Anda di halaman 1dari 97

ANALISIS PESTLE (POLITIC, ECONOMY, SOCIAL, TECHNOLOGY,

LAW, ENVIRONMENT) DAN STRATEGI EKSPANSI BISNIS


PERTAMINA KE THAILAND
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Politik
Bisnis Internasional
Dosen Pembimbing : P.M. Erza Killian, S.IP, M.IEF

Disusun oleh :

Kelompok 5 C-HI6
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Maryanti
Elok Aprilia W.
Mediansyah Dwiputra
Kinanti Rizky
Bayu Krisna Wardani
Windy Tyas S.

135120400111010
135120400111034
135120401111002
135120401111082
135120407111032
135120418113011

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

Daftar Isi

COUNTRY PROFILE THAILAND

: Ratcha Anachak (Kingdom Of Thailand)1

Official name

Profil Thailand menurut PBB:2


Populasi

: 67.96 milyar (2015)

GDP

: $404.8 juta (2014)

Kawasan

: Asia Tenggara

Ibu Kota

: Bangkok

Mata uang

: Bath (THB)

Indikator Sosial:3
Laju pertumbuhan populasi 2010-2015

: 0.3 (% tahunan rata-rata)

Tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan 2010-2015

: 3.0 (% tahunan rata-rata)

Tingkat pertumbuhan penduduk pedesaan 2010-2015

: -2,1 (% tahunan rata-rata)

Penduduk perkotaan 2014

: 49.2 %

Penduduk usia 0-14 tahun 2014

: 17,8 %

Penduduk berusia 60 + tahun (perempuan dan laki-laki, % dari total) 2014: 16.2/14.1 %
Rasio jenis kelamin (laki-laki per 100 wanita) 2014

: 95.9%

Pendidikan: Pengeluaran Pemerintah (% dari PDB) 2007-2013 : 7.6%


1E. Jane Keyes. Thailand. (2016). Dalam Encyclopdia Britannica. Diakses dari
http://www.britannica.com/place/Thailand pada tanggal 21 Juni 2016
2Thailand. Diakses dari http://data.un.org/CountryProfile.aspx?crname=Thailand , pada tanggal 21 Juni
2016
3ibid

Pendidikan: Dasar-menengah (f/m %) 2007-2013

: 91.7/90.5%

Pendidikan: Siswa tingkat ketiga perempuan (% dari total) 2007-2013: 57.1%


Kursi yang dipegang oleh perempuan di Parlemen Nasional (%) 2015: 6.1%
Lingkungan:4
Spesies terancam 2014

: 577

Hutan daerah (% dari luas daratan) 2012

: 37.2%

Proporsi dari daerah darat dan laut dilindungi (%) 2014

: 12.5%

Penduduk menggunakan sumber-sumber air bersih (%) 2012

: 96,0%

Penduduk menggunakan peningkatan fasilitas sanitasi (%) 2012

: 93.0%

Emisi CO2 memperkirakan (000 metrik ton dan ton per kapita) 2011

: 303371/4.6

Pasokan energi per kapita (Gigajoules)

: 81,0

Profil Thailand menurut BBC News:5


Kingdom of Thailand
Luas wilayah

: 513,115 sq km (198,115 sq miles)

Bahasa utama

: Thai

Bahasa mayoritas

: Buddhism

4ibid
5Thailand Country Profile. (28 Agustus 2015). Diakses dari http://www.bbc.com/news/world-asia15581957, pada tanggal 21 Juni 2016

COMPANY PROFILE

Pertamina lahir pada 10 Desember 1957 dan merupakan BUMN bidang energi seperti
minyak, gas, energi baru dan energi terbarukan. Sektor hilir Pertamina meliputi kegiatan
pengolahan minyak mentah, pemasaran dan niaga produk hasil minyak, gas dan petrokimia, dan
bisnis perkapalan terkait untuk pendistribusian produk. Bisnis sektor hulu Pertamina yang
dilaksanakan di beberapa wilayah di Indonesia dan luar negeri meliputi kegiatan di bidangbidang eksplorasi, produksi, serta transmisi minyak dan gas. Untuk mendukung kegiatan
eksplorasi dan produksi tersebut, Pertamina juga menekuni bisnis jasa teknologi dan pengeboran,
serta aktivitas lainnya yang terdiri atas pengembangan energi panas bumi dan Coal Bed Methane
(CBM). Dalam pengusahaan migas baik di dalam dan luar negeri, Pertamina beroperasi baik
secara independen maupun melalui beberapa pola kerja sama dengan mitra kerja yaitu Kerja
Sama Operasi (KSO), Joint Operation Body (JOB), Technical Assistance Contract (TAC),
Indonesia Participating/Pertamina Participating Interest (IP/PPI), dan Badan Operasi Bersama
(BOB)6
Visi Pertamina: Menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia. Untuk mewujudkan
visi

tersebut,

pertamina

Governance/GCG)

dengan

menerapkan

Tata

prinsip-prinsip

Kelola

transparency,

Perusahaan

(Good

accountability,

Corporate

responsibility,

independency, dan fairness.7 Serta yang sesuai dengan standar global best practice, serta dengan

6Profil Perusahaan. Diakses dari http://www.pertamina.com/company-profile/, pada tanggal 21 Juni


2016

mengusung tata nilai perusahaan yang telah dimiliki dan dipahami oleh seluruh unsur
perusahaan, yaitu Clean, Competitive, Confident, Customer-focused, Commercial dan Capable.8
Dalam melakukan aktivitas bisnisnya, Pertamina juga memiliki program CSR dimana
salah satunya di bidang lingkungan. Program CSR longkungan Pertamina antara lain yaitu, i)
Green Planet, yaitu program penanaman pohon dan konservasi laut yang dilaksanakan melalui
aksi langsung penanaman, pembagian bibit pohon kepada warga dalam sejumlah kegiatan
masyarakat dan kampanye lingkungan; ii) Coastal Cleaning Up, yaitu bersih-bersih pantai,
distribusi tempat sampah, edukasi pelestarian lingkungan dan penanaman pohon; iii) Green and
Clean, yaitu rehabilitasi taman kota; iv) Green Festival, terkait pemanasan global, listrik,
sampah, kendaraan, air dan pohon; v) Biopori; vi) uji emisi gas buang.9
Analisis SWOT Pertamina

Strength :
1. Kualitas pelayanan terhadap masyarakat sangat memuaskan
2. Dikelola dengan sangat professional dengan tujuan untuk menghindari benturan
kepentingan, tidak menoleransi tindakan suap, menjunjung tinggi integritas
3. Penjualan produk sangat mudah Karen atelah memiliki pasar

Weakness :
1. Hasil limbah produksi member dampak negative bagi lingkungan
2. Masih banykany SDM yang belum terampil sehingga memerlukan pelatihan-pelatihan
khusus
3. Minimnya alat-alat produksi yang dimiliki, sehingga bahan mentah yang ada harus di
ekspor ke Negara lain agar menjadi minyak siap pakai dan kemudian di impor kembali ke
Indonesia
7Pedoman Tata Kelola Perusahaan. Diakses dari http://www.pertamina.com/companyprofile/pedoman-tata-kelola-perusahaan/, pada tanggal 21 Juni 2016
8 Loc.cit
9Pertamina dan Lingkungan. Diakses dari http://www.pertamina.com/socialresponsibility/csr-program/pertamina-dan-lingkungan/, pada tanggal 21 Juni 2016

Opportunity :
1. Memiliki peluang besar untuk berkompetisi baik dalam ranah regional maupun
internasional
2. Berpotensi mendapatkan bantuan dana dari pemerintah
3. Memiliki jaringan outlet yang sangat luas
Treat :
1. Menciptakan persaingan antar sesame agen Pertamina
2. Banyaknya perusahaan minyak asing yang beroperasi di Indonesia, seperti Shell dan
Petronas
3. Persaingan dengan perusahaan asing dalam menarik konsumen

POLITIC
1. Politik Domestik
a. Sistem Politik dan Tipe Rezim Pemerintahan
Kingdom of Thailand berbentuk monarki konstitusi dengan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan dan raja sebagai kepala negara tetapi mulai Mei 2014 pemerintahan di bawah
militer.10 Rezim militer di Thailand memiliki sejarah dalam intervensi politik dan berhasil
menggangti kekuasaan selama 12 kali sejak berakhirnya monarki absolut 1932. 11 Sejak kudeta 22
Mei 2014, Konstitusi 2007 dicabut dan Thailand berada di bawah organisasi militer National
Council for Peace and Order (NCPO) yang mengambil alih pemerintahan dan legislatif. Di
bawah pemerintahan Darurat Militer, pengadilan militer bertanggung jawab menangani kasus
yang biasanya ditangani pengadilan sipil. Sistem politik di Thailand memiliki potensi politik
yang tidak stabil cukup tinggi karena seringnya kudeta dan junta militer12.
b. Pemimpin
Sejak Juni 1946 hingga saat ini Thailand memiliki kepala negara Raja Bhumibol Adulyadej
dan sebagai pemimpin monarki terlama di dunia. Sedangkan kepala pemerintahan sejak kudeta
Mei 2014, dipimpin oleh Jenderal Prayuth Chan-ocha sebagai perdana menteri yang ditunjuk
oleh parlemen militer beberapa bulan setelah kudeta.13
c. Kekerasan Politik

10 Central Intelligence Agency. (June 16, 2016). Library : The World Factbook Thailand. Retrieved from
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/th.html June 17, 2016
11 BBC News. ( August 28, 2015). Thailand country profile. Retrieved from
http://www.bbc.com/news/world-asia-15581957 June 15, 2016
12Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report. Gtersloh: Bertelsmann Stiftung, 2016.
Hal 7
13BBC News. ( August 28, 2015). Thailand country profile.

Salah satu kerusuhan politik yang terjadi disebabkan tekanan dari koalisi Anti-Thaksin
seperti dengan menekan Yingluck pada Desember 2013.14 Sejak terjadi kudeta militer Mei 2014,
kelompok ini berada di bawah tekanan junta militer dan harus menghentikan operasi terbuka.
Menurut laporan (BTI, 2016) juga disebutkan bahwa kekerasan meningkat terkait dengan
pemberontak Muslim-Malay karena kudeta tidak diikuti netralisasi situasi dan militer justru pada
akhir 2014 mulai membagikan senjata kepada kelompok sipil untuk berjuang bersama tentara.
Melalui NCPO, militer juga menutup kamp pengungsi sekaligus perbatasan Thailand-Myanmar
serta mendeportasi pengungsi ke Myanmar. 15
d. Sistem Hukum dan Rule of law
Hingga tahun 2014, konstitusi mengatur pemisahan kekuasaan dengan lembaga peradilan
yang kuat tetapi lembaga legislatif dan eksekutif lemah. Tetapi dalam pemisahan kekuasaan ini
dibayangi oleh kuatnya monarki dan militer. Pada akhir 2013, cabang eksekutif tidak berhasil
merubah perubahan mendasar pada institusi dan isu amnesti penjahat. Lembaga peradilan
mendominasi eksekutif dan legislatif sehingga berkapabilitas membantalkan undang-undang atau
menghalangi kebijakan pemerintah dan menggulingkan perdana menteri dari jabatannya
termasuk Yingluck Shinawatra tahun 2014. Pada tahun 2014 junta NCPO memiliki hak veto
untuk menunjuk kabinet dan pengadilan. Pemisahan kekuasaan demokrasi akan muncul kembali
dijanjikan oleh militer pada tahun 2016. 16
Lembaga peradilan dibedakan kepada Mahkamah Konstitusi, Pengadilan, Pengadilan
Administratif Dan Pengadilan Militer. Selain Mahkamah Konstitusi, setiap cabang memiliki
Pengadilan Banding dan Mahkamah Agung. Selain itu juga ada lembaga monitoring independen
seperti Komisi Pemilihan Umum, Ombudsman, Komisi Pemberantasan Korupsi Nasional dan
Komisi Audit Negara. Tetapi cabang peradilan sama halnya lembaga independen juga
dipolitisasi. Tahun 2008-kudeta 2014 lembaga peradilan bukan hanya memegang otoritas yang

14 Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report. Hal 5.

15 Ibid. Hal 5-6.


16 Ibid. Hal 9

lebih besar dibandingkan dengan lembaga lain tetapi juga dianggap sebagai loyalis anti Thaksin,
Yingluck dan partai politik mereka.17
Sejak kudeta militer 2014, semua kasus harus diselesaikan dalam pengadilan militer serta
digunakan sebagai alat untuk menghukum lawan militer dan pihak yang dianggap menghina
monarki. Pada akhir tahun 2014, pengadilan militer mulai memproses kasus korupsi terhadap
kerabat polisi. Tahun 2015 Komisi Pemberantasan Korupsi Nasional (NACC) menyerahkan
kasus dan menujuk Dewan Legislatif Nasional untuk mendakwa mantan PM Yingluck atas
kegagalan menghentikan korupsi dan kerugian besar terkait subsidi beras. 18
e. Kerusuhan Sosial
Kerusuhan sosial di Thailand lebih terkait dengan hak memeluk agama sesuai dengan
Konsitusi Sementara 2014 bahwa Budha merupakan identitas resmi nasional Thailand sehingga
otoritas dan kelompok Budha dianggap koersif terhadap kelompok Malay-Muslim di Selatan dan
komunitas Kristen.

19

Selain itu sebagian masyarakat Thailand masih menderita kemiskinan,

pengucilan sosial atau diskriminasi karena gender, entis dan geografi. Menurut UNDP, 12.6%
masyarakat Thailand hidup di bawah garis kemiskinan dengan 3.5% bertahan hidup pada kurang
dari $2 per hari. Permasalahan sosial ini sebagian besar di antara minoritas etnis di Utara yang
banyak belum memiliki kewarganegaraan, Malay-Muslim di Selatan dimana pemberontakan
menghalangi upaya pembangunan dan di wilayah populasi terpadat di Timur Laut. Sebagian
besar program pro kemiskinan seperti program Yingluck THB 300 minimum gaji masih
dipertahankan pasca junta militer. 20
f. Serikat Buruh/ Trade Union
Trade union atau serikat pekerja di Thailand hanya diatur oleh Labour Relations Act (LRA)
sebagai organisasi pekerja yang berdiri di bawah LRA. Ada dua tipe serikat yang mungkin ada
yaitu sebuah serikat perumahan dan serikat industri. Serikat harus terbentuk dengan 10 promotor
17 Ibid. Hal 9-10
18 Ibid. Hal 10.
19 Ibid. Hal 6
20 Ibid. Hal 15

atau lebih yang memiliki pekerja dengan jenis bisnis atau kualifikasi yang sama. Selain itu, LRA
juga membedakan serikat dengan dasar kelas dari pekerja misalkan superviser tidak bisa menjadi
anggota serikat pekerja beda kelas. Sepuluh atau lebih pekerja dari industri yang sama bisa
mengajukan sebgai promotor serikat dengan mengisi pendaftaran registrasi pada Kementerian
Pekerja dan Kesejahteraan Sosial. 21
Salah satu isu pekerja yang berkaitan dengan internasional terjadi pada tahun 2015, ketika
serikat pekerja internasional menuntut Thailand atas dugaan pelanggaran pekerja. IndustriAll
Global Union mengajukan kasus pada International Labour Organisation terkait dengan 18
kasus dan pelanggaran serta menuduh pemerintah Thailand gagal melindungi pekerja terutama
pada industri perikanan. Lebih dari 200 orang juga mengajukan surat kepada PM Prayut Chanocha menuntut hukum pekerja yang lebih ketat dan kompensansi yang lebih baik. Terkait dengan
pekerja, berdasarkan laporan Trafficking in Persons tahun 2015 pemerintah Amerika Serikat
melaporkan pekerja baik migran atau Thai rentan dalam industri tertentu. 22
g. Kehadiran Kelompok Kepentingan dan Penekan
Menurt World Factbook, Thailand memiliki beberapa partai politik dan kelompok
kepentingan sebagai berikut. Partai politik terdiri atas (1) Chat Pattana Party / CPN (National
Development Party) pimpinan Wannarat Channukun, (2) Chat Thai Phattana Party/CTP (Thai
Nation Development Party) pimpinan Theera Wongsamut, (3) Mahachon Party atau Mass Party
pimpinan Aphirat Sirinawin, (4) Matubhum Party/Motherland Party pimpinan Jenderal Sonthi
Bunyaratkalin, (5) Phalang Chon Party/People Chonburi Power Party pimpinan Sonthaya
Khunpluem, (6) Phumjai Thai Party/PJT (Thai Pride) pimpinan Anuthin Chanvirakun, (7)
Prachathipat Party/DP (Democrat Party) pimpinan Abhisit Wechachiwa, (8)Prachathipathai Mai
Party/ New Democracy Party pimpinan Suratin Phichan, (9) Puea Thai Party/For Thais Party
pimpinan Virot Paoin, (10) Rak Prathet Thai Party/ Love Thailand Party pimpinan Chuwit
21 Baker & McKenzie. Thailand Unions Guide 2009 (pdf). Retrieved from
http://www.bakermckenzie.com/files/Uploads/Documents/Supporting%20Your%20Business/Global
%20Markets%20QRGs/Trade%20Unions%20and%20Works
%20Councils/qr_thailand_tradeunionsguide_2009.pdf June 17, 2016.
22 The Nation, Reuters. Labour union drags Thailand to the ILO. (October 8, 2015) Retrieved from
http://www.nationmultimedia.com/national/Labour-union-drags-Thailand-to-the-ILO-30270424.html
June 16, 2016

Kamonwisit dan (11) Rak Santi Party/Peace Conservation Party pimpinan Pol. Lt. Gen. Thawin
Surachetphong.

23

Kehadiran partai politik ini dalam menekan pemerintahan terbaru bisa dilihat

dari bebarapa partai politik (DP, Peua Thai party) sebagai oposisi junta militer dengan menolak
draft konstitusi karena dianggap kurang demokratis.24
Sedangkan beberapa kelompok kepentingan yang ada di Thailand adalah (1) Multicolor
Group, (2) People's Alliance for Democracy/PAD, (3) People's Democratic Reform
Committee/PDRC, (4) Student and People Network for Thailand's Reform/STR, dan (5) United
Front for Democracy Against Dictatorship/UDD.

25

Kelima kelompok kepentingan tersebut

bersama dengan Peoples Movement to Overthrow the Thaksin Regime, the Dharma Army, dan
Rubbish Collection Organization and the Peoples Democratic Reform Committee (PDRC),
dipimpin oleh Suthep Thuagsuban merupakan kelompok kepentingan Anti-Thaksin dan menekan
Yinluck pada 2013 dengan menimbulkan kekacauan.26 Kelompok kepentingan yang berpengaruh
di Thailand adalah militer yang bisa mendominasi berbagai bidang pemerintahan salah satunya
membatasi aktivitas partai politik. Selain itu kelompok kepentingan asosiasi bisnis juga
mempengaruhi kebijakan negara khususnya Thai Chamber of Commerce (TCC) dan Federation
of Thai Industries. Serikat pekerja di sisi lain secara umum kurang berhasil, pada tahun 20132014 justru ikut mendukung pemberhentian Yingluck.27
h. Hubungan Host-Home Country
Thailand merupakan negara pro bisnis dengan hukum yang dibuat untuk menarik investasi
asing dan peraturan yang menjadim sistem pasar bebas. Pasca korupsi beras pada masa Yinluck,
Thailand menetapkan tenggang waktu dalam persetujuan kontrak untuk mengurangi potensi
23 Central Intelligence Agency. (June 16, 2016). Library : The World Factbook Thailand.
24 Corben, Ron. Thai Political Parties Oppose Draft Constitution. (April 11, 2016). Retrieved from
http://www.voanews.com/content/thai-political-parties-oppose-draft-constitution/3279334.html June 16,
2016
25Central Intelligence Agency. (June 16, 2016). Library : The World Factbook Thailand.
26Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report. Hal 5
27 Ibid. Hal 13

korupsi.28 Walaupun Thailand terbuka dengan pasar, Thailands Foreign Business Act (FBA)
melarang kepemilikan asing di mayoritas sektor. Perubahan terbaru dengan menghalangi orang
asing dalam pemegang saham atau hak preferensi yang dapat mengontrol perusahaan Thailand di
sektor tertentu.29 Negara membuat peraturan yang menghalangi privatisasi dari perusahan vital
negara untuk masyarakat seperti Electricity Generating Authority of Thailand (EGAT) atau the
Water Works Authority (MWWA), Port Authority of Thailand, the State Railway of Thailand, dan
the Mass Communication Organization of Thailand (MCOT).30
Hukum di Thailand mengenal lima jenis organisasi bisnis yaitu ordinary partnership,
ordinary registered partnership, limited partnership, limited company yang diatur oleh Civil and
Commercial Code (CCC) dan public limited company yang diatur oleh Public Limited
Companies Act of 1992. Sedangkan untuk kantor cabang, perwakilan, dan regional diatur dalam
Foreign Business Act BE 2542 (FBA). Untuk private atau public limited company, jika 50% atau
lebih saham dikategorikan sebagai perusahaan asing dengan aktivitas bisnis tertentu harus
disetujui oleh Ministry of Commerce (MOC). Investor asing biasanya melakukan bisnis melalui
limited company, kantor cabang atau perwakilan.31
i. Level korupsi
Terkait dengan institusi politik tingkat kepercayaan bahwa institusi korup/ sangat korup
survei Global Corruption Barometer dari Transnparency International kepada responden
Thailand terhadap tingkat korupsi pada tahun 2013 adalah sebagai berikut partai politik (68%),
parlemen/legislatif (45%), militer (23%), NGO (18%), media (20%), lembaga agama (12%),
bisnis (37%), lembaga pendidikan (32%), peradilan (18%), layanan medis dan kesehatan (21%),
polisi (71%), dan pejabat publik (58%). Sedangkan berkaitan dengan tingkat bahwa responden
harus membayar suap kepada instusi adalah polisi (37%), layanan medis dan kesehatan (2%),
peradilan (14%), layanan pendidikan (9%), layanan tanah (19%), pajak (3%), peralatan (2%)
28 Ibid. Hal 16.
29 Ibid. Hal 17.
30 Ibid. Hal 21.
31 Deloitte. Taxation and Investment in Thailand 2015. Deloitte Touche Tohmatsu Limited. Hal 9.

serta layanan registrasi dan pendaftaran (4%). 32 Selain itu sebagai konsekuensi ketidakstabilan
antara pro dan anti Thaksin sejak pertengahan 2000an, korupsi digunakan sebagai senjata politik
di Thailand.33 Menurut Transparency International, Corruption Perception Index 2015 Thailand
berada pada peringkat 76 dari 168 negara dengan skor 38/100 dan persentase peringkat 47%.

