Anda di halaman 1dari 47

KARYA ILMIAH

PENGARUH KEIKUTSERTAAN IBU DI KELAS IBU HAMIL


TERHADAP PRAKTIK INISIASI MENYUSU DINI (IMD) PADA BAYI
USIA 6-8 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SISIR
KOTA BATU

ELSA BUDI SIHSILYA RAHMAWATI

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA
2015

KARYA ILMIAH
PENGARUH KEIKUTSERTAAN IBU DI KELAS IBU HAMIL
TERHADAP PRAKTIK INISIASI MENYUSU DINI (IMD) PADA BAYI
USIA 6-8 BULAN DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS SISIR
KOTA BATU

ELSA BUDI SIHSILYA RAHMAWATI


NIM. 101314153049

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA
2015

ii

DAFTAR ISI
Halaman

Pendahuluan .....................................................................................................
Metode Penelitian ............................................................................................
Hasil Penelitian ................................................................................................
Pembahasan .....................................................................................................
Simpulan dan Saran .........................................................................................
Daftar Pustaka ..................................................................................................

iii

1
6
10
17
36
39

PENDAHULUAN
Asuhan essensial diperlukan pada bayi baru lahir agar dapat mencegah
terjadinya komplikasi dan dapat menyelamatkan nyawa bayi seperti segera
mengeringkan tubuh bayi baru lahir dan inisiasi menyusu dini sangat diperlukan
untuk upaya bayi dapat bertahan hidup dan menunda semua asuhan lainnya
minimal satu jam pertama kelahiran (WHO, 2013). Inisiasi menyusu dini adalah
proses bayi menyusu segera setelah dilahirkan, dimana bayi dibiarkan mencari
puting susu ibunya sendiri (tidak disodorkan ke puting susu). Menyusui sejak dini
mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya, bagi bayi
kehangatan saat menyusu menurunkan risiko kematian karena hypothermia
(kedinginan). Selain itu juga, bayi memperoleh bakteri tak berbahaya dari ibu,
menjadikannya lebih kebal dari bakteri lain di lingkungan (Profil Kesehatan
Indonesia, 2013).
Dengan kontak pertama, bayi memperoleh kolostrum, yang penting untuk
kelangsungan hidupnya, dan bayi memperoleh ASI (makanan awal) yang tidak
mengganggu pertumbuhan, fungsi usus, dan alergi sehingga bayi akan lebih
berhasil menyusu ASI eksklusif dan mempertahankan menyusui. Sedangkan
manfaat bagi ibu adalah menyusui dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas
karena proses menyusui akan merangsang kontraksi uterus sehingga mengurangi
perdarahan pasca melahirkan (postpartum) (Profil Kesehatan Indonesia, 2013).
Penelitian Edmond, dkk (2006) di Ghana menunjukkan bahwa Inisiasi
Menyusui Dini dapat mencegah kematian neonatal. Dalam studi tersebut
membuktikan adanya hubungan antara waktu menyusui dan kelangsungan hidup

bayi baru lahir. Bayi yang diberi kesempatan menyusu dalam satu jam pertama
dengan dibiarkan kontak kulit bayi ke kulit ibu, maka 22 % nyawa bayi berumur
kurang dari 28 hari bisa diselamatkan. Dengan Inisiasi Menyusu Dini, bayi akan
segera mendapatkan kolostrum yang terbukti mampu meningkatkaan kekebalan
tubuh bayi baru lahir. Tingkat immunoglobulin pada kolostrum menurun tajam
setelah hari pertama kehidupan bayi, konsentrasi tertinggi pada hari 1, menurun
50% pada hari kedua dan setelah itu akan terus menurun secara perlahan-lahan.
Oleh karena itu Inisiasi Menyusu dini merupakan langkah pencegahan yang nyata
dalam penyelamatan bayi baru lahir dan akan mengurangi beban pelayanan
kesehatan kuratif.
Inisiasi

Menyusu

Dini

akan

menentukan

kesuksesan

menyusui

selanjutnya, karena ibu yang memberikan ASI dalam satu jam pertama setelah
melahirkan mempunyai peluang 2-8 kali lebih besar untuk memberikan ASI
eksklusif. Kontak awal ini merupakan periode sensitif, sehingga apabila terlambat,
perkembangan anak dan keberhasilan menyusui akan terganggu. Dengan adanya
Program Inisiasi Menyusu Dini akan mencegah kematian neonatal yang
disebabkan oleh infeksi sekaligus akan mensukseskan pula program pemberian
ASI (Yuliarti, 2010).
Hasil Riskesdas 2013 menyatakan bahwa persentase proses mulai
mendapat ASI kurang dari satu jam (inisiasi menyusu dini) pada anak umur 0-23
bulan di Indonesia mengalami kenaikan dari 29,3 di tahun 2010 menjadi 34,5%
(2013). Persentase proses mulai mendapat ASI antara 1 6 jam sebesar 35,2%,
persentase proses mulai mendapat ASI antara 723 jam sebesar 3,7 proses mulai

mendapat ASI antara 24 47 jam sebesar 13,0% dan proses mendapat ASI lebih
dari 47 jam sebesar 13,7% (Profil Kesehatan Indonesia, 2013).
Angka Kematian Bayi (AKB) Kota Batu, Jawa Timur terus mengalami
peningkatan secara tajam dari tahun 2008 (3,75) menjadi 10,40/1000 kelahiran
hidup di tahun 2011. Sejak dijalankannya program kelas ibu hamil tahun 2012
Angka Kematian Bayi Kota Batu (10.02) dan terus mengalami penurunan menjadi
9.20/1000 kelahiran hidup di tahun 2013 (Dinkes Kota Batu, 2013). Kematian
Bayi di Kota Batu sebagian besar diakibatkan karena Berat Badan Lahir Rendah
(BBLR) dan kelainan bawaan. Bayi dengan BBLR lebih rentan mengalami
masalah kesehatan seperti asfiksia, gangguan nafas, suhu tubuh rendah, kadar gula
darah rendah, masalah pemberian ASI, infeksi, ikterik dan masalah perdarahan
(Dinkes Kota Batu, 2013).
Pencapaian ASI Eksklusif Kota Batu tahun 2011 sebesar 73,83% berada
diatas target (67%) dan mengalami penurunan di tahun 2012 yaitu 56,27% berada
dibawah target (70%). Tahun 2013 pencapaian ASI Eksklusif mengalami
peningkatan 68,7% akan tetapi masih berada dibawah target (75%). Kemungkinan
hal ini dikarenakan kurang digalakkannya pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) di Rumah Sakit atau tempat pelayanan kesehatan yang menolong
persalinan. Selain itu masih gencarnya promosi susu formula ke petugas
kesehatan terutama bidan yang menangani persalinan dengan pemberian bonus
yang menggiurkan (Dinkes Kota Batu, 2013).

