dua macam limbah padat, yaitu: ampas tebu (bagas) dan blotong (filter cake). Ampas tebu merupakan limbah padat yang berasal dari perasan batang tebu untuk diambil niranya. Limbah ini banyak mengandung serat dan gabus. Ampas tebu selain dimanfaatkan sendiri oleh pabrik sebagai bahan bakar pemasakan nira, juga dimanfaatkan oleh pabrik kertas sebagai pulp campuran pembuat kertas. Kadangkala masyarakat sekitar pabrik memanfaatkan ampas tebu sebagai bahan bakar. Ampas tebu ini memiliki aroma yang segar dan mudah dikeringkan sehingga tidak menimbulkan bau busuk. Limbah padat yang kedua berupa blotong, merupakan hasil endapan (limbah pemurnian nira) sebelum dimasak dan dikristalkan menjadi gula pasir. Bentuknya seperti tanah berpasir berwarna hitam, memiliki bau tak sedap jika masih basah. Bila tidak segera kering akan menimbulkan bau busuk yang menyengat. Sekitar tahun 1980, blotong menjadi masalah yang serius bagi pabrik gula dan masyarakat sekitar. Di musim hujan, tumpukan blotong basah, sehingga menebarkan bau busuk dan mencemari lingkungan. Pabrik gula memindahkannya dari lingkungan pabrik ke lahan masyarakat yang disewa. Hal ini untuk mengurangi tumpukannya yang semakin menggunung dalam lingkungan pabrik. Namun, lama kelamaan banyak masyarakat yang tidak mau lagi lahannya ditempati blotong karena baunya yang tidak sedap.
yang memiliki usaha tadi mencari bahan bakar alternatif
pengganti kayu bakar. Makrus (39 th), pengusaha tahu di Sendang, mengungkapkan bahwa pada tahun 1985 penduduk yang memiliki usaha pembuatan tahu mendapat informasi bahwa blotong yang dipadatkan dan dikeringkan (briket) dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Menurut bapak yang memiliki usaha sejak tahun 1989 ini, masyarakat tertarik untuk mencoba memanfaatkan blotong yang dihasilkan oleh Pabrik Gula (PG) Mrican karena banyak yang dibuang dan belum diketahui cara pemanfaatannya. PG. Mrican letaknya sangat dekat dengan Desa Sendang sehingga penduduknya juga merasakan pencemaran yang disebabkan oleh blotong. Pihak PG. Mrican memberi blotong dengan gratis kepada masyarakat. Mulailah masyarakat memanfaatkannya sebagai bahan bakar pengganti kayu bakar. Hal ini melegakan semua pihak karena memberi keuntungan bagi masyarakat sekaligus mengurangi limbah dari PG. Sejak itu, masyarakat pun sangat antusias untuk memanfaatkan blotong sebagai bahan bakar. Akibat semakin banyak permintaan blotong dari masyarakat membuat PG. Mrican mematok tarif harga sebagai biaya angkut ke rumah penduduk. Di tahun 1989, PG. Mrican mematok harga sebesar Rp. 3.000 per 1 rit (truk). Harganya terus mengalami kenaikan. Sampai musim giling tahun 2004, harganya mencapai Rp. 35 ribu per rit. Harga ini masih lebih ekonomis dibandingkan dengan kayu bakar atau minyak tanah.
