Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat
ISPA setiap tahun, 98% nya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan bawah.
Tingkat mortalitas sangat tinggi pada bayi, anak-anak dan orang lanjut usia terutama
di negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah. Begitu pula ISPA
merupakan salah satu penyebab utama rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan
terutama pada bagian perawatan anak (Anonim, 2007).
ISPA ialah penyakit saluran pernafasan atas atau bawah, biasanya menular, yang
dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa
gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung
pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor penjamu (pencegahan dan
pengendalian ISPA, pedoman interim WHO).
Pemakaian obat yang rasional jika didiagnosis tepat dan pemilihan obat yang
tepat pula dapat digunakan untuk mengobati suatu penyakit. Seringkali dokter
memberikan obat berdasarkan gejala-gegala yang dikeluhkan pasien tanpa
mempertimbagkan penting atau tidaknya gejala yang dihadapi. Hal itulah yang
mendorong terjadinya pemakaian obat lebih dari satu macam yang sebenernya tidak
perlu atau disebut polifarmasi (Santoso, 1986)

I.2

Tujuan
a. Untuk mengetahui bagaimana penyakit Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA)
b. Untuk dapat membedakan dari penyakit Infeksi Saluran Nafas Akut, yaiu Infeksi
Saluran Nafas Atas dan Infeksi Saluran Nafas Bawah
c. Untuk dapat menjelaskan bagaimana biofarmasetik dan farmakokinetik klinik dari
kasus yang terjadi pada penyakit Faringitis dan Bronkitis

I.3

Manfaat
Untuk mengetahui perjalanan obat dalam tubuh dari obat-obatan yang biasa
diberikan terhadap penyakit infeksi saluran pernafasan akut, serta memberikan
informasi tentang penyakit tersebut.

I.4

Permasalahan
1.

Apa yang dimaksud dengan Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA) ?

2.

Bagaimana fase biofarmasi dan fase farmakokinetika klinik untuk obat-obatan


yang diberikan pada pasien penderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut?

3.

Bagaimana nasib obat didalam tubuh fase biofarmasi dan fase farmakokinetika
klinik untuk obat-obatan yang diberikan pada pasien penderita penyakit Faringitis
dan Bronkitis?

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA
II.1

Biofarmasi & Farmakokinetik


Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tujuannya dalam tubuh,
yaitu tempat kerjanya atau targetsite, obat harus mengalami banyak proses. Dalam
garis besarnya proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga tingkat, yaitu Fase
biofarmasi, Fase Farmakokinetik dan Fase farmakodinamik (Hoan tan dan Rahardja
kirana, 2007).

FASA BIOFAMASI

FASA FARMAKOKINETIKA
1. Aspek Biofarmasetika dari Produk Obat
Biofarmasetika adalah ilmu yang mempelajari hubungan sifat fisikokimia
formulasi obat terhadap bioavailabilitas obat. Bertujuan mengatur pelepasan obat
sedemikian rupa ke sirkulasi sitemik agar diperoleh pengobatan yang optimal pada
kondisi klinik tertentu. Biovailabiltas menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif
mencapai sirkulasi sitemik. Absorpsi sitemik dari tempat ekstravaskuler dipengaruhi oleh
sifat anatomik dan fisiologi tempat absorpsi, serta sifat fisikokimia/ produk obat. Proses
absorpsi sistemik meliputi: disentegrasi produk obat yang diikuti pelepasan obat,
pelarutan obat dalam media aqueous, dan absorpsi melewati membran sel menuju
sirkulasi sistemik. Untuk merancang obat yang dapat lepas paling banyak di sistemik
yaitu dengan mempertimbangkan jenis produk obat (larutan, suspensi, supositoria), sifat
bahan tambahan, dan sifat fisikokimia obat.
3

Perjalanan Obat
Perjalanan obat melewati membran sel dipengaruhi oleh sifat fisikokimia, yaitu
kelarutan molekul obat dalam lipid dan ukuran molekul. Obat yang lebih larut dalam
lemak lebih mudah melewati membran sel daripada obat yang kurang larut dalam
lemak/larut dalam air. Obat yang bersifat elektrolit lemah, misalnya asam/basa lemah,
besarnya ionisasi mempengaruhi laju pengangkutan obat. Obat yang terionisasi
mempunyai muatan dan menjadikannya lebih larut dalam air daripada obat yang tidak
terionisasi. Jumlah ionisasi bergantung pada pKa dan pH medium obat terlarut. Obat
yang memiliki molekul yang sangat kecil (urea) dan ion kecil (Na +, K+, dan Li+) bergerak
melewati membran dengan cepat. Sebaliknya, makromolekul yang sangat besar (protein)
tidak melewati membran sel atau dapat melewati api dalam jumlah sangat kecil.
Fenomena pengangkutan fisiologik yang mempengaruhi mekanisme obat
melewati membran sel adalah:
a. Difusi pasif, yang merupakan bagian terbesar dari proses transmembran pada obat.
Tenaga pendorong difusi pasif adalah perbedaan konsentrasi obat pada kedua sisi
membran sel.
b. Transpor Aktif, yaitu proses transmembran yang diperantai oleh pembawa yang
berperan penting dalam sekresi ginjal dan bilier dari berbagai obat dan metabolit.
c. Difusi yang dipermudah (fasilitated diffusion), merupakan sistem transpor yang
diperantai pembawa, dimana obat bergerak karena perbedaan konsentrasi
(pergerakan dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah).
d. Pinositosis (transpor vesikular), merupakan proses fagositosis, dimana membran
sel menyelubungi sekeliling bahan makromolekuler dan kemudian mencaplok
bahan tersebut kedalam sel.
e. Transpor melalui pori (konvektif), dimana molekul yang sangat kecil (urea, air,
gula) dapat melintasi membran sel dengan cepat jika membran mempunyai
celah/pori.
Faktor Farmasetik Bioavalabilitas Obat
Faktor farmasetik yang mempengaruhi biovailabilitas obat aktif yaitu:
.a Disentegrasi. Sebelum absorpsi terjadi, obat padat harus mengalami disentegrasi
kedalam partikel kecil dan melepaskan obat. Disentegrasi yang sempurna
menurut USP XX yaitu keadaan dimana berbagai residu tablet, kecuali fragmen
penyalut yang tidak larut, tinggal dalam saringan alat uji sebagai massa yang
lunak dan jelas tidak mempunyai inti teraba.
.b Pelarutan obat, merupakan proses dimana suatu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh (stagnant
4

layer), berdifusi ke pelarut dari daerah konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.