Dari survey yang dilakukan peneliti pada 13 April 2014 di Posyandu Sisir
pada 12 Ibu bayi usia 0-6 bulan. 8 diantaranya melahirkan secara normal dan 4
ibu melahirkan secara sectio caesarea. Dari 8 ibu yang melahirkan secara normal,
4 diantaranya berhasil melakukan Inisiasi Menyusu Dini, 2 ibu melakukan Inisiasi
Menyusu Dini tetapi tidak sampai menemukan puting susu (IMD dilakukan
sampai tenaga kesehatan selesai menjahit perineum), dan 1 ibu tidak melakukan
Inisiasi Menyusu Dini karena mengalami perdarahan pasca persalinan, dan 1 ibu
tidak melakukan Inisiasi Menyusu Dini karena tidak difasilitasi untuk melakukan
Inisiasi Menyusu Dini. Dari 4 ibu yang melahirkan secara sectio caesarea, tidak
ada yang melakukan Inisiasi Menyusu Dini.
Salah satu strategi yang diterapkan Pemerintah Kota Batu dalam upaya
menurunkan AKI dan AKB adalah melalui penerapan Inisiasi Menyusu Dini
(IMD) pada bayi baru lahir serta penggalakan ASI Eksklusif melalui
penyelenggaraan program kelas ibu hamil, serta dibentuknya Kelompok
Pendukung ASI (KP-ASI). Kegiatan kelas ibu hamil merupakan sarana untuk
belajar bersama tentang kesehatan bagi ibu hamil, dalam bentuk tatap muka dalam
kelompok. Tujuan kelas ibu hamil adalah untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan ibu-ibu mengenai kehamilan, perawatan kehamilan, persalinan,
perawatan nifas, perawatan bayi baru lahir, mitos, penyakit menular dan akte
kelahiran yang didalamnya juga mencakup pentingnya Inisiasi Menyusu Dini dan
persiapan laktasi untuk mendukung keberhasilan dalam pemberian ASI. Output
yang diharapkan dari program Kelas Ibu Hamil ini adanya peningkatan jumlah ibu
hamil yang memiliki Buku KIA, ibu yang datang pada K4, ibu/keluarga yang

telah memiliki Perencanaan Persalinan, ibu yang datang untuk mendapatkan tablet
Fe, ibu yang telah membuat pilihan bersalin dengan Nakes, KN, Inisiasi Menyusu
Dini (IMD) serta kader dalam keterlibatan penyelenggaan (Kemenkes, 2011).
Berdasarkan penelitian Purwarini (2012), pemberian intervensi berupa kelas lbu
hamil mampu meningkatkan sikap dan pengetahuan tentang kehamilan dan
persalinan pada ibu hamil. Penelitian yang dilakukan oleh Hastuti, (2011) tentang
efektifitas pelatihan kelas ibu hamil di Puskesmas Tladan Kabupaten Magetan
menemukan bahwa pendidikan kesehatan melalui kelas ibu hamil secara
signifikan meningkatkan pengetahuan responden sebelum dan setelah pelatihan.
Peran petugas kesehatan dalam praktik IMD sangatlah penting. Penelitian Yustina
(2012) menyebutkan bahwa bidan sebagai salah satu petugas kesehatan, memiliki
peluang banyak untuk berinteraksi dengan ibu bersalin, sehingga memiliki peran
yang penting dalam keberhasilan IMD. Bidan seharusnya menerapkan IMD setiap
kali menolong persalinan dan memberikan dukungan kepada ibu yang melakukan
persalinan untuk melakukan IMD, karena pada umumnya ibu akan mematuhi apa
yang dianjurkan oleh bidan (Yustina, 2012).
Peningkatan praktik Inisiasi Menyusu Dini (IMD) menjadi salah satu
penentu keberhasilan dalam pemberian ASI yang dapat menurunkan Angka
Kematian Bayi sehingga dalam hal ini penulis merasa perlu melakukan penelitian
yang berjudul Pengaruh Implementasi Kelas Ibu Hamil terhadap Praktik Inisiasi
Menyusu Dini (IMD) pada Bayi 6-8 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Sisir Kota
Batu.

METODE PENELITIAN
Berdasarkan tujuan penelitian, jenis penelitian yang digunakan adalah
analitik dengan desighn kohort retrospektif mengenai pengaruh program kelas ibu
hamil terhadap perilaku Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dimasa lalu. Studi kohort
retrospektif dilakukan dengan menggunakan 2 kelompok studi (sekelompok ibu
yang pernah mengikuti kelas ibu hamil) dan kelompok kontrol (ibu yang tidak
pernah mengikuti kelas ibu hamil).
Dalam penelitian ini tidak ada perlakuan yang dilakukan oleh peneliti
karena perlakuan sudah diberikan di pelaksanaan kegiatan kelas ibu hamil.
Penelitian berupa survey dengan menggunakan instrumen kuesioner yang telah
diuji validitas dan reliabilitas. Lokasi penelitian ini dilakukan di Wilayah Kerja
Puskesmas Sisir Kota Batu. Waktu pelaksanaan penelitian selama 1 bulan yaitu
mulai julan Mei sampai Juni 2015. Sampel dalam penelitian harus memenuhi
persyaratan kriteria inklusi yang telah ditetapkan oleh peneliti dengan
pertimbangan ilmiah. Sampel dalam penelitian ini ditetapkan berdasarkan kriteria
inklusi sebagai berikut:
a. Ibu yang memiliki bayi berusia 6-8 bulan
b. Ibu yang pernah mengikuti kelas ibu hamil pada sesi pemberian materi terkait
IMD
c. Ibu dengan berat badan bayi lahir normal (>2500 g)
d. Ibu yang melahirkan cukup bulan (aterm)
e. Ibu yang bersedia menjadi responden

f. Tanpa memandang jenis persalinan


Sedangkan kriteria eksklusi dalam penelitian ini meliputi:
a. Ibu yang bayinya mengalami lahir mati
b. Ibu yang melahirkan prematur
c. Ibu dengan berat badan bayi baru lahirnya < 2500 g
d. Ibu yang menolak menjadi responden
Besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan software
OPENepi. Dengan total populasi 102 ibu yang memiliki bayi usia 6-8 bulan. Ibu
yang pernah mengikuti kelas ibu hamil sebanyak 37 ibu. Sedangkan yang tidak
mengikuti kelas ibu hamil 65 ibu. Ibu yang mengalami bayi lahir mati sebanyak 1
orang dan 1 ibu melahirkan bayi prematur, dikeluarkan dari penelitian. Proporsi
ibu yang melakukan IMD dihitung dengan menggunakan perbandingan penelitian
sebelumnya yang senada yaitu proporsi ibu yang mengikuti kelas ibu hamil yang
berperilaku merencanakan persalinan (P1): 0,83 (Rosmawati, 2011), P2: perkiraan
probabilitas outcome (+) pada populasi 2 dengan penelitian sebelumnya proporsi
ibu yang tidak mengikuti kelas ibu hamil yang berperilaku merencanakan
persalinan (penelitian sebelumnya)= 0,27 (Rosmawati, 2011). Convidence level
pada penelitian ini sebesar 95. Diperoleh jumlah sampel 12 untuk kelompok ibu
yang pernah mengikuti kelas ibu hamil dan 20 ibu yang tidak pernah mengikuti
kelas ibu hamil. Sehingga total sampel dalam penelitian ini adalah 32 ibu.

