Anda di halaman 1dari 11

Penerapan dan Perkembangan dari Ketentuan Bangunan

Tahan Gempa di Indonesia


Oleh: Dradjat Hoedajanto 1

1.

Pendahuluan

Terjadinya gempa skala 9 MM di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu yang kemudian
disusul oleh banyak gempa susulan diberbagai tempat yang antara lain berskala 8.7 R pada
tanggal 28 Maret 2005 membawa tidak saja petaka dan nestapa yang berkepanjangan bagi semua,
tetapi juga realita bahwa ternyata di Indonesia bisa terjadi gempa dengan intensitas yang lebih
tinggi dari 8.5 R, suatu caping intensity yang disepakati dijadikan batas atas pada proses
penyusunan peta zona gempa untuk SNI 03-1726-2003. Hancurnya begitu banyak gedung dan
bangunan sipil lain dalam jarak 100 - 200 km dari epicenter gempa secara tidak langsung
menyadarkan kita akan adanya kemungkinan bahwa ketentuan yang ada mengenai perencanaan
dan pelaksanaan bangunan tahan gempa yang telah ditetapkan dalam beberapa SNI perlu dikaji
ulang atau minimal perlu ditegakkan penerapannya secara lebih konsisten, konsekuen dan
profesional. Langkah koreksi ini merupakan langkah perlu yang tidak dapat ditawar khususnya
karena apapun kondisinya target utama akhir tidak lain adalah agar bangunan-bangunan sipil2
yang dibangun diseluruh pelosok Indonesia dapat berfungsi sebagai bangunan tahan gempa yang
sesuai dengan fungsi serta tingkat resiko yang disepakati.
Perkembangan yang dicapai dalam sepuluh tahun terakhir secara signifikan mengedepankan
empat hal utama yang berkait dengan langkah-langkah perlu dalam proses perencanaan bangunan
tahan gempa. Ke empat hal tadi adalah:
1. Design philosophy dan performance criteria;
2. Seismic loads dan site effects;
3. Analysis and modelling;
4. Design requirements.

Assoc. Prof., Ph.D., IPU HAKI


Dosen dan Ketua Lab. Struktur dan Bahan, Departemen Teknik Sipil ITB,
Ketua Program Sertifikasi Profesi HAKI.
2
Gedung, jembatan, jalan, dam, dan sarana sipil lain yang dibangun oleh manusia untuk memenuhi fungsi dan
kegunaan yang direncanakan.
DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Hal 1

Kemajuan pemahaman ini antara lain merupakan buah dari studi atas keruntuhan banyak
bangunan sipil akibat gempa Northridge dan Kobe di medio tahun 1990-an.
Dalam kasus yang berkait dengan kondisi di Indonesia saat ini, khususnya setelah terjadinya
gempa Aceh dan Nias, dua hal utama yang terlihat perlu dicermati dan dipastikan akurasi serta
kecukupannya terhadap kebutuhan tercapainya bangunan tahan gempa diseluruh wilayah
Indonesia adalah:
(1) Penentuan dari beban seismik yang representatif untuk setiap tingkat resiko dari
wilayah yang ditinjau, dan
(2) Teknologi konstruksi yang menjamin tercapainya realisasi dari proses perencanaan dan
pelaksanaan bangunan tersebut sesuai dengan persyaratan perlu yang diterima dan diakui untuk
target performance yang disepakati.

2.

Beban Seismik dan Respon Struktur untuk Wilayah Indonesia

Bagi tenaga ahli yang bertindak sebagai perencana yang bertugas untuk merencanakan bangunan
tahan gempa, ketentuan legal mengenai beban seismik yang harus digunakan dalam perhitungan
ditail perenanaan struktur bangunan tersebut merupakan bagian awal yang penting dari langkah
perencanaan secara total. Data mengenai beban seismik ini selanjutnya dijadikan data awal dari
penentuan beban gempa disain yang harus diperhitungkan bagi struktur bangunan yang ditinjau.
Seperti halnya di negara lain yang telah maju, di Indonesia hal ini berarti memanfaatkan ketentuan
yang tercantum dalam Code and Standard Practices yang secara resmi berlaku untuk wilayah
yang ditinjau. Dalam sejarah dunia konstruksi Indonesia, hal ini diawali dari hadirnya Peraturan
Pembebanan Indonesia untuk Gedung NI 18 th. 1970 [1], yang mencantumkan Peta Zona Gempa
Indonesia yang membagi wilayah Indonesia menjadi 3 zona wilayah gempa, lihat Gambar 1,
dengan akselerasi tanah sebesar 25, 50, dan 100 gal. Kota Jakarta masuk dalam wilayah dengan
percepatan tanah 50 gal sedangkan Yogyakarta masuk dalam wilayah dengan akselerasi tanah 100
gal. Selanjutnya beban gempa disain didapat dari formula:
ai = ki . kd . kt

