Anda di halaman 1dari 10

Upaya Total E&P Indonesie Akhiri Tradisi Kutukan Migas di Daerah

Oleh : Rizky Febriana


Marhaimi nampak tersenyum menyambut kami, 10 finalis Bisnis Indonesia
Writing Contest bertema Hemat Energi Secara Total. Marhaimi adalah salah satu dari 8
orang yang terlihat sedang bertugas siang itu (4/6/2015) sebagai operator di control
room area milik Total E&P Indonesie (TEPI). Sesekali pria itu sibuk mengangkat telepon
sekaligus memantau jajaran monitor komputer yang ada di depannya. Dari ruang itu
pula ia dapat melihat kondisi terkini di sekitar area Senipah, Peciko dan South
Mahakam (SPS) termasuk di beberapa lokasi operasi lain milik TEPI yang ada di
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Siapa sangka di balik tugas yang berat, Marhaimi ketika direkrut TEPI pada 2000
adalah seorang lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA). Putra asli Penajam Kalimantan
Timur itu merupakan alumni SMA Negeri 1 Balikpapan. Waktu Total E&P Indonesie
memiliki program Production Operator Training. Saya langsung ikut daftar tanpa berpikir
panjang, kata Marhaimi yang mengenakan wearpack safety berwarna orange dongker.
Marhaimi menambahkan bahwa banyak yang di antara mereka yang langsung bekerja
di sini sejak lulus SMA bukan karena tidak ingin melanjutkan ke jenjang sarjana.
"Melainkan karena kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Kami bersyukur, dari sini
kami juga bisa melanjutkan studi sarjana sambil bekerja. Seperti yang diutarakan oleh
Marhaimi, setelah diterima, TEPI juga memberikan pendidikan Bahasa Inggris dan
pengetahuan tentang minyak dan gas selama kurang lebih 1 tahun di LIPI Tangerang
dan di Akademi Migas Cepu.
Ada kebanggaan tersendiri melihat TEPI juga ikut serta memprioritaskan putera daerah
dari seluruh Indonesia untuk bekerja dalam tim mereka. Marhaimi hanya salah satu
contohnya. Masih banyak orang seperti saya di TEPI apalagi di bagian operasi di mana
TEPI bekerjasama dengan para kontraktor lainnya juga banyak mempekerjakan putera
daerah, kata Marhaimi, 33, ayah dari dua anak.

TEPI sendiri secara nasional, seperti yang diungkapkan oleh Handri Ramdhani, Kepala
Departemen Komunikasi, dalam kesempatan yang berbeda, per Desember 2014 telah
mempekerjakan 3.679 pekerja nasional (97,52%) dan hanya 97 orang (2,48%)
berstatus ekspatriat. Bahkan TEPI hingga 2014 telah mengirimkan 124 putera-puteri
terbaik Indonesia untuk bertugas sebagai ekspatriat di negara lain dimana Total
Globalmelakukan eksplorasi dan produksi.
Kegembiraaan bukan hanya dirasakan oleh Marhaimi, melainkan TEPI membagikan
kegembiraan itu juga kepada masyarakat sekitar, salah satunya Ahmad Solihin.
Transmigran asal Sleman Yogyakarta itu adalah sekretaris Kelompok Tani Ternak
Sejahtera Jaya. Dengan bangga Ahmad Solihin yang memiliki rumah persis di samping
site SPS ini menceritakan program biogas dengan fixed dome digester yang didukung
penuh oleh TEPI dalam pembuatan dan instalasinya mampu membuat keluarganya
sejak Jumat, 28 Maret 2014 tidak lagi menggunakan LPG 3 Kg melainkan cukup
menggunakan api dari biogas yang berasal dari kotoran sapi. Coba dihitung mas, kalau
tabung LPG 3 Kg habis dalam seminggu, berapa yang dihemat sejak 28 Maret 2014?
tanya dan tantang Ahmad Solihin sambil tersenyum.
Secara perhitungan kasar, seandainya harga LPG 3 Kg saat ini seharga Rp15 ribu
hingga Rp20 ribu per tabung, itu artinya sejak 28 Maret 2014 hingga saat ini sudah 14
bulan terlewati atau sekitar 56 minggu, maka 56 itu dikalikan Rp15 ribu hingga Rp20
ribu per tabung maka Ahmad Solihin dan keluarganya sudah menghemat sekitar Rp840
ribu hingga Rp1,12 juta. Tidak hanya biogas, Ahmad Solihin bersama anggota
kelompok tani yang lain juga menerima bantuan sapi bergilir dari TEPI. Jika di awal
tahun 2012 hanya ada 6 ekor sapi kini jumlahnya sudah ada 18 ekor sapi.
Kegembiraan atas program TEPI juga dirasakan oleh Asnawi seorang guru agama
yang juga berprofesi sebagai petani. Jika di September 2012 baru ada 0,5 Ha lahan
yang digunakan untuk demplot pepaya, kini lahannya sudah mencapai 3 Ha yang
mayoritas ditanami papaya. Kami di sini juga sudah mampu mengembangkan bibit
pepaya secara mandiri, tidak lagi mengandalkan bibit dari Boyolali, Jawa Tengah, kata
Asnawi tersenyum. Asnawi juga mengungkapkan dari 3 Ha lahan yang ditanami bisa

