Anda di halaman 1dari 18

Diagnosis dan Tatalaksana pada Sindroma

Guillain Barre

PEMBIMBING :
dr.TRI BUDIYONO
DI SUSUN OLEH :
JULIANTI DEWISARTY RANYABAR
11.2015.223
GRACE VANNY SAYOW
11.2015.204
KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI
PERIODE 30 MEI 2 JULI 2016
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
JAKARTA

DAFTAR ISI

Daftar Isi.............................................................1
Kata Pengantar....................................................2
Bab I
Pendahuluan...............................................3
Bab II
Definisi.......................................................4
Epidemiologi..............................................4
Etiologi.......................................................5
Patofisologi.................................................6
Gambaran Klinis.........................................6
Diagnosis Kerja...........................................8
Pemeriksaan Fisik.......................................11
Pemeriksaan Penunjang..............................11
Diagnosis Banding......................................11
Terapi..........................................................12
Prognosis.....................................................13
Bab III
Kesimpulan.................................................14
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan kasih
setiaNya saya dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul Diagnosis
dan tatalaksana pada sindrom guallin barre. Referat ini saya susun untuk
melengkapi tugas Kepaniteraan Klinik Neurologi di RS BAYUKARTA..
Saya mengucapkan terima kasih kepada para dokter di kepaniteraan klinik
neurologi yang telah membimbing dan mengajarkan saya dalam mengetahui cara cara mendiagnosis suatu penyakit berdasarkan pemeriksaan neurologis sehingga
dapat membantu saya menyusun referat ini.
Saya menyadari masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format
referat ini. Oleh karena itu, saya menerima segala kritik dan masukan dengan tangan
terbuka dan memohon maaf yang sebesar besarnya apabila ada kesalahan dalam
tugas referat yang telah saya buat ini.
Akhir kata saya berharap referat ini dapat berguna bagi rekan rekan serta
semua pihak yang ingin mengetahui tentang diagnosis dan tatalaksana pada
sindrom guallinbarre

Jakarta, Juni 2016


Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

Sindroma Guillain - Barre (SGB) atau secara klinis sering disebut Poli
Radikulo Neuropati Inflamasi Akut (PIA) adalah suatu penyakit yang menyerang
radiks saraf baik ventral maupun dorsal yang bersifat akut dan mengakibatkan
kelumpuhan yang gejalanya dimulai dari tungkai bagian bawah dan meluas sampai
tubuh dan otot-otot wajah.1
SGB dapat terjadi diseluruh dunia dan menyerang semua usia dan ras. SGB
jarang terjadi pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan
setelah umur tersebut frekuensinya cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia
dewasa muda. SGB tampil sebagai salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di
negara maju atau berkembang seperti Indonesia.2
Sekitar 70 % - 80 % dari kasus SGB terjadi setelah penderita mengalami
penyakit panas yang biasanya dari infeksi saluran nafas atas. Dan insidensinya
meningkat dengan tingginya infeksi Cytomegalo virus.
Walaupun sindroma ini merupakan penyakit yang sebagian besar dapat
mengalami kesembuhan fungsional yang sempurna, tetapi tidak jarang terjadi
kematian karena perjalanan penyakitnya yang akut dan meluas ke bagian atas tubuh
sehingga menimbulkan kegagalan pernafasan. Untuk itu pengawasan yang ketat dan
penanganan yang baik pada penderita SGB sangat diperlukan untuk memperkecil
angka kematiannya dan mengurangi gejala sisa defisit neurologisnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI
Sindrom Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem kekebalan tubuh
manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dengan manifestasi klinis
berupa kelemahan saraf motorik yang sifatnya akut, progresif disertai arefleksia.
elainan ini terkadang juga menyerang saraf sensoris, otonom, nervus cranialis
maupun susunan saraf pusat.
EPIDEMIOLOGI

SGB merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat.


