Anda di halaman 1dari 21

Skrining Kanker Serviks dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam

Asetat (IVA)
Claudia Husin (102012183)
Fakultas Kedokteran Ukrida
Alamat korespondensi: Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat, 11510
E-mail: claudiahusin20@gmail.com
Pendahuluan
Kanker serviks kanker yang terbanyak diderita perempuan di negara berkembang
sepertiIndonesia.Dinegaramaju,kankerserviksmendudukiurutanke10.Sepertipenyakit
kanker pada umumnya, kanker serviks akan menimbulkan masalah pada kesakitan,
penderitaan, kematian finansial dan ekonomi, masalah pada lingkungan kehidupan dan
masalahpadapemerintah.Dengandemikian,penanggulangankankerserviksharusdilakukan
secaramenyeluruhdanterintegrasi.
Skrining diperlukan untuk mencari penyakit pada subjek yang asimtomatik, agar
kemudian dapat dilakukan pemeriksaan selanjutnya sehingga diagnosis dini dapat ditegakkan.
Uji diagnostik untuk keperluan skrining harus memiliki sensitivitas yang sangat tinggi,
meskipun spesifisitasnya sedikit rendah. Penyakit yang perlu dilakukan skrining memiliki
syarat-syarat, antara lainbegin_of_the_skype_highlighting (1) prevalensi penyakit harus
cukup tinggi, (2) penyakit tersebut menunjukkan morbiditas dan/atau mortalitas yang
bermakna apabila tidak diobati, (3) harus tersedia terapi atau intervensi yang efektif yang
dapat mengubah perjalanan penyakit, dan (4) pengobatan dini harus memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan pengobatan pada kasus yang lanjut.1
Saat ini banyak penelitian tentang skrining dengan metode IVA dilakukan di berbagai
negara berkembang. Skrining dengan metode IVA dilakukan dengan cara yang sangat
sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. Sederhana, yaitu dengan hanya mengoleskan
asam asetat (cuka) 3-5% pada leher rahim lalu mengamati perubahannya, dimana lesi
prakanker dapat terdeteksi bila terlihat bercak putih pada leher rahim. Murah, karena biaya
yang diperlukan hanya sekitar Rp. 3000,- sampai Rp.5000,-/pasien. Nyaman, karena
prosedurnya tidak rumit, tidak memerlukan persiapan, dan tidak menyakitkan. Praktis, artinya
1

dapat dilakukan dimana saja, tidak memerlukan sarana khusus, cukup tempat tidur sederhana
yang representatif, spekulum dan lampu. Mudah, karena dapat dilakukan oleh bidan dan
perawat yang terlatih.2 Beberapa karakteristik metode ini sesuai dengan kondisi Indonesia
yang memiliki keterbatasan ekonomi dan keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan.
Karenanya pengkajian penggunaan metode IVA sebagai cara skrining kanker leher rahim di
daerah-daerah yang memiliki sumber daya terbatas ini dilakukan sebagai salah satu masukan
dalam pembuatan kebijakan kesehatan nasional di Indonesia.2
Isi
Kanker serviks
Kanker serviks terjadi jika sel-sel serviks menjadi abnormal dan membelah secara
tidak terkendali. Etiologinya meliputi virus Human Papilloma dan sel mukosa serviks yang
teracuni nikotin dan sperma. Gejalanya meliputi pedarahan post-menopause, perut terasa
berat pada bagian bawah, vagina terasa kering, napsu makan berkurang, berat badan turun,
lelah, nyeri panggul, punggung, tungkai, dan keluar feses dari vagina.1
Epidemiologi Kanker Serviks
Kanker serviks merupakan salah satu penyebab kematian wanita yang berhubungan
dengan kanker. Di seluruh dunia, diperkirakan terjadi sekitar 500.000 kanker serviks baru dan
250.000 kematian tiap tahunnya yang kurang lebih 80% terjadi di negara-negara berkembang.
Di Indonesia, insidens kanker serviks diperkirakan kurang lebih 40.000 kasus pertahun dan
masih merupakan kanker wanita yang tersering. Dari jumlah itu, 50% kematian di negaranegara berkembang. Hal ini terjadi karena pasien datang dalam keadaan lanjut.3
Menurut data Departemen Kesehatan RI, penyakit kanker serviks dan payudara
merupakan penyakit kanker dengan prevalensi tertinggi di Indonesia pada tahun 2013, yaitu
kanker serviks sebesar 0,8% dan kanker payudara sebesar 0,5%. Provinsi Kepulauan Riau,
Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi D.I. Yogyakarta memiliki prevalensi kanker serviks
tertinggi yaitu sebesar 1,5%.
Selama kurun waktu 5 tahun, usia penderita antara 30-60 tahun, terbanyak antara 4550 tahun. Periode laten dari fase prainvasif menjadi invasif memakan waktu selama 10 tahun.
Hanya 9% dari wanita berusia dibawah 35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasif

pada saat diagnosis, sedangkan 53% dari KIS (kanker in situ) terdapat pada wanita di bawah
usia 35 tahun.3
Faktor Risiko Kanker Serviks
Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya kanker serviks adalah:
1. Usia >35 tahun, semakin tua semakin meningkat risiko terjadinya kanker serviks.
2. Usia pertama kali melakukan hubungan seksual kurang dari 20 tahun berisiko
terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada berusia >20 tahun.
3. Wanita dengan aktivitas seksual yang tinggi atau sering berganti-ganti pasangan
memungkinkan terkena HPV.
4. Paritas (jumlah kelahiran) mempunyai risiko yang lebih tinggi apalagi dengan
jarak persalinan yang terlalu pendek, berdampak pada seringnya terjadi perlukaan
di organ reproduksinya yang akan memudahkan tertular Human Papilloma Virus
(HPV).
5. Penggunaan kontrasepsi oral lebih dari 4 tahun dapat meningkatkan risiko kanker
leher rahim 1,5-2,5 kali.
6. Wanita yang merokok memiliki risiko 2 kali lebih besar terkena kanker serviks
dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok. Konsentrasi nikotin wanita
perokok pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum,
yang akan menurunkan status imun lokal sehingga bersifat kokarsinogen dari
infeksi virus.
7. Sirkumsisi/sunat pria menurunkan risiko infeksi HPV pada penis.

