MARET 2016
ii
ABSTRAK
iii
ABSTRACT
iv
DAFTAR ISI
JUDUL
.......................................................................................................... i
ABSTRAK ..................................................................................................... ii
ABSTRACT ..................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ..............................................................................................
iv
............................................................................. 1
........................................................... 6
vi
LAMPIRAN ...................................................................................................52
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR TABEL
BAB I
PENDAHULUAN
menunjukkan bahwa hasil yang baik dapat dicapai dengan jumlah densitas yang
rendah.10
Uji biomekanik konstruksi instrumentasi posterior untuk koreksi skoliosis
diperlukan untuk menilai reliabilitas dan performa instrumentasi. Seiring
perkembangan dalam hal operasi tulang belakang, saat ini semakin banyak
instrumen tulang belakang yang dikembangkan untuk tatalaksana cedera tulang
belakang, prolapse diskus, tumor dan skoliosis. Kesuksesan prosedur operasi yang
melibatkan digunakannya instrumentasi tulang belakang dapat diketahui dari
kemampuan intrumenasi tulang belakang dalam mencapai stabilitas biomekanis.
Pada segala jenis instrumetasi tulang belakang dan teknis konfigurasi
instrumentasi tulang belakang perlu dilakukian uji laboratorium untuk menilai
stabilitas instrumentasi tulang belakang sebelum di terima untuk uji klinis. Pada
uji laboratorium berbagai variasi implan di bandingkan kemudian di berikan
beban yang dapat di kontrol sebagai gambaran kestabilan implan. 11 Hal ini
didapatkan dengan menguji kompenen model konstruksi instrumentasi dengan
tulang secara keseluruhan, baik dalam kondisi terisolasi atau bersama spesimen
(model buatan, hewan, kadaver). Penilaian untuk keseluruhan instrumentasi
dengan 3 tipe yaitu: kekuatan, stabilitas, dan fatigue. Pada uji kekuatan,
peningkatan beban secara bertahap diaplikasikan pada instrumetasi posterior
sampai terjadi kerusakan konstruksi, kemudian didapatkan informasi tentang
load-carrying capability alat implan, meknisme kerusakan, dan titik lemah
instrumen. Pada uji fatigue konstruksi instrumentasi posterior diberikan beban
berulang sampai terjadi kerusakan lalu didapatkan informasi tentang daya tahan
implan. Pada uji stabilitas konstruksi instrumentasi posterior diberikan moda
beban dalam batas fisiologis, tidak seperti metode sebelumnya. Model konstruksi
instrumentasi posterior akan diberikan beban dalam berbagai arah (kompresi,
fleksi, ekstensi, lateral bending, dan torsi) dan sejumlah data akan di kumpulkan
mengenai kemampuan implant dalam stabilisasi. 12 Uji kekuatan mekanik ini
menggunakan alat uji kompresi Tensilon AMD RTF-1310 buatan Jepang
dengan pencatat dial indicator Mitutoyo buatan Jepang. Takemura dan timnya
mudah dilakukan pada tipe ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya
perbedaan biomekanika antara beberapa metode instrumentasi posterior pada
Synbone skoliosis Lenke 1. Terdapat beberapa variasi metode instrumentasi
posterior pada koreksi skoliosis, pada penelitian ini digunakan: Sekrup pedikel
bilateral (SPB) sebagai standar emas, Sekrup pedikel pada ujung proximal, apex,
ujung distal lengkungan ditambah kawat sublaminar (PAD + SW) dan Sekrup
pedikel pada ujung proximal, apex, distal lengkungan saja (PAD). Ketiga
konfigurasi tersebut di harapkan menjadi acuan mengambil keputusan yang baik
dalam menetapkan tipe fiksasi yang sesuai agar tercapai fusi.
1.4 Hipotesis
1) Diketahui profil biomekanik konstruksi instrumentasi posterior pada model
skoliosis pada Synbone dengan model sekrup pedikel pada proksimal-apeksdistal, kelompok sekrup pedikel pada proksimal-apeks-distal dikombinasi
dengan kawat sublaminar, dan kelompok sekrup pedikel seluruhnya
2) Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara ketiga metode tersebut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Skoliosis
Skoliosis didefinisikan sebagai kelengkungan lateral dari tulang belakang pada
bidang frontal dengan sudut lebih dari 10 ketika di ukur secara radiografi pada
posisi berdiri dengan metode Cobb. 1,16,17,18 Deformitas yang terjadi melibatkan
kemiringan lateral inter-vertebra dan rotasi badan tulang belakang mengarah pada
apeks lengkung cekung pada bidang aksial. Skoliosis idiopatik merupakan tipe
yang paling banyak dan mencapai 80% dari tipe deformitas bidang koronal.
