Language A1
Bahasa Indonesia
Kontribusi Umar Kayam untuk Teori Clifford Geertz
tentang Masyarakat Jawa melalui Novel Para Priyayi
dan Jalan Menikung
~Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra~
Candidate Name:
Candidate Number:
Word Count:
Examination Session:
Sekolah
Indonesia
Abstrak
Para Priyayi dan Jalan Menikung merupakan dua buah novel serial karya
Umar Kayam. Masalah seputar priyayi dan relasinya dengan kelas sosial lain menjadi
topik bahasan di dalam esai ini. Esai yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra
ini berpusat pada pertanyaan Apa sajakah kontribusi Umar Kayam untuk teori
Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa melalui novel Para Priyayi dan Jalan
Menikung?. Pertanyaan inilah yang akan berusaha untuk dijawab melalui
perbandingan antara perspektif Geertz yang dituliskannya dalam buku The Religion of
Java dengan perspektif Umar Kayam dalam novel Para Priyayi dan Jalan Menikung.
Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelas, yaitu priyayi, abangan,
dan santri. Setiap kelas memiliki ciri-ciri yang berbeda satu sama lain, sehingga
timbulnya konflik akibat perbedaan ideologi dan status sosial tidak dapat dihindari.
Dalam Para Priyayi, Umar Kayam mengomentari teori Gertz secara halus. Beliau
menciptakan sebuah masyarakat di mana persamaan di antara ketiga kelas tersebut
ditonjolkan. Para priyayi digambarkan sebagai kaum yang dekat dengan kaum
abangan dan santri, atau wong cilik, orang kecil. Mereka berani berjuang demi hakhak orang kecil. Di dalam Jalan Menikung, Umar Kayam mengontraskan tokoh
Lantip dengan tokoh Tommi. Rasa kemanusiaan, yang menurut Geertz merupakan
sebuah faktor keturunan, di sini lebih merupakan manifestasi akumulasi pengalaman
masa kecil. Meskipun terdapat banyak perbedaan pendapat antara Umar Kayam dan
Geertz, namun di satu sisi, karangan Umar Kayam tidak bernada merendahkan
maupun menyalahkan Teori Geertz. Melalui bukti-bukti tersebut, dapat disimpulkan
bahwa Umar Kayam menulis kedua buah karya tulis tersebut bukan hanya sebagai
sarana hiburan, tetapi sebagai sarana untuk mengutarkan pendapatnya. Melalui
karyanya, beliau memberikan penyempurnaan-penyempurnaan pada teori Clifford
Geertz tentang masyarakat Jawa.
(260 words)
Daftar Isi
I.
Pendahuluan 1
II.
Sinopsis Cerita. 3
2.1. Para Priyayi .. 3
2.2. Jalan Menikung . 3
17
5.2. Rekomendasi Untuk Penelitian Lebih Lanjut
18
Daftar
Pustaka
19
Bab I
Pendahuluan
Umar Kayam dan Clifford Geertz dikenal sebagai dua orang ahli dalam soal
kebudayaan Jawa. Geertz adalah seorang antropolog ternama lulusan Harvard yang
menerima penghargaan Honorary Doctorate Degrees dari 15 universitas ternama di
dunia. Umar Kayam sendiri adalah anak seorang priyayi yang mendapat kesempatan
menimba ilmu di Cornell University, Amerika Serikat, dan mendapat gelar doktor.
Beliau pernah menjabat sebagai Dirjen RTF, dan dianggap sebagai salah seorang figur
penting dari sastrawan angkatan50.
Para Priyayi dan Jalan Menikung (Para Priyayi 2) merupakan dua buah novel
karya Umar Kayam yang sudah tidak asing lagi bagi penikmat kesusastraan
Indonesia. Melalui keduanya, pembaca mendapatkan gambaran yang menyeluruh
menyangkut kehidupan, pola pikir, serta dinamika masyarakat Jawa dalam rentang
waktu yang cukup panjang (dalam abad 20). Sedangkan buku Religion of Java
merupakan kompilasi hasil penelitian Clifford Geertz tentang kehidupan masyarakat
Jawa sekitar tahun 50an yang sering dijadikan referensi oleh banyak peneliti.