Kejadian

infeksi HPV pada wanita pasangan multipartner yang di sirkumsisi lebih rendah
jika dibandingkan dengan kejadian infeksi HPV wanita pasangan multipartner
yang tidak disirkumsisi.4
Cara Penularan Kanker Serviks
Tes HPV umumnya hanya digunakan untuk membantu deteksi kanker serviks. Tidak
ada tes umum bagi laki-laki atau perempuan untuk memeriksa seseorang secara keseluruhan
status HPV, juga tidak ada tes HPV untuk menentukan HPV pada alat kelamin atau di
mulut, atau tenggorokan. bila ingin mengidentifikasi tipe HPV, dapat diketahui dengan
pemeriksaan PCR, tetapi bila hanya untuk mengetahui infeksi HPV onkogenik dapat
dilakukan pemeriksaan tes DNA HPV.3
Virus HPV 95% menular dengan hubungan seksual, 5% menular nonseksual yaitu
menular melalui kulit, kuku, dan lain sebagainya. HPV menular melalui kontak kelamin,
3

yang paling sering melalui vagina dan anal seks. HPV dapat juga ditularkan di antara
pasangan berbeda jenis kelamin maupun pasangan gay, lesbian, dan heteroseksual. Bahkan
ketika terinfeksi, pasangan tersebut tidak memiliki tanda-tanda atau gejala.
Seseorang bisa terkena HPV bahkan bertahun-tahun berlalu sejak penderita kontak
seksual dengan orang yang terinfeksi. Sebagian besar orang yang terkena virus HPV tidak
menyadari mereka terinfeksi atau mereka menularkan virus pada pasangannya. Hal ini juga
memungkin seseorang dapat terinfeksi pada lebih dari satu jenis HPV.
Sangat jarang terjadi, seorang wanita hamil yang terkena infeksi HPV dapat
menularkan HPV pada bayinya selama proses persalinan.3
Pengendalian Kanker
Ada empat komponen pengendalian kanker leher rahim dan payudara menurut WHO 2002:
1. Pencegahan penyakit kanker
Pencegahan dimaksudkan untuk mengeliminasi dan meminimalisasikan
pajanan penyebab dan faktor risiko kanker, termasuk mengurangi kerentanan individu
terhadap efek dari penyebab kanker. Selain faktor resiko, ada faktor protektif yang
akan mengurangi kemungkinan seseorang terserang kanker. Pendekatan pencegahan
ini memberikan peluang paling besar dan sangat cost-effective dalam pengendalian
kanker tetapi membutuhkan waktu lama.
Memberikan edukasi tentang perilaku gaya hidup (termasuk mengkonsumsi
buah dan sayur lebih dari 500 gram per hari, mengurangi konsumsi lemak dan lainlain), mempromosikan anti rokok termasuk menurunkan resiko terpajan asap rokok,
perilaku seksual aman, serta pemberiaan vaksin HPV, merupakan contoh-contoh
kegiatan pencegahan.

2. Deteksi dini
Dilihat dari aspek kesehatan masyarakat, kegiatan deteksi dini adalah
menyediakan metode pemeriksaan yang murah. terjangkau, aman, dan mampu
laksana untuk membedakan masyarakat yang beresiko terkena kanker atau bukan.
Ada dua komponen deteksi dini yaitu penapisan (screening) dan edukasi tentang
penemuan dini (early diagnosis).3
4

A. Penapisan atau skrining


Adalah upaya pemeriksaan atau test yang sederhana dan mudah
dilaksanakan pada populasi masyarakat sehat, yang bertujuan untuk
mengetahui masyarakat yang sakit atau beresiko terkena penyakit di antara
masyarakat yang sehat. Upaya penapisan dikatakan adekuat bila tes dapat
mencakup seluruh atau hampir seluruh populasi sasaran, untuk itu dibutuhkan
kajian jenis pemeriksaan yang mampu laksana pada low resource-setting
seperti di Indonesia. Sebagai contoh: pemeriksaan sitologi untuk memeriksa
lesi prakanker leher rahim dan mamografi telah dilaksanakan negara-negara
maju, tetapi negara berkembang memakai Inspeksi visual dengan aplikasi
Asam Asetat (IVA) sebagai cara untuk pemeriksaan lesi prakanker leher rahim.
B. Penemuan dini (early diagnosis)
Adalah upaya pemeriksaan pada masyarakat yang telah merasakan
adanya gejala. Oleh karena itu edukasi untuk meningkatkan kesadaran tentang
tanda-tanda awal kemungkinan kanker di antara petugas kesehatan, kader
masyarakat, maupun masyarakat secara umum merupakan kunci utama
keberhasilannya. Penemuan dini dapat dilakukan terutama pada penyakitpenyakit kanker. Program atau kegiatan deteksi dini yang dilakukan pada
masyarakat hanya akan berhasil apabila kegiatannya dihubungkan dengan
pengobatan yang adekuat, terjangkau, aman, dan mampu laksana, serta
mencakup 80% populasi perempuan yang beresiko. Untuk itu dibutuhkan
perencanaan akan kebutuhan sumber daya dan strategi-strategi yang paling
efektif untuk melaksanakan program ini.