Laju pelarutan merupakan jumlah obat terlarut per satuan luas per waktu. Suhu
media dan kecepatan pengadukan juga mempengaruhi laju pelarutan. Kenaikan
suhu meningkatkan energi kinetik molekul dan tetapan difusi, sebaliknya
kenaikan pengadukan dari media pelarut akan menurunkan tebal stagnant layer
dan h sehingga pelarutan obat lebih cepat.
.c Sifat fisikokimia obat. Sifat fisika dan kimia partikel obat berpengaruh pada
kinetika pelarutan. Sifat tersebut terdiri dari, luas permukaan, bentuk geometrik
partikel, derajat kelarutan obat dalam air, dan bentuk obat polimorf.
.d Faktor formulasi yang mempengaruhi pelarutan obat, dimana adanya bahan
tambahan (bahan penyuspensi, surfaktan, pelincir tablet) yang digunakan pada
formulasi obat dapat berinteraksi secara langsung dengan obat membentuk
kompleks yang larut/tidak larut air.
Pertimbangan rute pemberian
Suatu obat diberikan dalam berbagai rute dan tetap meghasilkan aktifitas yang
ekivalen, tetapi lama dan mula kerja berubah karena perubahan farmakokinetika yang
disebabkan oleh rute pemberian.
1. Produk Parenteral
a. Obat yang diinjeksikan secara intravena langsung masuk kedalam darah dan
dalam beberapa menit beredar ke seluruh tubuh. Hanya untuk obat yang larut
air. Pelarut yang digunakan adalah kombinasi propilen gilikol dengan pelarut
lain.
b. Obat yang diinjeksikan secara intramuskular melibatkan penundaan absorpsi
karena obat berjalan dari tempat injeksi ke aliran darah. Formulasi
intramuskular dapat untuk melepaskan obat secara cepat/lambat dengan
mengubah pembawasediaan injeksi. Keuntungannya adalah fleksibilitas
2.

formulasi.
Tablet Bukal. Tablet ini dirancang untuk terlarut dibawah lidah dan di absorpsi
dalam rongga mulut melalui mukosa mulut, serta mengandung bahan tambahan

3.

yang cepat melarut (laktosa), contohnya tablet sublingual nirogliserin.


Aerosol. Digunakan untuk obat yang diberikan pada sistem pernafasan. Ukuran
partikel dari suspense (dalam ukuran kabut) menentukan tingkat penetrasinya. Obat
dengan partikel bergerak dengan cara sedimentasi/ gerak Brown ke dalam

4.

bronkhioli. Contoh isotarina dan isoproterenol.


Sediaan Transdermal. Pemberian sediaan transdermal memberi pelepasan obat
kesistem tubuh melalui kulit. Obat yang diberikan secara transdermal tidak
5

dipengaruhi olh frist pass effects. Contoh transderma-V untuk mabuk perjalanan
5.

yang melepaskan skopolamin melalui kulit telinga.


Sediaan Oral. Keuntungan sediaan oral adalah mudah pemakaian dan
menghilangkan ketidak nyamanan yang terjadi pada pemakaian injeksi. Kerugian
utama adalah persoalan potensial dari penurunan biovailabiltas, selain itu
bioavailabiltas berubah-ubah yang disebabkan absorpsi tidak sempurna/interaksi

6.

obat.
Sediaan Rektal. Sedian ini disukai untuk obat yang menyebabkan mual. Laju
pelepasan obat sedian ini tergantung pada sifat komposisi dasar dan kelarutan obat
yang terlibat, serta terhindar dari first pass effects.

2. Farmakokinetik Klinis
Setelah suatu obat dari bentuk sediaanya, obat diabsorpi ke dalam jaringan
sekitarnya, tubuh atau keduanya. Distribusi dan eliminasi obat tubuh berbeda untuk tiap
pasien. Farmakokinetika adalah ilmu dari kinetik absorpsi, distribusi dan eliminasi (yakni
eksresi dan metabolisme) obat.
Studi farmakokinetika mencakup baik pendekatan eksperimental dan teoritis.
Aspek eksperimental farmakokinetika meliputi pengembangan teknik sampling biologis,
metode analitik untuk pengukuran obat dan metabolit, dan prosedur yang memfasilitasi
pengumpulan

dan

manipulasi

data.

Aspek

teoritis

farmakokinetika

meliputi

pengembangan model farmakokinetika yang memprediksi disposisi obat setelah


pemakaian obat.
Farmakokinetika klinis merupakan penerapan metode farmakokinetika untuk
terapi obat. Farmakokinetika klinis mencakup suatu pendekatan multidisiplin untuk
strategi pendosisan optimal individual yang didasarkan pada kondisi penyakit pasien dan
pertimbangan spesifik pasien. Perbedaan usia, gender, genetic dan etnik dapat
mempengaruhi keluaran terapi obat.
Beberapa obat menghasilkan efek dalam beberapa menit, tetapi yang lain dapat
memakan waktu beberapa hari atau jam. Kurva respons-waktu menilai tiga parameter
dari kerja obat: mula kerja obat, puncak kerja, dan lama kerja.
Kadar obat dalam plasma atau serum menurun di bawah ambang atau MEC,
maka ini berarti dosis obat yang memadai tidak tercapai; kadar obat yang terlalu tinggi
dapat menyebabkan toksisitas.
Famakokinetika setelah pemberian oral

Pada pemberian tunggal secara oral, seperti hal nya pada rute pemberian lain
dimana terjadi absorpsi, berlangsung proses invasi dan proses eliminasi, yang satu
disamping yang lain.
II.2

Infeksi Saluran Pernafasan Akut


Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan berproliferasi di dalam
tubuh yang menyebabkan sakit (Poter and Parry, 2005). Infeksi adalah invasi tubuh
oleh mikroorganisme dan berproliferasi di dalam jaringan tubuh (Kozier,at al, 2000).
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ialah penyakit saluran pernafasan atas
atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit
yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang
parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan
faktor penjamu (pencegahan dan pengendalian ISPA, pedoman interim WHO).
ISPA yang sebenarnya adalah singkatan Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang
melibatkan pernafasan atas dan juga sistem pernafasaan bawah. Infeksi akut saluran
pernafasan bagian atas antara lain rhinitis, faringitis dan otitis sedangkan infeksi akut
saluran pernapasan bagian bawah meliputi bronkitis, bronkhiolotis dan pneumonia
(Yulinah elin, dkk, 2008).

II.2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Atas


1. Otitis Media

I. Deskripsi Penyakit
7

Secara umum adalah peradangan telinga tengah yang dibagi menjadi (Yulinah elin,
dkk, 2008) :
Otitis media akut : inflamasi telinga tengah yang gejala dan tanda-tandanya muncul
cepat. Manifestasi klinik berupa 1 gejala; otalgia, gangguan pendengaran, demam atau
gelisah.
Otitis media efusi : penumpukan cairan di ruang telinga tengah
Otitis media merupakan peradangan telinga bagian tengah. Otitis media akut
biasanya lebih banyak terjadi pada anak dibandingkan dewasa dikarenakan 4 pada anak
memiliki anatomi saluran Eustachio yang lebih pendek dan lebih horisontal,
memudahkan bakteri masuk ke tengah telinga. Tanda dan gejala otitis media akut adalah
infeksi bagian tengah telinga seperti otalgia, mudah tersinggung, demam disertai gejala
pilek, hidung tersumbat, atau batuk, serta adanya cairan di telinga tengah. Gejala otitis
media akut terjadi lebih dari 1 minggu. Rasa sakit dan demam cenderung hilang setelah 2
sampai 3 hari, dengan gejala asimtomatik selama 7 hari.
Patofisiologi
Tuba eustakhius pada anak berbeda dengan dewasa menyebabkan drainase telinga
tengah kurang baik.
Fungsi tuba eustakhius yang tidak normal menyebabkan refluks cairan transudat di
telinga tengah dan perkembangan bakteri.
Bakteri penyebab:
1.
Streptococcus pnemoniae (35%)
2.
Haemophilus influnzae (25%)
3.
Moxarella catarrhalia (10%)
II. Terapi
Tujuan pengobatan otitis media akut adalah pengurangan tanda dan gejala,
pemberantasan infeksi, dan pencegahan komplikasi. Parasetamol atau NSAID dapat
digunakan untuk mengurangi rasa sakit dan malaise. Amoksisilin memiliki spektrum
sempit dan terjangkau, untuk menghindari terjadinya resisten terhadap S. pneumoniae
(Glover et al., 2005). Menurut Yulinah elin dkk tujuan terapinya yaitu untuk
Mengendalikan nyeri, menghilangkan infeksi dan mencegah komplikasi. Menghindari
penggunaan antibiotik yang tidak perlu. Meminimkan reaksi yang tidak diinginkan.
Menurut panduan terapi Departemen Kesehatan (2005), terapi otitis media akut
meliputi pemberian antibiotik oral dan tetes bila disertai pengeluaran sekret. Lama terapi
otitis media akut selama 5 hari bagi pasien risiko rendah (usia lebih dari 2 tahun serta
tidak memiliki riwayat otitis ulangan ataupun otitis kronik) dan 10 hari bagi pasien risiko
tinggi. Pemberian antibiotik yang digunakan dibagi menjadi dua pilihan yaitu lini
pertama dan kedua. Antibiotik pada lini kedua diindikasikan apabila antibiotik pilihan
8