menghasilkan 4 ton pepaya setiap bulannya atau jika dirupiahkan setara dengan Rp16
juta setiap bulannya. Tentu angka tersebut sangat membantu perekonomian
keluarganya. TEPI sendiri sudah memulai program Demplot Pepaya sejak tahun 2012
dengan membagikan bibit dan pupuk bagi beberapa kelompok tani yang ada di Kutai
Kartanegara seperti Kelompok Tani Bina Bersama, Karya Surya, Gemilang dan
Kelompok Tani Pendingin.
Yang tidak kalah pentingnya yang dilakukan TEPI bersama Yayasan Pembangunan
Masyarakat Sanipah (Yapenmas) sejak tahun 2000 sehingga membuat masyarakat
sekitar bergembira adalah dengan program air bersih. Seperti yang disampaikan oleh
Takdir ketua Yapenmas, awalnya masyarakat Kelurahan Senipah, Kecamatan Samboja
Kutai Kartanegara disini sangat kesulitan dalam mengakses air bersih karena masih
tingginya kandungan logam yang terkandung dari setiap sumur yang ada. Masyarakat
sering membeli air bersih seharga Rp5 ribu per drum air bersih, namun kini dengan
adanya sarana air bersih masyarakat cukup membayar seharga satu drum air bersih
dengan hanya Rp500, angka penghematan yang luar biasa. Biaya instalasi awal jika
ingin berlangganan air bersih juga jauh lebih murah yakni hanya Rp1 juta sementara
jika dibandingkan dengan biaya instalasi pemasangan air bersih dari perusahaan air
minum lainnya bisa mencapai Rp3 juta hingga Rp4 juta.
Air sumur yang dihasilkan juga diambil dari air dalam sedalam kurang lebih 80 meter
yang dilakukan proses pembersihan dari kandungan logam melalui aerator dan filter
dan diuji dilaboratorium sehingga airnya sesuai dengan standar baku air minum. Saat
ini, program air bersih sudah menjangkau 700 rumah. Kini air sumur bor yang dimiliki
sudah mencapai 4 unit. Terakhir di 2014 lalu, secara swadaya kembali membangun 1
sumur dalam yang ditempatkan di Kampung Kamal.
Di bidang pendidikan, TEPI juga berkomitmen meningkatkan keterlibatan dan kapasitas
pengetahuan masyarakat sekitar lokasi. Seperti yang disampaikan oleh Site Production
Enginerr SPS Yohanes Anton Witono. Anton yang sekilas mirip sekali dengan Ahok
Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan bahwa TEPI juga menghimbau kepada para
kontraktor untuk memprioritaskan pekerja lokal. Namun tidak semua pekerja lokal