Pemanfaatan Blotong oleh Warga Setempat
Blotong, Menarik Minat Para Pengusaha Penduduk Desa Sendang, Kec. Banyakan, Kediri, Jawa Timur, 90 persennya menggeluti usaha pembuatan tahu, dan sebagian kecil memiliki usaha pembuatan batu bata atau tempe. Pada proses pembuatannya diperlukan bahan bakar untuk memasak/membakar. Bahan bakar yang biasa digunakan adalah kayu bakar. Semakin sedikitnya kayu bakar yang ada menyebabkan harganya semakin tinggi. Hal ini memaksa masyarakat
SALAM #11
juni 2005
Pabrik gula
26
Briket blotong pertama kali dimanfaatkan oleh
pengusaha rumah tangga pembuatan tahu. Lalu diikuti oleh pengusaha rumah tangga yang lain, seperti: pembuat tempe atau batu bata dan warung makan. Pada tahun 1990, hampir semua penduduk Desa Sendang memanfaatkan briket tersebut. Saiku (28 th), yang mulai tahun ini menggantungkan hidupnya dari usaha tahu, mengatakan bahwa pada umumnya masyarakat membuat dan memakai sendiri briket blotong yang dibuatnya. banyak menghasilkan blotong yang bisa Aktivitas masyarakat sebagai petani, dimanfaatkan sebagai bahan bakar. pembuat tahu/tempe dan batu bata Foto: Mahmudah Hamawi. sekaligus memasarkannya, sudah membuat mereka sangat sibuk. Sehingga, belum ada orang yang menggeluti usaha pembuatan briketnya untuk dijual. Walaupun konsumen briket blotong sudah bertambah banyak, tapi pemakainya masih terbatas pada yang memiliki usaha industri kecil saja. Sedikit sekali masyarakat yang menggunakannya sebagai bahan bakar untuk keperluan rumah tangga.
Briket ini memiliki panas yang tinggi dan
pemakaiannya harus sampai habis. Hal ini membuat masyarakat lebih menyukai memanfaatkannya sebagai bahan bakar industri kecil. Pembuat tahu memanfaatkannya sebagai bahan bakar untuk memasak bubur kedelai sebelum proses pencukaan dan pembuat tempe memanfaatkannya sebagai bahan bakar memasak kedelai sebelum diberi ragi. Cara pemakaiannya yaitu briket yang sudah sedikit terbakar dimasukkan ke dalam lubang luweng (tempat pembakaran khas Jawa) yang telah didesain khusus dan bagian bawahnya diberi saringan untuk mengeluarkan abu sisa pembakaran. Pembuat batu bata memanfaatkannya sebagai bakan bakar untuk membakar bata. Bata yang akan dibakar disusun bertingkat seperti candi, berbentuk segi empat yang mengerucut ke atas. Di tengahtengah tumpukan bata, dulu biasanya diberi kayu bakar agar bata yang berada di tengah bisa ikut matang menjadi batu bata. Setelah mengetahui manfaatnya sebagai bahan bakar, kayu bakar diganti dengan briket blotong. Hasil pembakaran bata dengan menggunakan briket ini lebih sempurna, karena panas yang dihasilkan lebih tinggi. Selain karena hasil yang memuaskan, penggunaan briket dapat mengurangi biaya operasional untuk pembelian kayu bakar. Pemilik warung makan juga menggunakan briket ini sebagai pengganti kayu bakar. Dengan beberapa briket saja mereka sudah bisa memasak makanan dan menggoreng kue-kue yang akan dipasarkan. Panas yang dihasilkan oleh briket dapat mempercepat proses memasak dan dapat mengurangi biaya untuk bahan bakar, sehingga penghasilan dapat meningkat. Sebenarnya briket blotong bukan hanya digunakan oleh pengusaha kecil di Kediri saja. Teknologi pemanfaatan briket ini juga sudah lama dimanfaatkan oleh pengusaha kecil di daerah sekitarnya seperti Nganjuk, Jombang, dan Sidoarjo. Belum banyaknya orang yang membuat usaha pembuatan briket blotong untuk dijual, membuat briket ini belum banyak dikenal oleh masyarakat luas. Jika ingin membelinya, briket harus dipesan dulu kepada orang yang biasa membuatnya. Kerugian dan Kelemahan
Kendala dan Tantangan ke Depan
Adanya teknologi pemanfaatan blotong sebagai bahan bakar sangat membantu usaha kecil masyarakat Desa Sendang. Namun, ketersediaannya yang musiman dan cara pengeringannya yang masih konvensional masih menjadi kendala bagi masyarakat. Banyaknya bahan organik yang terkandung dalam blotong membuat pengusaha pupuk organik meliriknya sebagai bahan baku pembuatan pupuk organik, seperti yang dilakukan salah satu perusahaan pupuk organik yang ada di Nganjuk. Perusahaan ini menjalin kerja sama dengan PG. Mrican untuk mendapatkan blotong. Kerja sama ini menyebabkan masyarakat Sendang tidak bisa lagi memanfaatkan blotong untuk dijadikan briket. Walaupun di Kediri ada 3 pabrik gula, masyarakat Sendang tetap tidak bisa mendapatkannya karena pabrikpabrik gula ini sudah bekerja sama dengan pabrik pupuk organik. Sehingga pada musim giling tahun ini masyarakat Sendang harus menahan kekecewaan dan kegetiran karena tidak bisa mendapatkan blotong lagi. Makrus, Saiku dan segenap masyarakat Sendang sangat berharap mereka bisa mendapatkan blotong lagi agar dapat membuat briket. Tanpa adanya briket ini masyarakat harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli sekam sebagai bahan bakar.
