Referat Luka Bakar
Referat Luka Bakar
LUKA BAKAR
Oleh :
FEBRIAN SYAHPUTRA
Pembimbing :
dr. H. Imam Ghozali, Sp.An
BAB I
PENDAHULUAN
Kasus luka bakar yang memerlukan perawatan terjadi pada pasien 500.000
per tahun di Amerika Serikat. 46% adalah luka bakar akibat api . Jumlah luka
bakar serius menurun di Amerika Serikat karena peningkatan pencegahan seperti
detector asap, regulasi suhu air dan berhenti merokok. Namun masih ada sekitar
3500 kematian dari kebakaran area permukiman setiap tahun. Sekitar 75% dari
kematian tersebut terjadi di tempat kecelakaan atau selama transportasi awal.
Kematian yang terkait dengan luka bakar adalah terkait dengan usia pasien,
persentase dari permukaan tubuh yang terbakar, dan adanya atau tidak adanya
trauma inhalasi asap. Menurut model ini, pasien dengan luka bakar yang
mencakup lebih dari 40% dari permukaan tubuh dan cedera inhalasi asap,
diperkirakan memiliki resiko kematian dari 33%. Pasien luka bakar yang selamat
akan mendapat jaringan parut, infeksi, kehilangan tulang dan massa otot,
penyembuhan luka yang buruk, ketidakseimbangan hormone dan kegagalan
fungsi paru-paru, hati atau ginjal. Kehilangan jaringan kulit menyebabkan regulasi
panas dan penyembuhan luka menjadi lebih sulit,. Luka bakar kecil juga
menyebabkan morbiditas yang signifikan, seperti hilangnya fungsi tangan atau
kecacatan pada wajah. Pasien juga sering mengalami masalah sequel psikologis
termasuk post-traumatic stress disorder (PTSD) dan depresi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Paparan api
o Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api terbuka,
dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api dapat
membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat
alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat
sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera
tambahan berupa cedera kontak.
o Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan
benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh
akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan masak.
Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan dan
semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan
ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat dibedakan
berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan, luka umumnya
menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain dipisahkan oleh kulit
sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja, luka umumnya melibatkan
keseluruhan ekstremitas dalam pola sirkumferensial dengan garis yang
distal di paru.
Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian atas dan
Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak
jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I biasanya
sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna. Luka biasanya
tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan nyeri dan atau
hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I adalah sunburn.
Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun masih
terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan epitelisasi.
Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar sebasea, kelenjar
keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya jaringan yang masih sehat
tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3 minggu. Gambaran luka bakar
berupa gelembung atau bula yang berisi cairan eksudat dari pembuluh
darah karena perubahan permeabilitas dindingnya, disertai rasa nyeri.
Apabila luka bakar derajat II yang dalam tidak ditangani dengan baik,
dapat timbul edema dan penurunan aliran darah di jaringan, sehingga
cedera berkembang menjadi full-thickness burn atau luka bakar derajat III.
Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin organ atau
jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak tersisa jaringan epitel
yang dapat menjadi dasar regenerasi sel spontan, sehingga untuk
menumbuhkan kembali jaringan kulit harus dilakukan cangkok kulit.
Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri maupun bula, karena pada
dasarnya seluruh jaringan kulit yang memiliki persarafan sudah tidak
intak.
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil.
Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda,
dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme kompensasi
tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari 20%, akan terjadi syok
hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti gelisah, pucat, dingin, berkeringat,
nadi kecil dan cepat, tekanan darah menurun dan produksi urin yang berkurang.
Pembengkakan terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada
kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat terjadi kerusakan
mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap panas yang terisap. Edema laring
yang ditimbulkannya dapat menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala
sesak napas, takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat jelaga.
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO akan
mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu lagi
mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas, bingung, pusing, mual
dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi koma. Bila lebih dari 60%
hemoglobin terikat CO, penderita dapat meninggal.
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan terjadi
mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke pembuluh darah. Ini
ditandai dengan meningkatnya diuresis.
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati, yang
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan mempermudah
infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya tidak tercapai oleh pembuluh
kapiler yang mengalami trombosis. Padahal, pembuluh ini membawa sistem
pertahanan tubuh atau antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain
berasal dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman saluran
napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit. Infeksi nosokomial
ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya banyak yang sudah resisten
terhadap berbagai antibiotik.
