Anda di halaman 1dari 5

REFLEKSI KASUS

I.

PENGALAMAN
Seorang laki-laki berusia 27 tahun dibawa ke IGD PKU Muhammadiyah Wonosobo
oleh warga karena kecelakaan motor yang terjadi didepan PKU. Menurut keterangan
pasien, dirinya hendak menghindari lubang namun kehilangan kendali hingga jatuh
terguling kesisi kanan. Pada saat pemeriksaan vital sign, tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 94x/menit, respirasi 22x/menit dan suhu 36,80 C. Pada saat pemeriksaan
inspeksi, terdapat jejas dan bengkak pada 1/3 medial lengan bawah kanan (antebrachii
dextra) pasien, saat dipalpasi pasien merasakan nyeri tekan dan teraba krepitasi, saat
digerakkan pasien merasa nyeri gerak baik gerak aktif maupun pasif.
Dokter IGD pun menyarankan untuk melakukan foto x-ray pada bagian lengan pasien
tersebut. Setelah hasil foto x-ray keluar, dokter IGD menyimpulkan adanya fraktur
tertutup os radius dextra 1/3 medial. Dokter IGD pun berkonsultasi pada dokter
spesialis ortopedi, dan disarankan untuk dilakukan operasi ORIF pada fraktur pasien.
Dokter IGD segera menjelaskan diagnosis, rencana terapi dan prognosis kondisi
pasien kepada pasien beserta keluarganya. Setelah dijelaskan, baik pasien maupun
pihak keluarga pasien menolak dilakukannya tindakan medis tersebut dan
mengatakan akan membawa pasien ke Sangkal Putung saja. Dokter IGD berusaha
menjelaskan kembali bagaimana kondisi pasien beserta komplikasi yang dapat terjadi
jika tidak dilakukan tindakan pembedahan dan memastikan bahwa mereka sudah
memahami, namun pasien dan keluarga tetap menolak. Dokter IGD pun meminta
pihak keluarga untuk menandatangani surat penolakan tindakan medis dan
membiarkan pasien pulang dengan disertai obat Antibiotik dan Analgesik untuk
mengurangi keluhan pasien.

II.

PERASAAN TERHADAP PENGALAMAN


Tindakan yang dilakukan oleh dokter IGD sudah tepat. Karena dokter IGD sudah
berupaya menjelaskan kondisi pasien hingga prognosis yang dapat terjadi dan
memastikan bahwa pasien dan keluarga sudah memahami sebelum mengambil
keputusan. Namun keputusan untuk menolaj tindakan tetap diberikan oleh pihak
pasien dan keluarga.

III.

EVALUASI

Apakah tindakan dokter IGD tersebut sudah benar? Apakah guna dari surat penolakan
terhadap tindakan medis bagi seorang dokter?
IV.

ANALISIS

Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu konsep inti etika kedokteran
saat ini. Hak pasien untuk mengambil keputusan mengenai perawatan kesehatan mereka telah
diabadikan dalam aturan hukum dan etika di seluruh dunia. Deklarasi Hak-hak Pasien dari
WMA (World Medical Association) menyatakan:
Pasien mempunyai hak untuk menentukan sendiri, bebas dalam membuat keputusan
yang menyangkut diri mereka sendiri. Dokter harus memberi tahu pasien konsekuensi
dari keputusan yang diambil.
Pasien dewasa yang sehat mentalnmya memiliki hak
untuk memberi ijin atau tidak memberi ijin terhadap prosedur diagnosa maupun
terapi. Pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang diperlukan untuk
mengambil keputusannya.
Jika dokter berhasil mengkomunikasikan semua informasi yang diperlukan oleh pasien dan
jika pasien tersebut ingin mengetahui diagnosa, prognosis, dan pilihan terapi yang dijalani,
maka kemudian pasien akan berada dalam posisi dapat membuat keputusan berdasarkan
pemahamannya tentang bagaimana menindaklanjutinya. Walaupun istilah ijin mengandung
pengertian menerima perlakuan yang diberikan, namun konsep ijin berdasarkan pengetahuan
dan pemahaman juga bermakna sama dengan penolakan terhadap terapi atau memilih diantara
beberapa alternatif terapi.
Pasien yang kompeten mempunyai hak untuk
menolak perawatan, walaupun penolakan tersebut
dapat menyebabkan kecacatan atau kematian.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 29 TAHUN 2004
TENTANG
PRAKTIK KEDOKTERAN
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik
secara tertulis maupun lisan.

(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Adanya surat penolakan secara tertulis dapat melindungi dokter dari tuntutan, apabila terjadi
komplikasi yang tidak diinginkan terhadap pasien. Karena secara tertulis sudah dinyatakan
bahwa pasien menolak tindakan media dan akibat dari penolakan tindakan kedokteran menjadi
tanggung jawab pasien.

KESIMPULAN

1. Persetujuan yang berdasarkan pengetahuan merupakan salah satu konsep inti etika
kedokteran
2. Persetujuan tindakan kedokteran diatur dalam UU 29 tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran dengan tata cara yang selanjutnya diatur dalam PERMENKES NOMOR
290/MENKES/PER/III/2008
3. Penolakan dapat dilakukan setelah menerima penjelasan mengenai tindakan kedokteran
dan dilakukan secara tertulis.

PANDUAN ETIKA MEDIS


Disertai studi kasus-kasus etika
pelayanan medis sehari-hari
World Medical Association

Medical Ethics Manual


Diterbitkan oleh:
Pusat Studi Kedokteran Islam Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
INDONESIA
Dilampiri Undang-Undang No 29 tahun 2004
tentang
Praktik Kedokteran
Williams, John R (john Reynold).
Pandua Etika Medis/John R. Williams; Penerjemah: Tim Penerjemah PSKI FK UMY.
Editor: dr. Sagiran, M.Kes.Cet.1Yogyakarta: PSKI FK UMY, 2006..+ hlm:1-84

DAFTAR PUSTAKA
1 Rusdi, Maslim. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta : PT Nuh Jaya.
2 Depkes. 2006. Buku Pedoman Pelayanan Kesehatan Jiwa di Fasilitas Pelayanan
3

Kesehatan Dasar. Jakarta.


Nurmiati Amir, dkk. 2012. Pedoman Pelayanan Kedokteran Jiwa / Psikiatri.

Jakarta
Hugh, Series, Margaret, Esiri. 2012. Vascular Dementia: A Pragmatic Review.

Advances in Psychiatric Treatment, 10 : 372-380


WHO. 2012. Role of Acetylcholiesterase Inhibitors. Diakses tanggal 28
September

2015

dari

www.who.int/mental_health/mhgap/evidence/resource/

dementia_q1.pdf
Rusdi, Maslim. 2014. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik.
Jakarta : PT Nuh Jaya.

Anda mungkin juga menyukai