27
juni 2005
Mahmudah Hamawi Guru MTs Diponegoro dan Relawan LPPM Al-Azhar Jl. Raung Rt 03/Rw 05 no. 7 Kediri, Jawa Timur hp. 081 330 445724 email: lppmkediri@yahoo.com
SALAM #11
Bahan bakar yang biasa dimanfaatkan selain
kayu adalah sekam (limbah kulit padi). Harga beli sekam masih lebih mahal daripada blotong tapi lebih murah daripada harga kayu bakar. Harga sekam bisa turun bila sedang musim panen padi dan limbah padi di penggilingan beras cukup banyak. Dibandingkan dengan bahan bakar jenis lainnya, briket blotong memiliki beberapa keunggulan seperti lebih ekonomis, api berwarna biru, bara api lebih tahan lama, panasnya sangat stabil, bila sirkulasi udara baik asap yang dihasilkan sedikit dan abu dari sisa pembakarannya pun sedikit. Banyaknya keuntungan menggunakan briket blotong membuat penduduk Sendang tidak merasakan kerugiannya. Apalagi kebanyakan masyarakat menganggap keunggulan suatu barang terletak pada nilai harga yang murah. Semua barang yang ada
keunggulan pasti ada kelemahannya. Begitu juga dengan
pemanfaatan briket ini sebagai bahan bakar tentu memiliki kelemahan, antara lain: 1. Bila pabrik gula tidak giling, maka stok blotong habis. Sehingga pembuatan briket ini sangat tergantung dengan musim giling pabrik gula. Musim giling berkisar antara bulan Mei-September. Lamanya musim giling tergantung dari jumlah tebu yang ditanam masyarakat. 2. Blotong yang masih basah menimbulkan bau busuk yang menyengat. Sehingga blotong yang akan dicetak menjadi briket, terlebih dulu dicampur cairan kanji untuk mengurangi baunya dan menambah kerekatan briket. 3. Pengeringan briket memerlukan waktu 4 hari sampai 1 minggu tapi jika mendung atau sinar matahari kurang terik diperlukan waktu yang lebih lama. Selain itu, pembuatan briket secara manual memerlukan lahan yang luas untuk penjemurannya. 4. Briket yang sudah jadi tidak boleh terkena air. Walaupun sudah dikeringkan, briket yang terkena air akan mengalami kelainan pada nyala api dan baranya. Api yang dihasilkan menjadi berwarna merah dan baranya kurang panas. Seringkali briket yang sudah terkena air sulit dinyalakan. 5. Memasak dengan briket harus cepat karena jika tidak cepat menangani masakan, dapat membuat masakan sangit atau gosong. 6. Pemakaiannya harus sekali habis, karena baranya sulit dimatikan. Walaupun briket yang basah karena dimatikan sudah kering, briket akan sulit dinyalakan lagi.