Banyak sekali hal menarik yang bisa didapatkan dengan membandingkan
kedua karya tersebut mengingat bahwa keduanya menyoroti seputar hal yang sama,
tetapi dengan metode pendekatan yang berbeda. Esai ini merupakan sebuah studi
komparasi yang membandingkan dua novel karya Umar Kayam dan buku Religion of
Java karya Clifford Geertz.
Tidak sedikit karya ilmiah yang membahas fenomena sosial masyarakat Jawa
mendukung teori Geertz, namun banyak juga yang menyanggahnya. Umar Kayam
melakukan keduanya, namun dengan pendekatan berbeda. Beliau tidak beradu
pendapat melalui sebuah karya ilmiah, melainkan melalui karya fiksi. Diharapkan
hasil analisis esai ini dapat mengurai kompleksitas kehidupan masyarakat Jawa
dengan mengawinkan butir-butir pemikiran Umar Kayam dan Clifford Geertz.
Fokus pertanyaan yang akan dicoba untuk dijawab adalah: Apa sajakah
kontribusi Umar Kayam untuk teori Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa
melalui novel Para Priyayi dan Jalan Menikung? Pertanyaan tersebut akan dijawab
menggunakan kerangka pemikiran sosiologi sastra.
Esai ini akan dibagi menjadi lima bab. Bab pertama merupakan pendahuluan.
Bab kedua berisikan sinopsis cerita. Bab ketiga akan membahas kerangka teoritik dan
konseptual. Bab keempat merupakan analisis, dan pada bab kelima akan diuraikan
kesimpulan esai ini.
Bab II
Sinopsis Cerita
2.1. Para Priyayi
Buku ini, meskipun disebut sebagai sebuah novel, dari segi struktural lebih
terlihat sebagai sebuah roman. Cerita berawal dari penjelasan tentang Wanagalih dan
Wanalawas, latar utama cerita. Kemudian, tokoh Sastrodarsono diperkenalkan. Ia
adalah seorang petani kecil yang akhirnya berhasil menjadi seorang priyayi. Ia
menikah dengan Siti Aisah dan dikaruniai tiga orang anak: Nugroho, Hardojo, dan
Soemini. Sebagai seorang priyayi, ia mempersilakan keponakan-keponakannya untuk
tinggal bersamanya. Ia memiliki seorang keponakan yang bertabiat buruk bernama
Soenandar, yang memiliki anak di luar nikah dari Ngadiyem. Namun, Soenandar
kabur dan menolak untuk bertanggung jawab. Anak tersebut, Lantip, menjadi karakter
utama dalam cerita ini.
Lantip diangkat anak oleh Hardojo. Karakter Lantip menggambarkan sosok
seorang priyayi ideal menurut Umar Kayam. Di dalam cerita, Lantip menjadi seorang
yang memiliki jasa yang sangat besar di dalam keluarga Sastrodarsono. Setiap kali
masalah muncul di dalam keluarga Sastrodarsono, Lantip menjadi penasihat dan
pencari solusi atas masalah-masalah tersebut. Cerita berakhir pada saat Ndoro Guru
Sastrodarsono meninggal. Saat upacara pemakaman Sastrodarsono, Lantip berpidato,
yang isinya menjadi intisari sekaligus kesimpulan dari buku Para Priyayi ini.
ini
berkisah
tentang
kehidupan
generasi
keempat
keluarga
Bab III
Kerangka Teoritik dan Konseptual
3.1.
Sapardi Djoko Damono, Sastra adalah kristalisasi keyakinan, nilai-nilai, dan normanorma yang disepakati masyarakat,1 dan karena itu, nilai estetik dalam sebuah karya
sastra tidak dapat lepas dari unsur-unsur sosiologis yang mempengaruhinya.
Singkatnya, sosiologi sastra memandang sebuah karya sastra sebagai bagian dari
kenyataan, dan membandingkan unsur-unsur dalam karya sastra tersebut dengan
realita sosial. Karya sastra tidaklah dilihat secara keseluruhan, tetapi lebih berfokus
pada unsur sosio-budaya yang terkandung di dalamnya.
