Anda di halaman 1dari 13

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang

B.

Rumusan Masalah

C.

Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A.

Definisi Tentang Infeksi Nosokomial

B.

Epidemiologi

C.

Faktor Penyebab Perkembangan Infeksi Nosokomial

D.

Tinjauan Umum tentang Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial

BAB III PENUTUP


A.

Kesimpulan

B.

Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Kemampuan untuk mencegah transmisi infeksi di Rumah Sakit dan upaya
pencegahan infeksi adalah tingkatan pertama dalam pemberian pelayanan yang
bermutu. Dalam pemberian pelayanan yang bermutu, seorang petugas kesehatan
harus memiliki kemampuan untuk mencegah infeksi dimana hal ini memiliki
keterkaitan yang tinggi dengan pekerjaan karena mencakup setiap aspek
penanganan pasien (Soeroso, 2007 )
Kebutuhan untuk pengendalian infeksi nosokomial akan semakin meningkat
terlebih lagi dalam keadaan sosial ekonomi yang kurang menguntungkan seperti
yang telah dihadapi Indonesia saat ini. Indikasi rawat pasien akan semakin ketat,
pasien akan datang dalam keadaan yang semakin parah, sehingga perlu perawatan
yang lebih lama yang juga berarti pasien dapat memerlukan tindakan invasif yang
lebih banyak. Secara keseluruhan berarti daya tahan pasien lebih rendah dan
pasien cenderung untuk mengalami berbagai tindakan invasif yang akan
memudahkan masuknya mikroorganisme penyebab infeksi nosokomial (Soeroso,
2007)
Saat ini, masalah infeksi nosokomial makin banyak mendapat perhatian para ahli
karena di samping dapat meningkatkan morbilitas maupun mortalitas, juga
menambah biaya perawatan dan obat-obatan, waktu dan tenaga yang pada
akhirnya akan membebani pemerintah/rumah sakit, personil rumah sakit maupun
penderita dan keluarganya. Hal ini jelas bertentangan dengan kebijaksanaan
pembangunan bidang kesehatan yang justru menekankan peningkatan efisiensi
pelayanan kesehatan (Triatmodjo, 1993).
Infeksi nosokomial adalah semua kasus infeksi yang terjadi sekurangkurangnya setelah 3 x 24 jam dirawat di rumah sakit atau pada waktu masuk tidak
didapatkan tanda-tanda klinik dari infeksi tersebut. Meskipun kultur tidak mendukung
ke arah infeksi nosokomial, tetap dicatat sebagai infeksi nosokomial (Kurniadi, 1993)

Jenis infeksi nosokomial yang sering dijumpai pada pasien bedah berturutturut adalah infeksi saluran kemih, infeksi arena bedah, infeksi saluran napas
bawah, bakteriemia dan sepsis yang berkaitan dengan penggunaan alat
intravaskuler. Upaya identifikasi dan pengamatan pasien yang berisiko tinggi harus
dilakukan sehingga kemudian dapat dilakukan upaya pencegahan, diagnosis dan
penanggulangannya (Sjamsuhidayat & De jong, 2004).
Infeksi nosokomial pada pasien bedah meningkatkan morbiditas dan
mortalitas, memperpanjang masa rawat, menyebabkan hilangnya waktu kerja, dan
meningkatkan biaya perawatan (Sjamsuhidayat & De jong, 2004).
Cara penularan melalui tenaga perawat ditempatkan sebagai penyebab yang
paling utama infeksi nosokomial. Penularan melalui tangan perawat dapat secara
langsung karena tangan yang kurang bersih atau secara tidak langsung melalui
peralatan yang invasif. Dengan tindakan mencuci tangan secara benar saja kejadian
infeksi nosokomial dapat mencapai 50% apalagi jika tidak mencuci tangan.
Peralatan yang kurang steril, air yang terkontaminasi kuman, cairan desinfektan
yang mengandung kuman, sering meningkatkan risiko infeksi nosokomial (Utje,
1993).
B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitiannya
adalah faktor-faktor apakah yang berhubungan dengan upaya perawat dalam
pencegahan infeksi nosokomial

C.

Tujuan
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan upaya perawat dalam
pencegahan infeksi nosokomial

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Definisi Tentang Infeksi Nosokomial


Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang
disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama
seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala
selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi
nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan
tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit
telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru
menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut
infeksi nosokomial.

B.

