Anda di halaman 1dari 33

Laporan Kasus

Penatalaksanaan Preeklampsia Berat

Disusun Oleh:
Bayu Fajar Pratama
Dwi Devina Putri
Elvicha Nurman Savitri
Fakhrur Rozi
Khairiati
Levina Mutia
Lisa Giovany
M. Ogi Yuhamzi
Nadya Yulisa
Novita Sari
Ummil Humairo
Yenni Lisnawati

Pembimbing:
dr. Zulmaeta, Sp.OG (K)
KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN ACHMAD
PEKANBARU
2015
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kesehatan ibu dan anak merupakan salah satu isu kesehatan yang
memerlukan perhatian khusus. Kesehatan serta angka kematian ibu dan janin
menjadi salah satu indikator keberhasilan pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Peningkatan kesehatan ibu dan penurunan angka kematian anak dimuat dalam
Millenium Development Goals (MDGs) yang disusun oleh Perserikatan Bangsa-

Bangsa (PBB) sehingga menjadi poin penting dalam pembangunan dan


perkembangan internasional.1,2
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012, angka kematian ibu di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 1991
hingga tahun 2007 yaitu dari 390 kasus per 100.000 kelahiran hidup menjadi 228
kasus per 100.000 kelahiran hidup. Namun angka tersebut kembali naik dari tahun
2007 hingga tahun 2012 yaitu dari 228 kasus per 100.000 kelahiran hidup menjadi
359 kasus per 100.000 kelahiran hidup.Angka tersebut masih sangat jauh dari
target MDGs (Millenium Development Goals) 2015 sebesar 102 kasus per
100.000 kelahiran hidup.3
Preeklampsia-eklampsia masih menjadi tiga penyebab utama penyebab
kematian ibu hamil, bersama dengan perdarahan dan infeksi. Menurut WHO pada
tahun 2004, preeklampsia-eklampsia menjadi penyebab dari sekitar 14% atau
50.000-75.000 kasus kematian ibu per tahun. Preeklampsia-eklampsia juga
bertanggung jawab terhadap 17,6% kasus kematian ibu di Amerika Serikat pada
tahun 2009. Berdasarkan data yang diambil dari seluruh rumah sakit di Indonesia
pada tahun 2005, preeklampsia-eklampsia berkontribusi terhadap 4,91% kasus
kematian ibu (8.397 dari 170.725 kasus).4
Uraian di atas menggambarkan angka kematian ibu yang cukup tinggi
akibat preeklampsia-eklampsia sehingga perlu dilakukan beberapa tindakan
khusus untuk deteksi dini, pencegahan, serta tatalaksana dan manajemen
preeklampsia-eklampsia, yang akhirnya dapat menurunkan angka kematian ibu
akibat

preeklampsia-eklampsia.5

Tingginya

angka

kematian

ibu

akibat

preeklampsia-eklampsia membuat penulis tertarik untuk membuat laporan kasus


tentang manajemen persalinan pada pasien preeklampsia berat.
1.2. Batasan masalah
Laporan kasus ini membahas tentang manajemen persalinan pada pasien
preeklampsia berat.
1.3. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
a. Memahami dan mampu mendiagnosis preeklampsia berat.
b. Memahami manajemen persalinan pada pasien preeklampsia berat.
c. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran,
khususnya di bidang ilmu obstetri dan ginekologi.

1.4. Metode penulisan


Penulisan laporan kasus ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang
mengacu pada beberapa literatur serta pembahasan kasus.

BAB II
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS
Nama
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Agama
Suku
Alamat
No MR

: Ny. SG
: 28 tahun
: SMP
: IRT
: Protestan
: Nias
: Jl. Tanah Putih no. 24 Pekanbaru
: 908697

ANAMNESIS
Pasien datang sendiri ke VK IGD pada tanggal 01 Desember 2015 pukul 05.00
WIB.
Keluhan Utama
Mules-mules ingin melahirkan
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh mules-mules sejak 12 jam SMRS, semakin sering dan kuat sejak
4 jam SMRS. Keluhan keluar air-air tidak ada. Keluhan keluar lendir darah (+).
Sebelumnya pasien sudah datang ke poli kandungan RSUD AA, dikatakan
kehamilan dengan tekanan darah tinggi dan disarankan untuk dirawat, namun
sehubungan dengan jaminan kesehatan yang belum selesai diurus, pasien menolak
untuk dirawat. Keluhan sakit kepala, mual muntah, pandangan kabur, dan nyeri
ulu hati tidak ada.

Pasien mengaku hamil cukup bulan, HPHT 2 Maret 2015, taksiran persalinan 9
Desember 2015, hamil 38-39 minggu. Pasien kontrol kehamilan di bidan
sebanyak 5 kali, USG tidak pernah. Gerakan janin dirasakan aktif sejak usia
kehamilan 5 bulan hingga sekarang.
Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak ada riwayat hipertensi, DM, asma, penyakit jantung, dan alergi
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat hipertensi, DM, asma, penyakit jantung, dan alergi
Riwayat Haid
Menarche saat usia 13 tahun, teratur, siklus 28 hari, lama haid 3 hari, ganti
pembalut 3-4 kali sehari, nyeri haid (-)
Riwayat Perkawinan
Menikah satu kali pada usia 28 tahun
Riwayat Obstetri

: G1P0A0H0

Riwayat Kontrasepsi
Tidak ada
Riwayat Sosial Ekonomi
Istri
: IRT
Suami : Wiraswasta
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Baik
Kesadaran
: Komposmentis
Tanda-tanda vital
: TD
: 180/100 mmHg
Nadi
: 84 kali/menit
Napas
: 18 kali/menit
Suhu
: 36,5 0C
TB 150 cm. BBSH: 61 kg BBSH: 74 kg IMT (27,1=overweight)
Kenaikan berat badan selama hamil 13 kg
(anjuran=7-11,5 kg. IMT: 32,89)
Status Generalis
Mata
: Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher
: JVP normal, pembesaran KGB tidak ada
Thoraks
: Paru
: suara napas vesikuler, wheezing (-), ronkhi (-)
Jantung
: BJ I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen
: Membuncit sesuai dengan usia kehamilan, BU (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat, edema +/+, CRT < 2 detik, refleks patella (+/+)

Status Obstetrikus
Leopold I
: TFU 3 jari dibawah processus xyphoideus (31 cm)
Leopold II
: Bagian terbesar janin sebelah kanan ibu (puka)
Leopold III : Presentasi kepala
Leopold IV : Sudah masuk PAP 4/5
TBJ : 2945 gram, DJJ : 148 dpm, His : 3x dalam 10 menit, teratur, dengan durasi
30 detik
I
: v/u tenang
VT
: portio tipis, aksial, pembukaan 4 cm, ketuban (+), kepala Hodge I-II,
lain-lain sulit dinilai
Pelvimetri klinis
Promontorium dan linea innominata sulit dinilai
Os sacrum cekung
Spina ischiadika tumpul, distansia interspinorum 12 cm
Os koksigeus dapat digerakkan
Arkus pubis > 90o
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
DPL 11,1/ 34,3/ 14.900/ 209.000// 82,6/ 29,1/ 36,7
Protein Urin (dipstick/bakar) : ++ (positif 2)
DIAGNOSIS
G1 hamil 38-39 minggu, inpartu, kala I fase aktif dengan PEB, janin tunggal
hidup intrauterin presentasi kepala
TATALAKSANAAN
1. Hemodinamik Ibu dan Janin stabil
Observasi KU, TTV, DJJ, His tiap 30 menit
Observasi tanda perburukan PEB dan tanda fetal distress
2. Manajemen PEB
Antikonvulsan

: MgSO4 40% 1 flash 25cc dalam RL 500 mg


loading 4 gr, guyur dalam 15 menit, maintenance

2 gr / jam sampai 24 jam post partum


Antihipertensi
: nifedipine tab 10 mg 3 x 1 p.o
3. Rencana persalinan : ikuti kemajuan persalinan, nilai ulang per 2 jam
4. CTG kategori I: akselerasi dengan oksitosin 5 IU dalam 500 cc RL, mulai
5 tpm dinaikkan 5 tpm tiap 30 menit sampai his adekuat, maksimal 40 tpm
CTG kategori II dan III: SC cito
Tanggal
01 Desember
2015

