Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS III

Seorang Anak dengan Dengue Shock Syndrome, Ensefalopati


Dengue dan Disseminated Intravascular Coagulation

Disusun oleh:
Andriany Chairunnisa
030.11.026

Pembimbing:
Dr. Slamet Widi S, Sp. A
Dr. Zuhriah Hidajati, Sp. A, Msi. Med
Dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, Msi. Med
Dr. Neni Sumarni, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA SEMARANG


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE MEI JULI 2016

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA

: Andriany Chairunnisa

NIM

: 030.11.026

UNIVERSITAS

: Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti

JUDUL

Seorang

anak

dengan

Dengue

Shock

Syndrome,

Ensefalopati Dengue dan Disseminated Intravascular Coagulation


BAGIAN

: Ilmu Kesehatan Anak RSUD Kota Semarang

PEMBIMBING

: dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, Msi. Med

J
uli
2016
Pembimbing

dr. Lilia Dewiyanti, Sp. A, Msi. Med

BAB I
LAPORAN KASUS
I

IDENTITAS PASIEN
Nama pasien

An. PA

Umur

7 tahun 9 bulan

Jenis kelamin

Perempuan

Agama

Islam

Suku

Jawa

Alamat

Jl. Bukit Sendang Mulyo, Gang Mawar II No. 177

Ruang

ICU - Bed 7

Nomor RM

3652xx

Masuk RS

15 Juni 2016

Nama ayah

Tn. L

Umur

32 tahun

Pendidikan

SD

Pekerjaan

Karyawan

Nama ibu

Ny. S

Umur

36 tahun
3

I.

Pendidikan

SD

Pekerjaan

Ibu Rumah Tangga

DATA DASAR
1. Anamnesis ( Alloanamnesis )
Alloanamnesis dilakukan dengan ibu pasien di ruang ICU RSUD Kota
Semarang pada Kamis, 15 Juni 2016 dan didukung dengan catatan
medis.
a. Keluhan Utama : Demam sejak 5 hari SMRS
b. Keluhan Tambahan : Lemas, kaki tangan dingin, sesak, mual
muntah, nyeri kepala, bintik merah di tangan dan kaki.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar ibunya dengan keluhan demam tinggi sejak 5
hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Demam yang dirasakan
muncul mendadak, dirasakan terus menerus sepanjang hari, tetapi
ibu pasien mengatakan bahwa tidak mengukur suhunya dirumah.
Demam hanya turun jika diberi penurun panas tapi kemudian
kembali demam tinggi lagi. Demam yang dirasakan tidak disertai
rasa menggigil, kejang, ataupun penurunan kesadaran. Pada hari
dibawa di IGD, demam sudah tidak setinggi hari sebelumnya,
Pasien merasa sesak pada pagi hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak yang dirasakan tiba-tiba, dan tidak ada batuk dan pilek. Ibu
pasien mengatakan sejak pagi hari anak tampak gelisah dan kaki
tangan anaknya terasa dingin dan banyak keluar keringat. Ibu
pasien juga mengeluhkan anaknya merasa mual setiap mulai makan
dan sempat muntah berisi sisa makanan sebanyak 1x saat satu hari
sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien juga mengeluh sakit kepala
sejak pagi hari dan lemas, sehingga tidak bisa beraktifitas.
Menurut ibu pasien, anaknya tidak pernah mimisan, tidak pernah
mengalami gusi berdarah, tetapi muncul bintik-bintik merah di
kulit kaki dan tangan dan terdapat lebam-lebam kebiruan di tangan

kiri. Buang air besar agak sulit dan berwarna lebih gelap dari
biasanya, tetapi ibu pasien mengatakan buang air kecil masih sering
dan normal seperti biasanya.
Sehari sebelum ke IGD RSUD Kota Semarang, pasien
sudah datang berobat ke Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan
lab darah dan dianjurkan untuk pergi ke rumah sakit karena hasil
lab yang tidak baik. Keesokan harinya pasien dibawa ke IGD
RSUD Kota Semarang pukul 11.00 WIB. Di IGD anak terlihat
lemah, seluruh ujung ekstremitas terasa dingin, dengan suhu
37,20C, nafas 23x/menit dan nadi 178 x/menit kemudian diberi
oksigen 2lt/menit, dipasang infus RL 20cc/kgBB. Pada hasil
pemeriksaan laboratorium saat di IGD Hb15 gr%; Ht 42,10 %;
Leukosit 5200/uL; Trombosit 22.000/uL, kemudian pasien dirawat
di ICU.
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
-

Riwayat sakit serupa sebelumnya disangkal

Riwayat transfusi darah dan konsumsi obat-obatan disangkal

Riwayat trauma disangkal

Riwayat berpergian ke daerah endemis malaria disangkal

Riwayat alergi makanan maupun obat-obatan disangkal

Riwayat sakit hingga dirawat di RS disangkal

e. Riwayat Penyakit Keluarga :


-

Riwayat sakit serupa pada keluarga disangkal

Tetangga ada yang sakit serupa dan dirawat di rumah sakit.

f. Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien tinggal bersama kedua orang tuanya. Ayah pasien bekerja
sebagai karyawan, sedangkan ibu pasien tidak bekerja. Biaya
pengobatan ditanggung sendiri.

Kesan : Sosial ekonomi cukup


g. Riwayat Persalinan dan Kehamilan :
Saat hamil, ibu pasien rutin memeriksakan kehamilannya ke
bidan. Pasien merupakan anak perempuan yang lahir dari ibu
G1P0A0, hamil 38 minggu, lahir spontan di bidan, langsung
menangis, berat badan lahir 2500 gram, panjang badan 50 cm,
lingkar kepala dan lingkar dada saat lahir ibu tidak ingat, tidak ada
kelainan bawaan.
Kesan : neonatus aterm, lahir spontan per vaginam, vigorous baby,
BBL 2500 gram
h. Riwayat Pemeliharaan Prenatal :
Ibu rutin memeriksakan kandungannya secara teratur ke
bidan terdekat. Mulai saat mengetahui kehamilan hingga usia
kehamilan 7 minggu pemeriksaan dilakukan 1x/bulan. Saat usia
kehamilan memasuki usia kandungan ke-8 bulan, pemeriksaan
rutin dilakukan 2x/bulan hingga lahir. Selama hamil ibu telah
mendapat suntikan TT 2xIbu mengaku tidak pernah menderita
penyakit selama kehamilan. Riwayat perdarahan dan trauma saat
hamil disangkal. Riwayat minum obat tanpa resep dokter ataupun
minum jamu disangkal.
Kesan :Riwayat pemeliharaan prenatal baik

i. Riwayat Pemeliharaan Postnatal :


Pemeliharaan postnatal dilakukan di bidan dan anak dalam
keadaan sehat.
Kesan : Riwayat pemeliharaan postnatal baik
j. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak :

Pertumbuhan :
Berat badan lahir 2500 gram. Panjang badan lahir 50 cm.
Berat badan saat ini 30 kg, Tinggi badan saat ini120 cm.
Kesan : Pertumbuhan normal
Perkembangan :
-

Senyum
: 2 bulan
Miring : 3 bulan
Tengkurap
: 5 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 10 bulan
Berjalan
: 12 bulan
Berbicara 1 kata : 12 bulan
Menyusun kalimat : 2 tahun
Saat ini anak berusia 7 tahun 9 bulan.
Kesan : pertumbuhan dan perkembangan sesuai umur.
k. Riwayat Makan dan Minum Anak :
ASI diberikan sejak lahir sampai usia 6bulan. Setelah usia 6
bulan, selain ASI anak juga mendapat diberikan makanan
pendamping ASI berupa pisang yang dilumat halus, bubur susu,
nasi tim, dan buah. Mulai usia 1 tahun sampai sekarang, anak
diberikan makanan padat seperti anggota keluarga yang lain. Anak
saat ini mengonsumsi nasi, daging, tahu, tempe, telur, sayur, dan
buah-buahan dengan frekuensi makan 3 kali sehari.
Kesan : kualitas dan kuantitas makanan baik

l. Riwayat Imunisasi :
BCG

: 1x (1 bulan)

DPT

: 3x (2, 4, 6 bulan)

Polio

: 3x (2,4, 6 bulan)

Hepatitis B

: 3x (2, 4, 6bulan)

Campak

: 1x (9 bulan)

Kesan : Imunisasi dasar sesuai dengan umur dan lengkap.


II.

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 17 Juni 2016 pukul 15.30 WIB
Anak perempuan usia 7 tahun 9 bulan, berat badan 30 kg, tinggi badan 120
cm.
1. Keadaan Umum

: Letargis, tampak sakit berat, terlihat sesak, kesan

gizi baik.
2. Tanda vital :
-

Nadi

: 115x/ menit, reguler, isi dan tegangan cukup, equal


kanan kiri.

Laju nafas

: 25x/ menit

Suhu : 37,2 C ( aksila )

Tekanan Darah

: 90/60 mmHg

3. Status Gizi
WAZ = BB - Median =
SD

14 17,4 = - 1,78 SD (normal)

1,9

HAZ = TB - Median =104 107,3 = - 0,75 SD (normal)


SD

4,4

WHZ = BB - Median = 14 16,5 = - 1,06 SD (normal )


SD

1,5

Kesan : status gizi baik dengan perawakan normal


4. Status Internus
a. Kepala :Normosefali, rambut hitam, distribusi merata.
b. Mata :Pupil bulat, isokor, 3mm/3mm, refleks cahaya
(+/+) normal, konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), oedema palpebra (-/-)

c.

