Perselisihan Hasil Pemilukada Oleh I Gusti Putu Artha
Perselisihan Hasil Pemilukada Oleh I Gusti Putu Artha
Pendahuluan
Wakil Bupati terpilih dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah Kabupaten Kabupaten Kotawaringin Barat Tahun 2010.
Oleh karena itulah, makalah ini mencoba menggambarkan
realitas putusan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaian perselisihan hasil
Pemilukada dan implikasinya dalam persepektif penyelenggara.
II. Telaah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perselisihan Hasil
Pemilukada Tahun 2010
Sebelum membahas telaah Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Perselisihan Hasil Pemilukada Tahun 2010, ada baiknya dikemukakan
pandangan menyangkut posisi MK dalam penanganan PHPU Kada. Secara
yuridis, setelah keluarnya UU Nomor 22 Tahun 2007 dan UU Nomor 12 Tahun
2008, maka legitimasi MK dalam menyelesaikan PHPU Kada adalah sah dan
legal. Kebutuhan MK untuk secara langsung menyelesaikan PHPU Kada, amat
strategis. Citra dan wibawa MK yang selama ini masih relatif terpelihara baik,
turut menumbuhkan kepercayaan publik, terutama pihak yang bersengketa,
bahwa MK akan mampu memutus perkara secara objektif dan adil.
Kendatipun, tidak belum bisa dibuktikan asumsi ini, namun penyelesaian
perkara PHPU Kada di jajaran pengadilan di tingkat bawah relatif rentan
dengan tekanan politik, terutama ketika kekuatan politik di pusat ikut
bermain memasuki ruang-ruang pengambilan keputusan pengadilan.
Terlebih pula, acapkali hakim di pengadilan umum kurang memiliki
kompetensi dan kecakapan untuk memahami dan menguasai dengan cepat
sejumlah persoalan dan regulasi menyangkut Pemilukada. Hal ini berbeda
dengan MK yang memang sejak awal ikut mengawal proses PHPU sehingga
minimal memiliki persepektif visi dan wawasan yang lebih luas. Selain itu,
dengan penyelesaian PHPU Kada di MK, maka kita memindahkan dan
mengubah konflik horizontal yang berpotensi anarkis dan penuh tekanan
massa di daerah menjadi konflik elit dan sengketa hukum di lembaga
peradilan.
Oleh karena itu, ketika wacana mengembalikan penyelesaian PHPU
Kada kembali ke Pengadilan Negeri dan Tinggi bergulir, saya termasuk yang
amat tidak setuju terhadap gagasan tersebut. Kita memang mengakui ada
problem penyiapan bahan-bahan dalam berperkara yang relatif memerlukan
biaya oleh pemohon maupun termohon, namun ini adalah masalah
administratif yang masih bisa dicarikan jalan keluarnya. Bahwa memberikan
kepercayaan dan legitimasi kepada MK dalam penyelesaian PHPU Kada
dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran
yang dilakukan oleh orang lain (nullus/nemo commodum capere potest de
injuria sua propria). Dengan demikian, tidak satu pun Pasangan Calon
pemilihan umum yang boleh diuntungkan dalam perolehan suara akibat
terjadinya pelanggaran konstitusi dan prinsip keadilan dalam
penyelenggaraan pemilihan umum. Terlepas dari penanganan penegak
hukum yang akan memproses semua tindak pidana dalam Pemilukada
secara cepat dan fair untuk menjadi alat bukti dalam sengketa pemilukada di
hadapan Mahkamah yang dalam pengalaman empiris Pemilukada
tampaknya kurang efektif, maka Mahkamah memandang perlu menciptakan
terobosan guna memajukan demokrasi dan melepaskan diri dari kebiasaan
praktik pelanggaran sistematis, yang terstruktur, dan masif seperti perkara a
quo.
Selanjutnya, memperkuat argumentasinya MK di halaman 129 menegaskan:
Menimbang bahwa dalam memutus perselisihan hasil Pemilukada,
Mahkamah tidak hanya menghitung kembali hasil penghitungan suara yang
sebenarnya dari pemungutan suara tetapi juga harus menggali keadilan
dengan menilai dan mengadili hasil penghitungan yang diperselisihkan,
sebab kalau hanya menghitung dalam arti teknis-matematis sebenarnya bisa
dilakukan penghitungan kembali oleh KPUD sendiri di bawah pengawasan
Panwaslu dan/atau aparat kepolisian, atau cukup oleh pengadilan biasa.
Kendati demikian, MK menyadari bahwa yang dapat diadili MK adalah hasil
penghitungan suara. Ini ditegaskan di halaman 129:
Oleh sebab itu, Mahkamah memahami bahwa meskipun menurut undangundang, yang dapat diadili oleh Mahkamah adalah hasil penghitungan suara,
namun pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan terjadinya hasil
penghitungan suara yang kemudian dipersengketakan itu harus pula dinilai
untuk menegakkan keadilan.
