Anda di halaman 1dari 20

ANTIBIOTIK NEFROTOKSIK : PENGGUNAAN PADA GANGGUAN FUNGSI

GINJAL
Ginjal merupakan organ vital yang berperan dalam mempertahankan
kestabilan biologis dalam tubuh. Ginjal berperan penting dalam
pengaturan cairan tubuh, keseimbangan elektrolit, pengeluaran hasil
metabolit dan eksresi obat dari dalam tubuh 37. Berdasarkan hal tersebut,
diperlukan perhatian yang cukup besar agar organ tersebut tetap
berfungsi dengan baik.
Terdapat dua macam istilah umum gagal ginjal yaitu gagal ginjal akut dan
gagal ginjal kronik. Gagal ginjal akut, terjadinya penurunan fungsi ginjal
secara tibatiba yang dapat disebabkan oleh kerusakan, sirkulasi yang
buruk atau penyakit ginjal lainnya 20. Gagal ginjal kronik merupakan
penurunan fungsi yang progresif selama beberapa bulan hingga bertahuntahun yang ditandai berubahnya bentuk serta fungsi dari ginjal normal
secara bertahap 26
Sebagian besar obat yang larut air dieksresikan dalam jumlah tertentu
dalam bentuk utuh melalui ginjal. Dosis obat obat tersebut, terutama
yang memiliki kisar terapetik sempit (narrow therapeutic window drugs)
butuh penyesuaian yang hatihati apabila diresepkan pada pasien dengan
fungsi ginjal menurun. Akumulasi kadar obat dalam plasma dapat terjadi
dan level toksik minimum dapat terlewati apabila dosis tidak dihitung
berdasarkan fungsi ginjal pasien. Sebagian besar obat juga memiliki efek
merusak ginjal (nefrotoksik), sehingga dosisnyajuga harus disesuaikan
pada pasien yang mengalami penurunan fungsi ginjal. 23
Strategi penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal dapat membantu
dalam terapi obat individu dan dapat mencegah penurunan kualitas hidup
pasien lebih lanjut 19. Metode yang direkomendasikan dalam mengatur
penyesuaian dosis adalah dengan mengurangi dosis, memperpanjang
interval dosis atau kombinasi keduanya 32
Penyesuaian dosis pada pasien gagal ginjal bertujuan untuk mendapatkan
terapi yang optimaln dan agar ginjal pasien tidak mengalami beban yang
berlebih akibat peingkatan kadar obat dalam plasma. 32,37 Efek terapi
setiap obat akan berbeda-beda pada setiap individu terkait dengan
fisiologis individu tersebut dan proses kinetika obat. Efek terapi yang
optimal diperoleh dengan mempertimbangkan respon klinis secara
farmakodinamik dengan menggunakan dosis minimal terapi (dosis
minimal yang memberikan efek optimal). Perhitungan dosis berdasarkan
prinsip farmakokinetik merupakan salah satu pedoman dalam
menetapkan dosis paling tepat pada terapi pasien terutama pasien-pasien
populasi khusus seperti pasien gagal ginjal.
Beberapa antibiotika yang sering menyebabkan gangguan ginjal antara
lain golongan aminoglikosida, golongan beta laktam,
vancomisin,sulfonamide. kotrimoksazol,azyclovir, amphotericin B,

rifampisin dll . Obat antibiotik sebagian diekskresikan lewat ginjal bila


ginjal mengalami gangguan fungsi maka pemberian obat tentunya harus
disesuaikan. Untuk ini kita perlu mengetahui perubahan
farmakokinetiknya dan farmakodinamiknya. Pengaturan penggunaan obat
memerlukan dosis yang sesuai dengan kemampuan fungsi ginjal,
karenanya perlu ditentukan pengaturan loading dose, maintenance dose
serta perubahan mentenance dose bila bersihan obat berubah.
Obat-obat antibiotik dapat menginduksi kerusakan ginjal melalui berbagai
cara antara lain berkurangnya natrium dan air , perubahan pada aliran
darah, kerusakan ginjal dan karena obstruksi terhadap ginjal, serta
perubahan umur lanjut.
Pada penderita gagal ginjal terminal yang telah menjalani terapi
pengganti ( dialysis ) maka perlu perubahan dosis dikarenakan adanya
kehilangan obat dari darah, hal ini akan mempengaruhi efektifitas obat
tersebut. Perubahan fisiologis tubuh pada penderita gagal ginjal terminal
dapat pula mempengaruhi respon obat.
Mengingat penggunaan antibiotika nefrotoksis kadang masih diperlukan
pada gangguan fingsi ginjal maka perlu pengaturan yang seksama serta
evaluasi yang terus menerus.
Penggunaan antibiotik sangat banyak, terkadang kita melupakan
kemungkinan efek samping terhadap ginjal, karenanya kita perlu
memperhatikan penggunaan antibiotika serasional mungkin.
Insiden drugs induce nephropathy mengalami peningkatan
seiring dengan peningkatan penggunaan jumlah obat dan
kemudahan memperoleh obat antiotika maupun obat lain yang
banyak menyebabkan kerusakan ginjal. Drug induce ARF
sebesar 20% di India, dimana aminoglikosida terhitung 40-50%
dari total kasus 42
Beberapa obat antibiotika yang sering menimbulkan gangguan
fungsi ginjal antara lain golongan aminoglikosida, betalaktam
dan vancomisin, golongan sulfanamid, golongan acyclovir,
golongan rifampisin, golongan amphoterisin B, serta golongan
tetrasiklin dll. Berdasarkan aktifitas antibiotika terhadap kuman
gram positif dan gram negative , maka aktifitas antibiotika terhadap
gram negative relative lebih bersifat nefrotoksis. 43
Mekanisme terjadinya gangguan fungsi ginjal akibat penggunaan
antibiotika antara lain dengan cara penurunan ekskresi natrium
dan air, perubahan aliran darah(iskemi), obstruksi pada saluran air
kemih serta karena perubahan umur seseorang menjadi tua. 44

Berdasarkan adanya gangguan fungsi ginjal maka dosis


pemakaian antibitika perlu penyesuaian bahkan kalau perlu tidak
memakai antibiotic tersebut.