Skoliosis idiopatik ini dapat diklasifikasikan berdasarkan umur kejadian: infantile
(0 3 tahun), juvenile (4 9 tahun), dan adolescent (10-maturitas tulang).19
Skoliosis idiopatik merupakan deformitas 3 dimensi dari tulang belakang, terjadi
pada 2-3% usia dewasa. Akibat dari deformitas ini ialah gangguan morfologi,
berkurangnya volume thoraks, gangguan fungsi pernapasan, meningkatnya kadar
nyeri punggung, dan penampilan estetik. Resiko memburuknya deformitas terjadi
saat usia pertumbuhan dan meningkatnya resiko kelengkungan patologis, tidak
seimbangnya tubuh, dan deformitas pada thoraks.17
2.1.1 Etiologi dan Patogenesa
Faktor etiologi meliputi genetik, pertumbuhan yang relatif berlebihan pada
anterior badan tulang belakang, modulasi biomekanik pertumbuhan, dorsal shear
force dan instabilitas rotasi aksial, pertumbuhan neuro-oseus tulang belakang
tidak terkendali, abnormalitas postur dan disfunngsi otak belakang, gangguan
fungsi motor, konsep pertumbuhan saraf, gangguan sinyal melatonin sistemik dan
fungsi calmodulin. Adolescent Idiopathic Scoliosis (AIS) memiliki etiologi
multifaktor dengan pertumbuhan tulang berkontribusi pada penampakan dan
progresifitas kelengkungan tulang belakang. 2023
belakang-saraf.
dari deformitas
dapat
tubuh dimana akan terkoreksi spontan. Pada keadaan defisit neurologis, maka
perlu dilakukan pemeriksaan MRI untuk menyingkirkan kecurigaan kelainan
intraspinal. Pada keadaan lenkungan tulang belakang yang berat, fungsi paru
sebaiknya di evaluasi dengan spirometry. 32,33
Analisa rutin radiologis menyertakan film panjang tegak (36 inci) posteroanterior dan lateral dari tulang belakang untuk menilai sudut Cobb (diukur
diantara permukaan superior dari proksimal dan inferior dari distal ujung tulang
belakang yang paling menukik lengkunganya). Maturitas skeletal (derajat Risser),
dan pola lengkungan (berdasarkan daerah tulang belakang dimana apeks berada).
Sebagai info tambahan, tulang belakang yang stabil dan netral yang teridentifikasi
dapat dipertimbangkan untuk pemilihan level fusi tulang belakang yang
diharapkan. Tulang belakang yang stabil merujuk pada sisi inferior tulang
belakang yang tegak lurus/dipotong oleh Central Sacral Vertical Line (CSVL)
pada gambar radiografi berdiri. CSVL merupakan garis yang di proyeksi dari
tengah dari sakrum tegak lurus dengan garis yang menghubungkan krista
iliaka.33,34
Radiografi dilakukan juga untuk mendapatkan gambaran fleksibilitas tulang
belakang yang melengkung yang alami. Metode yang dilakukan meliputi
melengkung ke samping dalam posisi supine, fulcrum bending, traksi-kompresi
dalam posisi tengkurap dengan atau tanpa bius. 33
2.1.4. Sistem Klasifikasi
Sistem klasifikasi untuk skoliosis sebaiknya komprehensif dan menguraikan
gambaran koronal dan sagittal secara baik. King et al mendeskripsikan klasifikasi
AIS berdasarkan karakteristik deformitas bidang koronal. 35 Pada klasifikasi ini
yang utama dikembangkan untuk kelengkungan torakal, tanpa melibatkan
keseimbangan sagittal tulang belakang, dan ditemukan adanya reliabiltas yang
rendah antar pengamat. Pola lengkungan yang sering terjadi pada AIS meliputi
lengkungan torakal (biasanya kanan) dengan atau tanpa kompensasi dari
torakalumbal atau lengkungan lumbar (biasanya kiri). Lengkungan torakal
memiliki apeks pada T10 atau diatasnya dan torakalumbal/lumbar memiliki apeks
10
pada T11 atau lebih rendah lagi. Pasien dengan skoliosis pada torakal
menciptakan asimetris pada dinding dada terkait dengan lengkungan cembung,
seiring juga dengan naiknya garis bahu. Pada lengkungan torakal yang parah
menyebabkan translokasi torakal dan mengubah batang tubuh sesuai lengkungan
cemnbung dan naiknya garis pinggang secara asimetris dengan puncak pada krista
iliaka kontralateral.
Kesimbangan bidang koronal dan sagittal secara global, sesuai konsep
dekompensasi tidak masuk dalam sistem klasifikasi King. Lenke et al
mengembangkan sistem yang lebih detail untuk mengasosiasikan tidak hanya
lengkungan bidang koronal namun juga lengkungan bidang sagittal pada segmen
torakal dan lumbar dengan tujuan untuk memprediksi level fusi yang lebih akurat,
sehingga mengurangi resiko dekompensasi pasca operasi. Lengkungan tulang
belakang diklasifikasikan berdasarkan lokasi (torakal atas, torakal utama, dan
torakalumbal/lumbar), ukuran lengkungan dan fleksibilitas, begitu juga kelainan
bidang koronal pada lumbar dan bidang sagital pada torakal. 32
2.1.5. Tatalaksana
Prinsip dasar dalam penangan AIS ialah diagnosis yang sesuai, menyingkirkan
faktor penyebab organik dari skoliosis dan menilai derajat keparahan deformitas
secara klinis dan radiologis. Tujuan utama dari terapi non operatif untuk
mengontrol
lengkungan
skoliosis,
mencegah
progresifitas
bertambahnya
progresifitas.17,36
Pada dasarnya terdapat 2 tipe deformitas yang harus dipertimbangkan dalam
koreksi biomekanik yaitu lengkungan fungsional dan struktural. Lengkungan
struktural merupakan lengkungan yang berasal dari deformitas tulang belakang
serta tidak dapat dikoreksi dengan gaya otot dan gravitasi, Sedangkan lengkungan
fungsional merupakan bentuk kompensasi batang tubuh terhadap lengkung
11
struktural.37
2.1.5.1. Non operatif
Penanganan non operatif untuk AIS meliputi observasi dan orthosis tulang
belakang. Dalam praktek klinis, secara garis besar 80-90% AIS ialah bentuk non
progresif dan bisa ditangani hanya dengan observasi. Secara umum sudut
lengkungan di bawah 20 derajat pada pasien yang belum mencapai maturitas
tulang dan sudut dibawah 40 derajat untuk pasien yang sudah mencapai maturitas
tulang.