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram positif yang
berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas, tetapi kemudian dapat terjadi
invasi kuman Gram negatif, Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan
eksotoksin protease dari toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam
invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari warna hijau
pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim penghancur keropeng
yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan granulasi membentuk nanah.
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang mudah
terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif ditandai dengan
keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di tepi keropeng yang mulamula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka bakar yang mula-mula derajat II
menjadi derajat III. Infeksi kuman menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler
di jaringan yang terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang
didarahinya nanti.
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya ditemukan
kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan sekelilingnya. Luka bakar
demikian disebut luka bakar septik. Bila penyebabnya kuman Gram positif,
seperti stafilokokus atau basil Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran
kuman lewat darah (bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus.
Syok sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar di
darah.
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II dapat sembuh
dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan ini dimulai dari sisa
elemen epitel yang masih vital, misalnya sel kelenjar sebasea, sel basal, sel
kelenjar keringat, atau sel pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam
mungkin meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara estetik
jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri akan mengalami
kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi dapat berkurang atau hilang.
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase akut,
peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan pada fase
mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan ion kalium.
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar berat dapat
menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau duodenum dengan gejala
yang sama dengan gejala tukak peptik. Kelainan ini dikenal sebagai tukak
Curling.
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga keseimbangan
protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang karena eksudasi,
metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan berlebihan dari kulit yang rusak juga
memerluka kalori tambahan. Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama
didapat dari pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita
menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun. Dengan demikian,
korban luka bakar menderita penyakit berat yang disebut penyakit luka bakar. Bila
luka bakar menyebabkan cacat, terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak
berat, penderita mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis luka
bakar ditentukan oleh luasnya luka bakar.
Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis (wajah, tangan,
kaki, genitalia, perineum, kulit di atas sendi utama) risiko signifikan
untuk masalah kosmetik dan kecacatan fungsi
Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya trauma
mayor lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang telah ada
sebelumnya
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis SIRS dan
MODS
PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR
Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas utama
adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang efektif dan
mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea dilakukan pada pasien yang
menderita luka bakar berat atau kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar
di jalan nafas atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka
bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada pasien luka
bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih daripada trakeostomi.
Pasien dengan luka bakar saja biasanya hipertensi. Adanya hipotensi awal
yang tidak dapat dijelaskan atau adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada
pasien luka bakar menimbulkan kecurigaan adanya jejas tersembunyi. Oleh
karena itu, setelah mempertahankan ABC, prioritas
berikutnya
adalah
mendiagnosis dan menata laksana jejas lain (trauma tumpul atau tajam) yang
mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat untuk mencari trauma
terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi. Informasi riwayat penyakit dahulu,
penggunaan obat, dan alergi juga penting dalam evaluasi awal.
Pakaian pasien dibuka semua, semua permukaan tubuh dinilai.
Pemeriksaan radiologik pada tulang belakang servikal, pelvis, dan torak dapat
membantu mengevaluasi adanya kemungkinan trauma tumpul.
Setelah mengeksklusi jejas signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi.
Terlepas dari luasnya area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan
transfer pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika diindikasikan,
melepas dari eskar yang mengkonstriksi.
Tatalaksana resusitasi luka bakar
a. Tatalaksana resusitasi jalan nafas:
1 Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan
kontroversial)
7
Bilasan bronkoalveolar
Cara Evans
1
Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan setengah
jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan setengah jumlah
cairan hari kedua.
c.
Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral sebaiknya
dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan. Bila pasien tidak
sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui naso-gastric tube (NGT). Nutrisi
yang diberikan sebaiknya mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat
dan 25-30% lemak. Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan
fungsi kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu mencegah
terjadinya SIRS dan MODS.
Eksisi dini
Eksisi dini adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris
(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari (biasanya hari
ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini adalah:
a
cairan melalui infus. Tindakan ini digunakan untuk mengatasi kasus luka
bakar derajat II dalam dan derajat III. Tindakan ini diikuti tindakan hemostasis
dan juga skin grafting (dianjurkan split thickness skin grafting). Tindakan
ini juga tidak akan mengurangi mortalitas pada pasien luka bakar yang luas.
