ke
sebelah
kiri,
ternyata
tangga
terletak
di
penghujung Hotel. Kedua bola mataku hanya menangkap mobilmobil yang berbaris rapi menderam sedang dipanaskan.
Tepat di depanku, di bawah anak tangga, mataku mendelik
tajam beberapa piring, gelas, sendok, pemanggang roti, dan
peralatan dapur lainnya tercecer di atas meja dapur. Seorang
wanita paruh baya berambut gelombang sedang mencuci piring
di wastafel. Yang satunya bermata sipit, tinggi, kulit putih dan
berambut lurus hitam arang lagi asyik-asyiknya menyantap roti
bakar sambil berdiri.
tiga
tombol
petunjuknya
itucancel,
reheat
dan
kecil.
Mulut
wanita
sipit
itu
kini
terbelah
dari
kecil
hingga
akhirnya
Pak
Badrun
datang
menghampiriku.
Jaenal, Bapak pikir kamu kemana nak. Ternyata kamu di
sini.
Eh Bapak, iya Pak. Selepas sholat Subuh tadi perut saya
rasanya sudah mulai demo makanya saya lansung saja cari
makanan.
Perbincanganku dengan dua wanita asing itu aku hentikan
namun mereka masih saja tertawa-tawa menatapku. Ada apa ya?
Aneh banget!
Hey awak nak makan ae punye roti dulu? Nanti nak cakap
lagi sama yu.
Ye
lanjut
je.
Kualihkan
pandanganku
dan
segera
menyungkah
dua
roti
sembari
duduk
santai
memang
murid
andalan
Bapak.
puluhan
rambutku.
Triliun.
ujar
Pak
Badrun
mengelus-elus