3. Diagnosis dan terapi


Diagnosis kanker lahir rahim membutuhkan kombinasi antara kajian klinis dan
investigasi diagnostik. Sekali diagnosis ditegakkan harus dapat ditentukan stadiumnya
agar dapat mengevaluasi besaran penyakit dan melakukan terapi yang tepat. Tujuan
dari pengobatan adalah menyembuhkan, memperpanjang harapan hidup, dan
meningkatkan kualitas hidup.

Prinsip pengobatan harus ditujukan pada kanker dengan stadium awal dan
yang lebih berpotensi untuk sembuh. Dan pengobatan harus terpadu termasuk
pendekatan psikososial, rehabilitasi, dan terkoordinasi dengan pelayanan paliatif
untuk memastikan peningkatan kualitas hidup pasien kanker.
4. Pelayanan paliatif
Hampir di seluruh dunia, pasien kanker terdiagnosa pada stadium lanjut. Untuk kasus
seperti ini pengobatan yang realistik adalah mengurangi nyeri dan pelayanan paliatif.
Diyakini, pelayanan paliatif yang baik dapat meningkatkan kualitas hidup pasien
kanker.3
Pencegahan Kanker Serviks
Pencegahan primodial
Tujuan pencegahan primodial adalah mencegah timbulnya faktor resiko
kanker serviks bagi perempua yang belum mempunyai faktor resiko dengan cara
seperti pendidikan seks bagi remaja, menunda hubungan seks remaja sampai pada
usia yang matang yaitu lebih dari 20 tahun.
Pencegahan primer
Pencegahan tingkat primer bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
faktor resiko bagi perempuan yang mempunyai faktor resiko. Pencegahan dilakukan
dengan menghindari diri dari bahan karsinogenik atau penyebab kanker berikut adalah
beberapa cara yang dapat dilakukan
a Segi kebiasaan :
Hindari hubungan seks terlalu dini
Umumnya sel-sel muikosa baru marang setelah perempuan berusia 20 tahun
ke atas. Terutama untuk perempuan yang masih dibawah 16 tahun mempunyai
resiko kanker serviks lebih tinggi bila telah melakukan hubungan seks.
Hindari berganti-ganti pasangan seks
Resiko terkena kanker serviks lebih tinggi pada perempuan yang bergantiganti pasangan seks daripada yang tidak. Hal ini berkaitan dengan
kemungkinan tertularnya penyakit kelaimin salah satunya HPV. Virus ini
mengubah sel di permukaan mukosa sehingga memebelah menjadi lebih

banyak, bila terlalu banyak dan tidak sesuai dengan kebutuhan akan menjadi
kanker.
b

Segi makanan
Pengaturan pola makan sehari-hari juga diperlukan agar tubuh
mempunyai cadangan antioksidan yang cukup sebagai penangkal radikal
bebas yang merusak tubuh. Perbanyak makan buah dan sayuran berwarna
kuning atau hijau karena banyak mengandung vitamin seperti betakarotein,
vitamin C, mineral, klorofil dan fitonutrein;ainnya, klorofil bersifat radio
protektif, antimutagenik, dan antikarsinogenik. Kurangi makanan yang
diasinkan, dibakar, diasap, atau diawetkan dengan nitrit karena dapat
menghasilkam senyawa kimia yang dapat merubah menjadi kasinogen aktif. 8
Konsumsi makanan golongan kubis seperti kubis bunga, kubis tunas,
kubis rabi, brokoli karena dapat melindungi tubuh dari sinar radiasi dan
menghasilkan suatu enzim yang dapat menguraikan dan membuang zat
beracun yang beredar dalam tubuh.

Pencegahan sekunder
Penemuan dini, diagnosis dini dan terapi dini terhadap kanker leher rahim.
Pencegahan sekunder termasuk skrining dan deteksi dini, seperti pap smear, inspeksi
visual dengan asam asetat (IVA), tes HPV DNA dan kolposkopi.5
Pap smear adalah pemeriksaan skrining sederhana untuk mengetahui apakah
terdapat perubahan sel-sel normal epitel leher rahim. Pemeriksaan Pap smear
seharusnya dilakukan secara rutin pada wanita yang sudah pernah melakukan
hubungan seksual sampai berusia 65 tahun. Sebaiknya pada usia 21 tahun atau 3 tahun
setelah melakukan hubungan seksual pertama. Pap smear paling sedikit dilakukan
sekali dalam satu tahun. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara mengambil bagian
sitologik pada kanalis servikalis dengan menggunakan spatula ayre.5
Tujuan utama pemeriksaan ini adalah menemukan lesi prakanker, sehingga
dengan penanganan yang adekuat dapat dicegah terjadinya kanker (karsinoma
invasif). Dalam 4 dekade terakhir, kejadian dan kematian akibat kanker serviks
menurun kurang lebih 70%. Keberhasilan ini antara lain terjadi karena program

penapisan. Apabila penyakit pra-kanker atau dysplasia diobati sedini mungkin, angka
penyembuhan akan mencapai 80-90%.5
Skrining pada kanker serviks meliputi:

Uji Pap
Pemeriksaan uji Pap (pap smear) adalah pengamatan sel-sel yang dieksfoliasi
dari genitalia wanita. Uji Pap telah terbukti dapat menurunkan kejadian kanker serviks
yang ditemukan stadium prakanker, ceoplasia, intraepitel serviks (NIS). Meskipun
dalam situasi baik, skrining merupakan proses yang sulit, sangat berpotensi terjadi
kesalahan, seperti tidak terdeteksinya penyakit atau kesalahan melaporkan individu
yang sehat. Kesalahan pada uji Pap sering terjadi karena ketidaksempurnaan
pengumpulan sediaan.
Tujuan uji Pap adalah

menemukan sel abnormal atau sel yang dapat

berkembang menjadi kanker termasuk infeksi HPV. Diagnostic sitologi adalah


kualitas suatu uji penapusan diukur dengan sensitivitas (kelompok wanita dengan uji
positif di antara yang sakit) dan spesivitas ( kelompok wanita dengan uji negatif di
antara yang tidak sakit). Pada umumnya, ketepatan diagnostic sitologi berkisar lebih
dari 90% jika dibandingkan dengan pemeriksaan histopatologi. Hal ini terjadi,
terutama pada lesi yang lebih berat, yaitu pada dysplasia keras/karsinoma in situ.
Kesalahan yang sering terjadi adalah sebagai berikut: sediaan apus terlalu
tipis, hanya mengandung sangat sedikit sel, sediaan apus sangan tebal dan tidak
dioleskan merata, sel bertumpuk sehingga menyulitkan pemeriksaan, sediaan apus
telah kering sebelum difiksasi, cairan fiksasi tidak memakai alkohol 95%.5
Petunjuk skrining: usia untuk mulai pemeriksaan uji Pap diambil setelah 2
tahun aktif dalam aktivitas seksual (18-20tahun), interval penapisan, wanita dengan
kelainan atau pernah mengalami hasil abnormal perlu evaluasi lebih sering, pada usia
70 tahun, tidak perlu diambil lagi dengan syarat hasilnya 2 kali negatif dalam 5 tahun
terakhir.5

Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat)


Pemeriksaan IVA adalah pemeriksaan skrining kanker serviks dengan cara
mengamati secara inspekulo serviks yang telah dipulas dengan asam asetat 3-5% dan
memperhatikan terdapatnya perubahan warna atau ada tidaknya plak putih. Dalam

waktu kurang dari 3 menit, hasilnya sudah dapat diketahui.5


Uji DNA-HPV
8

Telah dibuktikan bahwa lebih dari 90% kondiloma serviks, NIS, dan kanker
serviks mengandung DNA-HPV. Hubungannya dinilai kuat dan tiap tipe HPV
mempunya hubungan patologi yang berbeda. Tipe 6 dan 11 termasuk tipe HPV resiko
rendah, jarang ditemukan pada karsinoma invasif kecuali karsinoma verukosa.
Sementara tipe 16, 18, 31, dan 45 tergolong tipe HPV resiko tinggi.5

Tabel 1. Perbandingan IVA dengan Tes Penapisan.3


Jenis tes

Aman

Praktis

Terjangkau

Efektif

Available

IVA

Ya

Ya

Ya

Ya

Ya

Pap Smear

Ya

Tidak

Tidak

Ya

Tidak

Tabel 2. Tabel sensitifitas, spesifisitas berbagai metode skrining.3


Metode
IVA
Tes Pap

Sensitivitas(%)
79.2
57

Spesifisitas (%)
84.7
93

Pencegahan tersier
Ditujukan pada individu yang telah positif menderita kanker serviks. Penderita
yang menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau karena pengobatan perlu
direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk dan/atau fungsi organ yang cacat itu
supaya penderita dapat hidup dengan layak dan wajar di masyarakat. Rehabilitasi
yang dapat dilakukan untuk penderita kanker serviks yang baru menjalani operasi
contohnya seperti melakukan gerakan-gerakan untuk membantu mengembalikan
fungsi gerak dan untuk mengurangi pembengkakan, bagi penderita yang mengalami
alopesia (rambut gugur) akibat khemoterapi dan radioterapi bisa diatasi dengan
memakai wig untuk sementara karena umumnya rambut akan tumbuh kembali.
Program IVA di Puskesmas : Early Diagnosis dan Prompt Treatment
Deteksi dini kanker leher rahim meliputi program skrining yang terorganisasi dengan
sasaran perempuan kelompok usia tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada
tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia
produktif. Skrining dan pengobatan lesi displasia (atau disebut juga lesi prakanker)
9

memerlukan biaya yang lebih murah bila dibanding pengobatan dan penatalaksanaan kanker
leher rahim. Beberapa hal penting yang perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini
kanker, supaya skrining yang dilaksanakan terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat
sasaran dan efektif, terutama berkaitan dengan sumber daya yang terbatas.3
Sasaran yang akan menjalani skrining:
Perempuan berusia 30-50 tahun, yang belum pernah menjalani tes Pap sebelumnya,

atau pernah menjalani tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih


Perempuan yang menjadi klien pada klinik dengan discharge vagina yang abnormal
atau nyeri abdomen bawah (bahkan jika di luar kelompok usia), perdarahan
abnormal pervaginam, perdarahan pasca sanggama, perdarahan pasca menopause

atau mengalami tanda dan gejala abnormal lainnya


Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya
Perempuan yang ditemukan ketidak normalan pada leher rahimnya.
Perempuan yang tidak hamil (walaupun bukan suatu hal yang rutin, perempuan
yang sedang hamil dapat menjalani penapisan dengan aman, tetapi tidak boleh
menjalani pengobatan dengan krioterapi) oleh karena itu IVA tidak dimasukkan

pelayanan klinik antenatal,


Perempuan yang mendatangi puskesmas, klinik KB yang secara khusus menangani
penapisan kanker leher rahim.3,6