Di dalam dunia kritik sastra, dikenal empat macam orientasi, yaitu: orientasi
kepada semesta (teori mimesis), orientasi kepada pembaca (teori pragmatis), orientasi
kepada pengarang (teori ekspresif), dan orientasi kepada karya (teori objektif). Esai
ini, yang merupakan sebuah tinjauan sosiologi sastra, akan berorientasi pada semesta,
pengarang, dan pembaca. Sosiologi sastra sendiri merupakan topik yang sangat luas di
mana terdapat bermacam-macam teori. Namun, metoda pembahasan di dalam esai ini
hanya akan menggunakan kerangka teori yang dirumuskan oleh Rene Wellek dan
Austin Warren tentang sosiologi pengarang. Metoda tersebut memfokuskan kritik
pada diri sang pengarang (contoh: status sosial, ideologi politik). Selain itu,
pembahasan novel Para Priyayi dan Jalan Menikung akan menggunakan pendekatan
Hans Norbert Fuegen, yang menganggap sebuah karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya, atau das soziale Grundverhaeltnis.
RobertEscarpit, kata pengantar, Sosiologi Sastra, Oleh Sapardi Djoko Damono, Terj. Ida
Sundari Hussen (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005) viii.
Kelas yang berada di tengah adalah kelas santri, sedangkan kelas paling bawah
disebut kelas abangan.
Kata priyayi berasal dari dua kata, yaitu para yayi, artinya para adik. Yang
dimaksud dengan para adik adalah adik-adik raja. Dari nama ini dapat dilihat status
mereka dan kedekatan mereka dengan pejabat-pejabat tinggi pemerintah. Cl. Geertz
menyatakan bahwa untuk dianggap sebagai seorang priyayi, seseorang harus
memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Beberapa ciri-ciri priyayi yang membedakan
mereka dari masyarakat pada umumnya adalah kekayaan, gaya hidup (cara
berpakaian, gaya rumah, tata krama), dengan siapa mereka bergaul, dan garis
keturunan. Tetapi ada beberapa pengecualian, antara lain: petinggi pemerintah yang
posisinya cukup tinggi, meskipun bukan keturunan priyayi, tetap dianggap sebagai
seorang priyayi; Orang-orang Jawa dengan gelar Mr. (Master of Laws) dan Dr.
(Doctor of Laws) juga dianggap sebagai priyayi. Istilah yang dipakai oleh Cl. Geertz
bagi orang-orang tersebut adalah prijaji by work, priyayi berdasarkan prestasi.
Meskipun mereka juga adalah priyayi, tetapi posisi priyayi yang benar-benar
priyayi tetap lebih tinggi di mata masyarakat. Orang-orang yang mendapatkan posisi
priyayi dengan belajar dan kerja keras, menurut beliau, kurang memiliki rasa
kemanusiaan yang seharusnya dimiliki oleh seorang priyayi.
Salah satu hal yang membedakan para priyayi dari orang biasa adalah etika.
Etika memberi para priyayi aturan dalam bertingkah. Melalui ketentuan-ketentuan
tersebut, sang priyayi diharapkan dapat bertingkah laku lepas dari emosinya. Meski
terkesan kaku, namun Cl. Geertz mengatakan bahwa kesopan-santunan mereka datang
dari roso, rasa. Etika sopan santun priyayi dalam bertutur dapat dirangkum menjadi
empat prinsip utama. Pertama, bahasa dan tingkah laku harus sesuai dengan kelas
mereka. Saat dua priyayi, walaupun belum saling kenal, bertemu, mereka harus
10
menggunakan bahasa Jawa alus, dan harus saling merendahkan diri. Cara
berpakaianpun harus sesuai. Kedua, dalam penyampaian pesan, hendaknya didahului
dengan basa basi. Saat hendak menyampaikan pesan yang negatif, para priyayi pada
umumnya menggunakan perumpamaan sehingga lawan bicara dapat menangkap inti
pesannya tanpa harus merasa tersinggung. Prinsip ketiga dikenal oleh orang Jawa
sebagai tok-tok, yaitu sikap berpura-pura. Hal tersebut biasa digunakan priyayi
dalam situasi di mana mereka menyembunyikan keinginan pribadi mereka demi
keinginan orang lain. Prinsip yang keempat adalah mereka harus dapat
mengendalikan emosi dalam bertingkah laku.