pertama gagal, riwayat respon yang kurang terhadap antibiotik pilihan pertama,
hipersensitivitas, dan organisme resisten terhadap antibiotika pilihan pertama yang
dibuktikan dengan tes sensitivitas, serta adanya penyakit penyerta yang mengharuskan
pemilihan antibiotik pilihan kedua.
Untuk pasien dengan sekret telinga (otorrhea) sebaiknya diberikan terapi tetes
telinga ciprofloksasin atau ofloksasin. Pilihan terapi untuk otitis media akut yang
persisten yaitu otitis yang menetap 6 hari setelah menggunakan antibiotik, dengan
memberikan antibiotik yang berbeda dengan terapi pertama. Profilaksis bagi pasien
dengan riwayat otitis media berulang menggunakan amoksisilin 20mg/kg satu kali sehari
selama 2-6 bulan berhasil mengurangi kejadian otitis media sebesar 40-50%.
Tabel 1. Pengobatan Otitis Media Akut (Glover et al., 2005)
Antibiotik

Hari ke-0

sebelumnya

Penetapan pengobatan

Pengobatan

kegagalan hari ke-3

kegagalan hari ke
10-28

Tidak

Amoksisilin dosis biasa 40-

Amoksisilin-klavulanat

45 mg/kg/hari

dosis tinggi

Sama dengan hari ke-3

Amoksisilin 80-90
mg/kg/hari
Klavulanat 6,4 mg/kg/hari
Cefuroxim axetil
Amoksisilin dosis tinggi 80-

Suspensi : 30 mg/kg/hari

90 mg/kg/hari (faktor risiko

dibagi menjadi dua kali

tinggi pada pasien)

sehari (max.1 g)
Tablet : 250 mg dua kali
sehari
Ceftriakson i.m 1 g (50
mg/kg) sehari selama 3
hari

Ya

Amoksisilin dosis tinggi 80-

Ceftriaxon i.m 1 g (50

Amoksisilin-klavulanat

90 mg/kg/hari

mg/kg) sehari selama 3

dosis tinggi

hari

Amoksisilin 80-90
mg/kg/hari
Klavulanat 6,4
mg/kg/hari

Amoksisilin-klavulanat

Clindamisin 10-30

Cefuroxin axetil

dosis tinggi

mg/kg/hari dibagi setiap 6-

Suspensi : 30 mg/kg/hari

Amoksisilin 80-90

8 jam (max. 1,8 g/hari)

dibagi menjadi dua kali

mg/kg/hari

sehari (max. 1 g)

Klavulanat 6,4 mg/kg/hari

Tablet : 250 mg dua kali

sehari
Cefuroxim aksetil

Tympanosentesis

Ceftriaxon i.m

Suspensi : 30 mg/kg/hari

1g (50mg/kg) sehari

dibagi menjadi 2xsehari

selama 3 hari

(max. 1 g)

Tympanosentesis

Tablet : 250 mg dua kali


sehari

Tabel 2. Antibiotik pada Terapi Otitis Media (Depkes, 2005)


Antibiotika
Lini Pertama

Dosis

Keterangan

Amoksisilin

Anak : 20-40mg/kg/hari terbagi dalam

Untuk pasien risiko rendah yaitu:

3 dosis

Usia > 2th, tidak mendapat

Dewasa : 40mg/kg/hari terbagi dalam 3

antibiotika selama 3 bulan

dosis

terakhir

Anak : 80mg/kg/hari terbagi dalam 2

Untuk pasien risiko tinggi

dosis
Dewasa : 80mg/kg/hari terbagi dalam 2
dosis
Lini Kedua
Amoksisilin klavulanat

Anak : 25-45mg/kg/hari terbagi dalam


2 dosis
Dewasa : 2x875mg

Kotrimoksazol

Anak : 6-12mg TMP/30-60mg


SMX/kg/hari terbagi dalam 2 dosis
Dewasa : 2 x 1-2 tab

Cefuroksim

Anak : 40mg/kg/hari terbagi dalam 2


dosis
Dewasa : 2 x 250-500 mg

Ceftriaxon

Anak : 50mg/kg; max 1 g; i.m

1 dosis untuk otitis media yang

Cefprozil

Anak : 30mg/kg/hari terbagi dalam 2

baru

dosis

3 hari terapi untuk otitis yang

Dewasa : 2 x 250-500mg

resisten

Cefixime

Anak : 8mg/kg/hari terbagi dalam 1-2


dosis
Dewasa : 2 x 200mg

Terapi penunjang pada terapi otitis media dengan analgesik dan antipiretik. Terapi
menggunakan dekongestan, antihistamin, dan kortikosteroid pada otitis media akut tidak
dianjurkan karena dapat meningkatkan resiko efek samping. Dekongestan dan
10

antihistamin hanya dianjurkan apabila ada peran alergi. Penggunaan prednison 2x5mg
selama 7 hari bersama antibiotik efektif menghentikan efusi (Depkes, 2005).