34

Jika dilihat dari data tersebut, tingkat korupsi di Thailand cukup tinggi dan riskan untuk bisnis.
Menurut Political and Economic Risk Consultancy (PERC), dari tahun 2012-2014 efisiensi
Thailand dalam melawan korupsi memburuk dengan peringkat 3 terburuk pada tahun 2014.
Salah satunya karena kampanye anti-korupsi Yingluck yang justru diantara skandal pengadaan
beras. Semenjak kudeta 2014, Konstitusi 2007 diganti oleh Piagam Sementara 2014 yang
melindungi junta dari pengawasan lembaga lain termasuk lembaga anti-korupsi. Pemimpin junta
mengumumkan perang terhadap korupsi yang didukung oleh hasil polling yang menyatakan
bahwa korupsi sebaiknya ditugaskan ke militer. Walaupun kenyataannya banyak anggota junta
dan kabinet yang diketahui memiliki kekayaan yang tidak biasa.35
j. Isu Birokrasi
Thailand cenderung memiliki birokrasi yang terpusat, sistem administrasi desentralisasi
mulai diperkenalkan melalui 1999 Decentralization Act. Tetapi proses desentralisasi ini
mengalami beberapa kendala seperti (1) mayoritas pejabat lokal terpilih dikendalikan oleh sistem
administrasi regional atau pusat, (2) pejabat kementerian dalam negeri dan pejabat lokal
seringkali memiliki tanggungjawab timbang tindih dan (3) pejabat lokal terpilih sering terikat
dengan korupsi. Sejak kudeta 2014, junta mengganti sistem desentralisasi dengan semua pejabat
yang ditunjuk. Sedangkan dari segi pendidikan, transportasi dan air bersih cenderung bisa
diakses seperti menurut laporan PBB bahwa 98% populasi Thailand bisa mengakses air dan 96%

32Thailand. 2013 Global Corruption Barometer. Transparency International. 2013. Retrieved from
http://www.transparency.org/gcb2013/country/?country=thailand 14 Juni 2016
33 Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report. Hal 10
34 Corruption by Country / Territory. Retrieved from https://www.transparency.org/country/#THA June
16, 2016
35Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report. Hal 31

bisa mengakses sanitasi. Tetapi isu birokrasi di Thailand masih memiliki masalah terkait
kesenjangan kualitas administrasi antara Bangkok dan provinsi.36
k. Regulasi pajak
Semua organisasi bisnis harus terdaftar di Departemen Pembangunan Bisnis MOC dan
Departemen Penghasilan untuk tujuan pajak, tetapi ordinary partnership tidak harus terdaftar
dalam MOC.37 Perusahaan yang terdaftar di bawah CCC dan perusahaan asing yang memiliki
bisnis di Thailand melalui kantor, cabang dan agen secara umum menjadi subjek pajak
pendapatan perusahaan Thailand, kecuali jika dibebaskan pajak di bawah perjanjian pajak.
Hukum pajak utama di Thailand adala Thai Revenue Code yang mengatur pajak pendapatan
perusahaan, VAT, Specific Business Tax dan stamp duty. Beberapa aturan pajak yang berlaku
seperti Customs Act, Excise Act dan Petroleum Income Tax Act. Pajak menjadi kewenangan
administrasi Departemen Penghasilan, Customs Department dan Excise Department. 38
Secara umum perpajakan di Thailand bisa dilihat dalam tabel berikut.39

36 Ibid. Hal 6-7.


37Deloitte. Taxation and Investment in Thailand 2015. Deloitte Touche Tohmatsu Limited. Hal 9.
38 Ibid. Hal 13.
39 Loc.cit 13

Menurut tabel tersebut, perusahaan petroleum memiliki tingkat pajak pendapatan yang cukup
tinggi sebanyak 50%. Sesuai dengan perjajian pajak Indonesia juga termasuk dalam negara yang
harus membayar capital gain taxes.40
l. Pembatasan Perdagangan
Pemerintah Thailand mengontrol import dan eksport untuk barang tertentu dalam bentuk
absolute prohibition yang berarti tidak diijinkan sama sekali dan restriction dengan ijin tertulis
40 SET. Taxation on Equities Investment. (Septmber, 2014). Retrieved from
http://www.set.or.th/en/regulations/tax/tax_p1.html June 16, 2016

untuk impor barang dari MOC dan lembaga terkait produk. Prohibited goods seperti
benda/literatur/gambar atau bahan pornografi, produk dengan bendera Thailand, narkotika, mata
uang, koin dan obligasi palsu, stemel istana palsu, barang yang melanggar hak cipta, serta barang
merek dagang palsu. Sedangkan untuk restricted goods seperti obat-obatan, makanan dan produk
pengganti membutuhkan lisesnsi dari
Kesehatan,

Food and Drug Administration dan Kementerian

produk seni membuthkan ijin dari Fine Arts Department, produk senjata dan

amunisi, peledak, kembang api, senjata asli ataupun replika harus memiliki lisensi dari Ministry
of Interior, pembatasan kosmetik melalui The Cosmetic Act dan ijin terhadap satwa dan fauna
terancam memerlukan ijin dari National Park, Wildlife and Plant Conservation Department,
Department of Agriculture, atau Department of Fishery.Pelanggaran terhadap pelarangan dan
pembatasan perdagangan diatur dalamCustoms Act B.E. 2469. 41
2. Politik Regional
a. Blok dan Aliansi Perdagangan
Dalam kerjasama ekonomi, Thailand masuk dalam sejumlah organisasi regional termasuk
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC),
Asia-Europe Meeting (ASEM), ASEAN Regional Forum (ARF), Greater Mekong Subregion
(GMS), Bay of Bengal Initiative for Multisectoral Technical and Economic Cooperation
(BIMSTEC),

dan

Ayeyawady-Chao

Phraya-Mekong

Economic

Cooperation

Strategy

(ACMECS). Walaupun Thailand juga mengalami ketegangan kawasan dengan negara tetangga
seperti masalah perbatasan Thai-Kamboja, kerjasama perdagangan regional tetap berjalan seperti
dari tahun 2012-2014, perdagangan Thailand-Myanmar meningkat 15%, Thailand-Laos hampur
50%, dan Thailand-Kamboja hingga 28%. Pada tahun 2013, China juga menggantikan Jepang
sebagai partner dagang utama Thailand. Tahun 2004-2015 Thailand juga berinvestasi dalam
ACMECS seperti pembangunan jembatan Thailand-Laos dan jalur kereta api Thailand-Kamboja
serta Thailand-Mynamar menandatangani MOU terkait zona ekonomi Dawei. 42 Secara regional

41 The Customs Department. GENERAL PROHIBITIONS AND RESTRICTIONS. Retrieved from


http://www.customs.go.th/wps/wcm/connect/custen/traders+and+business/prohibited+and+restricted+ite
ms/general+prohibitions+and+restrictions/generalprohibitionsandrestrictions June 16, 2016.
42 Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report. Hal 36.

Thailand juga mendukung ASEAN Plus 6 Free Trade Area dan ASEAN Economic Community
2015.43
b. Kehadiran Bank Pembangunan Regional
Selama tahun 2013-2014, Asian Development Bank (ADB) melakukan sejumlah projek
termasuk menguatkan transparansi finansial, memajukan pengetahuan finansial nasional,
implementasi manajemen banjir dan kerjasama publik-privat dalam sektor sosial. 44 Program
ADB di Thailand telah menyediakan pinjaman, hibah dan bantuan teknis dengan total $6.7
milyar sejak 1996 untuk membantu ekonomi negara dan meningkatkan hidup masyarakat
khususnya masyarakat miskin, wanita, anak-anak dan kelompok rentan lainnya.Operasi sektor
privat ADB di Thailand juga akan fokus pada sektor infastruktur dan finansial. ADP mengejar
investasi ramah lingkungan dan mengambil peran inovatif dalam ekonomi Thailand.45
c. Kejahatan Transnasional
Hingga tahun 2014 menurut UNODC dalam Global Report on Trafficking in Person
2014Di kawasan Asia Tenggara, Thailand memiliki tingkat kejahatan transnasional perdagangan
manusia cukup tinggi. Perdagangan anak (2009) dan laki-laki (2003-2007) umumnya terjadi di
wilayah sub-region Mekong seperti

Kamboja, Laos dan Thailand.46 Korban tidak hanya

diperdagangkan untuk eksploitasi seksual, tetapi juga kerja paksa.47 Di Thailand, perdagangan
pekerja paksa sebesar 25% dari jumlah korban yang terdeteksi pada tahun 2011. 48 Selain itu
Thailand juga menjadi negara tujuan buruh migran di Asia Tenggara bersama Brunei
43 Ibid. Hal 17.
44 Ibid. Hal 35.
45 ADB. Asian Development Bank and Thailand: Fact Sheet. (April 2016). Retrieved from
http://www.adb.org/publications/thailand-fact-sheet June 17, 2016.
46Global Report On Trafficking In Person 2009. (2009). UNODC. Retrieved from
http://www.unodc.org/documents/Global_Report_on_TIP.pdf June 12, 2016.Hal 55
47 Loc.cit
48Global Report On Trafficking In Person 2012 (2012). UNODC. Retrieved from
http://www.unodc.org/documents/data-and-analysis/glotip/Trafficking_in_Persons_2012_web.pdf June
12, 2016. Hal 71

Darussalam, Malaysia, dan Singapura, dengan Myanmar, Indonesia, Laos, Kamboja, Filipina,
dan Vietnam sebagai negara pengirim.49 Berdasarkan perdagangan manusia di kawasan Asia
Tinggara dengan Thailand berada pada tingkat pertama sebagai negara asal, transit dan destinasi.
50

Beberapa upaya penanganan perdagangan manusia melalui institusi


regional ASEAN dimulai dengan ASEAN Declaration on Transnational Crime
Manila 1997 dengan usaha mendirikan ASEAN Centre on Transnational Crime
(ACOT).51 Selain itu tahun 1997 ASEAN juga menginisiasi ASEAN Plan Of
Action To Combat Transnational Crime dengan program untuk menangani
kejahatan

transnaional

melalui

program

kerjasama

regional. 52

Upaya

penanganan perdagangan manusia lainnya juga melalui ASEAN Declaration


Against Trafficking in Persons, Particularly Women and Children.53
3. Politik Global
a. Peran Institusi Internasional
i.
Institusi Perdagangan (WTO, UNCTAD)
Pembuat kebijakan Thailand terus berusaha membuka hambatan perdagangan tertentu
dan untuk meliberalisasi perdagangan asong. Pada tahun 2015, WTO merasa tarif tinggi Thailand
sebagai hambatan untuk akses pasar pada banyak sektor.54 Dalam penyelesaian kasus di WTO,
49Larsen, Jacqueline Joudo. (2010) . Migration and People Trafficking in Southeast Asia. Canberra.
Australian Institute of Criminology. No. 401 November 2010. Hal 2
50 Ibid. Hal 3.
51ASEAN Declaration on Transnational Crime Manila, 20 Desember 1997. (July 4, 2012) ASEAN.
Retrieved from http://asean.org/?static_post=asean-declaration-on-transnational-crime-manila-20december-1997 June 12, 2016
52ASEAN Plan Of Action To Combat Transnational Crime. (July 4, 2012). ASEAN. Retrieved from
http://asean.org/?static_post=asean-plan-of-action-to-combat-transnational-crime June 12, 2016
532004 ASEAN DECLARATION AGAINST TRAFFICKING IN PERSONS PARTICULARLY WOMEN
AND CHILDREN. Adopted by the Heads of State/Government at the 10th ASEAN Summit in
Vientiane, Laos on 29 November 2004. Retrieved from [http://www.aseansec.org/16793.htm]
June 13, 2016.

54 Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report. Hal 36.

Thailand telah terlibat 16 kasus dengan 13 sebagai pelapor dan 3 sebagai responden serta 71
sebagai pihak ketiga. Thailand memiliki rekor bakus terkait notifikasi kebijakan WTO seperti a.
Agreement on Agriculture, b. General Agreement on Trade in Services, c. Agreement on the
Implementation of Article VI of the GATT 1994 (anti-dumping), d. Agreement on Import
Licensing, e. Agreement on Preshipment Inspection, f. Decision on Notification Procedures for
Quantitative Restrictions, g. Agreement on Subsidies and Countervailing Measures, h.
Agreement on Safeguards, i. Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures, j. Agreement
on Technical Barriers to Trade, k. Agreement on Trade Facilitation, dan l. Agreement on TradeRelated Aspects of Intellectual Property Rights. 55Berita terbaru Mei 2016 bahwa Filipina
meminta review terkait sengketa rokok dengan Thailand. 56
Menurut PM Thailand, UNCTAD memiliki peran mempromosikan jaringan perdagangan,
investas, teknologi dan pembangunan berkelanjutan yang dibutuhkan oleh negara berkembang.
Berkaitan dengan Thailand sebagai ketua G77 mendorong kerjasama dengan UNCTAD terutama
dalam mekanisme antara negara berkembang dan maju. Oleh karena itu melalui UNCTAD, G77
dan negara berkembang bisa memiliki posisi tawar karena kaya bahan mentah, sumber daya alam
dan mineral.57
ii.

Institusi Financial (IMF, WB)

Pada akhir 2013, IMF bergabung dengan Amerika Serikat meminta Thailand mengakhiri
kebijakan subsidi beras yang kemudian dihentikan oleh junta militer. Pada November 2014
Thailand menandatangani perjanjian dengan World Bank untuk menyediakan $23 juta dana
hibah dalam membantu produk AC dan busa Thailand yang lebih ramah lingkungan. 58 IMF juga
berperan membantu pemulihan ekonomi Thailand pasca ketidakstabilan politik melalui
55 World Trade Organization. Trade Policy Review. (October 20, 2015). Retrieved from
https://www.wto.org/english/tratop_e/tpr_e/s326_e.pdf June 17, 2016. Hal 30-31.
56 World Trade Organization. Thailand and the WTO. Retrieved from
https://www.wto.org/english/thewto_e/countries_e/thailand_e.htm June 17, 2016
57 Royal Thai Government. G77 and UNCTAD to promote close collaboration to achieve sustainable
and inclusive development. (March 9, 2016). Retrieved from
http://www.thaigov.go.th/index.php/en/government-en1/item/101032-101032 June 17, 2016.
58 Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report

Executive Board of the International Monetary Fund (IMF) Concluded the Article IV
Consultation 2016.59
iii.

Cartel

Kartel yang pernah diusulkan oleh Thailand adalah kartel beras pada tahun 2008 dengan
produsen beras di Asia seperti Thailand, Vietnam, India dan China. 60 Tetapi sayangnya kartel
beras usualan Thailand yang berisi juga Laos, Vietnam, dan Myanmar tersebut tidak
berkembang.61
b. Blok Perdagangan Global
Selain kerjasama regional dan antar kawasan terdekat, Thailand juga menggagas kerjasama
perdagangan dengan Uni Eropa dan Amerika Serikat. Pasca kudeta Mei 2014, perundingan
perdagangan bebas dengan Uni Eropa terhenti. Bahkan perdagangan Thailand-Amerika Serikat
$38 milyar tahun 2013 juga diproyeksikan berkurang pasca kudeta. Tetapi pada tahun 2015,
Thailand masih mempelajari Trans-Pacific Partnership yang dipimpin Amerika Serikat.62
c. Global Perspective and Global Trends
Pasca kudeta 2014, NCPO banyak dikritik oleh organisasi internasional dan negara-negara
terutama organisasi hak asasi manusia terkait dengan junta militer di Thailand. Kritik tersebut
termasuk oleh Asian Human Rights Commission, UN Human Rights Council, Human Rights
Watch, Amnesty International, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Australia.63Hal ini secara tidak
langsung juga berdampak pada upaya kerjasama perdagangan antara Amerika Serikat dan Uni
59 International Monetary Fund. Thailand : 2016 Article IV Consultation-Press Release; Staff Report;
and Statement by the Executive Director for Thailand. (June, 2016. Retrieved from
http://www.imf.org/external/pubs/cat/longres.aspx?sk=43935.0 June 17, 2016
60 CNN. Thailand proposes rice cartel idea. (May 2, 2008). Retrieved from
http://edition.cnn.com/2008/WORLD/asiapcf/05/02/thailand.rice.cartel/ June 17, 2016
61 ABC News.Alexander, Paul. Asian countries again float idea of rice cartel. Retrieved from
http://abcnews.go.com/Business/story?id=4781764&page=1 June 17, 2016
62Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report. Hal 36.
63 Loc.cit

Eropa. Selain itu, Thailand juga mengikuti tren global terkait dengan pembangunan yang
berkelanjutan dan ramah lingkungan sesuai dengan posisinya dalam institusi ekonomi
internasional pada pembahasan sebelumnya.
d. Kejahatan Transnasional
Kejahatan transnasional di Thailand secara global masih berkaitan dengan perdagangan
manusia sebagai salah satu terparah di dunia, narkoba di wilayah Golden Triangle Asia Tenggara
dan terorisme.64 Perdagangan manusia memang menjadi sorotan terkait dengan kerja paksa
terutama dalam industri perikanan. Tetapi adapula kejahatan transnasional global yang berpotensi
di Thailand seperti pencucian uang. Walaupun pada Juni 2013, intergovernmental global
Financial Action Task Force (FATF) mengumumkan telah mneghapus Thailand sebagai negara
berpotensi pencucian uang dan pendanaan terorisme. Pada Augustus 2014, Thailands AntiMoney Laundering Office (AMLO) juga mengajukan amandemen terkait pencucian uang dengan
tujuan standar internasional dan mencegah secara efektif.65

64 Parameswaran, Prashanth. A Surge in Southeast Asian Transnational Crime?. (January 2, 2015).


Retrieved from http://thediplomat.com/2015/01/a-surge-in-southeast-asian-transnational-crime/ June 17,
2016
65Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report. Hal 36.

Analisis SWOT Politik Thailand


Menurut Doing Business, pada tahun 2015, Thailand mengalami penurunan dari 49
menjadi 189 dalam bidang menciptakan lingkungan bisnis inovatif.66 Sedangkan menurut IMD
World Competitiveness Yearbook tahun 2015, Thailand juga mengalami penurunan sebanyak 1
peringkat berada pada peringkat 29.67 Peringkat tersebut berkaitan dalam menentukan bagaimana
lingkungan nasional mendukung bisnis untuk inovatif, menguntungkan dan bertanggungjawab.
Selain itu survei tersebut juga berkaitan dengan berbagai indikator produksi seperti pasar tenaga
kerja, finansial, manajemen, dan nilai-nilai yang mencerminkan lingkungan bisnis. Berdasarkan
pembahasan politik Thailand, secara umum akan diberikan analisis SWOT dalam menentukan
strategi ekspansi Pertamina di Thailand.
a. Strength
Thailand merupakan negara yang cukup terbuka dengan bisnis dan perdagangan bebas,
sehingga terbiasa dengan bisnis walaupun politik mengalami ketidakstabilan. Berdasarkan pada
Doing Business, menurut penulis dalam memulai bisnis dan menjalankan bisnis di Thailand
cukup mudah. Hal ini bisa dilihat pada gambar di bawah.

66 World Bank Group. Doing Business : Ease of Doing Business in Thailand. Retrieved from
http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/thailand/ June 17, 2016
67 IMD releases its 2015 World Competitiveness Ranking. (May 27, 2015) Retrieved from
http://www.imd.org/news/IMD-releases-its-2015-World-Competitiveness-Ranking.cfm June 16, 2016

Secara prosedural seperti membuka nama perusahaan, hingga mendapatkan persetujuan dan
pajak juga relatif cepat dan mudah. Selain itu bagi investor asing, Thailand juga cukup tinggi
(peringkat 33) dalam hal perlindungan investor minoritas. Menurut Global Competitiveness
Report 2015-2016, Global Competitive Index Thailand berada pada peringkat 32 dari 140 dengan
skor 4.6 skala 1-7.68 Hal ini berarti indeks persaingan bisnis di Thailand cukup kompetitif dengan
bisnis global. Sehingga bisa menciptakan iklim bisnis yang baik untuk ekspansi.
b. Weakness
Menurut Global Competitiveness Report 2015-2016, faktor yang paling bermasalah dalam
melakukan bisnis didominasi oleh faktor politik. Sesuai dengan pembahasan politik sebelumnya,
secara umum permasalahan yang terjadi di Thailand terkait dengan bisnis ada pada gambar di
bawah.

68 World Economic Forum. Menurut Global Competitiveness Report 2015-2016.


(2015). Retrieved from http://www3.weforum.org/docs/gcr/20152016/Global_Competitiveness_Report_2015-2016.pdf June 17, 2016. Hal 34

Faktor ketidakstabilan pemerintahan dan politik Thailand yang beberapa kali mengalami kudeta
dan junta militer menghalangi bisnis untuk berkembang. Hal ini dikarenakan sewaktu-waktu
pemerintahan bisa berganti sehingga akan mempengaruhi kecenderungan bisnis untuk
beradaptasi dengan pemerintahan yang baru. Selain itu tingginya tingkat korupsi pada berbagai
lembaga di Thailand juga membatasi kinerja bisnis. Hal ini juga bisa dilihat dari prosedural yang
harus ditempuh bisnis untuk melakukan aktivitas di Thailand. Seperti yang juga disebutkan
Doing Business terkait dengan ijin dan inspeksi dari otoritas juga cukup menghambat dimulainya
aktivitas bisnis.

c. Oppurtunity
Kesempatan yang bisa diambil dari bidang politik Thailand adalah terkait dengan kebijakan
pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan. Melalui kebijakan ini, Pertamina bisa
menawarkan kerjasama untuk menggagas bisnis yang ramah lingkungan. Selain itu sektor migas
juga bukan menjadi sektor yang dilindungi secara ketat oleh pemerintah kecuali pajaknya yang
tinggi sehingga Pertamina memiliki kesempatan untuk masuk dalam industri. Dari segi
perdagangan regional, kerjasama Pertamina dan Thailand juga bisa membuka kerjasama dalam
sektor lainnya.
d. Threats

Dalam bidang politik berbagai tantangan terkait dengan melakukan aktivitas bisnis di
Thailand adalah masalah ketidakstabilan politik dan pemerintahan yang bisa mengancam
sewaktu-waktu. Selain itu juga ada permasalahan lain seperti kekerasan politik dan kerusuhan
sosial, partisipasi publik, perlindungan pekerja, terpecahnya lembaga negara, lemahnya aturan
hukum, permasalahan banjir hingga akuntabilitas yang rendah.

Hal-hal yang mengancam

aktivitas bisnis di Thailand sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor yang menjadi kelemahan
Thailand.

ECONOMIC

1. Ekonomi Makro dan Mikro


Data terakhir World Bank pada tahun 2014, GDP Thailand tercatat sebesar US $404.82 miliar.
Jika dibandingkan dengan tahun 2013, GDP Thailand pada tahun 2014 mengalami penurunan.
Penurunan tersebut sekitar 0.8% dari tahun 2013, di mana pada tahun 2013 GDP Thailand adalah
US $420.17 milyar.69 Nilai GDP Thailand mewakili 0,65 persen dari ekonomi dunia. Jika di ratarata nilai GDP Thailand dari tahun 1960 hingga 2014 adalah 106,32 miliar USD, mencapai nilai
tertinggi pada tahun 2013 dengan 420.17 miliar USD dan nilai terendah pada tahun 1960 yang
hanya 2,76 miliar USD.70 Bank dunia memperikarakan pada tahun 2016, Thailand akan
mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 2.9%.
69 World Bank, Thailand : GDP, diakses dari
http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD/countries/TH?display=graph pada tanggal 20 Juni
2016.
70 Trading Economic : Thailand GDP, diakses dari http://www.tradingeconomics.com/thailand/gdp pada
tanggal 20 Juni 2016.

Gambar 1. GDP Thailand

Meskipun mengalami penurunan tingkat GDP pada tahun 2014, perekonomian Thailand
tergolong stabil dan beberapa tahun belakangan atau dapat dilihat dari tahun 2009-2014 Thailand
mengalami pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan GDP pada tahun 2014 dan dengan penduduk
sebesar 67,8 juta jiwa penduduk pendapatan rata-rata penduduk Thailand adalah 3451.33 USD di
tahun 2014. GDP perkapita di Thailand setara dengan 27 persen dari rata-rata dunia.71
Sementara untuk tingkat inflansi, tingkat inflansi di Thailand mengalami kenaikan jika
dibandingkan tahun sebelumnya. Pada awal tahun 2016 tingkat inflansi Thailand tercatat sebesar
0.46% pada bulan April 2016. Sementara tingkat Inflansi di Thailand dari tahun 1977 sampai
2016 rata-rata sekitar 4.35%.72
Gambar 2. Tingkat Inflasi Thailand 2015-2016

71 Ibid., Thailand GDP Percapita, diakses dari http://www.tradingeconomics.com/thailand/gdp-per-capita


72 Ibid., Thailand Inflation Rate, diakses dari
http://www.tradingeconomics.com/thailand/inflation-cpi

2. Foreign Direct Investment (FDI) : Inflow dan Outflow


Menurut UNCTAD World Investment Report 2015, Thailand, dengan USD 12,6 miliar,
adalah 5 penerima FDI terbesar di Asia Timur dan Tenggara. Meskipun sempat mengalami
pelambatan ekonomi akibat konteks internasional yang tidak menguntungkan, arus FDI di
Thailand tetap meningkat antara tahun 2009 dan 2014, meskipun serangkaian bencana alam dan
ketidakstabilan politik terjadi. Dalam mengantisipasi kebijakan investasi baru setelah
ketidakstabilan politik pada paruh kedua 2014 stabilitas bisa dipulihkan, Dewan Investasi
mencatat jumlah proyek yang terdaftar meningkat sebesar 73% dan nilai mereka sebesar 117%
dibandingkan dengan 2013. Pada 2016, strategi tujuh tahun baru Pemerintah untuk merangsang
investasi harus lebih mendorong FDI.
Inflow : arus masuk bersih (% dari PDB) di Thailand adalah 3.27 pada 2013. Nilai tertinggi Its
selama 38 tahun terakhir adalah 6.54 pada tahun 1998, sedangkan nilai terendah adalah 0,20
pada tahun 1979.73

73 Index Mundi, Thailand Foreign Direct Investment, diakses dari


http://www.indexmundi.com/facts/thailand/foreign-direct-investment

Outflow : arus keluar bersih (% dari PDB) di Thailand adalah 1,74 per 2013. Nilai tertinggi
selama 8 tahun terakhir adalah 3,52 pada tahun 2012, sedangkan nilai terendah adalah 0,28 pada
tahun 2005.74

3. Finansial
Dengan GDP sebesar $404.82 miliar, Thailand memiliki hutang external sebesar $140.7
miliar. Kelesuan ekonomi Thailand beberapa waktu lalu disebabkan oleh adanya kerusuhan
politik yang terjadi di Thailand. Tidak adanya pemerintahan yang tepat mempengaruhi kebijakan
fiskal di tahun 2013. Tetapi, meskipun mengalami kelesuan ekonomi di akhir tahun 2013
Thailand masih menujukkan peningkatan dengan penurunan hutang eksternal. Dimana pada

74 Ibid.,

tahun 2013 hutang eksternal Thailand sebesar $141.9 miliar menjadi $140.7 miliar di tahun
2014.75
Nilai tukar di Thailand beberapa tahun belakangan yakni pada tahun 2015 adalah 34.1, tahun
2014 : 32.48, dan 32.48 di tahun 2013. Nilai tukar merupakan indikator yang menunjukkan
fluktuasi mata uang. Nilai tukar yang naik turun tidak disukai oleh bisnis. Di Thailand dapat
dilihat bahwa nilai tukar pada tahun 2013 dan 2014 cenderung stabil dan hanya mengalami
sedikit kenaikan di tahun 2015.76
4. Sistem Ekonomi & Perencanaan Ekonomi
Thailand adalah sebuah negara yang menganut sistem ekonomi campuran di mana ada berbagai
kebebasan pribadi, dikombinasikan dengan perencanaan ekonomi terpusat dan peraturan
pemerintah. Perencanaan pembangunan ekonomi di Thailand dapat dilihat selama empat dekade
terakhir. Thailand telah membuat kemajuan luar biasa dalam pembangunan sosial dan
ekonomnya, bergerak dari negara berpenghasilan rendah (low-income) ke negara berpenghasilan
tinggi (upper income) dalam waktu kurang dari satu generasi. Kemiskinan telah menurun secara
substansial selama 30 tahun terakhir dari 67% pada tahun 1986 menjadi 11% pada tahun 2014
karena pendapatan yang meningkat. Menurut laporan terbaru Bank Dunia, menemukan bahwa
Thailand telah mempertahankan posisinya di antara top 50 ekonomi di seluruh dunia dan
menduduki peringkat ketiga di antara negara-negara ASEAN dalam hal kemudahan melakukan
bisnis.77 Thailand berada pada posisi ke 49 dari 189 negara ekonomi dunia tahun 2015.78

75 The World Factbook : Thailand Economy, diakses dari https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/th.html pada tanggal 20 Juni 2016.

76 Ibid.,
77 World Bank, 2015, Thailand is one of top 50 economies for doing business, diakses dari
http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2015/10/28/thailand-is-one-of-top-50-economies-for-doingbusiness

78 Loc.cit, Thailand-ease of doing business, http://www.tradingeconomics.com/thailand/ease-of-doingbusiness

Kemudahan ini juga dapat dilihat dari sistem perpajakan bagi bisnis yang ada di Thailand. Sistem
perpajakan bagi perusahaan Bagi perusahaan asing yang ingin ekspansi ke Thailand sebaiknya
mengetahui betul perusahaannya ingin masuk dalam tipe apa, sebab tipe atau jenis bisnis yang
dipilih mempengaruhi tarif pajak. Secara umum, jenis yang paling umum dari bisnis adalah:
a. Perusahaan Thailand yakni sebuah perusahaan yang terdaftar di bawah hukum Thailand.
Tarif pajak bagi perusahaan yang terdaftar di bawah hukum Thailand umumnya
membayar pajak sebesar 20% (data tahun 2015)dari laba bersih. Namun, beberapa jenis
perusahaan berhak untuk penurunan tarif. Misalnya Small Company atau perusahaan
kecil dengan modal kurang dari 5 juta baht jika laba bersih >1 juta baht dikenakan pajak
20% dari laba bersih, jika laba bersih antara 300.000 - 1 juta baht dikenakan tarif 15%,
dan bebas pajak untuk laba bersih <300.000 baht. Perusahaan yang terdaftar di Bursa
Efek Thailand (SET) dikenakan pajak 20% dari laba bersih. Begitu juga perusahaan yang
baru didaftarkan di Bursa Efek Thailand (SET) dan Pasar Investasi Alternatif (MAI)
pajaknya 20% dari laba bersih. Bank yang memperoleh profit dari International Banking
Facilities

(IBF)

dikenakan

pajak

10% dari laba bersih. Asosiasi dan yayasan 2% atau 10% dari penerimaan kotor.79
b. Perusahaan asing : Sebuah perusahaan asing yang melakukan bisnis di Thailand, apakah
memiliki cabang, kantor, karyawan atau agen di Thailand harus membayar pajak 30%
(dikurangi menjadi 20% hingga 2015) hanya pada bisnis yang memperoleh keuntungan
79 The Revenue Department, Income Tax Guide for Foreign Company, diakses dari
http://www.rd.go.th/publish/20470.0.html

di Thailand. Namun, perusahaan transportasi internasional harus membayar pajak sebesar


3% pada penerimaan kotor.

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa Thailand memberlakukan penurunan tarif pajak bagi
perusahaan atau bisnis yang ada di Thailand.
5. Local Economic Situation and Trends
GDP negara Thailand berasal dari tiga sektor yakni agrikultur, industri, dan jasa. Jasa
menjadi penyokong terbesar GDP Thailand dengan 51.9% GDP Thailand berasal dari sektor jasa.
Sektor industri seperti pariwisata, pakaian, pengolahan hasil pertanian, minuman, tembakau,
semen, dan lainnya menyumbang sebesar 37.7% GDP Thailand. Sementara untuk agrikultur
hanya menyumbang sekitar 10.4% GDP Thailand. Dari data tahun 2015, tenaga buruh di
Thailand mencapai 39.12 juta. Tenaga buruh di Thailand paling banyak adalah tenaga buruh pada
sektor jasa dengan 51.1%. Sementara itu, meskipun agrikultur menyumbang GDP paling kecil
tenaga buruh di sektor agrikultur tergolong tinggi dengan 32.2% tenaga buruh bekerja dalam
sektor agrikultur. Dan untuk sektor industri hanya sekitar 16.7% tenaga buruh bekerja dalam
sektor industri.80
Perubahan sektor ekonomi di Thailand dapat dilihat disini, di mana dahulu sektor ekonomi
Thailand adalah agrikultur dan kehutanan. Namun, saat ini sudah berganti secara cepat ke sektor
manufaktur. Sektor ini telah menyumbang sekitar 35% GDP negara dan memperkerjakan 15 %
80 The World Factbook : Thailand Economy, diakses dari https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/th.html pada tanggal 20 Juni 2016.

tenaga kerja nasional. Sementara sisanya bekerja pada pemerintahan, pendidikan, perdagangan,
transportasi dan industri jasa lain memperkerjakan banyak orang di Thailand. Hal tersebut juga
mempengaruhi persebaran penduduk di Thailand, dimana saat ini (data tahun 2015) sekitar
50.4% dari total populasi Thailand merupakan masyarakat perkotaan. Area perkotaan utama
yakni ibukota Thailand (Bangkok) sekitar 9.27 juta; Samut Prakan 1.814 juta.81
Untuk

tingkat

pengeluaran

konsumen

di

Thailand

mengalami

peningkatan. Dimana pada tahun 2016 pengeluaran konsumen di Thailand


mencapai 1221754 juta THB. Dan menjadi pengeluaran paling tinggi sejak
tahun 1993.

81 Ibid.,

ANALISIS SWOT ECONOMY


Strength :
Thailand merupakan sebuah negara dengan kondisi ekonomi yang relatif stabil, meskipun
terjadi permasalahan politik namun hal tersebut dapat diatasi. Ditunjukkan dengan GDP
meskipun turun namun masih tergolong tinggi, arus investasi ke Thailand yang masih mengalir
dan mengalami peningkatan setelah permasalahan tersebut selesai.Kekuatan Thailand untuk
menarik perusahaan asing adalah kemudahan regulasi bisnisnya. Menurut Ulrich Zachau,
World Bank Country Director for Thailand Thailand is an attractive place to do business
for Thai and foreign investors, . Saat ini juga didukung oleh penurunan tarif pajak bagi
perusahaan baik perusahaan domestik maupun perusahaan asing.
Weakness:
Meskipun sektor jasa dan industri menjadi penyumbang GDP terbesar namun tenaga kerja di
Thailand kebanyakan berada pada sektor agrikultur.
Opportunity :
Di masa depan, Thailand akan memiliki kesempatan untuk meningkatkan lingkungan
bisnis melalui reformasi seperti meningkatnya kualitas indeks administrasi pertanahan oleh
digitalisasi dan menerbitkan pendaftaran tanah. Reformasi tersebut dapat membantu
meningkatkan daya saing Thailand dibandingkan dengan negara-negara berpenghasilan
menengah canggih lainnya, dan telah diupayakan reformasi iklim investasi.
Treats:
Ancaman bagi perekonomian Thailand bersumber dari domestik (situasi politik) dan juga
perekonomian global.

SOCIAL CULTURAL
Budaya merupakan salah satu hal penting yang harus diperhatikan oleh para pebisnis
internasional karena hal tersebut menentukan bagaimana sesuatu dijalankan disuatu negara.
Pandangan tersebut dinyatakan oleh Murdock dimana menurut dia terdapat 70 kategori mengenai
kebudayaan di dunia. Menurut B.Cullen dan K. Parboteeah menyatakan budaya mencakup
berabgai aspek seperti pervasive, shared value, beliefs, dan norma yang membimbing dalam
kehidupan masyarakat.82 Selain itu, berdasarkan pandangan Hofstede dalam mendefinisikan
budaya itu sendiri sebagai suatu pemikiran, perasaan, dan tindakan manusia sesuai dengan apa
yang dikehendaki. Ia melihat budaya sebagai perangkat lunak dari pemikiran manusia (software
of the mind). Hofstede membagi beberapa karakteristik dari budaya itu sendiri dalam bisnis
internasional yaitu One Extreme atau Other Extreme.83

Sumber : https://geert-hofstede.com/thailand.html

Melihat data diatas merupakan berbagai macam karakteristik budaya Thailand menurut
Hofstede. Berbagai karakteristik yang tersebut menentukan bagaimana pebisnis internasional
82Parboteeah and Culle, 2010,Culture and International Business, International
Business: Strategy And The Multinational Company, Routledge: United Kingdom.
83 Hofstede, G. 1994. "Cultures and organizations: software of the mind". Dalam
George, Olusoji, Oluwakemi Owoyemi & Uchechi Onakala. 2012. "Hofstedes
Software of the Mind Revisited and Tested: The Case of Cadbury Worldwide and
Cadbury (Nigeria) Plc - A Qualitative Study". International Business Research; Vol. 5,
No. 9. Canadian Center of Science and Education

harus menyesuaikan terhadap kebudayaan yangt terdapat di Thailand itu sendiri. Berikut adalah
penjelasan bagaimana kebudayaan yang terdapat di Thailand.
1. Power Distance
Pada dimensi ini berkaitan dengan fakta bahwa semua individu di dalam suatu
masyarakat pasti berbeda-beda, hal tersebut menyatakan bahwa terdapat ketidaksetaraan budaya
dalam lingkup masyarakat tersebut. Power Distance didefinisikan sebagai bagaimana masyarakat
yang tidak memiliki power dalam suatu lembaga dan organisasi dalam suatu negara dalam
menerima kekuasaan yang didistribusikan secara merata.
Thailand merupakan salah satu negara yang berada di kawasan Asia Tenggara yang memiliki
skor 64 pada indeks Power Distance dimana skor rata rata untuk Power Distance adalah 71.
Hal tersebut memperlihatkan kesenjangan masyarakat Thailand terlihat jelas sekali dimana setiap
pangkat memiliki hak istimewa dan karyawan akan menunjukkan kesetiannya dengan hormat
terhadap atasan dan timbal baliknya berupa perlindungan dan bimbingan. Dengan demikian
sikap terhadap manager suatu perusahaan harus lebih formal dan arus informasi bersifat hirarkis
serta dikendalikan oleh atasan.84
2. Individualism
Pada dimensi ini isu paling mendasar adalah tingkat ketergantungan masyarakat untuk
mempertahankan para anggota dalam suatu perusahaan. Hal ini berkaitan dengan bagaiman citra
dari seseorang itu dapat bekerja dalam suatu kelompok atau bekerja secara individual. Dalam
masyarakat yang individualist lebih mementingkan diri mereka sendiri dan keluarganya.
Sedangkan bila dalam masyarakat kolektivis seseorang menjadi bagian dari suatu kelompok
sehingga harus mengikuti aturan dari kelompok tersebut dengan imbalan loyalitas dari kelompok
tersebut.
Dilihat dari skor Thailand yaitu sebesar 20 dimana negara ini sangatlah kolektivis. Hal
tersebut terwujud dalam komitmen yang bersifat jangka panjang dalam setiap anggota kelompok
(keluarga, keluarga besar, atau hubungan yang lebih luas). Loyalitas merupakan suatu hal penting
budaya kolektivis lebih besar daripada aturan aturan sosial lainnya. Masyarakat menumbuhkan
hubungan yang kuat di mana setiap orang bertanggung jawab untuk sesame anggota kelompok
mereka. Dalam mempertahankan suatu kelompok Thailand bersifat konfrontatif dalam
84 Diakses dari https://geert-hofstede.com/thailand.html pada 17 Juni 2016

komunikasinya kata iya bukan berarti suatu penerimaan atau sebagai suatu kesepakatan.
Pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang akan menyebabkan kehilangan muka dan Thailand
merupakan suatu negara yang sangat sensitif agar tidak merasa malu dalam kelompokmereka
sendiri. Hubungan personal merupakan kunci untuk melakukan suatu bisnis di Thailand dan
membutuhkan waktu untuk membangun relasi dengan seseorang sehingga kesabaran diperlukan
dan secara terbuka tidak disarankan untuk mendiskusikan bisnis pada kesempatan pertama.85
3. Masculinity/Feminine
Pada dimensi Maskulin ini melihat bahwa masyarakat akan didorong oleh kompetisi,
prestasi, dan keberhasilan. Hal tersebut dibuktikan dari keberhasilan yang dicapai oleh pemenang
atau yang terbaik dilapangan dan sistem tersebut dimulai ketika saat masih sekolah hingga
berlanjut sepanjang kehidupan maupun berorganisasi. Sedangkan bila dimensi Feminim lebih
melihat pada nilai nilai dominan yang terdapat di masyarakat dalam merawat orang lain dan
dilihat dari kualitas hidup. Suatu masyarakat Feminim melihat bahwa kualitas hidup merupakan
tanda keberhasilan dan keluar dari suatu kelompok bukan suatu hal yang dikagumi. Masalah
yang mendasar disini adalah apa yang memotivasi seseorang, ingin menjadi yang terbaik
(Maskulin), atau menyukai apa yang anda lakukan (Feminim).86
Thailand berada di skor 34 pada dimensi Maskulin dengan demikian masyarakat Thailand
termasuk dalam kategori Feminin. Thailand merupakan negara peringkat terendah di antara
negara negara Asia lainnya yang rata ratanya 53 dan rata rata dunia sekitar 50. Tingkat
yang lebih rendah ini merupakan indikasi dari masyarakat yang kurang tegas dan daya saing
dibandingkan dengan di satu sisi dimana nilai nilai dianggap lebih penting dan signifikan.
Situasi ini juga memperkuat para laki laki tradisional daripada peran perempuan dalam suatu
populasi.87
4. Uncertainty Avoidance
Pada dimensi penghindaran ketidakapstian harus dilakukan oleh masyarakat dengan cara
mengaitkan fakta bahwa masa depan tidak dapat diketahui. Hal tersebut menjadi ambigu karena
85 Ibid.,
86 Diakses dari https://geert-hofstede.com/thailand.html pada 18 Juni 2016
87 Ibid.,

terdapat dua perdebatan yaitu kita harus mencoba untuk mengendalikan masa depan atau
membiarkan suatu hal terjadi begitu saja. Ambiguitas ini membawa kecemasan dan dalam
budaya yang berbeda telah belajar bagaimana cara mengatasi kecemasan dengan cara yang
berbeda. Hal tersebut dilihat dari bagaimana suatu anggota yang merasa terancam oleh situasi
ambigu dan menciptakan keyakinan serta suatu lembaga menghindari hal tersebut tercermin
dalam penghindaran kepastian.
Pada dimensi ini Thailand mendapat skor 64 tetapi hal tersebut sedikit menunjukkan
preferensi untuk menghindari ketidakpastian. Dalam rangka meminimalisir atau mengurangi
tingkat ketidakpastian diciptakannya aturan ketat, undang undang, kebijakan, dan peraturan
yang diadopsi serta diimplementasikan. Tujuan utama dari populasi tersebut adalah untuk
mengendalikan segala sesuatu untuk menghilangkan atau menghindari suatu hal yang tidak
terduga. Sebagai hasil dari karakteristik penghindaran ketidakpastian yang tinggi masyarakat
tidak siap dalam menerima perubahan dan resiko yang sangat merugikan. Perubahan harus
dilihat demi kepentingan dari suatu kelompok.88
5. Long Term Orientation
Dimensi ini menggambarkan bagaimana setiap masyarakat harus menjaga beberapa link
dengan masa lalu agar dapat berhadapan dengan tantangan masa kini dan masa depan serta
masyarakat memprioritaskan dua tujuan yang berbeda. Pada dimensi ini masyarakat normatif
merupakan skor rendah yaitu lebih memilih untuk mempertahankan tradisi dan norma untuk
menghargai waktu ketika melihat perubahan sosial dengan penuh kecurigaan. Mereka dengan
nilai budaya yang tinggi sebaliknya mengambil pendekatan yang pragmatis dimana mereka
mendorong penghematan dan upaya pendidikan modern sebagai cara untuk mempersiapkan
masa depan.
Bila melihat skor Thailand yang rendah yaitu 32 menunjukkan bahwa budaya Thailand
lebih normative dibandingkan dengan pragmatis. Masyarakat Thailand memiliki kepedulian yang
besar dengan membentuk kebenaran yang mutlak. Tradisi yang terbentuk dari masyarakat
Thailand adalah dengan menunjukkan rasa hormat yang besar, kecenderungan yang relatif kecil
untuk menyimpan dimasa depan, dan lebih berfokus pada pencapaian dengan hasil yang cepat.
6. Indulgence
88 Diakses dari https://geert-hofstede.com/thailand.html pada 18 Juni 2016

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh manusia di masa lalu maupun sekarang adalah
sejauh mana anak anak kecil disosialisasikan. Tanpa sosialisasi kita tidak menjadi manusia.
Pada dimensi ini mendefinisikan sejauh mana orang mencoba untuk mengendalikan keinginan
dan dorongan untuk mereka sendiri berdasarkan bagaimana mereka dibesarkan. Kontrol yang
relatif lemah disebut sebagai Indulgence sedangkan control yang relatif kuat disebut sebagai
Restraint. Pada dimensi ini Thailand menunjukkan skor 45, namun pada dimensi ini tidak
dapat ditentukan berada diposisi mana masyarakat Thailand berada.
Other Cultural Traits
1. Hubungan dan Komunikasi
Masyarakat Thailand lebih suka melakukan bisnis dengan orang yang mereka hormati.
Hubungan akan berkembang secara perlahan dan tidak berkembang hanya dengan satu
pertemuan saja, diperlukannya beberapa pertemuan untuk menguatkan hubungan. Dalam bisnis
diperlukan hubungan yang harmonis yaitu dengan cara selalu hormat dan sopan ketika
berhadapan dengan orang lain.89
Komunikasi yang digunakan oleh masyarakat Thailand adalah formal dan non-verbal
lebih sering digunakan dibandingkan dengan verbal. Pangkat selalu dihormati, orang tertua
dalam suatu kelompok paling dihormati. Sulit untuk masyarakat Thailand untuk mengatakan
tidak sehingga pebisnis harus dapat memahami komunikasi non-verbal tersebut. Memperhatikan
bahasa tubuh dan wajah sangatlah penting karena akan lebih dipercaya dibandingkan dengan
kata kata yang keluarkan.90
2. Etika Meeting dalam Bisnis
Untuk melakukan janji terhadap masyarakat Thailand harus dilakukan satu bulan
sebelumnya. Kemudian mengirimkan daftar yang akan hadir dalam pertemuan dan memberikan
identitasnya agar masyarakat Thailand mengetahui status relatif dari setiap orang yang
menghadiri pertemuan tersebut sehingga hal tersebut dapat menandakan penghormatan terhadap

89 Diakses dari http://www.commisceo-global.com/country-guides/thailand-guide


pada 19 Juni 2016
90 Ibid.,

orang yang akan ditemui. Meskipun sebagian besar masyarakat Thailand akan mencoba untuk
datang tepat waktu karena ketepatan waktu merupakan sifat pribadi dari seseorang.91
Selalu mengirim agenda dan materi tentang perusahaan pebisnis serta data untuk
mendudukung posisi suatu pebisnis sebelum pertemuan dilakukan. Memberikan waktu yang
cukup agar bahan yang disajikan dapat dicerna dengna baik. Tetap berdiri sampai saatnya untuk
dipersilahkan untuk duduk merupakan adat dari Thailand itu sendiri. Budaya hirarki tentang
aturan ketat terhadap peringkat dan posisi dalam suatu kelompok. Bahan yang disajikan harus
tersedia dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Thailand. Hal yang paling penting adalah setiap
pebisnis asing harus sabar dalam menunggu keputusan dan tidak tergesa gesa dalam
menentukan keputusan.92
3. Etika Berpakaian
Dalam berbisnis harus berpakaian yang bersifat konservatif, pria harus menggunakan
pakaian setelan bisnis konservatif yaitu berwarna gelap. Sedangkan pakaian konservatif untuk
wanita adalah gaun/dress dan tidak menggunakan kaus kaki. Thailand menilai seseorang dari
cara berpakaiannya dan aksesoris yang digunakan serta pastikan sepatu yang digunakan oleh
para pria mengkilap.93
4. Agama
Agama yang paling dominan di Thailand adalah Buddha dimana pada ajaran ini tidak
mempercayai bahwa kehidupan tidak dimulai dengan kelahiran dan berakhir dengan kematian,
melainkan bahwa setiap orang memiliki beberapa kehidupan berdasarkan pelajaran hidup untuk
belajar, bertindak dengan komitmen pada kehidupan sebelumnya. Buddha juga percaya bahwa
keegoisan dan keinginan menyebabkan penderitaan dan kasih sayang serta cinta akan membawa
kebahagiaan dan kesejahteraan.94

91 Diakses dari http://www.commisceo-global.com/country-guides/thailand-guide


pada 20 Juni 2016
92 Ibid.,
93 Ibid.,
94 Ibid.,

Jalan yang benar menuju perdamaian yaitu dengan menghilangkan berbagai keinginan,
kondisi ini disebut sebagai Nirwana dimana sebuah negara yang tidak terlukiskan bebas dari
keinginan, penderitaan, atau dilahirkan kembali serta keadaan seseorang yang menyatu dengan
lingkungannya. Pada dasarnya 90% dari penduduk Thailand menganut dan mempraktekan ajaran
Buddha.95
5. Masyarakat Hirarkis
Masyarakat Thailand sangat menghormati hubungan yang hirarkis dimana hubungan
sosial didefinisikan sebagai salah satu orang yang unggul dari yang lainnya. Seperti orang tua
lebih unggul daripada anak anaknya, guru kepada siswanya, dan bos terhadap bawahannya.
Ketika masyarakat Thailand bertemu dengan warga asing mereka akan segera mencoba untuk
menempatkan orang tersebut kedalam hirarkinya sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana
orang tersebut diperlakukan. Hal tersebut sering dilakukan dengan cara menanyakan hal yang
bersifat pribadi dalam budaya lain. Kemudian status sosial dapat ditentukan dengan oleh pakaian,
penampilan umum, usia, pekerjaan, pendidikan, nama keluarga, dan hubugan sosial.96
6. Thai Demeanour
Thailand menempatkan penekanan besar pada nilai yang berbentuk seperti kesopanan,
menghormati, sikap ramah, dan control diri untuk menjaga hubungan yang harmonis. Aturan
aturan yang terbentuk kebayakan berasal dari agama Buddha dan mayoritas masyarakat nonkonfrontatif dimana sengketa publik atau kritik harus dihindari dengan berbagai cara. Amarah
secara terbuka terhadap seseorang akan menyebabkan kemurkaan dari para roh yang pada
akhirnya akan menyebabkan tragedy dan kekerasan.97
Bila secara terbuka menkritik seseorang merupakan bentuk kekerasan karena hal seperti
itu dapat menyakiti perasaan orang tersebut dan dipandang sebagai upaya secara sadar.
Kehilangan muka merupakan aib bagi masyarakat Thailand sehingga dalam menyelesaikan suatu
masalah lebih mementingkan kompromi walaupun dalam situasi yang sangat sulit. Bila kedua

95 Ibid.,
96 Diakses dari http://www.commisceo-global.com/country-guides/thailand-guide pada 20 Juni 2016
97 Ibid.,

belah pihak tidak setuju maka salah satu pihak harus memiliki jalan keluar untuk mundur tanpa
kehilangan muka.98

98 Ibid.,

ANALISIS SWOT SOSIO-CULTURE THAILAND


1. Strength
Thailand merupakan salah satu negara yang masyarakatnya bersifat kolektivis dalam
bidang bisnis. Hal tersebut membuat masyarakat Thailand lebih nyaman bekerja dengan
berkelompok dibandingkan dengan bekerja secara individual. Selain itu dengan masyarakat
Thailand yang sangat hirarki membuat bawahan sangat menghormati atasannya sehingga secara
tidak langsung para karyawan tersebut menjadi loyal terhadap atasannya. Loyalitas dalam dunia
bisnis merupakan suatu hal yang baik diterapkan untuk membentuk suatu perusahaan sehingga
relasi antara atasan dan karyawan harus dibentuk agar suatu perusahaan terus berjalan.
2. Weaknes
Masyarakat Thailand pada umumnya sulit sekali untuk mengatakan tidak atau menolak
suatu pernyataan yang dikeluarkan oleh orang asing. Hal ini menyebabkan orang orang
disekitarnya harus dapat memahami bahasa tubuh atau non-verbal dari masyarakat Thailand itu
sendiri. Sulit untuk menolak suatu hal dalam dunia bisnis merupakan salah satu kelemahan yang
cukup fatal. Bila terdapat tawaran yang tidak menguntungkan dari perusahaan tentu akan
menyebabkan kerugian bagi suatu perusahaan. Selain itu, hirarki yang kental dalam masyarakat
Thailand juga memiliki kelemahan yaitu berupa sulitnya karyawan untuk menyatakan pendapat
karena menaganggap keputusan yang dikeluarkan oleh atasan atau pangkat yang lebih tinggi
dianggap sebagai hal yang paling benar sehingga setiap karyawan harus mendengarkan apa yang
dikatakan oleh atasan meskipun hal tersebut dianggap tidak benar.
3. Oppurtunity
Kesempatan yang terdapat di Thailand itu sendiri bila melihat kebudayaannya adalah
setiap pebisnis internasional dapat menggunakan pendekatan sebagai cara untuk membangun
relasinya dengan masyarakat Thailand. Meskipun dalam melakukan pendekatan diperlukan
waktu yang tidak sebentar, namun untuk membangun hubungan yang harmonis melakukan
pendekatan dengan berbagai cara agar mudahnya terbangun relasi terhadap masyarakat Thailand.
4. Threats
Tantangan yang dihadapi oleh bisnis internasional di negara Thailand adalah dalam
menyesuaikan kultur dari negara tersebut dibutuhkan kesabaran dan tindakkan yang tidak tergesa

gesa agar dapat menyesuaikan dengan budaya tersebut. Kemudian bisnis internasional harus
bisa menyesuaikan bahasa yang dipakai oleh negara Thailand. Setidaknya dalam memberikan
materi atau produk harus memberikan salinan Bahasa Inggris dan Bahasa Thailand itu sendiri.
Sehingga penyesuaian bahasa merupakan hal penting untuk melakukan bisnis di Thailand.

TECHNOLOGY
Terkait dengan teknologi dan informasi di era globalisasi saat ini, maka menjadi sebuah
tanggung jawab setiap negara untuk berlomba-lomba meningkatkan kemajuan teknologi yang
dimiliki negaranya. Khusus nya bagi negara yang mengedepankan sektor industry sebagai
sumber pendapatan negaramya. Contohnya seperti yang dilakukan oleh negara Thailand. Untuk
saat in Thailand menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang perkembangan ICT nya
berkembang dengan pesat. Hal tersebut menjadikan Thailand memiliki jaringan informasi lebih
memadai sehingga seluruh masyarakat Thailand bisa menikmati perkembangan informasi
tersebut dalam berbagai aspek kehidupan.
A. Perkembangan teknologi di Thailand
Saat ini di Thailand terdapat badan yang bernama NSTDA (National Science and Technology
Development Agency), yang mana badan tersebut sudah berdiri sejak tahun 1991. 99 Organisasi ini
menjadi induk dari empat pusat penelitian nasional yang ada di Thailand, di antaranya yaitu
BIOTEC, MTEC, NECTEC, NANOTEC dan sebagai salah satu technology management center:
TMC yang dimiliki oleh Thailand.100 Tujuan di bentuknya badan ini yaitu sebagai salah satu
mitra yang bisa dijadikan sebagai kunci utama bagi masyarakat berbasis pengetahuan melalui
sains dan teknologi. Selain itu NSTDA berfungsi sebagai pusat penelitian dan pengembangan
teknologi, sumber daya manusia serta infrastruktur yang ada di Thailand.101
Di tahun 2011 hingga 2016 ini, NSTDA memiliki strategi mengenai penelitian serta
pengembangan yang di fokuskan pada lima bidang yang diantaranya yakni pertanian dan pangan,
energi dan lingkungan, kesehatan dan kedokteran, bioresources dan komunitas ,manufaktur dan
industry jasa.102
99 NSTDA profile. Di akses melalusi www.nstda.or.th/eng/index.php/about/visionmission pada tanggal 20 Juni 2016 pukul 23.10 wib
100 Ibid pukul 23.15 wib
101 Ibid pukul 23.20 wib
102 Ibid pukul 23.45 wib

Sumber: NSTDA strategic plan 2011-2016


Selain itu Thailand juga memiliki badan yang bernama Thailand Science Park yang didirikan
pada tahun 2002 sebagai research and development untuk ilmu pengetahuan dan teknologi yang
ada di Thailand. Badan ini dikelola oleh TMC (technology management center), badan
pengembangan sains serta NSTDA di bawah kementrian sains dan teknologi. 103 TSP merupakan
salah satu again penting yang dimiliki oleh Thailand guna memperkuat kemampuan nya dalam
hal melakukan penelitian serta membuat suatu inovasi baru.
TSP didirikan guna mempromosikan serta mengembangkan inovasi yang sudah ada sehingga
dapat mendorong lebih banyak lagi penelitian serta pengembangan dalam sektor teknologi itu
sendiri. Di dalam web NSTDA sendiri di sebutkan bahwa TSP menawarkan beberapa layanan
guna mendukung teknologi bisnis:104
1. Phase 1 of the TSP comprising of over 140,000 sq.m. of built-up space has been
completed and is fully occupied by the 4 national research centers and more than 60
103 Thailand Science Park. Diakses melalui www.nstda.or.th/eng/index.php/service/thailand-sciencepark pada tanggal 21 Juni 2016 01.40 wib
104 Ibid pukul 01.50 wib

corporate tenants.
TSP offers:
a. Robust Infrastructure and Comprehensive Support which Meets Your R&D Needs
pilot plant, green houses, design service center
conference & exhibition facilities and training centers
facilities and space to suit technology companies of different sizes
b. World-class R&D Facilities and Skilled Manpower
shared use of advanced laboratories and equipment at the 4 national research centers
access to large pool of over 600 full-time scientists and researchers (with more than 360
PhDs)
close links with leading universities and government agencies
c. Resources to Accelerate Your R&D Activities
leverage on joint R&D and contract R&D activities with NSTDA
tap upon Science and Technology training resources and seminars
extensive R&D database
2. Thailand Science Park Supports & Services
R&D Support Facilities
At TSP, tenants can tap upon NSTDAs laboratory testing and analytical services through its
various laboratories and research units.
a. Supporting Services
Tenants can also access the comprehensive range of support services available through
TSPs Sales and Business Development team:.
b. Technology & Technical Services
Contract Research and Joint Research

Testing and Analytical Service


Technology Information Service
Technology Licensing Service (In-licensing & Out-licensing)
c. Financial Services
Application for Research Funding
Application for Soft Loans
Joint Investments
d. Human Resource Services
Training and Seminars on specific Business and Technology Topics
HR Recruitment
Specialist Database
e. Business Support Services
Intellectual Property Service
Technology Licensing Office
Business Matching Service
Visa & Work Permit Assistance
Privileges & Incentives Coordination Service
f. Privileges & Incentives
Thailand Board of Investment (BOI) Privileges
Import Tax Exemption for Machineries
Corporate Income Tax Exemption for 8 Years
50% Corporate Income Tax Reduction for 5 more Years after Tax Exemption Period Ends
Work Permit and Visa Facilitation for Foreign Specialists and Researchers

g. Revenue Department Incentives


Accelerated Depreciation Rate for R&D Machineries and Equipments
B. Transfer teknologi
Perindustrian dan jasa berperan penting dalam mendorong perekonomian yang ada di Thailand.
Hal tersebut dapat dilihat dari fakta yang menyebutkan bahwa industri pabrik serta jasa
menyumbang rata-rata 86% PDB Thailand pertahun sejak tahun 2005 sampai 2009. Namun
industry manufaktur sendiri terlihat masih mengalami berbagai permasalahan seperti tingkat
kapasitas produksinya yang terbilang masih rendah, serta persaingan untuk kepemimpinan pasar,
lalu upah yang masih rendah jika di bandingkan dengan negara-negara lain dan kurang nya
kemampuan untuk memperbarui atau mengembangkan teknologi produksi yang lebih maju.105
Dari hal tersebut NSTDA sadar bahwa di perlukan nya pengembangan lebih lanjut guna
menciptakan teknologi dalam industri manufaktur dan jasa yang lebih baik, guna menciptakan
nilai tambah serta meningkatkan kemampuan dalam industri ini. Hal tersebut di bantu dengan
hadir nya TLO (technology licensing office) di Thailand, guna mempromosikan penelitian serta
pengembangan nya yang mengarah pada terciptanya suatu bentuk ide-ide baru, serta melindungi
hak para peneliti terhadap penemuan-penemuan yang mereka peroleh sehingga menjadi hak
paten bagi mereka.106
C. Protection of technology
Seperti yang sudah dijelaskan sebelum nya di bagian sistem hukum di Thailand, bahwa
perlindungan terhadap teknologi pada umum nya Thailand mematuhi standar kekayaan
intelektual international yang sebelumnya sudah ditetapkan. Selain itu Thailand juga merupakan
salah satu pihak yang mendukung untuk diciptakan nya standar intelektual property serta sistem
perlindungan yang sama di seluruh dunia. Hal tersebut sudah termasuk dalam bidang: merk
dagang, hak paten, hak cipta, trade secrets, indikasi geografis, produksi disk optical.107

105 Manufacturing and service industries. Diakses melalui


www.nstda.or.th/eng/index.php.research/manufacturing-and-service-industries pada tanggal 21 Juni 2016
pukul 12.55 wib
106 Technology Licensing Office. Diakses melalui www.nstda.or.th/eng/index.php/service/technologylicensing-office-tlo pada tanggal 21 Juni 2016 pukul 01.15 wib

107 Protecting your intellectual property in Thailand. Diakses melalui www.anandaip.com/files/protecting-your-intellectual-property-in-Thailand pada tanggal 21 Juni 2016 pukul 01.58 wib

Analisis SWOT Teknologi di Thailand


1. Strength
Sudah ada nya badan yang mengatur serta mengawasi mengenai perlindungan teknologi di
Thailand. Selain itu di Thailand, peningkatan kemampuan teknologi terus di lakukan. Sehingga
akan sangat mudah jika suatu perusahaan akan mengembakan sektor industry nya di Thailand
2. Weakness
Walaupun Thailand terus melakukan pengembangan dari sektor teknologi industrinya, tetapi
kapasitas produksinya terbilang masih rendah, serta persaingan untuk kepemimpinan pasar masih
kurang, lalu upah yang masih rendah jika di bandingkan dengan negara-negara lain dan kurang
nya kemampuan untuk memperbarui atau mengembangkan teknologi produksi yang lebih maju.
Sehingga hal tersebut menjadikan perkembangan teknologi di Thailand menjadi lambat
3. Oppurtunity
Kesempatan yang ada saat ini adalah, yang mana bisa dilihat bahwa Thailand memiliki
beberapa strategi yang sudah di buat sebelumnya oleh badan NSDTA yang mana salah satu
bidang yang di fokuskan dalam strategi tersebut adalah dari sektor teknologi industri, maka dari
itu memungkinkan sekali jika suatu perusahaan mengambil kesempatan yang sedang berjalan
saat ini untuk mengembangkan sektor industrinya.
4. Threats
Tantangan nya adalah seiring dengan pengembangan teknologi yang sedang dilakukan oleh
Thailand, perusahaan mampu mengikuti alur yang sedang di jalankan oleh Thailand itu sendiri.
Serta bagaimana perusahaan asing mampu bersaing dengan perusahaan lokal yang pada saat
bersamaan juga sedang mengembangkan sektor industry nya.

LAW
A. Sistem Hukum Thailand108
Kerajaan Thailand menganut hukum sipil yang dianut secara ketat. Hukum modern
Thailand dimulai pada era pemerintahan Raja Rama V (1868-1910), yang memberlakukan
reformasi menyeluruh pada sistem hukum Thailand, seperti penghapusan hukuman percobaan,
serta pembentukan Departemen Kehakiman dan sekolah hukum pertama di Thailand. Raja Rama
V yang juga dikenal sebagai Raja Chulalongkorn juga memulai proses kodifikasi hukum
Thailand dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Thailand mulai diberlakukan pada tahun
1908. Implementasi reformasi hukum banyak dilaksanakan oleh putra keempat belas Raja Rama
V, Pangeran Rapee Pattanasak, yang dianggap sebagai pelopor sistem hukum Thailand modern.
Kodifikasi dan modernisasi/ westernisasi hukum Thai dilanjutkan di bawah pemerintahan Raja
Rama VI (1910-1925) dan Raja Rama VII (1925-1935).
Hukum Thailand terdiri dari hukum utama dan peraturan yang dikeluarkan oleh berbagai
kementerian pemerintah. Meskipun Thailand menerapkan hukum sipil, masukan dari Mahkamah
Agung tetap dipertimbangkan dan menjadi dasar penting bagi perkembangan hukum Thailand .
Undang-undang organik hanya dapat ditetapkan oleh:
(1) Dewan Menteri;
(2) Minimal sepersepuluh dari anggota DPR atau sepersepuluh dari anggota Majelis Nasional;
atau
(3) Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung atau badan konstitusi yang independen. Pimpinan
Pengadilan maupun badan independen memiliki wewenang terhadap pengendalian
pelaksanaan tindakan-tindakan organik tersebut.
Pemberlakuan hukum organic memerlukan suara mayoritas dari anggota-anggota Majelis
Nasional. Sedangkan Rancangan UU selain UU organik dapat ditetapkan oleh:
(1) Dewan Menteri;
(2) setidaknya dua puluh anggota DPR;
108 Leeds, Joe (2011). UPDATE: Introduction to the Legal System and Legal Research of the Kingdom
of Thailand (online). Diakses dari http://www.nyulawglobal.org/globalex/Thailand1.html pada 5 Juni
2016

(3) Pengadilan atau organ konstitusi yang independen, tetapi hanya dalam hal hukum yang
berkaitan dengan organisasi kelembagaan atau hukum pelaksanaan yang Presiden
Pengadilan tersebut atau organ seperti memiliki biaya dan kontrol; atau
(4) orang yang memiliki hak untuk memilih tidak kurang dari sepuluh ribu orang banyaknya,
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak dan kebebasan atau kebijakan negara yang
mendasar;
Persetujuan Raja diperlukan untuk menyebarluaskan hukum apapun, namun jika Raja tidak
menyetujui suatu produk hukum, masih dapat ditetapkan dengan persetujuan minimal dua pertiga
dari anggota Majelis Nasional. Raja dengan persetujuan Dewan Menteri, menghasilkan
keputusan masalah darurat yang memiliki kekuatan hukum, untuk tujuan menjaga keamanan
nasional atau publik, menjaga keamanan ekonomi nasional, atau mencegah bencana umum. Raja
juga dapat mengeluarkan dekrit darurat jika undang-undang tentang pajak, bea atau mata uang,
yang memerlukan pertimbangan mendesak dan rahasia, diperlukan. Dekrit darurat harus
diserahkan kepada Majelis Nasional untuk dipertimbangkan tanpa penundaan.
B. Sumber Hukum Thailand
1. Konstitusi
Kerajaan Thailand adalah monarki konstitusional, dan Konstitusi adalah hukum tertinggi
negara. Konstitusi adalah dokumen panjang dan menyediakan untuk kekuasaan Raja, Majelis
Nasional, Dewan Menteri, Pengadilan, dan Organ Konstitusi. Konstitusi juga mencakup
ketentuan menguraikan hak-hak, kebebasan dan kewajiban rakyat, dan menyebutkan prinsipprinsip arahan dari kebijakan negara yang mendasar berkaitan dengan misalnya keamanan
nasional, sosial dan budaya, hubungan luar negeri, ekonomi dan lingkungan.
2. Kodifikasi Hukum
Hukum dasar yang membentuk tulang punggung hukum Thailand telah dikodifikasi menjadi
empat Kode: Sipil dan Commercial Code, KUHP, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara
Pidana.

Hukum Keluarga:

Hukum Tanah:

3. Keputusan, Perjanjian dan Administrasi Hukum

Banyak hukum sosial dan ekonomi yang penting diwujudkan dalam bentuk keputusan, yang
yang diadopsi sebagai hukum oleh Majelis Nasional, antara lain
(1) Ketentuan arbitrase
(2) Kebangkrutan
(3) Perlindungan lingkungan
(4) Hak kekayaan intelektual
(5) Hukum perburuhan
(6) Lembaga keuangan
(7) Penerbitan dan perdagangan efek
(8) Operasi bisnis asing di Thailand
4. Perjanjian Internasional
Thailand telah menandatangani ratusan perjanjian dan konvensi internasional. Perjanjian dan
konvensi yang diadakan oleh Kementerian Luar Negeri dan kemudian dimasukkan ke dalam
hukum domestik Thailand oleh persetujuan parlemen dan akhirnya ditandatangani oleh Raja.
5. Keputusan yudisial
Preseden yudisial tidak mengikat pengadilan yang lebih rendah. Mahkamah Agung Kehakiman
tidak terikat untuk mengikuti keputusan sendiri, dan pengadilan yang lebih rendah tidak terikat
untuk mengikuti preseden yang ditetapkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.

C. National regulations
1. Labour Laws109
Berikut merupakan ringkasan secara terperinci dari peraturan ketenagakerjaan yang
berlaku di Thailand :

109http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/thailand/labor-market-regulation

2.

Anti Trust Law110


Thailand tidak memiliki competition law tetapi diberlakukan kebijakan free trade di
bawah

Prices-Fixing and Anti Monopoly Act B.E. 2522 (1979). Namun banyak ahli

menganggap bahwa UU ini sebagai konsistensi prinsip-prinsip ekonomi modern yang mengatur
monopoli dan restrictive practice. Prinsip-prinsip dasar dari aturan kompetisi Thailand sekarang
dapat ditemukan di bagian 25, 26, 27, 28, 29 dan 30 dari TCA. TCA melarang beberapa jenis
praktek perdagangan yang tidak adil dan perilaku serta memberikan, dalam kondisi tertentu,
untuk pembebasan yang akan diberikan kepada beberapa posisi monopoli dan praktek
perdagangan yang tidak adil. Dalam hal terakhir ini, Trade Competition Commission (TCC) yang
baru telah dikritik karena memiliki kekuatan terlalu luas. TCA mencakup semua kegiatan bisnis
yang dimiliki oleh pelaku usaha dengan pengecualian dari perusahaan negara, konsesi negaradiberikan, pertanian dan usaha diberikan dispensasi oleh Departemen Perdagangan.
3. Anti Dumping Law111
4. Consumer Protection Law112
The Consumer Protection Act 1979 dan Consumer Case Procedur Act 2008 merupakan
undang-undang yang dibentuk khusus untuk melindungi konsumen terhadap iklan palsu,
110http://siteresources.worldbank.org/INTCOMPLEGALDB/EastAsiaandPacific/21152340/TRADECO
MPETITIONACT.pdf
111http://enforcement.trade.gov/trcs/downloads/documents/thailand/gadpn1tha4.doc
112 www.lexmundi.com/Document.asp?DocID=8198
0

label palsu, kontrak yang tidak adil, dan banyak lagi. Selain itu, Thailand

juga

memberlakukan Product Liability Act pada tahun 2008 yang secara khusus mengatur hal-hal
seperti :
(1) Undang-Undang yang secara khusus memeberi kewajiban yang ketat kepada seluruh
pelaku usaha yang terlibat dalam pembuatan dan penjualan produk cacat yang berpotensi
membahayakan konsumen. Ketika konsumen dapat membuktikan bahwa dia merasa
dirugikan saat menggunakan produk
yang dimaksudkan.
(2) Undang-Undang yang memperluas lingkup

penanggung jawab, seperti pihak yang

dirugikan bisa menggugat produsen serta operator. dimana "operator" disisni


didefinisikan dalam Undang-Undang sebagai produsen, penyewa, importir, atau penjual
yang tidak dapat mengidentifikasi produsen, penyewa, atau importir. Serta apa saja
terkait seseorang yang menggunakan nama, nama dagang, merek dagang, merek
layanan, merek, atau pernyataan, atau tindakan dengan cara menyebabkan kesalah
pahaman bahwa itu adalah produsen, penyewa, importir, atau penjual, juga
mempertimbangkan operator.
(3) Masing-masing "operator" dapat secara bersama-sama bertanggung jawab atas kerusakan
yang disebabkan oleh adanya produk cacat yang menyebabkan orang lain dalam arti
konsumen terluka, terlepas dari apakah kerusakan yang disebabkan atas kelalaian
konsumen atau tidak.
5. Intelectual Property Rights
Hak kekayaan intelektual melakukan hal lebih dari melayani kepentingan pemiliknya. Sistem
kekayaan intelektual,hukum, dan peraturan dirancang untuk menguntungkan masyarakat
sekaligus melindungi kedua pihak, yaitu pencipta dan pengguna. Hukum kekayaan intelektual
harus seimbang dan tepat antara hak pemilik, dan kepentingan umum, memacu inovasi,
memperkaya pengetahuan masyarakat, mempromosikan kemajuan teknis, dan menjaga
persaingan yang sehat.113
Umumnya, hukum Thai mematuhi standar kekayaan intelektual internasional sebagaimana
yang telah ditetapkan oleh TRIPS, yang merupakan salah satu aspek perjanjian Intelectual
113 http://www.ananda-ip.com/files/Protecting-Your-Intellectual-Property-in-Thailand.pdf
1

Property World Trade Organization (WTO). Selain itu, Thailand juga merupakan pihak konvensi
IP utama yang bertujuan untuk menciptakan standar IP dan sistem perlindungan yang sama di
seluruh dunia. Hukum IP Thailand mencakup bidang-bidang IP berikut:114
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

Merek Dagang
Paten
Hak cipta
Trade Secrets
Perlindungan Varietas Tanaman
Produksi Disk Optical

Hukum IP Thailand secara teratur diubah, dilengkapi dengan Peraturan Menteri dan Nota
Pemahaman misalnya antara IPR holders dan lembaga pemerintah. Departemen Kekayaan
Intelektual (DIP) sendiri berada di bawah Departemen Perdagangan (MOC) yang merupakan
aktor utama untuk promosikan dan perlindungan kekayaan intelektual di Thailand. DIP berfungsi
sebagai kantor pusat pendaftaran dan tuan rumah Trademark Office, Kantor Hak Cipta dan hak
patent.
6. Global Business Dispute
Tindakan pengadilan adalah pendekatan yang sah untuk penyelesaian masalahan baik di
sektor publik maupun bisnis. Dengan masuknya investasi joint public dan swasta, bisnis baru,
dan pembelian properti pribadi, Thailand juga telah melihat adanya kenaikan jumlah litigasi.
Permasalahan ini yang menyebabkan adanya penghambatan agenda pengadilan. Karena beban
kerja pengadilan yang lebih berat, sehingga penyelesaian kasus akan memakan waktu lebih lama
untuk menyelesaikan. Sama seperti di banyak negara lainnya, Thailand juga mendorong
penggunaan Alternativ Dispute Resolution (ADR) untuk menyelesaikan permasalahan sebelum
masalah

secara resmi dibawa ke pihak pengadilan. Bahkan, Thailand telah membentuk

Alternative Dispute Resolution Office di bawah Kantor Kehakiman untuk mengawasi penerapan
ADR di Thailand
Arbitrase dan Mediasi merupakan dua bentuk Alternative Dispute Resolutions yang
diimplementasikan oleh pengadilan untuk meringankan penghambatan agenda pengadilan.
Arbitrase mengharuskan untuk memilih pihak ketiga (untuk disebut Arbiter) yang akan
114 ibid
2

mendengar permasalahan dan membuat keputusan yang mengikat. Di sisi lain, Mediasi
melibatkan bantuan seorang mediator yang akan membantu para pihak mencapai kesepakatan
yang saling diterima. Mediasi sering digunakan dalam penyelesaian kasus kecil. Mediasi didanai
oleh Kantor Kehakiman. Mediator memainkan peran penting dalam proses penyelesaian
masalah. Tidak hanya itu, mediator juga harus menjaga perdamaian antara pihak-pihak yang
bersengketa, ia juga membantu para peserta dalam merancang solusi yang akan saling
menguntungkan kedua pihak.
Sebaliknya, Arbitrase digunakan dalam permasalahan bisnis yang lebih rumit. Tidak seperti
dalam mediasi, pihak Arbitrase akan perlu menanggung biaya yang lebih tinggi seperti biaya
Arbiter dan biaya Lembaga. Sejak tahun 2002, Thailand telah mengikuti UNCITRAL Model
Law on International Commercial Arbitration untuk kepentingan mekanisme Arbitrase
negaranya . Thailand telah mengadopsi kerangka yang sama terkait arbitrase domestik dan
internasional untuk menghindari komplikasi dalam interpretasi dan eksekusi. Prosedur Arbitrase
hadir di Thailand memberikan pihak otonomi untuk membingkai proses yang mereka akan
anggap paling efisien. hal Ini juga menjamin bahwa pihak akan memiliki kesempatan yang sama
untuk didengar klaim dan argumen mereka.
Arbitrase telah semakin menarik perhatian di Thailand. Selain dari sektor bisnis, beberapa
entitas pemerintah

juga

telah menggunakan mekanisme ini untuk mengurangi jumlah

kemungkinan litigasi di Thailand, seperti Departemen Asuransi, Departemen Kekayaan


Intelektual dan Komisi Keamanan dan Exchange. Pengadilan bertanggung jawab untuk
menegakkan Perjanjian Arbitrase dalam kasus yang diberikan dalam kontrak para pihak yang
bersengke

Analisis SWOT Hukum Thailand


a) Strength:
1. Dengan pendapatan per-kapita rata-rata penduduknya yang 248,50 US$, membuat
upah yang harus didapat para pekerjanya tidak terlalu besar, sehingga akan
memberikan lingkungan bisnis yang baik bagi para pengusaha asing.

2. Tidak adanya aturan mengenai asuransi bagi pekerja, hal ini tentunya akan
menguntungkan bagi para pengusaha sebab perusahaan tidak perlu mengeluarkan
biaya lebih untuk asuransi pekerja, sehingga pendapatan perusahaan akan lebih besar.
3. Bila hendak melakukan ekspansi ke Thailand, maka biaya investasi yang harus
dikeluarkan oleh Pertamina dapat ditekan dari sisi pekerja
b) Weakness :
1. Tidak adanya hukum perdagangan yang secara spesifik mengatur perdagangan
negara, sehingga menyebabkan lingkungan bisnis di Thailand kurang menarik bagi
para investor.
2. Regulasi yang tidak spesifik membuat rencana ekspansi Pertamina tidak dapat
langsung diimplikasikan, sebab harus terlebih dahulu menafsirkan hukum
perundangan perdagangan di Thailand
c) Opportunities :
1. Kesempatan yang bisa diambil dari sistem hukum yang mengatur operasi bisnis
internasional di Thailand adalah terkait dengan hukum monopoli atau anti trust law
yang di atur dalam Trade Competition Act (TAC) yang mengatur praktik perdagangan
agar bidang-bidang usaha negara tidak mendominasi, sehingga sector bisnis asing
dapat memiliki kesempatan untuk bersaing dengan sector bisnis lokal.
2. Adanya anti-dumping law menjadikan Pertamina dapat bersaing dari segi harga
d) Threat :
1. Tantangan terbesar yang harus dihadapi Pertamina pada saat memasuki ranah
ekspansi di Thailand adalah dalam hal penafsiran hukum-hukum perdagangan yang
berlaku.
2. Persaingan bisnis dengan kompetitor dalam memenangkan pasar Thailand
3. Meskipun pemerintah Thailand telah menyediakan badan hukum yang secara khusus
menangani permasalahan IP, namun sistem penegakan hukumnya masih kurang
konsisten dan kurangnya langkah preventif yang dilakukan Negara terutama
pembajakan melalui media online. Hal tersebut tentunya menjadi ancaman bagi para
pelakuk bisnis di Thailand.

ENVIRONMENT

Thailand menduduki peringkat ke 3 terkait kemudahan dalam aktivitas bisnis di dalam


negerinya baik bagi masyarakatnya maupun bagi insvestor asing. 115 Namun dibalik percepatan
ekonominya, Thailand juga mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk kemudian membayar
dampak kerusakan lingkungannya yang memburuk. Pencemaran udara karena limbah pabrik
serta kendaraan, dan polusi air karena limbah rumah tangga dan industri menyumbang kerusakan
yang terjadi.116 Hal tersebut karena kurangnya penanganan yang tepat seperti fasilitas tata
pengelolahan yang baik.117 Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam memantau pencemaran
air tersebut dikarenakan membutuhkan teknik dan peralatan yang maju serta pemantauan yang
sistemais.118 Terkait dengan pencemaran udara, saat ini parik dan fasilitanya dibangun
menggunakan gas alam dan minyak, namun terdapat kelemahannya pencegahan polusinya.
Pemerintah terus melakukan pemantauan pada emisi serta limbah namun kontrol dan regulasi
pemerintah terhadap polusi udara terbilang lamban. 119 Thailand memiliki 2 lokasi yang dapat
memproses limbah berbahaya di beberapa daerah namun masih tebilang lemah. 120 Selain
pecemaran, aktivitas bisnis juga mengakibatkan deforestasi, kerusakan hutan bahkau, dan erosi
tanah.121

115 Thaiand Is One of Top 50 Economies for Dong Business. (2015). Diakses dari
http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2015/10/28/thailand-is-one-of-top-50-economies-fordoing-business pada tanggal 18 Juni 2016
116Overview of Environmental Issues and Environmental Conservation Practices in Thailand. (n.d). diakses
dari https://www.env.go.jp/earth/coop/oemjc/thai/e/thaie1.pdf pada tanggal 19 Juni 2016

117 ibid
118 Ibid. hal 11
119 Ibid. hal 12
120 Ibid. hal 13
121 Ibid. hal 14
5

Pemerintah memiliki komitmen untuk pelestarian lingkungan. Selain pembangunan


ekonomi yang berkelanjutan, distribusi pendapatan yang adil, dan pengembangan sumber daya
manusia, perlindungan lingkungan dan sumber daya alam. 122 Dibawah The Enhancement and
Conservation of National Environmental Quality Act, A.D. 1992 (NEQA), memasukkan
beberapa inovasi baru seperti mendirikan Komite pengendalian polusi, memperkenalkan sistem
daerah kontrol polusi, mengatur Environmental Fund, didirikan standar emisi dan debit,
mendorong partisipasi dari lingkungan organisasi non-pemerintah (LSM) jika mereka memenuhi
kriteria tertentu, dan penguatan prinsip "polluter-pays".123 Lebih dari 20 badan pemerintahan di
Thailand memiliki fokus pada isu lingkungan seperti departemen industri, departemen
perindustrian dan kopeerasi, departemen transportasi dan komunikasi, dan masih banyask lagi.
Sektor energi di Thailand juga mendapatkan perhatian khusus terkait isu lingkungan. Di
Thailand mayoritas energi digunakan pada sektor transportasi, dimana berupa bensin, diesel dan
bahan bakar jet. Jumlah tadi kendaraan yang tercatat sekitar 32.476.977. 124 Namun Pemerintah
memiliki beberapa regulasi terkait penanganan isu lingkungan tersebut berupa standart dan uji
emisi pada kendaraan baru, bahan bakar alternatif (gas alam, LPG, listrik, ethanol), kampanye
publik (car free day, walking street), pajak dan incentif untuk mempromosikan kendaraan dan
bahan bakar yang ramah lingkungan.125
Pasokan energi utama Thailand adalah batu bara, minyak mentah dan gas alam cair,
konsendat, gas alam, produk petroleum, listrik, energi terbarukan, biofuel. Dimana mayoritas
dari batu bara, minyak mentah dan gas alam cair, petroleum, listrik adalah impor. Sedangkan
untuk gas alam dan energi terbarukan Thailand memiliki potensi produksi yang besar. Berikut
tabel pasokan energi Thailand:126

122 Ibid. hal 16


123 Ibid. hal 17
124Registered vehicles Data by country. Diakses dari http://apps.who.int/gho/data/node.main.A995 pada
tanggal 19 Juni 216

125Viroat Srisurapanon dan Chana Wanichapun. Environmental Policies in Thailand and Their
Effects.Department of Civil Engineering, King Mongkuts University of Technology Thonburi. Diakses dari
http://www.un.org/esa/gite/iandm/viroatpaper.pdf pada tanggal 19 Juni 2016

Source: Department of Alternative Energy Development and Efficiency (DEDE)


Penggunaan energi terbanyak pada petroleum dan bahan bakar fosil, sedangkan pada
energy alternatif adalah heat yang terdiri dari Solar/Biomass/MSW/ Biogas.127Thailand akan
mengurangi konsumsi minyak, impor bensin, dan akan mendorong produksi etanol untuk
penggunaan bahan bakar dan bensin.128 untuk mengurangi ketergantungannya ini, pemerintah
melakukan penekanan pada green energy atau energi terbarukan.129 Pengembangan energi
terbarukan ini telah canangkan pada tahun 1992 di bawahThe Department of Alternative Energy
Development and Efficiency's (DEDE), dimana salah satu energi terbarukan tersebut adalah
solar, wind power, hydro power, dan biomass.130
Perusahaan minyak dan gas Thailand didorong untuk adanya peningkatan efisiensi, fokus pada
keamanan dan keahlian, penanganan pada isu-isu lingkungan dan keterampilan tenaga kerja,
serta teknologi untuk pemulihan minyak dan pemrosesan minyak dan gas. Aktivitas hulu minyak
dan gas Thailand dilakukan oleh oleh PTT exploration and
lingkup kerjanya pada

Production (PTTEP), dimana

bidang pengadaan, transportasi, distribusi, pemprosesan gas, dan

126 Energy in Thailand-Fact and Figures Q1 / 2014. (n.d). Diakses dari


http://weben.dede.go.th/webmax/sites/default/files/factsq1_2014.pdf pada tanggal 19 Juni 2016
127 ibid
128 Oil Refining in Thailand-overview. Diakses dari
https://www.mbendi.com/indy/oilg/ogrf/as/th/p0005.htm pada tanggal 18 Juni 2016
129 Thailands renewable Energy Surge. (2014). Diakses dari
http://www.forbes.com/sites/naazneenkarmali/2014/06/04/thailands-renewable-energysurge/#93ad47d66e6c. pada tanggal 18 Juni 2016
130 Environmental Issues-Thailand. (n.d). diakses dari https://www.angloinfo.com/thailand/howto/page/thailand-housing-setting-up-home-environmental-issues pada tanggal 18 Juni 2016
7

investasi. Kegiatan PTTEP ini juga dilakukan bersama perusahaan asing.131 Berikut regulasi
negra terkait lingkungan:132
Bagian 8 : Penggunaan Lahan, Sumber Daya Alam dan Kebijakan Lingkungan
Pasal 85. Negara harus bertindak sesuai dengan penggunaan lahan, sumber daya alam
dan kebijakan lingkungan sebagai berikut:
(1) mempersiapkan dan menerapkan aturan tersebut pada penggunaan lahan di seluruh negara
dengan memperhatikan kepatuhan dengan kondisi lingkungan, sifat tanah dan air dan cara hidup
masyarakat lokal, langkah-langkah efisien untuk pelestarian sumber daya alam, standar
berkelanjutan untuk penggunaan lahan dan pendapat orang-orang di daerah tersebut yang
mungkin terpengaruh oleh aturan tentang penggunaan tanah;
(2) mendistribusikan hak untuk memiliki tanah yang cukup, memungkinkan petani agar berhak
atas kepemilikan atau hak di tanah untuk pertanian secara menyeluruh melalui reformasi tanah
atau dengan cara lain, dan menyediakan sumber daya air untuk distribusi air ke petani untuk
digunakan di bidang pertanian secara memadai dan tepat;
(3) mempersiapkan perencanaan kota dan negara, dan mengembangkan dan melaksanakan
rencana efektif dan efisien untuk tujuan pelestarian sumberdaya alam yang berkelanjutan;
(4) mempersiapkan rencana pengelolaan yang sistematis untuk air dan sumber daya alam lainnya
untuk kepentingan bersama bangsa, dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam
konservasi, pelestarian dan eksploitasi sumber daya alam dan keanekaragaman hayati tepat;
(5) melakukan promosi, konservasi dan perlindungan kualitas lingkungan di bawah prinsip
pembangunan berkelanjutan, dan mengendalikan dan menghilangkan polusi yang dapat
mempengaruhi kesehatan dan sanitasi, kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat dengan
mendorong masyarakat, masyarakat lokal dan pemerintah lokal untuk memiliki partisipasi dalam
penentuan langkah-langkah.
131 Oil and Gas to Thailand. (n.d). diakses dari
https://www.austrade.gov.au/Australian/Export/Export-markets/Countries/Thailand/Industries
132 Konstitusi Kerajaan Thailand (20 Desember 2011). Diakses dari http://mhailsendiri.blogspot.co.id/2011/12/konstitusi-kerajaan-thailand.html pada tanggal 11 Juni 2016
8

Penerapan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang dilakukan oleh perusahaan
merupakan suatu bentuk wujud komitmen pada negara untuk turut membantu kondisi sosial
lingkungan. Perusahaan di Thailand berkomitmen pada masyarakat lokal dan kemanusiaan sesuai
dengan budaya Thai. Masyarakat Thailand diajarkan untuk berbuat sesuatu yang baik dan pantas
untuk orang lain, dimana hal tersebut merupakan hal terpenting dalam kehidupan masyarakat.
Aspek lingkungan dan sosial merupakan hal terpenting dalam berbisnis di Thailand dan ideologi
tersebut merupakan salah satu fondasi CSR sebuat perusahaan. Namun, CSR suatu perusahaan
akan mengalami perubahan seperti kebijakan pemerintah, dan perubahan fokus suatu perusahaan
seperti kepedulian terkait isu pemanasan global.133
Thailand memiliki kebijakan yang salah satunya fokus pada upaya untuk mendorong
penghijauan melalui investasi dan reformasi fiskal. Karakteristik perkembangan Thailand pada
dekade yang lalu adalah grow first, clean later ini dapat menggambarkan betapa banyaknya
peningkatan jumlah emisi CO2 yang dihasilkan.134 Berikut perbandingan Thailand dengan
beberapa negara berkembang di Asia Tenggara lainnya:

133Phoenix Capital Group. (Maret, 25), Corporate Social Responsibility in Thailand diakses dari
http://www.thephoenixcapitalgroup.com/corporate-social-responsibility-in-thailand/ pada tanggal 11 Juni
2016
134Stuctural Policy Country Notes Thailand diakses dari https://www.oecd.org/dev/asiapacific/Thailand.pdf pada tanggal 11 Juni 2016
9

Source: World Development Indicator database, 2012 (http://dx.doi.org/10.1787/888932774680)


Thailand memiliki model pembangunan hijau (green growth) untuk pertumbuhan ekonomi,
dimana adanya penekanan keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan keberlanjtan
lingkungan. Penggunaa green technology atau teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi
seperti ini tidak hanya dapat mempromosikan pertumbuhan ekonomi secara domestik saja tetapi
juga menghasilkan sumber daya yang baik bagi barang ekspor. Teknologi ramah lingkungan
antara lain seperti energi solar, bio-energy (natural gas, biogas, bio-diesel, bio-ethanol) dan
pertanian organik. Saat ini Thailand memiliki ketergantungan energi yang berasal dari fosil dan
sedikit pada energi alternatif.135
Thailand menginisiasi 2 kebijakan terkait pertubuhan hijau, dimana yang pertama perkenalkan
pada saat Nationl and Social Development Plan ke 11 yang kemudian menghasilkan 4 pilar
dalam upaya mempromosikan pertumbuhan rendah karbon di Thailand. 4 pilar tersebut antara
lain: i) penyesuaian struktur ekonomi negara rendah energi dan insentif karbon pada
pertumbuhan ekonomi, ii) pengembangan kota rendah karbon, iii) pencapaian dalam efisiensi
energi dan penyebaran teknologi

rendah karbon secara luas, iv) dorongan dalam efisiensi

sumber daya dan gaya hidup yang berkelanjutan.136


Kebijakan yang kedua adalah hukum lingkungan baru Environment Fiscal Act yang disusun
oleh Menteri Keuangan. Dalam rancangan yang dibuat atas saran SAEO 2011/12, alat-alat fiskal
digunakan untuk memberikan insentif pada kegiatan ekonomi hijau atau yang ramah lingkungan.
Kebijakan fiskal tersebut seperti pajak konsumsi dan produksi barang dan jasa yang meghasilkan
polusi, pengelolaan lingkungan hidup, subsidi untuk produk yang ramah lingkungan.137 Upaya
pengurangan karbon di Thailand: (Source: Anuchitworawong et al. (2012).

Insentif pajak melalui The Board of Investment (BOI). BOI memberikan bebas bea impor
mesin dan tax holiday pada pendapatan delapan tahun pada perusahaan yang terlibat

135 ibid
136 ibid
137 ibid
10

dalam konservasi energi, produksi energi terbarukan dan produk-produk yang ramah

lingkungan.
Hibah investasi

melalui Menteri Energi. Investor dan suatu

perusahaan dapat

mengajukan pemohonan pada Menteri Energi. Adapun investor atau perusahaan yang
dapat mengajukan adalah yang terlibat pada proyek biogas, proyek limbah kota, solar air
panas.
Upaya yang coba untuk dilakukan oleh Menteri Energi ini pun membutuhkan dukungan
terus oleh pemerintah, aktor bisnis, dan masyarakat karena ekonomi Thailand masih belum
cukup hijau. Pemerintah terus menekankan tujuan lingkungan yang lebih hijau dan lebih bersih
dengan terus memberikan edukasi pada masyarakat untuk meningkatkan kepedulian publik pada
perlindungan lingkungan dan juga memiliki rasa tanggung jawab pada linkungan melalui
beberapa tindakan.138
SWOT analysis:
Strength:
-

Kelebihan sektor pariwisata di Thailand membantu upaya perusahaan unuk

kemudian menjalankan tanggung jawab sosial di bidang lingkungan


Adanya undang-undang Thailand terkait kerjasama sektor swasta dengan
masyarakat lokal untuk menangasi isu lingkungan

Weakness:
-

Thailand masih belum mampu menerapkan kebijakan konservasi lingkungan

dengan baik
Kelambanan tindakan pemerintah dalam menangani isu lingkungan
Rendahnya pemahaman mayarakat Thailand akan aksi kepedulian lingungan

Opportunity:

138 Xu, Ping. Environmental Problem and Green Lifestyle in Thailand. Diakses dari
http://www.nanzan-u.ac.jp/English/aseaccu/venue/pdf/2011_05.pdf pada tanggal 19 Juni 2016
11

Isu-isu yang mendunia terkait pemanasan akan membantu pemerintah dan


juga perusahaan untuk membantu meningkatkan kualitas lingkungan dan

sumberdaya manusia
Perusahaan memiliki teknologi dan managemen yang baik, yang sangat dapat

membantu Thailand
Perusahaan Pertamina memiliki kerjasama yang baik dengan PTT, dimana

PTT merupakan perusahaan migas terbesar di Thailand


Perusahaan Pertamina dan PTT memiliki kesamaan budaya

Thailand memiliki beberapa isu lingkungan yaitu perubahan iklim (banjir,

Treat:

kekeringan, suhu ekstrim), polusi air (limbah, sampah), polusi udara (limbah,
-

transportsi, pembakaran hutan), degradasi sumberdaya


Ketidakstabilan kondisi politik di Thailand berpengaruh besar pada isu
lingkungan

12

STRATEGI EKSPANSI

a. Politik
Setelah membahas dan menganalisis politik Thailand, Pertamina menentukan strategi
ekspansi sesuai dengan Risk Assessment and Mitigation Measures sebagai berikut :
Risk Assessment
Resiko politik dan kerusuhan sosial

Mitigation Measures
Pertamina akan fokus pada area yang didukung
pemerintah dimana mengembangkan sektor kerjasama
yang telah ada. Melakukan monitoring pada kasus yang
berjalan dengan pendekatan yang fleksibel sehingga

Ketegangan regional

berusaha pada posisi netral.


Pertamina akan mencari wilayah bisnis yang cenderung
aman dari ketegangan regional seperti menghindari

Korupsi

wilayah perbatasan dan kesenjangan.


Pertamina akan berusaha memberikan citra yang bersih
dari korupsi dengan melakukan audit dan transparansi

Kejahatan Transnasional :

untuk dapat menarik bisnis di Thailand.


Pertamina akan melakukan pengawasan resmi secara

perdagangan manusia

berkala terkait dengan pekerja baik asal Indonesia,

Kebijakan Ramah Lingkungan dan

home country ataupun asing.


Sebagai perusahaan migas, Pertamina berusaha untuk

Berkelanjutan

mengembangkan teknologi yang sesuai dengan standar


lokal serta mengajak kerjasama perusahaan lokal terkait
dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan dan
berkelanjutan.

Dalam bidang bisnis, Pertamina akan mempresentasikan Indonesia di Thailand untuk


membuka kerjasama di bidang sektor lainnya.
b. Ekonomi

13

Dalam aktivitas perdagangan minyak sendiri, Thailand masuk dalam peringkat ke 14


sebagai negara pengimpor minyak mentah terbesar di dunia. Minyak mentah yang
diimport perhari oleh Thailand sebesar 898.000 barrel per hari. Sementara Indonesia
menduduki peringkat ke 23 sebagai pengimpor minyak mentah. 139 Dilihat dari tingginya
kebutuhan minyak mentah di Thailand, strategi ekspansi yang menurut penyusun sesuai
untuk diterapkan adalah joint venture. Pertamina sebagi perusahaan energi nasional
Indonesia, dan PTTGC adalah produsen petrokimia terkemuka Thailand. Pertamina
memiliki dan mengoperasikan lima kilang minyak di seluruh Indonesia. Dengan
kapasitas produksi sekitar satu juta barel minyak mentah per hari, Indonesia berada di
peringkat kelima terbesar di Asia penghasil minyak mentah. Sementara untuk Thailand,
dengan adanya import minyak mentah dari Indonesia sebagai pemenuhan kebutuhan
minyak mentah di Thailand.
Keuntungan strategi join venture bagi Pertamina dengan PTTGC yang notabene adalah
perusahaan di bawah hukum Thailand adalah tarif pajak perusahaan yang pada tahun
2015 mengalami penurunan. Penurunan tarif pajak ini berpengaruh terhadap keuntungan
yang didapatkan perusahaan, dimana semakin rendah tarif pajak profit yang didapat
perusahaan bisa digunakan untuk diinvestasikan kembali. Selain itu dilihat dari Thailand
yang masuk dalam 50 besar negara yang mudah dalam melakukan bisnis dan juga nilai
investasi yang meningkat di Thailand memberi keuntungan tersendiri bagi Pertamina
untuk melakukan ekspansi bisnisnya di Thailand.
c. Sosial Budaya
Dalam aktivitas bisnis yang akan dijalankan oleh Pertamina di Thailand,
Pertamina perlu membuat strategis khusus untuk menarik konsumen terutama dari masyarakat
local Pertamina. Sehingga strategi yang dijalankan harus disesuaikan dengan kondisi social
budaya yang berlaku di Thailand.

139 Data berdasarkan perbandingan import minyak mentah negara di dunia oleh
CIA https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/rankorder/2243rank.html?
countryname=Iran&countrycode=ir&regionCode=mde&rank=72#ir pada tanggal
18 Juni 2016.
14

1. Sebelum melakukan pertemuan bisnis, hal pertama yang harus dilakukan oleh
Pertamina adalah membuat janji dan menysun agenda terkait pertemuan yang akan
dilakukan serta mengirimkan materi terkait hal-hal yang akan dibicarakan dalam
pertemuan.
2. Dalam setiap pertemuan dengan perusahaan setempat, hendaknya Pertamina tidak
hanya menyiapkan materi dalam bahasa Inggris, tetapi juga menyiapkan dalam
bahasa Thailand. Hal tersebut akan menjadi nilai positif bagi Pertamina di lingkungan
bisnis .
3. Selain itu, Pertamina perlu melakukan pendekatan secara personal kepada masyarakat
lokal di Thailand. Selain untuk menjalin hubungan dekat dengan masyarakat, hal
tersebut juga akan meningkatkan kepercayaan masyarakat local terhadap Pertamina.
d. Teknologi
Indonesia dan Thailand merupakan Negara penghasil minyak, namun realitanya
kedua Negara masih melakukan impor minyak dari Negara lain. Hal tersebut sebagai
akibat dari minimnya teknologi dari kedua Negara. Dengan adanya strategi joint venture
ini, Pertamina akan memanfaatkan nya dengan menggandeng badan penelitian nasional
Thailand, yaitu NSTDA (National Science and Technology Development Agency).
Melalui kerjasama Pertamina dan NSTDA ini diharapkan dapat menghasilkan teknologi
yang lebih maju dalam pengolahan minyak mentah yang ramah lingkungan dan dapat
memberikan manfaat, baik dalam bidang ekonomi maupun lingkungan.
e. Hukum
Dengan melakukan bisnis di negara lain, sudah Pertamina harus
mempertimbangkan dan menelaah hukum yang ada di negara
tersebut. Tentunya Pertamina akan bergerak sesuai dengan hukum dan
peraturan yang berlaku di Thailand. Hukum tersebut akan kami
terapkan pada setiap sektor dalam kegiatan bisnis Pertamina termasuk
dalam perlakuan terhadap para pekerja. Dalam perlakuan terhadap
para pekerja, melihat dari labour law di Thailand, hukum tersebut berisi
bermacam-macam peraturan mengenai perlakuan terhadap pekerja
seperti kontrak kerja, jam kerja, gaji, bahkan tentang waktu libur.
Selain menerapkan hukum-hukum yang berlaku, Pertamina akan
melakukan kontrak komersial dengan pihak-pihak tertentu seperti
15

kontrak jual-beli bahan mentah, kontrak distribusi, kontrak kerahasiaan


dan lain-lain. Kontrak-kontrak tersebut akan mempermudah Pertamina
untuk mengembangkan bisnis di Thailand, karena Pertamina akan
mendapat keuntungan dengan bekerja sama dengan pihak-pihak
terkait bidang migas di Thailand. Selain melihat dan menerapkan
hukum-hukum di Thailand, Pertamina juga melihat kompetensi bisnis
dan juga faktor lainnya disana dan juga hukum standarisasi yang
terdapat di Thailand.
f. Lingkungan
Dalam bidang Lingkungan, strategi yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan
CSR Pertamina dimana program-programnya seperti green planet, coastal cleaning up, green and
clean, green festival, uji emisi gas buang. Selain CSR, Pertamina juga dapat memasarkan
produk-produk yang yang dibutuhkan Thailand dan juga ramah lingkungan dimana produk
tersebut adalah olahan minyak yang ramah lingkungan. Seperti yang dikatakan Vichien
Phongsathorn, President and Group CEO of the Premier Group of Companies, mengatakan
bahwa

negara-negara ASEAN terlebih Thailand untuk kemudian fokus pada degradasi

lingkungan dengan adanya polusi dan pemanasan global, masyarakat yang beresiko pada korupsi
dan kemiskinan, dan perlunya keharmonisan hubungan antar sektor bisnis, pekerja, dan sosial
untuk mencapai tujuan.140
1. Masalah : Lambatnya perkembangan teknologi di Thailand
Strategi : Pertamina tidak akan sepenuh nya mengandalkan teknologi yang dimiliki
pihak lokal, disini pertamina mencoba untuk bekerjasama dengan pihak lokal dalam hal
perpaduan teknologi dari masing masing pihak
2. Masalah : Persaingan dengan perusahaan lain

140CSR Thailand Conference 2014 highlights imperative of integrating CSR and sustainability into business
strategy. diakses dari http://www.asean-csr-network.org/c/news-a-resources/csr-news-from-around-asean/148-csrthailand-conference-2014-highlights-imperative-of-integrating-csr-and-sustainability-into-business-strategy), pada
tanggal 19 Juni 2016

16

Strategi : Pertamina akan bersaing secara sehat dengan perusahaan lokal khususnya dalam
hal penjualan oil, karena Pertamina menyesuaikan dengan kebutuhan yang di perlukan
oleh masyarakat sekitar

Daftar Pustaka

2004 ASEAN DECLARATION AGAINST TRAFFICKING IN PERSONS PARTICULARLY


WOMEN AND CHILDREN. Adopted by the Heads of State/Government at the 10th ASEAN
Summit in Vientiane, Laos on 29 November 2004. Retrieved from
[http://www.aseansec.org/16793.htm] June 13, 2016.
A
ABC News.Alexander, Paul. Asian countries again float idea of rice cartel. Retrieved from
http://abcnews.go.com/Business/story?id=4781764&page=1 June 17, 2016
ADB. Asian Development Bank and Thailand: Fact Sheet. (April 2016). Retrieved from
http://www.adb.org/publications/thailand-fact-sheet June 17, 2016.
ASEAN Declaration on Transnational Crime Manila, 20 Desember 1997. (July 4, 2012) ASEAN.
Retrieved
from
http://asean.org/?static_post=asean-declaration-on-transnational-crimemanila-20-december-1997 June 12, 2016
ASEAN Plan Of Action To Combat Transnational Crime. (July 4, 2012). ASEAN. Retrieved from
http://asean.org/?static_post=asean-plan-of-action-to-combat-transnational-crime June 12,
2016
B
Baker & McKenzie. Thailand Unions Guide 2009 (pdf). Retrieved from
http://www.bakermckenzie.com/files/Uploads/Documents/Supporting%20Your
%20Business/Global%20Markets%20QRGs/Trade%20Unions%20and%20Works
%20Councils/qr_thailand_tradeunionsguide_2009.pdf June 17, 2016.
BBC News. ( August 28, 2015). Thailand country profile. Retrieved from
http://www.bbc.com/news/world-asia-15581957 June 15, 2016
Bertelsmann Stiftung, BTI 2016 Thailand Country Report. Gtersloh: Bertelsmann Stiftung,
2016
C
Central Intelligence Agency. (June 16, 2016). Library : The World Factbook Thailand. Retrieved
from https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/th.html June 17, 2016
CNN. Thailand proposes rice cartel idea. (May 2, 2008). Retrieved from
http://edition.cnn.com/2008/WORLD/asiapcf/05/02/thailand.rice.cartel/ June 17, 2016
Corben, Ron. Thai Political Parties Oppose Draft Constitution. (April 11, 2016). Retrieved from
http://www.voanews.com/content/thai-political-parties-oppose-draftconstitution/3279334.html June 16, 2016

17

Corporate Social Responsibility in Thailand. Phoenix Capital Group. (Maret, 25). Diakses dari
http://www.thephoenixcapitalgroup.com/corporate-social-responsibility-in-thailand/
pada
tanggal 11 Juni 2016
Corruption by Country / Territory. Retrieved from https://www.transparency.org/country/#THA
June 16, 2016
CSR Thailand Conference 2014 highlights imperative of integrating CSR and sustainability into
business strategy. diakses dari http://www.asean-csr-network.org/c/news-a-resources/csrnews-from-around-asean/148-csr-thailand-conference-2014-highlights-imperative-ofintegrating-csr-and-sustainability-into-business-strategy) , pada tanggal 19 Juni 2016
D
Deloitte. Taxation and Investment in Thailand 2015. Deloitte Touche Tohmatsu Limited.
E
Energy in Thailand-Fact and Figures Q1 / 2014. (n.d). Diakses dari
http://weben.dede.go.th/webmax/sites/default/files/factsq1_2014.pdf pada tanggal 19 Juni
2016
Environmental Issues-Thailand. (n.d). diakses dari https://www.angloinfo.com/thailand/howto/page/thailand-housing-setting-up-home-environmental-issues pada tanggal 18 Juni 2016
F
G
Global Report On Trafficking In Person 2009. (2009). UNODC. Retrieved from
http://www.unodc.org/documents/Global_Report_on_TIP.pdf June 12, 2016.Hal 55
Global Report On Trafficking In Person 2012 (2012). UNODC. Retrieved from
http://www.unodc.org/documents/data-andanalysis/glotip/Trafficking_in_Persons_2012_web.pdf June 12, 2016.
H
I
IMD releases its 2015 World Competitiveness Ranking. (May 27, 2015) Retrieved from
http://www.imd.org/news/IMD-releases-its-2015-World-Competitiveness-Ranking.cfm June
16, 2016
Index
Mundi,
Thailand

Foreign
Direct
Investment,
diakses
dari
http://www.indexmundi.com/facts/thailand/foreign-direct-investment
International Monetary Fund. Thailand : 2016 Article IV Consultation-Press Release; Staff
Report; and Statement by the Executive Director for Thailand. (June, 2016. Retrieved from
http://www.imf.org/external/pubs/cat/longres.aspx?sk=43935.0 June 17, 2016
J
K
Keyes ,E. Jane. Thailand. (2016). Dalam Encyclopdia Britannica. Diakses dari
http://www.britannica.com/place/Thailand pada tanggal 21 Juni 2016
Konstitusi Kerajaan Thailand. (20 Desember 2011). Diakses dari
http://mhailsendiri.blogspot.co.id/2011/12/konstitusi-kerajaan-thailand.html pada tanggal 11 Juni 2016
L
Larsen, Jacqueline Joudo. (2010) . Migration and People Trafficking in Southeast Asia.
Canberra. Australian Institute of Criminology. No. 401 November 2010.
M
N
O
18

Oil

and
Gas
to
Thailand.
(n.d).
diakses
dari
https://www.austrade.gov.au/Australian/Export/Export-markets/Countries/Thailand/Industries
Oil
Refining
in
Thailand-overview.
Diakses
dari
https://www.mbendi.com/indy/oilg/ogrf/as/th/p0005.htm pada tanggal 18 Juni 2016
Overview of Environmental Issues and Environmental Conservation Practices in Thailand. (n.d).
diakses dari https://www.env.go.jp/earth/coop/oemjc/thai/e/thaie1.pdf pada tanggal 19 Juni
2016
P
Pedoman Tata Kelola Perusahaan. Diakses dari http://www.pertamina.com/companyprofile/pedoman-tata-kelola-perusahaan/, pada tanggal 21 Juni 2016
Pertamina dan Lingkungan. Diakses dari http://www.pertamina.com/social-responsibility/csrprogram/pertamina-dan-lingkungan/, pada tanggal 21 Juni 2016
Ping, Xu. Environmental Problem and Green Lifestyle in Thailand. Diakses dari
http://www.nanzan-u.ac.jp/English/aseaccu/venue/pdf/2011_05.pdf pada tanggal 19 Juni
2016
Profil Perusahaan. Diakses dari http://www.pertamina.com/company-profile/, pada tanggal 21
Juni 2016
Parameswaran, Prashanth. A Surge in Southeast Asian Transnational Crime?. (January 2, 2015).
Retrieved from http://thediplomat.com/2015/01/a-surge-in-southeast-asian-transnationalcrime/ June 17, 2016
Q
R
Registered
vehicles
Data
by
country.
Diakses
dari
http://apps.who.int/gho/data/node.main.A995 pada tanggal 19 Juni 216
Royal Thai Government. G77 and UNCTAD to promote close collaboration to achieve
sustainable and inclusive development. (March 9, 2016). Retrieved from
http://www.thaigov.go.th/index.php/en/government-en1/item/101032-101032 June 17, 2016.
S
SET. Taxation on Equities Investment. (Septmber, 2014). Retrieved from
http://www.set.or.th/en/regulations/tax/tax_p1.html June 16, 2016
Stuctural Policy Country Notes Thailand. Diakses dari https://www.oecd.org/dev/asiapacific/Thailand.pdf pada tanggal 11 Juni 2016
T
Thailand. 2013 Global Corruption Barometer. Transparency International. 2013. Retrieved
from http://www.transparency.org/gcb2013/country/?country=thailand 14 Juni 2016
Thailand. Diakses dari http://data.un.org/CountryProfile.aspx?crname=Thailand , pada tanggal
21 Juni 2016
Thailand Country Profile. (28 Agustus 2015). Dalam BBC News. Diakses dari
http://www.bbc.com/news/world-asia-15581957, pada tanggal 21 Juni 2016
Thaiand Is One of Top 50 Economies for Dong Business. (2015). Diakses dari
http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2015/10/28/thailand-is-one-of-top-50economies-for-doing-business pada tanggal 18 Juni 2016
Thailands
renewable
Energy
Surge.
(2014).
Diakses
dari
http://www.forbes.com/sites/naazneenkarmali/2014/06/04/thailands-renewable-energysurge/#93ad47d66e6c. pada tanggal 18 Juni 2016

19

The Customs Department. GENERAL PROHIBITIONS AND RESTRICTIONS. Retrieved from


http://www.customs.go.th/wps/wcm/connect/custen/traders+and+business/prohibited+and+re
stricted+items/general+prohibitions+and+restrictions/generalprohibitionsandrestrictions June
16, 2016.
The Nation, Reuters. Labour union drags Thailand to the ILO. (October 8, 2015) Retrieved from
http://www.nationmultimedia.com/national/Labour-union-drags-Thailand-to-the-ILO30270424.html June 16, 2016
The Revenue Department, Income Tax Guide for Foreign Company, diakses dari
http://www.rd.go.th/publish/20470.0.html
The
World
Factbook
:
Thailand
Economy,
diakses
dari
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/th.html pada tanggal 20
Juni 2016.
Trading Economic : Thailand GDP, diakses dari http://www.tradingeconomics.com/thailand/gdp
pada tanggal 20 Juni 2016.
The World Factbook : Thailand Economy, diakses dari
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/th.html pada tanggal 20
Juni 2016.
U
V
Viroat Srisurapanon dan Chana Wanichapun. Environmental Policies in Thailand and Their
Effects.Department of Civil Engineering, King Mongkuts University of Technology
Thonburi. Diakses dari http://www.un.org/esa/gite/iandm/viroatpaper.pdf pada tanggal 19
Juni 2016
W
World Bank, 2015, Thailand is one of top 50 economies for doing business, diakses dari
http://www.worldbank.org/en/news/press-release/2015/10/28/thailand-is-one-of-top-50economies-for-doing-business
World Bank Group. Doing Business : Ease of Doing Business in Thailand. Retrieved from
http://www.doingbusiness.org/data/exploreeconomies/thailand/ June 17, 2016
World Economic Forum. Menurut Global Competitiveness Report 2015-2016. (2015). Retrieved
from http://www3.weforum.org/docs/gcr/2015-2016/Global_Competitiveness_Report_20152016.pdf June 17, 2016.
World Bank, Thailand : GDP, diakses dari
http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD/countries/TH?display=graph pada
tanggal 20 Juni 2016.
World
Trade
Organization.
Thailand
and
the
WTO.
Retrieved
from
https://www.wto.org/english/thewto_e/countries_e/thailand_e.htm June 17, 2016
World Trade Organization. Trade Policy Review. (October 20, 2015). Retrieved from
https://www.wto.org/english/tratop_e/tpr_e/s326_e.pdf June 17, 2016.
X
Y
Z

20

Lampiran.1 Undang-Undang Anti Dumping


WORLD TRADE
G/ADP/N/1/THA/4
G/SCM/N/1/THA/4

ORGANIZATION

20 December 1999
(99-5491)

Committee on Anti-Dumping Practices

Original: English

Committee on Subsidies and Countervailing Measures

NOTIFICATION OF LAWS AND REGULATIONS


UNDER ARTICLES 18.5 AND 32.6 OF THE AGREEMENTS
THAILAND
The following communication, dated 14 December 1999, has been received from the
Permanent Mission of Thailand.
_______________
TABLE OF CONTENTS
Page
THE ANTI-DUMPING AND COUNTERVAILING ACT, B.E. 2542.................................................2
SECTION I

GENERAL PROVISIONS.......................................................................................3

SECTION II

DUMPING...............................................................................................................3

SECTION III

INJURY...................................................................................................................5

SECTION IV

DOMESTIC INDUSTRY........................................................................................6

SECTION V

DUMPING DETERMINATION..............................................................................7

Part I

General Provision..................................................................................................7

Part II

Initiation of Investigation......................................................................................7
21

Part III

Dumping and Injury Investigations........................................................................8

Part IV

Provisional Measures.............................................................................................9

Part V

Undertakings.......................................................................................................10

SECTION VI

ANTI-DUMPING DUTY......................................................................................11

SECTION VII

STATUTORY TIME-LIMIT OF INVESTIGATIONS...........................................12

SECTION VIII DURATION AND REVIEWS...............................................................................12


SECTION IX

JUDICIAL REVIEWS...........................................................................................13

SECTION X

SUBSIDIES...........................................................................................................13

SECTION XI

THE COMMITTEE...............................................................................................16

SECTION XII

TEMPORARY PROVISION.................................................................................18

THE ANTI-DUMPING AND COUNTERVAILING ACT


B.E. 2542
(Unofficial Translation)
Whereas it is expedient to enact an anti-dumping and countervailing legislation; certain
statutes within which pertain to the limitation on freedom of business undertaking and career, for
which Article 29, together with Article 50 of the Constitution of the Kingdom of Thailand authorizes
its enforcement by the power of law.
Article 1. This Act is called "Anti-Dumping and Countervailing Act B.E. 2542".
Article 2. This Act is to be in force commencing on the ninetieth day after its publication in
the Royal Gazette.
Article 3. The Anti-Dumping Act, B.E. 2507 is hereby nullified.
Article 4. In this Act:
"Injury" means injury pursuant to Section III;
"Domestic industry" means a domestic industry pursuant to Section IV;
"Subject merchandise" means a product which is alleged of being dumped or subsidized;
"Like product" means a product which is identical, i.e. alike in all respects to the subject
merchandise, or in the absence of such a product, another product which, although not alike in all
respects, has characteristics closely resembling those of the subject merchandise;
"Level of trade" means a series of stages for a merchandise to reach the consumer;
"Dumping margin" means the margin by which the export price is lower than the normal
value;
"Interested party" means:
22

(i)
a foreign producer, exporter or the importer of the subject merchandise, or a trade or
business association a majority of the members of which are producers, exporters, or importers of
such product;
(ii)
Thailand;

the government of a country from which the subject merchandise is exported to

(iii)
a producer of the like product in Thailand or a trade or business association the
majority of the members of which are producers of the like product in Thailand;
(iv)

any other entity designated by the Minister of Commerce to be an interested party.

"Duties" means preliminary duties, anti-dumping or countervailing duties as the case may be;
"Committee" means the Committee on Dumping and Subsidies.
Article 5. The Minister of Finance shall be responsible in accordance to this Act exclusively
with issues pertaining to the Customs Department; and is thus authorized to issue ministerial
regulations as prescribed under Article 11 to maintain compliance with this Act.
The Minister of Commerce shall take actions in accordance with this Act and is herewith
authorized to issue ministerial regulations and notifications to maintain compliance with this Act.
Ministerial regulations and notifications are in effect from the date of publication in the
Royal Gazette.
Article 6. The Minister of Commerce is herewith authorized to issue ministerial regulations
specifying methodologies, and procedures concerning the determinations of dumping, subsidies,
injuries, anti-dumping measures, countervailing measures, reviews, including any measure relating to
this Act in so far as such measure is not an obstacle to, or counteract the provisions of this Act.
Where appropriate, the ministerial regulations as provided in paragraph one can be issued, in
specific instances, in the form of Ministry of Commerce Notification.
SECTION I
GENERAL PROVISIONS
Article 7. A determination to impose any anti-dumping or countervailing measure shall
include the consideration on the interests of the domestic industry, consumer, and public interests.
Article 8. For the purpose of enforcing this Act, when the Committee deems appropriate, it
may in writing direct the Customs Department to register any import or export, to collect information
pertaining to any import or export. In such instances, the Customs Department is authorized to
secure from any importer or exporter information as requested by the Committee. Where
appropriate, Customs legislations shall apply mutatis mutandis.

23

Article 9. The petitioner, importers, or foreign exporters may request a disclosure of


information used in the determination of preliminary measure, duty assessments and reviews in the
manner prescribed in Ministry of Commerce regulations.
The request as described in paragraph one shall be submitted no later than one month from
the date of the decision to impose a measure, whether preliminary or final.
Article 10. Pertaining to petitions for anti-dumping investigations, countervailing
investigations, undertakings, reviews, including other information requests, the Ministry of
Commerce is authorized to issue notifications prescribing fees or expenses in the amount
commensurable to such tasks.
Article 11. The refund of duties or prepaid duty guarantee as prescribed in this Act shall be
in accordance with ministerial regulations.
SECTION II
DUMPING
Article 12. Any act of dumping which causes injuries as prescribed in Section III to the
domestic industry as prescribed in Section IV is unlawful and retaliatory measures are hereby
permitted.
Article 13. An act of dumping, in the present Act, is the introduction of a merchandise into
the commerce of Thailand at an export price below its normal value.
Article 14. An export price is the price actually paid or payable for the product exported
from the exporting country into Thailand.
In cases where there is no export price or where it appears that the export price is unreliable
because of an association or a compensatory arrangement between the parties involved, the export
price may be constructed on the basis of the price at which the subject merchandise is first resold to
an independent buyer, or if the merchandise are not resold to an independent buyer, or are not resold
in the condition in which they were imported, on any suitable basis.
In cases such as those described in paragraph two, the calculation to establish an export price
shall include adjustments for all costs including duties and taxes incurred, and for profits accruing,
between importation and resale.
Article 15. Normal value is based on the prices paid or payable, in the ordinary course of
trade, by independent customers in the exporting country. It is derived from the sale of merchandise
in a sufficient quantity of no less than five (5) percent of the export of the subject merchandise from
the exporting country into Thailand. However, a lower volume of sales may be used where it can be
demonstrated that domestic sales at such volume are the price in the country of export.
In cases where the price as established in paragraph one cannot be found, or such prices are
unreliable because of an association or a compensatory arrangement between the parties involved, or
because of the particular market situation in the exporting country renders it impossible to obtain a
proper comparison, the normal value shall be determined from the following prices:
24

(i)
the export price of the like product, in the normal course of trade, from the exporting
country to an appropriate third country, if it can be demonstrated that such price is indicative of the
price in the country of export; or,
(ii)
the price constructed from the cost of production in the country of origin plus a
reasonable amount for selling, general and administrative costs and for profits.
In cases where the price as described in paragraph one or paragraph two (i) is lower than the
cost of production, plus selling, general, administrative and other costs; having investigated such
sales within an extended period of time in substantial quantities; and having found that they occurred
at prices which do not provide for the recovery of all costs within a reasonable period of time; it shall
thus be determined that such sales are not in the normal course of trade and cannot be used for the
purpose of establishing the normal value, except when that price found is above the weighted average
per unit costs for the period of investigation.
Article 16. In cases of imports from non-market economy countries, the determination of
normal value as prescribed in Article 15 shall be made on the basis of the price in a market economy
third country, or where such is not possible, on any other reasonable basis, including the prices in
Thailand as appropriate.
Article 17. In cases where a merchandise is imported into Thailand from an intermediate
country, the price information of that exporting country shall be used as a basis in establishing the
normal value as prescribed in Article 15. However, comparisons may be made with the price in the
country of origin if the merchandise are merely transhipped through the country of export; or such
merchandise are not produced in the country of export; or there is no comparable price for them in
the country of export.
Article 18. A fair comparison shall be made between the export price and the normal value.
It shall be made at the same level of trade and as nearly as possible at the same time. Due allowance
shall be made for various differences which affect price comparability.
As established in paragraph one, the methodology for establishing a dumping margin shall be
as follows, except in cases where there is sufficient cause to utilize other methodologies:
(i)
comparison of a weighted average normal value with a weighted average prices of all
comparable export transactions;
(ii)

comparison of normal value and export prices on a transaction-by transaction basis;

(iii)
if it is found that there is a pattern of export prices which differ significantly among
different purchases, regions, or time periods, a normal value established on a weighted average basis
may be compared to prices of individual export transactions.
The determination of the dumping margin may be done through sampling in accordance to
the methodology as prescribed by the Ministry of Commerce.
SECTION III
25

INJURY
Article 19. Unless otherwise specified, under this Act, the term "injury" shall be taken to
mean:
(i)
(ii)
(iii)

material injury to a domestic industry,


threat of material injury to a domestic industry; or,
material retardation of the establishment of a domestic industry.

Article 20. The determination that there is material injury to a domestic industry as
prescribed in Article 19(i) shall be based on positive evidence and shall involve an objective
examination of both
(i)
the volume of the dumped imports and the effects of the dumped imports on prices in
the domestic market for like products; and,
(ii)

the consequent impact of these imports on domestic producers of like products.

Where imports of a product from more than one country are simultaneously subject to antidumping investigations, if it is found that the margin of dumping established in relation to the
imports from each country is more than de minimis as defined in Article 28, and cumulative
assessment of injury as defined in Article 19 (i), the effects of such imports may be cumulatively
assessed when it is appropriate in light of the conditions of competition between the imported
products and the like domestic product.
Article 21. In the determination of injury as prescribed in Article 19 (i), the demonstration of
a causal relationship between the dumped imports and the injury to the domestic industry shall be
based on an examination of all relevant evidence. Any known factor other than the dumped imports
which at the same time are injuring the domestic industry, and the injuries caused by those factors
must not be attributed to the dumped imports. Factors which may be relevant in this respect include,
inter alia, the volume and prices of imports not sold at dump prices, contraction in demand or
changes in the pattern of consumption, trade-restrictive practices of and competition between the
foreign and domestic producers, developments in technology and the export performance and
productivity of the domestic industry.
Article 22. A determination of threat of material injury to a domestic industry referred to in
Article 19(ii) shall be based on facts and not merely on allegation, conjecture, or remote possibility.
The change in circumstances which would create a situation where the dumping would cause injury
must be clearly foreseen and imminent or indicate the imminent likelihood of further dumped imports
and that, unless protective action is taken, material injury will occur. In making a determination
regarding the existence of a threat of material injury, consideration should be given to factors such as:
(i)
a significant rate of increase of dumped imports into the domestic market of Thailand
indicating the likelihood of substantially increased importation;
(ii)
sufficient freely disposable capacity of the exporter or an imminent and substantial
increase in such capacity indicating the likelihood of substantially increased dumped imports into
Thailand, due account being taken of the availability of other export markets to absorb any additional
exports;
26

(iii)
whether imports are entering at prices that would, to a significant degree, depress
prices or prevent price increases which would have otherwise occurred, and would probably increase
demand for further imports; and,
(iv)

inventories of the subject merchandise.

Article 23. In order to determine whether material retardation to an establishment and


development of a domestic industry under Article 19(iii) exists, factors which may lead to a material
retardation including the possible viability and time period required for the establishment and
establishment of such a domestic industry shall be present.
SECTION IV
DOMESTIC INDUSTRY
Article 24. For the purpose of this Act, the term "domestic industry" refers to the domestic
producers as a whole of the like products whose collective output of the products constitutes a major
proportion of the total domestic production of the product, except:
(i)
when producers are related to the exporters or importers or are themselves importers
of the allegedly dumped product, such producers may be considered as not being a part of the
domestic industry;
(ii)
if the territory of Thailand is, for the production in question, divided into more than
one competitive markets, the producers of the like products within each market may be regarded as a
separate domestic
industry if the producers of like products within such market sell all or
almost all of their production of the product in question in that market, and the demand in that market
is not to any substantial degree satisfied by producers of like products located elsewhere in Thailand.
For the purpose of paragraph one (i) above, producers shall be deemed to be related to
importers or exporters of subject merchandise if one of them controls the other, or both of them are
directly or indirectly control a third person, provided that there are grounds for believing or
suspecting that the effect of the relationship is such as to cause the producers concerned to behave
differently from non-related producers. In such cases, one shall be deemed to control another when
the former is legally or operationally in a position to exercise restraint or direction over the latter.
For the purpose of paragraph one (ii) injury may be found to exist in that particular market
even where major proportion of the total domestic industry is not injured. In such circumstances,
anti-dumping duty shall be levied only on the subject merchandise consigned for consumption in that
market. When it is not practicable to levy anti-dumping duty on such a basis or the exporters fail to
submit appropriate undertaking proposal as prescribed in Article 44, anti-dumping duty may be levied
on all the subject merchandise imported into Thailand.
SECTION V
DUMPING DETERMINATION
Part I - General Provision
27

Article 25. The methodology for determining dumping not being articulated in this Section
shall be in accordance with ministerial regulations.
Article 26. Any information which is by nature confidential or which is provided on a
confidential basis shall be accorded confidentiality.
Such information shall not be disclosed without specific permission of the party submitting
it. Interested parties providing confidential information shall be required to furnish non-confidential
summaries thereof. If the supplier of the information is either unwilling to make the information
public or to consent to the disclosure of such information within the established time limits, such
information may be disregarded.
Article 27. In cases where any interested party refuses access to, or otherwise does not
provide necessary information within an established time period or significantly impedes the
investigation, the determination may be based on facts available or leading to a result which is less
favorable to that party.
Article 28. There shall be an immediate termination in cases where it is determined that the
margin of dumping is de minimis , or that the volume of dumped imports is negligible, as prescribed
in a ministerial regulation.
Article 29. During the course of an investigation, the Department of Foreign Trade or the
Committee, as the case may be, may initiate a verification on claims or evidence submitted.
Such verifications may be conducted at any time during the course of an investigation and
may be thus conducted in Thailand, the exporting country or other countries involved.
Article 30. The Department of Foreign Trade shall, before a final determination is made by
the Committee, inform all interested parties of the essential facts under consideration which form the
basis for the determination. Such disclosure should take place in sufficient time for the parties to
defend their interests.
Article 31. After the publication of the notice of initiation as prescribed in Article 39, if
there are reasonable grounds to believe that eventually the final anti-dumping duty may be collected
retroactively prior to the date of application of provisional measures, the Committee may assign the
Customs Department to impose a duty on the subject merchandise imported during such period. In
this regard, the Customs Department is authorized to request the collateral in the amount designated
by the Committee.
Part II - Initiation of Investigation
Article 32. An anti-dumping investigation is initiated when there is a petition made by the
Department of Foreign Trade, or a legal person, or a group of legal persons in accordance with
Article 33.