memiliki latar belakang pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan TEPI, untuk itu kata
Anton yang juga saat ini dipercaya sebagai salah satu TEPI Ambassador 2015, sudah
sejak lama, karyawan Total E&P Indonesie bahkan secara sukarela, setelah bekerja
dan selama dua hari dalam seminggu, mengajar Bahasa Inggris dan pengetahuan
dasar tentang migas bagi pelajar SMP dan SMA sekitar site SPS ini.
Secara terpisah, Kris Radityorini, Officer Corporate Social Responsibility TEPI,
mengatakan bahwa komitmen TEPI untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan dan
keterampilan masyarakat sekitar lokasi site sangat tinggi salah satunya melalui
penggelontoran dana Rp2,618 miliar untuk mendukung program pembangunan balai
latihan tenagakerja yang ada di Kelurahan Senipah Kecamatan Samboja Kabupaten
Kutai Kartanegara. Harapannya dari situ bisa lahir tenaga-tenaga terampil yang siap
bekerja dimanapun, termasuk di sektor migas. Kami bekerjasama dengan Dinas
Ketenagakerjaan Pemkab Kutai Kartanegara dalam pengoperasiannya nanti, ungkap
Kris Radityorini.
Secara makro, kehadiran TEPI di Indonesia juga memberikan dampak ekonomi dan
energi yang sangat besar dimana hingga 2014 menghasilkan 17.4 TCF gas dan 1.44
Gbbls minyak dan kondensat dimana dari total produksi gas yang dihasilkan hingga
80%-nya dikirim untuk memenuhi kebutuhan Bontang LNG Plant. Hingga saat ini TEPI
telah menginvestasikan dananya hingga USD30 milyar. Negara juga telah menerima
pendapatan dari aktifitas TEPI seperti salah satunya dari eksplorasi dan produksi di
Blok Mahakam. Per tahun 2014 lalu totalnya hingga USD9,9 miliar, dari situ pemerintah
pusat akan membaginya kembali kepada pemerintah provinsi dan kabupaten penghasil
migas sesuai ketentuan yang berlaku terkait dana bagi hasil sumber daya alam.
Apa yang dilakukan oleh TEPI adalah sebuah upaya yang sangat baik untuk mengakhiri
tradisi kutukan migas (resource curse) di daerah. Kutukan migas sendiri adalah sebuah
kondisi di mana daerah dengan sumber daya alam melimpah migasnya namun tidak
bisa dinikmati oleh masyarakat sekitar lokasi. Bahwa fakta mengatakan kutukan migas
bahkan telah terjadi jauh sebelum tesis ini dipopulerkan oleh Richard M. Auty di 1993
melalui bukunya Sustaining Development in Mineral Economies. Tesis ini juga telah

diuji oleh banyak ahli dengan berbagai bukti empirik yang terjadi di banyak daerah di
berbagai belahan dunia termasuk fakta yang tidak kita pungkiri juga terjadi di beberapa
daerah di Indonesia dimana daerah itu kaya namun masyarakat sekitar tetap dalam
keterbelakangan sosial, ekonomi, pendidikan dan lingkungan.
Jelas, kutukan migas memang harus diakhiri, dan TEPI telah jauh melangkah untuk
mengakhirinya bahkan hingga TEPI seandainya punya batas akhir sebagai petani
penggarap lahan migas milik negara atau katakanlah seandainya kondisi di mana
migas yang notabene merupakan non renewable resources (energi tidak terbarukan)
suatu saat akan habis, masyarakat sudah barang tentu tidak boleh juga ikut berakhir
menikmatinya karena TEPI telah mengusahakannya untuk senantiasa hadir membawa
komitmennya. Komitmen untuk menghadirkan energi yang tidak hanya dalam bentuk
minyak bumi, gas dan produk turunannya melainkan juga mentransformasikan energi
positif ke dalam bidang pendidikan, energi terbarukan, air bersih, ekonomi, sosial dan
juga lingkungan agar lahir masyarakat yang memiliki kapasitas dan kreatifitas
berkesinambungan.

Sumber : http://writingcontest-total.bisnis.com/finalis/read/20150605/404/440633/upayatotal-ep-indonesie-akhiri-tradisi-kutukan-migas-di-daerah

Hemat Energi, Total Tanpa Subsidi


Oleh : Rizky Febriana

Tentu tidak ada satupun negara yang tidak mensubsidi rakyatnya. Hanya saja
yang membedakan adalah alokasi subsidi itu untuk apa dan siapa. Dibelahan bumi lain
seperti beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat subsidi negara lebih dialokasikan
ke sektor produktif. Maka tidaklah mengherankan ketika seringkali kita mendengar
adanya program subsidi pertanian, sekolah gratis, kesehatan gratis, termasuk subsidi
langsung kepada orang miskin yang sangat diprioritaskan menikmati program social
security.
Sementara di Indonesia, perdebatan alokasi subsidi untuk apa dan siapa terus terjadi
seolah tanpa ujung termasuk perdebatan alokasi subsidi energi. Sebagian menilai
bahwa seluruh rakyat Indonesia berhak mendapatkan bensin murah, gas murah dan
listrik murah. Sementara sebagian yang lain menilai hanya orang miskinlah yang berhak
mendapatkan subsidi. Perdebatan semakin menjadi rumit, sebab para pemimpin negeri
ini seringkali berubah pikiran, tergantung posisi apakah oposisi atau menjadi penguasa.
Penulis pribadi lebih sepakat agar terjadi realokasi subsidi energi kepada sektor
produktif dan penggunaannya diprioritaskan untuk diberikan kepada orang per orang
yang memang masuk ke dalam kategori miskin, by name by address. Hal ini karena
beberapa alasan. Pertama, subsidi energi salah sasaran. Total subsidi BBM dan listrik
di APBN 2014 masing-masing mencapai Rp246 triliun dan Rp104 triliun. Jumlah subsidi
energi yang mencapai Rp350 triliun atau sekitar 15% dari APBN merupakan nominal
yang sangat besar bahkan jumlah tersebut melebihi realisasi penerimaan Migas (PPh,
SDA, dan PNBP lainnya) di tahun yang sama yang hanya Rp320,2 triliun.
Problem yang lebih serius adalah kenyataan mengenai subsidi energi yang salah
sasaran. Sebagai contoh survei BPS 2002 menemukan fakta bahwa hanya sekitar 18%
subsidi BBM yang dinikmati oleh kelompok masyarakat miskin. Hal ini sejalan dengan
hasil penelitian Ndaime Diop (World Bank, 2014) dalam penelitiannya yang berjudul
"Why Is Reducing Energy Subsidies a Prudent, Fair, and Transformative Policy for

Indonesia?" Dalam penelitian tersebut disampaikan bahwa 84% dana subsidi BBM
pada tahun tersebut atau sekitar Rp178 triliun dinikmati oleh warga masyarakat kelas
atas. Bahkan, 40% dinikmati oleh lapisan 10% golongan masyarakat paling atas.
Alhasil, hanya 16% saja yang dinikmati oleh warga miskin.
Subsidi yang lebih dinikmati oleh kalangan mampu tentu perlu direalokasikan kepada
masyarakat lapisan ekonomi bawah dan untuk sektor produktif. Ekonom Universitas
Gadjah Mada yang juga ketua Pusat Studi Ekonomi Kebijakan Publik (PSEKP), Tony
Prasetiantono dalam tulisannya di Media Indonesia 10 November 2014 mensimulasikan
realokasi subsidi energi. Sebagai contoh, jika suatu saat nanti subsidi BBM bisa
dihilangkan (tentu saja secara bertahap), maka kita akan mendapatkan ruang fiskal
hampir Rp250 triliun.
Jika kita asumsikan dana sebesar itu dibagi dua sama rata untuk kepentingan
infrastruktur dan melindungi daya beli kelompok miskin masing-masing Rp125 triliun.
Besaran tersebut sangat signifikan. Tony Prasetiantono mengemukakan Indonesia bisa
membangun banyak bandara seperti bandara Kualanamu Medan yang hanya
menelan investasi Rp5,6 triliun atau rel kereta ganda (double track) Jakarta-Surabaya
sepanjang 727 km yang hanya Rp10,6 triliun.
Lalu, bagaimana dengan dana Rp125 triliun jika kita berikan secara tunai kepada
penduduk miskin? BPS mencatat jumlah penduduk miskin sekitar 28,3 juta jiwa (Mei,
2014). Jika dana Rp125 triliun ditransfer kepada mereka akan diperoleh angka Rp6
juta/orang/tahun. Atau jika disimulasikan dengan kriteria kemiskinan Bank Dunia
sebesar USD1,25/orang/hari, maka akan ditemukan angka penduduk miskin 65 juta
orang. Dengan data ini akan diperoleh bantuan tunai langsung Rp2,7 juta/orang/tahun.
Jika diasumsikan per keluarga ada 4-5 orang, maka akan diperoleh Rp10
juta/keluarga/tahun, atau Rp800 ribu/keluarga/bulan.
Kedua,

subsidi

energi

menimbulkan triple

deficits.

Menurut

Mankiw

dalam

bukunya Principles of Economics, people respond to incentives, seseorang tanggap


terhadap insentif. Prinsip ekonomi ini sangat relevan jika dikaitkan dengan

jumlah demand energi di Indonesia yang terus meningkat karena didorong dengan
adanya insentif harga energi yang relatif murah. Harga yang murah menjadi masuk akal
ketika Indonesia surplus produksi disaat permintaan lebih sedikit dibandingkan supplynya. Namun harga murah sudah tidak masuk akal ketika Indonesia adalah importir yang
tidak dapat menentukan harga jualnya sendiri (price taker).
Sebagai contoh sederhana fenomena ini bisa dijelaskan dengan melihat kondisi migas
nasional kita. Indonesia pernah mengalami era oil boom. Pertama terjadi pada tahun
1973/1974 dimana harga minyak dunia melonjak dari USD1,67 per barel di 1970
menjadi USD11,7 per barel di 1973. Boom minyak kedua terjadi pada tahun 1979/1980
ketika harga minyak melonjak sekitar 88% dari USD15,65 per barel di tahun 1979 dan
terus meningkat hingga USD35 per barel di tahun 1981-1982. Pada era tersebut,
Indonesia mendapatkan rejeki nomplok atau (windfall profit) karena ekspor migas
meningkat, kontribusi migas terhadap produk domestik bruto (PDB) juga meningkat dari
3,7% menjadi 12% dengan pertumbuhan ekonomi yang rata-rata mencapai 7% setiap
tahunnya (Indirasardjana, 2014).
Era Indonesia sebagai negara kaya minyak boleh dibilang telah lewat setelah
mengalami puncak produksi minyak (first peak oil) di 1977 yang mencapai 1,683 juta
barel per hari dan di tahun 1995 (second peak oil) yang mencapai 1,624 juta barel per
hari. Menurut SKK Migas, saat ini Indonesia memasuki tahap decline stage dengan laju
penurunan produksi 10-12% setiap tahunnya. Alhasil di 2004 Indonesia sudah mulai
menjadi importir. Puncaknya di 2008 Indonesia memutuskan keluar dari organisasi
negara-negara pengekspor minyak, OPEC.
Hal ini sebetulnya tidak terlepas dari tingkat konsumsi bbm yang terus meningkat
khususnya didorong oleh peningkatan jumlah penduduk dan kendaraan. Menurut BPS,
jumlah

penduduk meningkat 1,49% setiap tahunnya sementara kendaraan juga

meningkat 8,4% per tahun untuk kendaraan roda empat dan 12% untuk kendaraan roda
dua. Data kementerian ESDM menyebutkan 92% total konsumsi bbm digunakan
kendaraan transportasi darat, roda dua dan empat. Peningkatan pertumbuhan
konsumsi bbm yang jauh lebih tinggi ketimbang produksi menyebabkan Indonesia

impor. Impor bbm yang besar ditambah dengan harga bbm yang masih disubsidi
membuat Indonesia mengalami apa yang disebut triple deficits: fiscal, trade dan
financial deficit (Panigoro, 2015). BPS mencatat pada November 2014, defisit
perdagangan migas mencapai USD1,36 miliar, lebih tinggi dibandingkan defisit migas
pada Oktober 2014 sebesar USD1,11 miliar.
Sementara itu menurut Kementerian ESDM dengan impor 850 ribu barrel, Indonesia
membutuhkan USD120 juta sampai USD150 juta atau setara dengan Rp1,7 triliun per
hari. Kebutuhan ini jelas dapat meningkat, tergantung posisi harga minyak mentah
dunia dan nilai tukar rupiah. Jika harga minya mentah dunia meningkat sementara
rupiah terus melemah maka beban fiskal yang ditanggung oleh pemerintah untuk impor
bbm semakin berat apalagi jika terus menerus harus mensubsidi harga bbm yang
diimpor.
Ketiga,

subsidi

energi

mempercepat

krisis

energi.

