Anda di halaman 1dari 12

BAB I.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi proses aktivitas proses inflamasi. Sepsis
merupakan penyebab kematian tersering pada penderita trauma dan perawatan klinis pada semua
usia dan jenis kelamin.
Infeksi pasca trauma sangat bergantung pada usia penderita, waktu antara trauma dan
penanggulangannya , kontaminasi luka, jenis dan sifat luka, kerusakan jaringan, syok, jenis
tindakan, dan pemberian antibiotik. Makin lama tertunda penanggulangannya, makin besar
kemungkinan infeksi. Meskipun telah mengalami kemajuan teknologi penanganan dalam
neonatologi dan perawatan kritis pediatrik dan meluasnya penggunaan spektrum luas agen
antimikroba, infeksi masih menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada bayi dan
anak-anak. Infeksi mikroba biasanya terjadi akibat kegagalan mekanisme pertahanan tubuh yang
intrinsik

untuk

memerangi

faktor

virulensi

mikroorganisme.

Bayi

dan

anak-anak

immunocompromised, bersama dengan bayi prematur dan bayi lahir lebih bulan, yang memiliki
gangguan dalam sistem pertahanan tubuh mereka, yang rentan terhadap infeksi bakteri. Infeksi
tersebut awalnya mendapatkan respon inflamasi lokal yang bertujuan untuk menghancurkan
bakteri. Kegagalan untuk mengendalikan baik infeksi itu sendiri atau respon inflamasi terhadap
infeksi dapat membangkitkan gejala klinis yang bervariasi didefinisikan sebagai sindrom sepsis.

Epidemiologi
Sepsis, yang mana masih digunakan istilah SIRS untuk menyebut suatu akibat dari
infeksi, tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan kematian di Amerika Serikat. Pada
kenyataannya, dalam peninjauan data sekitar 750 juta pasien yang dirawat di rumah sakit dari
tahun

1979 2000, didapatkan 10.319.418 diantaranya adalah kasus sepsis. Selama masa

peneitian, terjadi peningkatan tahunan 8,7% kejadian sepsis, dari sekitar 164.000 kasus menjadi
hampir 660.000 kasus yang dilaporkan dari hasil survei nasional yang menunjukan bahwa
selama hampir 1,6 juta pasien rawat inap pada anak usia 19 tahun atau dibawahnya, ada 42.364
1

kasus sepsis berat anak per tahun. Kejadian terbesar pada bayi (5,16 kejadian per 1000 kasus),
dan menurun tajam pada anak-anak lebih tua (0,20 per 1000 dalam usia 10 sampai 14 tahun), dan
lebih tinggi kejadian pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Mereka juga melaporkan
bahwa angka kematian di rumah sakit untuk pasien yang memenuhi kriteria sepsis berat adalah
sekitar 10%, atau kematian nasional 4383 (6,2 per 100,000 penduduk).

Etiologi Sepsis
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase 60-70 % kasus,
yang menyebabkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu
untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah
lipopolisakarida (LPS). LPS atau endotoksin glikoprotein kompleks merupakan komponen
utama membran terluar dari bakteri gram negatif. LPS merangsang peradangan jaringan, demam
dan syok pada penderita infeksi. Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi
dalam tubuh penderita. Staphylococci, Pneumococci, Sterptococcus dan bakteri gram negatif
lainnya menyebabkam sepsis. Selain itu jamur opoortunistik, virus ( dengue dan herpes ) atau
protozoa ( Falciparum malariae ) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis, walaupun jarang.
Peptidoglikan merupakan komponen dinding sel dari semua kuman, pemberian infus
substansi ini pada binatang akan memberikan gejala mirip pemberian endotoksin. Peptidogliksn
diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.
Eksotoksin yang dihasilkan oleh berbagai macam kuman , misalnya -hemolisin ( S.
Aurens ), E. coli hemolisin ( E. coli ) dapat merusak integritas membran sel imun secara
langsung.
Dari semua faktor diatas, faktor yang paling penting adalah LPS endotoksin gram negatif
dan dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak. LPS dapat langsung mengaktifkan sistem
imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala septicemia. LPS
sendiri tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang
bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang disebut faktor
nekrosis tumor (tumor necrosis factor/ TNF) dan interleukin 1(IL-1), IL-6, dan IL-8 yang
merupakan

mediator

kunci

dan

sering

mengikat

sangat

tinggi

pada

penderita

immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.