Pengambilan sampel dilakukan dengan cara sistematik random sampling


terhadap ibu yang pernah mengikuti kelas ibu hamil. Metode ini dipilih karena
sampling frame tersedia dan karakteristik populasi homogen. Pengambilan sampel
dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Membuat daftar urutan para ibu yang memiliki bayi antara 6-8 bulan di dua
desa.
b. Dipilih sampel secara acak dan proporsional tiap desa untuk mendapatkan
sampel yang representatif sampai 32 sampel.
Besar sampel masing-masing kelompok dari setiap desa ditetapkan dengan
rumus sebagai berikut:

Keterangan:
ni

:Besar sampel yang dibutuhkan per desa pada kelompok terpapar maupun
tidak terpapar

N1

:besar sampel per desa berdasarkan kelompok terpapar maupun tidak


terpapar

:total sampel perdesa berdasarkan kelompok terpapar maupun tidak


terpapar

:Besar sampel minimal yang diperoleh berdasarkan rumus perkiraan


sampel
Sehingga diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.2 Besar populasi dan Sampel, Responden yang Memiliki Bayi Usia 6-8 bulan

No
Desa
1
Temas
2
Sidomulyo
TOTAL

Total
71
31
102

Total sampel
71/102x32= 22
31/102x32= 10
32

Variabel dalam penelitian ini diidentifikasi diantaranya, variabel bebas yaitu


keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil. Variabel tergantung pada penelitian ini yang
praktik Inisiasi Menyusu Dini dan Durasi Pemberian ASI. Variabel perancu
sekaligus menjadi variabel bebas pada penelitian ini yang diidentifikasi antara
lain, usia, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, paritas, pengetahuan, sikap, akses
informasi, penolongpersalinan, tempat persalinan, pengambil keputusan, KIE saat
ibu hamil, pemberian KIE sebelum proses persalinan.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini meliputi angket data
demografi responden, Kuesioner kelas ibu hamil, kuesioner pengetahuan, sikap
dan praktik terkait IMD ,penjelasan penelitian dan informed concent.
Kuesioner dalam penelitian ini berbentuk daftar pertanyaan yang sudah
tersusun dimana responden memberi jawaban dengan memberikan tanda tertentu
dan sebagian kuesioner yaitu terkait Inisiasi Menyusu Dini dibacakan oleh peneliti
kepada responden untuk menggali pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini apakah
dilakukan sesuai prosedur atau tidak.

10

HASIL PENELITIAN
1.

Karakteristik Ibu berdasarkan Keikutsertaan Kelas Ibu Hamil


Tabel 5.1 Karakteristik Ibu berdasarkan Keikutsertaan Kelas Ibu
Hamil
Variabel

Usia
Berisiko
Tidak berisiko
Pekerjaan
IRT
PNS
Karyawan Swasta
Pedagang
Pendidikan
Pendidikan Rendah
Pendidikan Tinggi
Penghasilan
< Rp. 1.885.000
Rp. 1.885.000
Paritas
Primipara
Multipara
Grandemultipara
Pengetahuan
Baik
Cukup
Kurang
Sikap
Baik
Cukup
Kurang

IKUT KIH

TIDAK IKUT
KIH

N=32

Nilai P

4
28

12,5
87,5

0,141

70
5
10
15

26
1
2
3

81.3
3,1
6,3
9,38

0,043

7
13

35
65

11
21

34,4
65,6

0,297

66,7
33,3

9
11

45
55

17
15

53,1
46,9

0,147

4
8
0

33,3
66,7
0

8
11
1

40
55
5

12
19
1

37,5
59,4
3,13

0,261

11
1
0

91,7
8,3
0

9
9
2

45
45
10

20
10
2

62.5
31,3
6,2

0,03

11
1
0

91,7
8,3
0

10
10
0

50
50
0

21
11
0

65,6
34,4
0

0,016

N=12
1
11

%
8,3
91,7

N=20
3
17

%
15
85

12
0
0
0

100
0
0
0

14
1
2
3

4
8

33,3
66,7

8
4

Ibu yang mengikuti kelas ibu hamil sebanyak 12 ibu (37,5%), sedangkan
ibu yang tidak ikut kelas ibu hamil sebanyak 20 ibu (62,5%). Usia tidak
berpengaruh terhadap keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil(p=0,141). Pekerjaan

11

ibu berpengaruh terhadap keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil (p=0,043). Ibu
rumah tangga cenderung mengikuti kelas ibu hamil dari pada ibu yang bekerja.
Pendidikan tidak berpengaruh terhadap keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil
(p=0,297).
Penghasilan keluarga tidak berpengaruh terhadap keikutsertaan ibu di
kelas ibu hami (p=0,147). Paritas tidak berpengaruh terhadap keikutsertaan ibu di
kelas ibu hamil (p=0,261). Kelas ibu hamil tidak berpengaruh terhadap pengambil
keputusan (p=0,353). Keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil berpengaruh terhadap
pengetahuan ibu terkait IMD (p=0,030). Keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil
berpengaruh terhadap sikap ibu terkait IMD (p=0,016).
Tabel 2 Pengaruh Faktor Presdiposisi terhadap Praktik IMD
Tabel 2 Pengaruh Faktor Presdiposisi terhadap Praktik IMD di Puskesmas Sisir
KRITERIA IMD
NILAI
VARIABEL
JUMLAH
TIDAK
P
IMD SP
IMD TSP
IMD
USIA
N=7 % N=9 % N=16
% N=32 %
Berisiko (< 20 tahun dan
0
0
2
22,2
2
12,5
4
12,5 0,229
>35 tahun)
Tidak berisiko 20-35 tahun
7
100
7
77,8
14
87,5
28
87,5
PENDIDIKAN
Tinggi
5
71,4
5
55,6
11
68,8
21
65,6 0,179
Rendah
2
28,6
4
44,4
5
31,2
11
34,4
PARITAS
Primipara
0
0
5
55,6
7
43,8
12
37,5
0,011
Multipara
6
85,7
4
44,4
9
56,3
19
59,4
Grandemultipara
1
14,3
0
0
0
0
1
3,1
PENGETAHUAN
Tinggi
6
85,7
6
66,7
8
50
20
63
0,047
Sedang
1
14,3
3
33,3
6
37,5
10
31
Rendah
0
0
0
0
2
12,5
2
6,3

12

SIKAP
Baik
Cukup
Kurang

5
2
0

71,4
28,6
0

5
4
0

55,6
44,4
0

11
5
0

68,8
31,3
0

21
11
0

66
34
0

0,893

Faktor presdiposisi yang berpengaruh adalah variabel paritas berpengaruh


terhadap praktik IMD (p=0,011), ibu multipara cenderung menerapkan IMD dari
pada ibu primipara. Variabel pengetahuan berpengaruh terhadap praktik IMD
(p=0,047). Ibu yang mengikuti kelas ibu hamil hampir seluruhnya berpengetahuan
baik terkait IMD (85,7%). Sedangkan variabel usia, pendidikan, dan sikap tidak
berpengaruh terhadap praktik IMD.
2. Pengaruh Faktor Pemungkin terhadap Praktik IMD
Tabel 2 Pengaruh Faktor Pemungkin terhadap Praktik IMD
KRITERIA IMD
VARIABEL
JUMLAH
IMD
TIDAK
IMD SP
TSP
IMD
AKSES INFORMASI
N=
N=32 %
Kader
0
0
0
0
0
0
0
0
Petugas Kesehatan
7
100 5 55,6 7 43,8
19
59,4
Media masa
0
0
1 3,2
1
6,2
2
6,3
Tidak pernah mendapat
0
0
3 33,3 7 43,8
10
31,2
penyuluhan
PKK
0
0
0
0
1
6,2
1
3,1
PENOLONG
PERSALINAN
Dokter
0
0
6 66,7
9 56,2
15 46,8
Bidan
7
100
3 33,3
7 43,8
17 53,2
TEMPAT PERSALINAN
RS/RB
0
0
7 77,8 12 75
19 59,4
Puskesmas/Polindes
2 28,6 0
0
0
0
2 6,2
BPS
5 71,4 2 22,2
4 25
11 34,4
JENIS PERSALINAN
Spontan
7
100 9 100 10 62,5
25
78,1
SC
0
0
0
0
6 37,5
7
21,9

