BELLS PALSY
Oleh:
Dina Fatma Dwimarta, S.Ked
Elisha Jethro Solaiman, S.Ked
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul Bells Palsy.
Laporan kasus ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di
Bagian/Departemen Rehabilitasi Medik RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Yenny Fitrizar selaku
pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama penulisan dan penyusunan
laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan
kasus ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis
harapkan. Semoga laporanini dapat memberi manfaat bagi pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
KATA PENGANTAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................4
BAB II
BAB I
PENDAHULUAN
Bells Palsy merupakan paresis atau paralisis nervus fasialis akut idiopatik di luar
sistem saraf pusat tanpa adanya penyakit neurologik lainnya 1. Hal ini mengakibatkan pada
ketidakmampuan untuk menggerakkan sebagian atau seluruh otot wajah pada sisi yang
terkena. Kelainan ini dapat menyerang baik pria maupun wanita tanpa mengenal perbedaan
usia.1
Insidensi Bells Palsy mencakup 40-70% dari seluruh kelumpuhan saraf fasialis akut
dan Kondisi ini dialami 25 dari 100.000 orang per tahun. Insidensi meningkat seiring
bertmbahnya usia, pada penderita diabetes dan pada wanita hamil. 8-10% kasus berhubungan
dengan riwayat keluarga yang pernah menderita penyakit ini.8
Gambaran umum pada pasien Bells Palsy yang sering dijumpai yakni tidak dapat
menutup mata secara sempurna, alis mata yang turun, tidak tampaknya plika nasolabial,
tampak sudut mulut yang tertinggal dan mirip dengan gambaran klinis stroke pada wajah.
Bells Palsy bersifat akut dan dapat datang pada saat kapan saja. Kelumpuhan parsial yang
dialami oleh pasien dapat berubah menjadi kelumpuhan total dalam 1-7 hari.
Dampak yang ditimbulkan cukup besar bagi pasien. Paralisis menyebabkan kesulitan
menggerakkan otot wajah dan menyebabkan asimetri pada wajah yang dapat mengurangi
kepercayaan diri dari penderita. Selain itu pasien juga dapat mengalami peningkatan produksi
air mata, peningkatan produksi saliva dan perubahan sensitivitas pengecapan.8
Tujuan dari pengobatan Bells Palsy yakni untuk mempercepat penyembuhan,
mencegah kelumpuhan parsial yang dapat menjadi komplit, menurunkan insidensi sinkinensi
dan kontraktur dan mencegah kelainan pada mata, selain itu dapat mengurangi beban
psikologis yang dialami pasien akibat Bells palsy. Bells Palsy dapat sembuh tanpa
deformitas, walaupun membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu yang lama. 8
BAB II
STATUS PASIEN
I.
II.
IDENTIFIKASI
a. Nama
b. Umur
c. Jenis Kelamin
d. Agama
e. Pekerjaan
f. Alamat
g. MRS Tanggal
: Ny. Z
: 34 th
: Perempuan
: Islam
: IRT
: Palembang
: 27 Juli 2016
ANAMNESIS
Tanggal
:
a. Riwayat Penyakit Sekarang
1. Keluhan Utama
: Lemah pada wajah sebelah kiri
2. Riwayat Perjalanan Penyakit
:
Pasien datang dengan keluhan lemah pada wajah sebelah kiri, keluhan
dirasakan sejak 2 hari yang lalu. Saat pasien bangun tidur, pasien merasakan
ada yang ganjil di wajah, berawal dari pasien merasakan mulut pasien
bengkok ke kanan, kemudian mata kiri pasien tidak menutup sempurna saat
pasien ingin menutup mata. Pasien mengaku selalu tidur menggunakan kipas
angin dan kipasnya diarahkan ke bagian wajah pasien. Pasien berkendara
dengan motor saat mengantar anak ke sekolah. Pasien tidak mengeluh ada
nyeri pada telinga. Pasien tidak mengeluhkan nyeri kepala, muntah dan juga
pusing. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Pasien mengaku
3.
kalau pasien minum sering tumpah dari sisi kiri mulut pasien.