Epidemiologi
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di
negara miskin dan negara yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit
infeksi masih menjadi penyebab utama. Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO
menunjukkan bahwa sekitar 8,7% dari 55 rumah sakit dari 14 negara yang berasal
dari Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Pasifik tetap menunjukkan adanya
infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10,0%.
Walaupun ilmu pengetahuan dan penelitian tentang mikrobiologi meningkat
pesat pada 3 dekade terakhir dan sedikit demi sedikit resiko infeksi dapat dicegah,
tetapi semakin meningkatnya pasien-pasien dengan penyakit immunocompromised,
bakteri yang resisten antibiotik, infeksi virus dan jamur, dan prosedur invasif masih
menyebabkan infeksi nosokomial menimbulkan kematian sebanyak 88.000 kasus
setiap tahunnya (Utama, 2006).
Selain itu, jika kita bandingkan kuman yang ada di masyarakat, mikroorganisme
yang berada di rumah sakit lebih berbahaya dan lebih resisten terhadap obat. Oleh
karena itu, diperlukan antibiotik yang lebih poten atau suatu kombinasi antibiotik.
Semua kondisi ini dapat meningkatkan resiko infeksi kepada pasien (Utama, 2006).

C. Faktor Penyebab perkembangan infeksi nosokomial


a.Agen infeksi
Pasien akan terpapar berbagai macam mikroorganisme selama dirawat di
rumah sakit. Kontak antara pasien dan berbagai macam mikroorganisme ini tidak
selalu menimbulkan gejala klinis karena banyaknya faktor lain yang dapat
menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial. Kemungkinan terjadinya infeksi
tergantung pada:
1.

karakteristik mikroorganisme

2.

resistensi terhadap zat-zat antibiotika

3.

tingkat virulensi, dan

4.

banyaknya materi infeksius.


Semua mikroorganisme termasuk bakteri, virus, jamur dan parasit dapat

menyebabkan infeksi nosokomial. Infeksi ini dapat disebabkan oleh


mikroorganisme yang didapat dari orang lain (cross infection) atau disebabkan
oleh flora normal dari pasien itu sendiri (endogenous infection). Kebanyakan
infeksi yang terjadi di rumah sakit ini lebih disebabkan karena faktor eksternal,
yaitu penyakit yang penyebarannya melalui makanan dan udara dan benda atau
bahan-bahan yang tidak steril. Penyakit yang didapat dari rumah sakit saat ini
kebanyakan disebabkan oleh mikroorganisme yang umumnya selalu ada pada
manusia yang sebelumnya tidak atau jarang menyebabkan penyakit pada orang
normal (Utama, 2006).
b. Respon dan toleransi tubuh pasien
Faktor terpenting yang mempengaruhi tingkat toleransi dan respon tubuh
pasien dalam hal ini adalah:
1.

Usia

2.

status imunitas penderita

3.

penyakit yang diderita

4.

Obesitas dan malnutrisi

5.

Orang yang menggunakan obat-obatan

6.

imunosupresan dan steroid

7.

Intervensi yang dilakukan pada tubuh untuk melakukan diagnosa dan


terapi.
Usia muda dan usia tua berhubungan dengan penurunan resistensi tubuh

terhadap infeksi kondisi ini lebih diperberat bila penderita menderita penyakit
kronis seperti tumor, anemia, leukemia, diabetes mellitus, gagal ginjal, SLE dan
AIDS. Keadaan-keadaan ini akan meningkatkan toleransi tubuh terhadap infeksi
dari kuman yang semula bersifat opportunistik. Obat-obatan yang bersifat
immunosupresif

dapat

menurunkan

pertahanan

tubuh

terhadap

infeksi.