Ketua Yayasan Kanker Indonesia Provinsi DKI Jakarta melihat kanker serviks
merupakan salah satu masalah kesehatan perempuan yang perlu menjadi perhatian utama
sebagai bentuk perlindungan bagi perempuan di Iindonesia. Program ini merupakan langkah
positif menyadarkan kaum perempuan bahwa pencegahan lebih baik dari pada mengobati.
Dengan target pencapaian 1.4 juta perempuan di DKI Jakarta diperiksa untuk mendeteksi dini
kanker serviks ditahun 2017.7
Periode pemeriksaan IVA secara gratis dimulai dari bulan Mei sampai Juni 2013
dengan waktu pelayanan pukul 08.00 sampai 12.00 di 286 puskesmas se DKI Jakarta.
Dimana sebelumnya pada tahun 2007 sampai 2012 terdapat 53.815 perempuan yang telah
diperiksa dengan melibatkan kader dan anggota PKK serta PPKS Yayasan Kanker Indonesia
DKI Jakarta.7
Pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
Mengkaji masalah penanggulangan kanker leher rahim yang ada di Indonesia dan
adanya pilihan metode yang mudah diujikan di berbagai negara, metode IVA layak dipilih
sebagai metode skrining alternatif untuk kanker leher rahim karena sesuai untuk pusat
10

pelayanan sederhana. IVA adalah pemeriksaan skrining kanker serviks dengan cara inspeksi
visual pada serviks dengan aplikasi asam asetat. Syarat IVA test: sudah pernah melakukan
hubungan seksual, tidak sedang datang bulan/haid, tidak sedang hamil, 24 jam sebelumnya tidak
melakukan hubungan seksual.
Kelebihan metode skrining IVA: (1) Mudah, praktis dan sangat mampu laksana, (2)
Butuh bahan dan alat yang sederhana dan murah, (3) Sensivitas dan spesifisitas cukup tinggi,
(4) Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh
bidan disetiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu atau dilakukan oleh semua tenaga medis
terlatih, (5) Alat-alat yang dibutuhkan dan teknik pemeriksaan sangat sederhana.
Teknik Skrining dengan Metode IVA
Untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat
sebagai berikut: Ruangan tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi,
meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi, terdapat
sumber kanker haya untuk melihat leher rahim, spekulum vagina, asam asetat (3-5%), swablidi berkapas, sarung tangan. Tes IVA dilakukan dengan langkah sebagai berikut:3
1. Inspeksi/pengamatan genitalia eksterna dan lihat apakah terjadi discharge pada
mulut uretra. Palpasi kelenjar Bartholini. Jangan menyentuh klitoris akan
menimbulkan rasa tidak nyaman pada ibu. Katakan pada ibu/klien bahwa
spekulum akan dimasukkan dan mungkin ibu akan merasakan beberapa
tekanan.
2. Dengan hati-hati masukkan masukkan spekulum sepenuhnya atau sampai
terasa ada tahanan

lalu secara perlahan buka bilah/cocor untuk melihat

serviks. Atur spekulum sehingga spekulum sehingga seluruh leher rahim dapat
terlihat. Hal tersebut mungkin sulit pada kasus dimana serviks berukuran besar
atau sangat anterior atau posterior. Mungkin perlu menggunakan spatula atau
lain untuk mendorong leher rahim dengan hati-hati ke atas atau ke bawah agar
dapat terlihat
3. Bila serviks dapat terlihat seluruhnya, kunci cocor spekulum dalam posisi
terbuka sehingga tetap berada di tempatnya saat melihat serviks. Dengan cara
ini petugas memiliki satu tangan yang bebas bergerak.
4. Jika sedang memakai sarung tangan lapis pertama/luar, celupkan tangan
tersebut ke dalam larutan klorin 0,5% lalu lepaskan sarung tangan tersebut
dengan membalik sisi dalam keluar. Jika sarung tangan bedah akan digunakan
11

kembali, sterilkan dengan merendam ke dalam larutan klorin 0,5% selama 10


menit. Jika ingin membuang, buang sarung tangan ke dalam wadah anti bocor
atau kantung plastik.
5. Pindahkan sumber cahaya agar serviks dapat terlihat jelas
6. Amati serviks apakah ada infeksi seperti discharge, ektropion, kista Nabothi
7. Gunakan kapas lidi bersih untuk membersihkan cairan yang keluar, darah atau
mukosa dari serviks. Buang kapas lidi ke dalam wadah anti bocor atau
kantung plastik
8. Identifikasi ostium servikalis
9. Basahi kapas lidi dengan larutan asam asetat dan oleskan pada serviks. Bila
perlu, gunakan kapas lidi bersih untuk mengulang pengolesan asam asetat
sampai seluruh permukaan servkis benar-benar telah teroles asam asetat
sesampai seluruh permukaan serviks benar-benar telah teroles asam asetat
secara merata. Buang kapas lidi yang telah dipakai ke tempat sampah kering
10. Setelah serviks dioleskan larutan asam asetat, tunggu selama 1 menit agar
diserap dan memunculkan reaksi acetowhite.
11. Lihat apakah serviks mudah berdarah. Cari apakah ada bercak putih yang tebal
atau epitel acetowhite yang menandakan IVA positif.
12. Bila perlu, oleskan kembali asam asetat atau usap serviks dengan kapas lidi
bersih untuk menghilangkan mukosa, darah, atau debris yang terjadi saat
pemeriksaan dan mungkin menggangu pandangan. Buang kapas lidi yang
telah dipakai.
13. Bila pemeriksaan visual pada serviks telah selesai, gunakan kapas lidi yang
baru untuk menghilangkan sisa asam asetat dari serviks dan vagina. Buang
kapas sehabis dipakai pada tempatnya.
14. Lepaskan spekulum secara halus. Jika hasil tes IVA negatif, letakkan spekulum
ke dalam larutan klorin 0,5% selama 10 menit untuk dekontaminasi. Jika hasil
tes IVA positif dan setelah konseling pasien menginginkan pengobatan segera,
letakkan spekulum pada nampan atau wadah agar dapat digunakan pada saat
krioterapi.
15. Lakukan pemeriksaan bimanual dan rektovaginal (bila diindikasikan). Periksa
kelembutan gerakan serviks; ukuran, bentuk, posisi rahim; kehamilan atau
abnormalitas dan pembesaran uterus.
Tabel 3. Kategori Klasifikasi IVA.3
Klasifikasi IVA