2

II TINJAUAN PUSTAKA

Fisiologis Pertahanan Tubuh


Sistem pertahanan tubuh kita dimulai dari yang tampak atau dari yang berukuran makro
saperti kulit,asam lambung, pergerakan cilia (pada epitel pernapasan), flora normal,
imunoglobulin, sekresi mukus, dan lapisan mukosa. Namun awal sepsis dimulai jika infeksi
dapat menembus lapisan mukosa sehingga faktor tersebut dapat lolos sampai ke aliran darah
(sistemik). Adapun pejamu juga mensekresikan protein yang secara tak langsung menghambat
perlengketan bakteri seperti fibronektin, laminin, kolagen, dan vitronekti. Protein-protein
tersebut berada pada matriks ekstraselular dan berfungsi untuk mencegah perlekataan bakteri
terhadap sel target sehingga mencegah bakteri dapat melakukan perlengketan dan menembus
lapisan sel untuk menuju pembuluh darah.
Tidak hanya sampai disitu, sekalipun bakteri berhasil lolos menuju pembuluh darah, tetap
ada pertahanan spesifik tubuh yaitu sel-sel imun seperti neutrofil, monosit-makrofag, limfosit (B
dan T), imunoglobulin, sistem komplemen dan sitokin.
Neutrofil adalah sel efektor yang berdiferensiasi yang merupakan garis pertahanan
pertama akan terjadinya infeksi, perlukaan jaringan atau kejadian lain yang dapat merangsang
peningkatan mediator peradangan seperti sitokin. Normalnya,setelah dikeluarkan ke pembuluh
darah, neutrofil akan tetap ada selama 6 sampai 7 jam. Hampir 50% dari sirkulasi neutrofil
melekat pada dinding endotelial pembuluh darah setelah dihasilkan oleh sumsum tulang
Monocytes-Macrophages merepresentasikan sebuah kelompok yang heterogen dari sel
yang terkait secara penotifikal yang timbul dari sel cabang yang sama sebagai granulosit.
Sebagaimana disebutkan, monosit-makrofag memperlihatkan beberapa kesamaan dengan
neutrofil dalam mempertahankan kelompok besar terhadap mikroba. Yang membedakan
monosit-makrofag dengan neutrofil adalah karena makrofag dapat bergerak menuju tempat yang
cidera atau meradang dengan pasien yang kekurangan 2 integrin. Makrofag dapat berpindah
melalui kemotaksis lain seperti komplemen pelengkap (C5a), peptida bakteri, antigen asing, dan
sitokin seperti IL-1, TNF-, dan MCP-1.

Limfosit timbul dari sebuah sel cabang hematopoietik pada sumsum tulang. Lebih dini
dalam jalur perbedaan, sel limfoid progenitor yang mengalami pematangan dalam satu dari dua
kompartemen yang terbatas, dimana ia membutuhkan karakteristik fungsional dan phenotypic.
Sel yang jelas meninggalkan sumsum tulang belakang untuk menjalani sebuah proses
pendidikan atau pematangan dalam thymus. Sel T yang matang melakukan migrasi dari
thymus yang menempati dalam pinggiran berbagai organ lymphoid seperti limpa, kelenjar getah
bening, potongan intestinal Peyer. Sel progenitor getah bening lainnya yang melakukan
pematangan baik pada sumsum tulang belakang ataupun liver fetal, dimana ia dikomitmenkan
pada sintesis kekebalan globulin (Sel B).
Faktor humoral memegang peranan penting sebagai mediator sel imun yaitu untuk
menuntun sel-sel penghancur mikroba menuju lokasi invasi. Berbagai respon selular adalah
sebuah fenomena kompleks yang tinggi yang sering diawali dan dioptimiskan dengan berbagai
faktor humoral yang luas termasuk kekebalan globulin, aktivasi komplemen, dan sitokin.
Imunoglobulin atau antibodi dihasilkan oleh Limfosit B yang sudah matang.