Penatalaksaan dengan brace bertujuan untuk mengontrol kelengkungan tulang
belakang, mencegah progresifitas, mencegah kebutuhan akan operasi, dan untuk
meningkatkan penampilan. Brace yang paling efektif ialah Milwaukee CervicoThoraco-Lumbo-Sacral Orthosis brace (CTLSO) untuk level lengkungan yang
tinggi dan Thoracolumbo-Sacral Orthoses (TLSO) untuk lenkungan yang lebih
rendah. Penggunaan brace yang paling efektif ketika di gunakan dalam kurun
waktu 20 jam sehari. Masa penggunaan brace akan berakhir jika pertumbuhan
sudah stabil, secara umum satu atau dua tahun setelah menstruasi. 36,38
2.1.5.2. Operatif
Penatalaksanaan secara operatif pada kasus AIS sebaiknya mempertimbangkan
analisa dari beberapa faktor: ukuran sudut lengkungan, karakteristik 3 bidang,
umur, komponen kosmetik, dan pengetahuan tentang perkembangan lengkungan.
Indikasi umum untuk dilakukan tindakan koreksi secara operatif yaitu jika sudut
Cobb melebihi 4550 derajat dengan kemungkinan besar adanya progresifitas
bertambahnya lengkungan. Tujuan operasi untuk AIS ialah menahan progresifitas
dari deformitas skoliosis, memperbaiki deformitas, mengembalikan keseimbangan
tubuh dengan fusi sependek mungkin dan meningkatkan penampilan. 6,17,36,38
Operasi koreksi skoliosis merupakan operasi besar, pemeriksaan menyeluruh
meliputi hematologi, biokimia, radiologi, fungsi jantung dan paru. Segala sesuatu
12
perihal persiapan preoperasi dan pasca operasi harus di jelaskan dengan baik
kepada pasien dan keluarga agar dapat mendukung hasil yang baik. 36
2.1.5.2.1. Instrumentasi Anterior
Indikasi untuk dilakukan fusi anterior dengan instrumentasi ialah lengkkungan
thorakolumbar (apeks pada T11, T12 atau L1) atau lengkungan lumbar letak
tinggi dengan sudut mencapai 40 sampai 60 derajat. 39 Potensi keuntungan pada
metode ini akan menyelamatkan segmen tulang belakang yang masih bisa
bergerak pada proksimal dan distal, mendapatkan koreksi deformitas lebih baik
karena rotasi tulang belakang secara langsung. Sejarahnya, instrumentasi anterior
dikenalkan oleh Dwyer dan Moe menggunakan satu buah rod lentur dan memiliki
keterbatasan untuk koreksi deformitas, serta menciptakan efek kifogenik dan
pseudoarthrosis. Kerugian pada metode ini dikarenakan mengganggu sangkar
toraks, hal ini akan mengganggu fungsi paru, durasi operasi yang lebih lama,
periode rawat inap yang lebih lama.3941
2.1.5.2.2. Instrumentasi posterior
Fusi posterior dengan instrumentasi merupakan standar emas untuk
penatalaksaan AIS secara operatif.42 Instrumentasi posterior pertama dikenalkan
oleh Paul Harrington. Pada sistem ini, koreksi dilakukan dengan distraksi
sepanjang deformitas lengkungan. Pada generasi kedua instrumentasi yang
dikembangkan Cotrel Dubousset, koreksi dilakukan dengan maneuver rod
rotation. Instrumentasi segmental dikembangkan oleh Luque telah banyak
digunakan untuk skoliosis neuromuskular. Pada instrumentasi modern, lebih
banyak anchor digunakan untuk menghubungkan rod dan tulang belakang,
memberikan koreksi yang lebih baik dan lebih jarang didapatkan gagal implan.
2.1.5.2.3 Koreksi skoliosis dengan sekrup pedikel
Sekrup pedikel pertama kali dikenalkan oleh Boucher dan di populerkan oleh
Roy-Camille, awalnya sekrup pedikel di gunakan pada kasus trauma dan
neoplasma dari tulang belakang karena karakter nya memberikan stabilitas 3
13
14
pada rod korektif dengan suportif rod pada kontralateral untuk menjaga
koreksi tulang belakang melalui fiksasi 2 level pada ujung proksimal dan distal
dari konstruksi instrumentasi. Hasilnya dapat dibandingkan dengan konstruksi
instrumentasi sekrup pedikel bilateral secara segmental yang menciptakan resiko
lebih besar pada fungsi saraf, dan meningkatnya durasi waktu operasi, perdarahan
yang lebih banyak, serta biaya instrumentasi yang lebih besar.48,49
2.1.5.2.4 Koreksi skoliosis dengan kawat sublaminar
Insturmentasi posterior menggunakan kawat sublaminar pertama kali
dikenalkan oleh Luque pada tahun 1982. Instrumentasi ini menciptakan koreksi
segmental dan fiksasi, dimana dapat memberikan konstruksi yang lebih rigid
sehingga tidak diperlukan lagi imobilisasi eksternal pasca operasi. Pada tahun
1986 dikenalkan instrumentasi ISOLA untuk koreksi skoliosis secara segmental.