[1]

di mana
ai = percepatan gempa pada ketinggian i, bekerja secara horizontal atau vertikal,
tergantung dari arah ki.
ki = koefisien seismik pada ketinggian i, bisa horizontal atau vertikal.
kd = koefisien zona gempa sesuai peta zona gempa pada Gambar 1,
DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Hal 2

kt = koefisien tanah.
Dalam praktek, NI 18 ini diterapkan bersama dengan PBI 71 yang menjadi pegangan dasar dalam
merencanakan dan membangun gedung beton bertulang di Indonesia.
Peraturan Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung 1981 (PPTGIUG 1981) yang
menggantikan NI 18 disusun berdasarkan rekomendasi dari Indonesian Earthquake Study (IES)
yang merupakan kerja sama antara ahli Indonesia dengan ahli New Zealand di akhir tahun 1970an. Dalam peraturan ini wilayah Indonesia dibagi menjadi 6 zona gempa, lihat Gambar 2 dan
koefisien gempa dasar untuk setiap wilayah digambarkan dalam Gambar 3. Beban Gempa disain
lateral V dalam hal ini didapat dari formula:
V = C I K Wt

[2]

di mana
C = koefisien gempa dasar, Gambar 3,
I = faktor keutamaan, Tabel 2,
K = faktor jenis struktur, Tabel 3, dan
Wt = kombinasi dari beban mati total dengan beban hidup vertikal yang dire4duksi yang
bekerja di atas taraf penjepitan dari gedung yang ditinjau.
Distribusi dari Fi gaya geser dasar horizontal akibat gempa V pada level hi didapat dari formula
berikut:

Fi

Wi hi
V
Wi hi

[3]

Kota Jakarta dalam hal ini masuk dalam zona gempa 4 sedangkan kota Yogyakarta masuk dalam
zona gempa 3.
Faktor baru yang mulai diperkenalkan dalam konsep peraturan gempa ini adalah konsep daktilitas
struktur a yang menggambarkan kemampuan suatu struktur atau unsur struktur untuk mengalami
simpangan-simpangan plastis secara berulang dan bolak-balik di atas titik leleh pertama sambil
mempertahankan sebagian besar dari kemampuan awalnya dalam memikul beban, lihat Gambar 4.
PPTGIUG 1981 membagi struktur dalam 3 kelompok yaitu:
(1) struktur daktail penuh dengan nilai a = 4,
(2) struktur non-daktail dengan nilai a = 1, dan
(3) struktur daktail parsial dengan nilai a diantaranya.
Disamping itu PPTGIUG 1981 juga memperkenalkan faktor tipe struktur K yang konsep
penurunannya digambarkan pada Gambar 5.
DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Hal 3

Selanjutnya IES juga memperkenalkan konsep probabilitas dalam memperhitungkan tingkat


resiko gempa dengan menetapkan bahwa gempa disain adalah gempa yang memiliki
kemungkinan terjadi selama masa layan gedung yang ditinjau yang rendah, di sini diambil lk
sebesar 15%. Jadi untuk umur layan gedung 30 th, gempa disain dalam hal ini memiliki perioda
ulang lk 200 th. Secara konseptual PPTGIUG 1981 ini membawa dunia konstruksi Indonesia
ketingkat modern dengan mengadop konsep respon struktur tahan gempa inelastik yang
diperkenalkan oleh para ahli gempa dari New Zealand.
Dengan berjalannya waktu, pemahaman para ahli atas respon bangunan terhadap gempa juga terus
bertambah.