Insiden SGB yang dilaporkan di negara-negara Barat berkisar 0,89-1,89 kasus per
100.000 orang-tahun, meskipun peningkatan 20% terlihat dengan setiap kenaikan usia
10 tahun setelah dekade pertama. Rasio pria terhadap wanita dengan sindrom ini
adalah 1.78 (interval kepercayaan 95%, 1,36-2,33). Dua pertiga dari kasus didahului
oleh gejala infeksi saluran pernapasan atas atau diare akut. Dalam metaanalisis, agen
infeksi yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni sekitar 30%,
sedangkan cytomegalovirus telah diidentifikasi dalam hingga 10%. Insiden SGB
diperkirakan 0,25-0,65 per 1.000 kasus infeksi C. jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus
sitomegalovirus primer infection. Agen lain yang dihubungan dengan SGB adalah
Epstein-Barr, virus varicella-zoster, dan Mycoplasma pneumoniae.
SGB bukan merupakan penyakit musiman dimana resiko terjadinya adalah
sama di seluruh dunia dengan semua iklim, kecuali di Cina, dimana predileksi SGB
berhubungan dengan Campylobacter jejuni, cenderung terjadi pada musim panas.
SGB dapat terjadi pada semua orang tanpa membedakan usia maupun ras. Insiden
kejadian di seluruh dunia berkisar antara 0,6 1,9 per 100.000 penduduk. Insiden ini
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Angka kematian berkisar antara 5 10
%. Penyebab kematian tersering adalah gagal jantung dan gagal napas. Kesembuhan
total terjadi pada 5%

penderita SGB. Antara 5 10 % sembuh dengan cacat yang

permanen.

Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian


Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III
(dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hamper sama.
Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan
wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d
Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

ETI OLO GI
Penyebab dari SGB ini bisa dikatakan idiopatik atau disebabkan oleh infeksi
virus. Tetapi yang dianut sekarang ialah bahwa penyakit SGB ini disebabkan oleh
proses autoimun.2
Keadaan dan penyakit-penyakit yang dapat dihubungkan dengan penyakit
SGB ini adalah :2
1*

Infeksi Virus
Oleh Cytomegalo virus, Ebstein Barr virus

2*

Infeksi Bakteri
Seperti Campilobacter typhoid jejuni, Mycoplasma pneumonie.

3*

Pembedahan

4*

Penyakit Sistemik
Seperti keganasan, SLE, transplantasi ginjal, tiroiditis dan penyakit
addison.

5*

Pasca vaksinasi

PATOFISIOLOGI .2
Mekanisme pemicu terjadinya perubahan ( demielinisasi akut pada radiks
saraf ) pada SGB belum dapat diketahui dengan pasti. Mekanisme pemicu yang
dianggap paling mungkin dan paling sering terjadi adalah infeksi virus. Sebenarnya
semua virus yang terkait dengan SGB bersifat neurotropik dan dianggap bahwa invasi
5

langsung pada sel-sel schwann dapat mengakibatkan kerusakan mielin. Diantara


mulainya ISPA sampai timbulnya gejala kelumpuhan, terdapat masa bebas gejala
penyakit kira-kira selama 3 - 4 minggu.
Demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi pula oleh faktor imunologi
yang meliputi respon imunitas seluler dan humoral yang dipicu oleh inveksi virus
( ISPA ) sebelumnya. Pada beberapa kasus, tubuh pasien membentuk antibodi
terhadap glikoprotein mielin atau ganglion. Adapula yang membentuk sel T terhadap
protein dasar mielin.3
Bila

proses

penyakit

berat,

demielinisasi

segmental

tersebut

akan

menyebabkan rusaknya akson. Keadaan ini diperberat dengan adanya infiltrasi


limfosit, makrofag dari pembuluh darah perifer yang menghasilkan sitokin
(sitotoksik) sehingga merusak sel schwann atau mielin. Jika sudah terjadi kerusakan
pada akson dan sel saraf sudah mati maka sel tersebut tidak dapat beregenerasi.3
GAMBARAN KLINIK .3
Kelainan Motorik
Manifestasi utama adalah kelemahan otot-otot tubuh yang berkembang
secara simetris atau tidak simetris sepanjang waktu dalam beberapa hari atau
minggu. Umumnya kelemahan dimulai dari tungkai bawah lalu meluas ke tubuh,
otot-otot interkostal, leher dan otot-otot wajah atau kranial yang terkena
belakangan (Paralisis Ascendens). Biasanya yang mengalami kelemahan adalah
otot-otot pada bagian proksimal dibandingkan bagian distal.
Kelemahan otot dapat berkembang sangat cepat sehingga atrofi otot tidak
terjadi. Tonus otot menurun, refleks-refleks tendon menurun atau hilang, tidak
terdapat refleks patologik. Refleks kulit superfisial masih tetap ada atau sedikit
mengalami penurunan.
Bila kelemahan meluas sampai mengenai saraf otak, maka terjadi
kelemahan otot-otot kranial yang memperlihatkan gejala disfagi, disartri, facial