Pada system ini mengenalkan konsep koreksi 3 dimensi menggunakan konstruksi
hibrid terdiri atas: hook, kawat sublaminar, dan sekrup pedikel. Konsep
fundamental yang di gunakan pada sistem ini yaitu lokasi anchor pada ujung
proksimal dan ujung distal dan translasi segmental pada apeks skoliosis di
determinasi oleh rod yang di hubungkan dengan kawat sublaminar. Didapatkan
koreksi skoliosis mencapai 67% pada system ini. 6,7
Penggunaan kawat sublaminar dikombinasikan dengan rod dilakukan setelah
membuang sebagian ligamentum flavum untuk mendapatkan jalan menuju kanal
spinal, wire ini akan dimasukkan secara manual di antara lamina dan korda
spinalis. Kedua ujung melimgkari rod dan di kencangkan secara bertahap.
Mekanisme ini di aplikasikan secara multi segmen, tulang belakang akan
mengalami translasi dan tereduksi. Metode ini cukup murah, rendah profil, dan
fiksasi
segmental
yang
efektif,
khususnya
digunakan
untuk
skoliosis
15
10
16
Gambar 2.1. Konfigurasi instrumentasi posterior berdasarkan densitaas sekrup pedikel dan dengan
metode kawat sublaminar
17
komposit
generasi
pertama
memperlihatkan
relevansi
secara
biomekanik, terdiri dengan inti busa polyurethane kaku, yang dilapisi oleh epoxyreinforced, dan anyaman kaca. Pada model generasi kedua, yang diperkenakan
pada tahun 1990an, terdiri atas lapisan fiberglass yang kemudian dipadatkan
dengan injeksi epoxy resin. Akhir tahun 1990an merupakan tahun dimana terjadi
perubahan yang signifikan dari model tulang komposit dengan ditemukannya
material baru dan proses manufaktur untuk generasi ketiga. Dimana pada generasi
ketiga, model komposit dimanufaktur menggunakan teknik pressure-injected
dengan melapisi busa polyutherane dengan menggunakan short glass fiber
reinforced (SGFR) epoxy untuk membentuk dinding kortikal. Pada model terkini,
generasi keempat, model komposit menggunakan metode SGFR yang sama pada
generasi ketiga, jadi mempunyai komposisi yang sama. Namun pada generasi baru
ini, komponen epoxy telah dioptimalisasi sehingga mempunyai peningkatan pada
kekakuan torsi dan bending.15
Model tulang komposit telah memberikan pengaruh pada proses pembelajaran
anatomi manusia, dengan mempunyai relevansi biomekanik yang tinggi, dan
sebagai pengganti model kadaver dalam beberapa situasi. Penemuan pada
komposisi dan proses manufaktur dari SGFR telah menunjukkan kemampuan
torsi, kompresi axial, dan lateral bending yang mendekati fisiologis manusia,
termasuk kekuatan tarikan dari cancellous screw.15
2.3. Uji biomekanik instrumentasi posterior tulang belakang
Instrumentasi tulang belakang digunakan untuk meningkatkan fusi, mobilisasi
dini, serta mengurangi penggunaan brace pasca operasi. Reliabilitas dan performa
dari instrumentasi tergantung dari beberapa faktor. Diharapkan instrumentasi
dapat melakukan fiksasi sehingga didapatkan hambatan pergerakan tulang
belakang pada level yang di aplikasikan (hal ini disebut stabilitas atau kekakuan
dari instrumentasi) dan dapat mengatasi beban
18
19
tertentu. Uji static dan fatigue dilakukan pada sejumlah konstruksi model buatan
tulang belakang yang telah dipasang implant. 4
Suatu studi tentang perbandingan biomekanik 3 konfigurasi instrumentasi
posterior pada 2 level lumbar oleh Fubing Liu dkk telah dilakukan pada sediaan
tulang lumbal manusia. Mereka membuat 3 buah konfigurasi instrumentasi
posterior yaitu: Unilateral Sekrup pedikel (UPS), UPS dengan translaminar facet
screw pada sisi kontralateral, serta Sekrup pedikel bilateral. Di antara ketiga
konfigurasi, sekrup pedikel bilateral merupakan standar emas untuk fiksasi
posterior tulang belakang agar tercapainya fusi tulang belakang. Ketiga sediaan
yang telah dipasang instrumentasi posterior di tes menggunakan alat
servohydraulic biaxial test frame yang dapat memberikan gaya dan kontrol pada
fleksi/ekstensi, lateral bending kanan kiri, serta torsion kemudian dipasang
sensor khusus yang menilai angle displacement pada vertebra. Variasi
konfigurassekrusekrupi instrumentasi posterior memiliki tujuan yang sama yaitu
keadaan stabil untuk memulai proses fusi tulang belakang. Implikasi yang akan
diharapkan nantinya kita dapat mengambil keputusan teknik fusi tulang belakang
berdasarkan kekuatan dari masing-masing tipe instrumentasi posterior. 54
20
Hewan
Cadaver
Model tulang
In Vitro
In Vivo
Bahan uji
Tes fatigue
Komponen
BIOMEKANIKA
INSTRUMENTASI
POSTERIOR
Jen
is
Uji
Tes stabilitas
Beban fisiologis
Load displacement
Tes kekuatan
Vertebral
anchor
Komponen
longitudinal
Komponen
transversal
Non destruktif
Load-carrying
capability
Densitas
implan
Konfigurasi
Rigiditas
Mekanisme
kerusakan
Titik lemah
instrumen
21
Bahan uji
BIOMEKANIKA
INSTRUMENTASI
POSTERIOR
Uji Stabilitas
Beban fisiologis
Gaya torsional
Gaya Aksial
Rigiditas
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain post-test
only control group design.