Kriteria penatalaksanaan eksisi dini ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
-
Eksisi dini diutamakan dilakukan pada daerah luka sekitar batang tubuh
posterior. Eksisi dini terdiri dari eksisi tangensial dan eksisi fasial.
Eksisi tangensial adalah suatu teknik yang mengeksisi jaringan yang
terluka lapis demi lapis sampai dijumpai permukaan yang mengeluarkan darah
(endpoint). Adapun alat-alat yang digunakan dapat bermacam-macam, yaitu
pisau Goulian atau Humbly yang digunakan pada luka bakar dengan luas
permukaan luka yang kecil, sedangkan pisau Watson maupun mesin yang
dapat memotong jaringan kulit perlapis (dermatom) digunakan untuk luka
bakar yang luas. Permukaan kulit yang dilakukan tindakan ini tidak boleh
melebihi 25% dari seluruh luas permukaan tubuh. Untuk memperkecil
perdarahan dapat dilakukan hemostasis, yaitu dengan tourniquet sebelum
dilakukan eksisi atau pemberian larutan epinephrine 1:100.000 pada daerah
yang dieksisi. Setelah dilakukan hal-hal tersebut, baru dilakukan skin graft.
Keuntungan dari teknik ini adalah didapatnya fungsi optimal dari kulit dan
keuntungan dari segi kosmetik. Kerugian dari teknik adalah perdarahan
dengan jumlah yang banyak dan endpoint bedah yang sulit ditentukan.
Eksisi fasial adalah teknik yang mengeksisi jaringan yang terluka sampai
lapisan fascia. Teknik ini digunakan pada kasus luka bakar dengan ketebalan
penuh (full thickness) yang sangat luas atau luka bakar yang sangat dalam.
Alat yang digunakan pada teknik ini adalah pisau scalpel, mesin pemotong
electrocautery. Adapun keuntungan dan kerugian dari teknik ini adalah:
-
Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan dari
metode ini adalah:
a
b
c
setelah dilakukan eksisi, sehingga pelekatan kulit donor juga terhambat. Oleh
karenanya, pengendalian perdarahan sangat diperlukan. Adapun beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan penyatuan kulit donor dengan
jaringan yang mau dilakukan grafting adalah:
-
PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada dalam dan
luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal hingga penyembuhan.
Selain itu faktor letak daerah yang terbakar, usia dan keadaan kesehatan penderita
juga turut menentukan kecepatan penyembuhan.
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang timbul pada
luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru, SIRS, infeksi dan sepsis,
serta parut hipertrofik dan kontraktur.
KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system Organ
Dysfunction Syndrome (MODS),dan Sepsis
Pendahuluan
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik terhadap
berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun noninfeksi seperti trauma,
luka bakar, reaksi autoimun, sirosis, pankreatitis, dll.
Respon ini merupakan dampak dari pelepasan mediator-mediator inflamasi
(proinflamasi) yang mulanya bersifat fisiologik dalam proses penyembuhan luka,
namun oleh karena pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus,
respon ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan menyebabkan
kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan disfungsi dan berakhir
dengan kegagalan organ terkena menjalankan fungsinya; MODS (Multi-system
Organ Disfunction Syndrome) bahkan sampai kegagalan berbagai organ (Multisystem Organ Failure/MOF).
SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya angka mortalitas
pada pasien luka bakar maupun trauma berat lainnya. Dalam penelitian dilaporkan
SIRS dan MODS keduanya menjadi penyebab 81% kematian pasca trauma; dan
dapat dibuktikan pula bahwa SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.
Ada 5 hal yang bisa menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection,
injury, inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion injury.
Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus American College of
Chest phycisians dan the Society of Critical Care Medicine tahun 1991, yaitu bila
dijumpai 2 atau lebih menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:
-
sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur
darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS akan selalu berkaitan
dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari SIRS.
Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya gangguan
fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga homeostasis tidak dapat
dipertahankan tanpa intervensi. Bila ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu
proses yang berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS
menggambarkan kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum
keadaan yang berawal dari SIRS.
Patofisiologi
Perjalanan SIRS dijelaskan menurut teori yang dikembangkan oleh Bone
dalam beberapa tahap.
Tahap I
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab, misalnya luka
bakar atau trauma berat lainnya. Kerusakan lokal merangsang pelepasan berbagai
mediator pro-inflamasi seperti sitokin; yang selain membangkitkan respon
inflamasi juga berperan pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel
retikuloendotelial. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologik dari respon inflamasi.
vasodilatasi
trombosis
perifer,
gangguan
mikrovaskular,
aktivasi
permeabilitas
sel
mikrovaskular,
leukosit-endotel)
yang
tidak
dapat
dikendalikan,
terjadi
syok
septik,
Disseminated
oleh toksin yang berasal dari kuman (endo atau enterotoksin). Pada kondisi
disrupsi, bila pasien dipuasakan, maka proses degenerasi mukosa justru berlanjut
menjadi atrofi mukosa usus yang dapat memperberat keadaan.
Gangguan sirkulasi ke berbagai organ menyebabkan kondisi-kondisi yang
memicu SIRS. Gangguan sirkulasi serebral menyebabkan disfungsi karena
gangguan sistem autoregulasi serebral yang memberi dampak sistemik
(ensefelopati). Gangguan sirkulasi ke ginjal menyebabkan iskemi ginjal
khususnya tubulus berlanjut dengan Acute Tubular Necrosis (ATN) yang berakhir
dengan gagal ginjal (Acute Renal Failure/ARF). Gangguan sirkulasi perifer
menyebabkan iskemi otot-otot dengan dampak pemecahan glikoprotein yang
meningkatkan produksi Nitric Oxide (NO); NO ini berperan sebagai modulator
sepsis. Gangguan sirkulasi ke kulit dan sitem integumen menyebabkan terutama
gangguan sistim imun; karena penurunan produksi limfosit dan penurunan fungsi
barrier kulit.
Teori kedua menjelaskan pelepasan Lipid Protein Complex (LPC) yang
sebelumnya dikenal dengan burn toxin dari jaringan nekrosis akibat cedera termis.
LPC memiliki toksisitas ribuan kali di atas endotoksin dalam merangsang
pelepasan mediator pro-inflamasi; namun pelepasan LPC ini tidak ada
hubungannya dengan infeksi. Respon yang timbul mulanya bersifat lokal, terbatas
pada daerah cedera; kemudian berkembang menjadi suatu bentuk respon sistemik.
Teori ketiga menjelaskan kekacauan sistem metabolisme (hipometabolik
pada fase akut dilanjutkan hipermetabolik pada fase selanjutnya) yang menguras
seluruh modalitas tubuh khususnya sistim imunologi. Mediator-mediator pro-
inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sebagai respon terhadap suatu cedera tidak
hanya menyerang benda asing atau toksin yang ada; tetapi juga menimbulkan
kerusakan pada jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka
bakar merupakan suatu bentuk trauma yang bersifat imunosupresif.
Tatalaksana
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan mencegah
perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.
Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik dalam 8
jam pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah terjadinya atrofi mukosa
usus, pemberian NED ini bertitik tolak mencegah dan mengatasi kondisi
hipometabolik pada fase akut / syok dan mengendalikan status hiperkatabolisme
yang terjadi pada fase flow. Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan
karena akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu keseimbangan flora
usus.
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan
cedera termis harus segera dilakukan nekrotomi dan debridement, dan dilakukan
sedini mungkin (eksisi dini, hari ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang,
hari ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan
dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk mengatasi berbagai
masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup (mencegah evaporative heat loss
yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses
inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses penyembuhan, tidak
menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan
memperberat stres metabolisme.
Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti antihistamin
dianggap tidak bermanfaat. Pemberian steroid sebelumnya dianggap bermanfaat
namun harus diingat saat pemberian serta efek sampingnya.
Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan
menjinakkan leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara mempengaruhi
lypoxygenase
pathway
pada
metabolisme
asam
arakhidonat,
sehingga
Komplikasi
Komplikasi SIRS bervariasi tergantung etiologi. Komplikasi yang
mungkin terjadi pada SIRS adalah gagal napas, Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), dan pneumonia nosokomial, gagal ginjal, perdarahan saluran
cerna dan stres gastritis, anemia, Trombosis vena dalam (Deep Vein
Thrombosis/DVT), hiperglikemia, dan Disseminated intravascular coagulation
(DIC)
DAFTAR PUSTAKA
2
3
JM,
Halamka
J,
Adler
J,
editors.
Diunduh
dari: