Safrowi FSH33
Safrowi FSH33
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SAFROWI
NIM: 106045101516
Ketua
(......)
Sekretaris
(......)
(......)
Penguji I
Penguji II
(......)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
SAFROWI
106045101516
Dibawah Bimbingan
LEMBAR PERNYATAAN
Safrowi
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam senantiasa terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya.
Dalam penulisan skripsi ini, sudah tentu penulis banyak memperoleh bantuan
dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang
tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan
ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, M.Ag. Selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Sri Hidayati, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Prof. Dr. HM. Abduh Malik, selaku Dosen Pembimbing skripsi.
5. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan pengalaman karir kepada penulis.
6. Kepala dan Seluruh Staff/ Karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan bantuan buku-buku referensi yang berkaitan dengan penulisan
Skripsi ini.
7. Orang tua: Abah kayan dan Umy Maleha yang sampai detik ini selalu
memberikan pelajaran hidup yang paling berharga bagi penulis yang tidak bisa
diungkapkan lewat kata-kata.
8. Kakak (Iyu) Rokayah, Hozaimah, Muhdalifah; Adik Novi & Marufterima
kasih atas dukungan moril, terlebih materiil yang tak terhingga kepada penulis.
Mamas Witono & Sutikno, terutama untuk terkasih, motivator, dan inspirasiku:
Zaidan Fathur Rahman, Zihan Azkiyah, dan Najwa Kholisatussholiha, ini semua
kupersembahkan untuk kalian.
9. Sahabat berbagi dikala suka dan duka, diwaktu siang maupun malam Annisa
Luthfiah yang tak lekang oleh waktu (walau kau bukan milikku lagi)
10. Sahabat PMII, Komisariat PMII, DPP PPM, BEM FSH, BEMJ FSH besrta
jajarannya, KKN Online 2009, teman angkatan 2006, 2007, 2008, 2009 FSH;
Muamalat, SAS, SJS, PMH, dan Ilmu Hukum, untuk Milki Barokah dan Abdul
Khoir, yang telah memberikan sedikit petunjuk dalam penyelesaian skripsi ini,
makasih!
11. Terima kasih untuk keluarga besar PI Power Annisa Tri Hapsari, Mahpudin,
dan Faris SA, yang sudah menyelesaikan studinya, untuk Wismoyo, Rangga, Isa,
ii
Safrowi
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..............................................................
BAB III
PENYEBAB
TERJADINYA
DUGAAN
MALPRAKTEK
iv
BAB IV
PERLINDUNGAN
KEDOKTERAN
HUKUM
TERKAIT
TERHADAP
DUGAAN
PROFESI
MALPRAKTEK
MEDIK
A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum
Pidana Positif .............................................................................. 66
B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum
Pidana Islam................................................................................ 77
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 89
B. Saran ........................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 92
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..............................................................
BAB III
PENYEBAB
TERJADINYA
DUGAAN
MALPRAKTEK
iv
2. Bentuk Malpraktek................................................................ 47
3. Tindakan medis yang bersifat Malpraktek............................ 49
4. Pertanggung Jawaban hukum yang bersifat Malpraktek ...... 51
B. Faktor Penyebab Dugaan sengketa Medik (Malpraktek)............ 52
C. Pembuktian Kesalahan Dalam Malpraktek Medik ..................... 58
BAB IV
PERLINDUNGAN
KEDOKTERAN
HUKUM
TERKAIT
TERHADAP
DUGAAN
PROFESI
MALPRAKTEK
MEDIK
A. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum
Pidana Positif ................................................................ ............. 63
1. Konsep Perlindungan Hukum .............................................. 63
2. Dasar Perlindungan Hukum Dokter Dalam Tindakan Medik 68
B. Perlindungan Hukum Profesi Kedokteran Dalam Hukum
Pidana Islam .................................................................. ............. 74
1. Pelanggaran Disipilin Etika Kedokteran .............................. 74
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 86
B. Saran............................................................................................ 88
BAB I
PENDAHULUAN
Oemar Seno Adji, Prof, Etika Profesional dan Hukum Pertanggung jawaban Pidana
Dokter, (Jakarta; Erlangga, 1991), h. 223.
2
M. Iqbal Mochtar, Dokter Juga Manusia, (Jakarta; Gramedia Pustaka Utama, 2009)
Ibid., h, 224
Nusye KI. Jayanti, SH, S.Hum, Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009).
5
Anny Isfandyarie dan Fahrizal Afandi, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter
(Jakarta; Prestasi Pustaka, 2006), h. 5
Rosa Elita dan Yusuf Shofie, Malpraktek; Penyelesaiian Sengketa, dan Perlindungan
Konsumen, (Jakarta; Unika Atma Jaya, 2007)
7
Azrul Azwar, Kesehatan Kini dan Esok, (Jakarta; Ikatan Dokter Indonesia, 1990), cet. ke- I,
h. 20
Oleh karena itu, mau tak mau kalangan kesehatan harus lebih memahami
aspek-aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, sehingga dalam menjalankan
profesi kepada masyarakat menjadi lebih yakin diri.8 Dimana dalam era
globalisasi yang terjadi saat ini profesi kesehatan merupakan salah satu profesi
yang banyak mendapatkan sorotan dari masyarakat, karena sifat pengabdiannya
kepada masyarakat yang sangat komplek. Etika profesi yang semula mampu
menjaga citra tenaga kesehatan dalam melaksanakan tugas profesinya
kelihatannya makin memudar sehingga perlu didukung oleh peraturan perundangundangan yang lebih mengikat bagi tenaga kesehatan dan lebih memperdayakan
pasien dan keluarganya sebagai pengguna pelayanan kesehatan. 9
Sebenarnya sorotan masyarakat terhadap profesi kesehatan merupakan
suatu pertanda bahwa pada saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap
pelayanan kesehatan dan pengabdian profesi tenaga kesehatan terhadap
masyarakat pada umumnya dan pasien pada khususnya. Berkurangnya
kepercayaan masyarakat terhadap dokter, maraknya tuntutan yang diajukan
masyarakat dewasa ini seringkali di identikan dengan kegagalan upaya
penyembuhan yang dilakukan oleh dokter. Sebaliknya, apabila tindakan yang
dilakukan
berhasil
dianggap
berlebihan,
padahal
dokter
dengan
ilmu
Amri Amir, Bunga Rampai Hukum Kesehatan, (Jakarta; Widya Medika, 1997), cet. ke-I. h.
VII
9
2009
10
Ibid, h. 6
11
Anny Isfandyarie dan Fahrizal A, Tanggung jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, h. V
12
Dugaan Malpraktek Kedokteran dan Alternatif Penyelesaian, Harian Sains, edisi; 03 Juni
dokter yang tidak benar (Pasal 378 KUHP), Memberi keterangan yang
tidak benar di depan pengadilan.
b. kecerobohan (recklessness) berupa tindakan medik yang tidak sesuai
prosedur (lege artis) dan tanpa informed consent (persetujuan).
3. Kelalaian yang berupa tindakan meninggalkan alat bedah dalam perut pasien.
Kelalaian yang menyebabkan cacat atau kematian (Pasal 359 KUHP).
