Anda di halaman 1dari 22

Extended Essay

Language A1
Bahasa Indonesia
Kontribusi Umar Kayam untuk Teori Clifford Geertz
tentang Masyarakat Jawa melalui Novel Para Priyayi
dan Jalan Menikung
~Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra~

Candidate Name:
Candidate Number:
Word Count:
Examination Session:

Sekolah
Indonesia

Abstrak
Para Priyayi dan Jalan Menikung merupakan dua buah novel serial karya
Umar Kayam. Masalah seputar priyayi dan relasinya dengan kelas sosial lain menjadi
topik bahasan di dalam esai ini. Esai yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra
ini berpusat pada pertanyaan Apa sajakah kontribusi Umar Kayam untuk teori
Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa melalui novel Para Priyayi dan Jalan
Menikung?. Pertanyaan inilah yang akan berusaha untuk dijawab melalui
perbandingan antara perspektif Geertz yang dituliskannya dalam buku The Religion of
Java dengan perspektif Umar Kayam dalam novel Para Priyayi dan Jalan Menikung.
Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelas, yaitu priyayi, abangan,
dan santri. Setiap kelas memiliki ciri-ciri yang berbeda satu sama lain, sehingga
timbulnya konflik akibat perbedaan ideologi dan status sosial tidak dapat dihindari.
Dalam Para Priyayi, Umar Kayam mengomentari teori Gertz secara halus. Beliau
menciptakan sebuah masyarakat di mana persamaan di antara ketiga kelas tersebut
ditonjolkan. Para priyayi digambarkan sebagai kaum yang dekat dengan kaum
abangan dan santri, atau wong cilik, orang kecil. Mereka berani berjuang demi hakhak orang kecil. Di dalam Jalan Menikung, Umar Kayam mengontraskan tokoh
Lantip dengan tokoh Tommi. Rasa kemanusiaan, yang menurut Geertz merupakan
sebuah faktor keturunan, di sini lebih merupakan manifestasi akumulasi pengalaman
masa kecil. Meskipun terdapat banyak perbedaan pendapat antara Umar Kayam dan
Geertz, namun di satu sisi, karangan Umar Kayam tidak bernada merendahkan
maupun menyalahkan Teori Geertz. Melalui bukti-bukti tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Umar Kayam menulis kedua buah karya tulis tersebut bukan hanya sebagai
sarana hiburan, tetapi sebagai sarana untuk mengutarkan pendapatnya. Melalui
karyanya, beliau memberikan penyempurnaan-penyempurnaan pada teori Clifford
Geertz tentang masyarakat Jawa.

(260 words)

Daftar Isi
I.

Pendahuluan 1

II.

Sinopsis Cerita. 3
2.1. Para Priyayi .. 3
2.2. Jalan Menikung . 3

III. Kerangka Teoritik dan Konseptual... 5


3.1. Metoda Sosiologi Sastra 5
3.2. Teori Clifford Geertz

3.2.1. Trikotomi Masyarakat Jawa dan Identitas Priyayi .. 6


3.2.2. Konflik Antar Kelas 8
IV. Hal-hal yang Disempurnakan dan Dikuatkan Umar Kayam .
10
4.1. Trikotomi Masyarakat Jawa dan Indentitas Priyayi ...
10
4.2. Konflik Antar Kelas ...
13
4.3. Priyayi dan Rasa Kemanusiaan ..
14
V. Kesimpulan dan Rekomendasi ..
17
5.1. Kesimpulan

17
5.2. Rekomendasi Untuk Penelitian Lebih Lanjut
18
Daftar

Pustaka

19

Bab I
Pendahuluan

Umar Kayam dan Clifford Geertz dikenal sebagai dua orang ahli dalam soal
kebudayaan Jawa. Geertz adalah seorang antropolog ternama lulusan Harvard yang
menerima penghargaan Honorary Doctorate Degrees dari 15 universitas ternama di
dunia. Umar Kayam sendiri adalah anak seorang priyayi yang mendapat kesempatan
menimba ilmu di Cornell University, Amerika Serikat, dan mendapat gelar doktor.
Beliau pernah menjabat sebagai Dirjen RTF, dan dianggap sebagai salah seorang figur
penting dari sastrawan angkatan50.
Para Priyayi dan Jalan Menikung (Para Priyayi 2) merupakan dua buah novel
karya Umar Kayam yang sudah tidak asing lagi bagi penikmat kesusastraan
Indonesia. Melalui keduanya, pembaca mendapatkan gambaran yang menyeluruh
menyangkut kehidupan, pola pikir, serta dinamika masyarakat Jawa dalam rentang
waktu yang cukup panjang (dalam abad 20). Sedangkan buku Religion of Java
merupakan kompilasi hasil penelitian Clifford Geertz tentang kehidupan masyarakat
Jawa sekitar tahun 50an yang sering dijadikan referensi oleh banyak peneliti.
Banyak sekali hal menarik yang bisa didapatkan dengan membandingkan
kedua karya tersebut mengingat bahwa keduanya menyoroti seputar hal yang sama,
tetapi dengan metode pendekatan yang berbeda. Esai ini merupakan sebuah studi
komparasi yang membandingkan dua novel karya Umar Kayam dan buku Religion of
Java karya Clifford Geertz.
Tidak sedikit karya ilmiah yang membahas fenomena sosial masyarakat Jawa
mendukung teori Geertz, namun banyak juga yang menyanggahnya. Umar Kayam
melakukan keduanya, namun dengan pendekatan berbeda. Beliau tidak beradu
pendapat melalui sebuah karya ilmiah, melainkan melalui karya fiksi. Diharapkan
hasil analisis esai ini dapat mengurai kompleksitas kehidupan masyarakat Jawa
dengan mengawinkan butir-butir pemikiran Umar Kayam dan Clifford Geertz.

Fokus pertanyaan yang akan dicoba untuk dijawab adalah: Apa sajakah
kontribusi Umar Kayam untuk teori Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa
melalui novel Para Priyayi dan Jalan Menikung? Pertanyaan tersebut akan dijawab
menggunakan kerangka pemikiran sosiologi sastra.
Esai ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan.
Bab kedua berisikan sinopsis cerita. Bab ketiga akan membahas kerangka teoritik dan
konseptual. Bab keempat merupakan analisis, dan pada bab kelima akan diuraikan
kesimpulan esai ini.

Bab II
Sinopsis Cerita
2.1. Para Priyayi
Buku ini, meskipun disebut sebagai sebuah novel, dari segi struktural lebih
terlihat sebagai sebuah roman. Cerita berawal dari penjelasan tentang Wanagalih dan
Wanalawas, latar utama cerita. Kemudian, tokoh Sastrodarsono diperkenalkan. Ia
adalah seorang petani kecil yang akhirnya berhasil menjadi seorang priyayi. Ia
menikah dengan Siti Aisah dan dikaruniai tiga orang anak: Nugroho, Hardojo, dan
Soemini. Sebagai seorang priyayi, ia mempersilakan keponakan-keponakannya untuk
tinggal bersamanya. Ia memiliki seorang keponakan yang bertabiat buruk bernama
Soenandar, yang memiliki anak di luar nikah dari Ngadiyem. Namun, Soenandar
kabur dan menolak untuk bertanggung jawab. Anak tersebut, Lantip, menjadi karakter
utama dalam cerita ini.
Lantip diangkat anak oleh Hardojo. Karakter Lantip menggambarkan sosok
seorang priyayi ideal menurut Umar Kayam. Di dalam cerita, Lantip menjadi seorang
yang memiliki jasa yang sangat besar di dalam keluarga Sastrodarsono. Setiap kali
masalah muncul di dalam keluarga Sastrodarsono, Lantip menjadi penasihat dan
pencari solusi atas masalah-masalah tersebut. Cerita berakhir pada saat Ndoro Guru
Sastrodarsono meninggal. Saat upacara pemakaman Sastrodarsono, Lantip berpidato,
yang isinya menjadi intisari sekaligus kesimpulan dari buku Para Priyayi ini.

2.2. Jalan Menikung


Cerita ini adalah sekuel dari novel Para Priyayi yang pertama. Di dalam serial
yang kedua ini, nuansa Jawa sudah tidak lagi terlalu kental seperti di dalam seri
pendahulunya. Meskipun nuansa Jawa sudah luntur, tampaknya masih ada beberapa

bagian di mana beliau mengungkapkan pendapatnya tentang masyarakat Jawa sebagai


pelengkap teori Geertz.
Buku

ini

berkisah

tentang

kehidupan

generasi

keempat

keluarga

Sastrodarsono. Cerita dimulai dengan dipecatnya Harimurti, putra hardojo, dari


tempatnya bekerja karena keterlibatannya dengan partai komunis di masa lalu. Ini
menyebabkan Harimurti melarang Eko, anaknya yang sedang studi di Amerika, untuk
pulang. Akhirnya, Eko memutuskan untuk tetap tinggal di Amerika. Ia menikah
dengan Claire, seorang Yahudi-Amerika. Meskipun awalnya pernikahan mereka
kurang disetujui oleh keluarga Eko karena perbedaan suku dan agama, akhirnya Eko
direstui keluarganya. Mereka mendapatkan kesempatan untuk berkunjung ke Asia,
termasuk ke Jakarta, disponsori oleh kantor Eko dalam rangka kerja. Di Jakarta,
Tommi anak Nugroho ingin memugar makam keluarga Sastrodarsono. Hal ini
ditentang oleh Harimurti dan Lantip, meskipun demikian, pemugaran makam tetap
dilaksanakan dan berjalan dengan lancar. Setelah itu, Eko beserta keluarga besarnya
pergi berkunjung ke Padang untuk Pulang Basamo. Kemudian, Eko dan Claire
kembali ke Amerika, dan hidup bahagia bersama anak mereka.

Bab III
Kerangka Teoritik dan Konseptual
3.1.