MACAM MACAM ANTIBIOTIKA NEFROTOKSIS


1. Golongan Aminoglikosida.
Aminoglikosida merupakan antibiotika yang penggunaannya
sangat luas terutama untuk pengobatan infeksi gram negative,
namun
demikian
penggunaannya
dibatasi
karena
sifat
45
nefroktoksisitasnya . Kegagalan fungsi ginjal akibat pemakaian
aminoglikosida terjadi bila kenaikan kadar kreatinin plasma
hingga > = 45 umolJL selama atau setelah terapi, angka
kejadiannya 10 -37 % setara dengan dosis dan lamanya
pemakaian , bahkan ada yang mengatakan sampai 50% dalam
waktu 14 hari atau lebih pemakaian 44 Walaupun sifat
nefrotoksisitasnya reversible, tetapi terapi dialysis kadang
diperlukan karena beratnya kegagalan ginjal akut
.

Mekanisme terjadinya nefrotoksis


Aminoglikosida masuk kedalam ginjal mencapai maksimal dikortek
ginjal dan sel tubulus, melalui proses endositosis dan
sequestration , aminoglikosida berikatan dengan lisosom
membentuk myeloid body I lisosom sekunderdan fosfolipidosis.
Ke m u d i a n m e m b r a n e l i s o s o m p e c a h d a n m e l e p a s k a n
a s a m h i d r o l a s e s d a n mengakibatkan kematian sel.
Mekanisme lain dapat diketahui lewat permukaan sel, G
protein bergabung dengan Ca+ + ( polyvalent cation)-sensing
receptor (Ca R) dimana reseptor ini berada di nefron distalis serta
lumen tubulus proksimalis, dan dikatakan bahwa CaR ini terlibat
dalam proses kerusakan sel.
Faktor risiko toksisitas aminoglikosida antara lain adanya
depletion ion natrium da n kalium, iskemia ginjal, karena usia
lanjut,penggunaan diuretika penyakit hati dan obat lain yang
nefrotoksis.
Menurut urutan toksisitasnya golongan aminoglikosida dari yang
paling toksis adalah Neomisin > gentamisin > tobramisin>
netilmisin > amikasin >streptomisin). 43

Pencegahan dan pengelolaan toksistas aminoglikosida bisa


dengan bebarapa alternative yaitu :
1.menggunakan obat dengan dosis tunggal sehari untuk waktu
yang pendek pada terapi empiris.
2.deteksi toksisitas subklinik dengan mengetahui gangguan
keseimbangan elektrolit dan asam basa.
3.monitoring serum kreatinin setiap hari kalau perlu dengan
memberikan dosis obat berdasarkan GFR, khususnya pada orang
tua, serta monitoring serum kalium dan natrium tiap hari.
4.apabila serum kreatinin > 1,5 mg/di , obat dihentikan dan
dipikirkan alternatif terapi.
5.monitoring produksi air kemih dan mulai pemberian cairan yang
adekuat serta terapi elektolit khususnya pada kalium dan NaCl
serta Calsium dan magnesium

2. GOLONGAN SULFONAMID.
Pe n g g u n a a n o b a t g o l o n g a n s u l f o n a m i d m e n i n g k a t d e n g a n
a d a n y a A I D S , b i l a dikombinasikan dengan beberapa obat
dapat digunakan untuk pengobatan malaria ( sulfadoksin dan
pyrimethamine )
Hampir semua obat golongan sulfonamid diekskresikan melalui
ginjal, baik dalam bentuk asetil maupun bentuk bebas. Masa
paruh obat tergantung dari fungsi ginjal, karenanya harus
diperhatikan bila fungsi ginjal terganggu. 46
Spektrum nefrotoksisitasnya meliputi: nefritis
interstitial
akut,arteritis nekrotikan, gangguan ginjal akut akibat anemia
hemolitik pada pasien dengan defisiensi G-6-PD dan Gangguan
ginjal akut akibat kristaluria pada pemakaian lama golongan sulfa
ini.
Pencegahan dan pengobatan dapat dilakukan dengan
a.mempertahankan hidrasi yang adekuat (3 liter /hari) atau
mempertahankan jumlah uri tetap 1500 cc/hari 46
b.alkalinisasi urin dengan sodium bikarbonat 6 -12 gram/hari
sampai pH urin > 7,5.
c.Pemeriksaan mikroskopis urin 2-3 kali seminggu untuk
mendeteksi hematuria.
d.U SG pa da s e mua he ma turia .
e.Mengurangi dosis sulfa .
f.Pemasangan ureteral stent atau dialisis bila perlu
kalau tindakan bedah tak memungkinkan.

Golongan sulfa yang banyak menyebabkan gangguan ginjal antara


lain sulfadiazine dan kotrimoksazol 4 2 . Walaupun demikian
penggunaan obat golongan sulfa lain tetap hams hati-hati.

3. AMPHOTERICIN B ( Am B)

Merupakan obat anti jamur yang efektif tetapi efek nefrotoksis


sangat banyak, karenanya perlu perhatian khusus. 47 Beberapa
makalah melaporkan bahwa frekuensi gangguan ginjal akut
mencapai 49% dan 65% . 47 Menurut Wingard dkk Lebih 50% pasien
secara s i g n i fi ka n ka d a r s e r u m k re a t i n i n m e n i n g ka t d a r i
s e b e l u m n y a , d a n 1 5 % d a r i n y a membutuhkan dialisis 48
Am-B bersifat hidrofilik sehingga mudah bercampur dengan
membran sel epithel dan meningkatkan permiabelitas. Hal ini
akan merusak sel endotel yang mengakibatkan vasokonstriksi
arteriole afferen dan efferen glomerulus dan menyebabkan
penurunan GFR dan berakibat terjadi oliguria" Toksisitas
terhadap tubulus tergantung dari efek toksis langsung dan
iskemik yang berkelanjutan.
Untuk mencegah terjadinya nefrotoksis dengan :
a.mencampur dengan intralipid, hal ini akan membuat efek
seperti French mayonnaise yang dapat menurunkan efek
nefrotoksisitasnya.
b.Dopamin agonist
c.Suplementasi garam, infus cairan garam fisiologis .
d.Mengatur kecepatan infus.
e.Dosis titrasi

4.RIFAMPISIN

Merupakan obat anti tuberkulosis yang mempunyai efek


nefrotoksis dibandingan dengan anti tuberlosis lainnya. Insiden
nefrotoksis bervariasi antara 1,8% sampai 16 % dari semua kasus
gangguan ginjal akut (GGA) .Kebanyakan GGA karena rifampsisn
akibat obat yang menginduce anemi hemolitik.
Lamanya terapi berperan penting, dilaporkan sesudah 2 bulan
pengobatan , meskipun reaksi awal dapat ditemukan dalam 13
hari 43 Pada kebanyakan kasus dengan terapi suportif akan
membaik dalam 3 minggu.

5.ACYCLOVIR

Merupakan obat anti virus , bila diberikan lebih 500 mg/m2


intravena akan menyebabkan nefrotoksis. Kelarutan yang rendah
menyebabkan presipitasi intratubuler dengan gejala obstruksi
uropati dan hematuri.Pada pemeriksaan urin akan tampak
adanya kristal berbentuk jarum. Tampak adanya inflammasi
pada daerah obstruksi di tubulus.
Faktor risiko terjadinya nefrotoksis meliputi pengurangan volume
cairan, adanya gejala insuffisiensi ginjal, dan infus bolus yang
cepat.
Biasanya penanganan yang tepat dapat memulihkan mendekati
fungsi ginjal yang normal dalam waktu 10 14 hari, walaupun
kadang2 perlu dialisis.

6.GOLONGAN PENICILLIN , SEFALOSPORIN DAN BETALAKTAM


LAINNYA.
Walaupun umumnya tidak nefrotoksis tetapi nefropati dapat
terjadi pada pemberian meticillin, penicillin G dan ampisilin.
Kelainannya berupa nefritis interstitialis, diperkirakan terjadi
berdasarkan mekanisme reaksi immun yang tergantung dari
dosis dan lamanya pe mberia n, khususnya pa da me ticillin
da n pe nicillin G. Seda ngka n ampisilin
menimbulkan
nefropati yang ada hubungannya dengan kadar obat yang
tinggi dalam serum . Walaupun nefropati penicillin lebih didasari
reaksi imun , tidak dapat disingkirkan kemungkinan efek
nefrotoksik langsung oleh penicillin yang diberikan dalam dosis
yang sangat tinggi dan untuk masa yang lama.
Diantara ketiga golongan penicillin ini , meticillin yang tersering
menyebabkan nefritis interstitialis, bahkan telah dikemukakan
bahwa frekuensi kejadian efek samping lebih tinggi dari yang
disangka selama ini 50
Se fa los porin me rupa ka n za t ya ng ne frot ok s is , me sk ipun
ja uh le bih kura ng da ri a m i n o g l i ko s i d a d a n p o l i m i k s i n .
N e f ro t o k s i s
t e r u t a ma
pada
sefalodrin
dosis
4
gr/hari,sefalosporin lain dengan dosis terapi jauh kurang
toksis dibandingkan dengan sefalodrin, kombinasi dengan
gentamisindan tobramisisn mempermudah nefrotoksis ") . Pada
dasarnya nefrotoksisitas sefalosporin dikarenakan adanya dosis
yang berlebihan dan bila dikombinasikan dengan aminoglikosida

dan meticillin (11) Mekanisme nefrotoksis melalui reaksi iskemia


dan endotoksemia serta renal cortex mitochondria injury 51,52
Betalaktam lain umumnya mempunyai efek nefrotoksis yang
hampir sama dengan golongan penisillin dan sefalosporin

7. VANCOMISIN
Merupakan antibiotika yang dihasilkan oleh streptomises
orientalis,yang tidak dapat diserap oleh saluran cerna,
karenanya hanya diberikan intravena untuk mendapatkan efek
sistemik. Obat ini sangat toksis, obat ini hanya dipakai kalau
obat yang lain alergi 53 Uremia yang fatal bila pemberiannya dosis
besar, terapi yang lama, atau diberikan pada gangguan ginjal,
karena itu perlu monitoring yang sangat ketat. Pemakain
sekarang biasanya sudah dengan bentuk lain yaitu dalam bentuk
kombinasi dengan D-mannitol dan makrogol 400 ( PEG 400) ,
dimana efek nefrotoksinya jauh berkurang.
Mekanisme kerusakan ginjal akibat vancomisin melalui
kerusakan glomerulus yaitu delatasi Bowman,s space dan
hipertrofi glomerulus. Sedangkan di tubulus dapat berupa
delatasi tubulus renalis, nekrosis atau dergenerasi epitel tubulus
dan adanya silinder hialin dalam tubulus. 54

PEMBERIAN ANTIBIOTIK NEFROTOKSIS PADA


GANGGUAN FUNGSI GINJAL.
Beberapa hal yang penting dalam pemberian obat antibiotik
pada gangguan fungsi ginjal yaitu dengan cara mengatur dosis
yang diperlukan, untuk ini perlu pengetahuan tentang :

1.PERUBAHAN REGIMEN OBAT-OBATAN


Regimen obat adalah pengaturan pemberian obat dengan tujuan
agar tercapai suatu efek terapi dengan efek samping minimal.
Regimen obat meliputi dosis obat , frekuensi dan rute
pemeberian serta formulasi yang digunakan.' Pengobatan awal
bisanya diberikan sesuai dengan rekomendasi yang sudah diakui,
dimulai dengan dosis terendah kemudian dimonitor efek terapinya.
Jika efek yang diinginkan belum tercapai maka dosis dapat
ditingkatkan secara bertahap sampai mendapatkan efek
tersebut atau sampai mencapai dosis maksimal yang disarankan.

Jika terdapat gangguan fungsi ginjal dimana terjadi


perubahan farmakokinetik dan farmakodinamiknya maka
perlu disesuaikan dosisnya.

2. LOADING DOSE
Waktu paruh suatu obat menentukan kecepatan akumulasinya
didalam tubuh pada pemberian berulang. Karenanya pada
pemberian obat secara berulang konsentrasi rataratanya dalam
plasma meningkat secara lebih perlahan pada setiap
pemberian obat. Kondisi stabil (steady state) dapat tercapai bib
jumlah obat yang tereliminir dalam interval dosis sebanding
dengan jumlah dosis yang diberikan. Untuk mencapai keadaan
ini biasanya diperlukan waktu 4 kali waktu paruh obat.
Bila ingin kondisi stabil dapat tercapai lebih cepat maka dapat
diberikan dengan loading dose (D1). Dl ekuivalen dengan kadar
puncak obat pada steady state ,dan sebanding dengan
konsentrasi puncak obat dalam plasma(Cs max) dan volume
distribusi obat (V)

D1 = Cs max X V
Dari formula ini loading dose yang diperlukan dapat dihitung,
walaupun konsentrasi plasma dalam prakteknya jarang diukur.
Metode ini digunakan secara implisit pada dosis yang
direkornendasikan tiap obat. Dalam kebanyakan kasus Dl tidak
dipengaruhi oleh insuffisiensi ginjal , namun terkadang V
berkurang (misal digoksin)Dl sebaiknya dikurangi pada pasien
dengan insuffisiensi ginjal berat.

3. DOSIS PEMELIHARAAN ( MEINTENANCE DOSE)


Untuk mempertahankan dosis normal pada penderita
dengan gagal ginjal setelah pemberian loading dose dapat
ditentukan dengan rumus sebagai berikut : dosis pada gagal
ginjal = dosis normal X Df dimana
Df = t 1/2 normal / t1/2 gagal ginjal
t1/2 = eliminasi waktu paruh obat.
Sebenarnya ada hubungan yang sederhana antara D1 dengan
dosis pemeliharaan (Dm) , karena setengah dari dosis awal
hilang dalam satu waktu paruh .

Melihat beberapa antibiatica masih banyak dipakai walaupun nefrotoksis maka beberapa
hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat pada gagal ginjal yaitu:

Hal ini bisa dipakai pada obat yang mempunyai waktu paruh
yang panjang (misal digoksin) . Tetapi pada obat yang
mempunyai waktu paruh yang singkat ( <24 jam) kalkulasi ini
kurang dapat diterima. Pada kasus ini dapat dipakai rumus
sebagia berikut : Dm = total body load X 0,7/t 1/2 ( #1/2 = waktu
paruh).
Loading dose biasanya tidak diberikan pada penggunaan obatobat dengan waktu paruh pendek, tetapi konsep yang sama
dapat digunakan untuk menghitung konsentrasi yang ingin
dicapai.
Jika kliren suatu obat berkurang maka obat akan terakumulasi
dan dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai kadar steady
state jika loading dose tidak diberikan fraksi karena waktu paruh
yang memanjang. Karena itu pada penderita dengan gagal ginjal
diperlukan perubahan Dm dan juga diperlukan kesabaran untuk
mencapai steady state.
Kliren total suatu obat dan konsentrasi steady state nya sangat
berhubungan , hal ini bisa dilihat dari persamaan berikut:
Konsentrasi plasma steady state = fraksi dosis yang diabsorpsi X
dosis/
Kliren total X interval dosis.
Dosis interval = normal Ccr/ patien't Ccr X normal interval.