Perbuatan dokter dianggap sebagai tindak pidana bila dapat dibuktikan
bahwa dokter tersebut mempunyai niat jahat. Namun perbuatan jahat tanpa
dilandasi niat jahat belum tentu bisa dianggap tindak pidana. Akibat dari
perbuatan, perbuatan tersebut yang dilakukan, tanggung jawabnya bersifat
individual.
Deretan ancaman pidana yang dapat dikenakan bagi profesi ini makin hari
makin bertambah yang tersebut berupa Undang-undang, yaitu KUHP, UU. No.
23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU. No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek
Kedokteran. Didalam Undang-undang tersebut ada beberapa pasal yang berisi
ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbbuatan yang dapat
dipidana, yang dapat diancamkan dalam pelaksanaan praktek kedokteran.
Seorang dokter dapat memperoleh perlindungan hukum sepanjang ia
melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating
Procedure (SOP), serta dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan
dokter, yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam
KUHP.
(MKEK),
pelanggaran
disiplin
dilimpahkan
kepada
Konsil
13
M. Jusuf Hanafiyah, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta; EGC, 1999)
Chuzaimah Tahido Yanggo dan Hafidz Anshory, Problematika Hukum Islam Kontemporer,
(Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 2002), cet. ke- III, h. 69
15
Mastuhu dan M. Deden Ridwan, Tradisi Baru Penelitian Agama Islam: Tinjauan Antar
Disiplin Ilmu, (Bandung; Penerbit Nuansa, 1998), cet I, h. 136
)
(
Artinya:
Wahai kaum Muslimin, berobatlah, sesungguhnya Allah tidak
menciptakan suatu penyakit tanpa menciptakan obatnya (HR. Ahmad dari Ibn
Masud)
Dalam praktek apa saja, termasuk dalam bidang kedokteran, Nabi sangat
menekan sifat profesionalisme. Untuk menjadi profesional maka mesti
mempelajarinya dengan baik sebelum mempraktekannya, misalnya Nabi
16
AW. Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta; Sinar Grafika, 2004)h. 6
melarang berobat kepada yang bukan ahlinya, bahkan mengancam siapa yang
mengobati padahal ia tidak mempunyai ilmuunya, jika terjadi kesalahan maka ia
mesti bertanggungjawab terhadap resiko yang diderita pasien. 17
didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) secara umum, dan UU.
No. 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran khususnya, serta dalam ketentuan
undang-undang Bidang kesehatan
Adapun perumusannya dalam masalah ini ialah:
1. Apa yang dimaksud dengan perlindungan Hukum dalam ketentuan hukum
positif dan hukum Islam?
17
18
10
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk menemukan penyebab terjadinya sengketa antara dokter dengan pasien
di Rumah Sakit
2. Untuk menemukan seberapa jauh pertanggungjawaban dokter terhadap pasien
dalam upaya pelayanan medis di Rumah Sakit
11
D. Tinjauan Pustaka
Dari beberapa penelitian yang terdapat di Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, belum terdapat penelitian tentang Perlindungan
Hukum bagi profesi dokter, akan tetapi ada beberapa penelitian (skripsi) yang
sekiranya senada dengan penelitian ini yaitu tentang Upaya Perlindungan
Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Malpraktek Menurut Hukum Positif
Dan Hukum Islam 20 tetapi dari hasil penelitiannya hanya membahas tentang
perlindungan hukum terhadap korban tindak malpraktek saja menurut perspektif
Hukum Positif dan Hukum Islam, dan tanggung jawab dokter yang melakukan
malpraktek medik
Kemudian diantara bahan-bahan pustaka yang menjadi rujukan dalam
penelitian ini ialah UU. No. 29 tahun 2004, tentang Praktek Kedokteran. Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Buku yang berjudul; Penyelesaian
19
20
Abdul Azis, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2006)
12
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan Deskriftif Analisis yaitu
menggambarkan dan memaparkan secara sistematis apa yang akan menjadi objek
penelitian. 21
Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah Penelittian Hukum
Normatif Doktriner, yaitu penelitian hukum yang berupa norma-norma, objek
kajiannya adalah bahan-bahan dasar hukum primer yang terdiri dari perundangundangan catatan-catatan resmi dalam pembuatan perundang-undangan (hukum
normatif) dan putusan hakim. 22
Adapun sumber data yang digunakan adalah sumber data primer, yaitu
diperoleh secara langung dari masalah-masalah yang akan diteliti dan data yang
21
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 141
13
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan penelitian karya ini, tidak jauh berbeda dengan
penelitian-penelitian yang lainnya, dimana ada beberapa bab dan sub bab, yaitu
sebagai berikut:
BAB I:
23
Soerjono Seokanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta; UI Press, 1986), cet. ke-3
24
Buku Pedoman, Penulisan Skripsi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2008
14
BAB II:
BAB II
TANGGUNGJAWAB PROFESI KEDOKTERAN
memberikan
perlindungan
kepada
pasien,
mempertahankan
dan
Budi Sampurna, S.Pf, Praktik Kedokteran Yang Baik Mencegah Malpraktik Kedokteran,
Majalah Farmacia, Edisi: Maret 2006, h. 74
15
16
Bambang Poernomo, Hukum Kesehatan, Bahan Kuliah Pascasarjana UGM, Magisrer Hukum
Kesehatan, 2007
4
Alex Sobur, Butir-Butir Mutiara Rumah Tangga, , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1987). h. 245
17
Ibid., h. 2-3
18
Keterikatan
dokter
terhadap
ketentuan-ketentuan
hukum
dalam
Rumah
Sakit
menjadi
disiplin
ilmu
tersendiri
yang
Tidak mengikatnya beberapa ketentuan pidana dalam UU. No. 29 tahun 2004, berdasarkan
putusan MK, pada hari selasa 19 Juni 2007 yang dimohonkan oleh Anny Isfandyarie, SH, dkk.
9
19
20
21
22
2. Tanggungjawab Dokter
Praktek kedokteran bukanlah pekerjaan yang dapat diakukan oleh siapa
saja, melainkan hanya boleh dilakukan oleh kelompok profesional kedokteran
tertentu yang berkompetensi dan memenuhi standar tertentu dan mendapatkan
izin dari instutusi yang berwenang, serta bekerja sesuai dengan standar
profesionaisme yang ditetapkan oleh organisasi profesi. 11
Dari segi hukum, kelalaian atau kesalahan akan selalu berkaitan dengan
sifat melawan hukum, suatu perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggunjawab. Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab apabila dapat
menginsafi makna yang sebenarnya dilakukan olehnya, dapat menginsafi
perbuatannya itu dapat dipandang patut dalam pergaulan masayarakat dan mampu
menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatannya tersebut. 12
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab
seorang dokter adalah sebagai berikut:
1. Melaksanakan tugas fungsi sesuai dengan keilmuan melalui pendidikan yang
berjenjang;
2. Sesuai dengan kompetensi yang memenuhi standar tertentu;
3. Mendapat izin dari institusi yang berwenang;
4. Bekerja sesuai dengan standar profesi.
11
23
Hal tersebut diatas juga tercantum dalam pasal 1 ayat (11) UU. No. 29
Tahun 2004, yang berbunyi: Profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah
suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan
suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh oleh pendidikan yang berjenjang, dan
kode etik yang besifat melayani masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa dokter sebagai pengemban profesi adalah orang
yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan
keterampilan melalui pendidikan di bidang kedokteran yang diberikan
kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.