Metode Sosiologi Sastra


Sosiologi sastra mungkin sebuah istilah yang asing bagi orang awam. Menurut

Sapardi Djoko Damono, Sastra adalah kristalisasi keyakinan, nilai-nilai, dan normanorma yang disepakati masyarakat,1 dan karena itu, nilai estetik dalam sebuah karya
sastra tidak dapat lepas dari unsur-unsur sosiologis yang mempengaruhinya.
Singkatnya, sosiologi sastra memandang sebuah karya sastra sebagai bagian dari
kenyataan, dan membandingkan unsur-unsur dalam karya sastra tersebut dengan
realita sosial. Karya sastra tidaklah dilihat secara keseluruhan, tetapi lebih berfokus
pada unsur sosio-budaya yang terkandung di dalamnya.
Di dalam dunia kritik sastra, dikenal empat macam orientasi, yaitu: orientasi
kepada semesta (teori mimesis), orientasi kepada pembaca (teori pragmatis), orientasi
kepada pengarang (teori ekspresif), dan orientasi kepada karya (teori objektif). Esai
ini, yang merupakan sebuah tinjauan sosiologi sastra, akan berorientasi pada semesta,
pengarang, dan pembaca. Sosiologi sastra sendiri merupakan topik yang sangat luas di
mana terdapat bermacam-macam teori. Namun, metoda pembahasan di dalam esai ini
hanya akan menggunakan kerangka teori yang dirumuskan oleh Rene Wellek dan
Austin Warren tentang sosiologi pengarang. Metoda tersebut memfokuskan kritik
pada diri sang pengarang (contoh: status sosial, ideologi politik). Selain itu,
pembahasan novel Para Priyayi dan Jalan Menikung akan menggunakan pendekatan
Hans Norbert Fuegen, yang menganggap sebuah karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya, atau das soziale Grundverhaeltnis.

RobertEscarpit, kata pengantar, Sosiologi Sastra, Oleh Sapardi Djoko Damono, Terj. Ida
Sundari Hussen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) viii.

3.2. Teori Clifford Geertz


3.2.1. Trikotomi Masyarakat Jawa dan Identitas Priyayi
Clifford Geertz menggunakan teori Robert Redfield untuk menjelaskan
bagaimana masyarakat Jawa terbagi menjadi tiga. Menurut teori Robert Redfield,
dalam proses peradaban sebuah daerah, masyarakat akan terbagi menjadi dua bagian.
Masing-masing kelompok memiliki fungsi tersendiri, dan beberapa perbedaan tradisi.
Kelompok pertama memiliki pengaruh dalam bidang agama, filosofi, seni,
pengetahuan alam, literatur, dan tulisan, sedangkan Orang-orang dari kelompok kedua
memiliki kendali atas pasokan makanan. Kedua kelompok tersebut saling menopang
satu sama lain. Dalam peradaban non-industri yang sudah maju, orang-orang dari
kelas atas (kelompok pertama) akan memerintah dan menjadi figur-figur penting di
dalam masyarakat, sedangkan masyarakat dari kelas bawah (kelompok kedua)
berusaha semampunya untuk menjadi seperti orang-orang kelas atas.
Clifford Geertz menyatakan bahwa pembagian kelas di Jawa juga dipengaruhi
oleh faktor-faktor dari luar, salah satunya adalah agama Hindu-Buddha. Sistem kasta
pada agama Hindu-Buddha memiliki peran yang penting dalam pembentukan system
trikotomi ini. Sistem kasta membagi masyarakat menjadi lima kelas. Urutan kelaskelas tersebut dari yang tertinggi sampai yang terendah adalah: Brahmana (pemimpinpemimpin spiritual), Satria (raja-raja dan prajurit), Waisya (pedagang), Sudra
(pengrajin dan petani), dan Paria (pengemis). Cl. Geertz mengatakan bahwa sistem
kasta di Jawa merupakan hasil evolusi sistem kasta yang dianut oleh orang Hindu.
Sistem ini kemudian lebih dikenal dengan nama trikotomi masyarakat Jawa.
Clifford Geertz, di dalam bukunya The Religion of Java membagi masyarakat
Jawa menjadi tiga kelas. Kelas yang berkedudukan paling tinggi adalah kelas priyayi.
Para priyayi sebagian besar adalah keturunan raja-raja dan prajurit zaman dahulu.

