SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Fisika
Oleh:
Elisabeth Dian Atmajati
NIM : 101424011
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Fisika
Oleh:
Elisabeth Dian Atmajati
NIM : 101424011
ii
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN
iv
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Elisabeth Dian Atmajati
NIM
: 101424011
vi
ABSTRAK
PENGUKURAN NILAI ROTASI OPTIK SPESIFIK
LARUTAN GALAKTOSA, LAKTOSA DAN FRUKTOSA
Telah dilakukan pengukuran nilai rotasi optik spesifik larutan galaktosa, laktosa,
dan fruktosa. Pengukuran acuan dan larutan sampel dilakukan secara bersamaan.
Berkas laser HeNe dipecah menggunakan beam splitter. Analisator diputar oleh
motor listrik. Data direkam secara kontinyu oleh komputer selama analisator
diputar. Data dianalisa dengan menggunakan dua metode. Metode yang pertama
dengan fitting data berdasar hukum Malus. Metode kedua dengan grafik intensitas
cahaya pengukuran sampel terhadap intensitas cahaya acuan. Metode pertama,
untuk konsentrasi 1 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm larutan galaktosa, laktosa,
dan fruktosa secara berturut-turut memutar bidang getar cahaya terpolarisasi
sebesar (80 8), (51 5), dan (89 13). Metode kedua, untuk konsentrasi 1 gr
ml-1 dan panjang larutan 1 dm larutan galaktosa, laktosa, dan fruktosa secara
berturut-turut memutar bidang getar cahaya terpolarisasi sebesar (80 5), (52
6), dan (86 9). Hasil menunjukkan bahwa besarnya perputaran bidang getar
cahaya terpolarisasi tergantung jenis larutan.
Kata kunci: spesifik rotasi optik, galaktosa, laktosa, fruktosa, laser HeNe, beam
splitter, hukum Malus, acuan, sampel
vii
ABSTRACT
SPECIFIC OPTICAL ROTATION MEASUREMENT OF GALACTOSE,
LACTOSE AND FRUCTOSE SOLUTION
The specific optical rotation measurement of galactose, lactose, and fructose
solution has been done. Measurement of reference and sample solution are
performed simultaneously. HeNe laser was separated using a beam splitter. The
analyzer was rotated by an electric motor. Data are recorded continuously by
computer while analyzer rotating. The data are analyzed using two methods. The
first method is the light intensity applied into Malus law. The second method is a
graph of light intensity of sample measurement versus light intensity of reference.
The first method, for concentration of 1 gr ml-1 and length of 1 dm galactose,
lactose, and fructose solution turned (80 8), (51 5), and (89 13)
respectively. The second method, for concentration of 1 gr ml-1 and length of 1
dm galactose, lactose, and fructose solution turned (80 5), (52 6), and (86
9) respectively. The results showed that the magnitude of the optical rotation
depends on the type of solution.
Keyword: spesific optical rotation, galactose, lactose, maltose, HeNe laser, beam
splitter, Malus law, reference, sample
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah
memberikan kasih yang luar biasa. Berkat kasih dan kuasaNya, penyusunan
skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Karya ini penulis beri judul
Pengukuran Rotasi Optik Spesifik Larutan Galaktosa, Fruktosa, dan Laktosa.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Pendidikan Fisika Fakultas
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.
Penyusunan skripsi ini penuh dengan tantangan. Maka penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis
dalam menangani setiap rintangan yang penulis hadapi. Mereka adalah:
1. Bapak Dr. Ig. Edi Santosa, M.S. selaku dosen pembimbing dan Kaprodi
Pendidikan Fisika, yang telah membimbing dan memberi pengarahan dalam
penyusunan skripsi dari awal hingga akhir.
2. Ibu Sri Agustini, M.Si. selaku dosen mata kuliah Optika yang telah
membimbing saya memahami teori pokok dalam skripsi.
3. Bapak Petrus Ngadiono selaku laboran Laboratorium Pendidikan Fisika yang
telah membantu menyiapkan alat-alat eksperimen.
4. Bapak Otto dan Bapak Kayat selaku laboran Laboratorium Fakultas Farmasi
yang telah membantu menyiapkan bahan-bahan eksperimen.
5. Keluarga di Cawas, Ibu, Mbak Ta, dan Mas Awa yang selalu mendoakan dan
memberi semangat.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
ii
HALAMAN PENGESAHAN..
iii
HALAMAN PERSEMBAHAN...
iv
vi
ABSTRAK...
vii
ABSTRACT...
viii
KATA PENGANTAR..
ix
DAFTAR ISI..
xi
DAFTAR TABEL.
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...
B. Rumusan Masalah..
C. Batasan Masalah.
D. Tujuan Penelitian...
E. Manfaat Penelitian...
F. Sistematika Penulisan..
B. Rotasi Optik..
11
C. Pengenceran Larutan...
15
16
B. Persiapan Bahan.
19
C. Pengambilan Data..
20
D. Analisa Data..
20
xi
23
31
38
B. Pembahasan...
43
50
B. Saran ..
50
DAFTAR PUSTAKA..
52
LAMPIRAN.......
53
xii
DAFTAR TABEL
TABEL 4.1
TABEL 4.2
TABEL 4.3
TABEL 4.4
27
30
TABEL 4.5
TABEL 4.6
TABEL 4.7
34
36
TABEL 4.8
TABEL 4.9
TABEL 4.10
40
42
xiii
47
DAFTAR GAMBAR
GAMBAR 2.1
GAMBAR 2.2
GAMBAR 2.3
GAMBAR 2.4
12
GAMBAR 2.5
GAMBAR 3.1
GAMBAR 4.1
GAMBAR 4.2
GAMBAR 4.3
25
26
GAMBAR 4.4
GAMBAR 4.5
26
xiv
28
GAMBAR 4.7
29
30
GAMBAR 4.8
GAMBAR 4.9
32
33
GAMBAR 4.10
33
GAMBAR 4.11
GAMBAR 4.12
GAMBAR 4.13
Grafik hubungan
berkas
cahaya
yang
melewati
larutan.
xv
39
39
GAMBAR 4.16
GAMBAR 4.17
40
41
GAMBAR 4.18
42
xvi
43
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Cahaya terpolarisasi melewati larutan yang bersifat optis aktif maka
arah polarisasi cahaya akan berputar. Peristiwa ini disebut rotasi optik.