Patogenesis sepsis
Bakteri gram negatif memiliki struktur dinding sel luar yang khas terdiri dari
lipopolisakarida yang dikenal sebagai endotoksin karena dapat memacu respons toksin. Toksin
akan direspons oleh sitokin yang akan mengaktivasi respons immun. Pada fase awal tumor
necrosis factor (TNF) , IL-1, IL-6, IL-8 dan platelet agregating factor (PAF) berperan dalam
proses terjadinya respons immun sistemik yang terjadi pada jam ke 2. Sitokin ini juga
menyebabkan depresi miokard, menghambat oksigen radikal spesies pada sel endotel dan
menyebabkan dilatasi otot polos vaskuler. Interleukin 6 dan granulosite colony stimulating
factor (G-CSF) mulai berperan dalam memproduksi immunoglobulin sel B aktif, differensisis sel
T, sintesis protein fase akut (CRP). G-CSF berperan dalam peningkatan aktivasi neutrofil,
memperlambat apoptosis neutrofil dan meningkatkan produksinya dari sumsum tulang. Juga
terjadi peningkatan degranulasi neutrofil, perlekatan pada endotel dan daya oksidasi neutrofil.
Terjadi aktivasi kaskade koagulasi dan sistem komplemen. Proses metabolisme asam arakhidonat
menghasilkan leukotrien, tromboksan A2, dan prostaglandin (PGE2 dan PGI2). IL-1 dan IL-6
akan mengaktivasi sel T untuk menghasilkan interferon , IL-2, IL-4 dan GM-CSF. Interaksi
4

tersebut akan meningkatkan respons inang terhadap infeksi. Interferon gamma dan TNF akan
meningkatkan aktivitas fagosit neutrofil.
Tabel 3. Mediator sepsis
Type

Mediator

Activity

Lipopolysaccharide
Lipoteichoic acid
Cellular
mediators

Peptidoglycan
Superantigens

Activation of macrophages, neutrophils, platelets, and


endothelium releases various cytokines and other
mediators

Endotoxin
Humoral
mediators

Cytokines
TNF-alpha and IL-1
IL-8
IL-6
IL-10
MIF*

Potent proinflammatory effect


Neutrophil chemotactic factor
Acts as pyrogen, stimulates B and T lymphocyte
proliferation, inhibits cytokine production, induces
immunosuppression

G-CSF
Complement
Nitric oxide
Lipid mediators
Phospholipase A2
PAF
Eicosanoids

Activation and degranulation of neutrophils


Cytotoxic, augments vascular permeability,
contributes to shock
Involved in hemodynamic alterations of septic shock
Promote neutrophil and macrophage, platelet

Arachidonic acid
metabolites

Adhesion molecules

activation and chemotaxis, other proinflammatory

Selectins

effects

Leukocyte integrins

Enhance vascular permeability and contributes to lung


injury
Dikutip dari Sharma S. 2004
Pada dasarnya terdapat keseimbangan antara mediator proinflamasi dengan antiinflamasi.
Bila penyebab inflamasi lebih dominan kerusakan akan berlanjut menjadi DIC, depresi otot
jantung, gangguan mikrosirkulasi, gangguan penyaluran oksigen ke jaringan, gagal multi organ.
Terjadinya gangguan homeostasis dan aktivasi sistem inflamasi intravaskuler pada syok septik
terutama disebabkan disregulasi dalam pembentukan berbagai sitokin. Endotoksin, TNF , PAF
leukotrien dan tromboksan A2 meningkatkan permeabilitas kapiler. Endotel juga melepaskan
endothelium derived relaxing factor yang menyebabkan relaksasi otot polos dan menghambat
agregasi trombosit. Aktivasi komplemen akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan
permeabilitas vaskuler, aktivasi dan degranulasi neutrofil. Proses ini melepaskan oksigen radikal
bebas, enzim lisosomal, pembentukan mikroemboli yang akan merusak endotel vaskuler 4,5.
Tabel 4. Kriteria disfungsi organ ganda
Organ System
Pulmonary

Mild Criteria
Hypoxia/hypercarbia requiring assisted

ARDS requiring PEEP* >10

ventilation for 3-5 d

cm H2O and FiO2 <0.5

Bilirubin 2-3 mg/dL or other liver


Hepatic

Severe Criteria

function tests more than twice normal,


PT elevated to twice normal

Jaundice with bilirubin 8-10


mg/dL

Renal

Gastrointestinal

Hematologic

Cardiovascular
CNS
Peripheral nervous
system

Oliguria (<500 mL/d or increasing


creatinine) 2-3 mg/dL
Intolerance of gastric feeding for more
than 5 d
aPTT >125% of reference range,
platelets <50-80,000

Dialysis
Stress ulceration with need for
transfusion, acalculous
cholecystitis
DIC

Decreased ejection fraction with

Hyperdynamic state not

persistent capillary leak

responsive to pressors

Confusion

Coma

Mild sensory neuropathy

Combined motor and sensory


deficit

Gambar. 1 Skema patogenesis sepsis (dikutip dari Sharma, 2004)

Hipotensi terjadi akibat aktivasi faktor XII, prekalikrein, kalikrein, kininogen, bradikinin
yang bersifat vasodilator kuat.
yang

menyebebkan

gangguan

Proses selanjutnya akan terjadi penurunan deformitas eritrosit


homeostasis

mikrosirkulasi.