Kelas yang berada di tengah adalah kelas santri, sedangkan kelas paling bawah
disebut kelas abangan.
Kata priyayi berasal dari dua kata, yaitu para yayi, artinya para adik. Yang
dimaksud dengan para adik adalah adik-adik raja. Dari nama ini dapat dilihat status
mereka dan kedekatan mereka dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintah. Cl. Geertz
menyatakan bahwa untuk dianggap sebagai seorang priyayi, seseorang harus
memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Beberapa ciri-ciri priyayi yang membedakan
mereka dari masyarakat pada umumnya adalah kekayaan, gaya hidup (cara
berpakaian, gaya rumah, tata krama), dengan siapa mereka bergaul, dan garis
keturunan. Tetapi ada beberapa pengecualian, antara lain: petinggi pemerintah yang
posisinya cukup tinggi, meskipun bukan keturunan priyayi, tetap dianggap sebagai
seorang priyayi; Orang-orang Jawa dengan gelar Mr. (Master of Laws) dan Dr.
(Doctor of Laws) juga dianggap sebagai priyayi. Istilah yang dipakai oleh Cl. Geertz
bagi orang-orang tersebut adalah prijaji by work, priyayi berdasarkan prestasi.
Meskipun mereka juga adalah priyayi, tetapi posisi priyayi yang benar-benar
priyayi tetap lebih tinggi di mata masyarakat. Orang-orang yang mendapatkan posisi
priyayi dengan belajar dan kerja keras, menurut beliau, kurang memiliki rasa
kemanusiaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang priyayi.
Salah satu hal yang membedakan para priyayi dari orang biasa adalah etika.
Etika memberi para priyayi aturan dalam bertingkah. Melalui ketentuan-ketentuan
tersebut, sang priyayi diharapkan dapat bertingkah laku lepas dari emosinya. Meski
terkesan kaku, namun Cl. Geertz mengatakan bahwa kesopan-santunan mereka datang
dari roso, rasa. Etika sopan santun priyayi dalam bertutur dapat dirangkum menjadi
empat prinsip utama. Pertama, bahasa dan tingkah laku harus sesuai dengan kelas
mereka. Saat dua priyayi, walaupun belum saling kenal, bertemu, mereka harus

10

menggunakan bahasa Jawa alus, dan harus saling merendahkan diri. Cara
berpakaianpun harus sesuai. Kedua, dalam penyampaian pesan, hendaknya didahului
dengan basa basi. Saat hendak menyampaikan pesan yang negatif, para priyayi pada
umumnya menggunakan perumpamaan sehingga lawan bicara dapat menangkap inti
pesannya tanpa harus merasa tersinggung. Prinsip ketiga dikenal oleh orang Jawa
sebagai tok-tok, yaitu sikap berpura-pura. Hal tersebut biasa digunakan priyayi
dalam situasi di mana mereka menyembunyikan keinginan pribadi mereka demi
keinginan orang lain. Prinsip yang keempat adalah mereka harus dapat
mengendalikan emosi dalam bertingkah laku.
Para Priyayi sangat memperhatikan etika dalam berbahasa. Bahasa Jawa
sendiri dapat dibagi menjadi tiga tingkatan dasar, yaitu krama, madya, dan ngoko.
Dialek krama adalah dialek yang paling sopan, sedangkan dialek ngoko adalah dialek
yang paling tidak sopan. Derajat kesopanan tingkatan madya berada di antara
tingkatan krama dan ngoko. Ada pun tingkatan krama dibagi menjadi krama inggil
dan krama biasa, dan tingkatan ngoko dibagi menjadi ngoko sae (ngoko alus), ngoko
madya, dan ngoko biasa. Menurut Geertz, kelas sosial menentukan gaya bahasa dan
dialek. Status juga sangat mempengaruhi pemilihan dialek dalam sebuah percakapan.
Sebagai contoh, saat seorang pejabat penting berbicara dengan orang biasa, dialek
yang digunakan adalah ngoko biasa, sedangkan orang biasa tersebut akan berbicara
dengan menggunakan krama inggil. Contoh berikutnya adalah dua orang priyayi yang
berteman akan berbicara menggunakan ngoko sae.

3.2.2. Konflik Antar Kelas


Menurut Cl. Geertz, terjadinya konflik dan ketegangan antar-kelas disebabkan
adanya perbedaan ideologi. Ketegangan yang terjadi pada umumnya melibatkan kelas
santri dengan kelas priyayi dan abangan. Meskipun di antara abangan dan priyayi
11

juga terjadi banyak konflik, tetapi konflik yang terjadi di antara kedua kelas tersebut
dengan para santri terlihat lebih intens.
Para abangan, yang memiliki ideologi bersifat pragmatis tidak dapat
menerima ideologi para santri yang mereka anggap mistis. Para santri berpendapat
bahwa jika manusia tidak membaca kitab suci dan berdoa kepada Allah, maka kelak
manusia tersebut akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan para abangan berpendapat
bahwa neraka adalah situasi di dunia ini ketika mereka tidak memiliki makanan atau
pada saat emosi negatif bergejolak di hati mereka. Cara untuk menghindari neraka
bukanlah dengan berdoa atau membaca kitab suci, tetapi dengan berbuat hal-hal yang
baik. Para priyayi mengkritik para santri sebagai orang-orang yang munafik. Mereka
pergi naik haji agar dihormati orang. Para priyayi menganggap bahwa pergi ke tanah
suci bukanlah alasan yang tepat bagi seseorang untuk dihormati, karena tempat suci
yang sebenarnya adalah di dalam hati, bukan di Mekkah atau di tempat duniawi
lainnya. Sebaliknya, para santri menuduh para abangan sebagai penyembah berhala,
dan menuduh para priyayi menyejajarkan diri mereka dengan Tuhan.
Ketegangan antar kelas priyayi dan abangan disebabkan oleh sikap para
abangan, yang ingin menjadi seperti seorang priyayi. Mereka mencoba untuk hidup
seperti layaknya seorang priyayi. Karena hal ini, para priyayi mengatakan bahwa para
abangan tidak menjalani hidup sesuai dengan kodratnya sebagai proletariat, kelas
pekerja. Demikian pula mereka yang naik kelas ke jenjang priyayi pada zaman
kolonial Belanda. Pada zaman Jepang, para priyayi, sedikit demi sedikit, mulai dapat
mentolerir sikap kaum abangan ini.