2. Faringitis

I. Dekripsi Penyakit
Inflamasi faring dan jaringan limfoid sekitarnya akibat infeksi bakteri atau virus.
Faringitis adalah infeksi akut pada orofaring atau nasofaring yang umumnya disebabkan
oleh virus. Bakteri penyebab utamanya group A-hemolytic Streptococcus atau S.
pyogenes. Pada pasien anak, Streptococcus grup A atau radang tenggorokan
menyebabkan 15% sampai 30% dari kasus faringitis, sedangkan pada orang dewasa
menyebabkan dari 5% sampai 15% dari semua gejala faringitis (Glover et al., 2005).
Penyebab terbesar faringitis biasanya oleh virus antara lain rhinovirus, coronavirus,
adenovirus, virus influenza, virus parainfluenza, dan Epstein-Barr virus. Kelompok
Streptococcus merupakan satu-satunya penyebab paling umum terjadinya faringitis akut.
Periode inkubasi terjadi 2 sampai 5 hari, dan sering terjadi berulang. Penyebaran terjadi
melalui kontak langsung dengan tetesan air liur atau lendir hidung. Infeksi karena Group
A streptococcus GAS ditandai dengan : pembengkakan kelenjar limfa, tidak batuk,
demam > 38C.
Tanda dan gejala faringitis ditandai dengan sakit tenggorokan (sore throat), disfagia
(kesulitan menelan), demam. Sulit membedakan gejala klinis infeksi karena virus atau
bakteri (Yulinah elin, dkk, 2008).
II. Terapi
11

Tujuan pengobatan faringitis adalah untuk menghilangkan tanda klinis dan gejala,
meminimalkan reaksi obat yang merugikan, mencegah penularan kontak dekat dan
demam rematik akut, serta mencegah komplikasi.
Analgesik sistemik maupun topikal seperti parasetamol dan non-steroid antiinflammatory drugs (NSAID) digunakan untuk mengurangi nyeri. Parasetamol lebih
dianjurkan karena NSAID dikhawatirkan dapat meningkatkan risiko toxic shock
syndrome. Terapi antibiotik dapat mengurangi durasi tanda dan gejala faringitis dalam 1
sampai 2 hari (Glover et al., 2005).
Tabel 3. Terapi Faringitis oleh Streptococcus Group A (Depkes, 2005)
Lini Pertama

Penisilin G (untuk pasien yang

1 x 1,2 juta U i.m.

1 dosis

Anak : 2-3 kali 250 mg

10 hari

tidak dapat menyelesaikan


terapi oral selama 10 hari)
Penisilin VK

Dewasa : 2-3 kali500 mg

Lini Kedua

Amoksisilin (Klavulanat)

Anak : 3 x 250 mg

10 hari

3x500 mg selama 10 hari


Eritromisin (untuk pasien

Dewasa : 3 x 500 mg
Anak : 4 x 250 mg

10 hari

alergi Penisilin)

Dewasa : 4 x 500 mg

Azitromisin atau Klaritromisin


Cefalosporin generasi satu

5 hari
Bervariasi sesuai agen

10 hari

atau dua
Levofloxasin (hindari pada
anak amupun wanita hamil)

Pada faringitis non-streptococcus diberikan terapi suportif menggunakan


parasetamol atau ibuprofen, disertai kumur menggunakan larutan garam hangat.
Penggunaan aspirin pada anak-anak tidak dianjurkan karena dapat meningkatkan resiko
Reyes Syndrome (Depkes, 2005).
3. Sinusitis

12

I. Deskripsi Penyakit
Sinusitis adalah infeksi atau peradangan pada sinus paranasal mukosa yang
sebagian besar disebabkan oleh virus. Infeksi karena virus biasanya menyerang dalam 710 hari, jika terjadi selain waktu itu, kemungkinan disebabkan oleh bakteri. Sinusitis akut
berlangsung kurang dari 30 hari. Sinusitis lebih banyak terjadi pada anak
dibandingkan dewasa. Sinusitis yang disebabkan oleh bakteri paling sering disebabkan
oleh bakteri S. pneumoniae (30-40%) dan H. Influenzae (20-30%). Infeksi di sinus, akut
s/d 4 minggu, kronik 12 minggu. Tanda dan gejalanya yaitu berupa keluarnya cairan
kental berwarna dari hidung, sumbatan di hidung, nyeri muka, sakit gigi, demam
(Yulinah elin, dkk, 2008).
II. Terapi
Gejala dapat sembuh sendiri dalam 48 jam, bila menetap atasi gejala, perbaiki
fungsi sinus, cegah komplikasi intrakranial, dan atasi bakteri patogen. Terapi utama
adalah pemberian antibiotik. Untuk sinusitis tanpa komplikasi gunakan Amoksisillin atau
Ko-trimoksazol bila resisten gunakan azitromisin, klaritromisin, sefuroksim, sefiksim,
sefaklor, fluorokuinolon: levofloksasin, gantifloksasin. Durasi terapi: 10-14 hari dan
dapat diperpanjang s/d 30 hari. Obat semprot vasokonstriktor: fenileprin, oksimetazolin
dapat memperbaiki aliran. Tapi penggunaan tidak melebihi 72 jam agar tidak terjadi
toleransi. Antihistamin tidak efektif untuk sinusitis (Yulinah elin, dkk, 2008).
Terapi antibiotik utama sinusitis bakteri akut menggunakan amoksisilin. Pada
pasien yang alergi penisilin dapat digunakan azitromisin atau claritromisin. Untuk pasien
dewasa, quinolon seperti levlofoksasin merupakan obat pilihan bagi pasien alergi
penisilin. Jika obat resisten terhadap S. pneumoniae, dapat diberikan amoksisilin dosis
tinggi (Glover et al., 2005).
Resistensi yang terjadi pada sinusitis umumnya disebabkan S. pneumoniae yang
menghasilkan enzim beta-laktamase, sehingga resisten terhadap penisilin, amoksisilin,
maupun kotrimoksazol. Hal ini diatasi dengan memilih amoksisilin-klavulanat atau
fluoroquinolon. Tujuan terapinya, membebaskan obstruksi, mengurangi viskositas sekret,
dan mengeradikasi kuman (Depkes, 2005).
Terapi pendukung pada sinusitis dengan pemberian analgesik dan dekongestan.
Penggunaan antihistamin diperbolehkan pada sinusitis yang disebabkan oleh alergi,
namun perlu diwaspadai bahwa antihistamin akan mengentalkan sekret. Pemberian
antibiotik dengan lama terapi 10-14 hari, kecuali bila menggunakan azitromisin. Apabila

13

gejala menetap setelah 10-14 hari maka antibiotik dapat diperpanjang hingga 10-14 hari
lagi.

II.2.2 Infeksi Saluran Pernafasan Bawah


1. Bronkitis

I. Deskripsi Penyakit
Bronkitis merupakan peradangan yang terjadi pada cabang trakheobronkial tidak
termasuk alveol, yang umumnya behubungan dengan infeksi pernafasan umum.
Diklasifikasikan alam bronkitis akut dan kronik. Bronkitis akut terjadi pada semua usia
sedangkan bronkitis kronis terutama terjadi pada usia dewasa. Bronkititis akut terutama
terjadi selama musim dingin. Faktor pencetus cuaca dingin, lembab dan banyaknya zat
pengiritasi seperti polusi udara, asap rokok (Yulinah elin, dkk, 2008).
Bronkhitis akut jarang menyebabkan kematian. Secara umum, infeksi pada trakea
dan bronki menyebabkan pembengkakan selaput lendir dengan peningkatan sekresi
bronkial. Penghancuran epitel pernafasan dapat mempengaruhi fungsi mucociliary
bronkial. Infeksi pernafasan akut berulang dapat mengakibatkan peningkatan aktivitas
saluran nafas dan kemungkinan patogenesis asma atau penyakit paru obstruktif kronik
(Glover et al., 2005).
Bronkitis adalah penyakit yang dapat sembuh sendiri dan jarang menyebabkan
kematian. Bronkitis akut biasanya diawali dengan infeksi saluran pernafasan atas. Pasien