Peningkatan

permeabilitas

mikrovaskuler pada sistem vaskuler sistemik dan paru menyebabkan edema jaringan terutama di
paru, ginjal, kulit, otot, jantung dan otak. Pooling intravasculer dapat terjadi di intestinal akibat
relaksasi arteriolae dan konstriksi venulae. Darah yang terperangkap ini menyebabkan volume
kapiler menurun, aliran balik vena dan curah jantung menurun. Kongesti darah dapat terjadi di
paru dan kelenjar adrenal yang bisa berlanjut menjadi perdarahan. Respons adrenergik dalam
mikrosirkulasi akan dipengaruhi oleh endotoksin dan terjadi gangguan sensitivitas terhadap

noradrenalin. Peningkatan viskositas darah dan resistensi post kapiler. Redistribusi aliran darah
organ, terbukanya arteriovenous shunt, reaksi multiple endotelium 4.
Faktor Resiko Sepsis:
Faktor risiko sepsis pada anak menurut Zimmerman dan Bone adalah :
1. Faktor pejamu :
Malnutrisi, immunodefisiensi, penyakit kronis, trauma/ luka bakar, penyakit berat.
2. Faktor pengobatan :
Tindakan operasi, prosedur invasif, antibiotika, terapi immunosupresif, lama perawatan,
lingkungan rumah sakit.
Gambaran Klinis
Tanda SIRS ditemukan 2 dari gejala berikut :
1. Suhu tubuh > 38 0C atau < 36 0C
2. Denyut jantung > 90 kali/menit
3. Laju napas >

20 kali/menit atau Pa CO2 < 32 mmHg

4. Leukosit > 12.000 atau < 4.000/mm3 atau ditemukan10% leukosit imatur.
Beberapa ahli tidak sependapat untuk syarat penemuan kuman gram negatif, mengingat bahwa
bakteri tersebut sering sudah tidak dijumpai, disamping itu kuman penyebab tidak selalu gram
negatif 1,2.
Sepsis ditandai dengan gejala SIRS dan ditemukannya kuman penyebab infeksi. Gejala
tambahan berupa gangguan perfusi organ :
1. Perubahan status mental.
2. Hipoksemia, PaO2 <72 mm Hg dengan FiO2 21%.
3. Peningkatan kadar laktat plasma.
4. Oliguria (produksi urine < 30 ml atau 0.5 ml/kg selama minimal 1 jam)
Infeksi merupakan istilah untuk menamakan keberadaan berbagai kuman yang masuk
ke dalam tubuh manusia. Bila kuman berkembang biak dan menyebabkan kerusakan jaringan
disebut penyakit infeksi yang terjadi jejas sehingga timbul reaksi inflamasi. Meskipun dasar
9

proses inflamasi sama, namun intensitas dan luasnya tidak sama, tergantung luas jejas dan reaksi
tubuh. Inflamasi akut dapat meluas serta menyebabkan tanda dan gejala sistemik.
Inflamasi ialah reaksi jaringan vaskuler terhadap semua bentuk jejas. Pada dasarnya
inflamasi adalah suatu reaksi pembuluh darah, syaraf, cairan dan sel tubuh di tempat jejas.
Inflamasi akut merupakan respon langsung yang dini terhadap agen penyebab jejas dan kejadian
yang berhubungan dengan inflamasi akut sebagian besar dimungkinkan oleh produksi dan
pelepasan berbagai macam mediator kimia. Meskipun jenis jaringan yang mengalami inflamasi
berbeda, mediator yang dilepaskan adalah sama.
Sepsis merupakan SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui ( ditentukan dengan
biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut ). Meskipun SIRS, sepsis dan syok septic
biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia. Bakteriemia
adalah keberadaan bakteri hidup dalam komponen cairan darah, bersifat sepintas, dijumpai
setelah jejas berada dipermukaan mukosa primer ( tanpa fokus infeksi intravaskuler atau
ekstravaskuler ). Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan
hipoperfusi atau hipotensi.