Dalam pertanggungjawaban tindakan dan perbuatan profesi kedokteran
sebagai subjek hukum dalam prakteknya dapat ditinjau dari dua aspek, ialah
sebagai berikut:
a. Tanggungjawab Kode Etik Profesi
Kode etik kedokteran menyangkut dua hal yang harus diperhatikan
oleh para pengemban profesi kedokteran, yaitu:
1) Etik jabatan kedokteran (medical ethics), yaitu menyangkut masalah yang
berkaitan dengan sikap dokter terhadap teman sejawatnya, Perawatnya,
masyarakat, dan pemerintah.
2) Etik asuhan kedokteran (ethics medical care), merupakan etika kedokteran
untuk pedoman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu mengenai sikap
tindakan
seorang
tanggungjawabnya.
dokter
terhadap
penderita
yang
menjadi
24
13
14
25
pekerjaan
sebagai
penanggung
jawab
(pasal
1367
KUHPerdata). 16
Dari uraian diatas maka dapat dikatakan bahwa seorang dokter
melakukan
malpraktek
dan
pasien
mengalami
suatu
cidera,
dapat
16
Ibid, h. 42
26
Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan , 1993), cet. Ke-2, h. 94
27
18
19
28
Ibid., h. 52
20
29
pada apa yang dilakukan atau tingkah laku terdakwa itu sendiri
30
22
23
31
32
atau luka (pasal 359 atau 360 KUHP) maka pertanggungjawaban pidana yang
wujudnya bukan sekedar penggantian kerugian (perdata) saja, akan tetapi boleh
jadi pemidanaan. 24
Adami Chazawi, SH, Malpraktek Kedokteran; Tinjauan Norma dan Doktrin Hukum,
(Malang: Bayumedia Publising, 2007), cet. Ke-I, h. 46
25
26
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Husain bin Abd Allah bin Hasan bin Ali bin Sina.
Dalam literatur Barat Ibn Sina dikenal dengan Avicenna berasal dari lidah Bahasa Latin. Lahir pada
bulan Safar 370 H/ Agustus 910 M. Ia wafat pada bulan Ramadhan 426 H/ 1037 M, dalam usia 58
tahun,. Lihat Zainal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avisenna); Sarjana dan Filosof Besar Dunia, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), h. 23-54
33
: .
:
( )
Artinya:
Abdullah bin Umar r.a. mengabarkan, bahwa Rasulallah SAW
bersabda: Setiap kamu adalah pemimpin, dan pemimpin bertanggungjawab atas
kepemimpinannya, Imam itu pemimpin dalam keluarganya, bertanggungjawab
atas kepemimpinannya. Laki-laki itu pemimpin, bertanggungjawab atas
kepemimpinannya. Wanita itu pemimpin dalam rumah tangga, dan
bertanggungjawab tentang kepemimpinannya. Khadam (pembantu) itu pemimpin
bagi harta majikannya, bertanggungjawab atas kepemimpinannya. Kata
Abdullah, agaknya Nabi SAW juga bersabda: Laki-laki itu pemimpin bagi hartaharta ayahnya, dan bertanggunggjawab terhadap kepemimpinannya. Kamu
seluruh adalah pemimpin bertanggungjawab atas kepemimpinannya. (H.R.
Bukhari)
28
29
34
Dalam sunan Ibn Majah, dikatakan bahwa orang yang tidak memiliki ilmu
kedokteran atau tidak berpengalaman atau dokter yang dangkal ilmunya, maka ia
bertanggungjawab atas kesalahannya, sebab ia menganggap tubuh seorang dengan
kebodohannya. Sebagaimana dalam riwayat:
. :
)
(
Artinya:
Dari Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata,
Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang memberi pengobatan dengan
tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.(H.R. Ibn Majjah)
Menurut al-Khattibi, 30 berkenaan dengan masalah tanggungjawab profesi
kedokteran yang mengatakan:
Artinya:
Aku tidak melihat adanya perselisihan pendapat tentang dikenainya
tanggungjawab bagi seorang yang melakukan pengobatan kemudian
menimbulkan korban. Bagi orang yang menguasai teori maupun praktek namun
begitu berpengalaman (ia melakukan terapi tanpa menimbulkan korban) maka ia
dikenai tanggungjawab berupa membayar diyat dan ia terlepas dari hukum
qisash, lantaran praktek pengobatannya itu bukan atas inisiatif sendiri,
30
Ibn Hajar al-Kanany al-Astqalany, Subul al-Salam, (Bandung: Dakhlan, T.Th), juz. III, h.
250
35
31
Misalnya Hadits:
)
(
Berobatlah, sesungguhnya Allah tidak menurunkan suatu penyakit kecuali juga menurunkan
obatnya, mengetahui orang yang mempunyai pengetahuan tentang itu, dan orang yang tidak
mempunyai pengetahuan tidak menggetahuinya. (HR. Ahmad dari Ibn Masud). Dengan redaksi
berbeda namun maksud sama, lihat pula Ahmad Ibn_Hanbal, op. cit., j. I, h. 377, 413, 443, 446, j. IV,
h. 270.
32
Misanya Hadits:
Ahmad, op. cit., j. III, h. 156
33
( )
36
Artinya:
Asal kata dokter bermakna: orang yang cakap, atau ahli dalam bidang
segala permasalahan, dan mengetahui tentang segala sesuatu, dan dikatakan
dokter ialah orang yang ahli dalam mengobati orang sakit
Sedangkan menurut Luwis Maluf, menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan dokter adalah:
Artinya:
Dokter adalah sesorang yang memiliki keahlian dibidang medis
(pengobatan), dapat juga diartikan orang yang mahir dan cakap dalam
pekerjaannya
Yusuf Syeikh Muhammad al-Baqaiy, memberikan definisi dari dokter
sebagai berikut: 35
Dokter ialah orang yang mahir (ahli) dan cakap dalam pekerjaannya
1. Pertanggungjawaban Etika
34
Ibn al-Manzhur, Lisan al-Arabi, (Kairo: Daar al-Hadits, 1423 H/ 2003 M.), Juz IV, h. 556
35
Yusuf Syeikh Muhammad al-Baqaiy, al-Qomush al-Muhith, (Beirut: Daar al-Fikr, 1415 H/
1995 M), h. 101
37
Etika pengobatan dalam literatur Islam dikenal dengan Adab. Adab yang
dalam literatur Hadits dan literatur awal pasca-Islam berarti: cara yang layak,
etika yang baik, dan tata cara yang benar. Banyak karya mengenai etika
pengobatan. Buku-buku tersebut mencoba menanamkan nilai moral yang baik dan
praktis disertai dengan etika profesional dalam bidang masing-masing. Amal yang
praktis dan akhlak yang terpuji ditekankan dalam semua profesi. Kendati alGhazali mengatakan bahwa kesalehan bukan menjadi syarat untuk menjadi ahli
hukum seperti ini, menurutnya, merupakan pekerjaan intelektual, kesalehan dan
akhlak terpuji membantu dalam penerimaan secara umum pendapat ahli hukum
tersebut, sedangkan akhlak akan mengurangi nilainya. 36
Kesalehan dan keikhlasan seorang dokter dikenakan dikalangan
pengobatan Yunani, yang dianggap sebagai penjaga tubuh dan jiwa. Dalam hal
ini, etika dalam literatur Islam menjadi sangat penting, yaitu:
1) Menyangkut tanggungjawab etis seorang dokter terhadap pasien yang
memiliki dua dimensi dalam Islam, antara lain:
a) Hubungan antara dokter dengan pasien; keramahan, kesabaran, perhatian
serta keyakinan profesional yang diperlihatkan kepada pasien;
b) Keyakinan kuat bahwa jika dokter itu bukan orang baik dan etis, maka
pengobatan tidak akan berjalan efektif dengan mengabaikan pertimbangan
bahwa dokter yang tidak etis tentu saja akan bereputasi buruk sehingga
tidak akan berhasil.