12

Bab IV
Hal-hal yang Disempurnakan dan Dikuatkan Umar
Kayam
Novel Para Priyayi yang dikarang oleh Umar Kayam di New Haven pada
tahun 1991, selain sebagai sebuah karya sastra, juga berperan sebagai sebuah
ensiklopedi yang menyoroti kehidupan kaum birokrat atau aristokrat Jawa, para
priyayi. Kemampuan Umar Kayam dalam mendeskripsikan kehidupan priyayi di
dalam novel tersebut memang tampaknya tidak lepas dari pengalaman yang
didapatnya semasa kecil sebagai anak priyayi. Melihat biografi beliau yang ditulis
oleh A.N. Luthfi, dapat dipastikan bahwa buku ini terinspirasi oleh kejadian-kejadian
nyata di dalam kehidupan beliau. Tidak heran bila beliau berhasil menciptakan
suasana Jawa yang amat kental di dalam bukunya.
Novel Jalan Menikung merupakan sekuel dari Para Priyayi, yang bila
dibandingkan dengan pendahulunya sudah kehilangan sebagian besar nuansa
ensiklopedik yang membuat novel pertamanya sangat sukses. Tetapi, beberapa
persepsi Umar Kayam tentang Masyarakat Jawa memang masih dapat terlihat dengan
jelas di beberapa bagian dalam novel ini.

4.1. Trikotomi Masyarakat Jawa dan Identitas Priyayi


Cl. Geertz, di dalam buku Religion of Java, membagi masyarakat Jawa
menjadi tiga kelas, seperti yang sudah dijelaskan di atas. Menurut Umar Kayam,
masyarakat Jawa merupakan sebuah hasil peradaban yang sangat kompleks, di mana
pembagian yang sangat kaku, seperti pada sistem kasta, tidak dapat menjelaskan
identitas masyarakat Jawa secara akurat. Memang, sistem trikotomi yang sangat kaku
tersebut sungguh ada, tetapi dalam beberapa kasus, sistem tersebut dapat menjadi
fleksibel.

13

Umar Kayam di dalam Para Priyayi, menggambarkan kelas-kelas tersebut


bukan sebagai suatu hal yang mengikat, bahkan batasan-batasan yang terdapat di
antara ketiga kelas sosial tersebut digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat kabur.
Karakter Sastrodarsono diceritakan mempunyai latar belakang seorang petani,
seorang abangan. Kakeknya, ayahnya, dan saudara-saudaranya hanyalah petanipetani kecil. Sastrodarsono sendiri menjadi priyayi setelah ia menamatkan
pendidikannya, dan menjadi guru bantu di sebuah kota kecil. Ia bukanlah keturunan
priyayi, dan ia belum memiliki prestasi apapun untuk mendapatkan gelar priyayi,
tetapi ia sudah dianggap sebagai seorang priyayi.
Wage, alias Lantip, merupakan seorang tokoh yang paling besar jasanya dalam
mengungkapkan pendapat Umar Kayam tentang makna kata priyayi. Lantip adalah
sosok Umar Kayam di dalam buku. Tokoh tersebut adalah sebuah sarana bagi Umar
Kayam untuk mengekspresikan pendapatnya di dalam buku ini. Ia adalah seorang
anak haram dari keponakan jauh Sastrodarsono, tetapi, Umar Kayam menjadikannya
seorang pahlawan di dalam Para Priyayi. Lantip adalah gambaran Umar Kayam akan
priyayi sejati. Lantip menggambarkan seorang priyayi sebagai seorang yang memiliki
semangat pengabdian kepada masyarakat banyak, terutama kepada wong cilik, tanpa
pamrih kecuali berhasilnya pengabdian itu sendiri dan warna semangat
kerakyatan2.
Tokoh Lantip sendiri cukup sulit untuk dikategorikan ke dalam kelas-kelas
dalam trikotomi masyarakat Jawa. Ia memiliki pengertian yang sangat baik akan
kehidupan priyayi, dan ia bersikap bagaikan seorang priyayi. Apalagi, ia juga
berpendidikan. Tetapi, ia bukanlah keturunan priyayi, malahan ia adalah anak haram
dari kaum abangan. Masyarakat Jawa terlalu kompleks untuk dijelaskan dengan

Umar Kayam, Para Priyayi: Sebuah Novel. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992) 306.