Peristiwa rotasi optik dijumpai salah satunya pada gula. Pengukuran rotasi
optik dapat dimanfaatkan dalam bidang kesehatan yaitu untuk menganalisis
spesifikasi bahan obat dan produk obat [WHO, 2005]. Selain itu, pengukuran
rotasi optik dalam bidang kimia digunakan untuk memeriksa kualitas minyak
atsiri [Koensoemardiyah, 2010].
Rotasi optik dapat diukur salah satunya dengan polarimeter.
Polarimeter mulai dikenalkan pada tahun 1840 [Newmark, 2000]. Polarimeter
ini bekerja berdasar prinsip polarisasi cahaya. Berkas cahaya alami dilewatkan
polarisator menjadi cahaya terpolarisasi linier. Kemudian cahaya ini
dilewatkan pada analisator. Bila analisator diputar maka intensitas cahaya
yang keluar dari analisator berubah. Perubahan ini tergantung posisi sumbu
polarisasi analisator. Bila sumbu polarisasi analisator sejajar sumbu polarisasi
polarisator maka intensitas cahaya yang keluar analisator maksimal.
Sebaliknya jika sumbu polarisasi polarisator tegak lurus sumbu polarisasi
analisator maka intensitas cahaya yang keluar analisator minimal. Oleh karena
itu arah polarisasi cahaya ditentukan dengan memutar analisator sampai
ditemukan intensitas cahaya yang maksimal.
yang dicatat pada keadaan ini digunakan sebagai acuan. Setelah acuan
ditentukan, diantara polarisator dan analisator diletakkan larutan bersifat optis
aktif. Kemudian analisator diputar secara manual dan sudut putaran analisator
diinput ke komputer lalu komputer mencatat intensitas cahaya yang keluar
dari analisator. Data ini kemudian disebut sampel.
Komputer pada penelitian ini selain digunakan untuk mencatat
intensitas cahaya, juga digunakan untuk menganalisa data. Komputer
menampilkan hasil pencatatan dalam bentuk grafik hubungan intensitas
cahaya terhadap sudut putaran analisator. Grafik acuan dan sampel terhadap
sudut putaran analisator ditampilkan pada satu bidang. Rotasi optik diperoleh
dari selisih sudut lembah acuan dan lembah sampel yang berdekatan.
Penelitian ini dapat mengatasi keterbatasan mata dalam mengamati
intensitas cahaya, tetapi acuan dan sampel diperoleh tidak bersamaan. Sumber
cahaya yang digunakan pada penelitian ini adalah laser HeNe. Laser HeNe
intensitasnya terkadang tidak stabil yang disebabkan oleh perubahan panjang
resonator akibat pemuaian tabung [Santosa, 2011]. Oleh karena itu, intensitas
cahaya saat menentukan acuan mungkin berbeda dengan intensitas cahaya saat
menentukan sampel. Intensitas laser yang tidak konstan ini juga dapat
menyebabkan lembah grafik hubungan intensitas cahaya terhadap sudut
putaran analisator tidak tepat satu titik. Hal ini menyulitkan peneliti untuk
menentukan sudut rotasi optik.
Acuan dan sampel dapat ditentukan dalam waktu bersamaan. Untuk
menentukan acuan dan sampel secara bersamaan diperlukan dua berkas
cahaya yang sama. Dua berkas cahaya yang sama dapat diperoleh dari satu
sumber cahaya yang dipecah menggunakan beam splitter, seperti pada
percobaan interferometer Michelson. Beam splitter memecah berkas cahaya
dengan memantulkan sebagian berkas dan meneruskan sebagian berkas
[Santosa, 2014]. Salah satu berkas cahaya langsung menuju analisator dan
berkas cahaya yang lain melewati larutan yang bersifat optis aktif kemudian
menuju analisator. Dengan demikian acuan dan sampel ditentukan secara
bersamaan [Kraftmakher, 2009].
Penelitian berbasis komputer sudah banyak dilakukan, antara lain
pengukuran konstanta pendinginan Newton dengan menggunakan sensor suhu
dan analisa data dengan menggunakan software LoggerPro [Suryani dan
Santosa, 2014] dan penentuan konstanta redaman dengan menggunakan
bantuan software LoggerPro [Limiansih dan Santosa, 2013; Sriraharjo dan
Santosa, 2014]. Pengukuran rotasi optik spesifik dapat pula dilakukan dengan
bantuan komputer. Software yang digunakan untuk menampilkan dan
menganalisa data adalah DataStudio [Kraftmakher, 2009].
Komputer dalam penelitian sebelumnya digunakan untuk menentukan
sudut rotasi optik tetapi cukup sulit dilakukan bila lembah grafik hubungan
intensitas cahaya terhadap sudut putaran analisator tidak hanya satu titik.
Sudut rotasi optik dapat ditentukan menggunakan fitting data dengan hukum
Malus. Software yang memiliki fasilitas fitting data seperti LoggerPro dapat
digunakan untuk menentukan sudut rotasi optik. Selain menggunakan fitting
data dengan Hukum Malus, sudut rotasi optik dapat ditentukan dari grafik
hubungan acuan terhadap sampel [Kraftmakher, 2009].
Komputer
dalam
eksperimen
di
laboratorium
belum
banyak
digunakan. Komputer merupakan media yang sudah tidak asing bagi siswa.
Komputer membantu siswa sehingga eksperimen menjadi lebih mudah.
Eksperimen berbasis komputer ini dapat digunakan oleh siswa pada tingkat
universitas atau sekolah menengah.
Salah satu larutan yang mampu memutar bidang getar cahaya
terpolarisasi adalah larutan sukrosa [Nugroho, 2009]. Sukrosa merupakan
salah satu jenis karbohidrat. Masih ada banyak jenis karbohidrat yang lain
yaitu glukosa, galaktosa, fruktosa, laktosa, maltosa [Riswiyanto, 2009]. Jenisjenis karbohidrat ini memiliki kemampuan yang berbeda dalam memutar
cahaya terpolarisasi linier yang melewatinya. Kemampuan bahan untuk
memutar cahaya terpolarisasi disebut rotasi optik spesifik. Nilai rotasi optik
spesifik dapat digunakan untuk menentukan kualitas larutan yang bersifat
optis aktif. Pada penelitian ini akan dilakukan pengukuran pada beberapa jenis
larutan karbohidrat yang bersifat optis aktif.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan
yang akan dikaji adalah:
1. Bagaimana metode eksperimen untuk menentukan rotasi optik spesifik
dengan acuan dan sampel ditentukan secara bersamaan?
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Dapat
menggunakan
komputer
yang
terinstal
LoggerPro
untuk
BAB II
DASAR TEORI
A. Polarisasi Cahaya
Polarisasi
adalah
karakteristik
semua
gelombang
transversal.
analisator
polarisator
Sumbu polarisasi
polarisator
Sumbu polarisasi
analisator
Gambar 2.1. peristiwa polarisasi cahaya oleh polarisator kemudian cahaya melewati analisator
(Young, 2003)
(2.1)
11
Imax
45
90
135
180
225
270
315
360
Gambar 2.2. Grafik hubungan intensitas cahaya melewati analisator terhadap sudut putaran
analisator mengikuti persamaan (2.1)
B. Rotasi Optik
Gelombang cahaya terpolarisasi linier melewati larutan bersifat optis
aktif. Arah getaran cahaya berputar sejauh terhadap arah getaran gelombang
cahaya sebelum melewati larutan bersifat optis aktif. Fenomena ini disebut
rotasi optik [Pedrotti dan Pedrotti, 1962; Sarojo, 2011]. Fenomena rotasi optik
ditunjukkan oleh gambar 2.3.
Gambar 2.3. berkas cahaya terpolarisasi melewati larutan yang bersifat optis aktif.
(2.2)
konsentrasi larutan c ini berupa grafik linier. Nilai spesifik rotasi optik
diperoleh dari gradien grafik.
Intensitas cahaya terpolarisasi yang keluar dari analisator akan
mengikuti persamaan (2.1). Bila sebelum melewati analisator, cahaya ini
melewati larutan yang bersifat optis aktif, maka arah polarisasi cahaya
berputar sejauh . Sehingga jika pada awalnya sumbu polarisasi polarisator
dan sumbu polarisasi analisator sudah membentuk sudut sebesar , maka
setelah melewati larutan yang bersifat optis aktif arah cahaya terpolarisasi
menjadi bertambah sebesar . Sehingga intensitas cahaya yang keluar dari
analisator mengikuti persamaan (2.3):
2 = 0 cos 2 +
(2.3)
14
Imax
45
90
135
180
225
270
315
360
Gambar 2.4 memperlihatkan bahwa kedua grafik tidak berimpit. Hal ini terjadi
karena diantara keduanya terdapat beda fase. Beda fase antara kedua grafik
disebabkan oleh peristiwa rotasi optik. Gambar 2.4 menunjukkan beda fase
kedua grafik sebagai jarak antara lembah dari kedua grafik yang berdekatan.
Besar sudut diperoleh dari selisih fase grafik hubungan intensitas cahaya
satu terhadap sudut putaran analisator dan grafik hubungan intensitas cahaya
dua terhadap sudut putaran analisator.
Besar sudut juga dapat ditentukan dengan grafik hubungan intensitas
cahaya yang tidak melewati larutan bersifat optis aktif (I2) terhadap intensitas
cahaya melewati larutan bersifat optis aktif (I2) [Kraftmakher, 2009]. Grafik I1
terhadap I2 ditunjukkan pada gambar 2.5.
I1
a
A
I2
sin = =
(2.4)
C. Pengenceran Larutan
Penentuan nilai rotasi optik spesifik ditentukan dengan membuat
grafik rotasi optik terhadap konsentrasi c, oleh karena itu dibutuhkan larutan
bersifat optis aktif dengan berbagai konsentrasi. Variasi konsentrasi larutan
dilakukan dengan mengencerkan larutan. Larutan diencerkan berdasarkan
persamaan (2.5) [Rosenberg, 1989].
1 1 = 2 2
Keterangan:
V1 : volume larutan sebelum diencerkan
c1 : konsentrasi larutan sebelum diencerkan
V2 : volume larutan setelah diencerkan
c2 : konsentrasi larutan setelah diencerkan
(2.5)
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai rotasi optik spesifik dari
larutan galaktosa, laktosa dan fruktosa. Untuk menentukan nilai rotasi optik
spesifik ada beberapa tahapan. Tahapan yang pertama adalah persiapan alat.
Tahapan yang kedua adalah persiapan bahan. Tahapan ketiga pengambilan data.
A. Persiapan Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari beberapa
komponen. Alat-alat yang digunakan antara lain:
1. Laser HeNe
Laser HeNe memiliki panjang gelombang 632,8 nm. Laser ini
digunakan sebagai sumber cahaya.
2. Beam splitter
Beam splitter digunakan untuk memecah berkas. Beam splitter
mampu meneruskan sebagian berkas cahaya dan memantulkan sebagian
lainnya.
3. Cermin datar
Cermin datar digunakan untuk memantulkan berkas cahaya yang
dipantulkan oleh beam splitter.
16
4. Polarisator
Polarisator adalah alat untuk membuat cahaya tak terpolarisasi
menjadi terpolarisasi linier setelah cahaya tersebut keluar dari polarisator.
5. Analisator
Analisator adalah polarisator yang digunakan untuk menganalisa.
Analisator ini diletakkan dibelakang polarisator untuk melihat arah
polarisasi cahaya yang keluar dari polarisator.
6. Cuvette
Cuvette digunakan untuk tempat larutan. Cuvette yang digunakan
dalam penelitian ini terbuat dari akrilik. Bahan akrilik dipilih karena
transparan sehingga berkas cahaya dapat menembus cuvette. Cuvette yang
digunakan panjangnya 1 dm.
7. Sensor cahaya
Sensor cahaya berfungsi sebagai pendeteksi intensitas cahaya yang
keluar dari analisator.
8. Komputer
Komputer
digunakan
untuk
merekam,
menampilkan
dan
J
K
H
C
Keterangan gambar
A : Laser HeNe
G : Motor Listrik
B : Beam Splitter
H : Diafraghma
C : Cermin Datar
I : Sensor Cahaya
D : Polarisator
J : Interface LabPro
E : Cuvette
K : Komputer
F : Analisator
Laser ditembakkan menuju beam splitter. Beam splitter memecah
berkas cahaya laser menjadi dua, sebagian berkas dipantulkan dan sebagian
diteruskan. Berkas cahaya yang dipantulkan kemudian diarahkan ke cermin
datar kemudian dipantulkan ke polarisator. Setelah melewati polarisator,
berkas cahaya ini langsung menuju analisator. Setelah melewati analisator,
berkas cahaya ini melewati diafragma lalu ditangkap oleh sensor cahaya yang
Fruktosa ini berbentuk cair dan sangat pekat. Fruktosa cair ini tidak dapat
dilewati laser sehingga perlu diencerkan. Fruktosa diencerkan dengan
menambahkan aquades sampai diperoleh konsentrasi larutan 0,46 gr ml-1.
Fruktosa pada konsentrasi ini sudah dapat ditembus laser. Larutan-larutan ini
kemudian digunakan sebagai larutan stok.
Nilai rotasi optik spesifik dapat diperoleh dengan memvariasi
konsentrasi larutan stok. Konsentrasi larutan divariasi dengan mengencerkan
larutan. Larutan diencerkan dengan menambahkan aquades. Volume aquades
yang ditambahkan ke larutan stok dihitung berdasar persamaan (2.5).
C. Pengambilan Data
Setelah alat dan bahan siap, kemudian larutan dituang pada cuvette.
Cuvette diletakkan diantara polarisator dan analisator dan diatur agar posisinya
lurus. Analisator kemudian diputar. Selama analisator berputar, komputer
mencatat intensitas cahaya. Data yang diperoleh berupa intensitas berkas
cahaya sebagai fungsi sudut. Setelah satu konsentrasi selesai, kemudian
larutan dengan konsentrasi berbeda dituang ke cuvette dan diberi perlakuan
sama.
D. Analisa Data
Data yang direkam oleh komputer kemudian dianalisa dengan bantuan
software LoggerPro. Terdapat dua cara untuk menentukan sudut rotasi optik,
yaitu:
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Bahan yang diteliti pada penelitian ini yaitu galaktosa, laktosa dan
fruktosa. Ketiga bahan diteliti dengan metode yang sama untuk menentukan
sudut rotasi optiknya. Data hasil penelitian disajikan sebagai berikut.
1. Hasil Pengukuran Larutan Galaktosa
Kedudukan
sumbu
polarisasi
analisator
berubah
seiring
23
Tabel 4.1. Hubungan intensitas berkas cahaya satu dan intensitas berkas cahaya dua
terhadap sudut putaran analisator. Konsentrasi larutan galaktosa 0,2 gr ml-1 dan panjang
larutan 1 dm.
No.
Sudut (rad)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
2,737
2,956
3,176
3,394
3,613
3,832
4,051
4,271
4,498
4,708
4,928
5,146
5,365
5,585
5,803
6,023
6,242
6,46
6,68
6,898
Data dapat dianalisa dengan dua cara, yaitu dengan fitting data
berdasar hukum Malus dan dengan grafik hubungan intensitas berkas
cahaya satu terhadap intensitas berkas cahaya dua.
a. Analisa dengan Hukum Malus
Data yang ditampilkan pada tabel 4.1 kemudian disajikan dalam
bentuk grafik hubungan intensitas berkas cahaya terhadap sudut putaran
analisator. Data disajikan dalam bentuk grafik agar dapat difit dengan
hukum Malus.
Gambar 4.1. Grafik hubungan intensitas cahaya terhadap sudut putaran analisator.
Intensitas berkas cahaya satu (intensitas cahaya yang tinggi) sebagai acuan dan intensitas
berkas cahaya dua (intensitas cahaya yang rendah) sebagai berkas cahaya yang melewati
larutan. Konsentrasi larutan galaktosa 0,2 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Gambar 4.2. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap sudut putaran
analisator
Gambar 4.3. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya dua terhadap sudut putaran
analisator. Konsentrasi larutan galaktosa 0,2 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Gambar 4.2 dan gambar 4.3 memperlihatkan grafik yang difit dengan
persamaan (2.3). Garis yang mengikuti titik data pada gambar 4.2 dan 4.3
merupakan garis fitting menurut persamaan (2.3). Hasil fitting data
No.
1
2
3
4
5
6
Gambar 4.4. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan galaktosa
sepanjang 1 dm.
Gambar 4.5. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas
cahaya dua. Konsentrasi larutan galaktosa 0,2 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Tabel 4.3. Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan galaktosa sepanjang
1 dm.
No.
1
2
3
4
5
6
Gambar 4.6. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan galaktosa
sepanjang 1 dm.
Sesuai dengan persamaan (2.2) maka gradien grafik 4.6 merupakan nilai
rotasi optik spesifik larutan galaktosa sebesar (80 5) derajat ml gr-1 dm-1.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sudut
(rad)
3,256
3,454
3,653
3,851
4,049
4,247
4,446
4,644
4,842
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
5,041
5,239
5,437
5,636
5,834
6,032
6,23
6,429
6,627
6,825
7,024
33
109
254
393
488
576
570
634
595
545
508
54
122
207
289
320
341
335
306
287
254
202
No.
Gambar 4.7 Grafik hubungan intensitas cahaya terhadap sudut putaran analisator.
Intensitas berkas cahaya satu (intensitas cahaya yang tinggi) sebagai acuan dan intensitas
berkas cahaya dua (intensitas cahaya yang rendah) sebagai berkas cahaya yang melewati
larutan. Konsentrasi larutan laktosa 0,541 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Gambar 4.8. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap sudut putaran
analisator
Gambar 4.9. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya dua terhadap sudut putaran
analisator. Konsentrasi larutan laktosa 0,541 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Fase grafik intensitas berkas cahaya satu sebesar 3,150,04 rad dan fase
grafik intensitas berkas cahaya dua sebesar 3,500,04 rad. Selisih fase
kedua grafik merupakan sudut rotasi optik. Untuk larutan laktosa dengan
konsentrasi 0,541 gr ml-1 diperoleh sudut rotasi optik sebesar 0,350,06
rad atau 203.
No.
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 4.10. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa
sepanjang 1 dm
Gambar 4.11. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas
cahaya dua. Konsentrasi larutan laktosa 0,541 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Grafik 4.11 dianalisa dengan cara yang sama dengan yang dilakukan pada
larutan galaktosa menggunakan persamaan (2.4). Mengacu pada gambar
2.5, dari gambar 4.11 diperoleh nilai B sebesar 284,5 lux dan nilai b
sebesar 120 lux, sehingga diperoleh sudut perputaran optik 216.
Konsentrasi larutan laktosa kemudian divariasi. Masing-masing
konsentrasi ditentukan sudut rotasi optiknya. Hubungan sudut rotasi optik
terhadap konsentrasi larutan laktosa disajikan pada tabel 4.6.
Tabel 4.6. Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa sepanjang 1
dm.
No.
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 4.12. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa
sepanjang 1 dm.
Nilai rotasi optik spesifik larutan laktosa diperoleh dari gradien grafik
hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan laktosa sepanjang
1 dm. Nilai spesifik rotasi optik larutan laktosa dari gambar 4.12 sebesar
(52 6) derajat ml gr-1 dm-1.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Sudut
(rad)
1,559
1,678
1,798
1,918
2,037
2,156
2,276
2,396
2,515
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
2,635
2,754
2,873
2,993
3,112
3,232
3,351
3,471
3,59
3,71
3,83
564
618
694
715
682
676
661
616
543
459
368
62
74
81
87
91
91
87
85
79
68
56
No.
Gambar 4.13. Grafik hubungan intensitas cahaya terhadap sudut putaran analisator.
Intensitas berkas cahaya satu (intensitas cahaya yang tinggi) sebagai acuan dan intensitas
berkas cahaya dua (intensitas cahaya yang rendah) sebagai berkas cahaya yang melewati
larutan. Konsentrasi larutan fruktosa 0,38 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Cara menentukan sudut rotasi optik untuk larutan fruktosa ini sama
dengan larutan galaktosa dan laktosa. Grafik 4.14 dan grafik 4.15 difit
dengan persamaan (2.3).
Gambar 4.14. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap sudut putaran
analisator
Gambar 4.15. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya dua terhadap sudut putaran
analisator. Konsentrasi larutan fruktosa 0,38 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Fase grafik intensitas berkas cahaya satu sebesar 1,590,04 rad dan fase
grafik intensitas berkas cahaya dua sebesar 1,370,04 rad. Selisih fase
kedua grafik merupakan sudut rotasi optik. Untuk larutan fruktosa dengan
konsentrasi 0,38 gr ml-1 diperoleh nilai rotasi optik sebesar 0,220,06 rad
atau 123.
Konsentrasi larutan fruktosa kemudian divariasi. Sudut rotasi optik
diperoleh dengan cara yang sama kemudian ditampilkan pada tabel 4.8.
Tabel 4.8. Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan fruktosa sepanjang 1
dm.
No.
1
2
3
4
5
Gambar 4.16. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan fruktosa
sepanjang 1 dm.
Dari grafik 4.16 dapat diketahui besarnya nilai rotasi optik spesifik larutan
fruktosa yaitu sebesar (89 13) derajat ml gr-1 dm-1.
b. Analisa dengan Grafik Hubungan Intensitas Berkas Cahaya Satu terhadap
Intensitas Berkas Cahaya Dua
Metode lain untuk menentukan sudut rotasi optik dari larutan
fruktosa adalah dengan grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu
terhadap intensitas berkas cahaya dua yang dinyatakan pada gambar 4.17.
Gambar 4.17. Grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas
cahaya dua. Konsentrasi larutan fruktosa 0,38 gr ml-1 dan panjang larutan 1 dm.
Dari grafik 4.17 berdasarkan gambar 2.5 dipeoleh nilai B sebesar 71,5 lux
dan nilai b sebesar 18 lux sehingga diperoleh sudut rotasi optik 154.
Demikian pula untuk konsentrasi larutan fruktosa yang lain, sehingga
diperoleh tabel 4.12.
Tabel 4.9. Hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan fruktosa sepanjang 1
dm.
No.
1
2
3
4
5
Gambar 4.18. grafik hubungan sudut rotasi optik terhadap konsentrasi larutan fruktosa
sepanjang 1 dm.
Dari grafik 4.18 dapat diketahui besarnya nilai rotasi optik spesifik larutan
fruktosa yaitu sebesar (86 9) derajat ml gr-1 dm-1.
B. Pembahasan
Cahaya terpolarisasi melewati larutan yang bersifat optis aktif akan
diputar bidang getarnya. Peristiwa ini disebut rotasi optik. Rotasi optik
dipengaruhi oleh konsentrasi larutan, panjang larutan, dan jenis larutan yang
dilewati. Penelitian ini meneliti beberapa jenis larutan yang bersifat optis aktif
untuk mengetahui nilai rotasi optik spesifiknya.
Sudut rotasi optik dapat ditentukan bila acuan sudah ditentukan
terlebih dahulu. Pada penelitian sebelumnya acuan dan berkas cahaya yang
melewati larutan bersifat optis aktif ditentukan secara terpisah, padahal
sumber cahaya yang digunakan dapat menghasilkan intensitas cahaya yang
berubah. Oleh karena itu pada penelitian ini, acuan dan berkas cahaya yang
melewati larutan bersifat optis aktif diukur secara bersamaan. Untuk dapat
mengukur acuan dan berkas cahaya yang melewati larutan bersifat optis aktif
secara bersamaan digunakan beam splitter sebagai pemecah berkas cahaya
laser. Berkas cahaya acuan kemudian disebut berkas cahaya satu dan berkas
cahaya yang melewati larutan bersifat optis aktif disebut berkas cahaya dua.
Kemudian masing-masing berkas cahaya ditangkap oleh sensor cahaya yang
terhubung ke komputer melalui interface LabPro.
Sebelum melakukan pengukuran, dilakukan eksperimen pendahuuan.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini diatur posisinya. Sensor cahaya
diatur agar tegak lurus terhadap arah datangnya berkas cahaya. Analisator
diberi pelumas agar dapat berputar dengan lancar. Posisi cuvette diatur agar
tidak miring terhadap jalannya berkas cahaya.
Setelah posisi alat diatur, sumber cahaya kemudian dinyalakan.
Sumber cahaya yang digunakan pada penelitian ini adalah laser HeNe. Laser
HeNe memiliki karakteristik yaitu intensitas cahaya tidak stabil akibat
perubahan panjang resonator, terutama pada awal pemakaian [Santosa, 2011].
Oleh karena itu, sebelum digunakan laser dinyalakan terlebih dahulu selama
kurang lebih 1 jam.
Setelah diamati, berkas cahaya yang sampai di sensor cahaya
menyebar. Intensitas berkas cahaya yang terbaca terkadang bukan bagian
tengah dari penyebaran berkas tersebut sehingga intensitasnya tidak konstan.
Berkas cahaya dilewatkan pada diafragma yang diameternya kecil agar hanya
bagian tengah berkas cahaya laser yang sampai di sensor cahaya. Diafragma
diletakkan diantara analisator dan sensor cahaya.
Data yang ditampilkan pada gambar 4.1, 4.7, dan 4.13 masih terdapat
riak-riak kecil yang terlihat terutama pada puncak-puncak grafik. Riak-riak
kecil ini diakibatkan oleh adanya getaran. Sumber getaran antara lain
komputer dan motor listrik. Sumber getaran ini menggetarkan diafragma
karena sumber getaran ini berada pada meja yang sama dengan diafragma.
Untuk mengurangi getaran ini kemudian komputer sebagai sumber getaran
dipindahkan ke meja yang lain. Getaran dari motor listik masih menggetarkan
diafragma karena motor listrik terhubung dengan analisator yang berada pada
meja yang sama sehingga terkadang bukan pusat berkas cahaya yang sampai
di sensor cahaya.
Setelah pengaturan alat menghasilkan data yang baik, kemudian
larutan yang diteliti dituang ke cuvette. Analisator kemudian diputar oleh
motor listrik. Selama analisator berputar, intensitas cahaya dicatat oleh
komputer. Data yang dicatat komputer adalah tabel hubungan intensitas berkas
cahaya terhadap waktu. Tabel ini kemudian ditampilkan dalam bentuk grafik
hubungan intensitas berkas cahaya terhadap waktu. Menurut persamaan (2.1),
intensitas berkas cahaya merupakan fungsi sudut. Kemudian dilakukan
perhitungan terhadap waktu sehingga diperoleh intensitas berkas cahaya
sebagai fungsi sudut.
Grafik intensitas berkas cahaya satu dan grafik intensitas berkas
cahaya dua terhadap sudut putaran analisator mengikuti persamaan hukum
Malus. Cara pertama untuk menentukan sudut rotasi optik dengan fitting data
menurut persamaan (2.3). Hasil fitting data dapat menunjukkan fase grafik.
Menurut persamaan (2.1) dan (2.3), beda fase dari grafik intensitas berkas
cahaya satu dan grafik intensitas berkas cahaya dua merupakan besar sudut
rotasi optik.
Cara kedua untuk menentukan sudut rotasi optik dengan grafik
hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas cahaya dua.
Grafik ini berbentuk elips karena antara sumbu horisontal dan sumbu vertikal
memiliki perbedaan fase. Sudut rotasi optik ditentukan menggunakan
persamaan (2.4).
Analisa dengan Hukum Malus cocok digunakan untuk keadaan
eksperimen dengan putaran analisator konstan. Bila putaran analisator konstan
maka grafik intensitas cahaya terhadap sudut putaran analistor dapat terbentuk
dengan baik. Meskipun analisator tidak berputar dengan konstan metode ini
masih dapat digunakan karena fasilitas fitting data pada software LoggerPro
dapat menampilkan hasil fitting yang paling mendekati persamaan grafik yang
tepat. Fitting data ini menggunakan semua titik data yang dihasilkan untuk
menentukan persamaan grafiknya. Sedangkan analisa dengan grafik hubungan
intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas cahaya dua tidak
memerlukan perhitungan terhadap waktu untuk mendapatkan hubungan
intensitas terhadap sudut. Analisator tidak harus diputar konstan, karena cara
memutar analisator tidak mempengaruhi bentuk grafik.
No.
Jenis Gula
1
2
3
Galaktosa
Laktosa
Fruktosa
Nilai rotasi optik spesifik yang dihasilkan dari analisa dengan Hukum
Malus menghasilkan ralat yang cukup besar. Ralat yang cukup besar ini
dikarenakan masih ada getaran dari motor listrik yang menggetarkan
diafragma dan putaran analisator yang tidak konstan. Hal ini terlihat dari garis
fitting data yang tidak tepat mengikuti titik-titik data. Terdapat pergeseran
antara titik data dengan garis fitting data. Sedangkan untuk analisa dengan
grafik hubungan intensitas berkas cahaya satu terhadap intensitas berkas
cahaya dua juga menghasilkan ralat yang cukup besar karena grafik yang
dihasilkan tidak membentuk elips dengan baik.
Ralat pada larutan fruktosa bila dibanding dengan ralat dari larutan
galaktosa dan laktosa merupakan ralat yang terbesar. Ralat dari larutan
fruktosa ini besar karena fruktosa memiliki karakteristik yang berbeda dengan
galaktosa dan laktosa. Galaktosa dan laktosa berbentuk bubuk kemudian
dilarutan dengan aquades sehingga terbentuk larutan laktosa dan galaktosa.
Larutan laktosa dan galaktosa ini berwarna putih kekuningan sehingga lebih
mudah dilewati berkas cahaya. Fruktosa berbentuk cair dan berwarna coklat
pekat. Fruktosa cair ini kemudian diencerkan agar dapat dilewati berkas
cahaya. Berkas cahaya yang melewati larutan ini menyebar. Penyebaran
berkas cahaya ini lebih luas dibanding dengan penyebaran berkas cahaya yang
melewati larutan laktosa dan galaktosa. Hal ini menyebabkan pembacaan
intensitas berkas cahaya semakin tidak baik sehingga ralatnya pun besar.
Nilai rotasi optik spesifik yang diperoleh dengan menggunakan metode
analisa dengan Hukum Malus dan grafik hubungan intensitas berkas cahaya
satu terhadap intensitas berkas cahaya dua hampir sama. Namun bila hasil ini
dibandingkan dengan hasil pengukuran yang pernah dilakukan, yang
ditampilkan pada tabel 4.10, terlihat bahwa nilainya hampir sama.
Ketidaksamaan terjadi karena nilai rotasi optik spesifik pada pengukuran yang
pernah dilakukan menggunakan sodium D-line dengan panjang gelombang
589 nm sebagai sumber cahaya dan diteliti pada suhu 20C-25C [Belitz,
Grosch, Scieberle, 2009]. Sedangkan pada penelitian ini digunakan laser
HeNe dengan panjang gelombang 632,8 nm sebagai sumber cahaya dan suhu
ruangan 27C.
Pengamatan
intensitas
berkas
cahaya
terpolarisasi
berbantuan
komputer ini relatif lebih mudah digunakan. Komputer merupakan media yang
sudah tidak asing lagi. Metode eksperimen ini dapat pula digunakan dalam
pembelajaran pada praktikum gelombang dan optika. Komputer dapat
membantu siswa untuk mengamati intensitas cahaya terpolarisasi yang
melewati analisator. Dengan bantuan komputer siswa tidak perlu mengamati
secara visual. Pembelajaran menjadi lebih menarik.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pada penelitian ini telah dilakukan pengamatan rotasi optik oleh
larutan galaktosa, laktosa dan fruktosa. Pengamatan dilakukan dengan bantuan
sensor cahaya dan software LoggerPro.
Dari keseluruhan penelitian diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Penentuan acuan dan sudut putaran bidang getar cahaya terpolarisasi oleh
larutan dapat dilakukan bersamaan dengan bantuan beam splitter sebagai
pemecah berkas cahaya.
2. Metode menentukan sudut perputaran bidang getar cahaya terpolarisasi
oleh larutan sampel ada dua cara, menggunakan fitting berdasar hukum
Malus dan grafik elips.
3. Hasil pengukuran nilai spesifik rotasi optik:
No.
Jenis Gula
1
2
3
Galaktosa
Laktosa
Fruktosa
B. Saran
Berdasar penelitian ini, penulis menyarankan kepada pembaca yang
ingin melakukan penelitian selanjutnya untuk:
50
DAFTAR PUSTAKA
Halliday, D., Resnick, R. 1986. FISIKA: Edisi ke 3 Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Kraftmakher, Y. 2009. Measurement of Small Optical Polarization Rotations. Eur.
J. Phys. 30 271-276
Koensoemardiyah. 2010. A to Z Minyak Atsiri untuk Industri Makanan, Kosmetik,
dan Aromaterapi. Jogja: Penerbit Andi.
Limiansih dan Santosa. 2013. Redaman Pada Pendulum Sederhana. Prosiding
Pertemuan Ilmiah XXVII HFI. Jateng dan DIY.
Newmark, A. 2000. Jendela Iptek. Jakarta: Balai Pustaka.
Nugroho, S.R. 2009. Pengukuran Aktivitas Optik Pada Larutan Gula. Skripsi S1
pada: Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tidak diterbitkan.
Pedrotti, F.L. dan Pedrotti, L.S. 1962. Introductions to Optics. London: PrenticeHall.
Riswiyanto. 2009. Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.
Rosenberg, J.L. 1989. Teori dan Soal-Soal Kimia Dasar. Jakarta: Erlangga.
Santosa, I.E. 2011. Pengaruh Perubahan Panjang Resonator Terhadap Daya
Keluaran Laser He-Ne. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXV HFI Jateng &
DIY. Purwokerto.
Santosa, I.E. 2014. Petunjuk Praktikum Fisika Atom dan Molekul. Yogyakarta:
USD.
Sarojo, G.A. 2011. Gelombang dan Optika. Jakarta: Salemba Teknika.
Sriraharjo dan Santosa. 2014. Pengaruh Luas Permukaan Terhadap Redaman pda
Sistem Massa Pegas. Prosiding Pertemuan Ilmiah XXVIII HFI. Jateng dan
DIY.
Suryani dan Santosa. 2014. Pengukuran Konstanta Pendinginan Newton.
Prosiding Seminar Nasional Sains dan Pendidikan Sains IX. Salatiga:
UKSW.
Tipler, P.A. 2001. Fisika Untuk Sains dan Teknik. Jakarta: Erlangga.
WHO. 2005. Pemastian Mutu Obat. Jakarta: EGC.
Young, H. D. dkk. 2003. Fisika Universitas. Jakarta: Erlangga.
52
LAMPIRAN
Lampiran 1. Gambar Susunan Alat Eksperimen
Susunan alat eksperimen dilihat dari samping
53
Gambar Analisator diputar dengan kecepatan sudut . Sumbu polarisasi analisator (anak panah
hitam) membentuk sudut terhadap sumbu polarisasi polarisator (anak panah merah)
(1)
keterangan:
polarisasi polarisator
: kecepatan sudut
: waktu
C1
(gr ml-1)
0,44
0,367
0,344
0,305
0,25
0,2
V1
(ml)
25
30
32
36
44
55
C2
(gr ml-1)
0,367
0,344
0,305
0,25
0,2
V2
(ml)
30
32
36
44
55
2. Larutan Laktosa
No.
1
2
3
4
5
6
7
C1
(gr ml-1)
0,728
0,691
0,654
0,622
0,592
0,565
0,541
V1
(ml)
17
18
19
20
21
22
23
C2
(gr ml-1)
0,691
0,654
0,622
0,592
0,565
0,541
V2
(ml)
18
19
20
21
22
23
V1
(ml)
54
57
60
63
66
C2
(gr ml-1)
0,44
0,42
0,4
0,38
V2
(ml)
57
60
63
66
3. Larutan Fruktosa
No.
1
2
3
4
5
C1
(gr ml-1)
0,46
0,44
0,42
0,4
0,36
No.
Konsentrasi
(gr ml-1)
0,2
0,25
0,305
0,344
0,367
0,44
No.
Konsentrasi
(gr ml-1)
Fase
Fase Pengukuran
Acuan
Sampel
(rad)
(rad)
()
0,2
3,111
3,383
0,272
15,59
0,25
0,7197
1,119
0,3993
22,89
0,305
3,717
4,152
0,435
24,94
0,344
2,461
2,95
0,489
28,03
0,367
4,643
5,142
0,499
28,61
0,44
1,58
2,222
0,642
36,8
No.
Konsentrasi
(gr ml-1)
0,2
0,25
0,305
Grafik Elips
0,344
0,367
0,44
Sudut Rotasi
Konsentrasi
(gr ml-1)
(lux)
(lux)
0,2
360,5
108,5
0,3
17,52
0,25
303,5
113,5
0,37
21,97
0,305
226
99
0,44
25,99
0,344
124
59
0,5
28,43
0,367
145,5
78,5
0,54
32,67
0,44
180
106,5
0,6
36,29
No.
Sin (B/b)
()
No.
Konsentrasi
(gr ml-1)
0,541
Optik
0,565
0,592
0,622
0,654
0,691
0,728
No.
Konsentrasi
(gr ml-1)
Fase
Acuan
(rad)
1
2
3
4
5
6
7
0,541
0,565
0,592
0,622
0,654
0,691
0,728
3,151
5,44
3,133
0,05256
1,153
3,941
3,725
Fase
Pengukuran
Sampel
(rad)
3,496
5,824
3,543
0,4608
1,589
4,435
4,248
()
0,345
0,384
0,41
0,40824
0,436
0,494
0,523
19,78
22,01
23,5
23,4
24,99
28,32
29,98
No.
Konsentrasi
(gr ml-1)
0,541
0,565
Grafik Elips
0,592
0,622
0,654
0,691
0,728
Sudut Rotasi
Konsentrasi
Sin
(gr ml-1)
(lux)
(lux)
(B/b)
0,541
284,5
120
0,36
20,8
0,565
380
143,5
0,38
22,2
0,592
675,5
267,5
0,4
23,34
0,622
826,5
323
0,39
23,02
0,654
800,5
343
0,43
25,38
0,691
610,5
285
0,49
27,84
0,728
50
26
0,52
31,35
No.
Optik
()
No.
Konsentrasi
(gr ml-1)
0,38
0,40
0,42
0,44
0,46
0,48
0,50
No.
Konsentrasi
(gr ml-1)
Fase
Fase Pengukuran
Acuan
Sampel
(rad)
(rad)
()
0,38
4,699
4,477
0,222
12,73
0,4
1,931
1,696
0,235
13,47
0,42
5,693
5,447
0,246
14,1
0,44
4,949
4,642
0,307
17,6
0,46
2,464
2,117
0,347
19,9
No.
Konsentrasi
(gr ml-1)
0,38
0,4
0,42
Grafik Elips
0,44
0,46
Sudut Rotasi
Konsentrasi
(gr ml-1)
(lux)
(lux)
0,38
71,5
18
0,25
14,59
0,4
93
27
0,29
16,88
0,42
95
29
0,3
17,78
0,44
88
31
0,35
20,63
0,46
82,5
30
0,36
21,33
No.
Sin (B/b)
Optik
()
= sin
23,5
360,5
0,3
= sin1 0,3
0,02
= sin1 0,3
0,02
15,5
+
108,5
= sin1 0.05
=3
2. Ralat Nilai Rotasi Optik Spesifik
Gradien grafik = 80 8
= m/l
= 80/1
=80 ml gr-1 dm-1
= ((m/l)2)1/2
= ((8/1)2)1/2
= 8 ml gr-1 dm-1