56

Maka bila terjadi perubahan kliren, konsentrasi plasma dapat


dijaga dengan mengubah dosis atau interval pemberian .
Jika obat dikeluarkan sempurna atau hampir sempurna
lewat ginjal , maka dosis obat` harus dirubah sesuai kliren
ginjal, dengan hitungan sebagai berikut : % eliminasi dosis
interval = % eliminasi lewat non ginjal + % eliminasi lewat ginjal.
Karena prosentase yang dieliminasi melalui ginjal sesuai dengan
kliren kreatinin maka dapat dihitung:
% eliminasi dosis interval = % eliminasi lewat non ginjal +
( konstanta +kliren kreatinin). Prosentase lewat jalur non ginjal
biasanya bisa dilihat di data yang tersedia.
Misal : gentamisin yang diekskresi lewat ginjal sebesar 98%.
% eleminasi per hari = 2% + ( 0,3 X kliren kreatinin)

Melihat beberapa antibiatica masih banyak dipakai walaupun


nefrotoksis maka beberapa hal yang perlu diperhatikan pada
penggunaan obat pada gagal ginjal yaitu:
1.gagal ginjal menyebabkan akumulasi obat-obatan yang
diekskresikan lewat ginjal atau metabolit aktif yang
diekskresikan.
2.perlu menggunakan prinsip yang sederhana dengan cara
menghitung perubahan dosis obat pada gagal ginjal.
3.pada beberapa kasus respon terhadap obat berubah pada
gagal ginjal , hal ini mustahil untuk bisa diramalkan perubahan
dosis yang sesuai.
4.kita harus hati-hati bila memakai obat yang menginduksi
terjadinya gagal ginjal.
Dibawah ini contoh penyesuaian dosis pemberian obat antibiotika
pada penderita dengan gangguan ginjal. Penyesuaian tergantung
kliren kreatinin penderita yang sebelumnya harus ditentukan lebih
dahulu.

Dosis aminoglikosida permulaan pada ginjal normal :


Umur
amikasin

dosis awal (gentamisin

57

dosis awal

Netilmisin,tobramisin )
10-29th

6 mg/kgBB/hari

24 mg/kgBB/hari

30-60th

5 mg/kgBB/hari

20 mg/kgBB/hari

> 60 th

4 mg/kgBB/hari

16 mg/kgBB/hari

Dosis awal aminoglikosida pada gangguan fungsi ginjal:

dose adjustment Kliren kreatinin (ml/ mnt)

dosis awal (% dosis

rekomendasi)
> 66

100 %

54-66

85 %

42-54

70 %

30-42

55 %

21-30

40 %

<21

seek specialist advice

Dosis awal aminoglikosid dan dosis interval pada gangguan ginjal


( interval adjustment methode)
Kliren kreatinin ml/mntdosis awal dan dosis interval
> 60

5 mg/kgBB/ tiap 24 jam

40-60

5 mg/kgBB/ tiap 36 jam

30-40

5 mg/kgBB/ tiap 48 jam

<30

5mg/kg/BB sekali kemudian


Seek specialist advice

Contoh dosis antibiotika pada pasien dengan gangguan fungsi


ginjal serta penderita dengan dialisis :

Antibiotik

kliren kratinin

dosis utk dialisis

>50
ml/m

1050m1/m

<10m1/
m

CAPD
Atau
HD

CCVHD
dan
CAVHD

Aciclovir

Tiap 8
jam

12-24
jam

50%/24ja
m

Amikasin

50100%/2
4 jam

30%/48j
am s/d
50%/24ja
m

30%/48j
am

1520mg/
L
dialiasa
/hr

30%/48j
am

Ampisilin

tiap 6
jam

6- 12jam

12-24jam

612jam

6-12jam

Cefotak si
m

Tiap 68 jam

8-12jam

24ja m

812jam

812jam

Siprofloks
asin

tiap 12
jam

12-24
jam

24 jam

250mg/
8 jam

12 jam

Rifampis
in

normal

normal

50100%

norma
l

norma
l

Tetrasiklin

Tiap 812 jam

dilarang

dilarang

Dilaran
g

Dilaran
g

Vancomisi
n

12-24
jam

24-96jam

Tiap4-10
hari

2496jam

3,5mg/kg/ha
ri

KESIMPULAN
Pada dasarnya antibiotika nefrotoksis masih bisa diberikan pada
penderita gangguan fungsi ginjal bila diperlukan . Namun demikian
kita perlu pengetahuan tentang farmakokinetik dan farmakodinamik
dari obat antibiotika tersebut. Assesment penderita dengan
gangguan fungsi ginjal perlu diperhatikan dengan benar, terutama
dalam pemberian dosis awal dan interval dosis yang diperlukan
berdasarkan nilai kliren kreatinin penderita.
Rekomendasi untuk preskripsi antimikroba dalam gagal
ginjal
Antibiotik

GFR (mL/min)
Ringan
50-20

Sedang
20-10

Komentar
Berat
<10

*Aciclovir

Dosis
normal
tiap 12
jam

Dosis
normal
tiap 24
jam

50%
dari
dosis
normal
tiap
24
jam

Diberikan
HD

paska-

Aciclovir po

normal

Herpes
simplex:
normal
Herpes
zoster:
800 mg
Total
Dissolved
Solids
(tds)