Keluhan Tambahan
: + 2 hari SMRS, penderita merasakan mulut
mengot ke kanan disertai mata kiri sulit
menutup. Kelemahan sesisi tubuh (-), lidah
pelo (-), hipersalivasi (-), tidak ada
gangguan
pengecapan
dan
telinga
berdenging (-).
b.
c.
d.
Riwayat Pekerjaan
5
Pasien adalah seorang guru, setiap berangkat kerja mengendarai motor, di rumah
menggunakan kipas angin.
III.
PEMERIKSAAN FISIK
A. Pemeriksaan Fisik Umum
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran
: Compos mentis
BB
: 154 cm
TB
: 47 Kg
IMT
: 19,8 m2/kg
Tanda vital
TD
: 120/80 mmHg
Nadi
: 82 x/min
Pernafasan
: 20 x/min
Suhu
: 36,9 o C
Kepala
Bentuk normocephal
Mata
Hidung
Telinga
Leher
Thoraks
Jantung
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Auskultasi
Paru
Inspeksi
Palpasi
simetris
Nyeri tekan (-), vokal fremitus normal kanan = kiri
6
Perkusi
Auskultasi
Abdomen
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
Timpani
Auskultasi
Punggung
Inspeksi
Hasil
20 x 70% = 14
Angkat alis
10 x 30% = 3
Menutup mata
30 x 30% = 9
Tersenyum
30 x 30% = 9
Mencucu/Bersiul
10 x 30% = 3
Jumlah
38
Keterangan
1. Derajat I : normal (100 poin)
2. Derajat II : asimetris cukup (75-99 poin)
3. Derajat III : asimetris jelek (25-50 poin)
7
PEMERIKSAAN PENUNJANG
-
V.
DIAGNOSIS BANDING
Bells Palsy
Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster)
VI.
DIAGNOSIS KERJA
Bells palsy sinistra
IX. TATALAKSANA
a. TERAPI ( SUPORTIF SIMPTOMATIS-CAUSATIF)
Farmakologis
Prednison 4x3 tab
Asyclovir 4x400 mg
Omeprazol 1x20 mg caps
Neurodex 1x1 tab
Rehabilitasi
1. MWD
2. Masase wajah kanan
3. Elektro stimulasi motor wajah
X.
PROGNOSIS
Quo ad Vitam: Dubia ad Bonam
Quo ad Fungsionam: Dubia ad Bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Anatomi Wajah
Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari dua akar saraf, yaitu
akar motorik (besar dan medial) dan intermedius (kecil dan lateral) Akar motorik
berasal dari nukleus fasialis dan berfungsi membawa serabut- serabut motorik ke otototot ekspresi wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior,
membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal, submandibular, dan
sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut- serabut
aferen
untuk
pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen somatik dari kanalis auditori
eksterna dan pinna. Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan
berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan saraf
vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus.1,3,4
Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki
panjang terdiri dari 3 segmen yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen
labirin terletak antara vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum.
Karena kanal paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm),
maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di
daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan
jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion
genikulatum, memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam
foramen lacerum dan
berjalan
menuju
ganglion
pterigopalatina.
Saraf
ini
10
2.2
Bells Palsy
2.2.1. Definisi
Bells palsy adalah paralisis nervus fasialis (N.VII) yang merupakan sebuah fase
akut, bersifat unilateral, perifer, dan mempengaruhi lower motor neuron yang
etiologinya tidak diketahui, dikenal dengan nama paralisis fasial idiopatik
(idiopathic facial paralysis).5,6 Penyakit ini menyerang saraf dan otot-otot pada
wajah yang menyebabkan kelumpuhan pada sebelah sisi dari wajah. Gejalanya
mengikuti gangguan pada nervus yang mempersarafi otot-otot ekspresi pada
wajah. Termasuk otot pada alis mata, bibir, hidung, dan mulut. Saraf tersebut juga
memberi sensasi pada bagian depan lidah, kelenjar keringat pada wajah dan
kelenjar air mata.5
2.2.2. Epidemiologi
Kondisi ini dialami 25 dari 100.000 orang per tahun berujung pada
ketidakmampuan untuk menggerakkan sebagian atau seluruh otot wajah pada sisi
yang terkena.1,2 Bells Palsy diperkirakan merupakan penyebab 60-75% dari total
kalus paralisis fasial unilateral akut. Pada umumnya, Bells palsy terjadi dalam
rentang usia 1560 tahun, dengan prevalensi tertinggi terdapat pada rentang usia
1544 tahun, dan lebih sering terjadi pada pendeita diabetes melitus, pasien
imunokompromais, dan perempuan hamil.6,7
2.2.3. Etiologi
11
Penyebab bells palsy sering tidak diketahui, namun dapat disebabkan karena
infeksi virus, autoimun, gangguan sirkulasi atau trauma, maupun inflamasi di
sekitar saraf.5 Ditemukan DNA virus Herpes Simplex Virus (HSV) di ganglion
geniculatum pada sebagian besar pasien dengan Bells Palsy. Dengan
menggunakan PCR, 11 dari 14 kasus Bells palsy memiliki DNA HSV tipe 1 pada
cairan endoneural yang menyelubungi nevrus fasialis. Selain itu pasien dengan
penyakit lyme dan Ramsay Hunt Syndrome juga mengakibatkan pembengkakan
pada gangilion genikulatum yang menyebabkan paralisis dari nervus fasialis.
