PENDAHULUAN
PATOFISIOLOGI
Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah
dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media
menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial
sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut
memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot
tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada
orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya
epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding
pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma. Berdasarkan
lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1. Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anakanak dan biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber
dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh
darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi.
Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada
daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah
ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya
terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan
menimbulkan perdarahan .
2. Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid
posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya.
Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien
dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis
posterior berasal dari dinding nasal lateral.
DIAGNOSIS
Anamnesis dan menentukan lokasi sumber perdarahan serta menemukan
penyebabnya harus segera dilakukan. Perdarahan dari bagian anterior kavum
nasi biasanya akibat mencungkil hidung, epistaksis idiopatik, rinitis anterior dan
penyakit infeksi. Sedangkan dari bagian posterior atau media biasanya akibat
hipertensi, arteriosklerosis, fraktur atau tumor. Lakukan pengukuran tekanan
darah dan periksa faktor pembekuan darah. Disamping pemeriksaan rutin THT,
dilakukan pemeriksaan tambahan foto tengkorak kepala, hidung dan sinus
paranasal, bila perlu CT-scan.
PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk,
sedangkan kalau sudah terlalu lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di
belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok. Sumber
perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan
darah. Kemudian diberikan tampon kapas yang telah dibasahkan dengan
adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %. Kapas ini dimasukkan ke
dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa
sakit pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 5 menit.
Dengan cara ini dapat ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian
anterior atau posterior.
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan
jumlah dan kecepatan perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan
tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien dalam keadaan syok, kondisi
ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus
dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa
B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulitdiatasi, sebab biasanya perdarahan
hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis
posterior dapat diatasi dengan menggunakan tampon posterior, bolloon
tamponade , ligasi arteri dan embolisasi.
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau
setidaknya dengan anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat
menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk menghindari mengalirnya
darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior.
Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan
tampon yang diikat dengan tiga pita (band). Masukkan kateter karet kecil
melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang dengan cunam
dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah
disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon
tertarik ke dalam koana melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan
tampon kedalam nasofaring akan mempermudah tindakan ini. Apabila masih
tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan
tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares
anterior kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa didepan lubang
hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Pita yang
terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2 3 hari.
2. Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
pemasangan tampon posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam
mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis tampon balon, yaitu: kateter
Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari
hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi
topikal yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12-16 F diletakkan
disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon
diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior
sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat
pada palatum mole atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan
pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter difiksasi dengan
mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon
balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon
posterior