Banyaknya prosedur pemeriksaan penunjang dan terapi seperti biopsi,


endoskopi, kateterisasi, intubasi dan tindakan pembedahan juga meningkatkan
resiko infeksi (Utama, 2006).
c. Infeksi melalui kontak langsung dan tidak langsung
Infeksi yang terjadi karena kontak secara langsung atau tidak langsung
dengan penyebab infeksi. Penularan infeksi ini dapat melalui tangan, kulit dan
baju, seperti golongan staphylococcus aureus. Dapat juga melalui cairan yang
diberikan intravena dan jarum suntik, hepatitis dan HIV. Peralatan dan instrumen
kedokteran. Makanan yang tidak steril, tidak dimasak dan diambil menggunakan
tangan yang menyebabkan terjadinya infeksi silang.
d. Resistensi antibiotika
Seiring dengan penemuan dan penggunaan antibiotika penicillin antara
tahun 1950-1970, banyak penyakit yang serius dan fatal ketika itu dapat diterapi
dan disembuhkan. Bagaimana pun juga, keberhasilan ini menyebabkan
penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan dari antibiotika. Banyak
mikroorganisme yang kini menjadi lebih resisten. Meningkatnya resistensi bakteri
dapat meningkatkan angka mortalitas terutama terhadap pasien yang
immunocompromised. Resistensi dari bakteri ditransmisikan antar pasien dan
faktor resistensinya dipindahkan antara bakteri. Penggunaan antibiotika yang

terus-menerus ini justru meningkatkan multiplikasi dan penyebaran strain yang


resisten. Penyebab utamanya karena:
1.

Penggunaan antibiotika yang tidak sesuai dan tidak terkontrol

2.

Dosis antibiotika yang tidak optimal

3.

Terapi dan pengobatan menggunakan antibiotika yang terlalu singkat

4.

Kesalahan diagnosa (Utama, 2006)


Banyaknya pasien yang mendapat obat antibiotika dan perubahan dari gen

yang resisten terhadap antibiotika mengakibatkan timbulnya multiresistensi


kuman terhadap obat-obatan tersebut. Penggunaan antibiotika secara besarbesaran untuk terapi dan profilaksis adalah faktor utama terjadinya resistensi.
Banyak strain dari pneumococci, staphylococci, enterococci, dan tuberculosis
telah resisten terhadap banyak antibiotika, begitu juga klebsiella dan
pseudomonas aeruginosa juga telah bersifat multiresisten. Keadaan ini sangat
nyata terjadi terutama di negara-negara berkembang dimana antibiotika lini
kedua belum ada atau tidak tersedia.
Infeksi nosokomial sangat mempengaruhi angka morbiditas dan mortalitas
di rumah sakit, serta menjadi sangat penting karena meningkatnya jumlah
penderita yang dirawat, seringnya imunitas tubuh melemah karena sakit,
pengobatan atau umur, mikororganisme yang baru (mutasi), dan Meningkatnya
resistensi bakteri terhadap antibiotika.
e. Faktor alat
Dari suatu penelitian klinis, infeksi nosokomial terutama disebabkan infeksi
dari kateter urin, infeksi jarum infus, infeksi saluran nafas, infeksi kulit, infeksi dari
luka operasi dan septikemia. Pemakaian infus dan kateter urin lama yang tidak
diganti-ganti. Di ruang penyakit dalam, diperkirakan 20-25% pasien memerlukan
terapi infus. Komplikasi kanulasi intravena ini dapat berupa gangguan mekanis,
fisis dan kimiawi. Komplikasi tersebut berupa:
1. Ekstravasasi infiltrat : cairan infus masuk ke jaringan sekitar insersi kanula
2. Penyumbatan : Infus tidak berfungsi sebagaimana mestinya tanpa dapat
dideteksi adanya gangguan lain

3. .Flebitis : Terdapat pembengkakan, kemerahan dan nyeri sepanjang vena


4. Trombosis : Terdapat pembengkakan di sepanjang pembuluh vena yang
menghambat aliran infus
5. Kolonisasi kanul : Bila sudah dapat dibiakkan mikroorganisme dari bagian
kanula yang ada dalam pembuluh darah
6. Septikemia : Bila kuman menyebar hematogen dari kanul
7. Supurasi : Bila telah terjadi bentukan pus di sekitar insersi kanul (Utama,
2006)
Beberapa faktor di bawah ini berperan dalam meningkatkan komplikasi
kanula intravena yaitu: jenis kateter, ukuran kateter, pemasangan melalui
venaseksi, kateter yang terpasang lebih dari 72 jam, kateter yang dipasang pada
tungkai bawah, tidak mengindahkan prinsip anti sepsis, cairan infus yang
hipertonik dan darah transfusi karena merupakan media pertumbuhan
mikroorganisme, peralatan tambahan pada tempat infus untuk pengaturan tetes
obat, manipulasi terlalu sering pada kanula. Kolonisasi kuman pada ujung
kateter merupakan awal infeksi tempat infus dan bakteremia
D.Tinjauan Umum tentang Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial
Pencegahan dari infeksi nosokomial oleh tenaga kesehatan termasuk perawat
diperlukan suatu rencana yang terintegrasi, monitoring dan program yang termasuk:
1. Membatasi transmisi organisme dari atau antar pasien dengan cara
mencuci tangan dan penggunaan sarung tangan, tindakan septik dan
aseptik, sterilisasi dan disinfektan.
2. Mengontrol resiko penularan dari lingkungan.
3. Melindungi pasien dengan penggunaan antibiotika yang adekuat, nutrisi
yang cukup, dan vaksinasi.
4. Membatasi resiko infeksi endogen dengan meminimalkan prosedur
invasif.
5. Pengawasan infeksi, identifikasi penyakit dan mengontrol
penyebarannya (Utama, 2006)