Hal ini, menurut MK, sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi, Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untukmenyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi,
"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum. Kemudian kedua ketentuan UUD 1945 tersebut dituangkan lagi ke
dalam Pasal 45 ayat (1) UU MK yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi
memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
Saya berpendapat kedua pandangan itu ada sisi benarnya. Bahkan
pandangan kedua sebagai dianut oleh MK saat ini, seyogyanya kita dorong
dalam rangka menegakkan keadilan substantif. Pokok masalahnya adalah
pada perangkat hukum acaranya yang tidak segera direvisi untuk memenuhi
tuntutan kebutuhan tersebut. Seyogyanya PMK Nomor 15 Tahun 2008
direvisi, lantas berbagai parameter, indikator dan teknis hukum acara
lainnya dirumuskan dan diberikan payung hukum yang jelas dan tegas. Jika
tidak, maka terkesan MK melanggar PMK yang dibuatnya sendiri.
Sebagai contoh, pasal 8 ayat (4) PMK 15 Tahun 2008 menyatakan
Untuk kepentingan pemeriksaan, Mahkamah dapat menetapkan putusan
sela dengan penghitungan suara ulang. Namun faktanya, MK menetapkan
putusan sela bukan hanya untuk penghitungan suara ulang, tetapi juga
pemungutan suara ulang di bebeberapa TPS (Pemilukada Bangli dan
Tomohon), beberapa kecamatan (Pemilukada Merauke, Minahasa Utara,
Surabaya) hingga Pemilukada ulang (Konawe Selatan, Tebingtinggi, dan
Manado).
PMK 15 Tahun 2008, pasal 13 ayat (3) menyatakan bahwa amar
putusan MK
dapat menyatakan: (a) permohonan tidak dapat diterima apabila pemohon
dan/atau permohonan tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan ini; (2) permohonan
dikabulkan apabila permohonan terbukti beralasan dan selanjutnya
Mahkamah menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang
ditetapkan oleh KPU/KIP Provinsi atau KPU/KIP Kabupaten/Kota, serta
menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut Mahkamah; (c)
Permohonan ditolak apabila permohonan tidak beralasan.
Namun faktanya adalah, MK membuat putusan di luar ketiga
parameter yang diatur dalam PMK, yaitu membatalkan calon terpilih dalam
oleh pasangan calon, namun dalam kasus yang relatif sama tidak diputus
demikian.
Problema kelima, pengambilalihan wewenang oleh MK terhadap
fungsi pengadilan lain. Sejumlah pihak menyayangkan putusan yang
diambil MK terhadap kesaksian dalam persidangan yang waktunya terbatas
karena pelanggaran kualitatif seperti politik uang dan pengerahan pegawai
negeri sipil. Dalam konteks politik uang, ada pandangan yang menyebutkan
bahwa pengadilan negeri seharusnya menetapkan dahulu kasus tersebut
barulah dapat dijadikan dasar pengambilan putusan oleh MK. Namun, MK
telah memeriksa dan memvonis sebuah peristiwa sebagai politik uang hanya
dalam kesaksian di persidangan. Belakangan persoalan menjadi makin ruwet
ketika ternyata sejumlah saksi yang digunakan dalam pengambilan
keputusan oleh MK ternyata terbukti memberikan kesaksian palsu.
Kasus terakhir, kewenangan memberhentikan anggota KPU
kabupaten/kota menurut UU Nomor 22 tahun 2007 adalah wewenang KPU
provinsi. Namun dalam kasus, Pemilukada Kabupaten Waropen Papua, MK
mengabaikan fakta hukum bahwa KPU Waropen telah diberhentikan. Pada
halaman 56, Putusan 181/PHPU.D-VIII/2010, dinyatakan:
[3.19] Menimbang bahwa berdasarkan fakta hukum sebagaimana tersebut
di atas, jika Mahkamah berpegang pada asas kepastian hukum, maka
Mahkamah harus menyatakan pemungutan suara tanggal 25 Agustus 2010
adalah tidak sah karena dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Waropen yang
telah diberhentikan oleh KPU Provinsi Papua sejak tanggal 21 Agustus 2010.
Namun jikalau pemungutan suara tanggal 25 Agustus 2010 dipandang tidak
sah dapat membawa implikasi yang sangat merugikan, mengingat telah
dikeluarkan biaya (baik financial costmaupun social cost) yang tidak kecil
untuk melaksanakan tahapan Pemilukada hingga tahapan pendistribusian
logistik Pemilukada, tahapan kampanye, dan tahapan pemungutan suara.
Selain itu, hal yang menjadi pertimbangan utama, menyatakan pemungutan
suara tanggal 25 Agustus 2010 tidak sah berarti tidak menghormati dan
tidak menghargai constitutional rights dalam implementasi demokrasi
Indonesia, terutama terhadap 16.133 pemilih dari total pemilih yang
terdaftar dalam DPT sejumlah 17.470 pemilih;
III.
Penutup
Sumber
http://www.facebook.com/photo.php?
fbid=186090244740287&set=o.264927984499&ref=notif¬if_t=photo_comment
#!/note.php?note_id=177680902251403
http://www.facebook.com/note.php?note_id=177680902251403
http://www.kpud-pacitankab.go.id/node/59