P Value

0,472

0,017

0,003

0,021

13

Faktor pemungkin yang berpengaruh terhadap praktik IMD adalah


variabel penolong persalinan (p=0,017). Ibu yang ditolong oleh bidan cenderung
melakukan IMD sesuai prosedur. Tempat bersalin berpengaruh terhadap praktik
IMD (p=0,003). Ibu yang bersalin di BRS cenderung difasilitasi melakukan IMD
sesuai prosedur (71,4%), sedangkan ibu yang bersalin di RS cenderung tidak IMD
(75%). Jenis persalinan berpengaruh terhadap praktik IMD (p=0,021). Persalinan
secara spontan cenderung dapat menerapkan IMD dari pada persalinan SC.

2. Pengaruh Faktor Pendorong terhadap Praktik IMD


Tabel 3. Pengaruh Faktor Pendorong terhadap Praktik IMD
KRITERIA IMD
VARIABEL
JUMLAH
IMD
TIDAK
IMD SP
TSP
IMD
Pengambil Keputusan
N=32 %
Ibu
2 28,6 2 22,2 2 12,5
6
18,8
Petugas Kesehatan
5 71,4 7 77,8 14 87,5
26
81,3

NILAI
P

0,137

KIE saat Hamil oleh Nakes


Mendapat penyuluhan
Tidak mendapat penyuluhan
KIE sebelum proses
persalinan
Mendapat
Tidak mendapat

7
0

100
0

5
4

55,6
44,4

7
9

43,8
56,3

19
13

59,4
40,6

0,010

6
1

85,7
14,3

7
2

77,8
22,2

1
15

6,3
93,7

14
18

43,7
56,3

0.00

Faktor pendorong yang berpengaruh terhadap praktik IMD adalah


pemberian KIE pada saat ibu hamil berpengaruh terhadap praktik IMD (p=0,010).
Ibu yang mendapatkan KIE saat hamil cenderung dapat melakukan IMD sesuai
prosedur dibandingkan ibu yang tidak mendapat KIE saat hamil. Pemberian KIE
sebelum proses persalinan berpengaruh terhadap praktik IMD (p=0,000). Ibu yang

14

mendapatkan KIE sebelum proses persalinan cenderung dapat melakukan IMD


sesuai prosedur dibandingkan ibu yang tidak mendapat KIE. Variabel yang tidak
berpengaruh adalah pengambil keputusan.
4. Pengaruh Keikutsertaan Kelas Ibu Hamil terhadap Praktik IMD
Tabel 4 Pengaruh Kelas Ibu Hamil terhadap Praktik Inisiasi Menyusu Dini
Praktik IMD

Kelas Ibu Hamil


Mengikuti KIH
Tidak ikut KIH
Jumlah

IMD sesuai
prosedur
N
%
5
71,4
2
28,6
7
21,9

IMD Tidak
sesuai prosedur
N
%
3
33,3
6
66,7
9
28,1

Tidak
IMD
N
%
4
25
12 75
16 50

Total
N
12
20
32

%
100
100
100

P
Valu
e
0,27

Berdasarkan tabel 4. ibu yang IMD sesuai prosedur memiliki riwayat


mengikuti kelas ibu hamil saat hamil anak terakhir sebanyak 5 ibu (71,4%). Ibu
yang IMD tidak sesuai prosedur mayoritas tidak mengikuti kelas ibu hamil saat
hamil anak terakhir sebanyak 6 ibu (66,7%, sedangkan ibu yang tidak IMD
mayoritas tidak mengikuti kelas ibu hamil saat hamil anak terakhir sebanyak 12
ibu (75%). Berdasarkan uji Exact Fisher didapatkan hasil point probability 0,27
dengan demikian hipotesis 0 diterima, artinya tidak terdapat perbedaan yang
signifikan pada ibu yang mengikuti atau tidak mengikuti kelas ibu hamil saat
hamil anak terakhir dengan praktik Inisiasi Menyusu Dini.

15

5. Pengaruh Praktik IMD terhadap Lama Pemberian ASI

Pekerjaan
IRT
PNS
Karyawan Swasta
Pedagang
Pendidikan
Pendidikan Rendah
Pendidikan Tinggi
Paritas
Primipara
Multipara
Grandemultipara
Penghasilan
< Rp. 1.885.000
Rp. 1.885.000
Waktu pertama
Menyusui
< 1 jam
1-6 jam
7-23 jam
24-47 jam
>47 jam
KRITERIA IMD
IMD SP
IMD TSP
Tidak IMD
Lama Pemberian ASI

Lama Pemberian ASI


3 bulan 4-5 bulan 6 bulan
N
%
N
%
N
%
2
50
0
0
24 85,7
1
25
0
0
0
0
0
0
0
0
2
7,1
1
25
0
0
2
7,1
2
2

50
50

0
0

0
0

Jumlah
p value
N
%
26 81,2
1
3,1
0,029
2
6,3
3
9,4

9
19

32,1
67,9

11
21

34,4
65,6

0,321

1
2
1

25
50
25

0
0
0

0
0
0

11
17
0

39,3
60,7
0

12
19
1

37,5
59,4
3,1

0,165

1
3

25
75

0
0

0
0

16
12

57,1
42,9

17
15

53,1
46,9

0,092

P
Value

3
0
0
0
1

75
0
0
0
25

0
0
0
0
0

0
0
0
0
0

13
8
1
4
2

46,4
28,8
3,6
14,3
7,1

16
8
1
4
3

50
25
3,1
12,5
9,4

0,46

1
1
2

25
25
50
Min
3

0
0
0

0
0
0

6 21,4
8 28,6
14
50
Mean
5,5

7
9
16

Max
8

21,9
28,1
50
SD
1,414

0,248

Mayoritas responden yang menyusui lebih dari sama dengan 6 bulan


memiliki riwayat tidak menerapkan IMD saat persalinan anak terakhir (50%).
Rata-rata lama waktu pemberian ASI pada bayi responden adalah 5,5 bulan,
sedangkan waktu minimal pemberian ASI adalah 3 bulan, waktu maksimal

16

pemberian ASI pada bayi adalah selama 8 bulan dengan Standart deviasi sebesar
1,414. Berdasarkan uji exact fisher diperoleh point probability 0,248> alpha yang
artinya H0 diterima, sehingga tidak ada tidak ada perbedaan signifikan antara
responden yang melakukan IMD sesuai dengan prosedur, responden yang
melakukan IMD tidak sesuai dengan prosedur, dan responden yang tidak IMD
terhadap lama pemberian ASI pada bayi.
Variabel pekerjaan ibu berpengaruh terhadap lama pemberian ASI
(p=0,029). Ibu rumah tangga cenderung dapat menyusui bayi lebih lama
dibandingkan ibu yang bekerja. Sedangkan variabel pendidikan, paritas,
penghasilan dan waktu pertama kali menyusui tidak berpengaruh terhadap lama
pemberian ASI.