Adapun cara pencegahan infeksi nosokomial meliputi:


1.Dekontaminasi tangan
Transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi dengan menjaga
hiegene dari tangan. Tetapi pada kenyataannya, hal ini sulit dilakukan dengan
benar karena banyaknya alasan seperti kurangnya peralatan, alergi produk
pencuci tangan, sedikitnya pengetahuan mengenai pentingnya hal ini dan waktu
mencuci tangan yang lama. Selain itu, penggunaan sarung tangan sangat
dianjurkan bila akan melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien dengan
penyakit-penyakit infeksi. Hal yang perlu diingat adalah memakai sarung tangan
ketika akan mengambil atau menyentuh darah, cairan tubuh, atau keringat, tinja,
urin, membran mukosa dan bahan yang kita anggap telah terkontaminasi dan
segera mencuci tangan setelah melepas sarung tangan
2. Instrumen yang sering digunakan Rumah Sakit
Simonsen et al (1999) menyimpulkan bahwa lebih dari 50% suntikan yang
dilakukan di negara berkembang tidaklah aman (contohnya jarum, tabung atau
keduanya yang dipakai berulang-ulang) dan banyaknya suntikan yang tidak
penting (misalnya penyuntikan antibiotika). Untuk mencegah penyebaran
penyakit melalui jarum suntik maka diperlukan:
1. Pengurangan penyuntikan yang kurang diperlukan, pergunakan jarum
steril,penggunaan alat suntik yang sekali pakai.
2. Masker; sebagai pelindung terhadap penyakit yang ditularkan melalui
udara. Begitupun dengan pasien yang menderita infeksi saluran nafas,
mereka harus menggunakan masker saat keluar dari kamar penderita.
3. Sarung tangan; sebaiknya digunakan terutama ketika menyentuh darah,
cairan tubuh, feses maupun urine. Sarung tangan harus selalu diganti
untuk tiap pasiennya. Setelah membalut luka atau terkena benda yang
kotor, sarung tangan harus segera diganti.

4. Baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian
selama kita melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan darah,
cairan tubuh, urin dan feses.
3. Mencegah penularan dari lingkungan rumah sakit
Pembersihan yang rutin sangat penting untuk meyakinkan bahwa rumah
sakit sangat bersih dan benar-benar bersih dari debu, minyak dan kotoran. Perlu
diingat bahwa sekitar 90 persen dari kotoran yang terlihat pasti mengandung
kuman. Harus ada waktu yang teratur untuk membersihkan dinding, lantai,
tempat tidur, pintu, jendela, tirai, kamar mandi, dan alat-alat medis yang telah
dipakai berkali-kali.
Pengaturan udara yang baik sukar dilakukan di banyak fasilitas kesehatan.
Usahakan adanya pemakaian penyaring udara, terutama bagi penderita dengan
status imun yang rendah atau bagi penderita yang dapat menyebarkan penyakit
melalui udara. Kamar dengan pengaturan udara yang baik akan lebih banyak
menurunkan resiko terjadinya penularan tuberkulosis.
Selain itu, rumah sakit harus membangun suatu fasilitas penyaring air dan
menjaga kebersihan pemrosesan serta filternya untuk mencegahan terjadinya
pertumbuhan bakteri. Sterilisasi air pada rumah sakit dengan prasarana yang
terbatas dapat menggunakan panas matahari.
Toilet rumah sakit juga harus dijaga, terutama pada unit perawatan pasien
diare untuk mencegah terjadinya infeksi antar pasien. Permukaan toilet harus
selalu bersih dan diberi disinfektan.
4. Perbaiki ketahanan tubuh
Di dalam tubuh manusia, selain ada bakteri yang patogen oportunis, ada pula
bakteri yang secara mutualistik yang ikut membantu dalam proses fisiologis
tubuh dan membantu ketahanan tubuh melawan invasi jasad renik patogen serta
menjaga keseimbangan di antara populasi jasad renik komensal pada
umumnya, misalnya seperti apa yang terjadi di dalam saluran cerna manusia.
Pengetahuan tentang mekanisme ketahanan tubuh orang sehat yang dapat