2.2.4. Patofisiologi
Patofisiologi Bells Palsy adalah proses edema dan iskemia yang menyebabkan
kompresi nervus fasialis di dalam kanalis fasialis (bagian dari tulang temporalis),
penyebab edema dan iskemia tersebut belum dapat dipastikan. Bagian
labyrinthine segment merupakan bagian pertama dan tersempit dari kanalis
fasialis, lokasi ini merupakan lokasi tersering terjadinya kompresi nervus fasialis.
Pada bells palsy jejas nervus fasialis terletak perifer dari nukleus nervus tersebut,
diduga terletak di dekat atau pada ganglion geniculata. Jika lesi terletak
proksimal dari ganglion tersebut, paralisis motorik disertai kelainan gestatorik
dan gangguan lakrimasi. Jika lesi terletak di antara ganglion geniculata dan
proksimal korda timpani, keluhan yang sama akan timbul tanpa adanya gangguan
lakrimasi. Jika lesi terletak di foramen stylomastoideus, maka hanya terjadi
paralisis otot motorik wajah. Gangguan pertama yang timbul ketika terjadi
kompresi nervus fasialis adalah terjadi kerusakan pada endotelium dari kapiler
sehingga permeabilitas kapiler meningkat, lalu terjadi kebocoran kapiler
kemudian terjadi edema pada jaringan di sekitarnya dan akan terjadi gangguan
aliran darah sehingga terjadi hipoksia yang menyebabkan kematian sel.
Kerusakan sel ini menyebabkan adanya enzim proteolitik, terbentuk juga peptidapeptida toksis dan pengaktifan kinin dan kallikrein sebagai hancurnya nukleus
dan lisosom. Jika dibiarkan dapat terjadi kerusakan permanen.6
2.2.5. Manifestasi Klinis 6
Kelemahan pada otot wajah yang terjadi secara tiba-tiba
Kesulitan menutup sebelah mata atau susah berkedip
Keluar air liur dari mulut
Adanya air mata berlebihan atau mata kering
Perubahan sensasi pada salah satu sisi wajah
Sakit kepala
Kerusakan indra pengecap
12
Kesulitan bicara
Pusing
Nyeri tumpul di belakang telinga dan di sekitar rahang
Sulit makan dan minum
Ketika pasien tersenyum, wajah menjadi distorsi dan terjadi lateralisasi ke sisi
13
Gambar 6. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi
supranuklear
Kriteria Diagnosis
Menurut Taverner10
a. Paralisis dari semua kelompok otot ekspresi wajah pada satu sisi wajah
b. Onset yang tiba- tiba
c. Tidak adanya tanda- tanda penyakit susunan saraf pusat (SSP)
d. Tidak adanya tanda penyakit telinga dan penyakit cerebellopontine angle
Menurut Ronthal dkk.11
a. Terdapat suatu keterlibatan saraf fasialis yang difus yang
digambarkan dengan paralisis dari otot- otot wajah, dengan atau tanpa
kehilangan pengecapan pada dua pertiga anterior lidah atau sekresi yang
berubah dari kelenjar saliva dan lakrimal.
b. Onset akut, terjadi dalam 1 atau 2
hari,
perjalanan
penyakit
Dinilai kondisi simetris atau asimetris antara sisi sehat dan sisi sakit pada 5
posisi
Posisi
Istirahat
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Tersenyum
Bersiul
Nilai
Persentase (%)
0, 30, 70, 100
Skor
20
10
30
30
10
Total
Penilaian persentase :
0 % : asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter
30 % : simetris, poor/jelek, kesembuhan yang ada lebih dekat ke asimetris
normal
100% : simetris, normal/komplit
tumor
saliva)
Pasien
dengan
tumor
(seperti
memiliki
c.