14

mengalami gejala yang tidak spesifik seperti : tidak enak badan dan sakit kepala,
ingusan, sakit leher.
Batuk adalah penanda bronkitis akut yang terjadi awal dan akan menetap walaupun
keluhan nasal dan nasofaring menghilang (Yulinah elin, dkk, 2008).
Tanpa adanya komplikasi, bronkhitis akut akan sembuh dengan sendirinya,
sehingga tujuan penatalaksanaannya hanya memberikan kenyamanan pasien, terapi
dehidrasi dan gangguan paru yang ditimbulkannya. Pasien dianjurkan agar banyak
minum untuk mencegah dehidrasi dan untuk menurunkan viskositas sekresi pernafasan.
Namun pada bronkhitis kronik ada dua tujuan terapi yaitu untuk mengurangi keganasan
gejala dan menghilangkan eksaserbasi dan untuk mencapai interval bebas infeksi yang
panjang (Depkes, 2005)
II. Terapi
Tujuan dari terapi ialah membuat pasien nyaman dan pada kasus berat untuk
mengobati dehidrasi dan gangguan respirasi.
Terapi Farmakologi:
Terapi simtomatis dan suportif. Antipiretik tunggal seringkali cukup. Istirahat dan
analgesik-antipiretik lemah sering dapat mengatasi keluhan lemah dan demam.
Aspirin atau parasetamol (650 mg untuk dewasa dan atau 10-15 mg/kg bb/dosis pada
anak dengan harian maksimum dewasa 4 g dan anak 60 mg/kg)
Atau gunakan ibuprofen 200-800 mg pada dewasa, anak 10 mg/kg. Dosis maksimum
dewasa 3,2 g dan 40 mg/kg/dosis pada anak. Berikan setiap 4-6 jam.
Pasien dianjurkan untuk minum cairan untuk mencegah dehidrasi dan kemungkinan
penurunan sekresi respirasi dan kekentelan mukus. Pada anak pemberian aspirin harus
dihindari karena adanya hubungan antara penggunaan aspirin dengan munculnya
sindroma Reye. Parasetamol lebih dianjurkan.
Terapi embun dan atau penggunaan uap dapat mengencerkan sekret. Batuk ringan
yang menetap yang mengganggu dapat diterapi dengan dekstromethorphan, Terapi
batuk yang lebih berat mungkin membutuhkan kodein atau obat yang sejenis.
Penggunaan rutin antibiotik tidk dianjurkan, terapi pada pasien dengan demam
menetap dan gejala pernafasan lebih dari 4-6 hari, kemunginan adanya infeksi bakteri
harus dicurigai.
Bila mungkin terapi antibiotik ditujukan terhadap patogen yang diantisipasi (misalnya
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae) dan atau bakteri yang
dominan tumbuh pada kultur kerongkongan.
M. pneumoniae bila dicurigai atau positif aglutinin dingin (titer
dipastikan

oleh

kultur/serologi.

Terapi

dengan

eritromisin

atau

1:32) atau
analognya

(klaritromisin dan azitromisin). Fluorokuinolon juga menunjukkan aktivitas terhadap


15

patogen tersebut (misalnya gatifloksasin atau levofloksasin dosis tinggi) dan dapat
digunakan pada orang dewasa.
Tabel 4. Terapi Awal untuk Bronkhitis (Depkes, 2005)
Kondisi Klinik
Bronkhitis Akut

Patogen
Biasanya virus

Terapi Awal
Lini I : Tanpa antibiotika
Lini II : Amoksisilin, Amoksi-klav,
makrolida

Bronkhitis Kronik

H. influenzae, Moraxella

Lini I : Amoksisilin, Quinolon

catarralhis, S. pneumoniae.

Lini II : Quinolon, Amoksi-klav,


azitromisin, kotrimoksazol

Bronkhitis Kronik dengan

K. pneumoniae,

Lini I : Quinolon

komplikasi

H.influenzae, Moraxella

Lini II : Ceftazidime, Cefepime

catarralhis, P. aeruginosa,
Gram (-) batang lain.
Bronkhitis kronik dengan
infeksi bakteri

s.d.a

Lini I : Quinolon oral atau parenteral,


Meropenem atau Ceftazidime/ Cefepime +
Ciprofloksasin oral

2. Bronkhiolotis

I. Deskripsi Penyakit
Bronkhiolitis akut adalah infeksi virus pada saluran pernafasan bawah, paling
sering terjadi pada bayi terutama usia antara 2 sampai 10 bulan. Penularan bronkhiolitis
jarang terjadi pada anak lebih dari 2 tahun. Kejadian bronkhiolitis lebih banyak terjadi
pada laki-laki daripada perempuan. Respiratory syncytial virus (RSV) merupakan
penyebab paling umum terjadinya bronkhiolitis (Yulinah elin, dkk, 2008).
Infeksi saluran pernapasan bagian atas biasanya berlangsung 2 hingga 7 hari
didahului dengan timbulnya gejala klinis. Asupan oral menjadi terbatas dikarenakan
batuk disertai dengan demam, muntah, dan diare sehingga bayi sering mengalami
16

dehidrasi. Asma, gagal jantung kongestif, kelainan anatomi saluran nafas, cystic fibrosis,
benda asing, dan gastroesophageal reflux merupakan penyakit utama pada pemeriksaan
fisik anak-anak. Pada pasien bronkhiolitis biasanya diberikan antipiretik terlebih dahulu
sambil memeriksa lebih lanjut penyebab infeksi virus.
Terapi aerosol 2-adrenergik dapat diberikan pada pasien bronkhiolitis. Biasanya
pasien diberikan terapi awal bronkodilator yang sebenarnya tidak memberikan manfaat
klinis. Kortikosteroid juga tidak terbukti memberikan manfaat terapeutik. Ribavirin
bermanfaat untuk bayi dengan bronkhiolitis. Meskipun ribavirin mensintetis nukleosida
yang memiliki kemampuan antivirus in vitro terhadap berbagai RNA dan DNA virus,
termasuk influenza A, influenza B, parainfluenza, dan adenovirus, akan tetapi hanya
boleh digunakan dalam bentuk aerosol untuk melawan RSV. Diperlukan peralatan khusus
dan terlatih untuk menghindari endapan partikel obat yang dapat mengakibatkan
penyumbatan saluran pernafasan (Glover et al, 2005).
II. Terapi
Bronkiolotis adalah penyakit yang sembuh sendiri dan umumnya tidak
memerlukan terapi, selain menghilangkan kecemasan dan antipiretik, kecuali bila bayi
hipoksia atau dehidrasi. Pada kasus berat, terapi pilhan adalah terapi oksigen dan cairan
IV. Terapi beta adrenergik aerosol nampaknya bermanfaat sedikit untuk sebagian besar
pasien tetapi mungkin berguna pada anak dengan predisposisi yang mengarah ke
bronkospasme (Yulinah elin, dkk, 2008).
Karena bakteri bukan penyebab utama maka AB secara rutin sebaiknya tidak
diberikan. Tetapi sering dokter memberikan di awal karena penemuan klinik dan
radiologi sering menunjukkan kemungkinan pneumonia bakteri. Ribavirin dapat
dipertimbangkan pada pasien yang menderita penyakit paru atau jantung dengan infeksi
akut. Penggunaan obat ini membutuhkan peralatan khusus, generator aerosol partikel
kecil dan pelaksana terlatih (Yulinah elin, dkk, 2008).