3.2
Lokasi Penelitian
Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Teknik Mesin Fakultas
Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung (ITB),
Bandung.
3.3
Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan pada bulan Februari 2016 hingga Maret
2016.
3.4.
2[z z s]2
x1 x 2 2
Keterangan rumus:
n
= jumlah sampel untuk setiap perlakuan
Z
= deviat baku normal untuk a
Z
= deviat baku normal untuk b
S
= simpang baku
X1-X2 = perbedaan klinis yang diharapkan
Maka didapatkan besar sampel minimal masing-masing kelompok adalah:
22
23
n = 4,0384 n = 5
3.5.
Inklusi
Model
Eksklusi
tulang
(Synbone
belakang
buatan
) skoliosis Lenke 1
) skoliosis yang
pada T4-T12
rusak
Gambar 3.1 Model Synbone skoliosis tulang belakang T1-Sakrum dengan lengkungan
pada T5-T12 klasifikasi Lenke 1
3.6.
Variabel Penelitian
Variabel dependen pada penelitian ini adalah:
3.7.
Istilah
Definisi
Alat
Satuan Variabel
ukur
Gaya aksial
Numerik
satuan
gaya
aksial
yang
24
atau
kedudukan
yang
translasi
pada
titik
pembebanan tertentu
Kekakuan
gradien
dari
displacement
kurva
pada
Dial
mm
Numerik
N/mm
Numerik
indicator
load-
Dial
titik indicator
pengukuran translasi
3.8.
Prosedur Penelitian
25
26
27
Evaluasi
28
3.9.
Alur Penelitian
Koreksi Skoliosis
Grup A
Grup B
Grup C
Analisa Data
29
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1
Hasil Penelitian
posterior
dengan
konfigurasi
yang
berbeda.
Pemasangan
instrumentasi posterior terdiri atas sekrup pedikel, batang rod, kawat sublaminar,
cross link. Pada konfigurasi SPB menggunakan sekrup pedikel seluruhnya mulai
dari proximal end sampai distal end. Konfigurasi PAD terdiri atas sekrup pedikel
dua buah pada proximal end, apex, distal end sisi konkaf, sekrup pedikel pada
seluruh pedikel sisi konveks. Sementara konfigurasi PAD+SW ialah konfigurasi
PAD ditambahkan kawat sublaminar pada setiap lamina di sisi konkaf (Gambar
4.1).
30
31
Gambar 4.1 Kelompok model tulang belakang yang telah di pasang instrumentasi posterior.
A) SPB, B) PAD+SW dan C) PAD
Gambar 4.2 Alat uji kompresi laboratorium teknik mesin FTMD-ITB terdapat sensor
pada 3 titik untuk analisa load displacement. Dudukan dibuat dengan screw pada
proksimal dan ujung distal.
32
55 58
Dari tabel 4.1 dapat disimpulkan bahwa displacement terbesar terjadi pada
kelompok PAD dengan kelompok dengan displacement terkecil adalah kelompok
SPB. Dengan setiap gaya yang dihasilkan, displacement yang terjadi pada
kelompok tulang PAD lebih besar dibandingkan kedua kelompok lainnya,
berkebalikan dengan kelompok SPB dimana besaran displacement pasti lebih
kecil dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dapat pula dilihat pada gambar 4.2
menunjukan bahwa SPB lebih unggul dari PAD dan PAD+SW pada setiap
tingkatan gaya. Dari tabel 4.2 dilihat dari gaya, dapat dilihat displacement terbesar
terjadi pada segmen T10
33
Tabel 4.1 Rerata displacement dibandingkan dengan gaya per kelompok sampel tulang
Rerata Displacement
(mm SD)
50N
100N
150N
200N
SPB
0.720.02
2.270.11
3.910.10
5.120.11
SW
0.850.03
2.580.06
4.350.16
5.830.21
PAD
0.920.02
3.040.17
4.610.77
6.300.16
<0.001
<0.001
0.086
<0.001
Uji signifikansi*
*uji signifikansi dengan hasil uji normalitas normal, adalah dengan menggunakan ANOVA, sementara pada
data dengan hasil uji normalitas yang tidak normal adalah dengan Kruskal-Wallis
7
6.5
6.3
5.83
5.5
5.12
Displacement
5
4.5
4.61
4.35
3.91
SPB
3.5
3
3.04
SW
2.5
2.58
2.27
PAD
2
1.5
1
0.5
0.92
0.85
0.72
0
50N
100N
150N
200N
Gaya
Gambar 4.3. Grafik hubungan antara gaya dan displacement yang dihasilkannya pada
ketiga kelompok perlakuan
34
Tabel 4.2. Perbandingan antara displacement yang dihasilkan dengan gaya pemicu untuk masing-masing kelompok perlakuan dan lokasi segmen tulang
GAYA
(N)
DISPLACEMENT
(mm)
T5