Hidung

: sekret (-/-), Perdarahan (-/-), deformitas (-), nafas cuping hidung (-)

d.

Telinga

: Deformitas (-), serumen (-/-), discharge (-/-), nyeri (-/-)


e. Mulut : Sianosis (-), stomatitis (-), gingiva hiperemis (-),
lidah kotor(-)
f. Tenggorok

: tonsil ukuran T1-T1, permukaan rata,

kriptetonsil hiperemis (-), faring hiperemis (-)


g. Leher

: simetris, pembesaran KGB (-)

h. Thorax

Paru
- Inspeksi

Hemithoraks

dextradan

sinistra simetris, retraksi suprasternal, intercostal


dan epigastrial (-).
Palpasi

: Sterm fremitus dextra dan sinistra simetris

Perkusi

: Sonor di seluruh lapang paru

Auskultasi

: Suara dasar : Vesikuler terdengar melemah di lapang paru

kanan
suara tambahan : ronki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi

: Pulsasi Ictus cordis tidak tampak


-

Palpasi
medial

: Ictus cordis teraba di ICSV, 2 cm


linea

mid

clavicula

sinistra,

tidak

melebar,tidak kuat angkat


Perkusi batas jantung :
atas

: ICS III linea parasternalis sinistra

pinggang : ICS III linea parasternalis sinistra


kanan bawah : ICS V linea sternalis dextra
kiri bawah
-

: ICS V, 2 cm medial linea mid claviculasinistra

Auskultasi :BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-), bising (-)

i. Abdomen :
-

Inspeksi

Auskultasi

: Datar
: BU (+) normal
9

Perkusi

: Shifting dulness -, undulasi -

Palpasi

: Supel (-),defense muscular (-), nyeri tekan regio

hipokondriaka kanan (+), hepatomegali (+) 2 cm dibawah arcus


costa
j. Genitalia

: Perempuan, tidak ada kelainan


k. Kulit

: Tidak sianosis, turgor kembali cepat <2

detik, ikterus (-), ptechie (+) padaekstremitas atas


dan bawah, purpura (+) pada berjumlah 2 dengan
diameter 4cm, berarna merah keunguan.
l. Ekstremitas

:
Superior

Inferior

Akral Dingin

+/+

+/+

Akral Sianosis

-/-

-/-

Oedem

-/-

-/-

<2"

<2"

Capillary Refill Time


III.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Darah (15 Juni 2016)

Pemeriksaan

Hasil

Rujukan

Hb

12 g/Dl

11-15

Ht
Leukosit

42,10 %
5200

35-47
4-11rb

22.000

150-450rb

PT

11,2 detik

10-15

APTT

59,6 detik

24-36

Trombosit
Hemostasis

INR

IV.

0,97

RESUME

10

Telah diperiksa seorang anak perempuan berusia 7 tahun 9 bulan,


dengan Berat badan 30 kg, Tinggi Badan 120 cm dengan keluhan utama
demam 5 hari SMRS. Demam terus menerus dan hanya turun dengan obat
penurun panas. Tetapi saat dibawa ke IGD demam sudah tidak terlalu tinggi,
dan ibu pasien merasa badan anaknya terasa dingin. Sejak pagi hari anak
tampak gelisah dan banyak keluar keringat. Pasien merasa mual setiap mulai
makan dan sempat muntah sebanyak 1x saat satu hari sebelum masuk
Rumah Sakit. Muntah berisi sisa makanan. Pasien juga mengeluh adanya
nyeri kepala, badan terasa lemas, sehingga tidak bisa beraktifitas. Menurut
ibu pasien, terdapat bintik kemerahan di lengan dan kaki, serta lebam-lebam
kebiruan di tangan kiri. Pasien tiba-tiba merasa sesak pada pagi hari
sebelum masuk rumah sakit. Buang air besar agak sulit dan berwarna lebih
gelap dari biasanya. Kemudian pasien dibawa ke IGD RSUD Kota
Semarang dengan keadaan demam, sesak dan akral dingin.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum

anak letargi,

tampak sakit berat, tampak sesak dan gizi baik. Tanda vital HR : 136x/
menit, RR : 35x/menit, suhu : 36.8 celcius. Pada pemereiksaan paru
didapatkan suara nafas paru kanan melemah dibanding paru kiri. Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan dibagian hipokondriaka dan
regio epigastrium serta didapatkan hepatomegali. Pada ekstremitas
didapakan Ptekie di keempat ekstremitas dan terdapat purpura pada lengan
kiri berjumlah 2 berwarna merah keunguan.
-

Hasil laboratorium darah rutin saat ditegakkan diagnosa Hb15 gr%;


Ht 42,10 %; Leukosit 5200/uL; Trombosit 22.000/uL

V.

Gambaran darah tepi, kesan trombositopenia

DIAGNOSIS BANDING
Febris <7 hari, DD :
- Dengue shock sindrom
- ISPA
11

VI.

ITP

DIAGNOSIS KERJA
Dengue Shock Sindrome

VII.

TERAPI
o Oksigen kanul 2lt/menit
o Infus Ringer laktat 7cc/kgBB dalam 2 jam
o Drip Dobutamin 5 mcq
o Inj Cefotaxim 3x500mg
o Inj Ranitidin 2x25mg
o PO Paracetamol 4x2cth
o PO Sucralfat 4x1cth

USUL
-

Pemeriksaan Dengue Blot

Pemeriksaan RLD

Pemeriksaan Elektrolit dan GDS

Non medikamentosa
-

Tirah baring

Pasang Kateter

Batasi aktivitas fisik

Diet lunak

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam

: dubia ad bonam

Quo ad functionam

: dubia ad bonam

Quo ad sanationam

: dubia ad bonam

12

Tgl
Subjektif
16/6/16 Demam (-)
06.30
R. ICU

Objektif
CM, TSB

Diagnosa:

Sesak (+)

HR : 145x/m (reg,

Syndrome, DIC

Mimisan (-)

cukup)

Terapi:

Nyeri perut

TD: 100/80 mmHg

- Oksigen kanul 2 lt

(+)

RR : 30x/m

- Inf. RL 3cc/kgBB/jam

Lemas (+)

T : 36,7oC

- Inj Ranitidin 2x25mg

SpO2: 97%

- Transfusi

Dengue

FFP

(dengan
St. Generalis:
- SN melemah di
lapang paru kanan

Shock

premedikasi

Dexamethason)
- Inj Metil Prednisolon 2x25

mg

- Abdomen tegang,

- Trombopop Topical

NTE (+),

Program:

hepatomegali (+)

- Lebam di tangan
kiri, Ptekie (+), Akral
dingin (+)

kolf

Cek DR, GDS,


Elektrolit

Monitor KU, TTV,


tanda dehidrasi

Lab:
Hb: 14,8 g/dl
Ht: 40,90%
Tr: 9000/uL
Leu: 4600/uL
IgM dengue (+)
IgG dengue (+)
GDS: 125 mg/dL
Na: 135 mmol/L
K: 4,0 mmol/L
17/6/16 Demam (-)
08.00

Sesak (-)

Ca: 1,32 mmol/L


Somnolen, TSB
HR : 110x/m (reg,

Diagnosa:
- Dengue Shock Syndrome
- Ensefalopati Dengue

13

R.ICU

Mimisan (-)

cukup)

- DIC

Nyeri Perut

TD: 110/70 mmHg

- Efusi Pleura Dextra

(+)

RR : 24x/m

Kejang 1x

T : 36,8oC

selama 5

SpO2: 99%

menit, saat
kejang tidak

St.Generalis:

sadar, mata

Oedem Palpebra (-/-)

mendelik

- SN melemah di

keatas.

lapang paru kanan


- Abdomen tegang,
NTE (+),
hepatomegali (+)
- Lebam di tangan
kiri, Ptekie (+), Akral
dingin (+)
Lab:
Hb: 12,7g/dl
Ht: 34,7 %
Tr: 38.000/uL
Leu: 6500/uL

18/6/16 Demam (-)

Terapi:
- O2 1-2 l/mnt
- Infus RL 2cc/kg/jam
- Drip Dobutamin 3mcq
- Inj Cefotaxim 3x500mg
- Inj

Metilprednisolon

2x12,5mg
- Bolus

lanjut

Midazolam

2mg,

maintenance

drip

Midazolam
0,1mg/kgBB/jam
- Trombopop topical

Program:

Cek DR, GDS,


Elektrolit

Monitor KU, TTV,


tanda dehidrasi

Cek PT, APTT, INR

PEI: 30%
CM, TSS

Diagnosa:

Jam

Kejang (-)

T: 36 C

- Post DSS

07.00

Sesak (-)

N: 77x/mnt

R.ICU

Mimisan (-)

RR: 28x/m

- Ensefalopati
perbaikan

Lemas (+)

TD: 110/60 mmHg

- Efusi Pleura Dextra

Pusing (+)