Para Priyayi sangat memperhatikan etika dalam berbahasa. Bahasa Jawa
sendiri dapat dibagi menjadi tiga tingkatan dasar, yaitu krama, madya, dan ngoko.
Dialek krama adalah dialek yang paling sopan, sedangkan dialek ngoko adalah dialek
yang paling tidak sopan. Derajat kesopanan tingkatan madya berada di antara
tingkatan krama dan ngoko. Ada pun tingkatan krama dibagi menjadi krama inggil
dan krama biasa, dan tingkatan ngoko dibagi menjadi ngoko sae (ngoko alus), ngoko
madya, dan ngoko biasa. Menurut Geertz, kelas sosial menentukan gaya bahasa dan
dialek. Status juga sangat mempengaruhi pemilihan dialek dalam sebuah percakapan.
Sebagai contoh, saat seorang pejabat penting berbicara dengan orang biasa, dialek
yang digunakan adalah ngoko biasa, sedangkan orang biasa tersebut akan berbicara
dengan menggunakan krama inggil. Contoh berikutnya adalah dua orang priyayi yang
berteman akan berbicara menggunakan ngoko sae.
juga terjadi banyak konflik, tetapi konflik yang terjadi di antara kedua kelas tersebut
dengan para santri terlihat lebih intens.
Para abangan, yang memiliki ideologi bersifat pragmatis tidak dapat
menerima ideologi para santri yang mereka anggap mistis. Para santri berpendapat
bahwa jika manusia tidak membaca kitab suci dan berdoa kepada Allah, maka kelak
manusia tersebut akan masuk ke dalam neraka. Sedangkan para abangan berpendapat
bahwa neraka adalah situasi di dunia ini ketika mereka tidak memiliki makanan atau
pada saat emosi negatif bergejolak di hati mereka. Cara untuk menghindari neraka
bukanlah dengan berdoa atau membaca kitab suci, tetapi dengan berbuat hal-hal yang
baik. Para priyayi mengkritik para santri sebagai orang-orang yang munafik. Mereka
pergi naik haji agar dihormati orang. Para priyayi menganggap bahwa pergi ke tanah
suci bukanlah alasan yang tepat bagi seseorang untuk dihormati, karena tempat suci
yang sebenarnya adalah di dalam hati, bukan di Mekkah atau di tempat duniawi
lainnya. Sebaliknya, para santri menuduh para abangan sebagai penyembah berhala,
dan menuduh para priyayi menyejajarkan diri mereka dengan Tuhan.
Ketegangan antar kelas priyayi dan abangan disebabkan oleh sikap para
abangan, yang ingin menjadi seperti seorang priyayi. Mereka mencoba untuk hidup
seperti layaknya seorang priyayi. Karena hal ini, para priyayi mengatakan bahwa para
abangan tidak menjalani hidup sesuai dengan kodratnya sebagai proletariat, kelas
pekerja. Demikian pula mereka yang naik kelas ke jenjang priyayi pada zaman
kolonial Belanda. Pada zaman Jepang, para priyayi, sedikit demi sedikit, mulai dapat
mentolerir sikap kaum abangan ini.
12
Bab IV
Hal-hal yang Disempurnakan dan Dikuatkan Umar
Kayam
Novel Para Priyayi yang dikarang oleh Umar Kayam di New Haven pada
tahun 1991, selain sebagai sebuah karya sastra, juga berperan sebagai sebuah
ensiklopedi yang menyoroti kehidupan kaum birokrat atau aristokrat Jawa, para
priyayi. Kemampuan Umar Kayam dalam mendeskripsikan kehidupan priyayi di
dalam novel tersebut memang tampaknya tidak lepas dari pengalaman yang
didapatnya semasa kecil sebagai anak priyayi. Melihat biografi beliau yang ditulis
oleh A.N. Luthfi, dapat dipastikan bahwa buku ini terinspirasi oleh kejadian-kejadian
nyata di dalam kehidupan beliau. Tidak heran bila beliau berhasil menciptakan
suasana Jawa yang amat kental di dalam bukunya.