Dua gempa yang membawa dampak besar atas perubahan yang siknifikan dari

standar bangunan tahan gempa di dunia yang diambil di akhir abad yang lalu adalah gempa
Northridge dan Kobe yang terjadi pada medio th. 1990-an. Mengingat keterbatasan pemahaman
dan kemampuan studi yang bisa dilakukan di Indonesia, kembali dalam hal ini Indonesia
melakukan penyesuaian atas PPTGIUG 1981 dengan melakukan perubahan yang cukup mendasar
dengan mengadop konsep yang diajukan oleh UBC 1997.
Salah satu konsep dasar yang membawa dampak yang cukup signifikan terhadap beban gempa
disain yang harus diperhitungkan dalam setiap perencanaan bangunan tahan gempa di Indonesia
adalah pertimbangan bahwa masa layan bangunan gedung tidak lagi cukup 30 th. Dalam hal ini
masa layan bangunan gedung diambil menjadi 50 th.

Selanjutnya konsep gempa disain

ditentukan berdasarkan konsep bahwa selama masa layan yang 50 th tadi, kemungkinan terjadinya
gempa yang lebih besar dari gempa disain adalah 10%. Dengan demikian maka gempa disain
dalam hal ini adalah gempa yang mempunyai perioda ulang lk sebesar 500 th. Life safety design
concept yang secara konseptual mulai kita kenal melalui PPTGIUG 1981 tetap menjadi konsep
utama dari respon struktur bangunan tahan gempa dalam SNI 03-1726-2002, Tata Cara
Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan Gedung yang dihasilkan, (disingkat SNI Gempa
2002).
Perubahan konseptual yang agak signifikan dari PPTGIUG 1981 dalam hal ini berkait dengan
konsep daktilitas bangunan yang digunakan untuk mereduksi gempa elastik menjadi gempa disain
digantikan oleh faktor reduksi R yang diadop dari rekomendasi Uniform Building Code 1997
(UBC 1997). Faktor reduksi R ini diturunkan berdasarkan pengamatan yang seksama atas banyak

DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Hal 4

bangunan yang mengalami gempa dan untuk bangunan bangunan yang tidak masuk dalam tipe
bangunan yang telah distudi, faktor yang harus diperhitungkan antara lain adalah:
1. Karakteristik respon dinamik bangunan,
2. Ketahanan terhadap beban lateral,
3. Overstrength and strain hardening atau softening,
4. Degradasi kekuatan dan kekakuan,
5. Karakteristik dari disipasi energi yang terjadi,
6. Daktilitas dari sistem, dan
7. Redundancy.
SNI Gempa 2002 mencantumkan nilai Rm yang merupakan nilai faktor reduksi gempa maksimum
dalam Tabel 3 yang terdapat di halaman 12. Nilai ini merupakan modifkasi dari nilai R yang
direkomendasikan oleh UBC 1997. Selain modifikasi mengenai nilai R ini, dilakukan pula
beberapa modifikasi pada konsep maupun formula-formula UBC 1997. Satu hal yang dapat
dikedepankan adalah bahwa tidak semua modifikasi tadi didukung oleh studi laboratorium
maupun lapangan yang mendalam dan dalam banyak hal penulis tidak sepenuhnya sependapat
dengan modifikasi modifikasi tersebut.

Bahasan khusus mengenai SNI Gempa 2003 secara

keseluruhan telah pernah penulis sampaikan pada kesempatan yang lalu.


Dasar dari beban seismik dalam SNI Gempa 2002 diturunkan dari peta zona gempa yang disusun
berdasarkan ketentuan gempa disain 500 th. Seperti halnya PPTGIUG 1981, wilayah Indonesia
dibagi dalam 6 zona gempa. Tetapi berbeda dengan PPTGIUG 1981 urutan intensitas gempa per
wilayah pada SNI Gempa 2002 adalah kebalikan dari urutan intensitas pada PPTGIUG 1981, lihat
Gambar 6. Zona gempa 1 pada PPTGIUG 1981 berarti daerah yang memiliki intensitas gempa
paling tinggi, sedangkan pada SNI Gempa 2002 zona gempa 1 berarti wilayah yang tidak perlu
diperhitungkan terhadap gempa.

Urutan intensitas wilayah gempa pada SNI Gempa 2002

mengikuti kecenderungan yang dianut oleh UBC 1997.