plegi, diplopia. Bila kelemahan memberat dapat terjadi kelumpuhan motorik total
sehingga menyebabkan gagal nafas dan kematian.
Kelainan Sensorik
Adanya parestesi (kesemutan) pada bagian distal anggota tubuh bawah yang
dapat terjadi bersamaan dengan kelemahan otot. Sebagian besar kesemutan ini
didapat kaki dan kemudian baru tangan.
Kadang-kadang terdapat penurunan rasa raba dan nyeri pada distribusi
glove dan stocking.
Rasa nyeri biasanya jarang dan muncul belakangan.
Nyeri dapat terlokalisasi pada punggung, paha bagian posterior dan bahu.
Nyeri mungkin diperkirakan sebagai akibat dari inflamasi dan edema atau
karena mionekrosis, karena serum kreatin kinase sering meningkat pada
penderita yang mengalami nyeri berat.
Kram otot dan otot sering lembek bila diraba.
Kelainan Otonom
Gejala yang timbul mempunyai bentuk sesuai dengan saraf otonom yang
rusak, dapat berupa penurunan fungsi simpatis atau parasimpatis atau menunjukan
salah satu fungsi yang berlebihan. Gangguan yang tampak berupa :
Sinus takhikardia bahkan sampai terjadi aritmia jantung.
Postural Hipotensi ( Merupakan gejala pokok ).
Penurunan tekanan sistolik pada pembuluh darah.
Karena hilangnya sistem simpatik pada refleks pembuluh darah atau gangguan
sistem aferen dari arteriol baroreseptor.
Gejala Hipertensi.
Diduga ada kaitannya dengan peningkatan aktivitas renin - angiostensin.
Inkontinensia urine atau Retensio urine.

Gangguan fungsi kandung kencing mungkin oleh karena gangguan pada otot
sfingter, tetapi sangat jarang dan bersifat sementara.
Hilangnya fungsi kelenjar keringat.
Flushing pada wajah ( kemerahan ).
STADIUM SINDROMA GUOLLIAN-BARRE.4

1. Fase Progresif
Fase ini dimulai dari terjangkit penyakit. Selama fase ini kelumpuhan bertambah
berat sampai mencapai maksimal, belangsung beberapa hari sampai 4 minggu, jarang
yang melebihi 8 minggu.
2. Fase Plateau
Fase ini telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini biasanya hanya 2 hari
sampai 3 minggu.
3. Fase Rekonvalesen (perbaikan)
Fase ini ditandai dengan terjadi perbaikan kelumpuhan ekstremitas yang berlangsung
selama beberapa bulan.
Seluruh perjalan penyakit Sindroma Guillain Barre ini biasanya berlangsung dalam
kurun 6 bulan.
DIAGNOSIS SINDROMA GUILLIAN BARRE .4
Untuk membuat diagnosis SGB digunakan kriteria yang paling umum dipakai
yaitu kriteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder
and Stroke (NINCDS ) yaitu :
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis
A. Terjadinya kelemahan yang progresif dan menyangkut lebih dari satu anggota
gerak. Kelemahan bisa hanya berupa paresis ringan pada kedua tungkai, dengan
atau tanpa ataksia ringan sampai lumpuh total pada keempat otot ekstremitas,
otot tubuh, otot bulbar, otot wajah dan opthalmoplegia eksterna.

B. Arefleksia.
Biasanya terjadi arefleksia bagian distal dengan hiporefleksia proksimal.
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB
A. Ciri-ciri klinis
1.

Progresivitas
Gejala kelumpuhan otot meluas secara cepat tapi terhenti dalam 4 minggu.
2.

Simetris

3.

Gangguan sensorik hanya ringan

4.

Ikut terkenanya saraf otak


Saraf otak VII terkena sekitar 50 % dan sering bilateral

5.

Penyembuhan
Biasanya mulai 2 - 4 minggu sesudah terhentinya progresi dari
kelumpuhan.

6.

Gangguan saraf otonom


Takikardia dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala gangguan
vasomotor.

