Ketuban Pecah Dini Ac Rsud Budi Asih

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
KPD atau ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam dunia obstetrik
berkaitan dengan penyulit kelainan prematur dan terjadinya infeksi khorioamnionitis sampai
sepsis, yang meningkatkan morbiditas dan moralitas perinatal dan dapat menyebabkan infeksi
pada ibu. KPD mempengaruhi 2,7% hingga 1,7 % dari keseluruhan ibu hamil, kebanyakan
kasus ini terjadi secara spontan (tanpa diketahui sebab yang jelas) dan biasanya diikuti
dengan proses kelahiran.1
Dalam studi kasus yang dilakukan oleh university of california di Los Angeles
Amerika Serikat (UCLA) menyebutkan bahwa telah menemukan proses kelahiran yang
diawali dengan terjadinya KPD dalam 24 jam. Sebelumnya sekitar 81 % pasien dengan bobot
bayi lebih dari 2500 g. Situasi ini dinilai berbeda dengan KPD yang terjadi lebih awal (lebih
dari 24 jam) pada kehamilan. Pada kasus terakhir ini hanya 48 % pasien yang kemudian
diteruskan dengan proses kelahiran dalam 2 hari setelah KPD (High-Risk Pregnancy and
Delivery, Fernando Aries, 1993).
Ketuban pecah dini merupakan komplikasi kebidanan pada kehamilan yang
menempati urutan 6 tersering dijumpai. Ketuban pecah dini merupakan penyebab penting
morbiditas dan mortalitas perinatal. Neonatal yang dilahirkan dari wanita dengan rupture
membrane preterm dan persalinan yang terlambat, paling tidak 30 persen meninggal atau
mengalami cacat neurologis.2
Makalah ini bertujuan untuk mengetahui gambaran Ketuban Pecah Dini dan untuk
mengetahui Ketuban Pecah Dini sebagai faktor resiko terjadinya Kematian neonatal.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Ketuban pecah dini (premature rupture of the membrane) ada bermacam-macam
batasan teori atau definisi, yaitu:

Ada teori yang menghitung beberapa jam sebelum inpartu yaitu pecahnya ketuban sebelum
tanda-tanda persalinan dan ditunggu 1 jam sebelum dimulainya tanda persalinan (Ilmu
Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan,
Manuaba).3

Ada yang mengatakan dalam ukuran pembukaan serviks pada kala I, misalnya pecahnya
ketuban sebelum inpartu, yaitu apabila selaput ketuban pecah saat pembukaan pada
primi kurang dari 3 cm daripada multi kurang dari 5 cm (Sinopsis Obsetri & Patologi)

Ada yang mengatakan dari usia kehamilan, misalnya keluar cairan berupa air-air dari vagina
setelah usia kehamilan berusia 22 minggu dan sebelum proses persalinan berlangsung
(Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal).4

Kejadian ketidaknormalan yang terjadi dimana robeknya selaput janin di dalam kandungan
sebelum fase aktif (salah satu tandanya yaitu pembukaan belum melewati 4 cm)
persalinan. KPD ini terjadi jika membran atau selaput janin robek sebelum tanda
persalinan muncul (High Risk Pregnancy and Delivery, Fernando Aries).
Air ketuban berfungsi untuk memberi ruang kepada janin untuk bergerak sehingga
tidak terjadi flaksiditas otot ekstrimitas dan berkembangnya paru. Air ketuban penting untuk
menghilangkan friksi kinetik yang terjadi pada persalinan akibat tidak bullet shape-nya janin.
Pada kehamilan preterm pecahnya ketuban akan merangsang persalinan dan kelahiran (50%
persalinan preterm dengan KPD akan berakhir dengan kelahiran).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Ketuban pecah dini prematur terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya selaput ketuban
berkaitan dengan perubahan proses biokimia yangterjadi dalam kolagen matriks ekstra seluler
amnion, korion, dan apoptosis membran janin. Membran janin dan desidua bereaksi terhadap
stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput ketuban dengan membran pereduksi mediator

seperti prostaglandin, sitokinin, dan protein hormon yang merangsang aktivitas matrix
degrading enzym
Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm dan pada kehamilan
midtrester. Frekuensi terjadinya sekitar 8%, 1 3 %, dan kurang dari 1 %. Secara umum
insidensi KPD terjadi sekitar 7 12 % (Chan, 2007).5 Insidensi KPD kira kira 12 % dari
semua kehamilan (Mochtar, 1998), sedangkan menurut Rahmawati 2011 insidensi KPD
adalah sekitar 6 9 % dari semua kehamilan.
2.3 ETIOLOGI
Infeksi genetalia yang berasal dari bakterial proteus atau pun metabolisme bakterial
jenis lain (60-70%). Meningkatnya tekanan intra-uteri secara berlebihan (over distensi uterus)
misalnya trauma hidramnion, dan gemelli. Berkurangnya kekuatan membran salah satunya
disebabkan oleh adanya infeksi yang berasal dari vagina dan servik. Serviks incompeten.
Berkurangnya kekuatan dari leher rahim atau panggul ibu sehingga menyebabkan selaput
ketuban mudah robek. Kanalis servikalis yang selalu terbuka karena kelainan pada serviks
(akibat persalinan atau curetage).
Ibu hamil melakukan coitus diwaktu yang tidak tepat sehingga menyebabkan
pecahnya selaput ketuban misalnya ibu hamil trimester III melakukan coitus saat selaput
ketuban meregang dan ereksi pada penis sedang dalam keadaan kuat yang akan
mengakibatkan selaput ketuban mudah sobek. Kelainan letak, misalnya sungsang, sehingga
tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu atas panggul yang dapat menghalangi tekanan
terhadap membrane bagian bawah. Apabila kepala sudah masuk panggul dan diikuti bagian
terkecil janin/tali pusat, bagian tersebut dapat merobek tali pusat.
1.Inkompetensia serviks
Inkompetensia serviks adalah istilah untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher
atau leher rahim (serviks) yang terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka ditengahtengah kehamilan karena tidak mampu menahan desakan janin yang semakin besar. Serviks
smemiliki suatu kelainan anatomi yang nyata, yang bisa disebabkan laserasi sebelumnya
melalui ostium

uteri atau merupakan suatu kelainan congenital

pada serviks

sehingga

memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa
kehamilan trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan
robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi.2
3

2. Peninggian tekanan inta uterin


Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Misalnya :
a. Trauma : hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
b. Gemelli
Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada kehamilan
gemelli

terjadi

distensi

uterus

yang

ketegangan rahim secara berlebihan.

berlebihan,

sehingga

menimbulkan

adanya

Hal ini terjadikarena jumlahnya berlebih, isi

rahim yang lebih besar dan kantung (selaput

ketuban ) relative kecil

sedangkan

dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban
tipis dan mudah pecah.6
3. Makrosomia
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan
makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat

dengan

atau over distensi dan

menyebabkantekanan pada intra uterin bertambah sehingga menekan selaput ketuban,


manyebabkan selaput ketuban menjadi teregang, tipis, dan kekuatan membrane menjadi
berkurang, menimbulkan selaput ketuban mudah pecah.6
4. Hidramnion
Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000 mL. Uterus
dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak. Hidramnion kronis adalah
peningaktan jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur. Hidramnion akut, volume
tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami distensi nyata dalam waktu beberapa
hari saja.2
5. Kelainan letak
Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi
pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.2

6. Penyakit infeksi
Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun ascenden dari
vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan terjadinya KPD. Penelitian
menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama ketuban pecah dini.Membrana khorioamniotik
terdiri dari jaringan viskoelastik. Apabila jaringan ini dipacu oleh persalinan atau infeksi
maka jaringan akan menipis dan sangat rentan untuk pecah disebabkan adanya
aktivitas enzim kolagenolitik. Infeksi merupakan faktor yang cukup berperan pada persalinan
preterm dengan ketuban pecah dini. Grup B streptococcus mikroorganisme yang sering
menyebabkan amnionitis.

2.4 FAKTOR PREDISPOSISI


Sebagian besar kasus, penyebabnya belum ditemukan. Faktor yang disebutkan
memiliki kaitan dengan KPD yaitu riwayat kelahiran prematur, merokok, dan perdarahan
selama kehamilan. Beberapa faktor resiko dari KPD adalah:
1

Infeksi

Inkompetensi serviks

Polihidramnion

Riwayat KPD sebelumnya


5

Kelainan atau kerusakan selaput ketuban, servik yang pendek (< 25 mm) pada usia
kehamilan 23 minggu

Kehamilan kembar

Trauma

Malposisi

Multi gravida, merokok, perdarahan ante partum

10

Defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat

2.4 PATOFISIOLOGI
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan karena seluruh selaput
ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degenerasi ekstraseluelr matriks.
Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivasi kolagen
berubah dan menyebabkan selaput ketuban pecah.
Dua belas hari setelah ovum dibuahi , terbentuk suatu celah yang dikelilingi amnion
primitif yang terbentuk dekat embryonic plate. Celah tersebut melebar dan amnion
disekelilingnya menyatu dengan mula-mula dengan body stalk kemudian dengan korion yang
akhirnya menbentuk kantung amnion yang berisi cairan amnion. Cairan amnion , normalnya
berwarna putih , agak keruh serta mempunyai bau yang khas agak amis dan manis. Cairan ini
mempunyai berat jenis 1,008 yang seiring dengan tuannya kehamilan akan menurun dari
1,025 menjadi 1,010. Asal dari cairan amnion belum diketahui dengan pasti, dan masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut. Diduga cairan ini berasal dari lapisan amnion
sementara teori lain menyebutkan berasal dari plasenta. Dalam satu jam didapatkan
perputaran cairan lebih kurang 500 ml.
Amnion atau selaput ketuban merupakan membran internal yang membungkus janin
dan cairan ketuban. Selaput ini licin, tipis, dan transparan. Selaput amnion melekat erat pada
korion (sekalipun dapat dikupas dengan mudah). Selaput ini menutupi permukaan fetal pada
plasenta sampai pada insertio tali pusat dan kemudian berlanjut sebagai pembungkus tali
pusat yang tegak lurus hingga umbilikus janin. Sedangkan korion merupakan membran
eksternal berwarna putih dan terbentuk dari vili vili sel telur yang berhubungan dengan

desidua kapsularis. Selaput ini berlanjut dengan tepi plasenta dan melekat pada lapisan
uterus.
Dalam keadaan normal jumlah cairan amnion pada kehamilan cukup bulan sekitar
1000 1500 cc, keadaan jernih agak keruh, steril, bau khas, agak manis, terdiri dari 98% 99% air, 1- 2 % garam anorganik dan bahan organik (protein terutama albumin), runtuhan
rambut lanugo, verniks kaseosa, dan sel sel epitel dan sirkulasi sekitar 500cc/jam.
Fungsi cairan amnion
1. Proteksi : Melindungi janin terhadap trauma dari luar
2. Mobilisasi : Memungkinkan ruang gerak bagi bayi
3. Hemostatis : Menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam basa (Ph)
4. Mekanik : Menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruang intrauteri
5. Pada persalinan, membersihkan atau melicinkan jalan lahir dengan cairan steril
sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir
Mekanisme KPD menurut Manuaba 2009 antara lain :
1. Terjadinya premature serviks.
2. Membran terkait dengan pembukaan terjadi
a. Devaskularisasi
b. Nekrosis dan dapat diikuti pecah spontan
c. Jaringan ikat yang menyangga membran ketuban makin berkurang
d. Melemahnya daya tahan ketuban dipercepat dengan adanya infeksi yang
mencegah enzim proteolitik dan enzim kolagenase.
Sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%) yang
menyebabkan berkurangnya kekuatan membran, high virulence; Bacteroides, Low Virulence,
Lactobacillur.
Bila terjadi pembukaan serviks maka selaput ketuban sangat lemah dan mudah pecah
dengan mengeluarkan air ketuban. Selaput ketuban tidak kuat sebagai akibat kurangnya
jaringan ikat dan vascularisasi atau penambahan tekanan intra uteri, atau keduanya.
Prognosis sangat variatif bergantung maturitas paru dan ada atau tidaknya infeksi,
pada usia kehamilan < 32 minggu semakin muda kelahiran semakin buruk prognosisnya.

2.5 PATOGENESI

Penelitian terbaru mengatakan KPD terjadi karena meningkatnya apoptosis dari


komponen sel dari membran fetal dan juga peningkatan dari enzim protease tertentu.
Kekuatan membran fetal adalah dari matriks ekstraselular amnion. Kolagen interstitial
terutama tipe I dan tipe III yang dihasilan dari sel mesenkim juga penting dalam
mempertahankan kekuatan membran fetal. Matriks metalloprotease (MMP) adalah kumpulan
proteinase yang terlibat dalam remodeling tissue dan degenerasi kolagen. MMP 2, MMP
3, dan MMP 9 ditemukan dengan konsentrasi tinggi pada kehamilan dengan ketuban
pecah dini. Aktivasi protease ini diregulasi oleh tissue inhibitor of matrix metalloprotease
(TIMPs). TIMPs ini pula rendah dalam cairan amnion pada wanita dengan ketuban pecah
dini. Peningkatan enzim protease dan penurunan inhibitor mendukung bahwa enzim ini
mempengaruhi kekuatan membran fetal.
Selain itu terdapat teori yang mengatakan meningkatnya marker marker apoptosis
dimembran fetal pada ketuban pecah dini berbanding dengan membran pada kehamilan
normal. Banyak penelitian yang mengatakan aktivasi - aktivitas degenerasi kolagen dan
kematian sel yang membawa kelemahan pada dinding membran fetal. 1,8
2.6 DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan


laboratorium.
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang kala cairan seperti
urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah dari
vaginanya atau mengeluarkan cairan banyak yang tidak bisa ditahan atau dari jalan
lahir.
2. Inspeksi
Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru pecah,
dan jumlah airnya masih banyak, pemeriksaan ini akan makin jelas.
3. Pemeriksaan Inspekulo
Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena pemeriksaan dalam
seperti vaginal toucher dapat meningkatkan resiko infeksi, cairan yang keluar dari
vagina perlu diperiksa : warna, bau, dan PH nya, yang dinilai adalah

Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan perdarahan dari
serviks. Dilihat juga prolapsus tali pusat atau ekstremitas janin. Bau dari

amnion yang khas juga harus diperhatikan.


Pooling pada cairan amnion dari forniks posterior mendukung diangnosis
KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien untuk batuk untuk

memudahkan melihat pooling.


Cairan amnion di konfirmasikan dengan menggunakan nitrazine test.
Kertas lakmus akan berubah menjadi biru jika PH 6 6,5. Sekret vagina ibu
memiliki PH 4 5, dengan kerta nitrazin ini tidak terjadi perubahan warna.
Kertas nitrazin ini dapat memberikan positif palsu jika tersamarkan dengan

darah, semen atau vaginisis trichomiasis.


4. Mikroskopis (tes pakis). Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih samar dapat
dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang diambil dari forniks posterior.
Cairan diswab dan dikeringkan diatas gelas objek dan dilihat dengan mikroskop.
Gambaran ferning menandakan cairan amnion.
5. Dilakukan juga kultur dari swab untuk chlamydia, gonnorhea, dan stretococcus
group B.8
Pemeriksaan Penunjang
o

Test Nitrazine

Jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan adanya cairan ketuban
(alkalis), PH normal vagina yaitu 4,5-5,3 tidak terjadi perubahan warna (kuning) dan
apabila terdapat cairan ketuban, maka PH menjadi 7,0-7,5 (Practical Guide to High
Risk Pregnancy and Delivery). Darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan hasil test
yang positif basa.
o

Test Ferning / Test Pakis


Dengan meneteskan cairan ketuban pada kertas objek dan dibiarkan kering.
Pemeriksaan menunjukkan kristal cairan amnion dan gambaran daun pakis. Diagnosis
ketuban pecah dini dapat 100% diakui apabila tes cairan vagina memberikan hasil test
positif untuk Test Nitrazin dan Test Ferning (Practical Guide to High Risk Pregnancy
and Delivery)

USG
Ini tidak digunakan sebagai cara yang utama untuk menentukan KPD. Dari USG ini
hanya dilihat volume dari cairan ketuban tersebut apakah berkurang atau tidak, dinilai
amniotic fluid index (AFI), presentasi janin, berat janin, dan usia janin.

Test penguapan
Dengan mengambil sample cairan endoservikal yang kemudian dipanaskan sampai
airnya menguap. Dilihat apabila sisa putih yang tertinggal, maka itu sudah berarti
ketuban pecah, tetapi apabila sisa berwarna coklat tua maka ketuban masih utuh.

Beberapa pemeriksaan lain, namun sangat jarang dilakukan seperti : Intra-amniotic


Flourecein, Amnioscopy, Tes Oksidasi Diamen Fetal Fibronecitin, Tes AlfaFetoprotein, dan High Leaks.

2.7 MANAJEMEN
10

Menurut Manuaba tahun 1998, secara umum untuk penanganan ketuban pecah dini
dapat dijabarkan sebagai berikut:

Mempertahankan kehamilan sampai cukup matur khususnya maturitas paru sehingga


mengurangi kejadian kegagalan perkembangan paru yang sehat

Mencegah terjadinya infeksi

Dengan perkiraan janin sudah cukup besar dan persalinan diharapkan berlangsung
dalam waktu 72 jam dapat diberikan kortikosteroid sehingga kematangan paru janin
dapat terjamin.

Pada umur kehamilan 24 sampai 32 minggu perlu dipertimbangkan untuk melakukan


induksi persalinan dengan kemungkinan janin tidak dapat diselamatkan.

Menghadapi ketuban pecah dini diperlukan konseling terhadap ibu dan keluarga
sehingga terdapat pengertian bahwa tindakan mendadak mungkin dilakukan dengan
pertimbangan untuk menyelamatkan ibu dan mungkin harus mengorbankan janinnya.

Pemeriksaan yang penting adalah USG untuk mengukur distansia biparietal dan perlu
melakukan aspirasi air ketuban untuk melakukan pemeriksaan kematangan paru.

Waktu terminasi pada hamil preterm dapat disarankan selang waktu 8 jam sampai 24
jam bila tidak terjadi his spontan.
Dan menurut buku pedoman diagnosis dan terapi obsetri dan ginekologi RSHS tahun

2005, pengelolaan untuk KPD ini dibagi dua yaitu:


1. Konservatif
Pengelolaan konservatif dilakukan apabila tidak ada penyulit (baik pada ibu maupun
janin) pada usia kehamilan 28-36 minggu dirawat selama 2 hari.
Selama perawatan dilakukan:

Observasi kemungkinan adanya amnionitis/tanda-tanda infeksi


o Ibu : suhu > 38C, takikardi ibu, lekositosis, tanda-tanda infeksi intra uterine,
rasa nyeri pada rahim, secret vagina purulen.
o Janin : takikardi janin

Pengawasan timbulnya tanda persalinan

Pemberian antibiotika (ampicillin 4x500 mg atau eritromisin 4x500 mg dan


metrodinazole 2x500 mg) selama 3-5 hari

USG untuk menilai kesejahteraan janin

11

Bila ada indikasi untuk melahirkan, dilakukan pematangan paru janin


(deksametason 5 mg tiap 12 jam IM sampai 4 dosis atau betametason 12 mg IM
sampai 2 dosis dengan interval 24 jam)

2. Aktif
a

Pengelolaan aktif pada KPD dengan umur kehamilan 20-28 minggu dan 37
minggu dilakukan terminasi kehamilan.
Terminasi kehamilan > 20-28 minggu
o Misoprostol 100 g intravaginal, yang dapat diulangi 1x6 jam sesudah
pemberian pertama
o Pemasangan batang laminaria selama 12 jam
o Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam dektrose 5% mulai 20 tetes/menit
sampai 60 tetes/menit
o Kombinasi 1 dan 3 untuk janin hidup maupun janin mati
o Kombinasi 2 dan 3 untuk janin mati
Catatan: dilakukan histerektomi bila upaya melahirkan pervaginam di
anggap tidak berhasil atau atas indikasi ibu dengan sepengetahuan
konsulen
Terminasi kehamilan > 28 minggu
o Misoprostol 100 g intravaginal, yang dapat diulangi 1x6 jam sesudah
pemberian pertama
o Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam dektrose 5% mulai 20 tetes/menit
sampai maksimal 60 tetes/menit untuk primi dan multigravida, 40 tetes/menit
untuk grande multigravida sebanyak 2 labu.
o Kombinasi 2 cara tersebut
Menurut Sujiyatini, penanganan ketuban pecah dini dibagi menjadi 2, yaitu:

Kehamilan aterm (> 37 minggu)


KPD aterm biasanya akan melahirkan dalam waktu 24 jam, bila masih belum ada
tanda persalinan maka di induksi (bishops score > 8), dan bila gagal lakukan SC.
Pemberian antibiotik profilaksis perlu dilakukan untuk mencegah infeksi.

Kehamilan preterm (< 37 minggu)


Bila tidak ada tanda infeksi pengelolaannya bersifat konservatif disertai antibiotik
yang adekuat. Pasien perlu di rawat di RS, ditidurkan dalam posisi trendelenberg,
tidak perlu dilakuka periksa dalam. Diusahakan kehamilan bisa mencapai 37 minggu,
12

diberikan uteronelaksen atau tokolitik agent. Pemberian kortikosteroid dapat


menurunkan angka RDS, sediannya terdiri dari betametason 2 dosis masing-masing
12 mg IM tiap 24 jam atau deksametason 4 dosis masing-masing 6 mg tiap 12 jam.
Jika muncul tanda-tanda infeksi lakukan induksi.2
Menurut POGI tahun 2014 :
Prinsip utama penatalaksanaan KPD adalah untuk mencegah mortalitas dan
morbiditas perinatal pada ibu dan bayi yang dapat meningkat karena infeksi atau akibat
kelahiran preterm pada kehamilan dibawah 37 minggu. Prinsipnya penatalaksanaan ini
diawali dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang
mencurigai tanda-tanda KPD. Setelah mendapatkan diagnosis pasti, dokter kemudian
menatalaksana berdasarkan usia gestasi. Hal ini berkaitan dengan proses kematangan organ
janin, dan bagaimana morbiditas dan mortalitas apabila dilakukan persalinan maupun
tokolisis. Terdapat dua manajemen dalam penatalaksanaan KPD, yaitu manajemen aktif dan
ekspektatif. Manajemen ekspektatif adalah penanganan dengan pendekatan tanpa intervensi,
sementara manajemen aktif melibatkan klinisi untuk lebih aktif mengintervensi persalinan.
Berikut ini adalah tatalaksana yang dilakukan pada KPD berdasarkan masing-masing
kelompok usia kehamilan.7
A. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan < 24 minggu
Pada usia kehamilan kurang dari 24 minggu dengan KPD preterm didapatkan bahwa
morbiditas minor neonates seperti hiperbilirubinemia dan takipnea transien lebih
besar apabila ibu melahirkan pada usia tersebut dibanding pada kelompok usia lahir
36 minggu. Morbiditas mayor seperti sindroma distress pernapasan dan perdarahan
intraventrikular tidak secara signifikan berbeda (level of evidence III). Pada saat ini,
penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan adalah pilihan yang lebih
baik. (Lieman JM 2005)Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 24 - 34 minggu Pada usia
kehamilan antara 30-34 minggu, persalinan lebih baik daripada mempertahankan
kehamilan dalam menurunkan insiden korioamnionitis secara signifikan (p<0,05,
level of evidence Ib). Tetapi yidak ada perbedaan signifikan berdasarkan morbiditas
neonatus. Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa persalinan lebih baik
dibandingkan mempertahankan kehamilan.
B. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 34-38 minggu
Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, mempertahankan kehamilan akan
meningkatkan resiko korioamnionitis dan sepsis (level of evidence Ib). Tidak ada
perbedaan signifikan terhadap kejadian respiratory distress syndrome. Pada saat ini,
13

penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan kehamilan lebih buruk dibanding


melakukan persalinan.
KPD memanjang
Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm. Dibuktikan dengan 22
uji meliputi lebih dari 6000 wanita yang mengalami KPD preterm, yang telah
dilakukan metaanalisis (level of evidence Ia). Terdapat penurunan signifikan dari
korioamnionitis (RR 0,57; 95% CI 0,37-0,86), jumlah bayi yang lahir dalam 48 jam
setelah KPD` (RR 0,71; 95% 0,58- 0,87), jumlah bayi yang lahir dalam 7 hari setelah
KPD (RR 0,80; 95% ci 0,71-0,90), infeksi neonatal (rr 0,68;95% ci 0,53-0,87), dan
jumlah bayi dengan USG otak yang abnormal setelah keluar dari RS (rr 0,82; 95% ci
0,68-0,98). Sehingga dapat disimpulkan bahwa administrasi antibiotic mengurangi
morbiditas maternal dan neonatal dengan menunda kelahiran yang akan memberi
cukup waktu untuk profilaksis dengan kortikosteroid prenatal memberikan efek.
Pemberian co-amoxiclav pada prenatal dapat menyebabkan neonatal necrotizing
enterocolitis sehingga antibiotic ini tidak disarankan. Pemberian eritromisin atau
penisilin adalah pilihan terbaik.14 Pemberian antibiotik dapat dipertimbangkan
digunakan bila KPD memanjang (> 24 jam).
MEDIKAMENTOSA
D
Benzilpenisillin
1,2 gram
Klindamisin
(jika 500 mg

R
IV
IV

FREKUENSI
Setiap 4 jam
Setiap 8 jam

sensitif penisillin)
Jika pasien datang dengan KPD >24 jam, pasien sebaiknya tetap dalam perawatan
sampai berada dalam fase aktif. Penggunaan antibiotik IV sesuai dengan tabel di atas.
Manajemen Aktif
Pada kehamilan >= 37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Meskipun demikian, jika
pasien memilih manajemen ekspektatif harus dihargai. Lamanya waktu manajemen
ekspektatif perlu didiskusikan dengan pasien dan keputusan dibuat berdasarkan
keadaan per individu. Induksi persalinan dengan prostaglandin pervaginam
berhubungan dengan peningkatan risiko korioamnionitis dan infeksi neonatal bila
dibandingkan

dengan

induksi

oksitosin.

Sehingga,

oksitosin

lebih

dipilih

dibandingkan dengan prostaglandin pervaginam untuk induksi persalinan pada kasus


KPD.

14

Kemajuan pada pelayanan maternal dan manajemen PPROM pada batas yang
viable dapat mempengaruhi angka survival; meskipun demikian untuk PPROM <24
minggu usia gestasi, morbiditas fetal dan neonatal masih tinggi. Konseling kepada
pasien untuk mengevaluasi pilihannya untuk terminasi (induksi persalinan) atau
manajemen ekspektatif sebaiknya juga menjelaskan diskusi mengenai keluaran
maternal dan fetal; dan jika usia gestasi 22-24 minggu, juga menambahkan diskusi
dengan neonatologis. Beberapa studi yang berhubungan dengan keluaran/ outcomes,
diperumit dengan keterbatasan samplenya atau faktor lainnya beberapa hal yang
sangat direkomendasikan:

Konseling pada pasien dengan usia gestasi 22-25 minggu, menggunakan

Neonatal Research Extremely Preterm Birth Outcome Data.


Jika dipertimbangkan untuk induksi persalinan sebelum janin viable,
tatalaksana

merujuk

kepada

Intermountains

Pregnancy

Termination

Procedure. Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan KPD


preterm telah dibuktikan manfaatnya dari 15 RCT yang meliputi 1400 wanita
dengan KPD dan telah disertakan dalam suatu meta-analisis. Kortikosteroid
antenatal dapat menurunkan resiko respiratory distress syndrome (RR 0,56;
95% CI 0,46-0,70), perdarahan intraventrikkular (RR 0,47; 95% CI 0,31-0,70)
dan enterokolitis nekrotikan (RR 0,21; 95% CI 0,05-0,82), dan mungkin dapat
menurunkan kematian neonatus (RR0,68; 95% ci 0,43-1,07) Tokolisis pada
kejadian KPD preterm tidak direkomendasikan. Tiga uji teracak 235 pasien
dengan KPD preterm melaporkan bahwa proporsi wanita yang tidak
melahirkan 10 hari setelah rupture membrane tidak lebih besar secara
signifikan pada kelompok yang menerima tokolisis (levels of evidence Ib).
Magnesium

MAGNESIUM SULFAT IV: Bolus 6 gram selama 40

Untuk efek neuroproteksi menit dilanjutkan infus 2 gram/ jam untuk dosis
pada PPROM < 31 minggu pemeliharaan sampai persalinan atau sampai 12 jam
bila

persalinan terapi.

diperkirakan dalam waktu


24 jam
Kortikosteroid

BETAMETHASONE: 12 mg IM setiap 24 jam dikali

untuk menurunkan risiko 2 dosis. Jika betamethasone tidak tersedia, dapat


sindrom
pernapasan

distress digunakan deksamethason 6 mg IM setiap 12 jam


dikali 4 dosis
15

Antibiotik

AMPICILLIN 2 gram IV setiap 6 jam dan

Untuk memperlama masa ERYTHROMYCIN 250 mg IV setiap 6 jam selama 48


laten

jam, diikuti dengan AMOXICILLIN 250 mg PO setiap


8 jam selama 5 hari dan ERYTHROMYCIN 333 mg
PO setiap 8 jam selama 5 hari Jika alergi ringan dengan
penisilin, dapat digunakan: CEFAZOLIN 1 gram IV
setiap 8 jam selama 48 jam dan ERYTHROMYCIN
250 mg IV setiap 6 jam selama 48 jam diikuti dengan :
CEPHALEXIN 500 mg PO setiap 6 jam selama 5 hari
dan ERYTHROMYCIN 333 mg PO setiap 8 jam
selama hari Jika alergi berat penisilin, dapat diberikan :
VANCOMYCIN 1 gram IV setiap 12 jam selama 48
jam dan ERYTHROMYCIN 250 mg IV setiap 6 jam
selama 48 jam diikuti dengan CLINDAMYCIN 300
mg PO setiap 8 jam selama 5 hari

2.8 KOMPLIKASI
Terhadap janin:

Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi adalah persalinan lebih awal. Periode
laten, yang merupakan masa dari pecahnya selaput amnion sampai persalinan secara
umum bersifat proporsional secara terbalik dengan usia gestasi pada saat KPD terjadi.
Sebagai contoh, pada sebuah studi besar pada pasien aterm menunjukkan bahwa 95%
pasien akan mengalami persalinan dalam 1 hari sesudah kejadian. Sedangkan analisis
terhadap studi yang mengevaluasi pasien dengan preterm 1 minggu, dengan sebanyak
22 persen memiliki periode laten 4 minggu. Bila KPD terjadi sangat cepat, neonatus
yang lahir hidup dapat mengalami sekuele seperti malpresentasi, kompresi tali pusat,
oligohidramnion,

necrotizing

enterocolitis,

gangguan

neurologi,

perdarahan

intraventrikel, dan sindrom distress pernapasan.7


Terhadap ibu:

Komplikasi pada ibu yang terjadi biasanya berupa infeksi intrauterin. Infeksi tersebut
dapat berupa endomyometritis, maupun korioamnionitis yang berujung pada sepsis.
Pada sebuah penelitian, didapatkan 6,8% ibu hamil dengan KPD mengalami
16

endomyometritis purpural, 1,2% mengalami sepsis, namun tidak ada yang meninggal
dunia. Diketahui bahwa yang mengalami sepsis pada penelitian ini mendapatkan
terapi antibiotik spektrum luas, dan sembuh tanpa sekuele. Sehingga angka mortalitas
belum diketahui secara pasti. 40,9% pasien yang melahirkan setelah mengalami KPD
harus dikuret untuk mengeluarkan sisa plasenta,, 4% perlu mendapatkan transfusi
darah karena kehilangan darah secara signifikan. Tidak ada kasus terlapor mengenai
kematian ibu ataupun morbiditas dalam waktu lama1.7
Terhadap kehamilan dan persalinan

Dapat terjadi persalinan kapan saja, terjadi kelahiran preterm.


Abruption placenta, karena adanya penurunan yang progresif pada permukaan intra
uterin.
Prolaps tali pusat dapat terjadi (sering terjadi pada presentasi letak bokong atau letak
lintang).
Oligohydramnion, dry labor.
Partus lama.
Perdarahan pada`saat persalinan.8

2.8 PENCEGAHAN
Pada pasien perokok, diskusikan tentang pengaruh merokok selama kehamilan usaha
untuk menghentikan, motivasi untuk menambah berat badan yang cukup selama hamil,
anjurkan pasangan agar menghentikan koius pada trimester akhir.
2.9 PROGNOSIS
Prognosis pada ketuban pecah dini sangat bervariatif tergantung pada :
Usia kehamilan
Adanya infeksi / sepsis
Faktor resiko / penyebab
Ketepatan Diagnosis awal dan penatalaksanaan
Prognosis dari KPD tergantung pada waktu terjadinya, lebih cepat kehamilan, lebih sedikit
bayi yang dapat bertahan. Bagaimanapun, umumnya bayi yang lahir antara 34 dan 37 minggu
mempunyai komplikasi yang tidak serius dari kelahiran premature.9

BAB III
KESIMPULAN

17

Ketuban pecah dini (KPD) merupakan masalah penting dalam obstetrik berkaitan
dengan penyulit kelahiran prematur dan terjadinya infeksi korioamnionitis sampai sepsis,
yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal dan menyebabkan infeksi ibu.
Beberapa peneliti melaporkan insidensi KPD berkisar antara 8 10 % dari semua
kehamilan. Hal ini menunjukkan, KPD lebih banyak terjadi pada kehamilan yang cukup
bulan dari pada yang kurang bulan, yaitu sekitar 95 %, sedangkan pada kehamilan tidak
cukup bulan atau KPD pada kehamilan preterm terjadi sekitar 34 % semua kelahiran
prematur.
Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih
kontroversial dalam kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum ada,
selalu berubah. Protokol pengelolaan yang optimal harus mempertimbangkan adanya infeksi
dan usia gestasi serta faktor-faktor lain seperti fasilitas serta kemampuan untuk merawat bayi
yang kurang bulan. Meskipun tidak ada satu protokol pengelolaan yang dapat untuk semua
kasus KPD, tetapi harus ada panduan pengelolaan yang strategis, yang dapat mengurangi
mortalitas perinatal dan dapat menghilangkan komplikasi yang berat baik pada anak maupun
pada ibu.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sujiyatini, SSt M.Keb. 2008. Asuhan Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.
18

2. Indarso, Fatimah dr. Hj. Sp.A(K). 2004. Penatalaksanaan Bayi Baru Lahir Dari Ibu
yang Bermasalah. Surabaya: FK Unair/RSU Dr. Soetomo Bag./SMF Ilmu Kesehatan
Anak.
3. Manuaba.I.B.G. Ketuban Pecah Dini dalam Kapita Selekta Penatalaksanaan Obstetri
Ginekologi dan KB, EGC, Jakarta, 2001, hal : 221 225.
4. Saifudin, Abdul B. 2010. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal &
Neonatal. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
5. Manuaba I.B.G, Chandranita Manuaba I.A, Fajar Manuaba I.B.G.(eds) Pengantar
Kuliah Obstertri. Bab 6: Komplikasi Umum Pada Kehamilan. Ketuban Pecah Dini.
Cetakan Pertama. Jakarta. Penerbit EGC. 2007. Pp 456-60.
6. Soewarto S. Ketuban Pecah Dini. Dalam Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Bagian
Ketiga: Patologi Kehamilan, Persalinan, Nifas dan Bayi Baru Lahir. Edisi Keempat.
Cetakan Kedua. Jakarta. PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2009. hal 677-82.
7. Usulan PNPK Ketuban Pecah Dini. Jakarta. 2014. Perkumpulan Obstetric dan
Ginekologi Indonesia.
8. Nili F., Ansaari A.A.S. Neonatal Complications Of Premature Rupture Of
Membranes. Acta Medica Iranica. [Online] 2003. Vol 41. No.3. Diunduh dari
http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/59.pdf.
9. Cunningham Gary F, Leveno J Kenneth , Bloom L Steven , Hauth C John , III
Gilstrap Larry , Wenstrom D Katharine . Williams Obstetrics Edisi 22.2005 .

Pada term, terprogram kematian sel dan aktivasi enzim katabolik, seperti pasukan
kolagenase dan mekanik, menghasilkan ketuban pecah. KPD prematur terjadi mungkin
karena mekanisme yang sama dan aktivasi dini jalur tersebut. Namun, KPD tampaknya
awalnya juga terkait dengan proses patologis yang mendasari, kemungkinan besar karena
peradangan dan atau infeksi selaput. Faktor klinis yang terkait dengan KPD meliputi
rendahnya status sosial ekonomi, indeks massa tubuh rendah, penggunaan tembakau, sejarah
19

persalinan prematur, infeksi saluran kemih, perdarahan vagina setiap saat dalam kehamilan,
cerclage, dan amniosentesis. [1]
Delapan puluh lima persen dari morbiditas dan mortalitas neonatal adalah hasil dari
prematuritas. KPD dikaitkan dengan 30-40% dari kelahiran prematur dan merupakan
penyebab diidentifikasi terkemuka kelahiran prematur. KPD prematur mempersulit 3% dari
seluruh kehamilan dan terjadi pada sekitar 150.000 kehamilan pertahun di Amerika Serikat.
Ketika KPD prematur terjadi jauh

dari

istilah, risiko signifikan dari morbiditas dan

mortalitas yang hadir untuk keduanya, janin dan ibu. Dengan demikian, dokter yang merawat
wanita hamil yang kehamilanya

telah

rumit dengan KPD prematur memainkan peran

penting dalam manajemen dan perlu untuk menjadi tahu dengan komplikasi potensial dan
intervensi yang mungkin untuk meminimalkan risiko dan memaksimalkan probabilitas hasil
yang diinginkan.[2, 1, 3]2.1 Ketuban Pecah Dini (at Term)
Ketuban pecah dini (KPD) di istilah pecah ketuban sebelum onset persalinan pada
atau di luar kehamilan 37 minggu. KPD terjadi pada sekitar 10% kehamilan. Pasien dengan
KPD hadir dengan kebocoran cairan, keputihan, perdarahan vagina, dan tekanan panggul,
tetapi mereka tidak mengalami kontraksi.
KPD didiagnosis dengan pemeriksaan vagina, spekulum serviks dan rongga vagina.
Pooling cairan di vagina atau kebocoran cairan dari serviks, ferning dari cairan dikeringkan di
bawah pemeriksaan mikroskopis, dan alkalinitas cairan yang ditentukan oleh kertas nitrazin
mengkonfirmasikan diagnosis.
Kontaminasi darah dari kertas nitrazin dan ferning lendir serviks dapat menghasilkan
hasil positif palsu. Pooling cairan adalah yang paling akurat untuk diagnosis KP. Jika semua
cairan telah bocor seperti di awal KPD, pemeriksaan ultrasonografi mungkin kemudian
menunjukkan tidak adanya atau jumlah yang sangat rendah cairan ketuban dalam rongga
rahim.
Sebuah produk baru, AmniSure, sedang dipasarkan dengan klaim perjanjian positif
dan negatif dengan hasil standar kriteria untuk diagnosis dari KPD dengan 2 dari 3 kriteria
yang melebihi 95%. Penggunaan produk ini dalam kasus tertentu ketika pemeriksaan
spekulum tidak dapat dilakukan mungkin dari beberapa digunakan sebagai evaluasi awal.
Mengingat pentingnya diagnosa yang benar, morbiditas terkait dengan rawat inap dan
pengiriman sebelum istilah dalam KPD

mencapai 34 minggu dan seterusnya, potensi


20

morbiditas neonatal akibat prematuritas dalam kasus diagnosis yang salah dari KPD; itu
adalah wajib untuk mengkonfirmasi diagnosis dari KPD dengan penyatuan cairan ketuban
dengan beberapa bukti penurunan atau tidak adanya cairan ketuban dalam semua kasus
dugaan KPD.
Kebanyakan pasien (90%) masuk dengan persalinan spontan dalam waktu 24 jam
ketika mereka mengalami KP pada at term. Pertanyaan tentang manajemen utama dari pasien
ini adalah apakah untuk memungkinkan mereka untuk masuk melahirkan secara spontan atau
untuk menginduksi persalinan. Sebagian besar, manajemen pasien ini tergantung pada
keinginan mereka; Namun, risiko ibu utama di usia kehamilan ini adalah infeksi intrauterin.
Risiko infeksi intrauterin meningkat dengan durasi KP. Bukti yang mendukung gagasan
bahwa induksi persalinan, sebagai lawan manajemen hamil, menurunkan risiko
korioamnionitis tanpa meningkatkan tingkat sesar. [4, 5]
Hannah et al meneliti 5.041 wanita dengan KPD yang secara acak ditugaskan untuk
induksi persalinan dengan oksitosin intravena atau gel prostaglandin E2 pervaginam
dibandingkan manajemen hamil sebanyak 4 hari dengan induksi persalinan komplikasi. [6]
Mereka menyimpulkan bahwa, pada wanita dengan KPD, induksi persalinan dan manajemen
hamil mengakibatkan tingkat yang sama dari sesar dan infeksi neonatal. Namun, induksi
dengan oksitosin mengakibatkan resiko yang lebih rendah infeksi maternal (endometritis) bila
dibandingkan dengan manajemen hamil. Selain itu, wanita dalam penelitian ini dilihat
induksi persalinan lebih baik dari manajemen hamil.
Studi lainnya yang lebih kecil telah menunjukkan hasil dengan tingkat kelahiran sesar
dan / atau operasi yang lebih tinggi ketika serviks tidak kompeten.
Pada term, infeksi tetap komplikasi yang paling serius yang berhubungan dengan
KPD bagi ibu dan neonatus. Risiko korioamnionitis dengan KPD term telah dilaporkan
kurang dari 10% dan meningkat menjadi 40% setelah 24 jam dari KPD. [7] Hal ini
menunjukkan pentingnya strategi manajemen yang tepat untuk KPD di term.
Sejak risiko infeksi pada term dengan KP kecil selama 24 jam pertama, manajemen
hamil dan menunggu persalinan spontan dapat dipertimbangkan pada pasien yang dipilih
untuk

12-24 jam pertama, jika pasien menginginkan

manajemen hamil. Penggunaan

manajemen hamil setelah 24 jam pertama dipertanyakan.

21

Pemeriksaan vagina digital harus dihindari sampai persalinan dimulai; Namun,


presentasi janin harus didokumentasikan untuk menghindari menemukan malpresentation
janin lama setelah masuk untuk KP. Semua pasien dengan KP harus diminta untuk datang ke
rumah sakit untuk memastikan kesejahteraan janin.
Risiko neonatal manajemen hamil dari KPD termasuk infeksi, solusio plasenta, gawat
janin, kelainan bentuk pembatasan janin dan hipoplasia paru, dan janin / kematian neonatal.
Kematian janin tidak terjadi pada sekitar 1% dari pasien dengan KPD setelah viabilitas yang
telah penuh diharapkan berhasil [1] dan di sekitar 1: 1000 KPD term [8].
Penentu utama morbiditas dan mortalitas neonatal adalah usia kehamilan saat
melahirkan, lagi menekankan pentingnya manajemen konservatif bila memungkinkan.
Secara umum, prognosis baik setelah usia kehamilan 32 minggu selama tidak ada
faktor rumit lainnya, seperti kelainan bawaan atau hipoplasia paru, dijumpai.

Ketuban Pecah Dini Prematur


Ketuban Pecah Dini Prematur (KPDP) terjadi dari usia kehamilan 24-37 minggu jauh
lebih sulit untuk mengelola daripada ketuban pecah dini (KPD). Beberapa isu perlu
dipertimbangkan dalam merumuskan rencana manajemen. Prematuritas adalah risiko utama
untuk janin, sementara morbiditas infeksi dan komplikasinya adalah

risiko primer ibu.

Semua rencana pengelolaan KPD prematur harus mencakup keluarga dan kepedulian tim
medis untuk kehamilan, termasuk tim medis neonatal dan maternal. KPD prematur hanya
harus dirawat di fasilitas di mana ada NICU tersedia dan mampu merawat neonatus. Karena
sebagian besar kehamilan KPD prematur datang setelah seminggu KP, transfer ibu hamil ke
fasilitas berkualitas sangat mendesak dan harus difasilitasi segera setelah diagnosis.
Sebagian besar perempuan melanjutkan ke tenaga kerja yang aktif dan memberikan
segera setelah KPD prematur. Dengan terapi yang tepat dan manajemen konservatif, sekitar
50% dari seluruh kehamilan yang tersisa memberikan setiap minggu berikutnya setelah
KPDP. Dengan demikian, sangat sedikit perempuan hamil tetap lebih dari 3-4 minggu setelah
KPDP. Ini adalah informasi penting untuk memberikan wanita mempertimbangkan
manajemen hamil jauh dari kelayakan. [1]

22

Penyegelan spontan membran tidak terjadi kadang-kadang (<10% dari semua kasus),
sebagian besar setelah KPDP yang telah terjadi setelah amniosentesis; Namun, ini adalah
pengecualian daripada aturan.
Beberapa daerah kontroversi eksis mengenai pendekatan medis terbaik atau
manajemen KPD jauh dari term. Manajemen hamil dan persalinan segera pilihan potensial
pada pasien ini, dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Dengan perawatan
yang tepat, risiko ibu dari manajemen hamil umumnya diterima menjadi minimal dan
keuntungan neonatal yang jelas ada dengan mengurangi risiko prematuritas. Kontroversi ada
untuk intervensi seperti steroid untuk percepatan kematangan paru, antibiotik, dan tokolitik.
Sebuah studi oleh Ekin et al menyarankan bahwa volume yang trombosit rata-rata
(MPV) pada trimester pertama kehamilan dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan
KPDP. Dalam catatan retrospektif dari 318 wanita dengan KPDP dan 384 kontrol, para
peneliti menemukan bahwa, membandingkan nilai antara 7 dan 14 minggu kehamilan, yang
MPV secara signifikan lebih rendah dan platelet yang menghitung secara signifikan lebih
tinggi pada pasien yang pernah mengalami KPDP dibandingkan wanita hamil yang tidak.
Menggunakan nilai cutoff kurang dari atau sama dengan 8,6 fL untuk MPV dan lebih besar
dari atau sama dengan 216 x 103 / uL untuk jumlah trombosit, studi ini menemukan bahwa
pengukuran ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas untuk memprediksi KPDP dari 58% dan
65%, masing-masing , dan 62% dan 44%, masing-masing. Ekin dan rekan menyimpulkan
bahwa MPV lebih efisien daripada jumlah trombosit untuk memprediksi KPDP. [9]
Setelah periode awal pemantauan terus menerus dari denyut jantung janin dan
kontraksi uterus (24-48 jam), jika temuan sugestif meyakinkan pengawasan, maka pasien
akan menjadi kandidat untuk manajemen

hamil. Secara umum, praktek umum telah

menempatkan pasien dengan istirahat di lantai kebidanan. Namun, data yang ada
menunjukkan tidak ada manfaat untuk istirahat di tempat tidur untuk setiap kondisi obstetri.
Karena istirahat pada kehamilan dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan trombosis vena
dalam, profilaksis untuk mengurangi risiko ini harus diteliti.
Selain itu, pemantauan janin harus dilakukan setidaknya sekali sehari. Jika bukti
kompresi tali pusat sering hadir sebagai ditentukan oleh variabel moderat sampai berat,
pemantauan terus menerus harus dihidupkan kembali. Tanda-tanda vital ibu perlu diawasi
secara ketat. Takikardia dan demam keduanya sugestif korioamnionitis dan memerlukan

23

evaluasi hati-hati untuk menentukan adanya infeksi intra-amnion, di mana pengiriman kasus
dan inisiasi antibiotik spektrum luas harus segera difasilitasi.
Pemeriksaan ultrasonografi untuk indeks cairan ketuban dan pertumbuhan janin dan
kesejahteraan harus digunakan secara bebas untuk memastikan

kesesuaian

manajemen

hamil terus. Sementara oligohidramnion, didefinisikan sebagai indeks cairan ketuban kurang
dari 2 cm, telah dikaitkan dengan latency pendek dan korioamnionitis, itu saja bukan
merupakan indikasi untuk merujuk ketika cara lain pengawasan yang meyakinkan. Jumlah
sel darah putih tidak menjadi prediksi dan tidak perlu dipantau selain untuk mendukung
kecurigaan dari klinis korioamnionitis.
Pemeriksaan serviks digital harus dihindari. [10] Dalam presentasi noncephalic,
terutama dengan leher rahim melebar, pemantauan terus menerus harus dipertimbangkan
untuk menghindari hilang diagnosis prolaps tali pusat.
Infeksi intra-amnion

harus memanggil pengiriman yang cepat. Praktisi harus

memiliki ambang yang rendah untuk mendiagnosis infeksi pada pasien dengan KPDP
sebagai bukti jelas menunjukkan hasil yang buruk dalam neonatus yang terinfeksi
dibandingkan dengan neonatus yang tidak terinfeksi yang sama.
Ketuban Pecah Dini Prematur (KPDP) sebelum viabilitas janin adalah masalah unik
dan relatif jarang yang seringkali sulit untuk mengelola. Hal ini terjadi dalam waktu kurang
dari 0,4% dari seluruh kehamilan [11] Risiko ibu utama adalah

infeksi, yaitu

korioamnionitis, yang terjadi pada sekitar 35%.; abruption, yang terjadi pada 19%; dan
sepsis, yang langka dan terjadi dalam waktu kurang dari 1%. [11] morbiditas utama dalam
janin dengan midtrimester KP adalah hipoplasia paru yang mematikan dari berkepanjangan,
parah, oligohidramnion awal, yang terjadi pada sekitar 20% kasus. Morbiditas lainnya seperti
RDS (66%), sepsis (19%), kelas III-IV IVH (5%), dan kontraktur (3%) juga terjadi dengan
frekuensi tinggi, sehingga tingkat kelangsungan hidup utuh lebih dari 67%. Kematian janin
adalah umum dan terjadi pada lebih dari 30%. [11]
Studi yang lebih lama telah melaporkan bahwa sekitar 50% dari seluruh kehamilan
yang tersisa memberikan setiap minggu berikutnya setelah KPDP. [1] Kajian yang lebih
mutakhir telah menunjukkan prognosis yang lebih baik dan mungkin lebih relevan dengan
praktek klinis saat ini. Dengan terapi yang tepat dan manajemen konservatif, penelitian yang
lebih baru telah melaporkan kurang dari 40% memberikan dalam seminggu dan lebih dari
24

30% sisanya hamil setelah 5 minggu. Informasi ini mungkin lebih cocok untuk digunakan
dalam konseling pasien mengenai KPD lebih awal. [12]
Risiko infeksi meningkat dengan durasi KPDP. Manajemen rawat jalan dari KPDP sebelum
viabilitas sesuai pada pasien baik-informasi dan dilatih. Pasien perlu diberitahu tentang tandatanda peringatan yang menunjukkan perlunya evaluasi segera. Tanda-tanda ini termasuk
demam, sakit perut, bercak vagina, berbau busuk pada sekret, dan detak jantung yang cepat.
Wanita harus memonitor suhu di rumah setidaknya 3 kali sehari dan melaporkan ketinggian
apapun di luar 100.4 F (38 C). Pemeriksaan sering diperlukan untuk memastikan
keselamatan ibu. Pasien harus diberitahu tentang tanda-tanda peringatan dari infeksi intraamnion, dan mereka harus mengambil suhu mereka 3 kali sehari di rumah. Setelah viabilitas
tercapai, manajemen rawat inap perlu dipertimbangkan.
Midtrimester (13-26 minggu) KPDP memiliki prognosis buruk, meskipun studi yang
lebih baru telah melaporkan hasil yang lebih baik. Manajemen hamil mungkin tepat di pilih
pasien yang diinformasikan dengan baik dan dididik tentang risiko dan prognosis suram
untuk neonatus. Rujukan juga tepat ketika ibu prihatin risiko sendiri, terutama ketika KPDP
telah terjadi kehamilan sebelum 20 minggu. Aborsi yang tidak lengkap mungkin istilah yang
tepat untuk kondisi, sebagai hasil konsepsi telah luluh, pembukaan serviks dan ke dalam
vagina dalam kasus ini. Langkah-langkah heroik lainnya seperti Amnioinfusi, tokolisis, dan
steker serviks untuk menutup membran yang terbukti dan harus dipertimbangkan dalam
protokol penelitian.
Kelangsungan hidup bervariasi dengan usia kehamilan saat diagnosis (dari 12%
ketika didiagnosis pada 16-19 minggu, sebanyak 60% ketika didiagnosis pada 25-26 minggu)
[13] Sampai kelangsungan hidup, keselamatan ibu harus menjadi perhatian utama.

Penatalaksanaan Ketuban Pecah Dini Prematur.


Evaluasi awal dari ketuban pecah dini (KPDP) harus mencakup pemeriksaan spekulum steril
untuk mendokumentasikan KP. Kultur serviks termasuk Chlamydia trachomatis dan Neisseria
gonorrhoeae dan anovaginal, kultur untuk Streptococcus agalactiae harus diperoleh. Tandatanda vital ibu harus didokumentasikan serta pemantauan janin terus menerus, awalnya untuk
menetapkan status janin. Ultrasonografi untuk dokumentasi usia kehamilan, berat janin,
presentasi janin, dan indeks cairan ketuban harus ditetapkan. Pemeriksaan digital harus
25

dihindari, tapi inspeksi visual serviks dapat secara akurat memperkirakan dilatasi serviks.
Pemeriksaan digital serviks dengan KPDP telah terbukti untuk mempersingkat latency dan
meningkatkan risiko infeksi tanpa memberikan informasi klinis yang berguna setiap
tambahan. [10]
Dalam keadaan tertentu, persalinan segera janin dengan KPDP diindikasikan.
Keadaan ini termasuk korioamnionitis, tenaga kerja canggih, gawat janin, dan solusio
plasenta dengan nonreassuring surveilans janin. Jika kematangan paru janin telah
didokumentasikan dengan baik amniosentesis atau kumpulan cairan vagina, persalinan harus
difasilitasi. Dalam janin noncephalic dengan dilatasi serviks stadium lanjut (lebih dari atau
sama dengan 3 cm), risiko prolaps tali pusat juga dapat lebih besar daripada manfaat dari
manajemen hamil dan pengiriman harus dipertimbangkan.
Jika setelah evaluasi awal dari ibu dan janin, mereka berdua bertekad untuk secara
klinis stabil, manajemen hamil dari KPDP dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan hasil
janin. Risiko maternal primer dengan manajemen hamil dari KPDP adalah infeksi. Ini
termasuk korioamnionitis (13-60%), endometritis (2-13%), sepsis (<1%), dan kematian ibu
(1-2 kasus per 1000). Komplikasi yang berhubungan dengan plasenta termasuk abruption (412%), dan sisa plasenta atau perdarahan postpartum membutuhkan kuretase uterus (12%).
[2]
Risiko dan manfaat potensial dari manajemen

hamil harus didiskusikan dengan

pasien dan keluarganya, dan informed consent harus diperoleh. Kebutuhan Status ibu dan
janin yang akan dievaluasi kembali setiap hari, dan keamanan dan potensi manfaat
manajemen hamil harus ditinjau kembali. Jika kondisi tetap stabil, janin yang belum matang
dapat mengambil manfaat dari manajemen hamil, bahkan jika untuk waktu yang singkat,
untuk memungkinkan pemberian steroid dan antibiotik. Setelah jatuh tempo telah tercapai,
manfaat dari manajemen hamil dari KPDP jelas dan risiko infeksi lebih besar daripada
manfaat potensial.
Amniosentesis dapat memberikan informasi tentang akurasi kematangan paru-paru
dan kebenaran dari diagnosa KPD dan infeksi. Namun, dalam sebagian besar kasus KPDP,
jumlah cairan yang sedikit; dengan demikian, amniosentesis harus dilakukan hanya oleh
individu dengan pengalaman dalam melakukan amniosentesis sulit, dan risiko yang sesuai
dengan potensi komplikasi janin dan kebutuhan untuk pengiriman segera harus didiskusikan
dengan pasien sebelum mencoba amniosentesis.
26

Medikamentosa
Antibiotik
Langkah awal dalam pengelolaan KPDP diinformasikan persetujuan. Pasien perlu diberikan
informasi risiko dan manfaat dan harus berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Setelah
keputusan untuk mengelola pasien

harap telah dibuat, antibiotik spektrum luas harus

dipertimbangkan. Uji coba beberapa telah meneliti keuntungan dan kerugian dari
menggunakan antibiotik dan pilihan antibiotik. Dalam kebanyakan studi, penggunaan
antibiotik telah dikaitkan dengan perpanjangan kehamilan dan pengurangan morbiditas bayi
dan ibu. Namun, beberapa studi telah melaporkan peningkatan morbiditas neonatal dengan
jenis tertentu antibiotik, seperti dibahas di bawah.
Dua studi terbesar yang telah melihat efektivitas penggunaan antibiotik di KPDP
adalah The National Institute of Child Health and Human Development - Maternal Fetal
Medicine Units (NICHD-MFMU) studi KPD dan sidang ORACLE. Dalam studi NICHD,
antibiotik intravena digunakan selama 48 jam-ampisilin 2 g setiap 6 jam dan eritromisin 250
mg setiap 6 jam. Para pasien kemudian ditempatkan pada lisan amoksisilin 250 mg setiap 8
jam dan berlapis enterik, eritromisin basa 333 mg setiap 8 jam untuk menyelesaikan kursus 7
hari terapi antibiotik. Dalam penelitian ini, kelompok kontrol, dibandingkan dengan
kelompok antibiotik, memiliki durasi lebih pendek dari latency. Kelompok antibiotik adalah
dua kali lebih mungkin untuk tetap tidak terkirim setelah 7 hari. Peningkatan latency terus
sampai 3 minggu setelah penghentian antibiotik. Morbiditas komposit dan individu untuk
neonatus yang lebih rendah pada kelompok antibiotik. Insiden korioamnionitis dan sepsis
neonatal, termasuk kelompok B streptokokus sepsis, menurun. [14]
ORACLE percobaan digunakan eritromisin saja, asam klavulanat amoksisilin saja,
atau asam klavulanat amoksisilin dalam kombinasi dengan eritromisin. Hasil mereka berbeda
dalam bahwa perbedaan tidak signifikan tercatat di latency untuk pengiriman dan morbiditas
neonatal tidak menurun seperti yang didefinisikan dalam hasil utama mereka (kematian,
penyakit paru-paru kronis, dan kelainan otak besar pada ultrasonografi). Penurunan
kebutuhan oksigen tambahan dan hasil kultur darah positif yang jelas. Ketika asam klavulanat
amoksisilin digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan eritomisin, peningkatan
risiko necrotizing enterocolitis (1,9% vs 0,5%, p = 0,001) . [15]
27

Berdasarkan bukti saat ini, 7 hari pemakaian antibiotik, seperti yang diusulkan oleh
studi NICHD-MFMU dari KPD, harus rejimen antibiotik digunakan pada pasien dengan
KPDP yang dikelola penuh harap. Ketika antibiotik lain yang digunakan untuk indikasi lain,
seperti infeksi saluran kemih, upaya harus dilakukan untuk menghindari duplikasi terapi.
Sebagai contoh, seorang pasien dirawat dengan sefalosporin untuk infeksi saluran kemih
tidak perlu terapi penisilin. Terapi lebih dari 7 hari harus dihindari; belum terbukti lebih
efektif dan dapat membasmi munculnya organisme perlawanan.
Pedoman direvisi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC)
merekomendasikan bahwa wanita dengan KPDP yang tidak dalam persalinan harus
menerima intravena kelompok B streptokokus (GBS) cakupan untuk setidaknya 48 jam
pertama profilaksis KPDP latency, sampai GBS Hasil tes yang diperoleh pada masuk yang
tersedia. [16] Namun, hasil tes GBS harus tidak mempengaruhi durasi terapi antibiotik. Jika
pasien melengkapi kursus 7 hari penuh profilaksis antibiotik tidak memiliki bukti infeksi atau
tenaga kerja, intrapartum GBS profilaksis dapat dikelola berdasarkan hasil dari baseline tes
GBS pada saat prematur KPD, kecuali 5 minggu telah berlalu. Hal ini karena hasil tes GBS
negatif dianggap sah selama 5 minggu. [17, 18]
Pengobatan kortikosteroid antenatal
Penggunaan

kortikosteroid

untuk

mempercepat

kematangan

paru

harus

dipertimbangkan pada semua pasien dengan KPDP dengan risiko bayi prematur dari usia
kehamilan 24-34 minggu. Periode latensi telah disarankan untuk terlalu singkat untuk efek
kortikosteroid yang membuat perbedaan dalam morbiditas neonatal; Namun, ini jelas tidak
muncul menjadi kasus. Kebanyakan pasien dengan KPDP tetap hamil pada 48 jam dan
dengan demikian akan mendapatkan keuntungan dari terapi kortikosteroid. Penggunaan
steroid juga telah disarankan untuk meningkatkan risiko infeksi. Namun, bukti saat ini tidak
mendukung kekhawatiran ini berdasarkan studi individu dan meta-analisis; tidak ada
perbedaan (baik tingkat tinggi atau lebih rendah dari infeksi) telah diamati dengan
penggunaan kortikosteroid.
Berbeda dengan masalah ini, data menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid
mengurangi morbiditas dan mortalitas neonatal. Tingkat Respiratory Distress Syndrome
(RDS), necrotizing enterocolitis, dan perdarahan intraventrikular semua lebih rendah ketika
12 mg betametason IM diberikan dua kali dalam interval 24 jam atau deksametason 6 mg
setiap 12 jam diberikan selama 4 dosis. [19]
28

Rekomendasi ACOG [20]


Sebuah kursus tunggal kortikosteroid dianjurkan untuk wanita hamil usia kehamilan
24-34 minggu yang berada pada risiko kelahiran prematur dalam waktu 7 hari. Sebuah kursus
tunggal kortikosteroid antenatal dianjurkan untuk wanita dengan kehamilan KPD sebelum 32
minggu untuk mengurangi risiko respiratory distress syndrome, kematian perinatal, dan
morbiditas lainnya. Jika ketidakdewasaan paru didokumentasikan, pengobatan kortikosteroid
pada 32-33 minggu kehamilan selesai mungkin bermanfaat. Penggunaan kortikosteroid
sebelum usia janin viabilitas tidak dianjurkan, karena data jarang ada pada khasiat.
Sebuah kursus penyelamatan tunggal kortikosteroid antenatal dapat dipertimbangkan
jika pengobatan yg diberikan lebih dari 2 minggu sebelumnya, usia kehamilan kurang dari
32 minggu 6/7, dan wanita yang dinilai oleh dokter yang akan cenderung melahirkan dalam
minggu depan. Namun, secara teratur dijadwalkan kursus berulang atau lebih dari 2 program
tidak dianjurkan.
Penelitian lebih lanjut mengenai risiko dan manfaat, dosis optimal, dan waktu kursus
penyelamatan tunggal pengobatan steroid yang dibutuhkan.
Tokolitik
Penyebab paling umum dari tenaga kerja dalam pengaturan KPDP yang mendasari
korioamnionitis. Penggunaan tokolisis dalam pengaturan yang tidak dibenarkan. Tidak ada
data menunjukkan bahwa pemberian tokolisis ada manfaat pada neonatus. [21] Dalam sebuah
penelitian, tokolisis profilaksis ditemukan untuk memperpanjang singkat latency. Dalam studi
lain oleh Jazayeri et al, latency lebih pendek ketika magnesium sulfat diberikan. [22]
Penggunaan tokolisis, seperti kortikosteroid dan antibiotik, harus dipertimbangkan hanya
bila manfaat klinis yang jelas ada, seperti dalam transportasi ibu ke pelayanan tersier dengan
NICU.
Banyak studi klinis besar telah mengevaluasi manfaat saraf dari paparan magnesium
sulfat pada neonatus prematur. Studi menunjukkan penurunan cerebral palsy di hidup bayi
yang terkena magnesium. Tak satu pun dari studi individu menemukan manfaat berkaitan
dengan hasil utama mereka. Namun, bukti yang ada menunjukkan bahwa magnesium sulfat
diberikan sebelum diantisipasi kelahiran prematur awal mengurangi risiko cerebral palsy di
hidup bayi. Dokter memilih untuk menggunakan magnesium sulfat untuk pelindung saraf

29

janin harus mengembangkan pedoman khusus mengenai kriteria inklusi, rejimen pengobatan,
tokolisis bersamaan, dan pemantauan sesuai dengan salah satu percobaan yang lebih besar.
Dalam studi ini, 12-24 jam paparan digunakan dengan baik sebanyak 4 atau 6-g
bolus dan dosis pemeliharaan 1-2 g. Temuan ini harus didiskusikan dengan pasien yang
menjalani manajemen hamil dari KPD. [23]
Penggunaan tokolisis selama 48 jam untuk mengelola steroid dan memungkinkan
percepatan kematangan paru janin telah diusulkan dan sedang digunakan oleh beberapa
dokter kandungan. Tidak ada data mendukung kemanjuran praktek ini dan, dengan demikian,
bila digunakan dengan cara ini, kurangnya bukti untuk mendukung praktek ini harus
didiskusikan dengan pasien untuk memungkinkan persetujuan sebelum penggunaan tokolitik
dan potensi komplikasi dan efek samping.

KESIMPULAN
KPDP adalah komplikasi umum dari kehamilan yang terjadi di sekitar 3% dari
seluruh kehamilan. Dokter kandungan harus akrab dengan manajemen yang tepat dari KPDP.
Konsultasi berisiko tinggi dengan subspesialisasi kedokteran ibu-janin harus dipertimbangkan
dalam semua kasus untuk memastikan terapi saat yang tepat dilembagakan.
Secara umum, pedoman berikut harus diikuti:

Diagnosis KP perlu dikonfirmasi


Pemeriksaan vagina digital harus dihindari
Ultrasonografi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi usia kehamilan, perkiraan
berat janin, presentasi, indeks cairan ketuban, dan anatomi janin jika belum

sepenuhnya dievaluasi.
Antibiotik harus diberikan berdasarkan bukti yang ada.
Kortikosteroid harus diberikan untuk mempercepat kematangan paru antara usia

kehamilan 24 dan 34 minggu.


Informed consent harus diperoleh untuk manajemen hamil dibandingkan kelahiran

dengan dokumentasi-jantung dalam grafik.


Dalam KPDP, aturan harus rawat inap setelah viabilitas di sebuah institusi di mana
perawatan untuk neonatus prematur dapat disediakan.

30

Kesehatan ibu adalah indikator utama untuk kebutuhan untuk memberikan. Bukti
infeksi atau ketidakstabilan ibu karena komplikasi KPDP, seperti pendarahan,

memerlukan evaluasi yang cermat dan penentuan kelayakan manajemen hamil.


Pemantauan janin harus dilakukan setidaknya setiap hari sampai melahirkan, dan
janin kesejahteraan dan pertumbuhan harus dievaluasi secara berkala dengan

ultrasonografi.
Setelah 32 minggu dan tentu setelah usia kehamilan 34 minggu, kesesuaian
manajemen hamil dari KPDP harus dievaluasi ulang secara individual untuk setiap

kasus.
KPD di

term

harus

dikelola

oleh

kelahiran

kecuali

ada

alasan

untuk

mempertimbangkan menunggu persalinan spontan. Studi cukup besar untuk


mendokumentasikan keselamatan neonatal manajemen hamil dari KPD di term tidak
ada.

DAFTAR PUSTAKA
10. Mercer B, Milluzzi C, Collin M. Periviable birth at 20 to 26 weeks of gestation:
proximate causes, previous obstetric history and recurrence risk. Am J Obstet
Gynecol. 2005 Sep. 193(3 Pt 2):1175-80. [Medline].
11. Mercer BM. Preterm premature rupture of the membranes: diagnosis and
management. Clin Perinatol. 2004 Dec. 31(4):765-82, vi. [Medline].
12. Aagaard-Tillery KM, Nuthalapaty FS, Ramsey PS, Ramin KD. Preterm premature
rupture of membranes: perspectives surrounding controversies in management. Am J
Perinatol. 2005 Aug. 22(6):287-97. [Medline].
13. Pasquier JC, Bujold E. A systematic review of intentional delivery in women with
preterm prelabor rupture of membranes. J Matern Fetal Neonatal Med. 2007 Jul.
20(7):567-8. [Medline].

31

14. Hartling L, Chari R, Friesen C, Vandermeer B, Lacaze-Masmonteil T. A systematic


review of intentional delivery in women with preterm prelabor rupture of
membranes. J Matern Fetal Neonatal Med. 2006 Mar. 19(3):177-87. [Medline].
15. Hannah ME, Ohlsson A, Farine D, et al. Induction of labor compared with expectant
management for prelabor rupture of the membranes at term. TERMPROM Study
Group. N Engl J Med. 1996 Apr 18. 334(16):1005-10. [Medline].
16. Seaward PG, Hannah ME, Myhr TL, Farine D, Ohlsson A, Wang EE, et al.
International Multicentre Term Prelabor Rupture of Membranes Study: evaluation of
predictors of clinical chorioamnionitis and postpartum fever in patients with prelabor
rupture of membranes at term. Am J Obstet Gynecol. 1997 Nov. 177(5):10249. [Medline].
17. Mozurkewich E. Management of premature rupture of membranes at term: an
evidence-based approach.Clin Obstet Gynecol. 1999 Dec. 42(4):749-56. [Medline].
18. Ekin A, Gezer C, Kulhan G, et al. Can platelet count and mean platelet volume during
the first trimester of pregnancy predict preterm premature rupture of membranes?. J
Obstet Gynaecol Res. 2014 Aug 11.[Medline].
19. Simhan HN, Canavan TP. Preterm premature rupture of membranes: diagnosis,
evaluation and management strategies. BJOG. 2005 Mar. 112 Suppl 1:327. [Medline].
20. Waters TP, Mercer BM. The management of preterm premature rupture of the
membranes near the limit of fetal viability. Am J Obstet Gynecol. 2009 Sep.
201(3):230-40. [Medline].
21. Muris C, Girard B, Creveuil C, Durin L, Herlicoviez M, Dreyfus M. Management of
premature rupture of membranes before 25 weeks. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol.
2007 Apr. 131(2):163-8. [Medline].
22. Vergani P, Ghidini A, Locatelli A, et al. Risk factors for pulmonary hypoplasia in
second-trimester premature rupture of membranes. Am J Obstet Gynecol. 1994 May.
170(5 Pt 1):1359-64. [Medline].
23. Mercer BM, Miodovnik M, Thurnau GR, et al. Antibiotic therapy for reduction of
infant morbidity after preterm premature rupture of the membranes. A randomized
controlled trial. National Institute of Child Health and Human Development MaternalFetal Medicine Units Network. JAMA. 1997 Sep 24. 278(12):989-95. [Medline].
24. Kenyon SL, Taylor DJ, Tarnow-Mordi W,. Broad-spectrum antibiotics for preterm,
prelabour rupture of fetal membranes: the ORACLE I randomised trial. ORACLE
Collaborative Group. Lancet. 2001 Mar 31. 357(9261):979-88. [Medline].
32

25. ACOG. Practice bulletin no. 120: use of prophylactic antibiotics in labor and
delivery. Obstet Gynecol. 2011 Jun. 117(6):1472-83. [Medline].
26. Verani JR, McGee L, Schrag SJ. Prevention of perinatal group B streptococcal
disease--revised guidelines from CDC, 2010. MMWR Recomm Rep. 2010 Nov 19.
59:1-36. [Medline].
27. ACOG. ACOG Committee Opinion No. 485: Prevention of early-onset group B
streptococcal disease in newborns. Obstet Gynecol. 2011 Apr. 117(4):101927. [Medline].
28. ACOG Practice Bulletin No. 80: premature rupture of membranes. Clinical
management guidelines for obstetrician-gynecologists. Obstet Gynecol. 2007 Apr.
109(4):1007-19. [Medline].
29. ACOG Committee Opinion No. 475: Antenatal corticosteroid therapy for fetal
maturation. Obstet Gynecol. 2011 Feb. 117(2 Pt 1):422-4. [Medline].
30. Mercer BM. Is there a role for tocolytic therapy during conservative management of
preterm premature rupture of the membranes?. Clin Obstet Gynecol. 2007 Jun.
50(2):487-96. [Medline].
31. Jazayeri A, Jazayeri MK, Sutkin G. Tocolysis does not improve neonatal outcome in
patients with preterm rupture of membranes. Am J Perinatol. 2003 May. 20(4):18993. [Medline].
32. Committee Opinion No. 455: Magnesium sulfate before anticipated preterm birth for
neuroprotection. Obstet Gynecol. 2010 Mar. 115(3):669-71. [Medline].
33. Alcalay M, Hourvitz A, Reichman B, et al. Prelabour rupture of membranes at term:
early induction of labour versus expectant management. Eur J Obstet Gynecol Reprod
Biol. 1996 Dec 27. 70(2):129-33. [Medline].
34. Farooqi A, Holmgren PA, Engberg S, Serenius F. Survival and 2-year outcome with
expectant management of second-trimester rupture of membranes. Obstet Gynecol.
1998 Dec. 92(6):895-901. [Medline].
35. Hannah ME, Hodnett ED, Willan A, et al. Prelabor rupture of the membranes at term:
expectant management at home or in hospital? The TermPROM Study Group. Obstet
Gynecol. 2000 Oct. 96(4):533-8. [Medline].
36. Kilbride HW, Yeast J, Thibeault DW. Defining limits of survival: lethal pulmonary
hypoplasia after midtrimester premature rupture of membranes. Am J Obstet Gynecol.
1996 Sep. 175(3 Pt 1):675-81.[Medline].

33

37. Lauria MR, Gonik B, Romero R. Pulmonary hypoplasia: pathogenesis, diagnosis, and
antenatal prediction.Obstet Gynecol. 1995 Sep. 86(3):466-75. [Medline].
38. Lewis DF, Fontenot MT, Brooks GG, et al. Latency period after preterm premature
rupture of membranes: a comparison of ampicillin with and without
sulbactam. Obstet Gynecol. 1995 Sep. 86(3):392-5. [Medline].
39. Mercer BM. Management of preterm premature rupture of the membranes. Clin
Obstet Gynecol. 1998 Dec. 41(4):870-82. [Medline].
40. Mercer BM. Preterm premature rupture of the membranes: current approaches to
evaluation and management. Obstet Gynecol Clin North Am. 2005 Sep. 32(3):41128. [Medline].
41. NIH Consensus Development Panel. Effect of corticosteroids for fetal maturation on
perinatal outcomes. NIH Consensus Development Panel on the Effect of
Corticosteroids for Fetal Maturation on Perinatal Outcomes. JAMA. 1995 Feb 1.
273(5):413-8. [Medline].
42. Tan BP, Hannah ME. Oxytocin for prelabour rupture of membranes at or near
term. Cochrane Database Syst Rev. 2000. (2):CD000157. [Medline].
43. Whitelaw A, Thoresen M. Antenatal steroids and the developing brain. Arch Dis
Child Fetal Neonatal Ed. 2000 Sep. 83(2):F154-7. [Medline].

34

Anda mungkin juga menyukai