St Generalis
- SN melemah di
lapang paru kanan

dengue

Terapi:
- O2 2 l/mnt
- Infus KN3B 10tpm

14

- Abdomen tegang,

- Drip Dobutamin 3mcq

NTE (+),

- Inj Ranitidin 2x25 mg

hepatomegali (+)

- Inj Cefotaxim 3x500mg

- Lebam di tangan
kiri, Ptekie (-), Akral
dingin (-)

Program:

Cek elektrolit, DR

Lab:
Hb: 12,8 g/dl
Ht: 35,50%
Tr: 107.000/uL
Leu: 8100 /uL
PT: 12,0 detik
APTT: 33,2 detik
19/6/16 Kejang (-)
12.00

Sesak (-)

R.Naku Mimisan (-)


la 4

Lemas (+)

INR: 1,04
CM, TSS

Diagnosis:

S: 36,6 C

- Post DSS

N: 80x/m
S: 120/70 mmHg

- Ensefalopati
perbaikan

RR: 24x/m

- Efusi Pleura Dextra

dengue

SpO2 96%
St Generalis
- SN melemah di
lapang paru kanan
- Abdomen tegang,
NTE (-),
hepatomegali (-)

Terapi:
Infus KN3B 8 tpm
- Inj Ranitidin 2x25 mg
- Inj Cefotaxim 3x500mg

Program:

Monitor KU, TTV

- Lebam di tangan
kiri (-), Ptekie (-),
Akral dingin (-)

15

Lab:
Hb: 11,9 g/dl
Ht: 33,40%
Tr: 265.000/uL
Leu: 7800/uL
Na: 135 mmol/L
K: 4,30 mmol/L
Ca: 1,19 mmol/L
CM, TSS

Diagnosa

Nyeri Perut

S: 36,5 C

- Pasca DSS

(-)

N: 88x/m

Mimisan (-)

S: 120/70 mmHg

perbaikan

Sesak (-)

RR: 20x/m

20/6/16 Demam (-)


09.00
R.
Nakula
4

SpO2 99%

Ensefalopati

dengue

Program:
Rawat Jalan

St Generalis

PO Curvit 1x1cth

- SN simetris

PO Ulsafat 3x1C

- Abdomen tegang,
NTE (-),
hepatomegali (-)
- Lebam di tangan
kiri (-), Ptekie (-),
Akral dingin (-)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
INFEKSI VIRUS DENGUE

16

PENDAHULUAN
Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi
klinis

yang

bervariasi

antara

penyakit

yang

paling

ringan

(mild

undifferientiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue


(DBD) dan demam berdarah dengue disertai syok (dengue shock syndrome).
Manifestasi klinis yang bervariasi menunjukkan fenomena gunung es dimana
DBD dan DSS sebagai puncaknya sedangkan kasus dengue ringan dan demam
dengue merupakan dasarnya. Perjalanan penyakit sering sukar diramalkan
dimana sebagian kasus dengan syok berat dapat disembuhkan walau hanya
dengan pengobatan sederhana sedang sebagian lain datang dengan kasus ringan
tetapi meninggal dunia dalam waktu singkat walau telah mendapat perawatan
dan pengobatan intensif.1,2
II

DEFINISI
Infeksi virus dengue ialah suatu infeksi virus akut, ditularkan oleh nyamuk
spesies Aedes, dan sekarang telah dapat diisolasi 4 serotipe di Indonesia, yaitu
DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. 2
Demam dengue adalah merupakan sindrom jinak yang disebabkan oleh
arbovirus dengan karakter demam bifasik, mialgi atau athralgia, rash,
leukopenia dan limfadenopati1,4.
Demam berdarah dengue dalah suatu demam berat bahkan sering fatal
yang disebabkan virus dengue dengan karakteristik yang timbul akibat
peningkatan permeabilitas kapiler, hemostasis yang abnormal, dan pada
beberapa kasus berat sindrom syok (DSS) akibat kehilangan protein yang
berhubungan dengan meningkatnya reaksi imunologis. Dengue shock
syndrome adalah demam berdarah dengue yang disertai renjatan3

III VEKTOR
Virus dengue berasal dari famili Flaviviridae ditularkan kepada manusia
terutama melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Selain itu dapat juga
ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa

17

spesies lain yang merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes
aegypti hidup di daerah tropis dan subtropis dengan suhu 28-32 OC dan
kelembaban yang tinggi serta tidak dapat hidup di ketinggian 1000 m. Vektor
utama untuk arbovirus bersifat multiple bitter, antropofilik, dapat hidup di alam
bebas, terbang siang hari (jam 08.00-10.00 dan 14.00-16.00), jarak terbang 100
m 1 km, dan ditularkan oleh nyamuk betina yang terinfeksi.
IV

CARA PENULARAN
Virus yang ada di kelenjar ludah nyamuk ditularkan ke manusia melalui
gigitan. Kemudian virus bereplikasi di dalam tubuh manusia pada organ
targetnya seperti makrofag, monosit, dan sel Kuppfer kemudian menginfeksi
sel-sel darah putih dan jaringan limfatik. Virus dilepaskan dan bersirkulasi
dalam darah. Di tubuh manusia virus memerlukan waktu masa tunas intrinsik
4-6 hari sebelum menimbulkan penyakit. Nyamuk kedua akan menghisap virus
yang ada di darah manusia. Kemudian virus bereplikasi di usus dan organ lain
yang selanjutnya akan menginfeksi kelenjar ludah nyamuk. Virus bereplikasi
dalam kelenjar ludah nyamuk untuk selanjutnya siap-siap ditularkan kembali
kepada manusia lainnya. Periode ini disebut masa tunas ekstrinsik yaitu 8-10
hari. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak dalam tubuh nyamuk,
nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif).

EPIDEMIOLOGI
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18 seperti yang
dilaporkan oleh David Bylon, dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi
virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam
lima hari (vijfdaagse koorts) kadang juga disebut sebagai demam sendi
(knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang
dalam 5 hari disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala.
Di Indonesia, pertama sekali dijumpai di Surabaya pada tahun 1968 dan
kemudian disusul dengan daerah-daerah yang lain. Jumlah penderita
menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini

18

banyak terjadi di kota-kota yang padat penduduknya. Akan tetapi dalam tahuntahun terakhir ini, penyakit ini juga berjangkit di daerah pedesaan.
Berdasarkan penelitian di Indonesia dari tahun 1968-1995 kelompok umur
yang paling sering terkena ialah 5 14 tahun walaupun saat ini makin banyak
kelompok umur lebih tua menderita DBD. Saat ini jumlah kasus masih tetap
tinggi rata-rata 10-25/100.000 penduduk, namun angka kematian telah
menurun bermakna < 2%.
VI

PATOFISIOLOGI
a. Volume Plasma
Fenomena patofisiologi utama yang menentukan derajat penyakit dan
membedakan antara DD dengan DBD ialah peningkatan permeabilitas
dinding pembuluh darah, penurunan volume plasma, terjadinya hipotensi,
trombositopenia, serta diathesis hemoragik. Penyelidikan volume plasma
pada kasus DBD dengan menggunakan 131 Iodine labelled human albumin
sebagai indikator membuktikan bahwa plasma merembes selama perjalanan
penyakit mulai dari permulaan masa demam dan mencapai puncaknya pada
masa syok. Pada kasus berat, syok terjadi secara akut, nilai hematokrit
meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel
dinding pembuluh darah. Meningginya nilai hematokrit pada kasus syok
menimbulkan dugaan bahwa syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma
ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) melalui
kapiler yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini ialah meningkatnya
berat badan, ditemukannya cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu
rongga peritoneum, pleura, dan perikardium yang pada otopsi ternyata
melebihi cairan yang diberikan melalui infus, dan terdapatnya edema.5
Pada sebagian besar kasus, plasma yang menghilang dapat diganti
secara efektif dengan memberikan plasma atau ekspander plasma. Pada
masa dini dapat diberikan cairan yang mengandung elektrolit. Syok terjadi
secara akut dan perbaikan klinis terjadi secara cepat dan drastis. Sedangkan
pada otopsi tidak ditemukan kerusakan dinding pembuluh darah yang

19

bersifat dekstruktif atau akibat radang, sehingga menimbulkan dugaan


bahwa perubahan fungsional dinding pembuluh darah agaknya disebabkan
oleh mediator farmakologis yang bekerja secara cepat. Gambaran
mikroskop

elektron

biopsy

kulit

pasien

DBD

pada

masa

akut

memperlihatkan kerusakan sel endotel vaskular yang mirip dengan luka


akibat anoksia atau luka bakar. Gambaran itu juga mirip dengan binatang
yang diberi histamin atau serotonin atau dibuat keadaan trombositopenia.5
b. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan
pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa
demam dan mencapai nilai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit
secara cepat meningkat pada masa konvalesens dan nilai normal biasanya
tercapai 7-10 hari sejak permulaan sakit.
Trombositopenia yang dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit
muda dalam sumsum tulang dan pendeknya masa hidup trombosit diduga
akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain
trombositopenia ialah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan
radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit terjadi dalam
sistem retikuloendotel, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi
trombosit tidak diketahui, namun beberapa faktor dapat menjadi penyebab
yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel
endotel dan aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara
terpisah. Lebih lanjut fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun
mungkin disebabkan proses imunologis terbukti ditemui kompleks imun
dalam peredaran darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit
dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD.5
1