36
38
2) Dalam etika Islam, kesehatan merupakan unsur kesehatan yang utuh, artinya
jika orang tidak bermoral baik, positif, dan seimbang, ia juga tidak bisa
merawat kesehatan dengan secara utuh. Jadi persefektif ini, baik kesehatan
moral maupun kesahatan fisik, menjadi perhatian medis secara langsung. 37
37
Ibid., h. 133
38
39
39
Ahmad Hanafi, Azas-azas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), cet. Ke-IV,
h. 154
40
Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h. 242
40
42
Artinya:
Ali r.a. meriwayatkan dari Nabi saw, bahwa beliau bersabda: tiga
perkara yang dihapuskan dari dirinya, yaitu: anak kecil sampai ia bermimpi,
orang tidur sampai ia bangun, dan orang gila sampai ia sadar 43
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana Islam tidak dibebani atas
orang yang tidak berakal-fikiran, karena orang tersebut bukanlah orang yang
mengetahui dan tidak bisa menentukan pilihan. Demikian pula orang yang belum
dewasa, tidak bisa dikatakan pengetahuan dan pilihannya sudah sempurna.
Bagaimanapun berat tanggungjawab dokter, ia tetap harus melasanakan
tugasnya dengan baik, sebab ia akan dituntut pertanggungjawabannya kelak.
Adanya tanggungjawab pada masing-masing individu merupakan isyarat nash
terhadap adanya kewajiban untuk menunaikan tugas dengan baik demi
kemaslahatan manusia sendiri.
41
42
Syeikh Imam Abi Ishak Ibrohim, al-Muhadzid Fiq al-Imam As-SyafiI, (Daar al-Fikr, Juz
II), h. 267
43
41
(36 :17/)
Artinya:
Janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati,
semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya. (Q.S. al-Isra. 17: 36)
Kemudian, jika semua itu dilakukan oleh orang yang tidak memiliki ilmu
kedokteran atau tidak memiliki pengalaman di bidangnya, maka ia bertanggung
jawab terhadap kesalahannya, sebab ia telah dianggap melakukan kesalahan.
Dalam sebuah riwayat Hadits: 44
. :
)
(
Artinya:
Dari Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang memberi pengobatan dengan
tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.(H.R. Ibn Majjah)
Jafar Khadim 45 menjelaskan, bahwa apabila dokter yang mahir dan
mendapatkan izin serta melaksanakan tugasnya dengan baik, tetapi membuat
kesalahan, sehingga merubah organ sehat dan merusaknya, maka dokter wajib
44
Abu Daud (Sulaiman Ibn al-Asyasyi al-Sisjtsani), Sunan Abi Daud, (Beirut: Daar al-Fikr,
1994), juz IV, h. 198
45
Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qowaid
wa al-Furu Fiqh al-Syafiiyyat, (Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987), h. 233
42
46
al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, h. 109-111, Lihat Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual:
Jawaban Tuntas Maasalah Kontemporer, (Depok: Gema Insani Press, 2003), h. 51
43
kerugian tersebut, karena dalam praktek tersebut dokter berusaha berbuat baik
sesuai kemampuan yang dimilkinya.
Kelima, orang yang tidak mempunyai ilmu kedokteran tetapi melakukan
praktek yang mengakibatkan pasien itu cacat atau meninggal. Dalam hal ini, jika
sebelumnya pasien itu tau bahwa ia bukanlah seorang dokter maka pasien atau
walinya tidak berhak menerima ganti rugi, akan tetapi jikalau pasien tidak
mengetahui bahwa ia bukan dokter maka dokter tersebut wajib memberikan ganti
rugi kepada pasiennya.
BAB III
PENYEBAB TERJADINYA DUGAAN MALPRAKTEK KEDOKTERAN
DI LINGKUNGAN RUMAH SAKIT
dalam
sedangkan
bahasa
menurut
asing
Drs.
(Inggris),
Peter
disebut
Salim,
dengan
dalam
The
Y.A. Triana Ohoiwatun, Bunga Rampai Hukum Kedokteran, (Malang: Bayu Media, 2007),
h. 48
2
44
45
46
47
2. Bentuk Malpraktek
Sesuai dengan beberapa kategori bidang hukum, maka malpraktek
menurut DR. Soerjono Soekanto, SH. MA dan Dr. Karyono Muhammad, dapat
dikategorikan dalam beberapa bidang hukum:
1) Malpraktek dalam bidang hukum pidana antara lain:
a) Membuat surat keterangan palsu (pasal 263 dan 267 KUHP);
b) Menipu penderita atau pasien (pasal 378 KUHP);
Ibid, h. 40
48
49
50
Ibid., h. 54
51
4) Tindakan medis yang bersifat malpraktek, didalamnya harus ada ganti rugi
jika terjadi malpraktek.
J. Guwandi, op.,cit, h. 18
52
perbuatan yang merugikan dilihat dari segi pasien yang menjadi korban, apapun
akibat yang timbul tindakan medik yang dilakukan dokter, jika atas tindakan itu
tidak sesuai dengan standar profesi ataupun melakukan tindakan medik yang
bukan merupakan kompetensinya, maka dokter tersebut dapat dikatakan
melakukan malpraktek medis.
10
Yahyanto, SH. Tanggung Jawab Dokter dari Kesalahan Profesi Kedokteran, Materi Kuliah
Fakultas Hukum 19 Nopember Kolaka.