Jam
07.00

Laporan Proses Persalinan


S: Gerakan janin (+) sakit kepala (-) nyeri
pinggang (+) pandangan kabur (-) mual

muntah (-), nyeri ulu hati (-)


O: KU: baik, Kesadaran: CM
TD: 170/90 mmHg
Nadi: 114x/menit
RR: 23x/menit
T: 36,3 derajat celcius
Status Generalis : dalam batas normal
Status Obstetrikus: DJJ 145 dpm, His 3x
dalam 10 menit, durasi 35 detik
I : v/u tenang
VT : portio tipis, aksial, pembukaan 5 cm,
ketuban (+), kepala Hodge I-II, lain-lain
sulit dinilai
A: G1 hamil 38-39 minggu inpartu kala I
fase aktif dengan PEB, janin tunggal hidup
intrauterin presentasi kepala
P \: hemodinamik ibu dan janin stabil
(observasi KU, TTV, Kontraksi, DJJ tiap
30 menit)
Observasi tanda-tanda impending
eclampsia dan fetal distress
Manajemen PEB: kontrol tekanan darah
Nifedipine 10 mg / 8 jam
MgSO4 40 % maintenance 2 gr / jam
Bantu kala II dengan ekstraksi vakum
Akselerasi dengan drip oksitosin 5 IU,

07.15

titrasi sesuai protap


Nilai kemajuan persalinan jam 09.00 WIB
Rencana amniotomi
Diskusi dengan dr. Syukri Delam, Sp.OG
Advice: pecahkan ketuban, akselerasi
dengan oksitosin jika CTG kategori I,

08.00
09.00

bantu kala II dengan vakum


Ketuban sudah dipecahkan sesuai instruksi
dr. Syukri Delam, Sp.OG
S: Mules-mules ingin meneran
O: HIS 4 kali dalam 10 menit, durasi 35
detik, DJJ: 140 dpm
VT: porsio tipis, aksial, pembukaan 6 cm,
ketuban (-) sisa jernih, kepala hodge I-II
A: G1 hamil 38-39 minggu inpartu fase

aktif kala I dengan PEB, janin tunggal


hidup intrauterin presentasi kepala
P: Observasi KU, TTV, his, DJJ tiap 30
menit
Ikuti kemajuan persalinan, nilai ulang

11.00

dalam 2 jam (pukul 11.00 WIB)


Drip oksitosin 40 tpm dipertahankan
S: Mules-mules ingin meneran
O: HIS 4 kali dalam 10 menit, durasi 35
detik, DJJ: 155 dpm
VT: porsio tipis, aksial, pembukaan 8 cm,
ketuban (-) sisa jernih, kepala hodge II-III
A: G1 hamil 38-39 minggu inpartu fase
aktif kala I dengan PEB, janin tunggal
hidup intrauterin presentasi kepala
P: Observasi KU, TTV, his, DJJ tiap 30
menit
Ikuti kemajuan persalinan, nilai ulang

11.50

dalam 2 jam
Drip oksitosin 40 tpm dipertahankan
S: Mules-mules ingin meneran
O: KU: baik, Kesadaran: CM
TD: 150/100 mmHg
Nadi: 94x/menit, RR: 21x/menit
T: 36,5 derajat celcius
Status Generalis : dalam batas normal
Status Obstetrikus: DJJ 142 dpm, His 4
kali dalam 10 menit, durasi 45 detik
I : vulva membuka, perineum menonjol
VT : pembukaan lengkap, ketuban (-) sisa
jernih, kepala hodge III-IV, UUK anterior
A: G1 hamil 38-39 minggu inpartu kala II
dengan PEB, janin tunggal hidup
intrauterin presentasi kepala
P : hemodinamik ibu dan janin stabil

Laporan ekstraksi vakum

( observasi his, DJJ tiap 5 menit)


Bantu kala II dengan ekstraksi vakum
Pasien dalam posisi litotomi
Aseptik dan antiseptik daerah
genitalia eksterna dan sekitarnya

Kandung kemih dikosongkan


Dilakukan periksa dalam ulang,
pembukaan lengkap, ketuban (-),

kepala hodge III-IV, UUK depan


Dipasang mangkok silikon antara
sutura sagitalis sedekat mungkin

dengan UUK
Setelah diyakini tidak ada jaringan
yang terjepit, dibuat tekanan negatif
0,7 kg/cm2 dan dipertahankan
selama 2 menit. Dilakukan

episiotomi primer.
Kembali diyakini tidak ada jaringan
yang terjepit, dilakukan traksi
definitif bersamaan dengan his.
Perineum meregang. Tampak
kepala bayi lahir, tekanan

diturunkan, mangkok dilepas


Hidung dan mulut dibersihkan

dengan kassa
Dengan pegangan biparietal,
tarikan ke belakang dan ke depan
dilahirkan bahu depan dan
belakang, kemudian seluruh lengan.
Dengan pegangan samping badan,
lahirkan trochanter depan dan
belakang, kemudian seluruh
tungkai.

12.00

Lahir bayi laki-laki BB: 3320 gram PB: 40


cm A/S: 7/8
D/ : P1A0H1 post ekstraksi vakum a/i bantu
kala II pada PEB
Penatalaksanaan: Lahirkan plasenta serta
observasi keadaan ibu

Urutan Kala III

Pastikan

tidak

ada

janin

kedua.

Beritahu ibu bahwa dia akan disuntik di


bagian paha.

Suntikkan oksitosin 10 unit IM dipaha


ibu.

Tali pusat yang diklem 5 cm dari vulva


sembari tangan kiri diletakkan di atas
perut ibu (corpus uteri), penekanan arah
dorso kranial. Lakukan peregangan tali
pusat terkendali. Setelah ada tanda
lepasnya plasenta kemudian dengan
tetap dilakukan peregangan tali pusat
suruh ibu meneran dan setelah plasenta
tampak di introitus vagina maka dengan
kedua tangan memegang plasenta dan
lakukan putaran searah jarum jam
dengan

lembut

hingga

terlahir

seluruhnya.

Setelah itu kemudian dilakukan


pemeriksaan keutuhan dari plasenta.

12.10

Plasenta dan selaput ketuban lengkap


Plasenta lahir lengkap dalam waktu 10
menit, perdarahan pervaginam 150 ml,
lakukan masase fundus uterus kontraksi
uterus (+),TFU setinggi pusat, terdapat
ruptur

perineum

grade

II,

dilakukan

perineorafi
Diagnosis : P1A0H1 post ekstraksi vakum
a/i bantu kala II pada PEB, post perineorafi
Penatalaksanaan:
IVFD RL + drip oxytocin 5 IU.

