Anda di halaman 1dari 10

PEMIKIRAN TASAWUF HAMKA

A.

Abstrak

Islam di bumi pertiwi telah melahirkan tokoh-tokoh yang disegani baik di tingkat nasional
maupun internasional. Tokoh-tokoh tersebut telah menyebarkan amal jariyah berupa gagasan
pemikiran, ide-ide, konsep-konsep, maupun penjelasan-penjelasan tentang soal-soal keislaman
dan umum sebagai mutiara yang terus menjadi bahan pengkajian. Salah satu tokoh yang
menonjol itu adalah Hamka.pemikiran tasawuf hamka, dunia Islam di Asia begitu terkesan
dengan apa yang disampaikannya. Catatan-catatan beliau tentang hidup bertasawuf mampu
mewarnai dunia pemikiran Islam yang sarat dengan kritik dan gagasan membangun. Itu
sebabnya mencoba untuk mempaparkan aqidah Hamka sesuai dengan kemampuannya untuk
menyakinkan manusia serta menuntun ke kesadaran dan membawa mereka ke situasi yang lebih
baik. Pemikiran tentang Hamka yang terkandung dalam buku-bukunya, terutama Tafsir al-Azhar,
30 Juz dan Tasawuf Modern, adalah harta dari ilmu-ilmu Islam serta sebagai pedoman bagi para
praktisi serta dakwah kontribusi teoritis sangat berharga bagi pengembangan proses ilmu aqidah.
B.

Pendahuluan

aqidah dalam pandangan Hamka pada dasarnya yaitu beriman kepada Allah Swt Dan rasul
Muhammad saw. yang substansinya terletak pada aktivitas memerintahkan untuk melaksanakan
yang maruf dan mencegah berbuat munkar. Hal ini tampak dari defenisinya tentang dakwah,
yakni menyampaikan ajakan kepada yang maruf dan menjauhi yang munkar.[1]Pandangan ini
sejalan dengan pemikiran Shaykh Ali Mahfuz, bahwa dakwah adalah mengajak umat manusia
kepada al-khayr dan al-huda serta memerintahkan mereka berbuat maruf dan mencegah
berbuat munkar agar mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
Dalam pemikiran tasawuf hamka, amar maruf nahy munkar tidak saja dilakukan dengan lisan
dan tulisan, tetapi juga dengan akhlak atau budi pekerti yang mulia.[2]Menurutnya, dengan
prilaku terpuji, seseorang bisa menanamkan nilai-nilai Islam kepada orang lain. Karena itu,
dakwah tentang aqidah dapat dijalankan oleh setiap Muslim, termasuk pemerintah. Ia dapat
melaksanakan dakwah sesuai dengan kedudukannya, yaitu dengan cara memberi contoh yang
baik dan berlaku adil.
C.

Riwayat Hamka

Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka, yakni singkatan
namanya, lahir di desa kampung Molek, Manijau, Sumatra Barat, 17 Februari 1908. Ia adalah
sastrawan Indonesia, sekaligus ulama dan aktivis politik. Belakangan ia diberikan sebutan Buya,
yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab,
yang berarti ayahku, atau seorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin
Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di
Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada 1906.[3] Secara langsung atau tidak dalam