mengendalikan jasad renik oportunis perlu diidentifikasi secara tuntas, sehingga


dapat dipakai dalam mempertahankan ketahanan tubuh tersebut pada penderita
penyakit berat. Dengan demikian bahaya infeksi dengan bakteri oportunis pada
penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus menggunakan antibiotika.

5.Ruangan Isolasi
Penyebaran dari infeksi nosokomial juga dapat dicegah dengan membuat
suatu pemisahan pasien. Ruang isolasi sangat diperlukan terutama untuk
penyakit yang penularannya melalui udara, contohnya tuberkulosis dan SARS
yang mengakibatkan kontaminasi berat. Penularan yang melibatkan virus,
contohnya DHF dan HIV. Biasanya, pasien yang mempunyai resistensi rendah
seperti leukimia dan pengguna obat immunosupresan juga perlu diisolasi agar
terhindar dari infeksi. Tetapi menjaga kebersihan tangan dan makanan,
peralatan kesehatan di dalam ruang isolasi juga sangat penting. Ruang isolasi ini
harus selalu tertutup dengan ventilasi udara selalu menuju keluar. Sebaiknya
satu pasien berada dalam satu ruang isolasi, tetapi bila sedang terjadi kejadian
luar biasa dan penderita melebihi kapasitas, beberapa pasien dalam satu
ruangan tidaklah apa-apa selama mereka menderita penyakit yang sama

BAB III
PENUTUP
A.

Kesimpulan
Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan
mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai
dirawat disebut infeksi nosokomial. Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh
dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang sedang
berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama.
10

Faktor Penyebab perkembangan infeksi nosokomial yaitu Agen infeksi,


Respon dan toleransi tubuh pasien, Infeksi melalui kontak langsung dan tidak
langsung, Resistensi antibiotika dan Faktor alat
B.

Saran
1.Diharapkan kepada penentu kebijakan dalam hal ini rumah sakit agar
memfasilitasi alat yang dibutuhkan dalam mencegah infeksi nosokomial di rumah
sakit dan mengurangi beban kerja perawat agar dapat melakukan upaya
pencegahan infeksi nosokomial dengan baik.
2.Diharapkan kepada perawat pelaksana agar berupaya dengan baik dalam
mencegah infeksi nosokomial di rumah sakit..

DAFTAR PUSTAKA
Alimul, A. H. (2002). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta: Salemba
Medika.
Brockopp, D.Y. (1999). Dasar-dasar Riset Keperawatan. Jakarta: EGC
Hamid, A.Y.S. (1999). Buku ajar riset keperawatan I. Jakarta: Widya Medika
Hasibuan, M. (2003) Organisasi dan Motivasi, Jakarta:PT. Bhuana Aksara
Kurniadi, H. (1993) Upaya Pencegahan Infeksi Nosokomial di RS Mitra Keluarga
Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No. 82 tahun 1993.

11

Notoatmodjo, S, (2003) Pengantar Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Perilaku


Kesehatan, Andi Offset: Yogyakarta.
Nursalam. (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan:
Pedoman skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. Jakarta: Salemba medika.
Pamela J. B. (1998). Langkah Dasar Dalam Perencanaan Riset Keperawatan Dari
Pertanyaan Sampai Proposal. Jakarta: EGC
Perry & Potter (2005) Buku Ajar Fundamental Keperawatan; Konsep, proses, dan
Praktik, Volume 2, Edisi IV, Jakarta: EGC
Pratiknya, A.W. (2003). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.
Cetakan V Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Robbins, S. P (1996) Perilaku Organisasi: Konsep, Kontroversi, Aplikasi, Jakarta:
Phenhallimindo.
Schaffer, et al (2000) Pencegahan Infeksi & Praktik yang Aman, Jakarta: EGC.
Sjamsuhidayat & De Jong (2004) Buku ajar Ilmu Bedah, EGC: Jakarta.
Siagian, S.P. (2003) Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta: Bumi Aksara.

12

Anda mungkin juga menyukai