Observasi kala IV

Jam
Ke
1

Waktu

Tekanan

Nadi

RR

Suhu

TFU

Kontraksi

12.25
12.40
12.55
13.10
13.40
14.10

Darah
150/100
150/100
150/100
150/90
150/90
140/90

86
88
82
86
84
88

20
18
18
20
20
18

36,4

Setinggi pusat
Setinggi pusat
2 jari dibawah pusat
2 jari dibawah pusat
2 jari dibawah pusat
2 jari dibawah pusat

Uterus
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik
Baik

36.6

Diuresis
200 cc
200 cc
200 cc
200 cc
200 cc
200 cc

Perdarahan
Minimal
Minimal
Minimal
Minimal
Minimal
Minimal

Follow up post partum


Tanggal
1-122015

Pasien tidak KU : baik, kes: P1A0H1

- Hemodinamik

ada keluhan, komposmentis,

post

stabil

ASI

ekstraksi

(observasi

(+), TD:140/90

TFU 2 jari mmHg,


dibawah

nadi: vacum

70x/menit,

terpasang
kateter,
warna
kuning

tanda-tanda

RR: PEB

pusat, BAK 18x/menit,


(+),

a/i

vital,

suhu:

37,5 0C

KU,

kontraksi dan
perdarahan)
- Infus RL +

Mata : konjungtiva

MgSO4

tidak

(maintenance

anemis,

sklera tidak ikterik

:
jernih, BAB Leher
terdapat
(+)

tidak

pembesaran KGB
dan

tiroid,

JVP

2gr/jam)
- Cegah infeksi
dengan
Ceftriaxon
1g/12jam
- Cegah

normal
Paru

hipertensi
:

gerakan

dinding

dada

simetris kanan dan


kiri,

40%

tidak

ada

bagian

yang

tertinggal,

vocal

dengan
Nifedipin
-

10mg, 3x1 tab


Atasi
nyeri
dengan
Natrium
diclofenac 50

fremitus
kanan

sama
dan

kiri,

sonor pada kedua


lapang

paru,

vesikuler

(+/+),

ronki

(-/-)

dan

wheezing (-/-)
Jantung

Iktus

kordis

tidak

terlihat,

iktus

kordis

tidak

teraba,

batas

jantung

dalam

batas

normal,

bunyi jantung 1
dan

reguler,

murmur (-), gallop


(-)
Abdomen : perut
datar, bising usus
(+) normal, TFU 2
jari

dibawah

pusat, timpani
Ekstremitas : akral
hangat,

CRT<2

detik, edema tidak


ada

mg, 2x1 tab

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1.

Preeklampsia
Preeklampsia

merupakan

sindrom

spesifik

kehamilan

berupa

berkurangnya perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai
dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria.6
Preeklampsia terjadi pada umur kehamilan diatas 20 minggu, paling
banyak terlihat pada umur kehamilan 37 minggu, tetapi dapat juga timbul kapan
saja pada pertengahan kehamilan. Preeklampsia dapat berkembang dari
preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat.6
2.

Insiden
Di Indonesia frekuensi kejadian preeklampsia sekitar 3-10% (Triatmojo,

2003). Sedangkan di Amerika Serikat dilaporkan bahwa kejadian preeklampsia


sebanyak 5% dari semua kehamilan (23,6 kasus per 1.000 kelahiran) (Dawn C
Jung, 2007). Pada primigravida frekuensi preeklampsia lebih tinggi bila
dibandingkan dengan multigravida, terutama primigravida muda. Sudinaya (2000)
mendapatkan angka kejadian preeklampsia dan eklampsia di RSU Tarakan
Kalimantan Timur sebesar 74 kasus (5,1%) dari 1.431 persalinan selama periode 1
Januari 2000 sampai 31 Desember 2000, dengan preeklampsia sebesar 61 kasus
(4,2%) dan eklampsia 13 kasus (0,9%). Di samping itu, preeklampsia juga

dipengaruhi oleh paritas. Surjadi dkk, mendapatkan angka kejadian dari 30 sampel
pasien preeklampsia di RSU Dr. Hasan Sadikin Bandung paling banyak terjadi
pada ibu dengan paritas 1-3 yaitu sebanyak 19 kasus dan juga paling banyak
terjadi pada usia kehamilan diatas 37 minggu yaitu sebanyak 18 kasus.
Peningkatan kejadian preeklampsia pada usia > 35 tahun mungkin disebabkan
karena adanya hipertensi kronik yang tidak terdiagnosis dengan superimposed
PIH .7,8,9
3.
Klasifikasi
Hipertensi dalam kehamilan dapat diklasifikasikan sebagai berikut :6
1. Hipertensi karena kehamilan dan sembuh setelah persalinan.
a.
Hipertensi tanpa proteinuria atau edema patologis.
b.
Preeklampsia dengan proteinuria dan atau edema patologik.
-

Preeklampsia berat.
Preeklampsia ringan.

c. Eklampsia yaitu proteinuria dan atau edema patologik disertai kejang.


2. Hipertensi yang sudah ada sebelumnya dan diperberat oleh kehamilan.
a.
Superimposed preeklampsia.
b.
Superimposed eklampsia.
3. Hipertensi bersamaan dengan kehamilan, yaitu hipertensi kronis yang
sudah ada sebelum kehamilan atau menetap setelah persalinan.
4.

Faktor Risiko Preeklampsia


Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab

terjadinya preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah


faktor yang mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut
meliputi :10,11
1) Riwayat preeklampsia. Seseorang yang mempunyai riwayat preeklampsia atau
riwayat keluarga dengan preeklampsia maka akan meningkatkan resiko
terjadinya preeklampsia.
2) Primigravida, karena pada primigravida pembentukan antibodi penghambat
(blocking antibodies) belum sempurna sehingga meningkatkan resiko
terjadinya preeklampsia. Perkembangan preklamsia semakin meningkat pada
umur kehamilan pertama dan kehamilan dengan umur yang ekstrim, seperti
terlalu muda atau terlalu tua.
3) Kegemukan

4) Kehamilan ganda. Preeklampsia lebih sering terjadi pada wanita yang


mempuyai bayi kembar atau lebih.
5) Riwayat penyakit tertentu. Wanita yang mempunyai riwayat penyakit tertentu
sebelumnya, memiliki risiko terjadinya preeklampsia. Penyakit tersebut
meliputi hipertensi kronik, diabetes, penyakit ginjal atau penyakit degeneratif
seperti reumatik arthritis atau lupus.
5.

Patofisiologi Preeklampsia
Penyebab preeklampsia sampai saat ini masih belum diketahui secara

pasti, sehingga penyakit ini disebut dengan The Diseases of Theories. Beberapa
teori yang berkaitan dengan terjadinya preeklampsia adalah:
a.
Teori Kelainan Vaskuler Plasenta12
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta menadapat aliran darah dari
cabang-cabang arteri uterine dan arteri ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut
menembus miometrium berupa artei arkuarta dan arteri arkuarta memberi cabang
arteri basalis member cabang arteri spinalis.
Pada hamil normal, dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblas
kedalam lapisan otot arteri spinalis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot
tersebut sehingga terjadi dilatasi arteri spinalis. Invasi trofoblas juga memasuki
jaringan sekitar arteri spinalis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spinalis ini member dampak penurunan tekanan darah,
penurunan resistensi vaskuler, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero
plasenta. Akibatnya, aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga
meningkat, sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini
dinamakan remodeling arteri spiralis.
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada
lapisan otot arteri spiralis dan jaringan matriks sekitarnya. Lapisan otot arteri
spiralis menjadi tetap kaku dank eras sehingga lumen arteri spiralis tidak
memungkinkan mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya, arteri spiralis
relative mengalami vasokontriksi, dan terjadi kegagalan remodeling arteri
spiralis, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan

iskemik plasenta. Dampak iskemik plasenta akan menimbulkan perubahanperubahan yang dapat menjelaskan pathogenesis HDK selanjutnya.
Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal adalah 500 mikron,
sedangkan pada preeklamsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi
lumen arteri spiralis dapat menimbulkan 10 kali aliran darahb ke utero plasenta.
b.

Teori Iskemia Plasenta, Radikal Bebas, dan Disfungsi Endotel.12


Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblas, pada hipertensi dalam

kehamilan terjadi kegagalan remodeling arteri spiralis dengan plasenta


mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidan (disebut juga radikal bebas). Oksidan atau radikal bebas
adalah senyawa penerima electron atau atom/molekul yang mempunyai electron
yang tidak berpasangan. Salah satu oksidan penting yang dihasilkan plasenta
iskemia adalah radikal hidroksil yang sangat toksi, khususnya terhadap membrane
sel endotel pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidan manusia adalah suatu
proses normal, karena oksidan memang dibutuhkan untuk perlingan tubuh.
Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan
toksin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut
toxaemia. Radikal hidroksil akan merusak membrane sel, yang mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroksida lemak. Peroksida lemak selain
akan merusak membrane sel, juga akan merusak nukleus, dan sel endotel.
Produksi oksidan dalam tubuh yang bersifat toksis, selalu di imbangi dengan
produksi antioksidan.

Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan


Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti bahwa kadar oksidan,

khususnya peroksida lemak meningkat, sedangkan antioksidan, misalnya vitamin


E pada hipertensi dalam kehamilan menurun, sehingga terjadi dominasi kadar
oksidan peroksida lemak yang relative tinggi. Peroksida lemak sebagai
oksidan/radikal bebas yang sangat toksis ini akan beredar diselurh tubuh dalam
aliran darah dan akan merusak membrane sel endotel. Membrane sel endotel lebih
mudah mengalami kerusakan oleh peroksida lemak, karena letaknya langsung
berhubungan dengan aliran darah dan mengandung banyak asam lemak tidak

jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap oksidan radikal hidroksil,
yang akan berubah menjadi peroksida lemak.

Difungsi sel endotel


Akibat sel endotel terpapar terhadap peroksida lemak, maka terjadi

kerusakan sel endotel, yang kerusakannya dimulai dari membrane sel endotel.
Kerusakan membrane sel endotel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel,
bahkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Keadaan ini disebut disfungsi
endotel (endothelial dysfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endotel yang
mengakibatkan disfunsgsi sel endotel maka akan terjadi:
-

Gangguan metabolism sel-sel metabolism prostaglandin darah endotel,


karena salah satu fungsi sel endotel, adalah memproduksi prostaglandin,

yaitu menurunnya produksi prostasiklin (PGE2): suatu vasodilator kuat.


Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan
Agregasi sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat lapisan
endotel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi
tromboksan (TXA2) suatu vasokontriksi kuat. Dalam keadaan normal
perbandingan

kadar

prostasikloin/tromboksan

lebih

tinggi

kadar

prostasiklin (lebih tinggi vasodilator). Pada preeklamsia kadar tromboksan


lebih tinggi dari kadar prostasiklin sehingga terjadi vasokontriksi, dengan
-

terjadi kenaikan tekanan darah.


Perubahan khas pada sel endotel

endotheliosis).
Peningkatan pemeabilitas kapiler.
Peningkatan produksi bahan-bahan vasopresor, yaitu endotelin. Kadar NO

c.

kapiler

glomerulus(glomerular

(vasodilator) menurun, sedangkan endotelin meningkat.


Peningkatan faktor koagulasi.
Teori inteloransi imunologik antara ibu dan janin12
Preeklampsia sering terjadi pada kehamilan pertama dan jarang timbul lagi

pada kehamilan berikutnya. Secara Imunologik dan diterangkan bahwa pada


kehamilan pertama pembentukan Blocking Antibodies terhadap antigen
plasenta

tidak

menguntungkan

sempurna,
terhadap

sehingga

timbul

Histikompatibilitas

respons
Plasenta.

imun
Pada

yang

tidak

kehamilan

berikutnya, pembentukan Blocking Antibodies akan lebih banyak akibat respos


imunitas pada kehamilan sebelumnya, seperti respons imunisasi. Dugaan bahwa

faktor imunologik berperan terhadap terjadinya hipertensi dalam kehamilan


terbukti fakta sebagi berikut;.
Primigravida mempunyai resiko lebih besar terjadinya hipertensi

dalam kehamilan jika dibandingkan dengan multigravida.


Ibu multipara yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko
besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan

dengan suami yang sebelumnya.


Seks oral mempunyai risiko lebih rendah terjadinya hipertensi
dalam kehamilan. Lamanya periode hubungan seks sampai saat
kehamilan ialan makin lama periode ini, maka kecil terjadinya

hipertensi dalam kehamilan.


Pada perempuan hamil normal, respons imun tidak menolak adanya hasil
konsepsi yang bersifat asing. Hal ini disebabkan adanya human leukocyte
antigen protein G (HLA-G), yang berperan penting dalam modulasi respon iimun,
sehingga si ibu tidak menolak hasil konsepsi (plasenta). Adanya HLA-G pada
plasenta dapat dilindungi trofoblas janin dari lisis oleh sel Natural Killer (NK)ibu.
Selain itu, adanya HLA-G akan mempermudah invasi trofoblas ke dalam
jaringan desidua ibu. Jadi HLA-G merupakan prakondisi untuk terjadinya invasi
trofoblas kedalam jaringan desidua ibu, di samping untuk menghadapi sel Natural
Killer. Pada plasenta hipertensi dalam kehamilan , terjadi penurunan ekspresi
HLA-G. berkurangnya invasi trofoblas sangat penting agar jaringan desidua
menjadi lunak, dan gembur sehingga memudahkan terjadinnya reaksi inflamasi.
Kemungkinan terjadi immune-Maladapaption pada peeklamsia.
Pada awal trimester kedua ke3hamilan perempuan yang mempunyai
kecenderungan terjadi preeklamsia, ternyata mempunyai proporsi Helper Sel yang
lebih rendah dibandingkan pada normmotensif.
d.
Teori adaptasi kardiovaskular12
Pada hamil normal pembuluh darah refrakter terhadap bahan-bahan
vasopresor. Refrakter, berarti pembuluh darah tidak pekas terhadap rangsangan
bahan vasopresor, atau dibutuhkan kadar vasopresor yang lebih tinggi untuk
menimbulkan respons vasokontriksi. Pada kehamilan normal terjadi refrakter
pembuluh darah terhadapn bahan vasopresor adalah akibat dilindungi oleh adanya
sintesis prostaglandin pada sel endotel pembuluh darah. Hal ini dibuktikan bahwa
data refrakter terhadap bahan vasopresos akan hilang bila diberi prostagkandin

sintesis

inhibitor

bahan

yang

menghambat

produksi

prostaglandin).

Prostaglandin ini kemudian hari ternyata adalah protasiklin.


Pada hipertensi dalam kehamilan kehilangan daya refrakter terhadap bahan
vasokontriktor, dan ternayta terjadi penimgkatan kepekaan terhadap bahan-bahan
vasopresor. Artinya, daya refrakter pembuluh darah terhadap bahan vasopresor
hilang hingga pembuluh darah menjadi sangat pekanterhadap bahan vasopresor.
Banyak penelitian telah membuktikan bahwa peningkatan kepekaan terhadap
bahan-bahan vasopresor pada hipertensi dalam kehamilan sudah terjadi pada
trisemester I (pertama). Peningkatan kepekaan pada kehamilan yang akan menjadi
hipertensi dalam kehamilan, sudah dapat ditemukan pada kehamilan dua puluh
minggu. Fakta ini dipakai sebagai prediksi akan terjadinya hipertensi dalam
kehamilan.
e.

Teori Genetik12

Ada faktor keturunan dan familial dengan model gen tunggal. Genotipe ibu
lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial jika
dibandingkan dengan genotipe janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang
mengalami preeklamsia, 26% anak perempuannya akan mengalami preeklamsia
pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklamsia.
f.

Teori Defisiensi Gizi (Teori diet)12

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan defisiensi gizi


berperan dalam terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian yang penting
yang pernah dilakukan di Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada
preeklamsia beberapa waktu sebelum pecahnnya Perang Dunia II. Suasana serba
sulit mendapat gizi yang cukup dalam persiapan perang menimbulkan kenaikan
insiden hipertensi dalam kehamilan. Penelitian terakhir membuktikan bahwa
konsumsi minyak ikan, termasuk minyak hati halibut, dapat mengurangi risiko
preeklamsia. Minyak ikan mengandung banyak asam lemak tidak jenuh yang
dapat menghambat produksi tromboksan, menghambat aktivasi trombosit, dan
mencegah vasokontriksi pembuluh darah.
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan uji klinik untuk memakai
konsumsi minyak ikan atau bahan yang mengandung asam lemak tak jenuh dalam
mencegah preeklamsia. Hasil sementara menunjukkan bahwa penelitian ini

berhasil baik dan mungkin dapat dipakai sebagai alternatif pemberian aspirin.
Beberapa

peneliti juga menganggap bahwa deffisiensi kalsium pada diet

perempuan hamil mengakibatkan resiko terjadinya preeklamsia/eklamsia.


g.