Kriteria Klinis

Tes negative

Halus, berwarna merah muda, seragam, tidak berfitur, ektropion,


12

servisitis, ovula Nabothi, dan lesi acetowhite tidak signifikan


Tes positif

Bercak putih (acetowhite epithelium sangat jelas terlihat dengan


batas tegas dan meninggi, tidak mengkilap yang terhubung atau
meluas SSK (squamouscolumnar junction)

Dicurigai kanker

Pertumbuhan massa seperti kembang kol yang mudah berdarah atau


luka bernanah/ulcer

Tes skrining
Skrining mengandalkan tes, tidak hanya satu tes, tetapi sederetan tes, oleh karena itu,
kegiatan skrining hanya akan efektif, bila tes dan pemeriksaan yang digunakan juga efektif.
Dengan demikian, setiap tes skrining memerlukan validitas dan reabilitas yang kuat.8
Validitas tes skrining adalah kemampuan tes skrining tersebut dalam mengukur
sesuatu yang seharusnya diukur. Validitas tes skrining dapat dinilai dengan sensitivitas,
spesifisitas, nilai prediksi positif, nilai prediksi negatif, dan akurasi.
Realibilitas suatu indikator tingkat, seberapa jauh pengukuran dapat direplikasi,
artinya apakah hasilnya selalu sama, jika pengukuran oleh siapa pun, kapan pun dan dalam
lingkungan yang berbeda sekalipun. Reliabilitas berhubungan dengan kesalahan acak yang
terjadi dalam segala bentuk pengukuran. Pengukuran yang semakin reliable, kesalahan acak
yang terjadi semakin kecil. Reliabilitas adalah sangat mendasar bagi setiap keperluan
pengukuran mutu layanan kesehatan, karena jika pengukuran tidak reliable, hasil pengukuran
menjadi tidak bermanfaat. Namun, demikian, banyak pengukurn mutu layanan kesehatan
tidak di ujicoba reliabilitasnya dengan tepat. 7
Validitas suatu uji dapat dipengaruhi oleh keterbatasan uji dan sifat individu yang
diuji. Status penyakit, keparahan, tingkat dan jumlah pajanan, kesehatan gizi, kebugaran fisik,
dan faktor lain yang mempengaruhi status kesehatan individu juga dapat mempengaruhi dan
berdampak pada respons dan temuan tes.
Sensitivitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar mereka
yang terkena penyakit - presentase mereka yang terkena penyakit dan terbukti terkena
penyakit seperti yang diperhatikan melalui uji. Sensitivitas memperlihatkan proporsi orang

13

yang benar-benar sakit dalam suatu populasi yang menjalani skrining dan teridentifikasi
secara tepat terkena penyakit melalui tes skrining.8
sensitivitas=

positif benar
positif benar
=
X 100
positif benar +negatif palsu semua orang berpenyakit

Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar


presentase mereka yang tidak terkena penyakit - orang yang tidak terkena penyakit dan
terbukti tidak terkena penyakit seperti yang ditujukkan melalui suatu uji. Spesifisitas
menunjukkan proporsi orang yang tidak terkena penyakit dalam populasi yang menjalani
skrining dan mereka yang diidentifikasi dengan benar sebagai orang yang tidak terkena
penyakit melalui uji skrining.8
spesifisitas=

negatif benar
negatif benar
=
X 100
negatif benar + positif palsu semua orang berpenyakit

Sensitivitas dan spesifisitas bukan nilai yang mutlak, setiap uji perorangan akan
menghasilkan respons yang berbeda. Sensitivitas dan spesifisitas terbentuk untuk setiap tes
melalui penggunaan tes yang berulang kali dalam satu rentang waktu. Penggunaan tes dalam
jangka panjang dapat menetapkan reliabilitas, validitas dan mengungkap kelemahan tes
tersebut.
Ahli epidemiologi harus mengetahui seberapa baik tes dapat berfungsi dan apakah tes
itu cukup efektif untuk menskrining orang yang sakit dari orang yang sehat dalam populasi
umum. Ahli epidemiologi juga ingin mengetahui kemampuan uji untuk mengetahui positif
palsu (false positives) dan negatif palsu (false negatives). Bagaimana uji sensitifitas tersebut?
Hasil tes skrining dapat dibandingkan dengan diagnosis yang dibuat oleh dokter, yang akan
membantu menetapkan validitas, sensitivitas dan spesifisitas uji sekaligus membantu
standarisasi tes tersebut.
Disebut positif palsu jika tes skrining memperlihatkan bahwa individu terkena
penyakit, tetapi sebenernya dia tidak terkena penyakit. Tes itu keliru dalam mengidikasikan
bahwa seseorang terkena penyakit sementara pada kenyataanya dia sehat dan tidak
berpenyakit. Hasil tes telah keliru mengatakannya terkena penyakit, mencap orang yang sehat
terkena penyakit.
14