Novel Jalan Menikung merupakan sekuel dari Para Priyayi, yang bila
dibandingkan dengan pendahulunya sudah kehilangan sebagian besar nuansa
ensiklopedik yang membuat novel pertamanya sangat sukses. Tetapi, beberapa
persepsi Umar Kayam tentang Masyarakat Jawa memang masih dapat terlihat dengan
jelas di beberapa bagian dalam novel ini.
13
Umar Kayam, Para Priyayi: Sebuah Novel. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992) 306.
14
trikotomi milik Geertz sehingga Umar Kayam menambahkan sub-kelas pada teori
Geertz.
Geertz berpendapat bahwa kemampuan berbahasa membedakan satu kelas dari
kelas yang lain. Di dalam teori Geertz, tingkatan bahasa yang dipakai oleh tiap pribadi
sangat bergantung terhadap status orang yang bersangkutan, dan dengan siapa mereka
berbicara. Tetapi, Umar Kayam berpikiran bahwa hal etiket bahasa yang sangat
mengikat dan kaku seperti itu tidaklah sepenuhnya benar. Sekali lagi, terdapat
beberapa pengecualian. Lewat karakter ayah Sastrodarsono, Umar Kayam kembali
memberikan tambahan pada teori Geertz. Ayah Sastrodarsono, yang hanya seorang
petani desa, dapat berbahasa menggunakan dialek krama inggil, dialek para priyayi
dan kaum intelek. Ia menggunakan krama inggil saat berbicara dengan Ndoro Seten.
Hal yang sebaliknya terjadi pada Sastrodarsono, yang diceritakan sering meluapkan
emosinya ketika kalah di meja kesukan. Bedes, monyet, goblok anak kecu,
gerombolan maling
seorang priyayi, tetapi di sini Umar Kayam menekankan bahwa priyayi, seperti
halnya kaum santri dan abangan, jugalah manusia.
Di dalam Jalan Menikung, dapat dilihat bagaimana Umar Kayam kembali
menyempurnakan teori Geertz seputar pembagian kelas di Jawa. Di dalam novel ini,
Umar Kayam banyak bercerita tentang kelas sosial di Jawa kontemporer. Beliau
menunjukkan bahwa teori trikotomi sudah tidak relevan lagi untuk menjelaskan
kondisi masyarakat Jawa dewasa ini. Pertama, garis-garis pembatas antara ketiga
kelas tersebut sudah hilang, malahan banyak perbedaan yang muncul dalam kelas
priyayi itu sendiri. Sebagai contoh, bandingkanlah karakter Harimurti dengan karakter
Tommi. Hampir segala aspek dalam kehidupan mereka sangatlah berbeda satu sama
yang lain. Tommi kaya, Harimurti sederhana; Tommi licik, Harimurti jujur; Tommi
3
Umar Kayam, Para Priyayi: Sebuah Novel. (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992) 10.
15
16
Umar Kayam, Para Priyayi: Sebuah Novel (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992) 63.
Ibid, 306.
17
18
tersebut tidak lepas dari fakta bahwa ayahnya adalah seorang jendral yang sukses.
Tetapi, di sisi lain, Tommi adalah seorang yang licik dan egois. Kesuksesan bisnisnya
dibarengi dengan aksi korupsi. Keegoisannya tercermin lewat keputusannya untuk
memugar makam leluhur mereka. Untuk itu, mereka harus memindahkan makammakam teman Almarhum Sastrodarsono. Tommi kerap menyombongkan dan
memakai kekayaannya hanya untuk pamer. Contohnya dapat dilihat bagaimana ia
ingin memugar makam leluhurnya dengan batu marmer dari Italia. Tommi juga
memiliki sifat kepemimpinan aristokrat. Semua yang ia inginkan harus terpenuhi. Saat
Lantip dan Harimurti menolak rencana pemugaran makam karena makam sahabatsahabat kakek mereka harus dipindah, Tommi tetap teguh pada pendiriannya, dan
tetap melaksanakan keinginannya. Begitu pula saat ia meminta izin kepada Walikota
Wanagalih untuk memugar makam. Ia menggunakan uang untuk menyuap walikota
agar tidak menghalangi keinginannya.
Di sini, dapat dilihat bahwa karakter, pola berpikir, dan rasa kemanusiaan
tidak diwariskan melalui hubungan darah. Meskipun begitu, tidak dapat disangkal
bahwa masa kecil dan hubungan darah memang terikat dengan erat satu sama lain.