Teori stimulus inflamasi12

Teori berdasarkan fakta bahwa lepas debris trofoblas di dalam sirkulasi


darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan
normal plasenta juga melepaskan debris trofoblas, sebagai sisa-sisa proses
apoptosis dan nekrotik trofoblas, akibat reaksi stres oksidatif. Bahan-bahan ini
sebagai bahan asing yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada
kehamilan normal, jumlah debris trofoblas masih dalam batas wajar, sehingga
reaksi inflamasi juga dalam batas normal. Berbeda dengan proses apaptosis pada
preeklamsia, dimana pada preeklamsia terjadi peningkatan stress oksidatif,
sehingga produksi debris apoptosis dan nekrotik trofoblas juga menigkat. Makin
banyak sel trofoblas plasenta, misalnya pada plasenta besar, pada hamil ganda,
maka reaksi stress oksidatif akan sangat meningkat, sehingga jumlah sisa debris
trofoblas juga makin meningkat. Keadaan ini menimbulkan beban reaksi inflamasi
dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar, dibanding reaksi inflamasi pada
kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan mengaktifasi sel endotel, dan sel-sel
makrofag/granulosit, yang lebih besar pula sehingga terjadi reaksi sistemik
inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklamsia pada ibu.
Redman, menyatakan bahwa disfungsi endotel pada preeklamsia akibat
produksi debris trofoblas plasenta berlebihan tersebut di atas, mengakibatkan
aktifitas leukosit yang sangat tinggi pada sirkulasi ibu. Peristiwa ini oleh
Redman disebut sebagai kekacauan adaptasi dari proses inflamasi intavaskuler
pada kehamilan yang biasanya berlangsung normal dan menyeluruh.
Perubahan sistem dan organ pada preeklampsia:13
1) Perubahan kardiovaskuler
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada preeklampsia
dan eklamsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang secara
nyata dipengaruhi oleh berkurangnyasecara patologis hipervolemia kehamilan
atau yang secara iatrogenik ditingkatkan oleh larutan onkotik atau kristaloid

intravena,

dan

aktivasi

endotel

disertai

ekstravasasi

ke

dalam

ruangektravaskular terutama paru.


2) Metabolisme Air dan Elektrolit
Hemokonsentrasi yang menyerupai preeklampsia dan eklamsia tidak diketahui
penyebabnya. Jumlah air dan natrium dalam tubuh lebih banyak pada
penderita preeklampsia dan eklamsia daripada pada wanita hamil biasa atau
penderita dengan hipertensi kronik. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan dengan sempurna air dan garam yang diberikan. Hal ini
disebabkan oleh filtrasi glomerulus menurun, sedangkan penyerapan kembali
tubulus tidak berubah. Elektrolit, kristaloid, dan protein tidak menunjukkan
perubahan yang nyata pada preeklampsia. Konsentrasi kalium, natrium, dan
klorida dalam serum biasanya dalam batas normal.
3) Mata
Dapat dijumpai adanya edema retina dan spasme pembuluh darah. Selain itu
dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan oleh edema intra-okuler dan
merupakan salah satu indikasi untuk melakukan terminasi kehamilan. Gejala
lain yang menunjukan tanda preklamsia berat yang mengarah pada eklamsia
adalah adanya skotoma, diplopia, dan ambliopia. Hal ini disebabkan oleh
adanya perubahan preedaran darah dalam pusat penglihatan dikorteks serebri
atau didalam retina.
4) Otak
Pada penyakit yang belum berlanjut hanya ditemukan edema dan anemia pada
korteks serebri, pada keadaan yang berlanjut dapat ditemukan perdarahan.
5) Uterus
Aliran darah ke plasenta menurun dan menyebabkan gangguan pada plasenta,
sehingga terjadi gangguan pertumbuhan janin dan karena kekurangan oksigen
terjadi gawat janin. Pada preeklampsia dan eklamsia sering terjadi
peningkatan tonus rahim dan kepekaan terhadap rangsangan, sehingga terjadi
partus prematur.
6) Paru-paru
Kematian ibu pada preeklampsia dan eklamsia biasanya disebabkan oleh
edema paru yang menimbulkan dekompensasi kordis. Bisa juga karena
terjadinya aspirasi pneumonia, atau abses paru.
6.

Diagnosis Preeklampsia

Diagnosis preeklampsia dapat ditegakkan dari gambaran klinik dan


pemeriksaan laboratorium. Dari hasil diagnosis, maka preeklampsia dapat
diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu :12
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
a. Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan
b.

dengan riwayat tekanan darah normal.


Proteinuria kuantitatif 0,3 gr perliter atau kualitatif 1+ atau 2+

2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:


a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
7.

Tekanan darah 160/110 mmHg


Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+
Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam.
Gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di epigastrium.
Terdapat edema paru dan sianosis
Trombositopeni
Gangguan fungsi hati
Pertumbuhan janin terhambat
Penatalaksanaan Preeklampsia Berat
Prinsip penatalaksanaan preeklamsia berat adalah mencegah timbulnya

kejang, mengendalikan hipertensi guna mencegah perdarahan intrakranial serta


kerusakan dari organ-organ vital, pengelolaan cairan, dan saat yang tepat untuk
persalinan.Perawatannya dapat meliputi :14
a. Perawatan aktif, yang berarti kehamilan segera diakhiri.
Indikasi bila didapatkan satu atau lebih dari keadaan berikut ini
1) Ibu :
a) Kehamilan lebih dari 37 minggu
b) Adanya tanda-tanda terjadinya impending eklampsia
c) Kegagalan terapi pada perawatan konservatif.
2) Janin :
a) Adanya tanda-tanda gawat janin
b) Adanya tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat.
3) Laboratorium :
Adanya sindroma HELLP .
b. Pengobatan Medikamentosa
1) Pemberian obat : MgSO4 40% 25 cc (10 gr) dalam larutan RL 500 cc
2) Diet cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.
3) Diuretikum diberikan bila ada edema paru, payah jantung kongestif, atau
anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah furosemid.

4) Pemberian antihipertensi apabila TD 180/110 mmHg. Anti hipertensi lini


pertama adalah nifedipin dosis 10-20 mg per oral, diulangi setiap 30
menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.
c. Pengelolaan Konservatif, yang berarti kehamilan tetap dipertahankan.
Indikasi : Kehamilan kurang bulan (< 37 minggu) tanpa disertai tanda-tanda
impending eklamsi dengan keadaan janin baik.
Penggunaan MGSO4 Pada Tatalaksana Preeklampsia
Magnesium merupakan kation kedua yang terbanyak ditemukan dalam
cairan intraseluler. Magnesium diperlukan untuk aktifitas sistem enzim tubuh dan
berfungsi penting dalam transmisi neurokimiawi dan eksitabilitas otot. Kurangnya
kation ini dapat menyebabkan gangguan struktur dan fungsi dalam tubuh.15,16
Seorang dewasa dengan berat badan rata-rata 70 kg mengandung kira-kira
2000 meq magnesium dalam tubuhnya. 50% ditemukan dalam tulang, 45%
merupakan kation intraseluler dan 5% didalamnya cairan ekstraseluler. Kadar
dalam darah adalah 1,5 sampai 2,2 meq magnesium/liter atau 1,8 sampai 2,4
mg/100 ml, dimana 2/3 bagian adalah kation bebas dan 1/3 bagian terikat dengan
plasma protein15,16
Pada wanita hamil terdapat penurunan kadar magnesium darah, walaupun
tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara kehamilan normal dan
preeklampsia-eklampsia. Penurunan kadar magnesium dalam darah pada
penderita preeklampsia dan eklampsia mungkin dapat diterangkan atas dasar
hipervolemia yang fisiologis pada kehamilan17.
Absorbsi dan ekskresi
Seorang dewasa membutuhkan magnesium 20-40 meq/hari dimana hanya
1/3 bagian diserap dibagian proksimal usus halus melalui suatu proses aktif yang
berhubungan erat dengan sistem transport kalsium. Bila penyerapan magnesium
kurang akan menyebabkan penyerapan kalsium meningkat dan sebaliknya.15,16
Garam magnesium sedikit sekali diserap oleh saluran pencernaan.
Pemberian magnesium parenteral segera didistribusikan ke cairan ekstrasel,
sebagian ketulang dan sebagian lagi segera melewati plasenta. Ekskresi
magnesium terutama melalui ginjal, sedikit melalui penapasan, air susu ibu, saliva
dan diserap kembali melalui tubulus ginjal bagian proksimal. Bila kadar
magnesium dalam darah meningkat maka penyerapan ditubulus ginjal menurun,
sedangkan clearence ginjal meningkat dan sebaliknya. Peningkatan kadar
magnesium dalam darah dapat disebabkan karena pemberian yang berlebihan atau