perkembangannya Hamka terpengaruh alur intelektual ayahnya dalam memahami pokok agama
Islam.
Sekalipun Hamka hidup di tengah keluarga dan masyarakat yang kental sekali dengan iklim
keagamaan tetapi menurut pengakuannya sendiri, masa kecilnya dilalui dengan penuh kenakalan
yang memusingkan kepala orang-orang di sekitarnya.[4] Memang seharusnya buah jatuh tak jauh
dari pohonnya, namun hegemoni keluarganya yang mempunyai dasar keislaman kuat tidak lantas
begitu saja mencetak Hamka sebagai pribadi matang karena sebenarnya kenakalannya Hamka
kecil hanya mencari pelampiasan atas kekecewaanya ketika sang ayah menceraikan ibunya.
Hamka hanya sempat masuk sekolah desa selama 3 tahun dan sekolah agama di Padangpanjang
dan Parabek (dekat Bukittinggi) kira-kira 3 tahun. Tetapi, ia berbakat dalam bidang bahasa dan
segera menguasai bahasa Arab, yang membuatnya mampu membaca secara luas literatur
berbahasa Arab, termasuk terjemahan dan tulisan Barat. Sebagai seorang anak tokoh pergerakan,
sejak kanak-kanak Hamka sudah menyaksikan dan mendengar langsung pembicaraan tentang
pembaruan dan gerakan melalui ayah dan rekan ayahnya. Sejak berusia sangat muda, Hamka
sudah dikenal sebagai seorang kelana. Ayahnya bahkan menamakannya Si Bujang Jauh. Pada
1924, dalam usia 16 tahun, ia pergi ke Jawa; di sana menimba pelajaran tentang gerakan Islam
modern melalui H. Oemar Said *Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muhammadiyah
1944-1952), RM. Soerjopranoto (1871-1959), KH. Fakhruddin (ayah KH. Abdur Rozzaq
*Fakhruddin) yang mengadakan kursus pergerakan di Gedung Abdi Dharmo di Pakualaman,
Yogjakarta. Setelah beberapa lama di sana, ia berangkat ke Pekalongan dan menemui kakak
iparnya, A.R Sultan Mansyur, yang waktu itu ketua *Muhammadiyah cabang Pekalongan. Di
kota ini ia berkenalan dengan tokoh Muhammadiyah setempat. Pada Juli 1925 ia kembali ke
Padangpanjang dan turut mendirikan Tablig Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan,
Padangpanjang. Sejak itulah ia mulai berkiprah dalam organisasi Muhammadiyah.[5] Dari
perjalanan pendidikannya yang relatif singkat dapat diketahui bahwa Hamka memiliki semangat
otodidak yang tinggi. Latar belakang kehidupannya yang nakal, berubah drastis ketika ia sadar
hingga kemudian mampu mengubah jalan hidupnya yang suram terarah menjadi sosok yang
perlu diteladani. Tercapainya hal ini tidak terlepas dengan peranan tokoh-tokoh yang
mengilhami pemikirannya, karena dari merekalah Hamka mendapatkan pencerahan tentang
konsep agama diluar yang selama ini difahami sehingga ia dapat menginternalisasikan ilmu-ilmu
yang lebih berorientasi kepada peperangan terhadap keterbelakangan, kebodohan, dan
kemiskinan.
Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidah,
tarekat, dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang
Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah
Muhammadiyah di Makasar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan
Muhammadiyah di Sumatra Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y Sutan
Mangkuto pada 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke31 Yogjakarta pada 1950.[6]

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik
Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah
Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan.
Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Pada
tahun 1955 Hamka masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan menjadi pemidato utama
dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran Hamka sering bergesekan dengan
mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai beraliran nasionalis dan komunis
menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam pidatonya di Konstituante, Hamka
menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila dimasukkan kalimat tentang kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai yang termaktub dalam Piagam Jakarta.
Namun, pemikiran Hamka ditentang keras oleh sebagian besar anggota Konstituante, termasuk
Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan
melalui Dekrit Presiden Soekarno pada 1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah
Indonesia pada tahun 1960. Meski begitu, Hamka tidak pernah menaruh dendam terhadap
Sukarno. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno
karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang
merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai
anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji
Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia. Pada tahun 1978, Hamka lagilagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya adalah keputusan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang
sebelumnya sudah menjadi kebiasaan. Idealisme Hamka kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri
Agama Alamsyah Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan
Natal bersama. Sebagai Ketua MUI, Hamka langsung menolak keinginan itu. Sikap keras Hamka
kemudian ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar
niat itu, Hamka lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula Hamka
memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.[7]
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis,
dan penerbit. Sejak 1920-an, Hamka menjadi seorang wartawan beberapa buah surat kabar
seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun
1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi
editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor
majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, dan Gema Islam. Hamka juga menghasilkan
karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah
Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi
buku teks sastra di Malaysia dan Singapura termasuk Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di
Bawah Lindungan Kabah, dan Merantau ke Deli. Hamka pernah menerima beberapa anugerah
pada peringkat nasional dan antar-bangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa,
Universitas al-Azhar, 1958, dan Doctor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974,
sebagai tanda jasa atas kontribusinya yang begitu besar dalam penyiaran agama Islam di
Indonesia.[8] Akhirnya Hamka meninggal dunia pada 24 juli 1981, gajah mati meninggalkan

gading manusia mati meninggalkan nama, sosok Hamka memang telah tiada tetapi karya
karyanya masih terpatri di berbagai media baik cetak maupun Elektronik. Hamka tidak hanya
mampu berpotitik saja akan tetapi mampu menggunakan media tulisan dalam membumikan
pemikiran-pemikirannya sehingga proses sosialisasi pemikiranya lebih mudah dikenal dan
dipahami oleh masyarakat luas.
a.

Pemikiran hamka tentang Aqidah pemikiran tasawuf hamka

Islam merupakan jalan kebahagiaan yang hakiki. Meski banyak rumusan-rumusan tentang
kebahagiaan datang, namun Islamlah satu-satunya jalan itu. Agama yang akan dijadikan
sandaran dan kerangka hidup bukanlah agama Islam yang saat ini dipahami telah terpecah belah
menjadi memiliki sekte-sektenya masing-masing, dan dengan praktik ibadah yang mereka buat
serta mereka yakini masing-masing untuk diamalkan, sehingga sesungguhnya mereka sendiri
telah jauh dari sumber utama (al Quran dan Sunnah).
Menurut pemikiran tasawuf hamka, kekuatan Islam terletak pada Aqidah Islam, Aqidah Islam
yang Menimbulkan Akhlak Islam, Aqidah pasti menegakkan Akhlak. Semata-mata ilmu
pengetahuan saja tanpa tegak atas Aqidah, tidaklah menimbulkan Akhlak. Hamka meyakini
bahwa Aqidahlah yang akan membawa kemajuan. Suatu kemajuan, pembangunan, ketinggian
dan martabat yang mulia diantara bangsa-bangsa, bagi kita umat Islam tidaklah dapat dicapai
kalau tidak berdasarkan kepada Aqidah Islam.[9] Serta memahami tasawuf dengan aqidah islam
yang berasaskan tuhan yang maha esa, tuhan yang satu dan tiada sekutu baginya yaitu Allah swt.
Saat ini, umat dihadapkan pada elit-elit politik Islam yang terkesan mengidap inferiority
complex alias minder dengan identitas Islam. Mereka selalu mengelak jika dituding ingin
menegakkan syariat Islam. Seolah-olah syariat Islam adalah boomerang yang bisa
menghancurkan karir politiknya, merusak reputasinya, bahkan menghambat laju popularitasnya.
Islam tak lagi dianggap sebagai identitas yang menjual dalam panggung politik. Karena itu, bagi
mereka politik identitas atau politik aliran sudah ketinggalan zaman. Umat yang seperti inilah
yang akan merusak identitas Islam dengan Aqidahnya. Padahal Negara dan Bangsa akan maju
jika umatnya memiliki Aqidah yang baik.
Dengan begitu krisisnya Negara terhadap aqidah, masyarakat islam harus memahami aspek
aqidah islam seperti yang di paparkan oleh alam shah seorang melayu yang berkiblat pada
hamka. Mempaparkan aspek aqidah (kepercayaan) :
1. Kedatangan Islam di Indonesia khususnya Islam di Alam Melayu telah mengubah masyarakat
yang beragama Hindu-Buddha kepada berakidah Islam yaitu mentauhidkan Allah.
2. Kesannya, pandangan semesta Melayu telah dibentuk berasaskan hablum minAllah (berbuat
baik kepada Allah) dan hablum minannas (berbuat baik kepada manusia)
3. Pandangan mereka terhadap kehidupan menjadi benar yaitu semata-mata untuk beribadah
kepada Allah dan bukan untuk tujuan yang lain.
4. Akidah Islam disebarkan di Alam Melayu melalui ajaran metafisik ahli sufi menerusi ilmu
tasawuf.

5. Diperingkat awal penerimaan Islam, masyarakat di Alam Melayu masih terpengaruh dengan
amalan ajaran agama terdahulu, namun peringkat demi peringkat lainya mula terkikis apabila
proses sinkretisme (usaha mencari penyesuaian) berlaku.[10]
Dengan berpedoman pada aspek yang di paparkan alam shah menjadikan masyarakat yang
bernegara dapat menggeser gejala-gejala negative terhadap Negara. Menurut Hamka dalam
prateknya masyarakat benegara harus mengusai ilmu tasawuf untuk melandasi kekuatan
Aqidah. Sebab dengan kekuatan inilah, perjalanan tasawuf akan terhindar dari bentuk-bentuk
kemusyrikan yang sering kali terjadi pada seorang sufi.[11]dengan dibarengi tasawuf aqidah
islam dapat menjadikan pemeluk/ pengikutnya fanatik yang baik terhadap idologinya, serta
kehidupan yang didambakan semua umat manusia selamat dunia, akhirat pasti tercapai. Jelas
apabila sebuah Negara dengan penduduk yang melek akan aqidah islam kesejahteraan akan
melekat pada negaranya.
b.

Pemikiran tasawuf Hamka

Kelompok sufi terbagi dalam 3 kelompok.

Pertama, para sufi yang berhenti hanya sebatas tujuan moral saja, yaitu meluruskan jiwa,
mengendalikan kehendak yang membuat manusia hanya konsisten terhadap keluhuran
moral. Tasawuf yang begini lebih bersifat mendidik, yang ditandai dengan coraknya yang

praktis.
Kedua, para sufi yang bertujuan mengenal Allah secara lebih dekat. Untuk
merealisasikan tujuan ini dibutuhkan syarat-syarat khusus menuju penyikapan langsung

(kashf).
Ketiga, para sufi yang mengembangkan ajarannya dengan disertai filosofis.[12]

Dari pembagian ini dapat diketahui bahwa tasawuf Hamka termasuk kategori yang pertama
karena Hamka bukanlah seorang yang telah mengalami perjalanan ruhani, namun ia dapat
menerima dan mengamalkan tasawuf sebagai jalan untuk mendekatkan diri pada Allah, selama
ajarannya masih dalam koridor keIslaman yang berdasar pada al-Quran dan as-Sunnah.
Kemudian ia pun mengkontekstualisasi dan menginterpretasikannya kembali hingga lebih mudah
diterima oleh masyarakat modern.
Hamka mendefinisikan tasawuf dengan kehendak memperbaiki budi dan men-shifa-kan
(membersihkan batin). Sedangkan mengapa Hamka menamai tasawuf-nya itu sebagai
tasawuf modern, dia menjelaskan dengan kalimat-kalimat berikut: kita diberi keterangan yang
modern, meskipun asalnya terdapat dari buku-buku Tasawuf juga. Jadi Tasawuf Modern yang
kita maksudkan adalah keterangan ilmu Tasawuf yang dipermodern.[13] Tidak dapat dipungkiri
ajaran tasawuf sudah banyak terkontaminasi dengan hal-hal di luarnya baik yang menjadikannya
lebih positif ataupun negatif, di sini Hamka hendak mengembangkan tasawuf yang berbasis
syariat Islam, dengan penekanan bahwa setiap individu wajib melaksanakan tasawuf dalam
rangka pencapaian budi pekerti yang baik. Selanjutnya Hamka menamakan tasawufnya dengan
nama Tasawuf Modern, agaknya istilah tasawuf modern merupakan lawan terhadap istilah
tasawuf tradisional, sehingga Hamka mendasarkan tasawufnya pada prinsip tauhid. Walaupun

corak pemikiran Hamka seakan mengacu pada tasawuf falsafi, mengingat konsepsi tentang
Tuhan merupakan perkembangan lebih lanjut dari pemikiran para ahli kalam dan filosof. Hamka
pun mengaku sendiri dalam tasawuf modernnya, bahwa itu bukan ciptaan otaknya mengingat
beliau masih muda dan sedikit pengetahuannya akan tetapi, itu hanyalah di tilik dari buku
karangan ahli ahli filsafat dan tasawuf islam di bandingkan dengan Al-Quran dan Hadits.
Hamka mereformulasikan konsep ilmu tasawuf dengan caranya sendiri, hal ini karena ketidak
inginannya melihat umat Islam lemah di bidang ekonomi , akhirnya Hamka merumuskan dan
memberikan wajah baru dalam dunia tasawuf yang sama sekali tidak mendakwahkan untuk
meninggalkan urusan dunianya. Sebenarnya munculnya tasawuf Hamka tak lebih dari sekedar
solusi agar umat Islam tidak menyalah artikan zuhud yang harus meninggalkan dunia.
Perbandingan pemikiran ulama sufi dengan Hamka.[14]
Sebelum merumuskan atau menuliskan ajaran-ajarannya, dia telah menghayati lebih dahulu apa
yang disebut pengalaman kesufian menurut versinya. Contoh: Hasan al-Basri, Rabiah
al-Adawiyah, Yazid al-Bistimy, Zunnun al-Misry, Imam al-Ghazaly, Ibnu Araby, al-Hallaj dan
sebagainya.
Dalam pengakuannya dia mencintai hidup dalam tasawuf, tetapi hampir tidak ada keterangan
sedikitpun tentang pengakuannya pernah mnengalami pengalaman kesufian, walau dalam bentuk
yang sangat sederhana. Jadi, motif senang dalam mengamati hidup kesufian yang nampak
dominan, kalau diamati dari luar dan atas data literatur yang ada.
Dalam sejarah hidupnya, senantiasa ketat menjaga hidupnya, termasuk terhadap hal yang
sekecil-kecilnya, seperti dalam masalah makan, menikmati keindahan duniawi, dan sebagainya.
Dalam sejarah hidupnya (usia 24 tahun dan 34 tahun), dia kalau makan suka sekali sate kambing,
dan hiburannya berupa hobi melihat bioskop, setiap film berganti, dia pasti melihat, walaupun
dia berusaha selektif, yaitu film yang berkarakter saja yang ditonton.
Konsep dan ajaran yang ditawarkan merupakan hasil pengalaman langsung dari kesufiannya dan
ini jauh lebih dominan daripada hasil telaah terhadap pengalaman atau konsep dan ajaran sufi
lainnya. Hamka mengakui bahwa bahan karangan tasawufnya didominasi oleh bahan bacaan
yang ia baca, bahkan beragam, seperti filsafat Islam, filsafat Barat, akhlaq, tasawuf, tarikh,
pembaruan Islam dan sebagainya. Hamka memang dikenal kutu buku, dan sangat produktif
menulis. Itu sebabnya dia mengakui bahwa pikiran-pikiran dalam tasawuf modern bukan hasil
ciptaan otaknya, bukan hasil kerja falsafi-nya, tetapi lebih bersifat gubahan atau karanganunsur peramu kosep-konsep dalam Tasawuf Modern yang lain adalah: Pikiran dan
penderitaan dirinya sendiri
Hamka dalam beberapa kitab tasawuf yang dikarangnya mengakui bahwa tasawuf banyak
dirusak orang dalam bentuk bidah dan sebagainya maka beliau menghimbau agar tasawuf baik
isi dan prakteknya kembali pada al-Quran dan al-Hadits (sunnah Rasulullah).[15] Dengan

demikian, sebenarnya positif dan negatif tasawuf Hamka adalah sangat bergantung bagaimana ia
dipraktikkan. Hamka memerinci beberapa hal sebagai berikut:
1)

Tasawuf menjadi negatif, bahkan sangat negatif kalau tasawuf:


a)

Dilaksanakan dengan bentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama Islam
yang terumus dalam al-Quran dan A-Sunnah, seumpama mengharamkan pada diri
sendiri terhadap hal-hal yang oleh Allah s.w.t sendiri dihalalkan, yang hal ini sudah
mulai bersinggungan dengan kawasan peka yaitu kawasan itiqadiyah )

b)

Dilaksanakan dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan terhadap pandangan bahwa


dunia ini harus dibenci, justru pandangan semacam itu telah nampak melembaga
dalam kalangan penganut tarekat

2)

Tasawuf akan menjadi positif, bahkan sangat positif kalau tasawuf:


a)

Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatan-muatan


peribadahan yang telah dirumuskan sendiri oleh Al-Quran dan A-Sunnah: mana
yang diwajibkan dan dihalalkan akan dikerjakan dan mana yang diharamkan
dikerjakan ditinggalkan; sementara itu wajah peribadatan musti berkorelasi antara
ibadah yang hablun minallah (ibadah murni) dengan ibadah yang hablun
minannas (ibadah sosial nyata);

b)

Dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang
tinggi dalam arti kegiatan yang dapat mendukung pemberdayaan umat Islam agar
kemiskinan ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik, dan mentalitas, yang
dengan demikian kalau umat Islam ingin berkorban maka ada hal atau barang yang
akan dikorbankan, kalau akan mengeluarkan zakat maka ada bagian kekayaan yang
akan diberikan kepada orang yang berhak dan sebagainya; untuk itu bukan tradisi
pandangan tarekat yang cenderung membenci dunia yang patut diangkat kembali,
melainkan roh asli tasawuf yang semula bermaksud untuk zuhud terhadap dunia,
yaitu sikap hidup agar hati tidak dikuasai oleh keduniawian.

Dengan memperhatikan rincian kemungkinan-kemungkinan tasawuf menjadi negatif atau positif


diatas, Hamka menyimpulkan bahwa tasawuf yang bermuatan zuhud yang benar, dilaksanakan
lewat peribadatan dan itiqad yang benar, mampu berfungsi sebagai media pendidikan moral
yang efektif.
Dari kesimpulan tersebut, Hamka lalu menawarkan pendapatnya yaitu bahwa:
1.

Tasawuf yang patut diintroduksi dan diamalkan zaman modern adalah tasawuf yang
memiliki ciri berikut: pemikiran tasawuf hamka

a.

Bermuatan memahami, menyadari dan menghayati zuhud yang tepat seperti yang
dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w yang cukup sederhana pengertiannya, yaitu: memegang
sikap hidup dimana hati tidak berhasil dikuasai oleh keduniawian.

b.

Sikap hidup zuhud tersebut diambil dari hasil pemahaman terhadap makna di balik
kewajiban peribadatan yang diajarkan resmi dari agama Islam, karena dari peribadatan itu
dapat diambil makna metaforiknya, yang tentu saja peribadatan berdasarkan Itiqad yang
benar.

c.

Sikap zuhud yang dilaksanakan berdampak mempertajam kepekaan sosial yang tinggi
dalam arti mampu menyumbang kegiatan pemberdayaan umat (social empowering), seperti
bergairah mengeluarkan zakat dan infaq sebergairah menerima keuntungan dalam kerja
dan sebagainya.

2.

Memfungsikan tasawuf yang bersemangat juang seperti terumus di atas perlu dibahasakan

(diartikulasikan) secara modern.[16]


Dari paradigma di atas maka konsepsi zuhud Hamka dapat menjawab permasalahan di atas.
Yaitu dengan jalan meninggalkan hal-hal yang berlebihan, walaupun halal, menunjukkan sikap
hemat, hidup sederhana, dan menghindari berlebih-lebihan, kemewahan atau pemilikan harta
yang lebih bernilai sebagai promotor status dari pada sebagai harta kekayaan produktif. Zuhud
juga dapat melahirkan sikap menahan diri memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif.
Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja aset ilahiyah yang mempunyai nilai
ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif
terhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat. Tasawuf akan menjadi sangat positif jika
dilakukan dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi. Dalam arti,
kegiatan mendukung pemberdayaan umat agar berbagai kemiskinan yang melanda umat Islam
bisa teratasi dengan baik. Namun tasawuf akan menjadi sangat negatif ketika dilaksanakan
dengan berbentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama Islam yang terumus dalam
Al-Quran dan As-Sunnah dan diwujudkan dalam kegiatan yang dipangkalkan terhadap
pandangan bahwa dunia ini harus dibenci.
pemikiran tasawuf hamka mengklasifikasikan Struktur tasawuf ada empat, dan Hamka
mendefinisikan sebagai berikut:
1.

Konsep tentang Tuhan dan manusia serta hubungan antara keduanya, aqidah tauhid
(mengesakan Allah s.w.t) bahwa Allah s.w.t bersifat transenden secara mutlak. Hubungan
manusia mestilah antara khaliq (Pencipta, Allah s.w.t.) dan makhluk (yang diciptakan),
dan oleh karena itu ada yang disembah (Mabud) yaitu Allah s.w.t. dan ada yang
menyembah (abid), yaitu manusia. Oleh sebab itu manusiaharus beribadah sesuai yang
telah diturunkan oleh Allah s.w.t. sendiri lewat Al-Quran dan As-Sunnah. Proses-proses
hidup secara sufi harus berdasar aqidah tauhid ini.

2.

Jalan tasawuf, HAMKA memilih jalan tasawuf dengan mengedepankan makna tasawuf
sebagai sikap zuhud yang dapat dilaksanakan lewat peribadatan resmi (seperti shalat,
siyam, zakat, infaq, dan sebagainya) dan akidah yang benar (prinsip tauhid)

3.

Penghayatan tasawuf, bagi Hamka jalan tasawuf itu adalah peribadatan resmi yang telah
diajarkan Al-Quran dan As-Sunnah (yang disistematisasikan oleh para faqih (fuqaha))
sebagaimana terjadi dalam sejarah (seperti shalat, siyam, zakat, infaq, dan sebagainya),
maka jika jalan tasawuf yang termuat dalam peribadatan itu berhasil dilaksanakan dengan
sungguh-sungguhnya maka jalan tasawuf tersebut akan menghasilkan (membuahkan)
pengalaman tasawuf yang berupa taqwa.

4.

Refleksi pekerti tasawuf, Hamka menghendaki agar zuhud yang dijalankan, yaitu dalam
berkehidupan bertasawuf, utamanya dalam menjalankan peribadatan sehari-hari, dapat
melahirkan sikap etos sosial yang tinggi, kepekaan sosial yang tinggi. Dengan demikian,
derajat yang diperoleh oleh si sufi bukan karena karamah dalam arti magis, tetapi

karamah dalam arti sosio-religius, yakni kehormatan karena kiprah dan jasa sosial yang
dimotivasi oleh dorongan kesalehan beragama.[17]
Secara garis besar, konsep sufistik yang ditawarkan Hamka adalah sufisme yang berorientas ke
depan yang ditandai dengan mekanisme dari sebuah sistem ketasawufan yang unsur-unsurnya
meliputi: prinsip tauhid, dalam arti menjaga transendensi Tuhan dan sekaligus merasa dekat
dengan Tuhan. Memanfaatkan peribadahan sebagai media bertasawuf. Dan menghasilkan
refleksi hikmah yang berupa sikap positif terhadap hidup dalam wujud memiliki etos sosial yang
tinggi.
D.

Penutup

Menurut Hamka, kekuatan Islam terletak pada Aqidah Islam, Aqidah Islam yang Menimbulkan
Akhlak Islam, Aqidah pasti menegakkan Akhlak. Semata-mata ilmu pengetahuan saja tanpa
tegak atas Aqidah, tidaklah menimbulkan Akhlak. Hamka meyakini bahwa Aqidahlah yang akan
membawa kemajuan. Suatu kemajuan, pembangunan, ketinggian dan martabat yang mulia
diantara bangsa-bangsa, bagi kita umat Islam tidaklah dapat dicapai kalau tidak berdasarkan
kepada Aqidah Islam. Serta memahami tasawuf dengan aqidah islam yang berasaskan tuhan
yang maha esa, tuhan yang satu dan tiada sekutu baginya yaitu Allah swt.
Islam merupakan jalan kebahagiaan yang hakiki. Meski banyak rumusan-rumusan tentang
kebahagiaan datang, namun Islamlah satu-satunya jalan itu. Agama yang akan dijadikan
sandaran dan kerangka hidup bukanlah agama Islam yang saat ini dipahami telah terpecah belah
menjadi memiliki sekte-sektenya masing-masing, dan dengan praktik ibadah yang mereka buat
serta mereka yakini masing-masing untuk diamalkan, sehingga sesungguhnya mereka sendiri
telah jauh dari sumber utama (al Quran dan Sunnah). Oleh karenanya, Hamka menginginkan
agar agama Islam yang menjadi kerangka dalam hidup itu adalah agama Islam yang murni, dan
terbebas dari praktek syirik, bidah dan khuraft.
Konsep-konsep pemikiran tasawuf hamkaa sangat dinamis. Ia memahami tasawuf dengan
pemahaman yang lebih tepat dengan ruh dan semangat ajaran Islam. Hamka tidak memahami
tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf model Hamka ini
menandingi tasawuf tradisional yang cenderung membawa bibit-bibit kebidahan, khurafat, dan
kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang begitu anti dengan halhal tersebut. Dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian.
E.

Daftar pusaka

Hamka.Tafsir al-Azhar. Juz. 4. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983.


Hamka. Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990.
Hamka, pengaruh dalam gerakan pembaruan islam di minangkabau pada awal abad ke2 (Jakarta: theresia slamet, 2002).
Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam(Yogjakarta,
Ar-Ruzz Media, 2011).

http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/07/tasawuf-modern/ (diakses 14/10/2013 10:05


PM).
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009).
Hamka. Dari Hati ke Hati. (Jakarta : Pustaka Panjimas , 2002).
alam shah , pengaruh islam di alam melayu,( aceh, kertas kerja, 2006, vol 12, No 1, 14-15).
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991).
Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftzani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1985).
Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997).
Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogjakarta: Fajar Pustaka Baru,
2000).
www.rangkumanmakalah.com

[1] Hamka.Tafsir al-Azhar. Juz. 4. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983. Hal.31.


[2] Hamka. Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam. Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990. Hal.
154.
[3] Hamka, pengaruh dalam gerakan pembaruan islam di minangkabau pada awal abad ke2(Jakarta: theresia slamet, 2002), hlm. 20
[4] Hamka, Kenang-kenangan Hidup (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 24.
[5] Hamka, pengaruh dalam gerakan pembaruan islam di minangkabau pada awal abad ke2(Jakarta: theresia slamet, 2002), hlm. 21
[6] Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan
Islam(Yogjakarta, Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 227.
[7] http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/07/tasawuf-modern/ (diakses 14/10/2013 10:05
PM).
[8] A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 103-104.
[9] . Hamka. Dari Hati ke Hati. (Jakarta : Pustaka Panjimas , 2002) hlm. 34
[10].alam shah , pengaruh islam di alam melayu,( aceh, kertas kerja, 2006, vol 12, No 1, 14-15)
[11]Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991. Hlm. 54
[12] Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftzani, Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1985),
hlm. 7.
[13] Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogjakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2000), hlm.164-165.
[14] Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogjakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2000), hlm. 166-167.
[15] Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 1997),hlm. 290
[16] Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogjakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2000),177-180
[17] Mohammad Damami, Tasawuf Positif dalam Pemikiran Hamka (Yogjakarta: Fajar Pustaka
Baru, 2000), hlm. 182-192

Anda mungkin juga menyukai