14

trikotomi milik Geertz sehingga Umar Kayam menambahkan sub-kelas pada teori
Geertz.
Geertz berpendapat bahwa kemampuan berbahasa membedakan satu kelas dari
kelas yang lain. Di dalam teori Geertz, tingkatan bahasa yang dipakai oleh tiap pribadi
sangat bergantung terhadap status orang yang bersangkutan, dan dengan siapa mereka
berbicara. Tetapi, Umar Kayam berpikiran bahwa hal etiket bahasa yang sangat
mengikat dan kaku seperti itu tidaklah sepenuhnya benar. Sekali lagi, terdapat
beberapa pengecualian. Lewat karakter ayah Sastrodarsono, Umar Kayam kembali
memberikan tambahan pada teori Geertz. Ayah Sastrodarsono, yang hanya seorang
petani desa, dapat berbahasa menggunakan dialek krama inggil, dialek para priyayi
dan kaum intelek. Ia menggunakan krama inggil saat berbicara dengan Ndoro Seten.
Hal yang sebaliknya terjadi pada Sastrodarsono, yang diceritakan sering meluapkan
emosinya ketika kalah di meja kesukan. Bedes, monyet, goblok anak kecu,
gerombolan maling

umpatnya. Ini bukanlah hal yang pantas dilakukan oleh

seorang priyayi, tetapi di sini Umar Kayam menekankan bahwa priyayi, seperti
halnya kaum santri dan abangan, jugalah manusia.
Di dalam Jalan Menikung, dapat dilihat bagaimana Umar Kayam kembali
menyempurnakan teori Geertz seputar pembagian kelas di Jawa. Di dalam novel ini,
Umar Kayam banyak bercerita tentang kelas sosial di Jawa kontemporer. Beliau
menunjukkan bahwa teori trikotomi sudah tidak relevan lagi untuk menjelaskan
kondisi masyarakat Jawa dewasa ini. Pertama, garis-garis pembatas antara ketiga
kelas tersebut sudah hilang, malahan banyak perbedaan yang muncul dalam kelas
priyayi itu sendiri. Sebagai contoh, bandingkanlah karakter Harimurti dengan karakter
Tommi. Hampir segala aspek dalam kehidupan mereka sangatlah berbeda satu sama
yang lain. Tommi kaya, Harimurti sederhana; Tommi licik, Harimurti jujur; Tommi
3

Umar Kayam, Para Priyayi: Sebuah Novel. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992) 10.

15

disegani, sedangkan Harimurti haknya diinjak-injak. Kedua, di Jalan Menikung,


beberapa karakter kembali tidak dapat diklasifikasikan sebagai priyayi, santri,
maupun abangan. Contohnya anak Eko dan Claire. Menurut titik pandang keluarga
Eko, ia dapat dikategorikan sebagai priyayi, karena ia memang keturunan priyayi.
Tetapi, bila dilihat dari perspektif keluarga Claire, ia bukanlah seorang priyayi. Ia
adalah keturunan keluarga Levin, keluarga Yahudi-Amerika. Dapat dilihat bahwa teori
trikotomi sudah tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat Jawa kontemporer.
Untuk menjelaskan fenomena ini, mungkin dibutuhkan lebih dari tiga kelas sosial.

4.2. Konflik Antar Kelas


Umar Kayam, dalam Para Priyayi, menggambarkan bahwa konflik-konflik di
antara ketiga kelas masyarakat tersebut merupakan konflik laten, konflik yang tidak
terlihat, dan bahkan dapat terjadi simbiosis mutualisme di antara ketiga kelas tersebut.
Ini merupakan penyempurnaan dari teori Geertz, yang menyatakan bahwa konflik dan
ketegangan-ketegangan tersebut cukup nyata. Di dalam novel Para Priyayi, beliau
menggambarkan hubungan di antara sesama masyarakat Jawa sebagai suatu hubungan
yang harmonis. Bukan hanya itu, para priyayi juga memiliki semangat untuk
memperjuangkan hak-hak wong cilik, orang-orang kecil.
Umar Kayam menyatakan bahwa tidak ada konflik yang sampai timbul ke
permukaan di antara kaum priyayi dengan kelas-kelas lainnya, baik itu konflik
ideologi maupun politik. Di dalam Para Priyayi, justru yang terlihat sangat menonjol
adalah keakraban kaum priyayi dengan kaum abangan. Ayah dari Sastrodarsono dan
Sastrodarsono sendiri diterima dengan baik oleh Ndoro Seten, baik sebelum maupun
sesudah Sastrodarsono menjadi seorang priyayi. Ngadiyem, ibu Lantip, diterima
dengan baik oleh Sastrodarsono, sang priyayi.

16

Di dalam Para Priyayi, para priyayi merupakan orang-orang yang mendukung


dan memperjuangkan hak-hak wong cilik, orang-orang dari kelas bawah. Hal ini
pertama kali ditunjukkan oleh Ndoro Seten, yang membantu Sastrodarsono dalam
meraih impiannya menjadi seorang priyayi. Hal ini melengkapi teori Geertz, di mana
dinyatakan bahwa priyayi tidaklah senang akan kaum santri maupun abangan yang
ingin menjadi seperti seorang priyayi, melawan kodratnya sebagai kaum pekerja.
Ndoro Seten juga mengatakan bahwa dirinya ingin ..membangun barisan priyayi
maju, bukan priyayi yang di kemudian hari kepingin jadi raja kecil yang sewenangwenang terhadap wong cilik4. Sastrodarsono pun terlihat mendukung hal ini dengan
membangun sebuah sekolah kecil di Wanalawas, sekolah yang diperuntukkan bagi
wong cilik. Harimurti, anak Hardojo, juga bergabung dengan Lekra, sebuah organisasi
berideologi komunis, dengan tujuan memperjuangkan hak-hak wong cilik. Bahkan,
Lantip, di dalam pidatonya mengajak hadirinnya untuk menanam semangat priyayi
sebagai semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik5. Konflik dengan para
santri pun dilengkapi oleh Umar Kayam dengan menciptakan tokoh Sri dan Darmin.
Mereka adalah keponakan Sastrodarsono yang datang dari kaum santri. Bila memang
terdapat konflik ideologi yang sangat intens di antara para priyayi dan para santri,
tampaknya tidak mungkin Sri dan Darmin dititipkan pada sebuah keluarga priyayi.