Saat kecil, kebanyakan orang tinggal dengan orang tua kandungnya, dan dididik oleh
orang tua kandungya. Tetapi, setiap orang tua memiliki pedagogi yang berbeda dalam
mendidik anaknya. Peran masa kecil seseorang sangatlah besar pada kehidupan masa
depannya. Tetapi, memang beberapa faktor lain seperti kemampuan intelek
diwariskan turun-menurun secara genetik. Lewat kedua karakter ini, Umar Kayam
memberikan tambahan bahwa selain hubungan darah, kehidupan masa kecil juga
memiliki pengaruh terhadap rasa kemanusiaan seorang priyayi.
19
Bab V
Kesimpulan dan Rekomendasi
5.1. Kesimpulan
Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung berisi gambaran yang sangat kuat
mengenai kehidupan masyarakat Jawa, sehingga dapat dikatakan bahwa buku tersebut
merupakan sebuah karya ilmiah yang ditulis dalam bentuk karya sastra. Setelah
membandingkan Novel Umar Kayam dengan karya ilmiah Geertz, terlihat bahwa
beberapa bagian teori Geertz dikuatkan, atau justru disanggah oleh Umar Kayam.
Pertanyaan yang menjadi fokus esai ini adalah: apa sajakah kontribusi
Umar Kayam untuk teori Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa melalui
novel Para Priyayi dan Jalan Menikung? Pertanyaan tersebut terjawab melalui
metoda dan kerangka analisis sosiologi sastra.
Clifford Geertz merupakan figur yang mencetuskan teori trikotomi masyarakat
Jawa. Ia membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelas: priyayi, santri, dan abangan,
di mana faktor keturunan memiliki andil besar dalam menentukan di kelas mana
seseorang berada. Geertz pun menjelaskan bagaimana seorang priyayi berbeda dari
masyarakat sekitarnya. Tiap kelas memiliki ciri yang berbeda satu dengan yang lain.
Perbedaan itu menimbulkan konflik di antara ketiga kelas tersebut.
Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam menciptakan tokoh-tokoh priyayi
yang
berbeda
dengan
karakter
priyayi
menurut
deskripsi
Geertz.
Untuk
20
konflik laten yang belum tentu muncul ke permukaan. Terkadang malah dapat terjadi
simbiosis di antara ketiga kelas tersebut. Beliau juga menciptakan tokoh Tommi untuk
menyempurnakan Teori Geertz tentang rasa kemanusiaan seorang priyayi. Beliau
berpendapat bahwa rasa kemanusiaan seorang priyayi tidak datang dari faktor
keturunan, tetapi lebih merupakan manifestasi akumulasi pengalaman masa kecil
seseorang. Argumen-argumen di atas, pada akhirnya mendukung hipotesis esai ini,
yaitu bahwa kedua novel di atas memang memiliki kontribusi bagi penyempurnaan
teori Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa.
21
Daftar Pustaka
Escarpit, Robert. Kata pengantar. Sosiologi Sastra. Oleh Sapardi Djoko Damono. Terj.
Ida Sundari Hussen. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005. vii-xi.
Februana, Ngarto. Konflik Sosial Dan Politik Dalam Novel Nyali Karya Putu
Wijaya. 9 Oktober 2007. <http://www.geocities.com/ngartofebruana/
skripsi.htm>
Fischer, Uve Christian. Phenomenological Approach to Literature, Sociology of
Literature, Sociological Literary Research: Questions of Methods in Progress.
2 Oktober 2007. <http://sunzi1.lib.hku.hk/hkjo/view/6/600126.pdf>
Geertz, Clifford. The Religion of Java. Glencoe, IL: The Free Press, 1960.
Kayam, Umar. Para Priyayi: Sebuah Novel. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992.
Kayam, Umar. Jalan Menikung: (Para Priyayi 2). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti,
2002.
Luthfi, Ahmad Nashih. Manusia Ulang-Alik. Jogjakarta: Eja Publisher, 2007.
Saparie, Gunoto. Luasnya Wilayah Sosiologi Sastra. Suara Karya.
<http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=168818>
22