Satu hal yang perlu disimak dan dicermati adalah bahwa walaupun SNI Gempa 2002 judulnya
adalah tara cara perencanaan ketahanan gempa untuk bangunan gedung, sesungguhnya fokus
dan inti dari ketentuan yang tercantum di dalamnya merupakan ketentuan beban gempa tidak
hanya untuk bangunan gedung tetapi juga untuk bangunan sipil umum lainnya. Ketentuan khusus
yang berkait dengan detail pengaturan ketahanan gempa dari komponen struktur bangunan
selanjutnya diasumsikan ditetapkan dalam SNI masing masing jenis bangunan, misal pada SNI
03-2486-2002 (SNI Beton 2002) untuk bangunan gedung beton.
DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Dengan demikian, kecuali


Hal 5

perlunya peninjauan dan pengembangan mengenai ketentuan yang berkait penyesuaian asumsi,
modelling dan langkah lain terkait yang diambil dalam proses perencanaan dan teknik
pelaksanaan struktur bangunan terhadap perkembangan state-of-the-arts yang ada, SNI Gempa
2002 telah cukup baik memenuhi fungsi sebagai ketetapan minimum bagi bangunan pada kondisi
normal yang harus direncanakan tahan gempa disain yang mempunyai perioda ulang 500 th.
Menjadi masalah adalah hadirnya dua publikasi resmi dari Departemen Pekerjaan Umum yang
mempunyai kemungkinan untuk meningkat menjadi SNI yang mengedepankan masalah beban
gempa untuk bangunan sipil, yaitu:
(1) Pedoman Konstruksi dan Bangunan Perencanaan beban tahan gempa untuk
jembatan, Pd. M-XXX-XXX, FINAL (RPT4) yang diterbitkan oleh Departemen Permukiman
dan Prasarana Wilayah, dan
(2) Peta Zona Gempa Indonesia sebagai Acuan Dasar Perencanaan dan Perancangan
Bangunan, yang diterbitkan oleh PusLitBang Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum, th.
2005.
Peta zona gempa yang berkait dengan kedua publikasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 7 - 9.
Masalah yang dimaksud dalam hal ini adalah bahwa peta zona gempa wilayah Indonesia yang
ditampilkan berbeda dengan peta zona gempa dari SNI Gempa 2002. Perbedaan didapat bukan
saja pada pembagian zona untuk seluruh wilayah yang ada, tetapi juga pada nilai dari percepatan
pada batuan dasar akibat beban yang ditinjau (dalam hal ini yang diperhitungkan adalah beban
gempa dengan perioda ulang 500 th). Perbedaan ini minimal akan menimbulkan masalah:
1. Secara konseptual, gempa tidak akan membedakan apakah struktur yang ada di permukaan
tanah itu merupakan sebuah bangunan gedung, sebuah bangunan jembatan, atau sebuah
bangunan bendungan. Dengan demikian hadirnya 3 buah sumber referensi resmi yang
sumber awalnya diterbitkan oleh institusi yang sama (Departemen Pekerjaan Umum) di
mana minimal satu sudah jadi SNI (SNI Gempa 2002) dan kemungkinan satu lagi akan
segera menyusul menjadi SNI lain (Pedoman Perencanaan Beban Gempa untuk Jembatan)
secara legal akan menjadi masalah serius yang membingungkan sekaligus menyesatkan,
2. Disamping masalah yang timbul dari sisi legal, dari sisi ekonomi jelas adanya perbedaan
ini akan merugikan masyarakat, bangsa dan negara. Bila misalnya SNI Gempa 2002 yang
lebih mendekati kondisi aktual, maka jelas bangunan sipil yang didisain berdasarkan dua
referensi lainnya akan menjadi lebih mahal secara siknifikan. Bila pada sisi lain SNI
Gempa 2002 yang justru salah, maka akibatnya bangunan sipil yang dibangun berdasarkan
DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Hal 6