Sistem koagulasi dan fibrinolisis


Kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam perdarahan DBD. Masa
perdarahan memanjang, masa pembekuan normal, masa tromboplastin
parsial yang teraktivasi memajang. Beberapa faktor pembekuan menurun,

20

termasuk faktor II, V, VII, VIII, X dan fibrinogen. Pada kasus DBD berat
terjadi peningkatan Fibrinogen Degradation Products (FDP). Penelitian
lebih lanjut faktor koagulasi membuktikan adanya penurunan aktivitas
antitrombin III. Disamping itu juga dibuktikan bahwa menurunnya aktivitas
faktor VII, faktor II, dan antitrombin III tidak sebanyak seperti fibrinogen da
faktor VIII. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa menurunnya kadar
fibrinogen dan faktor VIII tidak hanya diakibatkan oleh konsumsi sistem
koagulasi, tetapi juga oleh konsumsi sistem fibrinolisis. Kelainan fibrinolisis
pada DBD dibuktikan dengan penurunan alpha 2 plasmin inhibitor dan
penurunan aktivitas plasminogen.
Seluruh penelitian di atas menunjukan bahwa :
1 Pada DBD stadium akut telah terjadi proses koagulasi dan
fibrinolysis
2 Diseminated intravaskular coagulation secara potensial dapat terjadi
juga DBD tanpa syok. Pada masa dini DBD, peran DIC tidak
menonjol dibandingkan dengan perubahan plasma tetapi apabila
penyakit memburuk sehingga terjadi syok dan asidosis maka syok
akan memperberat DIC sehingga perannya akan mencolok. Syok dan
DIC saling mempengaruhi sehingga penyakit akan memasuki syok
irreversible disertai perdarahan hebat, terlibatnya organ-organ vital
yang biasanya diakhiri dengan kematian.
3 Perdarahan kulit pada umumnya disebabkan oleh faktor kapiler,
gangguan

fungsi

trombosit

dan

trombositopeni,

sedangkan

perdarahan masif ialah akibat kelainan mekanisme yang lebih


komplek seperti trombositopenia, gangguan faktor pembekuan, dan
kemungkinan besar oleh faktor DIC, terutama pada kasus dengan
syok lama yang tidak dapat diatasi disertai komplikasi asidosis
metabolik.
4 Antitrombin III yang merupakan kofaktor heparin. Pada kasus
dengan kekurangan antitrombin III, respon pemberian heparin akan
berkurang.5

21

Sistem Komplemen
Penelitian sistem komplemen pada DBD memperlihatkan penurunan
kadar C3, C3 proaktivaktor, C4, dan C5 baik pada kasus yang disertai syok
maupun tidak. Terdapat hubungan positif antara kadar serum komplemen
dengan derajat penyakit. Penurunan ini menimbulkan perkiraan bahwa pada
dengue, aktivasi komplemen terjadi baik melalui jalur klasik maupun jalur
alternatif. Hasil penelitian radio isotop mendukung pendapat bahwa
penurunan kadar serum komplemen disebabkan oleh aktivasi sistem
komplemen dan bukan oleh karena produksi yang menurun atau ekstrapolasi
komplemen. Aktivasi ini menghasilkan anafilatoksin C3a dan C5a yang
mempunyai kemampuan stimulasi sel mast untuk melepaskan histamin dan
merupakan mediator kuat untuk menimbulkan peningkatan permeabilitas
kapiler, pengurangan plasma dan syok hipovolemik.
Komplemen juga bereaksi dengan epitop virus pada sel endotel,
permukaan trombosit dan limfosit T, yang menimbulkan waktu paruh
trombosit memendek, kebocoran plasma, syok, dan perdarahan. Disamping
itu komplemen juga merangsang monosit untuk memproduksi sitokin
seperti tumor nekrosis faktor (TNF), interferon gama, interleukin (IL-2 dan
IL-1).5
Bukti-bukti yang mendukung peran sistem komplemen pada penderita
DBD ialah
1
2

Ditemukannya kadar histamin yang meningkat dalam urin 24 jam


Adanya kompleks imun yang bersirkulasi (circulating immune

complex) baik pada DBD derajat ringan maupun berat


Adanya korelasi antara kadar kuantitatif kompleks imun dengan
derajat berat penyakit.

3 Respon Leukosit
Pada perjalanan penyakit DBD, sejak demam hari ketiga terlihat
peningkatan limfosit atopik yang berlangsung sampai hari ke delapan.
Pemeriksaan limfosit plasma biru secara seri dari preparat hapus darah tepi
memperlihatkan bahwa LPB pada infeksi dengue mencapai puncak pada
22

hari ke enam. Selanjutnya dibuktikan pula bahwa diantara hari keempat


sampai kedelapan demam terdapat perbedaan bermakna proporsi LPB pada
DBD dengan demam dengue. Dari penelitian imunologi disimpulkan bahwa
LPB merupakan campuran antara limfosit B dan limfosit T.5
VII

PATOGENENIS
Mekanisme

sebenarnya

tentang

patofisiologi,

hemodinamika,

dan

biokimiawi demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena


kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan
untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini
sebagaian besar masih menganut the secondary heterologous infection
hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa
DBD dapat terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali
mendapatkan infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6
bulan sampai 5 tahun.5
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES
meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa selsel monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam
sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus
genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom
virus membentuk komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun
komponen struktural virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus
dilepaskan dari dalam sel. Proses perkembangan biakan virus DEN terjadi di
sitoplasma sel.
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang
berfungsi menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing

23

antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi
yang dibedakan berdasarkan adanya virion determinant spesificity, yaitu:
a Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi
tetapi memacu replikasi virus
b Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya
memacu replikasi virus.
Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan
menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan
akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa
infeksi virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung
menimbulkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya
reaksi imunologis (the immunological enhancement hypothesis) yang
berlangsung sebagai berikut:
a

Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel

kupffer merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama


Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya
virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme

pertama ini disebut mekanisme aferen.


Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear

yang telah terinfeksi


Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan
menyebar ke usus, hati, limpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini
disebut mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD

dengan dan tanpa syok adalah jumlah sel yang terkena infeksi.
Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan
sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya
mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi
sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor. Limfosit T
juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD. Akibat
rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat
mengeluarkan interferon dan . Pada infeksi sekunder oleh virus
24

dengue, Limfosit T CD4 berproliferasi dan menghasilkan interferon .


Interferon selanjutnya merangsang sel yang terinfeksi virus dengue
dan mengakibatkan monosit memproduksi mediator. Oleh limfosit T
CD4 dan CD8 spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis dan
mengeluarkan mediator yang akan menyebabkan kebocoran plasma dan
perdarahan (Soedarmo, 2012).
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan cross reaction atau reaksi silang pada uji serologis, hal
ini menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan.
Kesulitan ini dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN.
Infeksi oleh satu serotip virus DEN menimbulkan imunitas protektif
terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak ada cross protectif
terhadap serotip virus yang lain (Soegijanto, 2006)
VIII
a

MANIFESTASI KLINIK
Demam Dengue
Masa tunas berkisar antara 3-5 hari (pada umumnya 5-8 hari) 5,
kepustakaan lain 1-7 hari 1. awal penyakit biasanya mendadak, disetai gejala
prodromal meliputi nyeri kepala, nyeri berbagai bagian tubuh, anoreksia,
rasa menggigil dan malaise. Terdapat trias yaitu demam tinggi, nyeri
anggota badan dan timbul ruam5. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu
naik pertama kali yaitu pada hari sakit ke 3-5 berlangsung 3-4 hari,
kepustakaan lain menyebutkan 24-48 jam setelah timbul demam 1. Ruam
bersifat makulopapular, generalis dan menghilang pada tekanan1,5.
Pada lebih dari separuh pasien, gejala yang timbul mendadak disertai
kenaikan suhu, nyeri kepala hebat, nyeri dibelakang bola mata, punggung,
otot, sendi disertai rasa menggigil. Beberapa penderita dijumpai demam
bifasik atau menyerupai pelana kuda, tetapi tidak dianggap patognomonik
karena tidak dijumpai pada setiap pasien5.
Sering pula dijumpai anoreksia, obstipasi, rasa tak nyaman epigastrium
disertai nyeri kolik dan perut lembek. Dapat ditemui fotofobi, keringat

25

bercucuran, serak, batuk, epistaksis dan disuria. Kelenjar servikal sering


dilaporkan membesar (Castelanis sign) dan dianggap sangat patognomonik.
Manifestasi perdarahan jarang dijumpai.
Kelainan darah tepi berupa leukopeni selama periode prademam dan
demam, neutofilia relatif dan limfopenia, disusul oleh neutropenia relatif
dan limfositosis pada periode puncak penyakit dan pada masa konvalesen.
Eosinofil menurun dan menghilang pada permulaan dan pada puncak
penyakit , hitung jenis neutrofil bergeser ke kiri selama periode demam, sel
plasma meningkat pada periode memuncaknya penyakit dengan terdapatnya
tombositopeni. Darah tepi menjadi normal kembali dalam satu minggu3,5.
b

Demam Berdarah Dengue


Ditandai oleh 4 manifestasi klinis, yaitu demam tinggi mendadak dan
terus-menerus, perdarahan, terutama perdarahan kulit, hepatomegali dan
kegagalan peredaran darah3,5,6,7. Lama demam 2-7 hari, suhu dapat mencapai
40-41C7 Juga dapat ditemui uji tourniket yang positif, memar dan
perdarahan pada tempat pengambilan darah vena. Epistaksis dan perdarahan
gusi jarang ditemui terlebih perdarahan saluran cerna yang biasanya timbul
setelah renjatan yang tidak dapat diatasi. Perdarahan lain seperti perdarahan
subkonjungtival

kadang-kadang

ditemukan.

Pada

masa

konvalesen

seringkali ditemukan eritema pada telapak tangan/telapak kaki3,5.


Halstead dkk(1970) membatasi pada penderita dengan kelainan khas,
yaitu hipoproteinemi dan trombositopeni, sehingga tidaklah digolongkan
sebagai DHF bila penderita infeksi dengue dengan perdarahan hebat bila
tidak ditemukan hipoproteinemi dan trombositopeni3.
WHO menggunakan kriteria sebagai berikut untuk mendiagnosis
demam dengue dan demam berdarah dengue9 :
Demam dengue ditandai gejala klinis berupa demam diikuti 2 gejala :
nyeri kepala, muntah,nyeri perut, nyeri otot, nyeri sendi, rash; mungkin
disertai manifestasi perdarahan berupa uji tourniket positif dan/atau
perdarahan spontan; tidak terbukti terjadinya peningkatan permeabilitas

26

pembuluh darah, nilai hematokrit maksimal < 44%; mungkin terdapat


trombositopeni.3
Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan
laboratorium. Gejala klinis berupa :5
1

Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari

Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet (+) dan salah satu bentuk
perdarahan lain (ptekie, purpura, ekimosis, epitaksis, perdarahan gusi),
hematemesis dan atau melena.

Pembesaran hati

Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi
menurun ( 20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik 80
mmHg), disertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada
ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah, dan timbul sianosis
disekitar mulut.
Dari Laboratorium adanya peningkatan permeabilitas kapiler dengan

nilai hematokrit 20%; hitung trombosit mimimal 100.000/mm3.


Diagnosis pasti DBD = dua kriteria klinis pertama + trombositopenia +
hemokonsentrasi serta dikonfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi.
c

Dengue Shock Syndrome


Pada DSS setelah demam berlangsung selama beberapa hari keadaan
umum tiba-tiba memburuk, hal ini biasanya terjadi pada saat atau setelah
demam menurun, yaitu pada hari sakit ke 3-7. Hal ini dapat diterangkan
dengan hipotesis meningkatnya reaksi imunologis. Pada sebagian besar
kasus ditemukan tanda kegagalan peredaran darah, kulit teraba lembab dan
dingin, sianosis sekitar mulut, nadi menjadi cepat dan lembut. Anak tampak
lesu, gelisah dan secara cepat masuk dalam fase syok. Pasien seringkali
mengeluh nyeri didaerah perut sesaat sebelum syok. Fabie (1996)
mengemukakan bahwa nyeri perut hebat seringkali mendahului perdarahan
gastrointestinal. Nyeri daerah

retrosternal tanpa sebab yang jelas dapat

memberi petunjuk adanya perdarahan gastrointestinal yang hebat. Syok

27

yang terjadi selama periode demam biasanya mempunyai prognosis yang


buruk. Disamping kegagalan sirkulasi syok ditandai oleh nadi lembut, cepat,
kecil, sampai tidak dapat diraba. Tekanan nadi menurun sampai 20mmHg
atau kurang dan tekanan sistolik menurun sampai 80 mmHg atau lebih
rendah3,5.
IX

DIAGNOSIS
Hingga kini diagnosis DBD/DSS masih didasarkan atas patokan yang telah
dirumuskan oleh WHO pada tahun 1975 yang terdiri dari 4 kriteria klinik dan 2
kriteria laboratorik dengan syarat bila kriteria laboratorik terpenuhi ditambah
minimal 2 kriteria klinik pertama, dengan ketepatan diagnosis 70-90% 2 atau
87%2345. Kriteria Klinik 2,3,4,5,9:
1

Demam tinggi dengan mendadak dan terus menerus selama 2-7 hari,
dengan sebab tidak jelas dan hampir tidak dapat dipengaruhi oleh
antipiretik maupun surface cooling.

Manifestasi perdarahan :
a

Dengan manipulasi yaitu uji tourniket positif

Spontan yaitu petekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,


hematemesis dan melena.

Pembesaran hati

28

Syok yang ditandai dengan nadi yang lemah dan cepat sampai tak
teraba, tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau sampai nol,
tekanan darah (sistolik) menurun menjadi 80 mmHg atau sampai nol,
disertai kulit yang teraba lembab dan dingin terutama pada ujung jari
tangan, kaki dan hidung, penderita menjadi lemah, gelisah sampai
menurunnya kesadaran dan timbul sianosis di sekitar mulut.

Kriteria Laboratorik :
1
2

Trombositopeni : jumlah trombosit 100.000/mm.


Hemokonsentrasi : meningginya nilai hematokrit atau Hct 20%
dibandingkan dengan nilai pada masa konvalesen.

Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi dan sangat erat kaitannya


dengan pengelolaan dan prognosis, maka WHO (1975) membagi DBD dalam 4
derajat setelah kriteria laboratorik terpenuhi yaitu:
Derajat I

: Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala tidak khas dan satusatunya manifestasi perdarahan adalah uji tourniket positif.

Derajat II : Derajat I disertai dengan perdarahan spontan dikulit dan atau


perdarahan lain.
Derajat III : Derajat II ditambah kegagalan sirkulasi ringan yaitu nadi cepat
dan lemah, tekanan nadi menurun ( 20 mmHg) atau hipotensi
(sistolik 80 mmHg) disertai kulit yang dingin, lembab dan
penderita gelisah.
Derajat IV : Derajat III ditambah syok berat dengan nadi yang tak teraba dan
tekanan darah yang tak terukur, dapat disertai dengan penurunan
kesadaran, sianosis dan asidosis.
Derajat I dan II disebut DBD/DHF tanpa renjatan sedang derajat III dan IV
disebut DBD/DHF dengan renjatan atau DSS2,8
X

PEMERIKSAAN PENUNJANG
a Pemeriksaan laboratorium

29

Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu


ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa
ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau
bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang
disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit
(WHO, 2011).
Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan
peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu
diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan
atau oleh perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun
(leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik
sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi
akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. Adanya fibrinolisis dan
ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin,
faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada
sepertiga sampai setengah kasus DBD (WHO, 2011).
b

Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa
kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi
pleura, kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga
peritoneum, penebalan dinding vesica felia (WHO, 2011).

Pemeriksaan Rumple leed test


Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara
mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan
kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat
akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari
kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak
sebagai bercak merah kecil pada permukaan kulit (petechiae). Pemeriksaan
ini didefinisikan oleh WHO (2011) sebagai salah satu syarat yang
diperlukan untuk diagnosis demam berdarah. Suatu manset tekanan darah

30

diterapkan dan meningkat ke titik antara sistolik dan diastolik tekanan darah
selama lima menit. Tes positif jika ada 10 atau lebih ptekia per inci persegi.
Pada penderita demam berdarah tes dengue biasanya memberikan hasil
positif yang pasti dengan 20 ptekia atau lebih. Dewasa ini rumple leed test
dianggap tes yang sudah usang atau tidak dapat diandalkan. Akan tetapi tes
ini tetap menjadi bagian penting dari penilaian seorang pasien yang
mungkin memiliki demam berdarah dengue.
d

Pemeriksaan lainnya :
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi infeksi
virus dengue yaitu (WHO, 2011):
-

Isolasi Virus :Karakteristik serotypic/genotypic


Deteksi Asam Nukleat Virus :Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase

Polymerase Chain Reaction)


Deteksi Antigen Virus : Deteksi antigen NS1
Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutination-inhibition
(HI), Complement Fixation (CF), Neutralization Test (NT), IgM capture
enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA), danpemeriksaan
IgG ELISA indirect Viremia pada pasien dengan infeksi dengue
sangatlah pendek, yaitu muncul pada 2 3 hari sebelum onset demam
dan bertahan hingga 4 7 hari saat sakit. Selama periode ini, asam
nukleat virus dan antigen virus dapat terdeteksi.
Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi
Ig M dapat terdeteksi pada 3 5 hari setelah onset, meningkat cepat
selama 2 minggu, dan menurun hingga tidak terdeteksi pada 2 3 bulan.
Antibodi Ig G terdeteksi rendah pada akhir minggu pertama, meningkat
kemudian, dan menetap hingga bertahun tahun. Pada infeksi sekunder
virus dengue, titer antibodi meningkat cepat. Antibodi Ig G terdeteksi
pada level tinggi, pada saat fase inisial, dan menetap hingga beberapa
bulan. Antibodi Ig M biasanya lebih rendah pada infeksi dengue
sekunder. Oleh karena itu, perbandingan Ig M/ Ig G digunakan untuk
membedakan antara infeksi primer dan infeksi sekunder virus dengue.
Disebut infeksi primer jika perbandingan Ig M / Ig G lebih dari 1,2, dan

31

disebut infeksi sekunder jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2


(WHO, 2011).
XI
a

PENATALAKSANAAN
DBD derajat I
DBD derajat I tidak perlu dirawat inap, kalau orang tua bisa diajak
kerjasama. Prinsip penanganan adalah istirahat, diet TKTP, banyak minum,
kalau perlu antipiretik(parasetamol). Nasihat untuk kontrol, terutama bila
timbul tanda yang tak diinginkan atau panas tidak mau turun4.

DBD derajat II
DBD derajat II sebaiknya dirawat inap, mengingat kemungkinan
timbulnya perdarahan akut dan berkembangnya menjadi derajat III. 4 Demam
berdarah dengue tanpa disertai renjatan pengobatannya hanya bersifat
simptomatis dan suportif meliputi2:
1

Pemberian cairan yang cukup. Cairan diberikan untuk mengurangi rasa


haus dan

dehidrasi akibat demam tinggi, anoreksia, dan muntah.

Penderita perlu diberi minum sebanyak mungkin (1-2 L dalam 24 jam)


2
3

berupa air the dengan gula, sirup atau susu.


Pada beberapa penderita dapat diberikan oralit.
Antipiretik. Seperi golongan Asetminofen, jangan memberikan golongan

4
5

salisilat karena menambah perdarahan.


Surface cooling
Antikonvulsan. Bila penderita kejang dapat diberikan diazepam(valium)
atau fenobarbital(luminal). Anak berumur lebih dari satu tahun diberikan
luminal 75 mg dan dibawah satu tahun 50 mg secara IM3. bila dalam
waktu 15 menit kejang tidak berhenti pemberian luminal diulang dengan
dosis 3 mg/kgBB. Anak diatas satu tahun diberikan 50 mg dan dibawah
satu tahun 30 mg dengan memperhatikan adanya depresi fungsi
vital(pernafasan,jantung).
Pemberian Intravenous fluid drip (IVFD) pada DBD tanpa renjatan

dilaksanakan apabila:
32

Penderita terus-menerus muntah sehingga tidak mungkin diberikan


makanan peroral, sedangkan muntah-muntah itu mengancam terjadinya

2
c

dehidrasi dan asidosis.


Nilai hematokrit cenderung terus meningkat.

DBD dengan renjatan2


Prinsip pengobatan meliputi: atasi segera hipovolemi; lanjutkan
penggantian cairan yang masih terus keluar dari pembuluh darah selama 1224 jam , atau paling lama 48 jam; koreksi keseimbangan asam-basa; beri
darah segar bila ada perdarahan hebat

Mengatasi renjatan.
Sebaiknya diberikan cairan kristaloid yang isotonis atau yang sedikit
hipertonis. Cairan yang dapat dipakai: Ringer Laktat(RL); Glukose 5%
dalam half strength NACL 0,9%; RL-D5, dibuat dengan menambahkan
6,25 cc RL dengan 6,25 cc D40%; atau NaCl 0,9% : D10% ditambahkan
Natrium bikarbonas 7,5% sebanyak 2 cc/kgBB.
Plasma/plasma ekspander. Diperlukan pada penderita renjatan berat
atau bila tidak segera mengalami perbaikan dengan cairan kristaloid
diatas. Bila dapat cepat disiapkan , diberikan sebagai pengganti cairan
pertama lalu setelah itu cairan pertama dilanjutkan lagi. Bila setelah
pemberian cairan pertama nilai hematokrit masih tinggi dan hitung
trombosit masih rendah. Dosis 10-20 cc/kgBB dalam 1-2 jam. Bila
nadi/tekanan darah masih jelek atau Ht masih tinggi, dapat ditambahkan
plasma 10 cc/kgBB setiap jam sampai total 40 cc/kgBB. Yang digunakan
seperti Plasbumin (Human albumin 25%), Plasmanate (plasma protein
fraction 5%), plasmafuchsin, Dekstran L 40.
Dosis/kecepatan pemberian cairan kristaloid. Dosis yang biasa
diberikan ialah 20-40 cc/kgBB diberikan secepat mungkin dalam 1-2
jam. Untuk renjatan yang tidak berat, cairan diberikan dengan kecepatan
20 cc/kgBB/jam dan dapat diulang hingga 2 kali, bahkan bila vena kolaps
dimana pemberian yang diharapkan tidak dapat dicapai, maka dapat

33

diberikan dengan semprit secara cepat sebanyak 100-200 cc. Untuk


menentukan guyur tidaknya pemberian cairan, maka dilakukan
pengukuran central venous pressure (CVP/JVP) dengan pemasangan
kateter vena sentralis biasanya pada v. Basilica lengan kiri atau kanan,
apabila nilai kurang dari 5 maka cairan diguyur sampai nilai=5 dan
dipertahankan antara 5-8 cm H20.
2

Cairan maintenance 2
Jenis cairan yang dapat diberikan:
a

D5/10 : NaCl 0,9 = 3:1, untuk anak besar dan anak bayi 4:1

D5 dalam NaCl 0,225 , kedalam cairan ini ditambahkan KCl 10 mEq,


Vitamin B komplek dan vitamin C secukupnya

D5/10 + KCl 10 mEq/botol, bila kadar natrium dan klorida dalam


serum tinggi

NaCl 0,9 : D10 aa

cairan kristaloid + cairan plasma ekspander

Atau cairan rekomendasi dari WHO ,berupa: 6


a
b
c

Ringer laktat (RL), atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat (D5/RL)


Ringer asetat (RA), atau dekstrosa 5% dalalm ringer asetat (D5/RA)
NaCL 0,9% (garam faali=GF), atau dekstrosa 5% dalam garam faali
(D5/GF)

Kecepatan/Dosis cairan maintenance


Setelah renjatan teratasi dan penderita mulai masuk kedalam stadium
penyembuhan, maka pemberian cairan hendaknya dilakukan secara hatihati karena dapat terjadi hipervolemia, hal ini karena cairan yang terdapat
di ruang ekstravaskular mulai direabsorbsi kedalam vascular. Dosis yang
sering digunakan ialah 100-150 ml/kgBB/24 jam.

Tranfusi darah
Sebaiknya darah segar; pada perdarahan hebat baik hematemesis, melena
atau epistaksis yang memerlukan tamponade; bila setelah 24-48 jam setelah
34

pengobatan renjatan anak jatuh ke dalam renjatan lagi walaupun belum


terlihat perdarahan; pada kadar hematokrit yang rendah (< 35-40%) tetapi
anak masih syok; Dosis 10-20 ml/kgBB, dapat ditambah bila perdarahan
berlangsung terus. Pada perdarahan gastrointestinal hebat (kadang dapat
diduga dari menurunnya Hb dan Ht sedang perdarahan sendiri tidak
kelihatan)3.
5

Obat-obatan
a Antibiotik. Diberikan bila prolonged shock, ada infeksi sekunder, sebagai
profilaksis. Dapat digunakan : Ampisilin 400-800 mg/kgBB/hari IV atau
b

Gentamisin 2 x 5mg/kgBB/hari IV.


Antivirus. Seperti isoprinosin. Masih kontroversial, mungkin bermanfaat

pada stadium dini.


Heparin. Kho dkk.(1979) memberikan heparin pada penderita prolonged
shock dimana DIC diduga sebagai penyebab perdarahan (penurunan
trombosit < 75000/mm dan fibrinogen < 100mg%), dosis 0,5 mg/kgBB
IV tiap 4-6 jam. Sedang menurut Sumarmo (1981) pemakaian heparin

d
e

kurang mengesankan.
Kortikosteroid. Penggunaannya belum ada kesepakatan.
Dipyridamol dan asetosal. Maksud pemberian obat ini adalah untuk
mencegah adhesi dan agregasi trombosit dalam kapiler, pula mencegah
permulaan terjadinya DIC. Sumarmo (1983) tidak menganjurkan

pemakaian asetosal pada penderita dengan kecenderungan perdarahan.


f Carbazochrom Sodium Sulfonat (AC 17). Beberapa peneliti menggunakan
obat ini pada penderita DSS yang disertai dengan perdarahan saluran
cerna yang hebat. Cara kerja obat ini adalah menekan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, memiliki aktivitas plasma ekspander,
mempersingkat waktu perdarahan. Funahara dkk. (1986) serta Sugiyanto
dkk. (1987) memberikan preparat ini dengan cara berikut:
- Hari I
: suntikan 25 mg IV dilanjutkan infus secara kontinyu
-

dengan dosis 300 mg/hari dalam larutan RL selama 24 jam.


Hari II
: infus AC 17 dengan dosis 3 x 100 mg/hari
Hari III : infus dengan dosis 3 x 50 mg/hari
Hari IV : pemberian obat dihentikan

35

Ternyata efektivitas cukup memuaskan dengan menekan kebocoran


plasma dan mengurangi perdarahan. Sedangkan Sachro dkk.(1987) di
Semarang tidak mendapat perbedaan yang bermakna antara kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan.
g

Dopamin. Dipertimbangkan pada penderita DSS dengan renjatan yang


belum dapat teratasi, walau telah diberikan cairan yang adekuat. Dosis 5-

10 mcg/kgBB/menit IV setiap 4-6 jam.


h Sedativa dan antikonvulsan. Diberikan pada penderita DSS yang amat
gelisah dan kejang. Dapat diberikan Diazepam 0,3-0,5 mg/kgBB/dosis IV
atau Klorhidrat 12,5-50 mg/kgBB Oral atau Rektal hanya satu kali (dosis
maksimal 1 gr)
Antasida. Dipertimbangkan pemberiannya pada penderita DSS dengan

muntah-muntah hebat dan nyeri epigastrium yang tidak jelas dan


j

disebabkan oleh pembesaran hati yang progresif.


Diuretika. Furosemida diberikan dengan dosis 1 mg/kgBB/x, 1 x sehari

bila ada tanda/gejala overhidrasi.


Digitalisasi. Digitalisasi cepat dapat diberikan pada penderita dengan
gejala/tanda kegagalan jantung. Dosis 0,03 mg/kgBB untuk hari I

Observasi penderita4
Pengawasan dan pemantauan ketat merupakan hal terpenting untuk
mencapai keberhasilan, meliputi :
akeadaan umum, tanda-tanda perdarahan (luar maupun organ dalam), rasa
lemas, keringat dingin, kesadaran.
bTTV dipantau tiap jam dengan chart
cAbdomen : hepatomegali, awasi nyeri epigastrium (awal syok)
dOrgan lain: jantung (takikardi supraventikular), paru (efusi pleura,
pernafasan kussmaul, edema paru akibat overhidrasi)
eUrin tampung untuk memantau perbaikan perfusi ginjal (keberhasilan
therapy)
f Laboratorium

36

Ht setiap 2 jam selama keadaan masih gawat, makin jarang sampai


1 atau 2 kali per 24 jam bila keadaan membaik.

Trombosit bila perlu tiap 6 jam, minimal setiap hari.

Plasma protein (bila bisa) untuk menentukan keperluan pemberian


plasma

Kemungkinan DIC : masa perdarahan, masa pembekuan,


trombositopeni, morfologi eritrosit (burr cell, fragmentosit, helmet
cell), bila ada perdarahan merembes.

Kriteria Memulangkan Pasien 5


Pasien dapat dipulangkan, apabila:
a

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

Nafsu makan membaik

Tampak perbaikan secara klinis

Hematokrit stabil

Tiga hari setelah syok teratasi

Jumlah trombosit > 50.000/l

Tidak dijumpai distress pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau


asidosis)

XII

DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas:
a
b

Infeksi virus golongan Arbovirus : Chikungunya


Penyakit virus lainnya
Misalnya : Measles, Rubella, dan berbagai virus lainnya, seperti : Epstein
barr virus, Enterovirus, Influenza, Hepatitis A, Hantavirus

c Penyakit bacterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial
disease, Scarlet Fever
d Penyakit parasit : Malaria

37

Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding
meliputi infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama
halnya dengan diagnosis banding dari demam dengue. Adanya
trombositopenia disertai dengan hemokonsentrasi membedakan demam
berdarah dengue dengan penyakit yang lainnya. Hasil yang normal dari
ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat membedakan dengue
dengan infeksi bakteri dan syok septik.
XIII

KOMPLIKASI DAN PENATALAKSANAAN KOMPLIKASI


a Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa
syok
Ensefalopati dengue dapat terjadi pada DBD dengan maupun tanpa syok,
cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila syok teratasi cairan
diganti dengan cairan yang tidak mengandung HCO3-, dan jumlah cairan
harus segera dikurangi. Larutan laktar ringer dekstrosa segera ditukar
dengan larutan Nacl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1. Untuk mengurangi edema
otak diberikan kortikosteroid, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna
sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka
diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah
diusahakan

>60 mg/dl, mencegah

terjadinya

peningkatan

tekanan

intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan


diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan
pemberiaan oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak
dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Pada DBD ensefalopati mudah
terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk mencegah dapat diberikan
antibiotik

profilaksis

(kombinasi

ampisilin

100mg/kgbb/hari

kloramfenikol 75 mg/kgbb/hari). Usahakan tidak memberikan obat-obat


yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi
beban detoksifikasi obat dalam hati.
b

Kelainan Ginjal

38

Kelainan ginjal akibat syok yang berkepanjangan dapat terjadi gagal ginjal
akut. Dalam keadaan syok harus yakin benar bahwa penggantian volume
intravascular telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis
belum mencukupi 2 ml/kgbb/jam, sedangkan cairan yang diberikan sudah
sesuai kebutuhan, maka selanjutnya furosemide 1 mg/kgbb dapat diberikan.
Pemantauan tetap dilakukan untuk jumlah diuresis, kadar ureum, dan
kreatinin. Tetapi apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya
syok juga belum dapat dikoreksi dengan baik, maka pemasangan CVP
(central venous pressure) perlu dilakukan untuk pedoman pemberian cairan
selanjutnya.
c

Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga
sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan
menyebabkan edema paru oleh karena perembesan plasma masih terjadi.
Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang ekstravaskular, apabila
cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit), pasien akan
mengalami distress pernafasan, disertai sembab pada kelopak mata, dan
ditunjang dengan gambaran edem paru pada foto roentgen dada. Gambaran
edem paru harus dibedakan dengan perdarahan paru (Novie Homenta,
2011).

XIV

PENATALAKSANAAN
Pengobatan DBD menurut WHO (2011) bersifat suportif simptomatik
dengan tujuan memperbaiki sirkulasi dan mencegah timbulnya renjatan dan
timbulnya Koagulasi Intravaskuler Diseminata (KID).
Perbedaan patofisiologik utama antara Demam Dengue/Demam Berdarah
Dengue/Demam Syok sindrom dan penyakit lain, ialah adanya peningkatan
permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma, dan gangguan
hemostasis.

39

Penatalaksanaan fase demam pada Demam Berdarah Dengue dan


Demam Dengue tidak jauh berbeda, bersifat simptomatik dan suportif yaitu
pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Berikan nasihat kepada
orang tua agar anak diberikan minum banyak seperti air teh, susu, sirup,
oralit, jus buah, dan lainlain. Selain itu diberikan pula obat antipiretik
golongan parasetamol. Penggunaan antipiretik golongan salisilat tidak
dianjurkan pada penanganan demam. Parasetamol direkomendasikan untuk
mempertahankan suhu di bawah 39 0C dengan dosis 10 15 mg/KgBB/kali
(WHO, 2011).
Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam
tinggi, anoreksia, dan muntah. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/KgBB
dalam 4 6 jam pertama. Setelah keadaan dehidrasi dapat teratasi, anak dapat
diberikan cairan rumatan 80 100 ml/KgBB/hari dalam 24 jam berikutnya.
Bayi yang masih minum ASI, tetap diberikan disamping larutan oralit.
Bila terjadi kejang demam, disamping diberikan antipiretik, diberikan
pula antikonvulsif selama masih demam (WHO, 2011). Masa kritis ialah pada
atau setelah hari sakit yang ke 3 5 yang memperlihatkan penurunan tajam
hitung trombosit dan peningkatan tajam hematokrit yang menunjukkan
adanya kehilangan cairan, Observasi tanda vital, kadar hematokrit, trombosit
dan jumlah urin 6 jam sekali (minimal 12 jam sekali) perlu dilakukan. Kunci
keberhasilan pengobatan DBD ialah ketepatan volume replacement atau
penggantian volume, sehingga dapat mencegah syok (WHO, 2011).
Cairan intravena diperlukan apabila :
1

Anak terus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak

mungkin diberikan minum per oral


Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala
Pada pasien DBD derajat II apabila dijumpai demam tinggi, terus menerus

selama <7 hari tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan,
disertai penurunan jumlah trombosit, dan peningkatan kadar hematokrit. Pada

40

saat pasien dating, berikan cairan kristaloid 7 ml/KgBB/jam. Monitor tanda


vital dan kadar hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12
24 jam. Apabila selama observasi keadaan umum membaik, yaitu anak tampak
tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah stabil, dan kadar PCV cenderung
turun minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut turut, maka tetesan
dikurangi menjadi 5 ml/KgBB/jam. Apabila dalam observasi selanjutnya tanda
vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi 3 ml/KgBB/jam dan akhirnya
cairan dihentikan dalam 2448 jam. Apabila keadaan klinis pasien tidak ada
perbaikan, yaitu : anak tampak gelisah, nafas cepat, frekuensi nadi meningkat,
deuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, serta peningkatan PCV,
maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam. Apabila belum terjadi
perbaikan setelah 12 jam, maka tetesan di naikkan menjadi 10 ml/KgBB/jam.
Apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah 12 jam, cairan dinaikkan
menjadi 15 ml/KgBB/jam. Kemudian dievaluasi 12 jam lagi. Apabila tampak
distress pernafasan menjadi lebih berat dan ht naik maka berikan koloid 10
20 ml/KgBB/jam, dengan jumlah maksimal 30 ml/KgBB. Namun bila Ht atau
Hb turun, berikan tranfusi darah segar 10 ml/KgBB/jam (WHO, 2011).
Bila terdapat asidosis, dari cairan total dikeluarkan dan diganti dengan
larutan berisi 0,167 mol/liter Natrium bikarbonat (3/4 bagian berisi larutan
NaCl 0,9 % + glukosa ditambah Natrium bikarbonat). Volume dan komposisi
cairan yang diperlukan sesuai seperti cairan untuk dehidrasi pada diare ringan
sampai sedang, yaitu cairan rumatan ditambah deficit 6 % (5 8 %).
Sindroma syok dengue adalah DBD dengan gejala gelisah, nafas cepat,
nadi teraba kecil, lembut atau tak teraba, tekanan nadi menyempit, bibir biru,
tangan dan kaki dingin, dan tidak ada produksi urin. Langkah yang harus
dilakukan adalah segera berikan infus kristaloid 20 ml/KgBB secepatnya dalam
30 menit dan oksigen 2 liter/menit. Untuk DSS berat 20 ml/KgBB/jam
diberikan bersama koloid 10 20 ml/KgBB/jam. Observasi tensi dan nadi tiap
15 menit, hematokrit dan trombosit tiap 4 6 jam, serta periksa pula elektrolit
dan gula darah.

41

Apabila dalam waktu 30 menit syok belum teratasi, tetesan kristaloid


belum dilanjutkan 20 ml/KgBB, ditambah plasma atau koloid sebanyak 10 20
ml/KgBB maksimal 30 ml/KgBB. Koloid ini diberikan pada jalur infus yang
sama dengan kristaloid, diberikan secepatnya. Observasi keadaan umum,
tekanan darah, keadaan nadi tiap 15 menit, dan periksa hematokrit tiap 4 6
jam. Lakukan pula koreksi terhadap asidosis, elektrolit, dan gula darah.
Apabila syok teratasi disertai penurunan kadar Hb/Ht, tekanan nadi > 20
mmHg, nadi kuat, maka tetesan cairan dikurangi menjadi 10 ml/KgBB/jam dan
dipertahankan hingga 24 jam atau sampai klinis stabil dan Ht menurun < 40%.
Selanjutnya cairan diturunkan menjadi 7ml/KgBB sampai keadaan klinis dan
Ht stabil, kemudian secara bertahap diturunkan menjadi 5ml/Kg/BB/jam dan
seterusnya 3 ml/Kg/BB/jam. Dianjurkan pemberian cairan tidak melebihi
48jam setelah syok teratasi. Apabila syok belum teratasi, sedangkan Ht
menurun tapi masih > 40%, berikan darah dalam volume kecil 10 ml/KgBB.
Apabila tampak perdarahan masif, berikan darah segar 20 ml/KgBB dan
lanjutkan cairan kristaloid 10 ml/Kg/BB/jam. Pemasangan CVP pada syok
berat kadang diperlukan, sedangkan pemasangan sonde lambung tidak
dianjurkan.
Bila pada syok DBD tidak berhasil diatasi selama 30 menit dengan
resusitasi kristaloid maka cairan koloid harus diberikan sebanyak 10 20
ml/kgBB/jam. Cairan koloid tersebut antara lain :
a Dekstan
b Gelatin
c Hydroxy Ethyl Starch (HES)
d Fresh Frozen Plasma (FFP)
Pemasangan CVP pada DBD tidak dianjurkan karena prosedur CVP
bersifat traumatis untuk anak dengan trombositopenia, gangguan vaskular dan
homeostasis sehingga mudah terjadi perdarahan dan infeksi, disamping
prosedur pengerjaannya juga tidak mudah dan manfaatnya juga tidak banyak.
Pemberian suspensi trombosit umumnya diperlukan dengan pertimbangan
bila terjadi perdarahan secara klinis dan pada keadaan KID. Bila diperlukan
suspensi trombosit maka pemberiannya diikuti dengan pemberian fresh frozen

42

plasma (FFP) yang masih mengandung faktor-faktor pembekuan untuk


mencegah agregasi trombosit yang lebih hebat. Bila kadar hemoglobin rendah
dapat pula diberikan packed red cell (PRC).
Setelah fase krisis terlampau, cairan ekstravaskular akan masuk kembali
dalam intravaskular sehingga perlu dihentikan pemberian cairan intravena
untuk mencegah terjadinya edem paru. Pada fase penyembuhan (setelah hari
ketujuh) bila terdapat penurunan kadar hemoglobin, bukan berarti perdarahan
tetapi terjadi hemodilusi sehingga kadar hemoglobin akan kembali ke awal
seperti saat anak masih sehat. Pada anak yang awalnya menderita anemia akan
tampak kadar hemoglobin rendah, hati-hati tidak perlu diberikan transfuse.
XV

PROGNOSIS
Bila tidak disertai renjatan dalam 24 36 jam, biasanya prognosis akan
menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan,
kemungkinan sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk (Rampengan,
2008). Penyebab kematian Demam Berdarah Dengue cukup tinggi yaitu 41,5
%. (Soegijanto, 2001). Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara
jenis kelamin penderita demam berdarah dengue, tetapi kematian lebih banyak
ditemukanpada anak perempuan daripada laki laki. Penyebab kematian
tersebut antara lain :2
a
b
c
d

Syok lama
Overhidrasi
Perdarahan masif
Demam Berdarah Dengue dengan syok yang disertai manifestasi yang tidak syok

ENSEFALOPATI DENGUE
Dalam dua dekade terakhir, makin banyak laporan tentang penderita DBD
yang disertai gejala ensefalopati dikemukakan dari berbagai negara di kawasan
Asia Tenggara dan Pasifik Barat. 10

43

GEJALA KLINIS
Didapatkan kesadaran pasien menurun menjadi apatis/somnolen, dapat
disertai kejang.5 Dari beberapa contoh kasus ensefalopati dengue yang
dilaporkan, ternyata kadangkala para dokter sangat terpukau oleh kelainan
neurologis penderita sehingga apabila tidak waspada, diagnosis DBD/DSS
tidak akan dibuat. Data itu juga memberikan suatu keyakinan bahwa DBD
perlu dipikirkan sebagai diagnosis banding terhadap penderita yang secara
klinis didiagnosis sebagai ensefalitis virus. Contoh kasus ensefalopati dengue
memperlihatkan betapa bervariasinya gejala klinis penderita DBD dan bahwa
patokan klinis yang digariskan oleh WHO (1975) tidak selalu dijumpai. 10

II

PATOFISIOLOGI
Penyebabnya berupa edema otak perdarahan kapiler serebral, kelainan
metabolik, dan disfungsi hati. Umumnya terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan tetapi dapat juga terjadi pada DBD tanpa
syok. Kecuali kejang, gejala ensefalopati lain tidak/jarang menyertai penderita
DBD.10

III

PENATALAKSANAAN
Pada enselopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis, maka bila
syok telah teratasi, selanjutnya cairan diganti dengan cairan yang tidak
mengandung HCO3 dan jumlah cairan harus segera dikurangi.
Tatalaksana dengan pemberian NaCl 0,9 %:D5=1:3 untuk mengurangi
alkalosis, dexametason 0,5 mg/kgBB/x tiap 8 jam untuk mengurangi edema
otak (kontraindikasi bila ada perdarahan sal.cerna), vitamin K iv 3-10 mg
selama 3 hari bila ada disfungsi hati, GDS diusahakan > 60 mg, mencegah
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan
(bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan
nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi
amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. 5

44

Pada DBD enselopati mudah terjadi infeksi bakteri sekunder, maka untuk
mencegah dapat diberikan antibiotik profilaksis (kombinasi ampisilin 100
mg/kgBB/hari + kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari). Apabila obat-obat tersebut
sudah menunjukkan tanda resistan, maka obat ini dapat diganti dengan obatobat yang masih sensitif dengan kuman-kuman infeksi sekunder, seperti
cefotaxime, cefritriaxsone, amfisilin+clavulanat, amoxilline+clavulanat, dan
kadang-kadang dapat dikombinasikan dengan aminoglycoside. Usahakan tidak
memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya: antasid, anti muntah)
untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar
atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan
transfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai
pendek.5

45

DAFTAR PUSTAKA
1

Prober, Charles G, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Jilid 2, edisi bahasa Indonesia

edisi 15, Jakarta 2009.


Rampengan,TH; Laurentz,IR: Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, EGC,Jakarta

,2003.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan

Anak, Jakarta, 2005.


Komite medik RSUP DR SARDJITO. Standar Pelayanan Medis. Ed.2, Medika

FK UGM, Yogyakarta, 2000.


Sumarmo S; Soedarmo, P; Gama H; S.H,Sri Rezeki , Ed. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Anak Infeksi Dan Penyakit Tropis, Ed. Pertama, Ikatan Dokter Anak

Indonesia, Jakarta, 2002.


S.H, Sri Rezeki, Ed. Demam Berdarah Dengue Pelatihan Bagi Pelatih Dokter
Spesialis Anak Dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Dalam Tatalaksana Kasus

Demam Berdarah Dengue, FKUI, Jakarta, 2004.


Malavige GN, Fernando S, Fernando DJ, Seneviratne SL, 2004. Dengue viral

infection, Postgrad Med J,80.588-601.


Hadinegoro SR, Soegijanto Sugeng, dkk, 2004. Tata Laksana DBD.
Departemen kesehatan RI Dirjen Pemberantasan Infeksi Menular dan

Penyehatan Lingkungan. Jakarta.


American Journal Tropical Medicine. Hyg. 70(2), 2004, pp. 172-179.
10 Sumarmo, Demam Berdarah Dengue, Aspek Klinis dan Penatalaksanaan,
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No. 60, Jakarta, 2000.

46

Anda mungkin juga menyukai