3. Pneumonia
17

I. Deskripsi Penyakit
Pneumonia adalah infeksi yang paling banyak menyebabkan kematian. Infeksi
pneumonia terjadi pada segala usia dengan manifestasi klinis paling parah pada usia
muda, orang tua, dan pasien dengan penyakit kronis. Tujuan terapi pneumonia untuk
menghilangkan organisme pengganggu dengan pemilihan antibiotik yang sesuai. Terapi
dilakukan untuk meminimalkan morbiditas, termasuk reversibel, ireversibel dan
toksisitas organ (misalnya: ginjal, paru-paru, atau disfungsi hepatik). Terapi influenza
pneumonia dengan antivirus spesifik seperti amantadine dan rimantadine dapat
mempercepat pemulihan. Konsentrasi antibiotik sekresi pernafasan yang melebihi MIC
patogen diperlukan untuk pengobatan infeksi paru (Glover et al, 2005).
Sedangkan menurut WHO, klasifikasi ISPA pneumonia menjadi tiga yaitu
(Dwiprahasta, dkk., 1998) :
1) Pneumonia berat
Secara klinis pneumonia berat ditandai dengan adanya tarikan dada kedalam pada
waktu menarik nafas, tidak dapat minum, kejang, sukar dibangunkan, nafas
mendengkur, dan kurang gizi, serta pernafasan cepat. Batas pernafasan cepat untuk
umur 2 bulan - 12 bulan lebih dari 50 kali permenit, sedangkan untuk umur 12 bulan 15 bulan lebih dari 40 kali permenit.
2) Pneumonia
Secara klinis pneumonia ditandai dengan pernafasan yang cepat. Batas nafas cepat
untuk umur 2 bulan sampai 12 bulan lebih dari 50 kali permenit sedangkan untuk
umur 12 bulan sampai 5 tahun lebih dari 40 kali permenit.
3) Non pneumonia

18

ISPA non pneumonia ditandai dengan satu atau lebih dari tanda-tanda dan gejala
berupa batuk, pilek, serak, dengan atau tanpa demam, frekueksi pernapasan tidak
lebih dari 50 kali permenit.
II. Terapi
Tabel 5. Dosis Antibiotik untuk Pneumonia Bakteri (Glover et al., 2005)
Kelas Antibiotik

Antibiotik

Makrolide
Azalide
Tetracyclin
Penisilin

Klaritromisin

Dosis Antibiotik
Anak (mg/kg/hari)
15

Dewasa (total dosis/hari)


0,5-1 g

Eritromisin

30-50

1-2 g

Azitromisin

10 mg/kg/hari, kemudian

500 mg/hari kemudian

5 mg/kg/hari

250 mg/hari, 4 hari

Tetrasiklin HCL

25-50

1-2 g

Oksitetrasiklin

15-25

0,25-0,3 g

Ampisilin

100-200

2-6 g

Amoksisilin/amoksisilin-

40-90

0,75-1 g

Piperasilin-tazobactam

200-300

12 g

Ampisilin-sulbactam

100-200

4-8 g

Ceftriaxon

50-75

1-2 g

Ceftazidim

150

2-6 g

Cefepim

100-150

2-4 g

Gatifloksasin

10-20

0,4 g

Levofloksasin

10-15

0,5-0,75 g

Ciprofloksasin

20-30

0,5-1,5 g

Gentamisin

7,5

3-6 mg/kg

Tobramisin

7,5

3-6 mg/kg

klavulanat

Spektrum cephalosporin

Fluoroquinolon

Aminoglikosida

II.2

Pencegahan ISPA
Menurut Depkes RI, (2002) pencegahan ISPA antara lain:
1)

Menjaga kesehatan gizi agar tetap baik


Dengan menjaga kesehatan gizi yang baik maka itu akan mencegah kita atau

terhindar dari penyakit yang terutama antara lain penyakit ISPA. Misalnya dengan
mengkonsumsi makanan empat sehat lima sempurna, banyak minum air putih, olah
raga dengan teratur, serta istirahat yang cukup, kesemuanya itu akan menjaga badan
kita tetap sehat. Karena dengan tubuh yang sehat maka kekebalan tubuh kita akan
semakin meningkat, sehingga dapat mencegah virus / bakteri penyakit yang akan
masuk ke tubuh kita.
2)

Imunisasi
19

Pemberian immunisasi sangat diperlukan baik pada anak-anak maupun orang


dewasa. Immunisasi dilakukan untuk menjaga kekebalan tubuh kita supaya tidak
mudah terserang berbagai macam penyakit yang disebabkan oleh virus / bakteri.
3)

Menjaga kebersihan perorangan dan lingkungan


Membuat ventilasi udara serta pencahayaan udara yang baik akan mengurangi

polusi asap dapur / asap rokok yang ada di dalam rumah, sehingga dapat mencegah
seseorang menghirup asap tersebut yang bisa menyebabkan terkena penyakit ISPA.
Ventilasi yang baik dapat memelihara kondisi sirkulasi udara (atmosfer) agar tetap
segar dan sehat bagi manusia.
4)

Mencegah anak berhubungan dengan penderita ISPA


Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) ini disebabkan oleh virus/ bakteri yang

ditularkan oleh seseorang yang telah terjangkit penyakit ini melalui udara yang
tercemar dan masuk ke dalam tubuh. Bibit penyakit ini biasanya berupa virus / bakteri
di udara yang umumnya berbentuk aerosol (anatu suspensi yang melayang di udara).
Adapun bentuk aerosol yakni Droplet, Nuclei (sisa dari sekresi saluran pernafasan
yang dikeluarkan dari tubuh secara droplet dan melayang di udara), yang kedua duet
(campuran antara bibit penyakit).

BAB III
PEMBAHASAN
III.1

Kasus 1
20

Nn. Intan, 18 tahun BB 42 kg datang ke dokter karena demam dan tenggorokan sakit
untuk menelan. Dokter mendiagnosa Nn. Intan terkena faringitis. Pemberian terapi unutk
pasien :

Amoxicillin 500 mg, 3xsehari 1 tablet, selama 7 hari, sesudah makan

Paracetamol 500 mg, 3xsehari 1 tablet, selama 3 hari, sesudah makan, bila demam.