ketentuan SNI Gempa 2002 akan underdesign dan bisa menimbulkan keruntuhan dini
yang bukan saja sangat merugikan harta, tetapi juga merugikan jiwa,
3. Secara akademik dampak dari hadirnya tiga sumber referensi dengan empat buah peta
zona gempa yang berbeda lebih sukar untuk dapat diterima dan dijelaskan secara
konsisten, khususnya karena perbedaan nilai intensitas yang ada sangat cukup berarti.
Bila hal ini tidak segera diluruskan, dampaknya akan parah terhadap pola dan hasil ajar
mengajar dari seluruh calon tenaga ahli teknik sipil di Indonesia dan dengan demikian
jelas akan sangat mempengaruhi kemampuan kinerja profesional mereka pada saat mereka
kemudian harus praktek di dunia nyata, khususnya bila harus berhadapan dengan dunia
luar. Kasus ini bisa menjatuhkan kredibilitas kemampuan teknik bangsa kita secara telak
dan nyata. Hal yang kembali jelas merugikan bangsa dan negara.
Bila dicermati, ada perbedaan prosedural yang nyata dari proses lahirnya ketiga kelompok peta
zona gempa di atas. Peta zona gempa yang dicantumkan dalam SNI Gempa 2002 merupakan
hasil kerja sama dari banyak pihak dan melibatkan berbagai disiplin ilmu yang berkait langsung
dengan kegempaan. Ahli dan pakar yang terlibat antara lain adalah dari bidang seismologi,
geoteknologi, geofisika dan meteorologi, geoteknik, dan teknik struktur. Dua kelompok peta zona
gempa lainnya merupakan hasil yang didapat dari studi kelompok ahli dari PusLitBang Sumber
Daya Air BaLitBang Departemen Pekerjaan Umum yang diketuai oleh ir. T. F. Najoan. Pada
tahap ini sukar untuk memastikan yang mana dari ketiga kelompok peta zona gempa tadi yang
lebih mendekati kondisi aktual di lapangan. Tapi berbekal pertimbangan teknis logis khususnya
memperhatikan bahwa ir. T. F. Najoan juga ikut terlibat dalam penyusunan dan menyepakati peta
zona gempa dari SNI Gempa 2002, sukar diterima adanya kemungkinan bahwa dalam waktu
kurang dari 5 tahun terjadi perkembangan pemahaman kegempaan, khususnya yang berkait
dengan bidang dan teknik risk assessment analysis dan wave propagation yang sangat signifikan,
hingga beliau berkenan untuk menghadirkan peta zona gempa Indonesia dengan perbedaan yang
cukup signifikan. Apalagi bila dicermati bahwa walaupun sumber institusinya sama, yaitu dari
PusLitBang Sumber Daya Air PusLiBang DPU, peta zona gempa pada Gambar 7 juga berbeda
dengan peta zona gempa pada Gambar 8 dan 9.

Bahkan bila dicermati, kebijakan untuk

menampilkan dua peta zona gempa yang berbeda intensitasnya pada Gambar 8 dan 9 pada satu
publikasi yang diarahkan untuk menjadi acuan terasa kurang seusai dengan pertimbangan tingkat
pemahaman masyarakat konstruksi dan juga kondisi ekonomi bangsa dan negara saat ini. Konsep
yang konservatif pada kondisi aktual tidak selalu merupakan opsi yang terbaik untuk mengatasi

DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Hal 7

masalah yang berkait dengan kegempaan dan segala dampaknya bagi masyarakat, bangsa, dan
negara.
Dari sisi respon struktur bangunan sipil terhadap beban gempa, belum ada perubahan yang
siknifikan terhadap konsep yang ada sejak lahirnya PPTGIUG 1981. Life safety design concept
masih merupakan konsep dasar dari respon struktur bangunan terhadap gempa yang diikuti
bahkan hingga hadirnya SNI Gempa 2002. Faktor perbedaan kebutuhan tingkat keamanan bagi
tiap jenis bangunan yang ada, misal tingkat keamanan bagi bangunan gedung Rumah Sakit,
diatasi dengan memanfaatkan konsep faktor faktor keutamaan I yang bervariasi antara nilai 1.0
untuk bangunan biasa hingga 1,6 untuk bangunan penting dengan target bahwa bangunan penting
memiliki ketahanan gempa yang lebih baik dari bangunan biasa.

3.

Kecenderungan Perkembangan State-of-The-Arts yang ada.