7. Tidak ada febris


Pada awal kelumpuhan pasien sudah tidak panas lagi.
Ciri-ciri lain :
1. Waktu mulai lumpuh masih ada febris
2. Adanya gangguan sensorik disertai nyeri
3. Sesudah 4 minggu masih terus bertambah kelumpuhannya
4. Tidak memburuk terus tapi juga tidak timbul kesembuhan
5. Bisa terdapat kelumpuhan kandung kencing sementara atau tidak terganggu
6. Ikut terkenanya saraf pusat
B. Ciri-ciri kelainan cairan cerebrospinal yang sangat memperkuat diagnosis

1. Jumlah protein dalam cairan cerebrospinal meningkat sesudah minggu


pertama dari timbulnya gejala.
2. Jumlah sel tidak melebihi 10/mm3
Ciri-ciri lain :
1. Jumlah protein tidak meningkat 1 - 2 minggu sesudah timbul kelemahan
otot.
2. Jumlah sel 11 - 50 sel mononuklear/mm3
C. Ciri-ciri pemeriksaan elektrodiagnostik yang sangat menyokong diagnosis SGB
Perlambatan konduksi saraf atau bahkan blok.
III. Ciri-ciri yang membuat diagnosis meragukan
1. Kelemahan yang tetap asimetrik
2. Tetap adanya gangguan miksi dan defekasi
3. Adanya gangguan miksi dan defekasi sejak awal
4. Jumlah sel dalam cairan serebrospinal > 50/mm3
5. Adanya sel PMN dalam cairan serebrospinal
6. Adanya batas gangguan sensibilitas yang jelas
IV. Tanda-tanda yang menentang diagnosis SGB
1. Adanya anamnesis penggunaan senyawa hexacarbon, misalnya glue
sniffing.
2. Adanya metabolisme porphyrin abnormal seperti acute intermittent
porphyria.
3. Riwayat diphteri yang baru, dengan ataupun tanpa myocarditis.
4. Tanda-tanda keracunan timah, ditandai dengan adanya kelemahan ekstremitas
atas dengan wrist drop.
5. Hanya didapat gangguan sensorik saja.

10

6. Adanya kepastian diagnosis lain seperti poliomielitis, botulime, polineuropati


toksik.

PEMERIKSAAN FISIK.4
Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus
dan paralisis.3 Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Rasa tebal
pada tangan dan kaki menyerupai pola sarung tangan dan kaus kaki juga dijumpai
pada awal penyakit. Refleks batuk yang lemah dan risiko aspirasi mengindikasikan
adanya kelemahan pada otot-otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti
perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks
Babinsky tidak ditemukan.

PEMERIKSAAN PENUNJANG.5

Pemeriksaan Cairan Cerebrospinal


Terlihat adanya Albumino-Cytologic Dissociation yaitu dimana terjadi
kenaikan kadar protein yang tinggi tanpa disertai kenaikan jumlah sel. Gamma
globulin juga meningkat.

Pemeriksaan EMG
Terdapat konduksi saraf menurun, Latensi memanjang, F-respon menurun.

Tes fungsi respirasi

DIAGNOSIS BANDING
Poliomielitis
Perbedaannya dengan SGB adalah pada poliomielitis tidak didahului oleh ISPA,
bersifat akut dan menyerang dengan cepat, kelumpuhannya unilateral, asimetris,

11

pada pemeriksaan cairan cerebrospinal terdapat pleositosis, kesembuhan tidak


total dan prognosisnya lebih buruk dibandingkan dengan SGB.6
Botulisme
Neuropati akibat keracunan logam

T E RAPI
Terapi umum meliputi pengawasan dan penanganan terhadap penyulit-penyulit :7

Gagal Nafas

Gunakan ventilator

Atasi hipoksia dengan pemberian Oksigen

Memberikan ventilasi untuk membuang CO2 nya

Hipotensi

Atasi dengan pemberian cairan

Hipertensi

Bila ringan cukup dengan pemberian diuretik ringan

Bila tinggi dan menetap dipakai Natrium nitropusid injeksi IV

Gunakan agonis beta adrenergik ( propanolol )

Aritmia

Anti aritmia ( mexiletine HCl )

Pemacu jantung (digitalis)

Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

NaCl 0,9 IV dengan 5% - 10% dextrose

Potasium 100 mmol/hari

Pemberian kalori 1500 - 2000 kalori/hari

Retensio urin dan inkontinensia urin

12

Kateterisasi
Immunoterapi
Dengan tujuan untuk mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
kesembuhan ditunjukkan melalui sistem imunitas.8

Kortikosteroid
Pemakaian kortikosteroid pada SGB dengan tujuan sebagai anti inflamasi,
melalui kemampuan imunologik, efek pada metabolisme. Pengobatan ini
hanya bersifat paliatif.