4.3. Priyayi dan Rasa Kemanusiaan


Clifford Geertz, di dalam Religion of Java menjelaskan bahwa salah satu
perbedaan di antara priyayi keturunan dan priyayi bukan keturunan terletak pada
karakter, pola berpikir, dan rasa kemanusiaan. Di sini, Umar Kayam kembali
memberikan sebuah masukan kepada teori milik Geertz. Beliau kembali memberikan
situasi di mana teori milik Geertz tidak dapat menjelaskan sebuah fenomena dengan
4
5

Umar Kayam, Para Priyayi: Sebuah Novel (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992) 63.
Ibid, 306.

17

sempurna. Umar Kayam berpikir bahwa, menurut pengalamannya, hubungan darah


bukan penentu karakter seorang anak. Beliau tampaknya sepakat dengan Freud,
seorang psikolog, yang berpendapat bahwa childhood is the father of man. Lantip,
yang bukan anak seorang priyayi, namun dibesarkan dalam sebuah keluarga priyayi
yang keras, berlaku seperti seorang priyayi. Sedangkan Tommi Nugroho, yang adalah
keturunan priyayi, karena dibesarkan di keluarga kaya yang tidak sekeras keluarga
Sastrodarsono, malah kurang rasa kemanusiaannya. Hal ini dapat dilihat di dalam
novel Jalan Menikung.
Gambaran masa kecil Lantip dan Tommi dapat ditemukan di dalam novel
Para Priyayi. Lantip, yang sejak kecil adalah anak yatim dari seorang perempuan
abangan, pada umur enam tahun pindah ke rumah Sastrodarsono. Di sana, ia belajar
mengenai kehidupan para priyayi, dan hal tersebut dimulai dari hal kecil seperti
menata rumah priyayi. Karena Lantip merasa bahwa ia hanya tamu di rumah tersebut,
ia berusaha untuk menyenangkan hati ndoro-ndoronya. Tommi Nugroho adalah anak
dari Nugroho, anak Sastrodarsono. Nugroho sendiri adalah seorang yang cukup
sukses. Berbeda dengan Lantip, Tommi dimanja oleh kelonggaran, fasilitas-fasilitas
dan kemudahan-kemudahan yang disediakan oleh orang tuanya. Tommi juga
merupakan seorang yang acuh tak acuh sejak ia masih muda. Sebagai bukti, saat
Marie hamil di luar nikah, Tommi melepaskan tangannya dari masalah tersebut, dan
akhirnya Lantiplah yang harus turun tangan.
Jalan Menikung menceritakan kehidupan Lantip dan Tommi saat mereka
dewasa. Karakter Lantip tidak terlalu banyak berubah bila dibandingkan dengan
karakternya di buku pertama. Ia masih merupakan sosok priyayi ideal menurut Umar
Kayam. Tommi, di sisi lain, sudah banyak berubah. Ia merupakan sosok pemimpin
yang sangat dihormati, dan memiliki usaha yang sangat sukses. Tentu saja, hal

18

tersebut tidak lepas dari fakta bahwa ayahnya adalah seorang jendral yang sukses.
Tetapi, di sisi lain, Tommi adalah seorang yang licik dan egois. Kesuksesan bisnisnya
dibarengi dengan aksi korupsi. Keegoisannya tercermin lewat keputusannya untuk
memugar makam leluhur mereka. Untuk itu, mereka harus memindahkan makammakam teman Almarhum Sastrodarsono. Tommi kerap menyombongkan dan
memakai kekayaannya hanya untuk pamer. Contohnya dapat dilihat bagaimana ia
ingin memugar makam leluhurnya dengan batu marmer dari Italia. Tommi juga
memiliki sifat kepemimpinan aristokrat. Semua yang ia inginkan harus terpenuhi. Saat
Lantip dan Harimurti menolak rencana pemugaran makam karena makam sahabatsahabat kakek mereka harus dipindah, Tommi tetap teguh pada pendiriannya, dan
tetap melaksanakan keinginannya. Begitu pula saat ia meminta izin kepada Walikota
Wanagalih untuk memugar makam. Ia menggunakan uang untuk menyuap walikota
agar tidak menghalangi keinginannya.
Di sini, dapat dilihat bahwa karakter, pola berpikir, dan rasa kemanusiaan
tidak diwariskan melalui hubungan darah. Meskipun begitu, tidak dapat disangkal
bahwa masa kecil dan hubungan darah memang terikat dengan erat satu sama lain.
Saat kecil, kebanyakan orang tinggal dengan orang tua kandungnya, dan dididik oleh
orang tua kandungya. Tetapi, setiap orang tua memiliki pedagogi yang berbeda dalam
mendidik anaknya. Peran masa kecil seseorang sangatlah besar pada kehidupan masa
depannya. Tetapi, memang beberapa faktor lain seperti kemampuan intelek
diwariskan turun-menurun secara genetik. Lewat kedua karakter ini, Umar Kayam
memberikan tambahan bahwa selain hubungan darah, kehidupan masa kecil juga
memiliki pengaruh terhadap rasa kemanusiaan seorang priyayi.