Herpes simplex:
200 mg bid
Herpes zoster: 800
mg bd

Diberikan
HD

paska-

Amikacin

5-6 mg/kg
12 jam

3-4 mg/kg
24 jam
HD: 5
mg/kg
paska HD
dan
monitor
level

2 mg/kg 24-48 jam

Diberikan
paskaHD
Monitor pra- dan 1
jam setelah dosis
ketiga dan
sesuaikan dosis
sesuai yang
dibutuhkan

Amoxicillin po

Normal

Normal

250 mg 8 jam
(normal)

Diberikan
HD

Amphotericin
(Liposonal+lipid
complex)

Amphotericin sangatlah NEFROTOKSIK


Pertimbangkan menggunakan
liposomal/lipid complex amphotericin
Monitoring harian fungsi renal (GFR) akan

paska-

esensial

Ampicillin IV

Normal

250-500
mg 6 jam

250 mg 6 jam
(500 mg 6 jam)

Diberikan
HD

paska-

Benzylpenicillin

Normal

75%

20-50%
Max 3.6 g/hari
(1.2 g qds)

Diberikan
paskaHD
Rujuk pada
mikrobiologi untuk
dosis dalam SBE

Caspofungin

Normal

Normal

Normal

Cefotaxime

Normal

Normal

1 g stat kemudian
50%

Diberikan paskaHD

Cefradine

Normal

Normal

250 mg 6 jam

Diberikan
HD

paska-

Ceftazidime

1 g 12 jam

1 g 24 jam

500 mg 24 jam (1
g 24 jam)

Diberikan
HD

paska-

Ceftriaxone

Normal

Normal

Normal
Max 2g/hari

Cefuroxime IV

Normal

750 mg1.5 g 12
jam

750 mg 24 jam
(750 mg 12 jam)

Diberikan
HD

paska-

Ciprofl azin IV+po

Normal

50%

50%

Clarithromycin IV+po

Normal

Normal

50%

Diberikan
HD

paska-

Clindamycin IV+po

Normal

Normal

Normal

Co-amoxiclav
(Augmentin)

IV

Normal

1.2 stat
kemudian
50% 12
jam
(1.2 g 12
jam)

1.2 stat kemudian


50% 24 jam
(1.2 g kemudian
600 mg 12 jam)

Diberikan
HD

paska-

Co-amoxiclav
(Augmentin)

po

Normal

375-625
mg 12 jam
(375 mg 8
jam)

375 mg 12 jam
(375 mg 8 jam)

Diberikan
HD

paska-

*Co-trimoxazole IV

Normal

Normal
untuk 3/7
kemudian
50%

50%

Diberikan
HD

paska-

Doxycycline

Normal

Normal

Normal

Tetracycline
lain
terkontraindikasi
dalam kerusakan
ginjal

Erythromycin IV+po

Normal

Normal

Normal
Max 1.5g/hari
(500 mg qds)

*Ethambutol

Normal

24-36 jam

48 jam

Monitor level jika GFR < 30mL/menit

Diberikan
HD

paska-

(kontak Mirco)
Flucloxacillin IV+po

Normal

Normal

Normal
Max 4 g/hari

Fluconazole

Normal

Normal

50%

Diberikan
paskaHD
Tidak ada
penyesuaian
dalam terapi dosis
tunggal yang
diperlukan

*Flucytosine

50 mg/kg
12 jam

50 mg/kg
24 jam

50 mg/kg stat
kemudian dosis
sesuai level

Diberikan
paskaHD
Level harus
dimonitor
pradialisis

Fusidic acid

Normal

Normal

Normal

1)Gentamicin
SEKALI SEHARI

GFR 10-40 mL/min


3mg/kg stat (maks 300
mg)
Cek level pra-dosis 1824 jam setelah dosis
pertama
Dosis ulang ketika level
<1 mg/L

GFR<10mL/min
2
mg/kg
(maks
200 mg)
Dosis ulang sesuai
level

KEDUA METODE
Diberikan
paskaHD
Monitor
level
darah

2)Gentamicin
KONVENSIONAL

80 mg 12
jam

80 mg 48
jam

80 mg 24 jam
HD: 1-2 mg/kg
Paska-HD: Dosis
ulang sesuai level

Sekali sehari: prasaja


Konvensional: pra
dan 1 jam paska
level yang
diperlukan

Imipenem

500 mg 812 jam

250500mg bid

Resiko kejang
gunakan
Meropenem: lihat
dibawah

Diberikan
HD

paska-

Isoniazid

Normal

Normal

200-300 mg 24
jam

Diberikan
HD

paska-

Itraconazole

Normal

Normal

Normal

Levofl axacin

500 mg
stat
kemudian
250 mg
bid**

500 mg
stat
kemudian
125 mg
bid**

500 mg stat
kemudian 125 mg
od

** Diaplikasikan
jika dosis penuh
adalah 500 mg bid
Jika dosis penuh
adalah 500 mg od,
dosis dikurangi
lima tiap hari

Linezolid

Normal

Normal

Normal

Diberikan
HD

paska-

Meropenem

12 jam

50% 12
jam

50% 24 jam

Diberikan
HD

paska-

Metronidazole

Normal

Normal

12 jam (normal)

Diberikan
HD

paska-

Nitrofurantoin

Jangan digunakan dalam kerusakan renal

Penicillin V

Normal

Diberikan
HD

paska-

Normal

Normal

Piperacillin/
Tazobactam (Tazocin)