Dewan

Energi

Nasional

mengungkapkan konsumsi energi Indonesia sangat bergantung kepada minyak bumi


(41,8%), batu bara (29,7%) dan gas (23,8%). Hal ini membuktikan ketergantungan
Indonesia terhadap fossil fuel yang notabene adalah energi tidak terbarukan (nonreneweble energy). Alhasil ancaman krisis energi memang ada di depan mata.
Sebagai contoh, menurut kementerian ESDM, cadangan minyak bumi kita di 2005
mencapai 8626,96 MMSTB (million stock tank barrels) sementara di 2013 jumlah
cadangan tinggal sekitar 7549,81 MMSTB. Selama periode 2005-2013 itu artinya
jumlah cadangan minyak bumi kita sudah berkurang sekitar 1077.51 MMSTB. Begitu
juga cadangan gas di Indonesia per 2013 tinggal sekitar 150.39 TSCF (trilions of cubic
feet). Jumlah ini jauh berkurang sekitar jika dibandingkan dengan tahun 2005 yang
mencapai 185.80 TSCF.
Jika dibandingkan dengan produksi dan cadangan migas dunia, Indonesia sebetulnya
bukanlah negara kaya minyak, bahkan bukan negara kaya gas. Cadangan terbukti
minyak Indonesia yang hanya 0,2% dari cadangan minyak global sementara cadangan
terbukti gas Indonesia yang saat hanya 1,6% dari cadangan gas global. Dengan level

produksi sekarang, apabila tidak ditemukan cadangan baru, cadangan terbukti minyak
akan habis dalam waktu 12 tahun, dan gas akan habis dalam waktu 40 tahun.
Gde Pradyana dalam bukunya Nasionalisme Migas (2014) mengungkapkan elastisitas
energi di Indonesia cukup tinggi sekitar 1,84 yang berarti untuk mencapai kenaikan
pertumbuhan ekonomi sebesar 1% dibutuhkan pertumbuhan konsumsi energi sebesar
1,84%. Sementara dibeberapa negara lain elastisitasnya lebih rendah seperti Malaysia
(1,69), Singapura (1,1), Jepang (0,1) dan beberapa negara Eropa elastisitas energinya
malah minus. Artinya, saat ekonomi tumbuh laju konsumsi energinya justru menurun.
Hal ini menunjukan upaya konservasi dan diversifikasi energi berjalan baik.
Ketergantungan energi ini jelas perlu diantisipasi dengan mengembangkan energy mix.
Indonesia sendiri telah menetapkan target bauran energi hingga tahun 2025 melalui
Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pemerintah sebenarnya
telah menyadari untuk mengantisipasi krisis energi khususnya fossil fuel dengan
potensi energi yang lain, seperti geothermal, biomassa, biofuel dan micro hydro yang
belum termanfaatkan dengan optimal. Subsidi energi yang porsinya masih besar
kepada migas dan listrik (batu bara) secara langsung mengurangi minat berbagai pihak
untuk meneliti bahkan mulai berbisnis di energi lain yang baru dan terbarukan.
Kesimpulan bahwa kita harus berusaha menjalani tantangan terbesar Indonesia
menghadapi krisis energi yang sudah di depan mata, sanggupkah kita hemat energi,
total tanpa subsidi. Dimana kita juga bisa memanfaatkan secara penuh sumber daya
yang belum banyak termanfaatkan secara maksimal seperti panas bummi, biofuel, Dn
Sumber : http://writingcontest-total.bisnis.com/finalis/read/20150320/404/413947/hematenergi-total-tanpa-subsidi

Anda mungkin juga menyukai