% positif palsu= % orang tanpa penyakit yang saat uji keliru dinyatakan terkena penyakit
PP
X 100
PP+ NB
Negatif palsu adalah kebalikan dari positif palsu. Negatif palsu adalah ketika uji
skrining mengindikasikan bahwa seseorang tidak terkena penyakit, tetapi pada kenyataanya
orang itu terkena penyakit. Tes telah keliru dalam mengindikasikan bahwa seseorang sehat
sementara dia sakit atau terkena penyakit. Tes telah keliru mengatakan tidak terkena penyakit,
mencap orang yang sakit sebagai orang yang sehat.
% negatif palsu= % orang dengan penyakit yang tidak terdeteksi uji
NP
X 100
NP+ PB
Standarisasi uji adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu tes
telah digunakan selama waktu yang lama, sudah banyak digunakan, batasan nilainya sudah
pasti, dan tes itu memiliki bukti catatan pemakaian yang ditunjukan dalam data normatif.
Program skrinning harus menggunakan uji terstandarisasikan karena penting untuk
melakukan uji yang memiliki prediktabilitas, relibialitas validitas yang tinggi, dan fungsi
jangka panjang. Ini biasanya berarti bahwa tes telah diperbaiki dan di uji-ulangkan untuk
membuatnya selektif dan seakurat mungkin.
Nilai prediktif suatu tes
Nilai prediktif tes skrining merupakan aspek terpenting suatu uji. Kemampuan suatu
uji untuk memprediksi ada atau tidaknya penyakit merupakan penentu kelayakan suatu tes.
Semakin tinggi angka prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin tinggi pengaruh
sensitivitas dan spesifisitas uji tersebut terhadap nilai prediktifnya. Semakin tinggi angka
prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin besar kemungkinan terjadinya positif
benar. Semakin sensitif suatu uji, semakin tinggi nilai prediktif dan semakin rendah jumlah
positif palsu dan negatif palsu yang dihasilkan uji tersebut, yang juga menentukan nilai
prediktifnya. Ketika melakukan sebuah uji negatif, nilai prediktif adalah presentasi orang
yang tidak sakit diantara partisipan yang memiliki hasil uji negatif.5

15

Nilai prediktif uji positif adalah presentase positif benar diantara individu yang hasil
ujinya positif. Nilai prediktif dari uji negatif adalah presentase orang yang tidak sakit diantara
mereka yang hasil ujinya negatif. Suatu penyakit harus mencapai tingkat 15% sampai 20%
dalam popilasi sebelum nilai prediktif yang berguna tercapai. Informasi prevalensi digunakan
untuk menghitung dan membagi kelompok studi menjadi mereka yang terkena penyakit dan
mereka yang tidak terkena penyakit.5
Rumus nilai prediktif uji positif
nilai prediktif uji positif =

positif benar
X 100 =
positif benar + positif palsu

Rumus nilai prediktif uji negatif


nilai prediktif uji negatif =

negatif benar
X 100 =
negatif benar+ positif palsu

Pembahasan Kasus
Pada skrining Ca Serviks di Puskesmas Warnasari pada kelompok wanita lokalisasi
tuna susila dengan menggunakan tes IVA. Dari 500 orang yang diperiksa, didapatkan 30
orang terdeteksi positif tes IVA. Setelah diperiksa lebih lanjut dari yang positif tes IVA 6
orang positif terkena Ca Serviks dan dari orang yang negative tes IVA, 3 orang positif terkena
Ca Serviks.

Tabel 4. Data tentang Ca serviks di Puskesmas Warnasari


(+) Ca Serviks

(-) Ca Serviks

Total

IVA (+)

6 (a)

24 (b)

30

IVA (-)

3 (c)

67 (d)

70

Total

91

100

sensitivitas=

a
6
=
x 100 =66.7
a+c 6+3

16

Tes skrining Ca Serviks dengan IVA dapat mendeteksi benar orang Ca Serviks
sebanyak 66,7% dari seluruh orang yang terkena Ca Serviks. Artinya, ada 33,3% positif
palsu.
spesifitas=

d
67
=
x 100 =95.1
b+ d 24 +67

Tes skrining Ca Serviks dengan IVA dapat mendeteksi benar orang sehat tanpa Ca
Serviks sebanyak 95.1% dari seluruh orang sehat. Artinya, ada 4.9% negative palsu.
nilai prediktif uji positif =

a
6
=
x 100 =20
a+b 6+ 24

Artinya, kemungkinan orang dengan IVA positif hanya 20% dari populasi yang terkena
Ca Serviks.
nilai prediktif uji negatif =

d
67
=
x 100 = 99.4%
c+ d 67 +3

Artinya, kemungkinan orang dengan IVA negative 99.4% dari populasi tidak terkena
Ca Serviks.
Rujukan
Tabel 5. Daftar Rujukan 3
Temuan IVA

Tindakan Rujukan

Bila ibu dicurigai menderita kanker leher Segera rujuk ke RS Kab/Kota atau Provinsi
rahim

yang dapat memberikan pengobatan kanker


yang memadai.

Ibu dengan hasil tes positif yang lesinya Rujuk untuk penilaian dan pengobatan di
menutupi rahim lebih dari 75%, meluas ke fasilitas terdekat yang menawarkan LEEP
dinding vagina atau lebih luas 2 mm dari atau cone biopsy. Jika tidak mungkin atau
probe krioterapi

dianggap tidak akan pergi ke fasilitas lain,


beritahu

tentang

kemungkinan

besar

persistensi lesi dalam waktu 12 bulan dan

17

tentang perlunya pengobatan ulang.


Ibu dengan hasil tes positif yang memenuhi Beritahu tentang kelebihan dan kekurangan
kriteria untuk mendapat pengobatan segera semua metode pengobatan . Rujuk ke RS
tetapi meminta diobati dengan tindakan lain, Kab / Kota atau Provinsi terdekat yang
bukan dengan krioterapi

menawarkan pengobatan sesuai keinginan


klien

Ibu dengan hasil tes positif yang meminta tes Rujuk ke fasilitas tersier (RS Provinsi /
lebih lanjut (diagnosa tambahan), yang tidak Pusat) yang menawarkan klinik ginekologi
tersdia di puskesmas

(bila diindikasikan)

Ibu dengan hasil tes positif yang menolak Beritahu tentang kemungkinan pertumbuhan
menjalani pengobatan

penyakit dan prognosisnya. Anjurkan untuk


datang

kembali

setelah

setahun

untuk

menjalani tes IVA kembali untuk menilai


status lesinya.