terlalu lama dan karena terhambatnya ekskresi melalui ginjal akibat adanya
insufisiensi atau kerusakan ginjal.15,16
Pada preeklampsia dan eklampsia terjadi spasme pada seluruh pembuluh
darah sehingga aliran darah ke ginjal berkurang yang menyebabkan GFR dan
produksi urine berkurang. Oleh karena itu mudah terjadi peninggian kadar
magnesium dalam darah.16
Ekskresi melalui ginjal meningkat selama pemberian glukosa, amonium
klorida, furosemide, asam etakrinat dan merkuri organik. Kekurangan magnesium
dapat disebabkan oleh karena penurunan absorbsi misalnya pada sindroma
malabsorbsi, by pass usus halus, malnutrisi, alkholisme, diabetik ketoasidosis,
pengobatan

diuretika,

diare,

hiperaldosteronisme,

hiperkalsiuri,

hiperparatiroidisme.16
Cruikshank et al menunjukan bahwa 50% magnesium akan diekskresikan
melalui ginjal pada 4 jam pertama setelah pemberian bolus intravena, 75% setelah
20 jam dan 90% setelah 24 jam pemberian. Pitchard mendemontrasikan bahwa
99% magnesium akan diekskresikan melalui ginjal setelah 24 jam pemberian
intavena.16
B. Mekanisme Kerja
1. Sistem Enzym
Magnesium merupakan ko-faktor dari semua enzym dalam rangkaian
reaksi adenosin fosfat (ATP) dan sejumlah besar enzym dalam rangkaian
metabolisme fosfat. Juga berperan penting dalam metabolisme intraseluler,
misalnya proses pengikatan messanger-RNA dalam ribosom.15
2. Sistem susunan saraf dan cerebro vaskuler.
Mekanisme dan aksi magnesium sulfat mesih belum diketahui dan
menjadi pokok pembahasan. Beberapa penulis berpendapat bahwa aksi
magnesium sulfat di perifer pada neuromuskular junction dengan minimal atau
tidak ada sama sekali pengaruh pada sentral. Tapi sebagian besar penulis
berpendapat bahwa aksi utamanya adalah sentral dengan efek minimal blok
neuromuskuler.16
Magnesium menekan saraf pusat sehingga menimbulkan anestesi dan
mengakibatkan penurunan reflek fisiologis. Pengaruhnya terhadap SSP mirip
dengan ion kalium. Hipomagnesemia mengakibatkan peningkatan iritabilitas SSP,
disorientasi, kebingungan, kegelisahan, kejang dan perilaku psikotik. Suntikan

magnesium sulfat secara intravena cepat dan dosis tinggi dapat menyebabkan
terjadinya kelumpuhan dan hilangnya kesadaran. Hal ini mungkin disebabkan
karena adanya hambatan pada neuromuskular perifer.15
Penghentian dan pencegahan kejang pada eklampsia tanpa menimbulkan
depresi umum susunan saraf pusat pada ibu maupun janin.26
Thurnau dkk. (1987) memperlihatkan bahwa konsentrasi magnesium
dalam cairan serebrospinal setelah terapi magnesium pada preeklampsia
mengalami sedikit peningkatan tetapi sangat bermakna. Borges dan Gucer (1978)
mengajukan bukti yang meyakinkan bahwa ion magnesium menimbulkan efek
pada susunan saraf pusat yang jauh lebih spesifik dari pada depresi umum. Borges
dkk. mengukur kerja magnesium sulfat yang diberikan secara parenteral terhadap
aktifitas saraf epileptik pada primata dibawah tingkat manusia yang tidak diberi
obat dan dalam keadaan sadar. Magnesium akan menekan timbulnya letupan
neuron dan lonjakan pada EEG interiktal dari kelompok neuron yang dibuat
epileptik dengan pemberian penisilin G secara topikal. Derajat penekanan akan
bertambah seiring dengan meningkatnya kadar magnesium plasma dan akan
berkurang dengan menurunnya kadar magnesium.18
3. Sistem neuromuskular
Magnesium mempunyai pengaruh depresi langsung terhadap otot rangka.
Kelebihan magnesium dapat menyebabkan :
- Penurunan pelepasan asetilkolin pada motor end-plate oleh saraf simpatis.
- Penurunan kepekaan motor end-plate terhadap asetilkolin.
- Penurunan amplitudo potensial motor end-plate.
Pengaruh yang paling berbahaya adalah hambatan pelepasan asetilkolin.
Akibat kelebihan magnesium terhadap fungsi neuromuskular dapat diatasi dengan
pemberian kalsium, asetilkolin dan fisostigmin.6
Bila kadar magnesium dalam darah melebihi 4 meq/liter reflek tendon
dalam mulai berkurang dan mungkin menghilang dalam kadar 10 meq/liter. Oleh
karena itu selama pengobatan magnesium sulfat harus dikontrol refleks patella.15,16
4. Sistem saraf otonom
Magnesium menghambat aktifitas dan ganglion simpatis dan dapat
digunakan untuk mengontrol penderita tetanus yang berat dengan cara mencegah
pelepasan katekolamin sehingga dapat menurunkan kepekaan reseptor adrenergik
alfa.
5. Sistem Kardiovaskular
Pengaruh magnesium terhahap otot jantung menyerupai ion kalium. Kadar
magnesium dalam darah yang tinggi yaitu 10-15 meq/liter menyebabkan

perpanjangan waktu hantaran PR dan QRS interval pada EKG. Menurunkan


frekuensi pengiriman infuls SA node dan pada kadar lebih dari 15 meq/liter akan
menyebabkan bradikardi bahkan sampai terjadi henti jantung yaitu pada kadar 30
meq/liter. Pengaruh ini dapat terjadi karena efek langsung terhadap otot jantung
atau terjadi hipoksemia akibat depresi pernapasan.
Kadar magnesium 2-5 meq/liter dapat menurunkan tekanan darah. Hal ini
terjadi karena pengaruh vasodilatasi pembuluh darah, depresi otot jantung dan
hambatan gangguan simpatis. Magnesium sulfat dapat menurunkan tekanan darah
pada wanita hamil dengan preeklampsia dan eklampsia, wanita tidak hamil
dengan tekanan darah tinggi serta pada anak-anak dengan tekanan darah tinggi
akibat penyakit glomerulonefritis akut.16
6. Sistem pernapasan
Magnesium dapat menyebabkan depresi pernapasan bila kadarnya lebih
dari 10 meq/liter bahkan dapat menyebabkan henti napas bila kadarnya mencapai
15 meq/liter.19
Sebagai pengobatan hipermagnesia segera setelah terjadi depresi
pernapasan diberikan kalsium glukonas dengan dosis 1 gram (10 ml dari larutan
10%) secara intravena dalam waktu 3 menit dan dilakukan pernapasan buatan
sampai penderita dapat bernapas sendiri. Pemberian ini dapat dilanjutkan 50 ml
kalsium glukonas 10% yang dilarutkan dalam dektrose 10% per infus. Bila
keadaan tidak dapat diatasi dianjurkan untuk hemodialisis atau peritoneum
dialisis.
7. Uterus
Magnesium sulfat mempunyai dua aktivitas sebagai obat tokolitik yakni
dengan cara menekan transmisi syaraf ke miometrium dan secara langsung
berefek pada sel-sel miometrium. Pertama, peningkatan kadar megnesium
menurun pelepasan asetikolin oleh motor end plate pada neuromuscular junction.
Sebagai tambahan Magnesium mencagah masuknya kalsium neuron dan efektif
memblokir transmisi syaraf. Kedua, magnesium berefek sebagai antagonis
terhadap kalsium pada tingkat sel dan dalam ruang ekstraseluler.
Peningkatan kadar magnesium menyebabkan hipokalsemia melalui
penekanan sekresi hormon paratiroid dan melalui peningkatan pembuangan
kalsium oleh ginjal. Baik Magnesium dan kalsium direabsorbsi pada tubulus
renalis. Peningkatan kadar magnesium mencegah reabsorbsi kalsium dan

