Anda di halaman 1dari 6

Bangga jadi Anak Indonesia

Sang surya masih terbalut gugusan awan kelabu, percikan


sinarnya menelisik keluar menimbulkan warna jingga kegelapgelapan. Pagi ini cuaca agak mendung di Negeri Merlion,
sepertinya akan turun hujan.
Aku melangkahi anak tangga satu per satu menuju dapur
Hotel City Backpackers yang berada di lantai satu. Krokk
krokk bunyi perutku pagi-pagi sudah keroncongan. Mungkin
karena tadi malam aku tidak makan nasi, hanya seiris roti saja
yang mengganjal perut ini sejak kedatangan kami kemarin sore.
Ah tinggal di Negara yang maincourse-nya bukan nasi memang
susah. Sulit mendapatkan nasi di sini, kalaupun ada harganya
selangit! Nggak seperti di Indonesia hanya bermodal sepuluh
ribu saja perut rasanya sudah mau buncit.
Sesekali, pandanganku tertoreh ke arah lorong kamar,
beberapa pasang kekasih sedang tersuruk di atas sofa panjang
sambil bercengkrama asyik. Ah aku tak peduli, kualihkan
pandangan

ke

sebelah

kiri,

ternyata

tangga

terletak

di

penghujung Hotel. Kedua bola mataku hanya menangkap mobilmobil yang berbaris rapi menderam sedang dipanaskan.
Tepat di depanku, di bawah anak tangga, mataku mendelik
tajam beberapa piring, gelas, sendok, pemanggang roti, dan
peralatan dapur lainnya tercecer di atas meja dapur. Seorang
wanita paruh baya berambut gelombang sedang mencuci piring
di wastafel. Yang satunya bermata sipit, tinggi, kulit putih dan
berambut lurus hitam arang lagi asyik-asyiknya menyantap roti
bakar sambil berdiri.

Hey miss, where can I have breakfast? tanyaku pada


wanita bermata sipit. Konon Negara ini menggunakan bahasa
Inggris sebagai bahasa keduanya.
Sorry, what do you mean? dengan aksen bahasa Cina
wanita ini menjawab.
I wanna have breakfast.
Oh yeah please make yourself! jawabnya lanjut.
Aku bingung mau makan apa. Hanya ada roti tawar
didampingi slay keju, anggur, nanas dan beberapa cangkir kopi
yang sudah siap diseduh. Mana rotinya belum dipanggang lagi,
aduh aku tidak tahu cara menggunakan alat pemanggang ini?
Maklum aku kan anak kampung yang baru pertama kali
menginjakkan kaki di kota besar, bukan kota sendiri pula. Kalau
saja Pak Badrun, kepala sekolahku tidak mengajakku studi
banding ke Jurong Secondary School1 Singapur, mana mungkin
aku bisa ke luar Negeri seperti ini.
Kedua wanita itu kini menatapku sinis, berbisik-bisik dan
melemparkan senyum yang entah apa maksudnya. Apa karena
aku tidak bisa memanggang roti kali ya? gumamku. Tanpa
berpikir panjang, aku coba saja mengoprasikan alat yang hanya
terdapat

tiga

tombol

petunjuknya

itucancel,

reheat

dan

defrost. Untung aku bisa bahasa Inggris sedikit-dikit jadinya aku


bisa memanggang roti sendiri. Sekarang aku jadi PD di hadapan
dua orang asing itu.
Hey, are you Singaporean? tanyaku memecah kekakuan
dan rasa penasaranku pada wanita berambut gelombang tadi.
No, I am Malaysian and my friend is Chinese. jawabnya
menunjuk temannya yang sepertinya tidak terlalu paham bahasa

Inggris. You must be an Indonesian, right? Lanjutnya sembari


tertawa

kecil.

Mulut

wanita

sipit

itu

kini

terbelah

dari

kebisuannya, sebagai isyarat mengiringi rekannya.


Yes, I am. What are you doing here? Are you this hotel
employee?
No, I am not. We are guest too. Incidentally we have
seminar in a Church. Cakap melayu saje? Pintanya mengalihkan
bahasa.
Ah aku pikir penghuni Negara ini jago-jago berbahasa
Inggris seperti yang ada dalam pikiranku. Kami melanjutkan
perbincangan

kecil

hingga

akhirnya

Pak

Badrun

datang

menghampiriku.
Jaenal, Bapak pikir kamu kemana nak. Ternyata kamu di
sini.
Eh Bapak, iya Pak. Selepas sholat Subuh tadi perut saya
rasanya sudah mulai demo makanya saya lansung saja cari
makanan.
Perbincanganku dengan dua wanita asing itu aku hentikan
namun mereka masih saja tertawa-tawa menatapku. Ada apa ya?
Aneh banget!
Hey awak nak makan ae punye roti dulu? Nanti nak cakap
lagi sama yu.
Ye

lanjut

je.

Kualihkan

pandanganku

dan

segera

mengambil tempat duduk di meja saji bersama Pak Badrun.


Kamu sudah buatkan roti bakar satu untuk Bapak? sambar
Pak Badrun.

Oh ya Pak tadi kebetulan saya panggang empat. Ayo kita


sama-sama dua iris saja. Dan ini segelas kopi untuk Bapak.
Terimkasih nak.
Kami

menyungkah

dua

roti

sembari

duduk

santai

melenyapkan rasa lapar yang sedari tadi. Segelas kopi susu


hangat membuat kami seolah sedang berada di depan tungku.
Pak, boleh saya bertanya? pintaku sama Pak Badrun.
Ya nak kenapa? Mau tanya apa?
Tadi sejak saya datang, saya bertemu dua orang asing itu
di dapur. Entah kenapa dari tadi mereka tersenyum-senyum
bahkan menertawaiku. Tadinya saya pikir mereka tertawa karena
saya tidak bisa memanggang roti tapi eh malah mulut mereka
tambah lebar lagi setelah saya beralih ke tempat duduk ini.
Menurut Bapak, ada apa ya dengan mereka?
Mungkin karena kamu terlihat imut kali di depan mereka
makanya gregetan seperti melihat bayi. gurau Pak Badrun
menunjukkan gigi-giginya yang berbaris rapi.
Ah Bapak ada-ada saja.
Coba kamu lihat mereka nak. Lihat bagaimana style
mereka dan apa yang mereka lihat padamu?
Pak Badrun memandangku dan kedua wanita itu secara
bergantian. Lalu melirik kearah sarung kesayanganku yang
berwarna biru. Ia tersenyum ringan dan berkata.
Oh saya paham nak. Mereka itu heran melihat kamu yang
memakai sarung. Barangkali menurut mereka memakai sarung di
kota besar seperti ini adalah hal yang aneh dan langka.
Ah masa iya sih Pak?

Lihat saja ekspresi mereka!


Hmmmdasar orang kota gak punya etika. seringaiku.
Sudahlah nak jangan dihiraukan. Mereka itu hanya orangorang yang tidak punya identitas diri.
Yaaah Bapak, siapa juga yang menghiraukan mereka!
Ta...pi sarung itu pakaian khas Indonesia kan Pak?
Yap benar sekali nak.
Kebetulan sekali saya memang ingin tunjukkan pada
mereka bahwa saya ini orang Indonesia asli. Saya bangga jadi
anak Indonesia meskipun terkenal dengan koruptornya, ya kan
Pak?
JaenalJaenalkamu

memang

murid

andalan

Bapak.

Bapak bangga punya murid seperti kamu! Bapak bangga


padamu nak! Kamu benar nak, justru yang diharapkan oleh
bangsa Indonesia adalah orang-orang seperti kamu ini bukan
mereka yang gagah berdasi tapi malah nilep uang Negara
sampai

puluhan

rambutku.

Triliun.

ujar

Pak

Badrun

mengelus-elus

1 Nama Sekolah di Singapura yang setara dengan Sekolah Menengah Atas

Anda mungkin juga menyukai