Plasmaferesis (Plasma exchange)


Suatu metode untuk memisahkan komponen darah dengan menggunakan
mesin sehingga plasma dipisahkan dari sel drah merahnya, lalu plasma
dibuang dan sel darah merahnya dicampurkan dengan larutan koloid
pengganti yaitu albumin 4 % dalam larutan salin, lalu dimasukkan kembali
kedalam tubuh. Efek yang diperlihatkan berdasarkan pada pengeluaran faktor
autoantibodi yang beredar.9

Imunoglobulin intravena
Telah dilaporkan memberikan perbaikan terhadap penderita SGB tanpa
mengalami efek samping. Dosis yang paling sering digunakan ialah 0,4
gr/KgbBB/hari selama 5 sampai 7 hari.10
PROGNOSIS

Sebagian besar penderita SGB umumnya mengalami penyembuhan yang


sempurna atau hampir sempurna dengan sisa defisit motorik yang ringan.

Angka kematian pada SGB sekitar 5% - 10% pada stadium awal.

Dengan sistem pengobatan yang baik dan adanya alat bantu nafas yang canggih
angka kematian dapat ditekan sampai 0%.

Kekambuhan terjadi pada 3% penderita.10


13

BAB III
KESIMPULAN
a. SGB merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid
simetris yang bersifat ascenden yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, saraf otonom, hingga
nervus kranialis.
b. Hingga saat ini penyebab SGB masih belum diketahui secara pasti, namun
sebagian besar berkaitan dengan adanya proses infeksi yang terjadi sebelum
gejala SGB muncul.
c. Manifestasinya dapat berupa nyeri, kelemahan motorik, kelemahan sensorik
hingga gangguan otonom hingga dapat menyebabkan gagal nafas.
14

d. Pemeriksaan penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre adalah pemeriksaan


LCS, EMG dan MRI.
e. Walaupun tersedia adanya ICU, ventilator, dan terapi imunomodulator
spesifik, sekitar 5 % dari pasien GBS dapat mengalami kematian dan 12 %
tidak dapat berjalan tanpa bantuan selama 48 minggu setelah gejala pertama
muncul. 20 % pasien akan tetap hidup dengan memiliki gejala sisa.
f. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati
komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya.
Hingga saat ini para peneliti masih mencari alternatif terapi yang paling tepat
dan pilihan terapi yang paling efektif saat ini adalah dari Plasma Exchange
(PE) dan Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg).

15

DAFTAR PUSTAKA
1. Adam RD, Victor M. Principles of Neurology, 5th edition. Mc Graw-Hill Inc,
New York. 2012: 1126 - 1130.
2. Asbury AK. Guillain-Barre Syndrome : Historical Aspects. Ann Neurol. 2011: 27
(s) : S2 - S6.
3. Duss Peter. Sindrom Guillain-Barre dalam Diagnosis Topis Neurologi, Anatomy,
Fisiologi, Tanda, Gejala, Edisi ke 2, Cetakan I. EGC, Jakarta, 2013 : 51.
4. Fudiarto G. Pengobatan Sindroma Guillain-Barre Syndroma dengan Gamma
Globulin. Pengalaman di Surabaya, Surabaya, Januari 2011.
5. Lidsay KW. Guillain-Barre Syndrome dalam Neurology and Neurosurgery
Illustrated. 3th ed : 2013: 58, 164, 419, 420, 422, 424-425.
6. Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis
Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2012 :42, 87,176,421.
7. Parry GJ. Diagnosis of Guillain-Barre Syndrome. In. Parry GJ. Guillain-Barre
Syndrome. Thieme Medical Publishers Inc, New York. 2011 : 113 - 129.
8. Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 2010. Keperawatan Kritis: Pendekatan
Holistik. Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC
9. 2. Doenges, Marlyn E. 2009. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk
Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC
10. 3. Carpenito, Lynda Juall. 2011. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2.
Jakarta: EGC

16

17

Anda mungkin juga menyukai