4.5 g 8
jam

4.5 g 12
jam

4.5 g 12 jam

Pyrazinamide

Normal

Normal

Normal

Rifampicin

Normal

Normal

50-100%

*Teicoplanin

100% 48
jam

100% 72
jam

100% 72 jam

Tetracycline

Diberikan
HD

paska-

Reduksi dosis
setelah hari
ketiga terapi

Lihat Doxycycline

Trimethoprim

Normal

Normal
untuk 3/7
kemudian
50% 18
jam

50% 24 jam

Diberikan
HD

Vancomycin

1 g od
Cek level
pra-dosis
sebelum
dosis
ketiga

1 g 48 jam
Cek level
pra-dosis
sebelum
dosis
kedua

1 g stat (atau 15
mg/kg, hingga
maks 2 g)
Cek ulang level
setelah 4-5 hari
HANYA berikan
dosis lanjutan
ketika level <12
mg/L

Monitor level pradosis dan


sesuaikan dosis
dengan kebutuhan

Vorinconazole

Normal

Normal

Normal

Diberikan
HD

bid=dua kali sehari,

paska-

paska-

GFR= glomerular fi ltration rate, HD=haemodialysis, od=sekali

sehari, po=lewat mulut, qid=empat kali sehari, SBE=subacute bacterial endocarditis,


tds=total dissolved solids (total padatan terlarut), qds=Quantum Dots.

TINJAUAN PUSTAKA

1.

Henny L., et al. J. Sains Tek Far., 16(2), 2011

2.Anderson, P. O. 2002. Drug Monograph


3.

In Philip O. A, James E.K, William G. T. Handbook of Clinical Drug


Data. United States: The McGraw-Hill Companies.

4.
5.

Anonymous. 2009. British National Formulary. London: BMJ Group


and RPS Publishing.
Aronoff, G. R., Berns, J. S., Brier, M. E. 1999. Drug prescribing in
renal failure. Dosing guidelines for adults. 4thed Philadelphia:ACCP.

6.

Aronson, J. K. 1983. Clinical pharmacokinetics of cardiac glycosides


in patients with renal dysfunction.Clin Pharmacokinet, 8, 15578.

7.

Ashley, C., Currie, A. 2009. Renal Drug Handbook 3rd ed. New York:
Radcliffe Publishing
Bauer,
L.A. 2006. Clinical Pharmacokinetics Handbook.
Washington: McGram Hill.

8.
9.

Bailey,
C. J., Turner,
R. C. 1996. Metformin. New England
Journal of Medicine, 334, 575-579.

10.

Beermann, B., Groschinsky-Grind, M. 1980. Clinical


pharmacokinetics of diuretics. Clin Pharmacokinet, 5, 22145.

11.

Brater, D. C. 1998 . Diuretic therapy. N Engl J Med, 339, 38795.

12.

Brater, D. C. 1993. Resistance to diuretics: mechanisms and clinical


implications. Adv Nephrol Necker Hosp, 22, 349369.

13.

Cotter, G., Weissgarten, J., Metzkor, E., Moshkovitz, Y., Litinski, I.,
Tavori, U., Perry, C., Zaidenstein, R., Golik, A. 1997 Increased toxicity
of high-dose furosemide versus low-dose dopamine in the treatment
of refractory congestive heart failure. Clin Pharmacol Ther, 62, 187
193.

14.

Czock, D., Rasche, F. M. 2005. Dose Adjustment Of Ciprofloxacin In


Renal Failure: Reduce the Dose or Prolong the Administration
Interval? Eur J Med Res, 10, 145- 148.

15.

Dixon, J. S., Borg-Contanzi, J. M., Langley, S. J., Lacey, L. F., Toon, S.


1994. The effect of renal function on the pharmacokinetics of
ranitidine.Eur J ClinPharmacol, 46, 167171.

16.

Doherty, J. E., De-Soyza, N., Kane, J. J., Bisset, J. K., Murphy, M. L.


1978.Clinical pharmacokinetics of digitalis
glycosides.ProgCardiovasc Dis,
21, 141158.

17.

Drummer, O. H., Workman, B. S., Miach, P. J., Jarrot, B., Louis, W. J.


1987. The pharmacokinetics of captopril and captopril disulfide
conjugates in uraemic patients on maintenance dialysis: comparison
with patients with normal renal function. Eur J ClinPharmacol, 32,
267271.

18.

Duchin, K. L., McKinstry, D. N., Cohen, A. I., Migdalof, B. H. 1988.


Pharmacokinetics of captopril in healthy subjects and in patients
with cardiovascular diseases. Clin Pharmacokinet, 14, 241259.

19.

Falconnier, A. D., Haefeli, W. E., Schoenenberger, R. A., Surber, C.,


Martin-Facklam, M. 2001. Drug Dosing in Patient with Renal Failure
Optimized by Immediate Concurrent Feedback. JGIM, 16, 369375.

20.

Frizzel, J.P. 2001. Handbook of Pathophysiology. Philadelphia:


Springhouse Corporation.
Hermann, L. S., Melander, A. 1992. Biguanides: basic aspects and
153

21.
22.

Henny L., et al.J. Sains Tek. Far., 16(2), 2011 clinical uses. In: Alberti KGMM,
DeFronzo RA, Keen H, Zimmet P, eds. International textbook of diabetes
mellitus. Vol. 1. Chichester, England: John Wiley, 773-795.

23.

Hewlet, T. 2004. Nephrotoxic Drug.Canadian Family Phycisian, 50, 5, 709


711.

24.

Iisalo, E. 1977. Clinical pharmacokinetics of digoxin. Clin Pharmacokinet, 2,


116.