19

Bab V
Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung berisi gambaran yang sangat kuat
mengenai kehidupan masyarakat Jawa, sehingga dapat dikatakan bahwa buku tersebut
merupakan sebuah karya ilmiah yang ditulis dalam bentuk karya sastra. Setelah
membandingkan Novel Umar Kayam dengan karya ilmiah Geertz, terlihat bahwa
beberapa bagian teori Geertz dikuatkan, atau justru disanggah oleh Umar Kayam.
Pertanyaan yang menjadi fokus esai ini adalah: apa sajakah kontribusi
Umar Kayam untuk teori Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa melalui
novel Para Priyayi dan Jalan Menikung? Pertanyaan tersebut terjawab melalui
metoda dan kerangka analisis sosiologi sastra.
Clifford Geertz merupakan figur yang mencetuskan teori trikotomi masyarakat
Jawa. Ia membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelas: priyayi, santri, dan abangan,
di mana faktor keturunan memiliki andil besar dalam menentukan di kelas mana
seseorang berada. Geertz pun menjelaskan bagaimana seorang priyayi berbeda dari
masyarakat sekitarnya. Tiap kelas memiliki ciri yang berbeda satu dengan yang lain.
Perbedaan itu menimbulkan konflik di antara ketiga kelas tersebut.
Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam menciptakan tokoh-tokoh priyayi
yang

berbeda

dengan

karakter

priyayi

menurut

deskripsi

Geertz.

Untuk

menyempurnakan teori Geertz, beliau seolah-olah menciptakan kelas sosial baru di


antara ketiga kelas yang diciptakan Geertz. Dalam novel Jalan Menikung, beliau
menunjukkan bahwa teori trikotomi Geertz sudah kurang relevan untuk dipakai
menjelaskan fenomena sosial di masyarakat Jawa kontemporer. Beliau juga
menambahkan bahwa konflik-konflik yang disebutkan Geertz hanyalah konflik-

20

konflik laten yang belum tentu muncul ke permukaan. Terkadang malah dapat terjadi
simbiosis di antara ketiga kelas tersebut. Beliau juga menciptakan tokoh Tommi untuk
menyempurnakan Teori Geertz tentang rasa kemanusiaan seorang priyayi. Beliau
berpendapat bahwa rasa kemanusiaan seorang priyayi tidak datang dari faktor
keturunan, tetapi lebih merupakan manifestasi akumulasi pengalaman masa kecil
seseorang. Argumen-argumen di atas, pada akhirnya mendukung hipotesis esai ini,
yaitu bahwa kedua novel di atas memang memiliki kontribusi bagi penyempurnaan
teori Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa.

5.2. Rekomendasi untuk Penelitian Lebih Lanjut


Hal lain yang menarik, tetapi belum dibahas dalam esai ini antara lain
bagaimana perbandingan pandangan Umar Kayam menyangkut filsafat dan etika
priyayi Jawa dengan pandangan antropolog lain, seperti Franz Magnis Suseno.
Pertanyaan yang dapat diajukan kemudian adalah apakah mungkin bahwa kedua buku
tersebut, selain sebagai ensiklopedi tentang masyarakat Jawa, juga merupakan
satir/sindiran dari Umar Kayam akan hedonisme kaum priyayi, dan apakah benar
warisan yang masih tersisa dari kaum priyayi saat ini hanyalah hedonismenya semata.

21

Daftar Pustaka
Escarpit, Robert. Kata pengantar. Sosiologi Sastra. Oleh Sapardi Djoko Damono. Terj.
Ida Sundari Hussen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. vii-xi.
Februana, Ngarto. Konflik Sosial Dan Politik Dalam Novel Nyali Karya Putu
Wijaya. 9 Oktober 2007. <http://www.geocities.com/ngartofebruana/
skripsi.htm>
Fischer, Uve Christian. Phenomenological Approach to Literature, Sociology of
Literature, Sociological Literary Research: Questions of Methods in Progress.
2 Oktober 2007. <http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/6/600126.pdf>
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Glencoe, IL: The Free Press, 1960.
Kayam, Umar. Para Priyayi: Sebuah Novel. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Kayam, Umar. Jalan Menikung: (Para Priyayi 2). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
2002.
Luthfi, Ahmad Nashih. Manusia Ulang-Alik. Jogjakarta: Eja Publisher, 2007.
Saparie, Gunoto. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra. Suara Karya.
<http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=168818>

22

Anda mungkin juga menyukai