Obat
Amoxicillin (tablet)

Faringitis pada dewasa


Fasa Biofarmasi
Fasa Farmakokinetik
tablet/obat
Ikatan dengan PP
20%
granul terlepas
T1/2 : 1-2 jam
serbuk tersebar
(plasma)
zat aktif melarut
Cmax : 5 g/ml
Tmax : 1 jam
(A) BA 93%
Bioavailabilitas 93%
(D) PP 20%

Bahas
Dibawah

(M) hati

Paracetamol (tablet)

60% diekskresikan
tidak berubah dalam
urin
tablet/obat
granul terlepas
serbuk tersebar
zat aktif melarut
(A) BA 88%
(D) PP 25%

Ikatan dengan PP
25%
T1/2 : 1-4 jam
(plasma)
Cmax : 10-20 g/ml
Tmax : 10-60 menit
Bioavailabilitas 88%

Dibawah

(M) hati
<25% diekskresikan
tidak berubah dalam
urin

Pembahasan :
Amoxycillin

21

Amoxicillin broad-spectrum ini lebih luas spektrum kerjanya. Bakteri gram negatif
memiliki membran fosfolipid di bagian luar yang dapat menghindari akses dari obat ke
dinding sel, namun amoxicillin dapat melewati membran fosfolipid ini melalui pori-porinya.
Amoxicillin banyak digunakan untuk mengatasi infeksi, salah satunya infeksi saluran nafas.
Amoksisilin tahan terhadap inaktivasi oleh asam lambung. Hal ini lebih cepat dan
lebih benar-benar diserap ketika diberikan secara oral. Plasma puncak-amoksisilin
konsentrasi sekitar 5 mikrogram / mL telah diamati 1 sampai 2 jam setelah dosis 250 mg,
dengan terdeteksi jumlah ini hingga 8 jam. Menggandakan dosis dapat melipatgandakan
konsentrasi. Kehadiran makanan di perut tidak muncul untuk mengurangi jumlah total yang
diserap. Sekitar 20% terikat pada protein plasma dan plasma paruh dari 1 sampai 1,5 jam
telah dilaporkan. Itu paruh dapat berkepanjangan pada neonatus, orang tua, dan pasien
dengan gangguan ginjal; pada kerusakan ginjal yang parah paruh mungkin 7 sampai 20 jam.
Amoksisilin didistribusikan secara luas di berbagai konsentrasi dalam tubuh jaringan
dan cairan. Melintasi plasenta; kecil jumlah didistribusikan ke dalam ASI. Sedikit amoksisilin
masuk ke dalam CSF kecuali meninges meradang. Amoksisilin dimetabolisme secara terbatas
untuk penicilloic asam yang diekskresikan dalam urin. Sekitar 60% dari dosis oral
amoksisilin diekskresikan tidak berubah dalam urin di 6 jam dengan filtrasi glomerulus dan
tubulus sekresi. Konsentrasi urin atas 300 mikrogram / mL telah dilaporkan setelah dosis
250 mg. Konsentrasi tinggi memiliki dilaporkan dalam empedu; beberapa mungkin
diekskresikan dalam feses.
Parasetamol

22

Parasetamol merupakan metabolit fenasetin dengan efek antipiretik yang sama.


Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus amino-benzen. Efek analgesic parasetamol yaitu
menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai seang dan menurunkan suhu tubuh
dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral salisilat
Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran pencernaan.
Konsentrasi puncak plasma terjadi sekitar 10 sampai 60 menit setelah dosis oral pada
konsentrasi puncak plasma adalah 20g/ml. Parasetamol terdistribusi secara cepat dan merata
pada kebanyakan jaringan tubuh dan melintasi plasenta sehingga hadir dalam ASI. Sekitar
25% parasetamol di dalam darah terikat pada protein plasma. Parasetamol dimetabolisme
oleh enzim microsomal di dalam hati. Parasetamol mempunyai waktu paruh plasma antara
1,5-3 jam, dan mungkin lebih lama mengikuti dosis toksik atau pada pasien dengan
kerusakan hati.
Sekitar 80-85% parasetamol didalam tubuh mengalami konjugasi terutama dengan
asam glukoronat dan dengan asam sulfat. Parasetamol diekskresikan dalam urin terutama
sebagai glukuronida dan sulfat konjugat. Kurang dari 5 % diekskresikan sebagai tidak
berubah parasetamol.

III.2

Kasus 2
23

Ny.Nia usia 33 tahun, mengeluhkam sesak nafas yang hebat disertai suara mengi, sesak
timbul saat cuaca dingin dan terkena debu, tidak dipengaruhi oleh aktifitas ataupun posisi.
Pasien berobat ke UGD puskesmas. Riwayat penyakit pasien ialah asma (alergi debu). Dokter
mendiagnosa pasien mengalami bronchitis. Pemberian terapi untuk pasien :
. Dokter memberikan resep sebagai berikut :

Salbutamol 2 mg, 3 x sehari 1 tablet, setelah makan (bila terasa sesak)

Methyl prednisolon, 3 x sehari 1 tablet setelah makan (bila masih terasa


sakit/meradang)

Obat
Salbutamol
(tablet)

Methyl

Bronkitis pada dewasa


Fasa Biofarmasi
Fasa Farmakokinetik
tablet/obat
Ikatan dengan PP
10%
granul terlepas
T1/2 : 4-6 jam
serbuk tersebar
(plasma)
zat aktif melarut
onset : 30 menit
Tmax: 2-3 jam
(A) BA 80%
Cmax : 10g/ml
(D) PP 10%
BA : 80%
(M) hati
Diekskresikan 72 jam
terutama di urin
tablet/obat

prednisolon

granul terlepas

(tablet)

serbuk tersebar
zat aktif melarut
(A) BA 80%
(D) PP 78%

Bahas
Dibawah

T1/2 : 3,5 jam atau


Dibawah
lebih (plasma)
Tmax : 2 jam
Cmax : 20g/ml
BA 80%
Terikat dengan PP
78%
.

(M) hati
Dieksresikan melalui urin

Pembahasan :
Salbutamol

24

Salbutamol merupakan bronkodilator yang paling efektif. Stimulasi reseptor 2adrenergik menyebabkan relaksasi otot polos, stabilisasi membrane sel mast, dan stimulasi
oto skelet sehingga melebarkan saluran nafas.
Salbutamol mudah diserap dengan baik dan cepat di saluran pencernaan. Namun,
absorbsinya dihambat oleh adanya makanan. Salbutamol memiliki bioavailabilitas per oral
80% dengan onset waktu adalah 30 menit. Konsentrasi plasma puncak selama 2-3 jam setelah
dosis 10g/ml. Salbutamol akan dimetabolisme di hati dan mungkin di dinding usus, tetapi
tidak muncul untuk akan dimetabolisme di paru-paru ; metabolit utama adalah sukralfat aktif
konjugat sulfat di GIT. Salbutamol cepat diekskresikan, terutama dalam urin sebesar 69%90%, seperti metabolit dan obat tidak berubah; proporsi yang lebih kecil diekskresikan dalam
feses sebesar 4%. Plasma paruh salbutamol telah diperkirakan berkisar dari 4 sampai 6 jam
Methyl prednisolone