menyebabkan hiperkalsiuria. Disamping menyebabkan hipokalsemia, peningkatan


kadar magnesium juga berkompetisi dengan sisi ikatan kalsium yang sama yang
mengakibatkan penurunan menurunnya kadar ATP (adenosine triphosphate)
sampai pada kadar dimana sel tidak mengikat kalsium. Hal ini mencegah aktivasi
dari kompleks aktin dan myosin. Data klinik mendukung teori bahwa magnesium
berefek sebagai tokolitiknya melalui antogonism kalsium : pada keadaan
hipokalsemia pada penderita yang menerima magnesium sulfat kemudian diobati
dengan pemberian kalsium, terjadi peningkatan aktivitas uterus.
Kadar magnesium dalam serum untuk tokolitik dipertahankan pada kadar
4-9 mg/dl. Bila digunakan sebagai tokolitik, toksisitas magnesium sulfat sangat
jarang meskipun kecepatan pemberiannya kurang lebih 4 g/jam. Refleks patella
akan menghilang bila kadar magnesium plasma 9-13 mg/dl, depresi pernapasan
terjadi pada kadar 14 mg/dl. Sebagai antidotum untuk toksisitas magnesium
adalah 1 g kalsium glukonas yang dinerikan secara intravena. Keseimbangan
cairan harus dimonitor secara ketat dan pemberian cairan sacara intravena harus
dibatasi untuk mencegah terjadinya edema paru.16
Interaksi obat dan Efek Samping
MgSO4 mempunyai pengaruh potensiasi dengan obat-obat penekan SSP
(barbiturat, obat-obat anestesi umum), karena MgSO4 menghambat pelepasan
asetilkolin dan menurunkan kepekaan motor end plate sehingga mempengaruhi
potensial, sinergis, dan memperpanjang pengaruh obat-obat pelemas otot non
depolarisasi dan depolarisasi yang akan menyebabkan kerja obat tersebut akan
lebih kuat dan lama. Pemberian MgSO4 pada penderita yang sedang mendapat
pengobatan digitalis harus dengan hati-hati karena bila terjadi hipermagnesia,
pengobatan kalsium yang diberikan dapat menyebabkan henti jantung.15
Berbagai efek samping yang mungkin muncul dengan pemberian
magnesium sulfat adalah edema paru, flushing, peningkatan suhu tubuh, nyeri
kepala, pandangan kabur, mual, muntah, nystagmus, lethargy, hipotermi, retensi
urin, dan konstipasi. Pada penyuntikan intravena didapatkan gejala yang kurang
enak berupa rasa panas dimuka, muka merah, mual-mual dan muntah.15
Sediaan

Garam magnesium tersedia dalam berbagai bentuk misalnya magnesium


sitrat, magnesium karbonat, magnesium oksida, milk of magnesia, magnesium
fosfat, magnesium trisilikat, dan magnesium sulfat. Magnesium sulfat atau disebut
juga garam Epson, banyak dipergunakan dalam bidang kebidanan, merupakan
sediaan yang dipakai untuk pengunaan parenteral. Apabila kita menyebut
magnesium sulfat maka yang dimaksud adalah senyawa MgSO4. 7H2O USP
(United States Pharmacope) yang merupakan kristal berbentuk prisma dingin,
pahit dan larut dalam air (kelarutan 1 : 1). Satu gram garam ini setara dengan 4,08
milimol atau 8,12 meq magnesium. Larutan injeksi MgSO4. 7H2O USP terdapat
dalam konsentrasi 10%, 12,5%, 25%, 40%, dan 50%. 15
Dosis dan Cara Pemberian
Magnesium sulfat merupakan garam yang sangat larut dalam air dan dapat
diberikan melalui berbagai cara. Peroral ternyata magnesium sulfat sangat sedikit
diserap dari saluran pencernaan dan jumlah sedikit yang diserap tersebut segera
dikeluarkan melalui urin, sehingga kadar magnesium dalam serum hampir tidak
dipengaruhi Magnesium dikeluarkan dari dalam tubuh melalui ginjal. Magnesium
secara bebas difiltrasi dalam glomerulus dan sebagian direabsorbsi dalam tubulus
renalis. Ekskresi dalam urin kurang lebih 3-5% dari magnesium yang difitrasi.
Pada wanita hamil kadar magnesium plasma menurun ; 1,83 mEq/1 untuk wanita
tidak hamil menjadi 1,39 mEq/1 untuk wanita yang hamil.
Satgas Gestosis POGI dalam buku Panduan Pengolaan Hipertensi Dalam
Kehamilan di Indonesia menganjurkan cara pemberian dan dosis magnesium
sulfat sebagai berikut :
a. Preeklampsia berat
Dosis awal
4 gram magnesium sulfat, (20% dalam 20 ml) intravena sebanyal 1 g/menit,
ditambah 4 gram intra muskuler di bokong kiri dan 4 gram di bokong kanan (40%
dalam 10 ml)
Dosis pemeliharaan
Diberikan 4 gram intramuskuler, setelah 6 jam pemberian dosis awal, selanjutnya
diberikan 4 gram intramuskuler setiap 6 jam
b. Eklampsia

Dosis awal
4 gr magnesium sulfat 20% dalam larutan 20 ml intravena selama 4 menit, disusul
8 gram larutan 40% dalam larutan 10 ml diberikan pada bokong kiri dan bokong
kanan masing-masing 4 gr
Dosis pemeliharaan
Tiap 6 jam diberikan lagi 4 gram intramuskuler
Dosis tambahan

Bila timbul kejang lagi dapat diberikan MgSO4 2 gram intravena 2 menit.

Diberikan sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir

Dosis tambahan 2 gram hanya diberikan sekali dalam 6 jam saja

Bila setelah diberikan dosis tambahan masih tetap kejang maka diberikan
amobarbital 3-5 mg/KgBB secara intravena perlahan-lahan.

8. Prognosis
Kriteria Eden adalah kriteria untuk menentukan prognosis eklampsia.
Kriteria Eden antara lain:18
a. Koma yang lama (prolonged coma)
b. Nadi diatas 120
c. Suhu 39,4C atau lebih
d. Tekanan darah di atas 200 mmHg
e. Konvulsi lebih dari 10 kali
f. Proteinuria 10 g atau lebih
g. Tidak ada edema, edema menghilang
Bila tidak ada atau hanya satu kriteria di atas, eklampsia masuk ke kelas ringan;
bila dijumpai 2 atau lebih masuk ke kelas berat dan prognosis akan lebih buruk.13

BAB IV
PEMBAHASAN
Dari uraian kasus diatas didapatkan permasalahan sebagai berikut:

1.
2.
3.

Apakah diagnosa pasien ini sudah tepat?


Apakah penatalaksanaan pasien sudah tepat?
Bagaimana kompetensi dokter umum dalam menangani kasus ini?

4.1

Apakah diagnosa pada pasien ini sudah tepat?