17

PEMBAHASAN
1. Implementasi Program Kelas Ibu Hamil Wilayah Kerja Puskesmas Sisir
Kota Batu
Hasil penelitian pada responden menjunjukkan bahwa 37,5% responden
mengikuti kelas ibu hamil saat hamil anak terakhir dan 62,5% responden tidak
mengikuti kelas ibu hamil saat hamil anak terakhir. Alasan responden tidak
mengikuti kelas ibu hamil mayoritas adalah tidak mengetahui adanya kegiatan
kelas ibu hamil sebanyak 10 orang (50% dari responden yang tidak mengikuti
kelas ibu hamil). Sejalan dengan teori Lawrence W. Green menganalisis perilaku
kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku salah satunya merupakan fungsi
dari adanya atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan
(accesebility of information). Sosialisasi merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan suatu program.
Sosialisasi yang kurang merata menyebabkan sebagian ibu masih belum
mengetahui adanya kegiatan kelas ibu hamil, atau mengetahui kegiatan kelas ibu
hamil akan tetapi tidak memahami dengan benar tujuan dan manfaat dari kegiatan
kelas ibu hamil sehingga dalam hal ini perlu dilakukan pendekatan antara petugas
kesehatan dengan para ibu hamil melalui komunikasi yang efektif, informatif,
edukatif, dan motivasi dari petugas kesehatan serta para kader.
Responden yang mengikuti kelas ibu hamil berada pada rentang usia tidak
berisiko sebanyak 11 orang (91,7%), sedangkan responden yang tidak ikut kelas
ibu hamil mayoritas juga pada rentang usia tidak berisiko sebanyak 17 orang
(85%). Berdasarkan penelitian diperoleh p value sebesar 0,141 yang artinya tidak

18

terdapat hubungan usia dengan keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil. Usia seorang
wanita pada saat hamil sebaiknya tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Umur
yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, berisiko tinggi untuk
melahirkan. Kesiapan seorang perempuan untuk hamil harus siap fisik, emosi,
psikologi, sosial dan ekonomi (Gunawan, 2010). Setiap bumil beresiko
mengalami komplikasi yang sangat tidak bisa diprediksi sehingga setiap bumil
baik yang mengikuti maupun tidak mengikuti kelas ibu hamil harus mempunyai
akses asuhan kehamilan dan persalinan yang berkualitas.
Responden yang mengikuti kelas ibu hamil saat hamil anak yang terakhir
secara keseluruhan (100%) mengatakan bahwa kegiatan kelas ibu hamil sangat
menarik. Fasilitator dalam menyampaikan materi menurut responden adalah
cukup jelas (58,3%), pernyataan ini didukung oleh hasil analisa pengetahuan
responden yang mengikuti kelas ibu hamil sebagian besar berpengetahuan baik
terkait IMD (34,4%). Berdasarkan uji Chi-Square didapatkan nilai Asimp.Sig
sebesar 0,030 yang artinya terdapat hubungan yang significan antara keikutsertaan
ibu di kelas ibu hamil dengan tingkat pengetahuan ibu tentang IMD. Pendidikan
dapat mempengaruhi seseorang dalam menerima informasi. Semakin tinggi
pendidikan maka akan semakin baik dalam menerima informasi . Pengetahuan
responden yang baik dapat pengaruhi oleh cukupnya informasi atau materi kelas
ibu hamil yang diberikan oleh bidan dalam kegiatan kelas ibu hamil yaitu
mayoritas responden (75% dari responden yang mengikuti KIH) medapatkan
materi tentang IMD sebanyak 2 kali atau lebih dengan menggunakan alat
bantu/media.

19

Responden yang mengikuti kelas ibu hamil secara keseluruhan (100%)


adalah ibu rumah tangga. Ada pengaruh pekerjaan ibu dengan keikutsertaan ibu di
kelas ibu hamil (p=0,043). Hal ini sejalan dengan Penelitian Rocha (2012) yang
mengemukakan bahwa semakin sibuk seorang ibu hamil dengan pekerjaan maka
kesempatan untuk mendapatkan pelayanan antenatal semakin kecil sehingga
peluang untuk memeriksakan kehamilannya akan cenderung menurun. Salah satu
alasan dari responden yang tidak mengikuti kegiatan kelas ibu hamil adalah
karena waktu pelaksanaan kegiatan kelas ibu hamil berada di jam kerja (25% dari
responden yang tidak mengikuti kelas ibu hamil) sehingga tidak memungkinkan
bagi responden untuk mengikuti kelas ibu hamil
Berdasarkan uji Exact Fisher didapatkan nilai signifikansi sebesar 0,297
artinya tidak ada hubungan antara pendidikan dengan keikutsertaan ibu di kelas
ibu hamil. Pendidikan berpengaruh terhadap cara berfikir dan pengambilan
keputusan dalam penggunaan jasa kesehatan. Semakin tinggi pendidikan maka
semakin baik pengetahuan tentang kesehatan (Rochayah, 2012). Ibu yang
memiliki tingkat pendidikan tinggi cenderung lebih terbuka wawasannya dan akan
lebih aktif untuk mencari informasi tentang kehamilannya melalui tenaga
kesehatan maupun dari berbagai media, misalnya internet, media cetak, dan lain
sebagainya

sehingga

ibu

berfikir

bisa

memperoleh

informasi

tentang

kehamilannya meskipun tidak mengikuti kelas ibu hamil.


Berdasarkan hasil penelitian tidak terdapat hubungan antara paritas dengan
keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil (p-0,261). Hal ini senada dengan penelitian
Vitriyana (2012) menunjukkan tidak ada hubungan antara paritas dengan

20

pemeriksaan ANC ibu hamil. Ibu hamil dengan paritas sedikit atau banyak samasama melakukan pemeriksaan ANC baik di kelas ibu hamil maupun di
dokter/bidan praktik swasta. Faktor paritas menjadi salah satu penyebab ibu tidak
mengikuti kelas ibu hamil yaitu 15% dari responden yang tidak mengikuti kelas
ibu hamil disebabkan karena tidak ada yang menjaga anak pada saat kegiatan
berlangsung.
Berdasarkan analisis deskriptif diketahui bahwa responden yang
berpenghasilan dibawah UMR mayoritas mengikuti kelas ibu hamil (66,7%),
sedangkan responden yang berpenghasilan diatas UMR mayoritas tidak mengikuti
kelas ibu hamil 55%. Berdasarkan hasil penelitian diketahui tidak terdapat
hubungan antara penghasilan keluarga dengan keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil
saat hamil anak terakhir (p=0,234). Hal ini disebabkan karena proporsi ibu dengan
status ekonomi rendah dan mengikuti kelas ibu hamil tidak berbeda jauh dengan
proporsi ibu dengan status ekonomi tinggi dan tidak mengikuti kelas ibu hamil.
Wilayah kerja Puskesmas Sisir sebagian besar keluarga bekerja sebagai petani
sehingga memiliki status ekonomi yang tidak menentu karena mengacu pada hasil
panen. Selain itu hal ini dipengaruhi karena sebagian besar responden yang tidak
mengikuti kelas ibu hamil memilih tempat pelayanan kehamilan (ANC) di dokter
dan bidan praktik swasta. Meskipun sebagian responden yang berpenghasilan
dibawah UMR tidak mengikuti kelas ibu hamil tetapi mereka tetap memeriksakan
kehamilan di pelayanan kesehatan swasta (dokter/bidan).

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Praktik IMD

21

a. Pengaruh Faktor Presdiposing terhadap Praktik IMD


Variabel usia menunjukkan responden yang melakukan IMD sesuai
prosedur keseluruhan pada kelompok usia tidak berisiko (100%), sedangkan
responden yang tidak melakukan IMD mayoritas berada pada rentang usia
tidak berisiko (87,5%). Berdasarkan uji statistik tidak ada pengaruh usia
dengan praktik IMD (p=0,229). Meskipun tidak terdapat pengaruh usia
terhadap praktik IMD namun responden dengan usia reproduktif cenderung
dapat menerapkan IMD sesuai dengan prosedur. Salah satunya disebabkan
karena pada usia reproduktif lebih kecil terjadi komplikasi pada saat
persalinan, meskipun komplikasi pada saat persalinan tidak selaku dapat
diprediksi sebelumnya.
Hasil penelitian ini tidak selajan dengan pendapat Notoatmodjo (2007)
bahwa usia ibu mempengaruhi bagaimana ibu mengambil keputusan dalam
pemeliharaan kesehatan dirinya, semakin bertambah usia maka pengalaman
dan pengetahuan semakin bertambah dan sumber informasi yang didapat
lebih baik. Pemahaman tentang pentingnya

melakukan IMD tidak

dipengaruhi oleh usia seseorang, tetapi bagaimana daya tangkap dan


pemahaman informasi yang diberikan. Dari hasil penelitian responden yang
tidak melakukan IMD adalah responden pada kelompok usia tidak berisiko
hal ini disebabkan karena faktor pengalaman, dimana ibu yang sudah pernah
memiliki pengalaman melahirkan sebelumnya cenderung akan melakukan
IMD di persalinannya

berikutnya selain itu jenis persalinan juga

mempengaruhi praktik IMD, dimana saat ini semakin banyak ibu yang

22

melahirkan secara sectio caesar sehingga sedikit lebih sulit untuk melakukan
IMD.
Tingkat pendidikan ibu dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 2,
yaitu tinggi dan rendah. Pada variabel pendidikan, mayoritas responden yang
tidak melakukan IMD mayoritas berpendidikan tinggi (68,8%). Berdasarkan uji
statistik pendidikan tidak berpengaruh terhadap praktik IMD (p=0,179).
TIngkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku
hidup sehat. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Nastiti (2012)
pendidikan ibu tidak berpengaruh terhadap praktik IMD. Hasil analisis yang
tidak menunjukkan pengaruh antara tingkat pendidikan dengan praktik inisiasi
menyusu dini bisa terjadi pendidikan bukan satu-satunya variabel yang
berhubungan dengan praktik inisiasi menyusu dini. Tingkat pendidikan ibu di
Wilayah Sisir hampir seragam yaitu SMP/MTS dan SMA, hanya sedikit yang
D3 dan S1, sehingga lamanya pendidikan untuk masyarakat di lokasi penelitian
tidak mempunyai pengaruh besar dengan praktik inisiasi menyusu dini.
Pendidikan hanyalah salah satu faktor yang diharapkan agar ibu yang
berpendidikan tinggi lebih mudah serta lebih mampu menyerap informasi
sehingga dapat merubah pengetahuan dan sikap seseorang.
Pada variabel paritas, mayoritas respondenden adalah multipara (59,4%).
Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh paritas ibu terhadap praktik IMD
(p=0,011). Penelitian Anies (2010) menunjukkan bahwa ada hubungan yang
bermakna antara paritas dengan inisiasi menyusu dini (IMD). Pengalaman dan
penelitian membuktikan bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan

23

lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan


(Notoatmodjo, 2007). Ibu multipara cenderung melakukan IMD sesuai dengan
prosedur, sedangkan ibu primipara cenderung tidak melakukan IMD atau
melakukan tidak sesuai prosedur. Ibu yang memiliki pengetahuan baik akan
menyikapi kehamilannya dengan baik. Ibu yang sudah pernah melahirkan atau
ibu yang sudah pernah melakukan IMD akan memiliki keinginan untuk
melakukan IMD di kehamilannya saat ini apabila sudah memiliki pengetahuan
yang baik terkait IMD baik melalui kelas ibu hamil maupun tenaga kesehatan
dimana ia melakukan pemeriksaan kehamilan.
Hampir seluruh responden yang mengikuti kelas ibu hamil cenderung
berpengetahuan baik. Berdasarkan penelitian terdapat pengaruh keikutsertaan
ibu di kelas ibu hamil dengan pengetahuan ibu (p=0,03). Mayoritas responden
yang memiliki pengetahuan yang baik terkait IMD (62,5%). Berdasarkan
penelitian

didapatkan nilai Aprrox. Sig 0,047 yang artinya ada hubungan

antara pengetahuan ibu dengan praktik Inisiasi Menyusu. Sejalan dengan teori
Lawrence Green (1980) bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor
yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat, dimana dalam
hal ini faktor predisposisi responden yaitu pengetahuan responden dalam
kategori baik, meskipun memiliki pengetahuan yang baik, seseorang tidak bisa
menerapkan IMD bila tidak didukung oleh faktor penolong persalinan
(pemungkin) dan kebijakan tempat persalinan (faktor penguat). Sehingga
dalam hal ini perlu kerjasama yang baik antara pelaksana program kelas ibu
hamil baik di sektor pemerintah maupun swasta dalam pemberian penyuluhan

24

terkait IMD, kepatuhan penolong persalinan dalam penerapan praktik IMD


serta tempat persalinan dalam memberikan lingkungan yang mendukung untuk
membantu ibu bersalin dalam menerapkan praktik IMD.
Berdasarkan penelitian didapatkan p value 0,016 yang berarti terdapat
pengaruh keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil terhadap sikap ibu terhadap
IMD. Ibu yang mengikuti kelas ibu hamil hampir seluruhnya memiliki sikap
yang baik (91,7%), sedangkan ibu yang tidak mengikuti kelas ibu hamil
cenderung memiliki sikap baik dan cukup dengan proporsi sama (50%) Akan
tetapi sikap ibu terhadap IMD tidak berpengaruh terhadap praktik IMD (p
value=0,893). Menurut Singgih (2010) minat dan sikap merupakan daya
penggerak dalam menentukan tingkahlaku seseorang, dimana sikap dapat
mengarahkan seseorang ke masa depan.
Menurut Allport (1954) dalam Maulana (2010) sikap merupakan reaksi
atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau
objek. Sikap belum tentu terwujud dalam bentuk tindakan, sebab untuk
mewujudkan tindakan perlu faktor lain, yaitu kesiapan mental ibu dan
dukungan fasilitas atau sarana dan prasarana sebagai mediator agar sikap dapat
meningkat menjadi tindakan. Dalam proses inisiasi menyusui dini dibutuhkan
kesiapan mental ibu. Ibu tidak boleh merasa risih ketika bayi diletakkan di atas
tubuhnya. Saat inilah, dukungan dari keluarga, terutama suami, sangat
dibutuhkan oleh ibu yang akan melakukan inisiasi menyusui dini usai
melahirkan (Prasetyono, 2005). Sehingga dalam hal ini kesiapan ibu hamil
dalam menghadapi kelahiran si kecil dan kesiapan menghadapi peran baru

25

menjadi seorang ibu sangat dibutuhkan sehingga sikap ibu yang positif terkait
IMD dapat merubah perilaku ibu dalam menerapkan IMD saat persalinan.
b. Pengaruh Faktor Enabling terhadap Praktik IMD
Hasil penelitian menunjukkan ketersediaan informasi tidak berpengaruh
terhadap praktik IMD ibu saat persalinan (p=0,472). Sejalan dengan penelitian
Rochayah (2012) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara akses
informasi dengan pemilihan penolong persalinan. Informasi mengenai Inisiasi
Menyusu Dini dapat di peroleh ibu hamil melalui tenaga kesehatan (praktik
swasta), media masa, dan kelas ibu hamil, kelas ibu hamil merupakan tempat
ibu hamil berdiskusi, curah pendapat, memaparkan pengalaman selama
persalinan apakah melakukan IMD atau tidak. Akses informasi merupakan
sarana bagi ibu dalam memudahkan mererima informasi yang dapat
meningkatkan pengetahuan dan merubah sikap ibu, akan tetapi belum tentu
dapat merubah perilaku ibu dalam hal ini adalah praktik IMD. Tenaga
kesehatan berperan memberikan penyuluhan terkait IMD kepada ibu baik saat
hamil maupun saat inpartu/ proses persalian, namun pengambilan keputusan
untuk melakukan IMD tetap ditentukan oleh ibu, dan didukung oleh penolong
persalinan yang memfasilitasi melakukan IMD atau tidak.
Variabel penolong persalinan berpengaruh terhadap

praktik inisiasi

menyusu dini dengan p-value 0,020 (p<0,05). Hasil penelitian ini sama dengan
penelitian Tri Y (2008) yang menyatakan bahwa ada hubungan yang erat
antara penolong persalinan dengan pelaksanaan inisiasi menyusu dini.

26

Berdasarkan informasi yang diberikan responden yang melakukan inisiasi


menyusu dini terlihat bahwa kesediaan mereka melakukan inisiasi menyusu
dini ditentukan oleh kepercayaan mereka terhadap penolong persalinan.
Menurut Raharjo (2009), penolong persalinan merupakan kunci utama
keberhasilan pemberian ASI satu jam pertama setelah melahirkan. Karena
dalam waktu tersebut peran penolong persalinan masih sangat dominan.
Meskipun ibu telah mendapatkan penyuluhan tentang IMD pada saat
hamil dan memiliki pengetahuan yang baik terkait IMD, apabila pada saat
bersalin tidak difasilitasi IMD oleh tenaga kesehatan maka praktik IMD pun
tidak akan terjadi, dan sebaliknya meskipun ibu tidak pernah mendapatkan
penyuluhan terkait IMD pada saat hamil atau tidak mendapatkan penyuluhan
IMD sebelum proses persalinan apabila penolong persalinan memfasilitasi
IMD maka ibu akan dapat menerapkan IMD. Hal ini menunjukkan bahwa
terlaksana atau tidaknya IMD sangat dipengaruhi oleh peran petugas kesehatan,
dalam hal ini dokter atau bidan yang menolong persalinan.
Kebijakan tempat persalinan pun berperan penting dalam pelaksanaan
praktik IMD, dimana tempat persalinan yang menerapkan kebijakan IMD
cenderung menekankan petugas kesehatan dalam pelaksanaan IMD. Karena
dalam pelaksanaannya dibutuhkan kesadaran bidan untuk mengedukasi ibu
yang akan bersalin dan keluarganya serta memfasilitasi ibu untuk melakukan
IMD segera setelah melahirkan nantinya.

27

c. Pengaruh Faktor Reinforcing terhadap Praktik IMD


Variabel pengambilan keputusan menunjukkan mayoritas responden
(81,3%) dalam melakukan

IMD dilakukan oleh petugas kesehatan.

Berdasarkan uji Exact Fisher diketahui bahwa tidak ada hubungan antara
pengambil keputusan dengan praktik IMD (p=0,137). Hal ini berlawanan
dengan penelitian Kartini (2011) bahwa ada hubungan yang signifikan antara
pengambil keputusan (ibu sendiri) dengan pemilihan penolong persalinan. Ibu
terutama

dengan

pendidikan

rendah,

tingkat

kemandiriannya

dalam

pengambilan keputusan cenderung rendah.


Pengambilan keputusan pada umumnya masih didasarkan pada budaya
berunding atau mempercayakan penuh kepada tenaga kesehatan. Ibu bersalin
cenderung percaya kepada petugas kesehatan yang menolongnya, meskipun
secara pengetahuan tentang IMD sudah baik tetapi responden tidak meminta
untuk IMD pada petugas kesehatan yang tidak melakukan IMD. Sehingga akan
terlaksana atau tidaknya praktik IMD sangat bergantung pada peran tenaga
kesehatan yang membantu menolong persalinan. Dalam hal ini dibutuhkan
advokasi dari tenaga kesehatan kepada para ibu hamil untuk dapat mengambil
keputusan dalam penerapan IMD saat persalinan, sehingga ibu mampu
memutuskan dan meminta untuk melaksanakan IMD pada tenaga kesehatan
yang tidak memfasilitasi IMD.
Pada variabel KIE pada ibu saat hamil diketahui bahwa terdapat perbedaan
proporsi yang signifikan pada responden yang mendapat penyuluhan

dan

28

responden yang tidak mendapat penyuluhan saat hamil dengan praktik Inisiasi
Menyusu Dini (p=0,010). Penyuluhan yang didapatkan ibu saat hamil
berdampak positif pada pengetahuan ibu, dan berpengaruh pada praktik IMD
pada saat ibu bersalin. Hal ini menunjukkan bahwa ibu yang mendapatkan
edukasi atau informasi tentang IMD lebih banyak melaksanakan IMD daripada
ibu yang tidak pernah mendapatkan edukasi atau informasi tentang IMD. Oleh
karena itu peran petugas kesehatan sangat dibutuhkan untuk memberikan
informasi tentang IMD tertutama pada ibu yang datang memeriksakan
kandungan agar termotivasi untuk melakukan IMD dan tentunya tak lepas dari
dukunganpetugas kesehatan. Hal ini sejalan dengan teori Lawrence Green
(1980) menyatakan bahwa factor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud
dalam perilaku petugas kesehatan atau petugas lainnya yang merupakan
kelompok referensi dari perilaku ibu, yaitu dalam hal ini ibu mau
melaksanakan IMD karena sudah mempunyai pengetahuan tentang IMD
sebelumnya..
Dari analisis korelasi KIE sebelum proses persalinan terhadap praktik
IMD diperoleh hasil p value 0,000 berarti ada hubungan yang bermakna antara
KIE sebelum persalinan dengan praktik IMD. Hal ini sejalan dengan penelitian
Kartini (2010) tentang hubungan Kelas Ibu Hamil dengan Pemilihan Penolong
Persalinan, dimana dinyatakan ada hubungan yang bermakna antara kelas ibu
hamil dengan pemilihan penolong persalinan. Banyak faktor yang menghambat
pelaksanaan IMD. Yuliana (2010) mengatakan, selain faktor internal, seperti
pengetahuan, sikap, pengalaman, dan persepsi ibu, faktor eksternal seperti