SPB1
SPB2
T10
SPB3
SPB4
SPB5
SPB1
SPB2
SPB3
L1
SPB4
SPB5
SPB1
SPB2
SPB3
SPB4
SPB5
50N
0.28
0.26
0.31
0.39
0.28
0.97
1.05
0.95
0.97
0.83
0.88
0.87
0.89
0.85
100N
1.33
1.29
1.11
1.49
1.44
3.01
3.04
3.33
3.32
3.49
2.33
2.12
2.28
2.17
2.39
150N
1.87
1.91
1.8
1.82
1.83
4.71
4.91
4.86
4.77
5.47
5.13
5.11
4.69
4.98
4.82
200N
2.05
2.18
2.33
2.21
2.37
6.73
6.52
7.05
7.23
7.21
6.22
6.39
6.09
6.02
6.25
SW1
T5
SW3
SW2
SW4
SW5
SW1
T10
SW3
SW2
SW4
SW5
SW1
L1
SW3
SW2
SW4
SW5
50N
0.42
0.42
0.48
0.43
0.42
1.12
1.24
1.15
1.11
1.03
0.93
0.96
1.01
0.93
1.13
100N
1.57
1.64
1.39
1.66
1.34
3.27
3.44
3.53
3.22
3.52
2.56
2.74
2.86
3.01
2.94
150N
1.94
1.95
2.18
1.93
2.19
6.13
5.9
5.01
5.66
5.19
5.19
5.8
5.29
5.01
5.88
200N
2.63
2.35
2.49
2.64
2.51
8.29
8.05
7.51
7.66
7.5
6.55
6.92
7.1
7.3
PAD1
PAD2
T5
PAD3
PAD4
PAD5
PAD1
PAD2
T10
PAD3
PAD4
PAD5
PAD1
L1
PAD3
PAD2
PAD4
PAD5
50N
0.49
0.46
0.5
0.48
0.43
1.17
1.19
1.18
1.16
1.14
1.18
1.19
1.03
1.17
1.15
100N
1.73
1.79
1.87
1.73
1.71
3.77
4.42
3.73
3.88
4.53
3.45
3.33
2.88
3.46
3.49
150N
2.24
2.23
2.22
2.21
2.18
6.43
5.99
6.24
6.41
6.94
6.35
6.49
6.44
6.28
6.43
200N
2.77
2.73
2.86
2.85
2.81
8.22
8.53
8.43
8.44
8.54
7.6
7.2
7.3
8.2
8.03
35
36
SPB2
SPB3
SPB4
SPB5
50N
72.12
68.49
70.42
66.67
70.42
100N
44.98
46.51
44.64
42.98
40.98
150N
38.43
37.72
39.65
38.89
37.13
200N
40
39.76
38.78
38.81
37.9
SW1
SW2
SW3
SW4
SW5
50N
60.73
57.25
56.82
60.73
58.14
100N
40.54
38.36
38.56
38.02
38.46
150N
33.94
32.97
36.06
35.71
33.94
200N
32.57
35.4
35.46
33.82
34.34
PAD1
PAD2
PAD3
PAD4
PAD5
50N
52.82
52.82
55.35
53.38
55.15
100N
33.52
31.45
35.38
33.08
30.83
37
150N
200N
29.96
32.28
30.59
32.5
30.2
32.28
30.2
30.79
28.94
30.96
Gambar 4.4 Grafik hubungan antara gaya dan kekakuan yang dihasilkannya pada
ketiga kelompok perlakuan
Tabel 4.4 Perbandingan rerata kekakuan pada masing-masing kelompok sampel ditinjau
dari gaya.
Rerata kekakuan
(N/mmSD)
SPB
SW
PAD
p value*
50N
69.622.09
58.73188
53.901.25
0.002
100N
44.402.11
38.790.99
32.851.80
<0.001
150N
38.360.98
34.521.31
29.980.62
<0.001
200N
39.050.45
34.321.20
31.760.82
<0,001
*uji signifikansi dengan hasil uji normalitas normal, adalah dengan menggunakan ANOVA, sementara pada
data dengan hasil uji normalitas yang tidak normal adalah dengan Kruskal-Wallis
38
terdistribusi tidak normal (uji Saphiro-Wilk, p=0.044). karena data tidak normal
dilakukan Uji Kruskal Wallis untuk ketiga kelompok sampel tulang. Didapatkan
bahwa perbedaan antara ketiga kelompok tidak signifikan (p=0.002).
Pada gaya 100N, didapatkan data terdisutribusi normal (uji Saphiro-Wilk,
p=0.597). Uji ANOVA kemudian dilakukan untuk ketiga kelompok sampel
tulang. Didapatkan bahwa perbedaan antara ketiga kelompok signifikan
(p<0.001), dengan signifikansi juga ditemukan pada perbandingan antara
kelompok SPB dengan SW (post hoc Bonferroni, p=0.001), SPB dengan PAD
(post hoc Bonferroni, p=0.000), dan juga ditemukan signifikansi untuk kelompok
PAD dan SW (post hoc Bonferroni, p=0.000).
Pada gaya 150N, didapatkan hasil tes Saphiro-Wilk bahwa data terdistribusi
dengan normal (p=0.191). Data kemudian dilakukan analisis ANOVA dengan
hasil ketiga data berbeda bermakna (p<0.001). Pada analisis post hoc Bonferroni
ditemukan juga perbedaan yang signifikan antara data SPB dan SW (p=0.000),
SPB dengan PAD (p=0.000), dan data SW dan PAD (p=0.000).
Di gaya 200N, didapatkan hasil tes normalitas Saphiro-Wilk data terdistribusi
normal (p=0.104). Kemudian dilakukan ujia ANOVA dengan didapatkan
p<0.001, yang berarti di antara ketiga kelompok terdapat perbedaan yang
signifikan. Pada uji post hoc Bonferroni, didapatkan perbedaan yang signifikan
antara SPB dan PAD+ SW (p=0.000) dan SPB dengan PAD (p=0.000), kemudian
ditemukan perbedaan yang signifikan antara PAD dengan PAD+ SW (p=0,004.)