Pasien dengan Lyme disease juga memiliki riwayat terpapar dengan kutu,
adanya ruam- ruam di kulit dan arthralgia. Saraf fasialis yang sering terlibat
adalah bilateral. Penyakit ini endemis di daerah tertentu, seperti di negaranegara bagian utara dan timur Amerika Serikat, di pertengahan barat
(Minnesota dan Wisconsin), atau di Califomia atau Oregon selama musim
panas dan bulan- bulan pertama musim gugur. Di daerah- daerah ini
merupakan lokasi geografis dimana vektor kutu ditemukan. Gangguan ini
d.
e.
2.2.8. Prognosis
Bells palsy memiliki prognosis yang baik. Sebagian besar pasien bells palsy
dapat sembuh sempurna. Proses penyembuhan dapat berlangsung cepat atau dapat
manghabiskan waktu beberapa bulan. Dibutuhkan saran dan edukasi dari
fisioterapis untuk mempercepat perbaikan.5
2.2.9. Tatalaksana
Terapi Farmakologis6
Pembedahan
Pembedahan dapat dipertimbangkan bila pasien tidak responsif terhadap
farmakologi dan dengan degenerasi aksonal >90%. Degenerasi aksonal dapat
16
dilihat pada pemeriksaan EMG nervus fasialis dalam 3 minggu setelah awitan
paralisis.6
Terapi Non-farmakologis
Kornea mata memiliki risiko mengering dan terpapar benda asing.
Proteksinya dapat dilakukan dengan penggunaan air mata buatan (artificial
tears), pelumas (saat tidur), kaca mata, plester mata, penjahitan kelopak mata atas,
atau tarsorafi lateral (penjahitan bagian lateral kelopak mata atas dan bawah).
Rehabilitasi fasial secara komprehensif yang dilakukan dalam empat bulan setelah
onset terbukti memperbaiki fungsi pasien dengan paralisis fasialis. Namun,
diketahui pula bahwa 95% pasien sembuh dengan pengobatan prednison dan
valasiklovir tanpa terapi fisik.
Rehabilitasi fasial meliputi edukasi, pelatihan neuro-muskular, masase,
meditasi-relaksasi, dan program pelatihan di rumah. Terdapat empat kategori
terapi yang dirancang sesuai dengan keparahan penyakit, yaitu kategori inisiasi,
fasilitasi, kontrol gerakan, dan relaksasi.9,10
1.
2.
3.
dilakukan sebanyak minimal 20-40 kali dengan 2-4 set per hari.
Kategori kontrol gerakan yangditujukan pada pasien dengan simetri wajah
ringan-sedang saat istirahat, masih mampu menginisiasi sedikit gerakan, dan
terdapat sinkinesis. Strategi yang digunakan berupa mobilisasi jaringan
lunak dalam otot wajah dengan agresif, reedukasi neuromuskular di depan
kaca seperti kategori fasilitasi, namun secara simultan mengontrol gerakan
sinkinesis pada bagian wajah lainnya, dan disertai inisiasi strategi meditasirelaksasi.
17
4.
18
sebagai
standar
oleh
American Academy of
19
20
BAB IV
ANALISIS KASUS
Ny. Z datang ke rumah sakit karena wajah kanan kaku tiba-tiba ketika bangun tidur. Ny.
W juga merasakan mulut mengot ke kanan disertai mata kiri sulit menutup dan berair.
Kelemahan sesisi tubuh (-), lidah pelo (-), hipersalivasi (-), tidak ada gangguan pengecapan
dan telinga berdenging (-). Kelumpuhan wajah sebelah kiri pada Ny. Z terjadi akibat paralisis
nervus fasialis. Ny. Z juga mengalami kelumpuhan di bagian dahi dan mata, itu artinya lesi
pada kasus ini terletak di perifer.