53
kedokteran tidak lain adalah tindakan (medik) yang salah atau kekeliruan yang
dilakukan oleh profesi kedokteran yang buruk dan berakibat buruk atas perbuatan
tersebut. 11
Akan tetapi kebanyakan para pakar menggunkan beberapa istilah lain
dalam tindak pidana profesi kedokteran, yaitu Medical Malpractice yang dalam
bahasa Indonesia disebut juga dengan kelalaian medik. 12
Malpraktek merupakan suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk
bersifat stigmatis, menyalahkan. Praktek buruk dari seseorang yang memegang
suatu profesi dalam arti umum. Tidak hanya medis saja sehingga ditujukan
terhadap profesi lainnya. Jika ditujukan terhadap profesi medis seharusnya juga
disebut sebagai malpraktek medis. Namun entah mengapa, dimana-mana
terutama mulai di luar negeri, istilah malpraktek ini selalu yang pertama-tama
diasosiasikan terhadap profesi kedokteran. 13
Pada dasarnya, kelalaian merupakan salah satu sifat alami manusia yang
tidak dapat dikenakan sanksi atasnya, tetapi atas kelalaiannya tersebut
menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum, terutama apabila sampai
mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain, Hukum positif dalam hal ini berupa
hukum pidana, etik profesi, Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
11
Lihat Beben Mishbah, Tindak Pidana Profesi Kedokteran Menurut Hukum Islam dan
Positif, (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Jakarta, 2008)
12
J. Guwandi, SH, Hukum Medik (Medical law), (Jakarta: FKUI, 2004), cet. Ke-I, h. 20
54
14
DR. Wila C. Supriadi, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), cet. Ke- I, h. vii
15
Oemar Seno Adji, Etika Profesional dan Hukum Pertanggungjawaban Pidana Bagi Dokter,
(Jakarta: Erlangga, 1991), h. 63
55
Hal itu yang menjadi penyebab malpraktek yang dilakukan oleh dokter
terhadap pasiennya. 16
Sedangkan perbuatan melawan hukum menurut Husein Karbala, 17
meliputi: Kesengajaan, kelalaian, atau kurang hati-hati. Rachmat Setiawan 18
memberikan pengertian perbuatan melanggar hukum dengan menyetujui pendapat
M.A. Mugni Djojodirdjo, yang intinya: bahwa pada istilah melawan, melekat
kedua sifat aktif dan pasif yang menimbulkan kerugian pada orang lain. Jika
didasarkan pada kerugian yang diderita oleh pasien atas perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh dokter, maka yang harus dibuktikan adalah:
1) Bertentangan dengan kewajiban profesinya
2) Melanggar hak pasien yang timbul dari kewajiban profesinya
3) Berrtentangan dengan keasusilaan
4) Bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat.
Hal-hal yang telah diuraikan diatas adalah salah satu indikator untuk
menyatakan bahwa seorang dokter atau perawat telah melakukan malpraktek atau
tidak dalam menjalankan profesinya tersebut, disini artinya hukum tidak hanya
melindungi hak-hak pasien, akan tetapi hak-hak dokter.
16
Rasyid, Malpraktek Dokter Tidak Ikut Prosedur, Artikel Harian Medan, edisi: Rabu, 10
Maret 2010
17
Husein Karbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993)
18
1991)
56
19
57
20
58
59
didasarkan ilmu pengetahuan dapat berkaitan dengan kejadan masa lalu yang
diduga menjadi perbutan pidana.
Pembuktian menurut hukum pada dasarnya merupakan proses untuk
menentukan substansi atau hakekat adanya fakta-fakta yang diproleh melalui
ukuran yang layak dengan pikiran yang logis terhadap fakta-fakta yang terang
dalam hubungannya dengan perkara pidana.
Peranan pembuktian untuk pengadilan mempunyai kekhususan dengan
ciri-ciri sebagai berikut:
1) Berkaitan dengan kenyataan yang mempunyai arti di bidang pidana, antara
lain apakah kelakuan dan hal-ihwal yang terjadi itu memenuhi kualifikasi
penganiayaan atau tidak;
2) Berkaitan dengan kenyataan yang didapat menjadi perkara pidana, antara lain;
apakah ada korban yang diabaikan dan apakah kejadian itu diperbuat oleh
manusia dan bukan alam;
3) Diselenggarakan melalui peraturan hukum secara pidana, antara lain
ditentukan oleh yang berwenang memeriksa fakta yang harus dilakukan oleh
polisi, jaksa, hakim dan petugas lain menurut tata cara yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan.
Sifat khusus dari peranan pembuktian yang demikian itu membawa
pertumbuhan hukum pembuktian untuk mendapatkan rumus-rumus yang menjadi
alat ukur dalam menyelengarakan pekerjaan pembuktian. Rumus yang menjadi
alat ukur yang sudah dikenal dalam hukum pembuktian terdiri atas:
60
21
61
5) Keterangan terdakwa. 22
Dalam menilai kekuatan pembuktian, alat-alat bukti yang ada dikenal
beberapa sisitem atau teori pembuktiaan, diantaranya:
1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif.
Sistem pembuktiaan ini hanya berdasarkan pada alat pembuktian yang
disebut Undang-undang secara positif. Artinya jikatelah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut undng-undang, maka
keyakinan hakim tidak diperlukan lagi.
Teori pembuktian ini ditolak oleh Wirjono Prodjodikoro untuk dianut
di Indonesia, karena katanya, bagaimana hakim dapat menetapkan
kebenaran selain menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran
itu, lagipula keyakinan hakim jujur dan berpengalaman mungkin sekali
sesuai dengan keyakinan masyarakat. 23
2) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan haikm semata.
Sistem ini bertolak belakang dengan sistem pembuktian menurut
Undang-undangsecara positif. Karena pembuktian ini hanya berdasarkan pada
keyakinan hakim semata. Sistem ini tidak diterapkan karena memberikan
kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit untuk diawasi.
Disamping itu, terdakwa atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan
pembelaan.
22
Ibid., h. 40
23
62
3) Sistem teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis.
Sistem ini terbagi menjadi dua jurusan, yaitu sistem pembuktian
berdasarkan Undang-undang secara negatif. Keduanya punya persamaan yaitu
berdasarkan keyakinan hakim, artinya tidak mungkin dipidana tanpa adanya
keyakinan hakim bahwa ia bersalah.
Perbedaannya adalah sistem yang pertama pada keyakinan hakim tapi
tidak didasarkan Undang-undang. Sedangkan sistem yang kedua yaitu sistem
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif, didasarkan pada aturan
pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi juga diikuti oleh
keyakinan hakim.
KUHP menganut sistem pembuktian berdasarkan Undang-undang secara
negatif. Hal tersebut dapat disimpulkan dari pasal 183 KUHAP, yang berbunyi:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 24
Jadi pembuktian dalam kasus malpraktek dipakai sistem pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif, sebab dalam menjatuhkan suatu
hukuman
pidana
terhadap
dokter
karena
adanya
pelanggaran
medik,
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1985), h. 232
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PROFESI KEDOKTERAN
TERKAIT DUGAAN MALPRAKTEK MEDIK
Dalam Hukum Pidana Positif Dan Hukum Pidana Islam
Hermein Herdiati Koeswadji, Hukum dan Masalah Medik, (Jakarta: Airlangga University
Press, 1984)
2
Daryanto, SS, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997), h. 405
63
64
peraturan yang dibuat dan disepakati baik seacara tertulis maupun tidak
tertulis atau yang biasa disebut peraturan atau undang-undang yang mengikat
perilaku setiap masyarakat tertentu. 3
Nilai-nilai tesebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi
manusia dalam wujudnya sebagai mahluk individu dan mahluk sosial dalam
wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan demi
mencapai kesejahteraan bersama. 4
Upaya pelayanan kesehatan yang bersifat penyembuhan dan
pemulihan kesehatan pasien, pemerintah mendirikan atau menyelenggarakan
rumah sakit-rumah sakit pemerintah dan mengattur, membimbing, membantu,
dan mengawasi rumah sakit yang didirikan dan diselenggarakan oleh badan
swasta.
Dalam proses pemenuhan pelayanan kesehatan oleh pasien atau
keluarganya dari para pihak medis (dokter dan perawat) yang berada di
Rumah Sakit, tidak jarang para pasien menemukan hal-hal yang kurang
menyenangkan atau memuaskan akibat perlakuan yang tidak wajar yang
dilakukan oleh dokter atau para medis yang ada. Apalagi komunikasi antara si
pasien atau keluarganya dengan pihak rumah sakit khususnya dokter atau para
medis seperti perawat, yang didalam praktiknya masih kurang dapat perhatian,
65
bahkan tidak terjalin secara baik. Ditinjau dari sumpah jabatan atau profesinya
tidak sedikit telahh terjadi pelanggaran kode etik. 5
Yang lebih bahaya lagi dalam memberikan pelayanan kesehatan
dimaksud, terdapat unsur kelalaian yang akibatnya merugikan pasien,
kelalaian semacam itu dalam hukum kesehatan dapat dikategorikan dengan
perbuatan malprkatek. Terhadap malpraktek yang dimaksud tentu dari aspek
hukum, seorang pasien dan atau keluarganya berhak mendapatkan
perlindungan, apakah dari segi keperdataan maupun dari segi kepentingan
publik yang bernuansa pidana atau kedua-duanya. 6
Pengaturan masalah malpraktek ini disamping antisipatif agar dokter
dan para medis lainnya harus berhati-hati dalam meberikan pelayanan juga
melindungi hak-hak pasien sebagai subjek hukum di dalam sebuah Negara
yang hukum yang demokratis.
Disamping kewajibannya tenaga kesehatan seperti dokter dan perawat
memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan profesinya, hal ini diatur di dalam pasal 53 ayat (1).
Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya disimak adalah isi pasal 55 UU. No.
23 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa: setiap orang berhak atas ganti
rugi akibat kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.
5
Juanda, SH, Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Kaitannya Dengan Malpraktek,
(Bengkulu: T,Tt, 2001)
6
Kadir Sanusi, Segi-segi Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Dalam Kaitannya Hubungan
Dokter , Pasien, Desertasi, Pascasarjana Unair Surabaya, 1995
66
67
profesi dan tugas, para dokter dan tenaga medis juga harus mendapatkan
perlindungan.
Dimana dalam pasal 53 ayat (1) UU. No. 23 Tahun 1992, merumuskan:
Tenaga
kesehatan
berhak
memperoleh
perlindungan
hukum
dalam
68
b.
peradilan profesi adalah sebagai penentu ada tidaknya kesalahan yang dilakukan
oleh tenaga kerja profesi kesehatan, sekali lagi bukan kepada pengadilan umum
sebagai penentu kesalahan yang dilakukan oleh tenaga profesi kesehatan. 7
69
ini, yang lebih ditekankan lagi adalah bentuk persetujuannya terhadap tindakan
medik yang mengandung resiko yang tinggi atau besar dan invasif (tindakan
medik yang langsung dapat mempengaruhi jaringan tubuh).
Pasien diberikan informasi atau keterangan yang mencakup hal yang
berkaitan dengan penyakitnya, serta keuntungan dan kerugian atas tindakan
medik yang akan dilakukan terhadap dirinya tersebut. Pemberian informasi oleh
dokter kepada pasien seputar tindakan medik yang akan dilakukan terhadap
dirinya tidak terlepas dari bentuk penghormatan dokter terhadap hak kemandirian
dan hak otonom pasien. Pasien sama seperti manusia biasa yang mempunyai hak
untuk berfikir dan menentukan sendiri terhadap badan pribadinya. Misalnya
seorang pasien mempunyai hak atas kesehatan pribadinyadan menentukan sendiri
jenis pengobatan yang terbaik untuk menyembuhkna penyakitnya.
Pelaksanaan informed consent tersebut juga beroengaruh positif bagi
dokter dalam menghadapi tuntutan malpraktek atas penanganan medik yang
dilakukannya, dan dapat berguna untuk membuktikan bahwa sudah ada kesediaan
pasien untuk dilakuan suatu tindakan medik. Bahkan tujuan dari tindakan medik
tersebut tidak lain adalah hanya untuk menylamatkan nyawa pasien.
Dalam hubungannya dengan tuntunan malpraktek, apakah informed
consent dapat menjadi dasar pembelaan bagi dokter, mengingat resiko serta akibat
buruk yang timbul akibat tindakan dokter tersebut, sedangkan resiko yang akan
terjadi menimpa pasien sudah disetujui dalam informed consent.
70
Banu Hermawan SH, dalam Tinjauan Yuridis Terhadap Informed Consent dalam Melakukan
Penanganan Medis, (Yogyakarta: FHUII, 2007), h. 112
9
A.Y.G. Wibisono, M. Kes, Klinik Praktek Dokter, Wawancara Pribadi, Tanggal 21 Agustus
2010
71
72
sebab itu dokter dapat terhindar dari adanya dugaan melakukan tindakan
malpraktek medik, dimana salah satu dari wajib hukum tersebut adalah Informed
consent, yang mana bertujuan untuk:
1) Perlindungan Pasien dalam segala tindakan medik;
2) Perlindungan terhadap tenaga kesehatan akan terjadinya akibat yang tidak
terduga serta dianggap merugikan pihak lain.
Namun tidak menutup kemungkinan bahwa bentuk kesalahan yang berupa
kesengajaan, tergantung pada sikap batin dan keadaan yang menyertai perbuatan.
Dimana di dalam KUHP terdapat hal-hal yang dapat meniadakan pidana seperti:
1) Sakit jiwa/ gila (pasal 41);
2) Ada unsur daya paksa (pasal 44);
3) Pembelaan diri terpaksa (pasal 49);
4) Peraturan perundang-undangan (pasal 50);
5) Perintah jabatan (pasal 51).
Unsur-unsur yang dapat meniadakan pidana seperti diatas juga dapat
diberlakukan terhadap dokter, tetapi alangkah baiknya dikethui bahwa dalam
yurisprudensi dan kepustakaan hukum kedokteran juga terdapat dasar peniadaan
kesalahan yang khusus berlaku dibidang kedokteran.
Seperti kita ketahui bahwa dalam pasal 184 KUHAP menyebutkan bahwa,
alat bukti yang sah yang dipakai dalam hukum pidana adalah keterangan saksi,
keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa
73
Sedangkan dalam pasal 187 KUHAP diuraikan secara jelas bahwa surat
dibuat atas sumpah jabatan yang dikuatkan dengan sumpah. Butir C pasal itu
menyebutkan yang dimaksud dengan surat antara lain adalah surat keterangan
dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai suatu hal
atau suatu keadaan yang diminta secara resmi padanya. Dari penjelasan diatas
dapat ditarik kesimpulan bahwa formulir Informed consent dapat dijadikan alat
bukti yang sah untuk dapat membuktikan bahwa pasien telah bersedia atau setuju
untuk diadakan tindakan medis. Sehingga resiko yang timbul sudah menjadi
resiko pasien dan dokter tidak dapat dipersalahkan.
Selain sebagai alat bukti surat, Informed consent juga dapat menjadi alat
bukti petunjuk, hal tersebut diatur dalam pasal 186 KUHAP ayat (2), yang
menyebutkan bahwa petunjuk dapat diperoleh dari keterangan surat dan
keterangan terdakwa, hal ini juga berarti Informed consent dapat dijadikan alat
bukti untuk menunjukan bukti bahwa pasien telah setuju dan informasi sudah
diberikan kepadanya sehingga dokter tidak dapat dipersalahkan.
Dengan demikian berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan
bahwa dengan adanya salah satu wajib hukum kedokteran (informed consent)
dapat dijadikan suatu pembelaan bagi dokter. Persetujuan pasien atas tindakan
dokter. Namun yang melindungi dokter terhadap tuntutan pelanggaran, maka
persetujuan tersebut hendaknya dapat dibuat dalam bentuk tertulis yang di tandatangani oleh yang berhak memeberikan persetujan (form Informed consent), maka
persetujuan berbentuk tulisan dapat digunakan sebagai alat bukti sah dalam
pengadilan.
74
75
Muqtadir dari dinasti Abbasiyah disebut departemen Hisbah (berasal dari kata
Arab hisab, yang berarti mempertimbangkan, menguji, atau menilai), yang
bertugas memperhatikan moralitas publik menguji timbangan atau alat ukur,
menguji kualitas komoditas, kecurangan profesional dan sebagainya. Dengan
demikian funsi pengawasan yang dijalankan oleh Departemen hisbah di
seluruh kota besar, di Arab, ujian semacam ini dilakukan di Bagdad, Kairo,
dan Damaskus. Menurut seorang sejarawan Arab, Jurji Zaidan, ada jabatan
dokter kepala dalam struktur pemerintahan Arab (mungkin terdapat dalam
Departemen Hisbah), yang mengontrol pendidikan dan praktek pengobatan,
dan untuk system penilaian diserahkan kepada para Muhtasib (dewan penilai)
agar dokter mendapat predikat nilai profesionalitas. 11
Bila dilihat Departemen Hisbah ini sangatlah kompleks kewenangan
yang dimilikinya mulai dari standarisasi pendidikan, pengujian hingga
melakukan pengawasan terhadap praktik kedokteran.
Adanya departemen hisbah ini sebagai bukti ternyata pemahaman
tentang aturan praktek di bidang kedokteran dalam Islam lebih awal
menciptakan situasi yang sangat kondusif bahwa penyelesaian hanya kalangan
organisasi profesi agar dampak perilaku dokter lebih positif bagi masyarakat
(self organitation determination).
11
76
Adapun sistem atau tata cara penegakan hukum atau tata cara pemeriksaan
bagi para dokter yang terduga melakukan pelanggaran professional masih sangat
sederhana, yaitu:
1. Pencabutan izin praktek (bagi para dokter)
2. Kewajiaban mengikuti pendidikan atau pelatiah di institusi pendidikan
(madrasah) kedokteran
3. Diserahkan pada sisitem hukum melalui pengadilan (hakim), bila dianggap
melakukan pelanggaran hukum yang berlaku. 12
Namun ada sebab hapusnya pertanggung jawaban pidana walaupun pada
dasarnya perbutan jarimah itu dilarang. Tetapi ada diantaranya yang
diperbolehkan dikarenakan adanya:
1. Pembelaan yang sah
2. Pendidikan
3. Pengobatan
4. Olahraga
5. Hilangnya jaminan
6. Menggunankan wewenang negara.
Salah satu sebab hapusnya pertanggung jawaban pidana menurut hukum
Islam adalah adanya sebab pengobatan. Seorang dokter tidak dituntut karena
pekerjaannya dalam lapangan pengobatan. Akan tetapi karena pekerjaan lapangan
pengobatan lebih mirip pemakaian hak daripada melakukan kewajiban, maka
12
Ibid., h. 118
77
(80 :26/)
Artinya:
Dan apabila Aku sakit, dialah yang menyembuhkan aku (QS.
Assyuara. 26: 80)
Para Ulama sependapat bahwa akibat yang merugikan si sakit atau pasien
tidak dapat dimintakan pertanggung jwaban kepada dokter yang mengobatinya.
Akan tetapi para Ulama berbeda pendapat mengenai alasannya. Imam Abu
Hanifah, mengajukan dua alasan:
1. Kebutuhan masyarakat;
2. Mendapatkan izin dari pasien atau walinya.
Dengan adanya alasan yang kedua ini dapat dijadikan alasan tentang
penerapan persetujuan dari pasien untuk dilakukannya pengobatan. Dengan
adanya kebutuhan masyarakat ini, dokter harus bebas melakukan pekerjaannya,
dan dari keizinan itu ada ia merasa bebas dari kekhawatiran untuk dituntut.
Imam Syafii berpendapat bahwa kebebasan dokter ini diperoleh karena
izin dari pasien atau walinya. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa
kebebasan tersebut diperoleh dari pasien, walinya, dan penguasa.
Bebasnya dokter dari tuntutan ini kalau ia mempunyai syarat-syarat:
1. Ia harus benar-benar dokter.
78
79
14
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Ke-I, h.
256
80
81
terhadap anak-anak, orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang
kemauannya, orang yang dipaksa dan terpaksa. 16
Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana Islam tidak dibebani atas
orang yang tidak berakal-fikiran, karena orang tersebut bukanlah orang yang
mengetahui dan tidak bisa menentukan pilihan. Demikian pula orang yang belum
dewasa, tidak bisa dikatakan pengetahuan dan pilihannya sudah sempurna.
Bagaimanapun berat tanggungjawab dokter, ia tetap harus melasanakan
tugasnya dengan baik, sebab ia akan dituntut pertanggung jawabannya kelak.
Adanya tanggungjawab pada masing-masing individu merupakan isyarat nash
terhadap adanya kewajiban untuk menunaikan tugas dengan baik demi
kemaslahatan manusia sendiri.
Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah SWT:
(36 :17/)
Artinya:
Janganlah Kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati,
semuanya akan dimintai pertanggungjawabannya. (Q.S. al-Isra. 17: 36)
Bagi Abd al-Qadir Audah, 17 bedasarkan ijma fuqaha akan bebasnya
tanggungjawab seorang dokter dari kesalahannya yang diperbuatnya harus
memenuhi syarat-syarat berikut:
16
82
. :
)
(
Artinya:
Dari Amr bin Syuaib, dari Bapaknya dari Kakeknya, ia berkata,
Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang memberi pengobatan dengan
tidak berdasarkan ilmunya, maka ia harus bertanggungjawab.(H.R. Ibn Majjah)
Adapun urusan hukumnya kewajiban memikul tanggungjawab (resiko)
bagi dokter yang bodoh atas tindakan itu, apabila dokter ini mempraktekkan ilmu
pengobatan tanpa benar-benar berpengalaman, maka ia telah merusak jiwa
dengan kebodohannya atau melakukan tindakan yang tidak bertanggungjawab
menurut apa yang tidak diketahui olehnya. Dengan demikian, maka ia telah
melakukan tindankan berbahaya dengan pengobatannya itu. Lalu ia wajib
memikul tanggungjawab atas perbuatannya.
17
83
19
Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazhair fi Qowaid
wa al-Furu Fiqh al-Syafiiyyat, (Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi, 1987), h. 233
20
al-Jauziyah, al-Thib al-Nabawi, h. 109-111, Lihat Setiawan Budi Utomo, Fiqh Aktual:
Jawaban Tuntas Maasalah Kontemporer, (Depok: Gema Insani Press, 2003), h. 51
84
2) Dokter ahli yang mengobati dengan izin pasiennya dan sesuai dengan ilmu
kedokteran yang dimilikinya, namun dalam pelaksanaannya dokter tersebut
tidak memenuhi kesepakatan mereka berdua. Bagi mayoritas ulama fikih,
dokter tidak wajib membayar diyat, namun dikalangan ulama Mazhab
Hambali menyatakan harus menanggung diyat karena masuk dalam kategori
jinayah khata. Sementara Ahmad bin Hambal sendiri membebankan diyat
pada baitulmal.
3) Dokter ahli yang dalam melaksanakan pekerjaan dan pengobatan terhadap
pasien yang melakukan pengobatan ijtihadnya sendiri, tetapi ia keliru dalam
melakukan ijtihadnya sehingga menyebabkan korban luka atau meninggal.
Dalam hal ini ganti rugi dibayar oleh baitulmal untuk keluarga korban.
Namun bagi Imam Ahmad bin Hambal yang membayar ganti rugi keluarga
dari dokter itu sendiri.
4) Dokter yang melakukan pengobatan tanpa izin, baik dari pasien itu sendiri
ataupun walinya, bila dalam bekerja dokter melakukan kesalahan, maka ulama
mazhab Hambali menyatakan dokter itu wajib menanggung rugi. sementara
pendapat lain bahwa dokter tidak harus bertanggungjawab atas kerugian
tersebut, karena dalam praktek tersebut dokter berusaha berbuat baik sesuai
kemampuan yang dimilkinya.
5) Orang yang tidak mempunyai ilmu kedokteran tetpi melakukan praktek yang
mengakibatkan pasien itu cacat atau meninggal. Dalam hal ini, jika
sebelumnya pasien itu tau bahwa ia bukanlah seorang dokter maka pasien atau
85
walinya tidak berhak menerima ganti rugi, akan tetapi jikalau pasien tidak
mengetahui bahwa ia bukan dokter maka dokter tersebut wajib memberikan
ganti rugi kepada pasiennya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis uraikan bab demi bab, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Konsep perlindungan hukum terhadap profesi kedokteran dalam kaitannya
dengan dugaan malpraktek, baik menurut hukum positif dimana disini lebih
mengacu kepada hukum kesehatan, dan kajian hukum Islam hampir sama
penerapannya, yaitu tenaga kesehatan mendapatkan perlindungan hukum
terkait dengan adanya dugaan malpraktek sepanjang ia melaksanakan tugas
sesuai dengan standar profesi dan Standar Operating Procedure (SOP), serta
dikarenakan adanya dua dasar peniadaan kesalahan dokter, yaitu alasan
pembenar dan alasan pemaaf yang ditetapkan di dalam KUHP.
2. Kemudian mengenai perlindungan hukum dalam kajian pidana Islam telah
dipaparkan bahwa seorang dokter akan mendapatkan perlindunga hukum
selama ia memang ahli dan melaksanakan tugasnya profesinya sesuai dengan
ilmu kedokteran, kemudian jika dalam pengobatan yang diizinkan pasien
terjadi kecelakaan, maka jamhur ulama berpendapat dokter tersebut tidak
dituntut hukum pidana, namu bagi Abu Hanafiyah, dokter tersebut wajib
membayar diyat. Namun ada sedikit perbedaan dikalangan para ulama
mengenai pertanggung jawaban hukum terhadap dokter yang melakukan
86
87
88
medis yang bertentangan dengan hak-hak pasien, dan adanya niat melawan
hukum.
B. Saran-saran
Dari kesimpulan diatas, maka ada beberapa saran yang perlu sampaikan:
1. Bahwa perlu disosialisasikan hukum kesehatan kepada seluruh lapisan
masyarakat agar mereka dapat mengetahui hak-hak dan kewajiban masingmasing.
2. Bahwa perlu ditingkatkan peran aktif penegak hukum dalam menegakan
hukum kesehatan khususnya yang berkaitan dengan dugaan malpraktek.
3. Bahwa perlindungan hukum harus dilakukan secara proporsional dan
seimbang bagi dokter dan tenaga kesehatan lainnya agar terbangunnya
suasana dan kondisi yang kondusif dalam rangka mereka menjalankan tugas
dan profesinya.
4. Bahwa sikap keterbukaan, objektif, dan proporsional dari pihak Rumah sakit
sangat diharapkan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan terhadap
masyarakat khususnya dalam penanganan kasus yang diduga malpraktek.
5. Bahwa hemat penulis apabila kasus-kasus tentang dugaan malparaktek ini
sepanjang masih bisa diselesaikan dengan jalan kekeluargaan, maka itu akan
lebih baik, disamping harus diselesaikan melalui jalur hukum.
DAFTAR PUSTAKA
89
90
Hanafi, Ahmad. Azas-azas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Hanafiyah, M. Jusuf, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta: EGC, 1999
Hanafiyah, M. Jusuf. Malpraktek Medik. Jakarta: EGC, 1999.
Hariyani, Safitri. Sengketa Medik: Alternatif penyelesaian Perselisihan antara Dokter
dengan Pasien. Jakarta: Disdit Media, 2005.
Hermawan, Banu Tinjauan Yuridis Terhadap Informed Consent dalam Melakukan
Penanganan Medis. Skipsi S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Yogyakarta, 2007
Ibn al-Manzhur. Lisan al-Arabi. Kairo: Daar al-Hadits Juzz IV, 1423 H/ 2003 M.
Ibn Hajar al-Kanany al-Astqalany, Subul al-Salam. Bandung: Dakhlan, T.Th
Ibn Manzhur. Lisan al-Arab. Beirut: Daar al-Fikr, 1994.
Ibn Sina. al-Qanun fi al-Thibb. Beirut: Daar al-Fikr, T.tt.
Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung: Bayu
Media, 2006, Cet. ke-2
Isfandyarie, Anny dan Afandi, Fahrizal. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi
Dokter. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2006.
Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibn Abi Bakr al-Suyuthi. al-Asybah wa al-Nazhair fi
Qowaid wa al-Furu Fiqh al-Syafiiyyat. Beirut: Daar al-Kitab al-Arabi,
1987.
Jayanti, Nusye. Penyelesaian Hukum dalam Malpraktek Kedokteran.Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2009. cet, ke-I.
Juanda. Perlindungan Hukum Terhadap Pasien Dalam Kaitannya Dengan
Malpraktek. Bengkulu: T,Tp, 2001.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Karbala, Husein. Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1993.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
91
92