Menjelang akhir abad 21 yang lalu, banyak terjadi perkembangan pemahaman atas masalah
kegempaan di dunia. Kecenderungan ini antara lain dapat dilihat pada digantinya UBC 1997
dengan IBC 2000 yang kemudian menjadi IBC 2003, perubahan-perubahan pada ACI 318 yang
pada saat ini didapat pada ACI 318 2002, hadirnya ATC 40 Seismic Evaluation and Retrofit of
Concrete Buildings, CALTRANS Seismic Design Criteria Version 1.2 December 2001, dan
AASHTO Bridge Design Specifications 2004.
Secara siknifikan hal di atas terrefleksikan pada hadirnya konsep Performance Based Design and
Construction dan berubahnya penampilan peta zona gempa yang diwakili oleh format yang
dihadirkan oleh IBC 2003, lihat Gambar 10 dan 11. Dari sisi disain, konsep strength tidak lagi
cukup untuk merefleksikan kebutuhan ketahanan gempa yang diinginkan dan drift, untuk
bangunan gedung, menjadi kriteria penentu yang lebih berarti khususnya karena kemampuannya
dalam memberikan gambaran atas tingkat kerusakan yang mungkin terjadi pada bangunan yang
ditinjau terhadap beban gempa disain yang disepakati. Target Performance dalam hal ini menjadi
kriteria penentu yang harus ditetapkan bersama antara perencana dan pemilik / pengelola
bangunan. Implikasi gempa terhadap kinerja operasional bangunan yang didisain dan dibangun
menjadi hal yang harus dipahami bersama oleh tenaga ahli perencana/pelaksana maupun oleh
pemilik / pengelola bangunan.

Non-linear analysis and design menjadi bagian yang perlu

dipelajari dan dicermati dalam upaya perencanaan struktur untuk mencapai target performance
bangunan yang diinginkan. Masih terbatasnya ketentuan dan rekomendasi mengenai hal ini pada
DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Hal 8

code dan standar praktek yang ada saat ini menyebabkan terbatasnya pemahaman maupun
pemanfaatan dari konsep ini dalam proses desain aktual bagi bangunan sipil tahan gempa di
lapangan.

Walaupun membahas masalah yang berkait dengan upaya retrofit dari bangunan

gedung beton bertulang, ATC 40 dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mempelajari konsep
dasar yang diperlukan untuk menguasai dan menggunakan konsep Performance Based Design and
Construction, baik untuk bangunan sipil baru maupun untuk retrofiting dari bangunan tersebut.
Satu hal yang harus disadari adalah bahwa walaupun saat ini telah hadir beberapa software
struktur komersial yang mampu melakukan analisis nonlinear, pemakaian dari software tersebut
dalam proses Performance Based Design dari bangunan yang ditinjau perlu dilakukan dengan
seksama, antara lain karena masih terbatasnya model respon non-linear komponen struktur yang
dicakup. Umumnya softare struktur komersial yang ada masih mengandalkan pada konsep respon
bi-linear dari komponen struktur yang ditinjau. Hal yang pada kasus-kasus tertentu kurang
mampu memberikan gambaran yang baik mengenai respon aktual dari komponen struktur yang
ditinjau terhadap beban gempa yang bekerja yang bersifat dinamis dan siklis. Dengan demikian
pemanfaatan dari metoda Static Push Over Analysis yang telah mulai banyak dikenal oleh para
ahli struktur perlu disertai dan diimbangi dengan pemahaman yang lebih baik atras konsep respon
aktual dari struktur bangunan yang ditinjau terhadap beban gempa disain, khususnya pada level
target performance yang disepakati bersama. Implikasi teknis dan finansial atas pengelompokan
tingkat structural performance yang ada, yaitu (1) immediate occupancy, (2) damage control, (3)
life safety, (4) Limited safety, dan (5) structural stability perlu dipahami dengan baik oleh semua
pihak yang terkait. Kontribusi, partisipasi, dan respon dari non-structural components merupakan
hal lain yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan.

4.

Kesimpulan dan Saran

Memperhatikan segala masalah, pertimbangan, dan diskusi yang disampaikan di atas, kesimpulan
dan saran yang dapat disampaikan pada saat ini adalah:
1.

Masalah hadirnya tiga peta zona gempa seperti yang telah diuraikan didepan harus segera
diselesaikan dengan bijak, baik, dan akurat. Dampak legal, teknis, maupun ekonomis dari
masalah yang bisa timbul, khususnya dari konteks kebutuhan nasional, sangatlah besar dan
potensi kerugian yang bisa timbul baik dari sisi teknis, finansial, legal, maupun moral juga
bisa sangat signifikan,

DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Hal 9

2.

Dari sisi teknik gempa yang berkait dengan struktur bangunan, konsep performance based
design dan construction perlu segera dikedepankan untuk dimanfaatkan dalam upaya
untuk mendapatkan struktur bangunan sipil tahan gempa yang lebih baik dan sesuai
dengan performance yang diinginkan dan menguntungkan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam hal ini rekomendasi dan petunjuk yang didapat dalam ATC 40 dapat dijadikan
pegangan dasar dan pegangan awal bagi langkah perlu yang harus diambil oleh semua
pihak terkait. Memperhatikan perkembangan yang terjadi di luar, diperkirakan 10 tahun
lagi konsep ini akan sudah mulai menjadi salah satu alternatif utama dalam standar dan
code of practices yang ada,

3.

Satu langkah yang disarankan segera dikerjakan adalah mengkaji ulang peta zona gempa
Indonesia, bukan saja karena masalah adanya perbedaan dari tiga peta zona gempa yang
ada saat ini, tetapi juga karena mempertimbangkan bahwa gempa aceh 26 Desember 2004
yang lalu jauh lebih besar dari intensitas gempa maksimum yang diasumsikan bisa terjadi
di wilayah tersebut yang dijadikan dasar utama dalam penyusunan peta zona gempa SNI
Gempa 2002. Langkah ini hendaknya dilakukan secara bersama melibatkan ahli dan pakar
dari semua bidang terkait agar pada akhirnya mendapatkan suatu hasil yang disepakati
bersama yang dapat dipertanggung jawabkan secara total.

Daftar Referensi.
1.

NI 18, Peraturan Pembebanan Indonesia untuk Gedung, 1981.

2.

Beca Carter Hollings & Ferner Ltd and The Indonesia Counterpart Team, Indonesian
Earthquake Study, vol. 4, 1979

3.

Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, DitJen Cipta Karya, DPU, Peraturan


Perencanaan Tahan Gempa Indonesia untuk Gedung, 1981,

4.

Direktorat Penyelidikan Masalah Bangunan, DitJen Cipta Karya, Departemen Pekerjaan


Umum dan Tenaga Listrik, Peraturan Beton Bertulang Indonesia, 1971, NI-2

5.

ICBO, 1997 Uniform Building Code, Vol. 2,

6.

Blume, J.A., Newmark, N.M., and Corning, L.H., Design of Multistory Reinforced
Concrete Buildings for Earthquake Motions, PCA, Skokie, Illinois, USA, 1961,

7.

California Seismic Safety Commision, ATC 40, Seismic evaluation and retrofit of
concrete buildings, vol. 1, November 1996.

DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Hal 10

8.

California Seismic Safety Commision, ATC 40, Seismic evaluation and retrofit of
concrete buildings, vol. 2, November 1996.

9.

ICC, International Building Code 2003, Fifth Printing, May 2004

10.

ASSHTO, ASSHTO LRFD Bridge Design Specifications, Third Edition, 2004

11.

CALTRANS SEISMIC DESIGN CRITERIA VERSION 1.2, December 2001.

12.

US Department of Commerce, NIST SP 931, Wind and Seismic Effects, Proceedings of


the 30th Joint Meeting of the U.S.-Japan Cooperative Program in Natural Resources Panel
on Wind and Seismic Effects,

13.

Transportation Research Board and National Research Council, NCHRP Report 472,
Comprehensive Specification for the Seismic Design of Bridges, National Academy
Press, 2002.

14.

BSN, SNI 03-1726-2002 Tata Cata Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Bangunan
Gedung,

15.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Pd. M-xxx-xxx, Pedoman Konstruksi


dan Bangunan Perencanaan Beban Gempa untuk Jembatan, FINAL (RPT4),

16.

PusLitBang Sumber Daya Air BalitBang DPU, Peta Zona Gempa Indonesia sebagai
acuan Dasar Perencanaan dan Perancangan Bangunan, 2005.

17.

ACI Committee 318, Building Code Requirements for Structural Concrete (ACI 318-02)
and Commentary (ACI 318R-02).

DH/ATMAJAYA YOGYA/7 MEI 2005

Hal 11

Anda mungkin juga menyukai