Anda di halaman 1dari 2

Critical Review

ESENSI KEBIJAKAN DIPLOMASI DAN TUGAS-TUGAS DIPLOMATIK


Oleh: Bayu Krisna Wardani (NIM: 135120407111032)
Robert D. Putnam (1988) menjelaskan hubungan antara kebijakan domestik dengan
kebijakan internasional yang diterapkan suatu negara. Menurut Putnam terdapat beberapa hal penting
untuk menguraikan hubungan tersebut. Poin pertama adalah hubungan antara domestik dan
internasional sebagai the state of the art. Kebijakan domestik lebih fokus pada keadaan struktural
suatu negara terutama kekuatan negara. Kedua, State-Centric mencerminkan model unitary actor dan
bukan suatu pijakan yang tepat dalam berteori dalam lingkup domestik maupun luar negeri. Poin
ketiga adalah Two-Level games; yaitu metafora interaksi domestik dan internasional, yang terdiri dari
dua level pembuatan kebijakan luar negeri, dalam level nasional masyarakat menekan pemerintah
untuk mengadopsi kebijakan yang menguntungkan masyarakat, sementara yang kedua dalam level
internasional, masing-masing negara memaksimalkan kemampuan agar kepentingan negara tersebut
dapat diterima di lingkungan internasional (Putnam, 1988: 434).
Keempat, towards a theory of ratification: the importance of win-sets, kemampuan
seorang negosiator diuji dalam mewakili negara mereka hingga kepentingan mereka mencapai
ratifikasi. Putnam menjelaskan faktor-faktor yang dapat membantu salah satu pihak untuk mencapai
win-set, yaitu kekuatan dalam negosiasi, preferensi, institusi politik serta strategi negosiator dalam
bernegosiasi. Kelima, uncertainly and bargaining tactics, berlaku jika penawaran win-set solution
tidak pasti. Ketidak pastian itu meningkatkan resiko pembelotan paksa dari negara lawan. Keenam,
restructuring and reverberation, yaitu sebuah usaha pemerintah dalam memperluas win-set.
Kerjasama tidak hanya homogen, melainkan heterogen dan dalam lingkup yang lebih luas. Yang
terakhir adalah the role of the chief negotiation, menjelaskan tentang peran negosiator. Negosiator
bukan hanya seorang duta besar, melainkan juga dapat dilakukan oleh kepala negara dan menteri yang
melakukan kerjasama dengan negara lain.
Lain halnya dengan Putnam, dalam tulisannya Hall dan Jonson mencoba menguraikan
representasi diplomasi sebagai perilaku (acting for other) dan sebagai status (standing for other).
Yang pertama sebagai perilaku (behavior), diplomat seringkali dibandingkan dengan profesi lain,
seperti pengacara. Diplomat sebagai penguasa politik akan merepresentasikan kepentingan mereka.
Seperti halnya pengacara, diplomat juga melakukan yang terbaik untuk memberikan pengaruh
kliennya. Yang kedua, sebagai status (standing for others). Dalam hal ini profesi sebagai diplomat
disejajarkan dengan para anggota parlemen. Diplomat sendiri memiliki tugas untuk merepresentasikan
kondisi politik di negara mereka di lingkungan internasional. Seperti halnya diplomat para anggota
parlemen juga merepresentasikan suara rakyat. Representasi para agen diplomatik tidak hanya
gagasan individu mereka namun dapat berupa beberapa ide tertentu.

Teori yang dikemukakan Putnam dan Jonson dan Hall memiliki perbedaan, Putnam lebih
fokus terhadap strategi serta langkah-langkah diplomatik, sedangkan tulisan Jonsson dan Hall
cenderung membahas tugas para diplomat. Secara umum pandangan yang disampaikan oleh Putnam,
Jonsson dan Hall telah merepresentasikan tugas-tugas diplomatik yang dijalankan oleh seorang
diplomat, namun pandangan-pandangan tersebut tidak terlepas dari kelemahan. Dalam penjelasannya
Putnam tidak menguraikan keadaan-keadaan tertentu sebuah negara, yang kebijakan diplomatiknya
diambil tanpa terkait langsung dengan kebijakan domestik dan kepentingan negara tersebut, seperti
kebijakan kemanusiaan yang terkait dengan penanganan bencana alam dan sebagainya. Di sisi lain,
pandangan Jonsson dan Hall terhadap tugas-tugas seorang diplomat juga dirasa terlalu idealis anpa
mempertimbangkan hal-hal lain yang mempengaruhi keputusan-keputusan diplomatiknya.
Bonn-Summit yang diselenggarakan pada tahun 1978 berhasil menyetujui beberapa
kebijakan finansial pada pertemuan tingkat internasional dengan tujuan untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi di tingkat domestik. Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri juga telah
menyepakati penambahan volume perdagangan di antara Republik Indonesia dengan Kerajaan
Britania Raya1. Kesepakatan global ini bertujuan untuk memajukan perekonomian domestik kedua
negara. Kedua kasus tersebut diatas membuktikan bahwa dalam proses diplomasi sangat dibutuhkan
kepiawaian dalam melakukan negosiasi agar tercapai setiap kepentingan dari pihak-pihak yang
bersangkutan. Dimana kepentingan tersebut nantinya akan mensejahterakan masyarakat di negara
mereka.

1 http://news.bisnis.com/read/20130924/18/164960/marty-natalegawa-perdagangan-inggris-danindonesia-meningkat

Anda mungkin juga menyukai