Diagnosa Klinis
Upaya untuk membakukan terminologi telah mengakibatkan pembentukan kriteria untuk
diagnosis sepsis dalam dewasa dirawat di rumah sakit. Kriteria ini meliputi manifestasi dari
pejamu menanggapi infeksi, selain identifikasi organisme. Istilah sepsis, sepsis berat dan syok
septik digunakan untuk menghitung besarnya sistemik reaksi radang. Pasien dengan sepsis
memiliki bukti dari infeksi, serta sistemik tanda-tanda dari peradangan (misalnya, demam,
leukositosis dan takikardia). Hipoperfusion dengan tanda-tanda disfungsi organ disebut sepsis
berat. Syok septik memerlukan kehadiran di atas, terkait dengan bukti-bukti yang lebih
signifikan jaringan hipoperfusion dan hipotensi sistemik. Di samping hipotensi, maldistribusi
dari aliran darah dan shunting di mikrosirkulasi, lebih lanjut yaitu terganggunya pengiriman
nutrisi untuk jaringan sekitar.
Mengenali sepsis dimulai dengan mendefinisikan pasien berisiko. Manifestasi klinis sepsis
biasanya akan menjadi jelas dan meminta inisiasi perawatan sebelum konfirmasi bakteriologik
10

organisme atau sumber organisme diidentifikasi. Selain demam, takikardia, dan takipnoe, tandatanda hipoperfusi seperti kebingungan, malaise, oliguria, atau hipotensi mungkin ditemukan.
Karena hal-hal ini maka kita harus agresif mencari adanya kemungkinan infeksi termasuk
melalui pemeriksaan fisik yang menyeluruh, inspeksi dari semua luka, evaluasi kateter infus atau
badan-badan asing lainnya, mendapatkan kultur sesuai, dan terapi ajuvan sebagaimana
diperlukan.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:
*Laboratorium: Kultur darah dengan mengambil specimen darah pasien dengan
mengisolasi mikroorganisme darah atau situs lokal infeksi.
Penatalaksanaan
Dasar pengelolaan :
Dasar strategi pengelolaan meliputi :
1. Mencari dan memberantas kuman penyebab infeksi dengan memberi antibiotik adekuat
menghilangkan fokal infeksi dengan tindakan bedah.
2. Memulihkan hemodinamik dengan resusitasi cairan 10-20 ml/kgBB kristaloid maupun
koloid. Perbaikan tekanan perfusi dan fungsi jantung dapat dilakukan dengan pemberian
vasoaktif dan inotropik.
3. Memulihkan fungsi organ.
Untuk mencapai tujuan diatas diperlukan pemberian antibiotika walaupun hasil kultur
kuman belum ditemukan. Tindakan menghilangkan sumber infeksi dikerjakan dengan
drainase eksudat, eksisi nekrosis, ekstirpasi . Menghilangkan perubahan hemodinamik
dan pemulihan perfusi jaringan dengan cepat. Memperbaiki pernapasan, pemberian
cairan adekuat, pemberian kortikosteroid masih kontroversi, penggunaan vasoaktif
dengan memperbaiki aliran darah dan perfusi jaringan dan memulihkan tekanan darah.
4. Memulihkan fungsi organ tubuh vital terutama jantung, paru, ginjal.
5. Penggunaan antiendotoksin dan antimediator : antibodi anti TNF , antibodi anti IL-1,
IGM, IGA, IGG, Ep5, HA-1A, interferon gamma.
6. Pengelolaan lain : nutrisi, perawatan intensif, monitoring ketat
11

Tatalaksana yang dapat diberikan antara lain pemberian antibiotika, dimana pemberian
antimikroba harus diberikan secepatnya setelah darah dan specimen lainnya dikultur. Apabila
hasilnya belum dapat ditentukan dapat diberikan pengobatan secara empirik yang efektif
melawan bakteri gram positif dan gram negatif. Pemilihan antimikroba dapat merupakan hal
yang kompleks, maka harus memperhatikan riwayat pasien, komorbiditas, sindroma klinis, data
pewarnaan gram, dan pola resistensi lokal. Dosis maksimal antimikroba yang dianjurkan dapat
diberikan secara intrvena, dengan penyesuaian pada gangguan renal jika dibutuhkan. Apabila
hasil

kultur

telah

didapatkan,

maka

regimen

dapat

lebih

disederhanakan,

karena

seringkaliantimikroba tunggal dapat adekuat untuk pengobatan pathogen yang diketahui.

Komplikasi
Komplikasi yang akan terjadi pada penderita septik bila tidak segera ditangani sebagai
berikut:
Kegagalan multi organ akibat penurunan aliran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan
Sindrom distres pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler
karena hipoksia
Insiden syok septik dapat dikurangi dengan melakukan praktik pengendalian infeksi,
melakukan teknik aseptik yang cermat, melakukan debridemen luka untuk membuang jaringan
nekrotik, pemeliharaan dan pembersihan peralatan secara tepat dan mencuci tangan dengan
benar.

12

Anda mungkin juga menyukai