Diagnosis pasien ini sudah tepat. Diagnosis masuk pada pasien ini adalah

G1 hamil 38 39 minggu inpartu kala I fase aktif dengan PEB janin tunggal
hidup presentasi kepala. Diagnosis tersebut ditegakkan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan obstetri serta pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis kasus di atas, didapatkan bahwa pasien datang dengan
keluhan perut terasa mulas, tidak ada keluar air-air dari jalan lahir, keluar lendir
bercampur darah dan gerakan janin aktif. Pasien merasa hamil cukup bulan.
HPHT 02-03-2015. Kontrol kehamilan rutin di bidan. Pasien pernah ke poli
RSUD AA dengan keluhan mulas-mulas dan didapatkan tekanan darah tinggi.
Pasien disarankan untuk dirawat, tetapi pasien menolak. Kondisi janin dalam
keadaan baik. Dalam anamnesis obsterik juga perlu ditanyakan apakah riwayat
kehamilan muda dan riwayat kehamilan tua yang tidak ditanyakan pada pasien ini.
Selain itu, perlu ditanyakan upaya pencegahan preeklamsia seperti konsumsi
suplemen yang mengandung minyak ikan, yang kaya dengan asam lemak tak
jenuh, misalnya Omega-3 PUFA, antioksidan seperti multivitamin, dan elemen
logam berat seperti zinc, magnesium,kalsium.
Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien tidak pernah memiliki riwayat
tekanan darah tinggi sebelum kehamilan. Untuk mendukung diagnosis PEB perlu
ditanyakan gejala-gejala seperti muntah-muntah, nyeri epigastrium, nyeri kepala
dan pandangan kabur sekaligus untuk menyingkirkan diagnosis impending
eclampsia. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 180/110 mmHg.
Nilai tekanan darah dan keluhan subjektif yang dirasakan pasien sudah memenuhi
syarat untuk mendiagnosis PEB. Pada pasien ini tidak diperiksakan BB dan TB
yang dapat digunakan untuk penilaian Indeks Massa Tubuh, untuk mengetahui
faktor resiko PEB seperti obesitas.
Pasien dengan preeklamsia berat seharusnya mendapatkan rawatan di rumah
sakit. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan
Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion.
Diperlukan juga konsultasi dengan bagian mata, penyakit dalam, dan lain-lain.

Pada pasien ini belum pernah dilakukan pemeriksaan USG sebelumnya sehingga
tidak dapat menggambarkan kondisi janin selama kehamilan yang berhubungan
dengan PEB.12
4.2

Apakah penatalaksanaan pasien sudah tepat?

a.

Informed consent
Informed consent merupakan suatu persetujuan kepada pasien atau keluarga

pasien terhadap tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter setelah
mendapatkan informasi dari segala risiko yang mungkin terjadi. Persetujuan
tindakan medis atau izin tertulis dari pasien atau keluarga pada tindakan operatif,
lebih dikenal sebagai Surat Izin Operasi (SIO), surat perjanjian dan lainlain.
Pada kasus ini sudah dilakukan informed consent kepada suami pasien
dengan memberikan penjelasan mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan
penyakit pasien, tindakan apa yang akan dilakukan mencakup tujuan, risiko,
manfaat dari tindakan yang akan dilaksanakan dan sudah menandatangani surat
izin dilakukannya tindakan tersebut.
b.

Penanganan antepartum, persalinan, dan post partum


Penanganan antepartum dapat dilakukan dengan pemeriksaan antenatal dan

konseling. Pemeriksaan antenatal dapat dilakukan di bidan atau pusat pelayanan


kesehatan lain, namun minimal 1 kali kontrol ke dokter. Hal ini bertujuan untuk
mendeteksi kelainan medis secara umum. Asuhan antenatal minimal dilakukan
sebanyak 4 kali yaitu 1 kali pada trimester pertama, 1 kali pada trimester kedua,
dan 2 kali pada trimester ketiga. Pada asuhan antenatal sebaiknya dilakukan
pemeriksaan USG untuk mengetahui bagaimana kondisi janin dalam kandungan
serta untuk deteksi awal adanya kelainan pada janin.
Konseling pada pasien dengan PEB dilakukan untuk memberikan
pemahaman kepada ibu mengenai dampak PEB terhadap ibu dan janin. Perubahan
sistem dan organ pada preeklamsia harus dipahami ibu, begitu juga dengan resiko
fetal distress, Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) dan terjadinya
oligohidramnion pada janin. Ibu harus mengetahui faktor resiko terjadinya PEB
yaitu:20
a. Primigravida
b. Riwayat keluarga dengan preeklamsia
c. Preeklamsia pada kehamilan sebelumnya
d. Ibu hamil dengan usia <18 tahun atau >35 tahun

e. Wanita dengan gangguan fungsi organ seperti diabetes, penyakit ginjal,


dan tekanan darah tinggi)
f. Kehamilan kembar
Pasien dengan PEB sebaiknya mendapatkan konseling bahwa dirinya akan
memiliki resiko untuk mengalami PEB di kehamilan berikutnya. Untuk itu pasien
harus melakukan Ante Natal Care (ANC) secara teratur untuk mencegah
komplikasi pada ibu dan janin. Penanganan PEB juag meliputi pemberian MgSO4
40 % sebanyak 25 cc dilarutkan dalam 500 cc RL, diberikan loading dose
sebanyak 200 cc dalam waktu 10-15 menit dilanjutkan dengan maintenance dose
300 cc dalam waktu 3 jam. Maintenance MgSO4 juga diberikan selama 24 jam
pasca persalinan. Pemberian antihipertensi menurut RSU Dr. Soetomo yaitu pada
pasien dengan tekanan sistolik 180 mmHg dan tekanan diastolik 110 mmHg.
Pada pasien ini mendapatkan nifedipine 3x10 mg per oral.20
Pada saat persalinan, dilakukan ekstraksi vacuum dengan indikasi
mempersingkat kala II pada kondisi obstetric tertentu, yaitu preeklamsia dimana
ibu tidak boleh meneran terlalu lama. Syarat vacuum harus dipenuhi, yaitu
pembukaan lengkap, ketuban pecah, kepala hodge III-IV, presentasi kepala.
Komplikasi pada vacuum seperti perdarahan, infeksi, dan trauma jalan lahir juga
harus dijelaskan kepada ibu. Pada pasien ini terdapat robekan porsio sepanjang
1,5 cm serta ruptur perineum grade III. Untuk pencegahan infeksi diberikan infus
metronidazol 500 mg.
4.3

Bagaimana kompetensi dokter umum dalam menangani kasus ini?


Berdasarkan SKDI tahun 2012, tingkat kemampuan dokter umum dalam

menangani preeklamsia adalah tingkat kemampuan 3B, yaitu mendiagnosis,


melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk. Lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik terhadap kasus infeksi dalam kehamilan dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya yaitu
ke Spesialis Kebidanan dan Kandungan dan mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan.21

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Diagnosis kerja pada pasien ini sudah tepat, yaitu G1 hamil 38-39 minggu,
inpartu kala I fase aktif dengan PEB, janin tunggal hidup intra uterin
presentasi kepala.
2. Penatalaksanaan pada pasien ini sudah tepat, dimulai dengan dilakukannya
informed consent pada pasien dan keluarga pasien terhadap tindakan medis
yang akan dilakukan oleh dokter, penanganan persalinan dan post partum
yang cepat dan tepat.
3. ANC pada pasien ini kurang berkualitas. Pasien melakukan ANC sebanyak
5 kali di bidan secara berkala dan teratur. Namun pemeriksaan USG tidak
dilakukan.
Saran
1. Pada pasien ini perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya, salah
satunya pemeriksaan kimia darah, untuk menyingkirkan kecurigaan
adanya kerusakan pada target organ.
2. Perlunya edukasi saat ANC pada pasien secara menyeluruh mengenai
permasalahan dalam kehamilan yang paling sering terjadi, agar

meningkatkan kewaspadaan demi kepentingan pasien dan proses


pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai