
merindukan seorang laki-laki yang bukan muhrimku. Jawabku kesal.
Iya-iya. . .santai aja kali. Jawab Rini.
Memang, lidahku bisa berbohong. Tapi aku tak dapat membohongi hatiku sendiri, atas
apa yang aku rasakan. Ya, Dia. Wajah tampan, tinggi, pintar yang saat ini di balik satir yang
tengah aku pandang. Farid. Farid namanya, yang berarti sendiri. Dan itulah yang kuharapkan,
kuharap dia memang masih sendiri. Walau remang-remang aku berusaha memperjelas
pandanganku. Tapi percuma, wajahnya tak tampak jelas karena satir yang menghalangi kami.
Bel berbunyi.Ini waktunya kami mengaji karena jamaah maghrib telah usai. Bahagia sekali
aku rasanya. Karena berharap bisa melihat wajah yang kukagumi. Namun tak beda dengan
tadi, hanya di balik satir.
Nis, lihat tuh Farid, kayaknya keren banget deh. Tuh suaranya, bikin yang denger kesemsem. Gue aja iya, hehe. . .bercanda. Cerocos Rini tiba-tiba.
Aku hanya tersenyum. Tanpa Rini berkatapun sebenarnya aku sudah mendengarkan
suara indahnya ketika ia bertanya pada ustadz yang mengajar kami. Untunglah kami
ditakdirkan satu kelas, jadi paling tidak aku bisa mendengar suaranya.
Suatu pagi, aku sedang mencuci piring-piring ndalem. Memang itulah tugasku setiap hari
sebagai anak ndalem. Ndalem adalah sebutan untuk rumah Abah yai dan Bu nyai yang juga
dipangil Umi.
Nis. .
Terdengar suara lembut yang tak asing lagi di telingaku. Farid. Tak kusangka dia
memanggilku. Jantungku terasa berdekup kencang, hingga kutakut Farid mendengar dekup
jantungku.

Ini tolong cangkir Abah yai dicuci ya, tadi ketinggalan. Kata Farid.
Aku hanya mengangguk tak berkata apa-apa sambil menundukkan kepala.
Ya Allah. . .mimpi apa tadi aku semalam, Farid memanggil namaku. Gumamku dalam hati
. Hari-hariku terasa bahagia semenjak kutahu Farid mengenalku. Aku tak bisa menahan
perasaan ini sendirian. Aku merasa harus berbagi dengan seseorang. Satu-satunya sahabat
yang kupercaya adalah Rini.
Rin, aku pengen curhat nih. Sapaku mengganggu Rini yang sedang menghafalkan nadhom.
Hmmm, apa? Tumben. Jawab Rini sembari masih tertuju pada kitabnya.
Aku suka sama seseorang, bagiku dia tampan lahir batin. Dengan malu aku
mengatakannya.
Ha !! Siapa?? Boleh kutebak?? Dengan antusias Rini menanggapinya.
Pasti Farid?? Rini mencoba menebak.
Aku hanya diam dan tersenyum. Kemudian aku melanjutkan ceritaku.
Yah. .jelas aja dia mengenalmu. Dia kan pengurus pondok yang selalu disuruh kesana
kemari sama Abah dan Umi. Sedangkan kamu anak ndalem. Ya pasti kalian ketemu terus.
Rini mencoba menanggapi ceritaku.
Setelah kupikir-pikir apa yang dikatakan Rini benar juga. Tapi tetap saja tak mengurangi rasa
bahagia di hatiku.
Tahun ini memasuki tahun ke-4 dari waktu pertama Farid mengenalku. Usiaku
semakin bertambah dan sisa umurku semakin berkurang. Tapi tidak dengan perasaanku ke
Farid yang tak pernah berkurang. Seiring berjalannya waktu, saat ini kami memang sudah
saling mengenal. Namun sikap Farid kepadaku tetap biasa saja.
Sore itu tiba-tiba aku dijemput orang tuaku. Mereka ingin aku pulang ke rumah karena
mereka bilang ada acara keluarga. Setelah pamit dengan Umi, aku akhirnya pulang. Karena
rumahku yang cukup jauh, kami sampai rumah malam hari. Setelah sampai, kami langsung
makan malam.
Nisa. . sekarang umurmu kan sudah 23 tahun. Sudah waktunya kamu menikah nak.
Sekarang giliran adikmu yang menuntut ilmu. Suara Ibu pelan namun menyayat hati.
Seketika aku menghentikan makanku. Aku berpikir apakah Ibu ingin aku berhenti mondok
dan menikah? Sedangkan satu-satunya orang yang kucintai ada di pesantren. Walau kutak
tahu apakah dia juga mencintaiku atau tidak. Air mataku hampir menetes memikirkan itu.
Bu. . maafin Nisa kalau Nisa masih merepotkan Ibu. Tapi Nisa merasa belum punya bekal
yang cukup untuk akhirat kelak. Jawabku mencoba tenang.

Kamu tenang saja nak, toh calon suamimu inijuga pintar mengaji. Nanti kalau kalian sudah
menikah, kamu bisa diajarinya. Bujuk Ibu.
Hah !! Apa!!
Aku kaget bukan main. Ini artinya aku akan dijodohkan. Dengan laki-laki seperti apa aku
akan dijodohkan? Apa dia lebih baik dari Farid? Lebih pintar dari Farid? Berbagai
pertanyaan muncul tiba-tiba di benakku.
Sudahlah, jangan dipikir. Minggu depan dia dan keluarganya akan datang melamarmu.
Kamu siap-siap saja ya. Jangan membuat Bapak Ibumu ini malu.
Ucap Ayah yang seakan tak memberi kesempatan aku untuk bicara. Aku tidak bisa berbuat
apa-apa. Hari yang kutakutkan datang juga. Rasanya aku ingin kabur dan berteriak sekeraskerasnya. Namun kabur berarti melangkahkan kakiku pada maksiat, dan berteriak juga tak
pantas. Karena suara perempuan adalah aurat.
Satu jam lagi mereka sampai Nis, kamu diam saja di dalam tak usah keluar. Karena kamu
belum muhrimnya. Jadi gak boleh ketemu dulu. Namanya Fikri. Nanti orang tuanya saja
ayang akan masuk menemuimu. Ucapan Ayah membuatku semakin panik. Tapi seperti biasa
bila orang tua sudah bicara aku hanya mengagguk saja.
Assalamualaikum. Terdengar suara perempuan dan laki-laki. Jantungku berdebar- debar.
Benar sekali dugaanku, mereka datang. Fikri dan orang tuanya, yang semuanya belum ku
kenal.
Waalaikum salam, ayo silahkan masuk. Sudah kami tunggu dari tadi lho. Jawab Ibu.
Oh maaf menunggu lama. Kata Ibu Fikri.
Iya tak apa-apa. Jawab Ibu.
Setelah beberapa lama, acara lamaran itupun selesai. Dan telah ditentukan tanggal
pernikahanku dan Fikri. Aku tak menyangka akan menikah dengan orang yang sama sekali
belum pernah kulihat. Tapi ini semua harus kuterima dengan ikhlas, demi orang tuaku.
Hari terasa berjalan dengan cepat. Sampai hari pernikahanku tinggal satu hari lagi. Besok !!
Tak mungkin !! Besok aku akan menikah?
Hari ini adalah hari pernikahanku. Rasanya aku sudah menerima dengan ikhas
siapapun suamiku.Kuyakin dia memang yang ditakdirkan Allah untukku. Selama ijab qobul
berlangsung, aku hanya diperbolehkan duduk diam di dalam kamar.
Ijab qobulpun telah usai. Kini aku sah menjadi istri Fikri. Aku sudah diperbolehkan keluar
menemui Fikri dan menyalaminya.

Deg !!!
Seketika aku kaget. Laki-laki itu!! Suamiku!! Apakah aku salah lihat? Apakah aku begitu
terobsesi dengan Farid? Sampai-sampai kulihat wajah Fikri seperti Farid. Oh. . apa yang
terjadi dengan otakku.
Kemudian aku menyalaminya dan mencium tangannya.
Farid. . Gumamku lirih seakan ucapan ini tak dapat kutahan.
Iya Nis, aku Farid Al Fikri, suamimu. . Jawab laki-laki itu.
Subhanallah. Ternyata dia benar-benar Farid. Dia mendengar aku menyebut nama Farid yang
memang itulah namanya. Subhanallah, tak henti-henti aku menyebut nama Allah dalam hati.
Ternyata aku menikah dengan Farid, orang yang sangat kucintai. Yang diam-diam juga
mencintaiku. Bahkan melamar dan menikahiku tanpa ku tahu kalau itu dia.
Acara pernikahanku telah selesai. Di ruang keluarga kami hanya berdua. Farid menatapku
sambil tersenyum. Aku merasa sangat malu karena jam dinding tengah memperhatikan kami.
Tembokpun tersenyum. Seakan apa yang di sekeliling kami merasakan kebahagiaan yang
tengah kami rasakan.
Nisa. . Bisik Farid lirih di telingaku.
Kamu tahu, aku sudah sekian lama mencintaimu. Dan aku tidak mengungkapkannya karena
menunggu waktu yang tepat. Aku hanya mencintaimu dalam diam. Samapai pada waktunya
aku meminta izin kepada Abah yai untuk melamarmu. Dan beliau mengizinkanku. Jelas
Farid.
Aku tersenyum malu dan seakan tak ingin ini semua berakhir. Aku ingin seperti ini untuk
selamanya. Memang benar, Allah selalu memberi yang terbaik dan mengabulkan doa
hambanya yang selalu bersabar.

Anda mungkin juga menyukai