4.2. Pembahasan
4.2.1 Pembahasan Sampel Penelitian
Pada penelitian ini digunakan model tulang belakang buatan dengan simulasi
skloliosis Lenke 1 dari bahan polyurethane khusus. Walaupun model tulang ini
tidak memiliki properti biomekanik yang persis sama dengan tulang belakang asli
yang mempunyai kompisisi kompleks, uji biomekanik pada penelitian
sebelumnya dapat mensimulasikan properti mekanik instrumentasi posterior.
39
serta perlakuan pada kelompok coba.4 Model tulang belakang buatan scoliosis
Lenke
Synbone
yang
dipasang
instrumentasi posterior
mengamati
besarnya
biaya
operasi,
dari
penelitian
sebelumnya
berkurangnya densitas sekrup pedikel memberikan hasil yang tidak jauh berbeda
dalam hal koreksi tanpa menimbulkan komplikasi. 50 Pada kelompok SPB sebagai
standar emas menggunakan 18 sekrup pedikel, sedangkan kelompok PAD
menggunakan 15 sekrup pedikel kemudian pada kelompok PAD+SW
ditambahkan kawat sublaminar pada setiap lamina di sisi konkaf, baik yang ada
sekrup pedikel dan yang tidak ada sekrup pedikel. Untuk konfigurasi PAD
dipasang sekrup pedikel 2 buah pada proximal end , 2 buah pada pada apical dan
2 buah pada distal end pada sisi konkaf. Belum ada hasil evidens yang
membuktikan bahwa densitas implant yang tinggi memberikan hasil yang baik
secara radiograpfi dan kosmetik pada kasus AIS sudut cobb < 70 derajat, oleh
karena itu kami menggunakan konfigurasi PAD dengan mengurangi sekrup
pedikel sebanyak 3 buah pada sisi konkaf. 56
40
Aplikasi gaya aksial gradual di mulai 50 N, 100 N, 150 N, 200 N atas dasar
penelitian yang dilakukan oleh Gadgill dkk, penelitan tersebut menggunakan gaya
gradual 50 N- 300 N pada segmen panjang (10 vertebra) tulang buatan yang
dipasang isntrumentasi posterior Hartshill rectangle dan kawat sublaminar,
mereka membandingkan 3 kelompok dengan sususan konfigurasi kawat
sublaminar yang berbeda beda. Atas dasar penelitian tersebut kami melakukan
penelitian ini, namun kendala pada penelitian kami yaitu belum bisa membuat
simulasi gaya torsional serta apliksi gaya tidak sampai 300 N dikarenakan
keterbatasan alat dan sesnsor yang digunakan. 4 Selain itu, pada uji in vitro tidak
dapat menilai efek dari otot yang bekerja pada daerah tulang belakang, oleh
karena itu di aplikasikan compressive preload yang relevan dengan efek kerja otot
tulang belakang. Sebuah konsesus mengenai preload pada regio lumbar
menggunakan gaya 400 N ( sekitar 60% dari berat badan rerata manuasia). Pada
regio cervical gaya bervariasi dari 50 sampai 100 N. 57
Masing-masing kelompok diberikan gaya aksial secara gradual dimulai dengan
50 N, 100N, 150 N, 200 N yang mengakibatkan konstruksi instrumen belakang
melengkung di ikuti dengan pergeseran segmen tulang belakang. Kekakuan
dihitung dari fungsi gradient kurva load-displacement dari vektor translasi yang
dihasilkan ketika beban diberikan.3 Pada penelitian ini di pasang 3 buah sensor
yang diberi landasan pada instrumentasi posterior setinggi Th5, Th10, dan L1,
masing-masing sensor memberikan hasil angka yang berbeda beda, hal ini
menunjukan perubahan pergeseran antara segmen tulang belakang buatan.
55 58
41
50
42
Gambar 4.5 Simulasi arah pergeseran antar segmen ketika diberi gaya aksial
507 48
43
4 55
dengan adanya penambahan kawat sublaminar pada setiap lamina di sisi konkaf
terbukti meningkatkan kekakuan dari instrumentasi posterior, walaupun secara
umum di dapatkan perbedaan bermakna dengan kelompok SPB sebagai standar
emas.
Kelompok SPB sebagai standar emas menunjukan tingkat kekakuan yang
paling tinggi, dari segi teknis hasil ini didapatkan akibat fiksasi semual level serta
setiap pedicle pada 9 segmen tulang belakang yang di pasang instrumentasi
posterior. Untuk kelompok PAD, pengurangan densitas sekrup pedikel pada sisi
konkaf, berakibat langsung berkurangnya kekakuan dari instrumentasi posterior.
Fiksasi dilakukan pada 2 segmen proximal end, 2 pada apex dan 2 pada distel end
di sisi konkaf dapat menghasilkan hasil koreksi skoliosis yang tidak berbeda
dengan kelompok SPB, namun dalam hal kekakuan di dapatkan perbedaan
bermakna dengan kelompok SPB. Pada kelompok PAD+SW dengan adanya
penambahan kawat sublaminar pada setiap lamina di sisi konkaf terbukti
meningkatkan kekakuan dari instrumentasi posterior, hal terbukti dengan adanya
perbedaan bermakna antara kelompok PAD dengan PAD+SW walaupun secara
umum di dapatkan perbedaan bermakna dengan kelompok SPB sebagai standar
emas.