Ny. Z seorang ibu rumah tangga, beliau setiap hari mengendarai motor saat antar anak
ke sekolah, dan di rumah Ny. Z tidur dengan kipas angin. Terkena paparan angin terus
menerus dapat menyebabkan bells palsy. Diduga pada kasus ini bells palsy diduga terjadi
akibat Herpes Simplex Virus dan paparan angin yang terus menerus pada wajah Ny. Z.
Pada penilaian Ugo Fisch Scale, didapatkan nilai 38 dengan perhitungan sebagai
berikut:
Posisi
Istirahat
Mengerutkan dahi
Menutup mata
Tersenyum
Mencucu/Bersiul
Nilai
20
10
30
30
10
Persentase (%)
0, 30, 70, 100
70
30
30
30
30
Skor
14
3
9
9
3
Total=38
Untuk terapi, Ny. Z diberikan terapi farmakologis dan fisioterapi. Obat yang diberikan
pada Ny. Z adalah: prednison (steroid) sebagai terapi bells palsy, penggunaan kortikosteroid
untuk mencegah kelumpuhan yang bersifat permanen akibat pembengkakan nervus fasialis.
Asyclovir diberikan karena pada sebagian besar kejadian Bells Palsy ditemukan HSV.
Omeprazol mungkin diberikan seiring dengan pemberian prednison sebagai langkah preventif
terjadinya tukak lambung. Diberikan juga neurodex sebagai suplemen dalam proses
penyembuhan karena di dalamnya mengandung vitamin B1, B6, dan B12. Ny. Z
mendapatkan MWD di regio stylomastoideus sinistra untuk mengurangi nyeri, masase wajah
untuk melatih otot-otot wajah, dan diberikan elektrostimulasi untuk mencegah atrofi,
menstimulasi otot, dan memperkuat otot yang masih lemah.
21
DAFTAR PUSTAKA
1.
Reginald Baugh, Gregory Basura, Lisa Ishii, Seth R. Schwatz, Citlin Murray
Drumheller, Rebecca Burkholder, Nathan A. Deckard, Cindy Dawson, Colin Driscoll,
Boyd Gillespie, Richard K. Gurgel, John Halperin, Ayesha N. Khalid. Clinical
Practice Guilde Summary Bells Palsy. AAO-HNSF 2013:34-42.
2. Ropper Allan H., Robert H. Brown. Adams and Victors Principles of Neurology.
Eight Edition.McGraw-Hill 2005
3. Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bells palsy. Acta Universitatis
Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the
Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala.
4. Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves: Functional Anatomy. Cambridge University
Press. New York.
5. The Physio Company. 2013. Rehabilitation Advice for Bells Palsy Facial
Weakness . http://www.thephysiocompany.com/ . Diakses pada 27 Maret 2016
6. Arifputera, A., dan F.O. Sumantri. 2014. Bells Palsy. Dalam: C. Tanto, F. Liwang, S.
Hanifati, dan E.A. Pradipta (Editor). Kapita Selekta Kedokteran Edisi ke-4 Volume II
(halaman 957-958). Media Aesculapius, Jakarta, Indonesia.
7. Brach, J. S. dan J. M. VanSwearingen. Physical Therapy for Facial Paralysis: A Tailored
Treatment Approach. Physical Therapy 4(79):397-404, (http://ptjournal.apta.org/,
diakses pada 27 Maret 2016).
8. Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bells palsy: Diagnosis and
Management. American Academy of Family Physicians.76:997-1002
9. Kanerva,M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and Melkersson-Rosenthal
Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, in press.
10. Ronthal, M., Shefner, J.M., Dashe, J.F.2012. Bells palsy: Pathogenesis, Clinical
Features, and Diagnosis in Adults. Available from: www.uptodate-com
11. Lindsay RW, Robinson M, Hadlock TA. Comprehensive facial rehabilitation improves
function in people with facial paralysis: a 5-year experience at the Massachussets Eye
and Ear Infirmary. Phys Ther. 2010;90:391-7.
12. Van Swearingen J. Facial rehabilitation: a neuromuscular reeduca- tion, patient-centered
approach. Facial Plast Surg. 2008;24:250-9.
22