Methylprednisolone adalah suatu glukokortikoid alamiah (memiliki sifat menahan


garam (salt retaining properties)), digunakan sebagai terapi pengganti pada defisiensi
adrenokortikal. Analog sintetisnya terutama digunakan sebagai anti-inflamasi pada sistem
25

organ yang mengalami gangguan. Glukokortikoid menimbulkan efek metabolisme yang besar
dan bervariasi. Glukokortikoid merubah respon kekebalan tubuh terhadap berbagai
rangsangan
Methylprednisolone cukup cepat didistribusikan setelah dosis oral, dengan waktu
paruh 3,5 jam atau lebih dalam plasma. Jaringan paruh dilaporkan berkisar 18-36 jam.
Konsentrasi plasma puncak yang diperoleh dalam 2 jam setelah dosis 20g/ml.
Methylprednisolone melintasi plasenta dengan bioavailabilitas 80%. Sekitar 78%
Methylprednisolone terikat dengan protein plasma. Ekskresi methylprednisolone terutama
melalui urin
Pembahasan kasus 1 dan kasus 2
Faringitis radang pada tenggorokan terjadi karena proses radang akut pada faring.
Penyebab faringitis disebabkan oleh faktor lingkungan, infeksi, virus dan bakteri. Sehingga
pengobatan pada faringitis utamanya menggunakan antibiotik selama tujuh hari. Pemakaian
antibiotik dianjurkan selama tujuh hari karena ditakutkan terjadi resistensi bakteri. Resistensi
terhadap antibiotik merupakan fenomena yang alami, bila suatu antibiotik digunakan bakteri
yang mengalami resistensi terhadap antibiotik tersebut memiliki kesempatan yang lebih besar
untuk dapat terus hidup dibandingkan bakteri lain yang lebih rentan.
Bronkitis merupakan peradangan yang terjadi pada cabang trakheobronkial tidak
termasuk alveol, yang umumnya behubungan dengan infeksi pernafasan umum. Infeksi pada
trakea dan bronki menyebabkan pembengkakan selaput lendir dengan peningkatan sekresi
bronkial. Bronkitis akut biasanya diawali dengan infeksi saluran pernafasan atas. Bronkitis
asma merupakan kategori didalam COPD (chronic obstructive pulmonary disease).
Penyakit paru-paru jenis ini biasanya diperoleh oleh individu yang menderita terhadap
bronkitis kronis dan sulit dibedakan dari penyakit paru-paru lainnya karena tanda-tanda dan
gejalanya sangat mirip. Faktor yang memicu serangan bronkitis asma seperti asap rokok,
debu, dll). Bronkitis asma juga menyebabkan penyumbatan pada saluran pernafasan.
Dari 2 kasus di atas, dapat dibedakan penggunaan terapi untuk faringitis dan
bronchitis. Faringitis radang akut yang disebabkan oleh infeksi bakteri diberikan antibiotik
untuk mencegah infeksi yang berkepanjangan dan diberikan pula penambahan parasetamol
karena adanya efek demam yang disebabkan rasa sakit di tenggorokan ketika menelan yang
dirasakannya. Parasetamol ini selain digunakan untuk menurunkan demam dapat juga untuk
mengatasi rasa nyeri.
Untuk bronchitis, karena pasien sebelumnya mengalami riwayat asma maka terapi
untuk pasien ini mirip dengan sama. Pemberian kortikosteroid untuk meredakan radangnya
26

karena muncul akibat adanya pemicu berupa debu dan adanya cuaca dingin yang
menyebabkan aktivasi sel mast karena serangan allergen. Pemberian golongan 2 adrenergik
untuk penanganan bronkospasmus, melebarkan saluran nafas karena pasien mengalami sesak
karena efek dari peradangan tersebut.
Pada umumnya obat-obat yang digunakan pada faringitis dan bronchitis untuk terapi
awal yaitu menggunakan obat melalui oral, dengan fase biofarmasi yang hampir sama yaitu
obat/tablet yang masuk kedalam tubuh dirubah menjadi granul-granul dan kemudian menjadi
serbuk sehingga serbuk-serbuk yang berisi zat aktif melarut dan terabsorpsi cepat dan
sempurna dalam saluran cerna. Obat terikat dengan protein plasma dan dieksresikan melalui
urin.
Pada fase farmakokinetik dari obat-obat yang diberikan untuk pasien faringitis dan
bronchitis umumnya memiliki onset wktu yang sama yaitu sekitar 30 menit dan mencapai
konsentrasi puncak plasma sekitar 5-20g/ml. Obat memiliki waktu paruh sekitar 2-4 jam
dengan bioavalailabilitasnya sekitar 80-90%

BAB IV
PENUTUP
IV.1

Kesimpulan

27

1.

Infeksi Saluran Nafas Akut (ISPA) merupakan infeksi yang melibatkan saluran
pernafasan atau bawah dengan penyakit serta gejala tergantung dari penyebab
apakah dari faktor lingkungan atau semua faktor yang terdapat pada manusia
yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit (penjamu). Bentuk sediaan yang
diberikan dari penyakit ISPA umumya melalui oral, namun terdapat juga yang
melalui tetesan untuk radang pada saluran hidung atau telinga. Pemberian
antibiotik biasa digunakan untuk mengambat penyebaran infeksi karena bakteri

2.

Fase biofarmasi dan farmakokinetik untuk obat-obatan yang diberikan pada


pasien penderita penyakit infeksi saluran pernafasan akut yaitu dengan cara
pemberian oral obat diabsorbsi dengan cepat dan sempurna, berlangsung proses
invasi dan proses eliminasi disamping yang lain.

3.

Fase biofarmasi dan farmakokinetik untuk obat-obatan yang diberikan pada


pasien penderita penyakit Faringitis dan Bronkitis yaitu dengan cara pemberian
oral obat diabsorbsi dengan cepat dan sempurna, mengalami bioavalilabilitas
sekitar80-90% dan terikat pada protein plasma. Konsentrasi puncak plasma
sekitar 5-20g/ml dengan waktu paruh antara 2-4 jam. Dieksresikan umumya
melalui urin dan feses.

DAFTAR PUSTAKA

28

1. Prof. Dr.fauzi Sjuib, 2010. Farmakokinetik dan Biofarmasi Sebagai Jembatan Antara
Dokter dan Apoteker. Dept. Farmasi ITB Bandung.
2. Prof. Dr. Elin Yulinah Sukandar, Apt., Dr. Retnosari Andrajati, Apt., Dr. Joseph I Sigit,
Apt., Dr. I ketut Adnyana, Apt., Drs. A. Adji Prayitno Setiadi, MS., Apt., Dr.
Kusnandar, Apt. 2008.Iso Farmakoterapi. PT. ISFI Penerbitan Jakarta
3. Santoso, G. Masalah Batuk pada Anak. Continuing Education Anak. FK-UNAIR.
1980.
4. DepKes RI. Direktorat Jenderal PPM & PLP. Pedoman Pemberantasan Penyakit
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). 1992. Jakarta.
5. Potter, P.A, A.G Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses dan Praktik.
Edisi 4. Volume 2 Alih Bahasa : Renata Komalasari, dkk. 2005. Jakarta.
6. Kozier, B., Erb, G., Berman, A., Burke, Bonchal & Hirst. 2000. Fundamentals of
Nursing. New Jersey : Prentice Hall Inc
7. Glover. B dan Hadson. C. 1995. Perawatan Bayi Prematur, Arcan-Jakarta
8. Drs Tan Hoan Tjay dan Drs. Kirana Raharja, 2007. Obat-obat penting. PT. Elex Media
Computindo Kelompok Kompas Gramedia, jakarta.
9. Shargel, Leon. Dkk. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi
Kelima. Surabaya : Airlangga University Press
10. Mustcher, Ernst. 1991. Dinamika Obat Buku ajar Farmakologi dan Toksikologi.
Bandung : ITB
11. Dipiro, J.T, et.al. 2009. Pharmacotherapy Handbook, 7 th edition, Mc Graw Hill
Companies, Inc, New York, USA, 71-86
12. Ganiswara, S.G.et.al. (1999). Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Bagian Farakologi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

29

Anda mungkin juga menyukai