28

Article 33. A legal person or a group of legal persons may submit a petition to initiate an
investigation on behalf of the domestic industry to the Committee via the Department of Foreign
Trade.
The petition as prescribed in paragraph one must be supported by those domestic producers
whose collective output constitutes more than fifty (50) per cent of the total production of the like
product produced by that portion of the domestic industry expressing either support for or opposition
to the application. However, no investigation shall be initiated when domestic producers expressly
supporting the application account for less than twenty-five (25) per cent of the total production of
the like product produced by the domestic industry.
The submission of petition shall be in accordance with Ministry of Commerce notifications.
Article 34. If the petition as prescribed in Article 33 is incomplete or incorrect, the
Department of Foreign Trade shall thus notify the petitioner to complete or correct the petition within
a specified time limit.
When a petition is complete and correct, the Department of Foreign Trade shall forward the
petition to the Committee for consideration.
Article 35. When the Committee had received the petition as specified in Article 32, the
Department of Foreign Trade shall notify the government of the exporting country (ies) of the receipt
of such petition.
Article 36. The petitioner may withdraw its petition. Nevertheless, should this be done after
the initiation as prescribed in Article 39, the Committee may continue or terminate the case as it sees
fit.
Article 37. When the Committee determines that there is sufficient evidence of dumping,
injury and causal link, the Department of Foreign Trade shall commence its investigation without
delay.
When the Committee determines that there is no sufficient evidence of dumping, injury and
causal link, the Department of Foreign Trade shall inform the petitioner thus without delay.
Article 38. When a government of a third country lodges a complaint that there is dumping
from an exporting country into Thailand, causing injury to the domestic industry concerned in that
third country; and after the Committee determines that an anti-dumping proceeding be initiated, the
Department of Foreign Trade shall proceed as directed by the Committee in accordance to this
Section mutatis mutandis after receiving an approval from the World Trade Organization (Council
for Trade in Goods).
When the Department of Foreign Trade deems appropriate; or when a domestic industry
lodges a petition that there is dumping from an exporting country into an importing country, causing
injury to a Thai domestic industry; and that the Department of Foreign Trade determines that the
complaint is warranted, it shall lodge such a complaint to the importing country to initiate an antidumping proceeding.

29

The methodology and guideline for the implementation of paragraph one and paragraph two
shall be in accordance with ministerial regulations.
Part III - Dumping and Injury Investigations
Article 39. In the process of an anti-dumping proceeding, the Department of Foreign Trade
shall investigate both the dumping and injury. The initiation of an investigation shall be published in
the Royal Gazette and in the local newspaper in Thai and English as appropriate.
An initiation notice shall include the following information:
(i)

complete description of the subject merchandise;

(ii)

exporting country (ies) and interested country (ies) involved;

(iii)

summary of factual evidence;

(iv)

requests for factual details or evidence and fees involved;

(v)

time-limits allowed for interested parties to present their facts and views in writing;

(vi)
time-limits allowed for interested parties to make known their intention to present
oral arguments pertaining to the determination of dumping and resulting injury.
The Department of Foreign Trade shall inform in writing the petitioners, exporters, importers
or representatives thereof known to it of the initiation of the proceeding.
Article 40. Upon completion of the dumping and injury investigations, the Department of
Foreign Trade shall prepare a report of its findings and submit it to the Committee for deliberation.
Part IV - Provisional Measures
Article 41. If the Committee makes an affirmative preliminary determination of dumping
and consequent injury and further determines that provisional measures being necessary to prevent
injury to the domestic industry, it may impose provisional measures by applying provisional duty or
requiring a bond for the purpose of levying that provisional duty.
The provisional duty imposed under paragraph one shall be no greater than the preliminarily
determined margin of dumping.
In cases where a provisional duty is levied, customs and customs tariff legislation are to be
enforced in the collection of that provisional duty as though it were import duty by law. Such
collected provisional duty or bonds shall be held in compliance with Articles 51,52 until there is no
longer a cause to do so.
Article 42. Provisional measures shall be applied no sooner than sixty (60) days from the
date of publication of the notice of initiation of the investigation.
30

The application of provisional measures shall be limited only to the period necessary and
shall be in compliance with the following:
(i)
under normal circumstances, the application of provisional measures may not exceed
four (4) months;
(ii)
upon request by exporters representing a significant percentage of the trade involved,
the Committee may extend the application period beyond four (4) months but not exceeding six (6)
months;
(iii)
if, during the course of an investigation, the issue of whether a duty lower than the
margin of dumping would be sufficient to remove injury is examined, the Committee may extend the
period referred to in (i) above beyond four (4) months but not exceeding six (6) months and the
period referred in (ii) may be extended beyond six (6) months but not exceeding nine (9) months,
respectively.
Part V Undertakings
Article 43. An anti-dumping proceeding may be suspended with respect to any exporter
without the imposition of provisional measures or the levying of a final anti-dumping duty when
there is an undertaking between that exporter and the Department of Foreign Trade with respect to
price revisions or cessation of that export at dumped prices.
The Department of Foreign Trade may enter into an undertaking only if it is satisfied that, by
entering into such an undertaking, the injurious effect of the dumping will be terminated. However,
price increases under such undertakings shall not be higher than necessary to eliminate the dumping
margin.
To become effective, an undertaking must be approved by the Committee.
Article 44. An undertaking may be accepted only after the Committee has made a
preliminary determination.
An undertaking may be proposed by exporters or put forward by the Department of Foreign
Trade.
The Department of Foreign Trade may reject undertakings offered by exporters for any
reasons including reason of general policy. In such a case, the Department of Foreign Trade, where
practicable, shall provide to the exporters the reasons which have led it to regard such an acceptance
of an undertaking as inappropriate.
Article 45. The fact that a foreign exporter does not offer an undertaking, or does not accept
a proposal of the Department of Foreign Trade to enter into an undertaking, shall in no way prejudice
the consideration of the case.
Article 46. The foreign exporters who have entered into an undertaking with the Department
of Foreign Trade shall provide information within the time period specified by the Department and
shall permit the verification of such information by the Department. In cases where there is a
31

violation of an undertaking, provisional measures may be applied on facts available basis and the
anti-dumping investigation previously suspended may be continued.
Article 47. Upon acceptance of an undertaking, the anti-dumping proceeding may
nevertheless be completed by the Committee if the exporters so desire by indicating their intention in
the undertaking; or if undertakings are accepted in respect to some but not all the exporters involved;
or if such undertakings are subsequently violated; or if the Committee so decides due to other
considerations.
Pursuant to the provisions in the preceding paragraph, upon the completion of the final
determination if:
(i)
a negative final determination is made, the undertaking shall automatically lapse,
except in cases where such a determination is due in large part to an undertaking. In such cases, the
Committee may require that an undertaking be maintained for a reasonable period;
(ii)
an affirmative final determination with respect to dumping and subsequent injury are
made, the undertaking shall continue;
(iii)
an affirmative final determination is made with respect to dumping and subsequent
injury is made in case of a violation of an undertaking, the Committee may levy definitive anti
dumping duty retroactively on products entered for consumption not more than ninety (90) days
before the application of a provisional measure, except that any such retroactive assessment shall not
apply to imports entered before the violation of the undertaking.
Article 48. The provisions of Section VIII shall apply, mutatis mutandis to undertakings
accepted.
SECTION VI
ANTI-DUMPING DUTY
Article 49. When an affirmative final anti-dumping determination is made by the
Committee, the amount of anti-dumping duty to be imposed shall be that which would be adequate to
remove the injury and shall in no case exceed the dumping margin.
Anti-dumping duty shall be collected in the appropriate amount in each case on a nondiscriminatory basis from each exporter found to be dumping, except as to imports from those
exporters for which undertakings under the terms of Part v, Section V are applicable.
In cases where the final anti-dumping duty is levied, customs and customs tariff legislations
are to be enforced in the collection of such duty as though it were import duty by law. Such duty
levied shall be held in compliance with Article 59 until there is no longer a cause to do so.
Article 50. When a sampling method is used to determine the dumping margin in
accordance with Article 18, paragraph three, any anti-dumping duty shall be assigned for those
selected importers. For those not selected for sampling, their anti-dumping rates shall not exceed the
32

weighted average dumping margin found. However, if any party subject to such duties is able to
provide complete information relevant to his case within the time period specified by the Committee,
an appropriate rate shall be determined individually for that party.
Exceptions shall be made in cases where the number of individual parties is so large that
examination would be unduly burdensome and prevents the timely completion of the investigation
pursuant to Article 54, the duty at an amount not exceeding their weighted average may be levied.
Article 51. Where a final determination of injury as described in Article 19(i), or
Article19(ii) is made, where the effect of the dumped imports would, in the absence of the
provisional measures, have led to a determination of injury referred to in Article 19(i), the Committee
may levy anti-dumping duty retroactively for the period in which provisional measures have been
applied in accordance with Ministry of Commerce notifications.
If the final anti-dumping duty levied pursuant to the provisions of the preceding paragraph is
higher than the provisional duty applied, the difference shall not be collected. If the final antidumping duty is lower than the provisional duty applied, the difference shall be reimbursed.
Article 52. Where a determination of injury referred to in Article 19(ii) or Article 19(iii) is
made, the Committee may impose anti-dumping duty only from the date of the determination of
injury under Article 19(ii) or 19(iii), as the case may be, and any provisional duty imposed shall be
reimbursed in an expeditious manner.
Where the Committee has determined that there is no dumping or injury in its final
determination, the provisional duty or bond collected shall be reimbursed in an expeditious manner.
Article 53. In cases where a measure under Article 31 is taken, the Committee may impose
anti-dumping duty retroactively for a period of no more than ninety (90) days prior to the date of
imposition of provisional measures if:
(i)
there is a history of dumping of such subject merchandise which caused injury; or
that the importers were, or should have been, aware that such exporters were dumping and that such
dumping would cause injury; and
(ii)
the injury is caused by massive imports of a subject merchandise in a relatively short
term which, in light of timing and the volume of the dumped imports and other circumstances, is
likely to seriously undermine the remedial effect of the final anti-dumping duty without the use of
anti-dumping duty prior to the date when the preliminary measure is in place.
Prior to the imposition of anti-dumping duty as prescribed in paragraph one, the importers
concerned must be given an opportunity to comment.
SECTION VII
STATUTORY TIME-LIMIT OF INVESTIGATIONS
Article 54. Investigations shall, except in special circumstances, be concluded within one (1)
year, and in no case more than eighteen (18) months, after their initiations.

33

SECTION VIII
DURATION AND REVIEWS
Article 55. An anti-dumping duty under Section VI shall remain in effect only as long as and
to the extent necessary to counteract dumping which is causing injury.
Article 56. The need for continued imposition of the duty may be reviewed by the
Committee on its own initiative or at the request of an interested party, provided that such an
interested party submits positive information substantiating the need for such a review.
The review above shall be conducted expeditiously and shall be concluded within one year
from the date of initiation of the review.
The anti-dumping duty remains in effect pending the outcome of the review.
Article 57. An anti-dumping duty shall be terminated on a date no later than five years from
its imposition or from the date of the most recent review if that review has covered both dumping and
injury, unless the Committee determines, on its own initiative or upon a request made by or on behalf
of the domestic industry within a reasonable period of time prior to the date that the expiry of the
duty would be likely to lead to continuation or recurrence of dumping.
Article 58. Exporters or producers outside of Thailand who have not exported the product
to Thailand during the period of investigation may request a review for the purpose of determining
their individual dumping margins, provided that these exporters or producers can demonstrate that
they are not related to any of the exporters or producers outside Thailand who are subject to the antidumping duty. In this regard, paragraph two of Article 24 shall apply mutatis mutandis, to this
Article.
No anti-dumping duty may be levied on imports from such exporters or producers while the
review is being carried out. However, if such a review results in a determination of dumping or the
Committee determines that exporters or producers requesting a review are related to any of the
exporters or producers outside Thailand who are subject to the anti-dumping duty on the product, the
Committee may levy anti-dumping duty retroactively to the date of the initiation of the review and
Article 31 shall apply mutatis mutandis.
Article 59. An importer may request reimbursement of duty collected where it can be
demonstrated that the dumping margin has been eliminated, or reduced to a level which is below the
level of duty in effect.
A request for review under the preceeding paragraph may be submitted to the Committee
within six (6) months from the date of payment of that duty.
Article 60. The provisions in Part I, Part II, Part III of Section V and Section VI are to be in
effect for reviews and refunds, mutatismutandis, as prescribed in this Section.
SECTION IX
JUDICIAL REVIEWS
34

Article 61. Those wishing to appeal a final determination made by the Committee in
accordance with Article 49 or review determination in accordance with Articles 56, 57, 58, and 59
may file their appeal to the Court of Intellectual Property and International Trade within thirty (30)
days from the date of the final determination.
The appeal process as indicated in paragraph one shall not be a cause for mitigation of the
levying or refund of duty in this Act, except where the Court of Intellectual Property and
International Trade otherwise directs.

SECTION X
SUBSIDIES
Article 62. In this Section,
Government shall include any public body;
Certain Enterprise means an enterprise or industry or a group of enterprises or a group of
industries
Article 63. In this Act, a subsidy is deemed to exist where the government of the country of
origin or exporting country is engaged in the following activities and a benefit is thereby conferred:
(i)

granting of a financial contribution including:

(a)
any activity which will eventually result in a transfer of funds or liability
being reduced or terminated;
(b)

foregoing or non-collection of government revenue that is otherwise due;

(c)
governmental purchase or provision of goods or services other than general
infrastructure; or,
(d)
king of payments to a funding mechanism, or the acts of entrusting or directing on a
private body to carry out one or more of the types of functions illustrated in (a), (b), or (c) above.
(ii)
giving any form of income or price support, whether direct or indirect, n order to
increase an export or reduce an import of any product.
The exemption of an export from customs surcharge or taxes borne by the like product when
destined for domestic consumption, or the remission of such duties or taxes in amounts not in excess
of those which have accrued, shall not be deemed to be a financial contribution referred to in
paragraph one of this Article.
Article 64. The following types of subsidies are deemed to be specific:
(i)

a subsidy to which access is limited to certain enterprises, whether in law or in fact;


35

A subsidy for which eligibility is based on an objective criterion or upon conditions which
are neutral, do not favor certain enterprises over others, and which are economic in nature and
horizontal in application shall not be deemed to be specific.
To determine whether there is subsidy to certain enterprises, factors other than those
mentioned in the second paragraph shall also be considered. Such factors shall include: (a) the
receipt or use of a subsidy programme by certain enterprises more than others; and, (b) the manner in
which discretion has been exercised by the granting authority in the decision to grant a subsidy.
Account shall be taken of the extent of diversification of economic activities, as well as of the length
of time during which the subsidy programme has been in operation.
(ii)
a subsidy which is limited to certain enterprises located within a designated
geographical region. However, the setting or change of generally applicable tax rates shall not be
deemed to be a specific subsidy for the purposes of this Article.
Any determination of specificity under the provision of paragraph one of this Article shall be
substantiated on the basis of positive evidence.
Article 65. The following subsidies, with respect to specificity as prescribed in Article 64,
are countervailable:
(i)
a subsidy contingent, in law or in fact, upon export performance in the manner
prescribed in ministerial regulations;
(ii)

a subsidy contingent upon the use of domestic over imported products;

(iii)

a subsidy that causes adverse effects to the national interest, including,

(a)

injury as prescribed in Section III to the domestic industry as prescribed in Section

IV;
(b)
nullification or impairment of benefits accruing directly or indirectly to Thailand, in
particular the benefits of concessions bound under the WTO Agreement;
(c)

serious prejudice to the interests of Thailand as prescribed in ministerial regulations.

Article 66. A countervailing duty shall not apply to the subsidies, the details of which shall
be prescribed in Ministry of Commerce notifications, for which benefit is provided through
programmes that grant:
(i)

assistance for research activities;

(ii)

assistance to disadvantaged regions; or,

(iii)
assistance to promote adoption of existing facilities to new environmental
requirements imposed by laws or regulations.
Article 67. In cases where there is subsidy as prescribed in Article 65,

36

(i)
the Department of Foreign Trade shall request consultation with the country granting
or maintaining a subsidy in accordance with the methodology and procedure as set forth by the World
Trade Organization. Agreement on Subsidies and Countervailing Measures and the Committee shall
provide remedy as appropriate;
(ii)

the Committee shall determine a countervailing duty applicable.

In cases where actions are taken both with respect to (i) and (ii) simultaneously and it is
found in the final determination that both countervailing measures can be used, the Committee shall
apply only one (1) of the available countervailing measures.
Article 68. A countervailing duty shall be calculated in terms of the benefit conferred to the
recipient which is found to exist during the investigation period for subsidization and shall be
determined per unit of the subsidized product of each recipient.
If the recipient must pay any fees or expenses to the granting authority in order to obtain the
subsidy, such recipient may request deduction of those fees or expenses. The recipient bears the
burden of proof of such fees or expenses.
The amount of countervailing duty to be imposed shall be that which would be adequate to
remove the injury and in no case may exceed the amount of subsidy received.
Article 69. With regard to the calculation of benefits to the recipient, the following rules
shall apply:
(i)
Government provision of equity capital shall not be considered as conferring a
benefit, unless the investment decision can be regarded as inconsistent with the usual investment
practice of private investors in the country of origin or export;
(ii)
A loan by a government shall not be considered as conferring a benefit, unless there
is a difference between the amount that the firm receiving the loan pays on the government loan and
the amount that the firm would pay of a comparable commercial loan which the firm could actually
obtain on the market. In this case, the benefit conferred shall be the difference between the two
amounts;
(iii)
A loan guarantee by a government shall not be considered as conferring a benefit,
unless there is a difference between the amount that the firm receiving the guarantee pays on a loan
guaranteed by the government and the amount that the firm would otherwise pay for a comparable
commercial loan absent the government guarantee. In this case, the provision in (ii) above shall
apply, mutatis mutandis, to the calculation of benefit received;
(iv)
The provision of goods or services or purchases of goods by a government shall not
be considered as conferring a benefit unless the provision is made for less than adequate
remuneration. The adequacy of remuneration shall be determined in relation to prevailing market
conditions for the product or service in question in the country of provision or purchase.
The calculation of the benefit to the recipient shall be in conformity with the rules and
procedures set forth in ministerial regulations. Such regulations may specify that further notifications
by the Ministry of Commerce be issued for this purpose.
37

Article 70. In making a countervailing duty determination, the provisions in Sections II, III,
IV, V, VI, VII, VIII, and IX shall apply mutatis mutandis , except in the following cases:
(i)
the provision of Article 42 (ii) and (iii) shall not apply to the imposition of
provisional measures;
(ii)
undertakings between exporters and the Department of Foreign Trade shall not be
accepted unless the consent of the exporting countrys Government has been obtained.
Article 71. After a petition from a representative of a domestic industry is accepted or upon
the proposal of a countervailing duty proceeding by the Department of Foreign Trade is made, the
country the product of which may be subjected to such a proceeding shall be notified and given an
opportunity for consultations with the Committee with the aim of terminating the countervailing duty
proceeding or entering into an undertaking.
Throughout the period of the proceeding, a consultation may be conducted and the
Committee shall provide opportunity to consult as appropriate. However, these provisions regarding
consultations are not intended to prevent the authorities concerned from continuing with the
countervailing duty proceeding in question.
The Committee shall permit the country the product of which is subject to a countervailing
duty proceeding access to non-confidential evidence.
SECTION XI
THE COMMITTEE
Article 72. There shall be a committee entitled The Committee on Dumping and Subsidy.
The Committee is composed of the Minister of Commerce who serves as Chairman, Permanent
Secretary of the Ministry of Commerce, Permanent Secretary of the Finance Ministry, Permanent
Secretary of the Ministry of Foreign Affairs, Permanent Secretary of the Ministry of Agriculture and
Cooperatives, Permanent Secretary of the Ministry of Industry, General Secretary of the Board of
Investment, Director-General of the Department of Foreign Trade, Director-General of the
Department of Internal Trade, Director-General of the Department of Business Economics, an
appointee from the Office of the Consumer Protection Board and six (6) expert members to be
appointed by the Cabinet.
The Director-General of the Department of Foreign Trade shall serve as secretary and shall
appoint an officer of the Department of Foreign Trade to serve as assistant secretary to the
Committee.
The individuals to be appointed as expert members of the Committee under the provision of
paragraph one shall be experts in the fields of international trade, economics, accounting, law,
agriculture and industry; one expert per each field.
Article 73. The Committee shall have the following authorities and duties:

38

(i)
this Act;
(ii)

to perform their duties involving anti-dumping and countervailing measures under


to approve or reject undertakings;

(iii)
to serve as advisors with regard to the formulation of ministerial regulations and
notifications to maintain compliance to this Act;
(iv)

to perform other functions as prescribed by the Act or assigned by the Cabinet.

Article 74. Each expert member of the Committee shall have a term of office of four (4)
years. At the end of the first two-year period, one-half of the expert members of the Committee shall
retire by way of lot-drawing. The retirement of such expert members by way of drawing is to be
considered a retirement by rotation.
Article 75. In addition to retirement by rotation, the expert members of the Committee shall
automatically retire upon the following:
(i)

death;

(ii)

resignation;

(iii)
request by the Cabinet to resign due to inappropriate behaviour, dishonesty or
inefficiency on part of the expert member;
(iv)
adjudication by final court decision of imprisonment except in cases where such
adjudication results from offences involving negligence or petty crimes;
(v)

incompetence or semi-incompetence;

(vi)

bankruptcy.

Article 76. Where an expert member of the Committee retires prior to the end of his term, a
new member shall be appointed in an expeditious manner. If the remainder of the term for which a
new expert member would be appointed is less than ninety (90) days, it is possible not to appoint any
one to fill that post.
The term of office of a newly appointed expert member referred to in the preceding
paragraph shall be the remaining term of the retiring expert member.
Article 77. A meeting of the Committee shall be valid only when no less than half of the
Committee members are present. If the Chairman is not present at a meeting or is unable to perform
the assigned functions, the Deputy Chairman shall act in his stead. If neither the Chairman nor the
Deputy Chairman is present at a meeting or able to perform his assigned duties, the members in
attendance shall elect an acting Chairman among themselves.
A decision of the Committee shall be made by a majority vote of all the members present at
each meeting. Each member has one (1) vote. In the event of a tie, the Chairman shall cast the final,
decisive vote.
39

Dissenting views together with reasons thereof which are offered during any meeting shall be
recorded in the minutes of the meeting. Any member of the Committee may request the incorporation
of his dissenting view into the determination.
Article 78. For the purpose of performing its duties and functions, the Committee may
appoint a sub-committee for any specific duty.
SECTION XII
TEMPORARY PROVISION
Article 79. All the anti-dumping and countervailing proceedings in place prior to the date of
the legal enforcement of this Act shall continue their course of proceeding as prescribed in the
Notification of the Ministry of Commerce on the Imposition of Anti-dumping and Countervailing
Duties B.E. 2539 and the Export and Import of Goods Act, B.E. 2522 until their completions.

Done, under the Command of His Majesty the King of Thailand,


Mr. Chuan Leek-pai
Prime Minister

__________

40

Anda mungkin juga menyukai