25.

Jenkins, A. C., Dreslinki, G. R., Tadros, S. S., Groel, J. T., Fand, R., Herczeg,
S. A. 1985. Captopril in hypertension: seven years later. J Cardiovasc
Pharmacol, 7 (suppl 1), 96101.

26.

Joy, S.M., Kshirsagar, A., Franceschini, N. 2008. Chronic Kidney Disease. In


Gary R. Matzke. Pharmacotheraphy
: A Pathophysiology Approach.
United State: The McGraw-Hill Companies, Inc.

27.

Katzung, B. G. 2001. Basic and Clinical Pharmacokinetics. United States:


The McGraw-Hill Companies.

28.

Lomaestro, B.M. 2000. Fluoroquinolone- induced renal failure. Drug Safety,


22, 479485.

29.

Lowey A. R., JacksonM. N. 2008. A survey of extemporaneous dispensing


activity in NHS trusts inYorkshire, the North-East and London. Hosp
Pharmacist,15, 217219

30.

Matzke, G. R., Frye, R. F. 1997. Drug administration in patients with renal


insufficiency: minimising renal and extrarenal toxicity. Drug Safety,16,
205231.

31.

Mulyani, Y. 2005. Evaluasi Penggunaan Obat pada Penderita Gangguan


Fungsi Ginjal, Usia Lanjut Hipertensi dan Diabetes Melitus di Bagian Ilmu

Penyakit Dalam Perjan RumahSakit Hasan Sadikin Bandung (Tesis).


Bandung: ITB.

32.

Munar, M.Y, Singh, H. 2007. Drug Dosing Adjustment in Patients with


Chronic Kidney Disease. American Academy of Family Physician, 75, 10,
14871496.

33.

Olivera, M. E., Manzo, R. H., Junginger, H. E., Midha, K. K., Shah, V. P.,
Stavchansky, S., Dressman, J. B., Barends, D.M. 2010. Biowaiver
Monographs for Immediate Release Solid OralDosage Forms: Ciprofloxacin
Hydrochloride. Journal of Pharmaceutical Sciences, 10, 1-12.

34.

Patel, I. H., Sugihara, J. G., Weinfeld, R. E., Wong, E. G., Siemsen, A. W.,
Berman, S. J. 1984. Ceftriaxone pharmacokinetics in patients with various
degrees of renal impairment. Antimicrob Agents Chemother; 25, 438442.

35.

Raja, N., Miller, W. E., McMillan, R, Mason, J. R. 1998. Ciprofloxacinassociated Acute Renal Failure in Patients Undergoing High-Dose
Chemotherapy and Autologous Stem Cell Rescue. Bone Marrow
Transplantation, 21, 12831284.

36.

Sweetman, C. S. 2009. Martindale, The Complete Drug Reference. Thirtysix editon. London-Chicago: Pharmaceutical Press.

37.

Shargel, L., Wu-Pong, S., Yu, A. B. C. 2005. Applied Biopharmaceutics and


Pharmacokinetics. Fifth edition. United States : The McGraw-Hill
Companies.

38.

Siu-Kim, C., Chan, L. K. 2009. Drug Dose in Patient with Rena Impairment.
In Kar Neng Lai. A Practical Manual of Renal Medicine. Hongkong: World
Scientific.

39.

Vance-Bryan, K., Kyle, G., David, R. P., Rotschafer, J. C. 1990. Clinical 154
Henny L., et al. J. Sains Tek. Far., 16(2), 2011 pharmacokinetics

40.

Yulianti, T., Hakim, L., Putranto, W. ciprofloxacin. Clin 2007.Evaluas


iPenggunaan Antibiotik Pharmacokinet; 19, 434461. Kepada Pasien
Penyakit Ginjal Kronik

41.

Yuk, J-H., Nightingale, C. H., Quintiliani, Rawat Inap di RSUD Dr Moewardi R.


1989. Clinical Surakarta Periode September-pharmacokinetics of
ceftriaxone. November 2007 (Tesis). Clin Pharmacokinet,17, 223235.
Yogyakarta: UGM.

42. Jha V, Chugh KS. Drug Induced renal desease. J Assoc Physicians
India 1995; 43: 40715.
43. Singh Np, Ganguli A, Prakash A. Drug induced Kidney Diseases_
JAPI 2003;51: 970977.

44. Luft FC. Clinical significance of Renal changes engendered by


aminoglycosides in man. J Antimicrob Chemother. 1984;13 (suppl
A) : 23-30.
45. Ward DT, Mc Larnon SJ, Riccardi D A. Aminoglycosides Increase
Intracellular Calcium Levels and ERK Activity in Proximal Tubular
Cells Expressing the Extracellular Calcium-Sensing Receptor. J Am
Soc Nephro1.2002;13: 1481-1489.
46. Mariana Y, Setiabudy R. Sulfonamid, kotrimoksazol dan
Antiseptik Saluran Kemih. Farmako logi dan Terapi. Edisi 4.
Bagian Farmakologi FK UI . 1995.
47. Deray G. Amphotericin B Nephrotoxicity. Journ of Antimicrobial
Chemotherapy .2002 ;49 Suppl S1: 37-41.
48. Wingard JR, Kubilis p, Yee G, White M, Waishe L. et al. Clinical
significance of nephrotoxicity in patient treated with
Amphotericin B for suspected or proven aspergillosis. Clinical
Infectious Diseases :1999;26:1402-1407.

Anda mungkin juga menyukai