Promosi Kesehatan
Dalam promosi kesehatan, tidak ada satu pun tujuan dan pendekatan atau serangkaian
kegiatan yang benar. Hal terpenting adalah bahwa kita harus mempertimbangkan tujuan dan
kegiatan yang kita miliki, sesuai dengan nilai-nilai dan penilaian kita terhadap kebutuhan
klien. Hal ini berarti bahwa nilai kita sebagai seorang promotor kesehatan dan kebutuhan
klien di sisi lain harus berada dalam suatu keadaan persepi agar tujuan dan kegiatan yang
dilakukan dapat berfungsi optimal.9
Menurut Ewles dan Simnett (1994), terdapat kerangka lima pendekatan yang
menunjukkan nilai-nilai yang dianut, meliputi: pendekatan medik, perubahan perilaku,
pendidikan, pendekatan berpusat pada klien, dan perubahan sosial.
1. Pendekatan medik
Tujuan pendekatan medik adalah membebaskan dari penyakit dan kecacatan
yang didefinisikan secara medik, seperti penyakit infeksi, kanker, dan penyakit
jantung. Pendekatan in melibatkan intervensi kedokteran untuk mencegah dan
meringankan kesakitan, mungkin dengan menggunakan metode persuasif atau
18

paternalistik (misal memberi tahu orangtua agar membawa anak mereka untuk
imunisasi, wanita untuk memanfaatkan KB). Pendekatan ini memberikan arti penting
terhadap tindakan pencegahan medik, dan merupakan tanggung jawab profesi
kedokteran membuat kepastian bahwa pasien patuh pada prosedur yang dianjurkan.
2. Pendekatan perubahan perilaku
Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan
lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan
sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong dan kekuatan
penahan. Pendekatan perubahan perilaku bertujuan mengubah sikap dan perilaku
individual masyarakat sehingga mereka mengadopsi gaya hidup sehat.
Orang-orang yang menggunakan pendekatan ini akan merasa yakin bahwa
gaya hidup sehat merupakan hal paling baik bagi klien, dan akan melihatnya sebagai
tanggung jawab mereka untuk mendorong sebanyak mungkin orang guna mengadopsi
gaya hidup sehat yang mereka anjurkan. Contoh pengunaan pendekatan perilaku
antara lain: mengajari orang bagaimana menghentikan merokok, pendidikan tentang
minum alkohol, mendorong orang melakukan kegiatan olahraga.
3. Pendekatan pendidikan
Bertujuan untuk memberikan informasi dan memastikan pengetahuan dan
pemahaman tentang perilaku kesehatan, dan membuat keputusan yang ditetapkan atas
dasar informasi yang ada. Misalnya program pendidikan kesehatan sekolah yang
menekankan upaya membantu murid mempelajari keterampilan hidup sehat, tidak
hanya memperoleh pengetahuan saja.
4. Pendekatan berpusat pada klien
Tujuan pendekatan adalah bekerja dengan klien agar dapat membantu mereka
mengidentifikasi apa yang ingin mereka ketahui dan lakukan, dan membuat keputusan
dan pilihan mereka sendiri sesuai kepentingan dan nilai mereka. Promotor berperan
sebagai fasilitator, membantu individu mengidentifikasi kepedulian-kepedulian
mereka dan memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan

19

supaya memungkinkan terjadi perubahan. Klien dihargai sebagai individu yang punya
keterampilan, kemampuan kontribusi.
5. Perubahan sosial
Tujuan pendekatan ini adalah melakukan perubahan-perubahan pada
lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi dalam upaya membuatnya lebih mendukung
untuk keadaan sehat. Pendekatan ini pada prinsipnya mengubah masyarakat, bukan
perilaku setiap individu. Orang-orang yang menerapkan pendekatan ini memberikan
nilai penting bagi hak demokrasi mereka mengubah masyarakat, memiliki komitmen
pada penempatan kesehatan dalam agenda politik di berbagai tingkat.9
Kesimpulan
Tes skrining metode IVA sering digunakan sebagai metoda untuk melakukan
pemeriksaan skrining di PUSKESMAS karena dapat dilakukan dengan sumberdaya yang
terbatas, dan hasil yang cepat.
Skrining Ca Serviks dengan IVA memiliki sensitivitas 66.7% yang artinya dari 100%
sampel yang terkena Ca Serviks tes IVA positif pada 66.7%

sampel saja. Sedangkan

spesifitasnya adalah 95.1% yang artinya pada 100% sampel yang sehat tes IVA negative pada
95.1% sampel saja. Nilai prediktif uji positif adalah 20% yang artinya, IVA dapat mendeteksi
positif benar hanya pada 20% populasi yang terkena Ca Serviks. Sedangkan nilai prediktif uji
negatif adalah 99.4% yang artinya, IVA dapat mendeteksi negatif benar pada 99.4% orang
tanpa Ca Serviks.
Daftar Pustaka
1. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung Seto;
2011. H. 219-30.
2. Nursalam. Konsep dan penerapan metodologi penelitian. Ed. Ke-2. Jakarta: Salemba
Medika; 2011.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis pencegahan, deteksi dini
kanker leher rahim dan kanker payudara. Jakarta: DEPKES RI; 2007. H. 1-32.
4. Andrijino. Kanker Serviks Edisi kedua. Divisi Onkologi Departemen
Obstetri- Ginekologi FK UI. Jakarta. 2009.

20

5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Skrining kanker rahim dengan metode


inpeksi visual asam asetat (IVA). Jakarta: DEPKES RI; 2008. h. 3-6.
6. Rajab W. Buku ajar Epidemiologi untuk mahasiswa. Jakarta : EGC, 2009.h.155-8.
7. Sjamsuddin S. Pencegahan dan deteksi dini kanker serviks. Jakarta: EGC; 2010. h.
133.
8. Melianti M. Skining kanker serviks dengan metode inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA) test. Jakarta: Departmen Kesehatan Republik Indonesia; 2008.
9. Maulana HDJ. Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC; 2009. h. 43-6.

21

Anda mungkin juga menyukai