44
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1
1)
Simpulan
Secara rerata, SPB adalah yang paling kuat di dalam hal tingkat pergeseran
dan kekakuan, diikuti oleh PAD+SW, dan PAD
2)
Terdapat perbedaan yang bermakna antara ketiga kelompok SPB, PAD dan
PAD+SW pada gaya gaya 50N, 100N, dan 200N, dan tidak bermakna pada
gaya 150N.
3)
4)
Penambahan
kawat
sublaminar
dapat
memberi
pengaruh
terhadap
Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan meode yang sama untuk
mengetahui maximal load tolerance/torque analysis dengan metode seperti ini
2)
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan meode dynamic test untuk
mengetahui maximal load tolerance/torque analysis dengan metode seperti ini
3)
Gaya yang diberikn perlu ditambah, sampai setidaknya gaya yang biasa
ditanggung oleh manusia
4)
Pada penelitian selanjutnya peperlu diteliti juga pengaruh gaya torsional pada
tulang belakang yang terpasang instrumentasi posterior
45
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
of
Adolescent
Idiopathic
Scoliosis.
Trauma
Mon.
2013;18(3):134-138.
3.
Mohaideen
5.
6.
7.
8.
9.
Rushton PRP, Elmalky M, Tikoo A, Basu S, Cole AA, Grevitt MP. The
effect of metal density in thoracic adolescent idiopathic scoliosis. 2015.
10.
46
47
11.
12.
13.
14.
Ouellet J, Odent T. Animal models for scoliosis research: state of the art ,
current concepts and future perspective applications. Eur Spine J.
2013;22(2):81-95.
15.
in
Orthopaedic
Surgery
Research
and
Education.
2011;18(11):1492-1501.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Justice C, Miller N, Marosy B, Zhang J, AF Wilson. Evidence of an Xlinked susceptibility locus. Spine (Phila Pa 1976). 2003;28:589-594.
48
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
49
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
50
46.
47.
48.
49.
50.
51.
52.
53.
54.
51
55.
56.
57.
58.
Sha M, Ding Z-Q, Ting HS, Kang L-Q, Zhai W-L, Liu H. Biomechanical
study comparing a new combined rod-plate system with conventional dualrod and plate systems. Orthopedics. 2013;36(2):e235-e240.
59.
Kok D, Firkins PJ, Wapstra FH, Veldhuizen AG. A new lumbar posterior
fixation system, the memory metal spinal system: an in-vitro mechanical
evaluation. BMC Musculoskelet Disord. 2013;14(1):269.
SPB
SW
SPB1
50N
100N
150N
200N
T5
0.28
1.33
1.87
2.05
50N
100N
150N
200N
T10
0.97
3.01
4.71
6.73
L1
0.83
2.33
5.13
6.22
50N
100N
150N
200N
T10
1.05
3.04
4.91
6.52
L1
0.88
2.12
5.11
6.39
50N
100N
150N
200N
T10
0.95
3.33
4.86
7.05
L1
0.87
2.28
4.69
6.09
50N
100N
150N
200N
L1
0.93
2.56
5.19
7.5
T5
50N
0.42
100N 1.64
150N 1.95
200N 2.35
T5
50N
0.48
100N 1.39
150N 2.18
200N 2.49
T10
0.97
3.32
4.77
7.23
L1
0.89
2.17
4.98
6.02
T5
50N
0.43
100N 1.66
150N 1.93
200N 2.64
T10
1.24
3.44
5.9
8.05
L1
0.96
2.74
5.8
6.55
L1
0.85
2.39
4.82
6.25
T5
50N
0.42
100N 1.34
150N 2.19
200N 2.51
52
T10
1.17
3.77
6.43
8.22
L1
1.18
3.45
6.35
7.6
T5
50N 0.46
100N 1.79
150N 2.23
200N 2.73
T10
1.19
4.42
5.99
8.53
L1
1.19
3.33
6.49
7.2
T10
1.18
3.73
6.24
8.43
L1
1.03
2.88
6.44
7.3
T10
1.16
3.88
6.41
8.44
L1
1.17
3.46
6.28
8.2
T10
1.14
4.53
6.94
8.54
L1
1.15
3.49
6.43
8.03
PAD+SW3
T10
1.15
3.53
5.01
7.51
L1
1.01
2.86
5.29
6.92
T5
50N
0.5
100N 1.87
150N 2.22
200N 2.86
PAD+SW4
T10
1.11
3.22
5.66
8
L1
0.93
3.01
5.01
7.1
SW5
T10
1
3.49
5.47
7.21
T5
50N 0.49
100N 1.73
150N 2.24
200N 2.77
PAD+ SW2
SW4
SPB5
T5
0.28
1.44
1.83
2.37
T10
1.12
3.27
6.13
8.29
SW3
SPB4
T5
0.39
1.49
1.82
2.21
T5
50N
0.42
100N 1.57
150N 1.94
200N 2.63
SW2
SPB3
T5
0.31
1.11
1.8
2.33
PAD +SW1
SW1
SPB2
T5
0.26
1.29
1.91
2.18
PAD
T5
50N 0.48
100N 1.73
150N 2.21
200N 2.85
PAD+SW5
T10
1.03
3.52
5.19
7.66
L1
1.13
2.94
5.88
7.3
T5
50N 0.43
100N 1.71
150N 2.18
200N 2.81
53