29

fasilitas kesehatan, petugas penolong persalinan, serta keluarga, juga


merupakan faktor yang sangat berperan dalam praktik IMD. Penelitian
menunjukkan cukup banyak tenaga kesehatan yang melakukan IMD tidak
sesuai dengan prosedur (28,1%) dan mayoritas petugas kesehatan tidak
menerapkan IMD pada ibu bersalin (50%). Salah satu penyumbang terbesar
tidak diterapkannya IMD adalah persalinan Sectio caesar (37,5%), petugas
tidak melakukan IMD, perdarahan pada ibu 18,7% serta asfiksia pada bayi
(12,5%).

d. Pengaruh Kelas Ibu Hamil terhadap Praktik IMD


Variabel Keikutsertaan Ibu di Kelas Ibu Hamil menunjukkan bahwa
Mayoritas responden yang mengikuti kelas ibu hamil 71,4% menerapkan IMD
sesuai prosedur, sedangkan ibu yang tidak ikut kelas ibu hamil mayoritas tidak
menerapkan IMD (75%). Keikutsertaan ibu di kelas ibu hamil tidak
berpengaruh terhadap praktik IMD (p=0,27). Baik ibu yang mengikuti maupun
tidak mengikuti kelas ibu hamil tidak berpengaruh terhadap baik-buruknya
praktik IMD saat persalinan. Dengan mengikuti kelas ibu hamil responden
lebih memahami manfaat dari kelas ibu hamil, apa sebaiknya yang harus
dilakukan dan dipersiapkan seorang ibu dalam menghadapi kehamilan,
persalinan, nifas dan merawat bayi baru lahir serta bagaimana menghadapi
komplikasi yang terjadi (Kemenkes, 2011).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan IMD. Menurut
Lawrence Green dalam Idris (2010) menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi

30

oleh 3 faktor yaitu faktor presdiposisi seperti demografi, pengetahuan, sikap,


faktor pemungkin seperti sarana dan prasarana yang mendukung terjadinya
perilaku serta faktor pendorong yang meliputi dukungan dari orang sekitar
seperti tenaga kesehatan dan keluarga, adanya kebijakan merupakan faktor
yang sangat berperan dalam praktik IMD. Dalam hal ini pelaksanaan kelas
ibu hamil di Wilayah Sisir tidak berpengaruh secara langsung terhadap
praktik IMD. Keikutsertaan ibu di Kelas Ibu Hamil dapat peningkatkan
pengetahuan dan sikap ibu terkait IMD. Seperti yang kita ketahui bahwa
pengetahuan akan mempengaruhi bagaimana sikap seseorang yang nantinya
juga akan berpengaruh kepada bagaimana seseorang tersebut akan bertindak.
Pada penelitian ini sikap ibu tentang IMD tidak berpengaruh terhadap
praktik IMD karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti paritas. Ibu
multipara/ grandemultipara sudah memiliki pengalaman bersalin sebelumnya,
sehingga apabila pada persalinan sebelumnya ia belum/telah melaksanakan
IMD, ia akan lebih termotivasi untuk melakukan IMD pada persalinan
berikutnya karena sudah memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih
terkait IMD. Disamping itu pemberian penyuluhan IMD kepada ibu yang
akan bersalin juga berpengaruh terhadap praktik IMD. Dalam hal ini peran
tenaga kesehatan sebagai penolong persalinan sangat dominan.
Berdasarkan penelitian, masih cukup banyak responden yang tidak
mendapatkan penyuluhan IMD baik pada saat hamil (43,8%) maupun pada
saat akan bersalin (56,3%). Responden yang tidak mendapatkan penyuluhan
IMD baik pada saat hamil maupun sebelum proses persalinan memiliki

31

kecenderungan tidak menerapkan praktik IMD.

Secara statistik terdapat

pengaruh antara pemberian penyuluhan oleh tenaga kesehatan terkait IMD


pada ibu hamil terhadap praktik IMD (p=0,010). Penyuluhan IMD kepada ibu
hamil dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap ibu terkait IMD, sehingga
sebelum proses persalinan akan lebih mudah bagi tenaga kesehatan
memberikan penyuluhan ulang kepada ibu. Penyuluhan IMD kepada ibu
sebelum proses persalinan berpengaruh terhadap praktik IMD (p=0,000). Ibu
yang diberikan penyuluhan IMD saat inpartu cenderung menerapkan IMD
sesuai prosedur. Responden yang telah mendapatkan penyuluhan tentang
IMD di kelas ibu hamil ternyata belum bisa memutuskan untuk menerapkan
IMD saat proses bersalinan pada tenaga kesehatan yang tidak memfasilitasi
IMD.
Variabel penolong persalinan secara signifikan mempengaruhi praktik
IMD dengan p value 0,020. Responden yang bersalin ditolong oleh bidan
ternyata cenderung menerapkan IMD sesuai prosedur dibandingkan
responden yang bersalin dengan dokter. Hal ini disebabkan karena proses
persalinan oleh bidan cenderung secara spontan sehingga lebih memudahkan
bidan untuk menerapkan IMD. Sedangkan dokter memiliki kecenderungan
menolong persalinan patologis atau persalinan secara sectio caesar. Menurut
Roesli (2008) Inisiasi Menyusui Dini dengan persalinan Sectio Caesar tetap
dapat dilakukan dengan dukungan dan bantuan dari tenaga kesehatan.
Melakukan IMD pada ibu bersalin secara Sectio Caesar memang lebih sulit
dilakukan dibandingkan ibu bersalin spontan, tetapi tetap bisa dilakukan bila

32

didukung oleh tenaga kesehatan yaitu dokter yang pro IMD, dokter anastesi
yang mendukung dan didampingi 1 perawat yang membantu memegang bayi
serta ditunjang dengan fasilitas kamar operasi yang memungkinan untuk
IMD.
Setelah dipastikan tidak ada komplikasi pada bayi, maka tenaga
kesehatan yang mendampingi persalinan dapat membantu memposisikan bayi
untuk menyusu dini. Hal ini yang menyebabkan proses persalinan dengan
dokter cenderung tidak dilakukan sesuai prosedur karena sulit bagi bayi untuk
merangkak diatas dada ibu untuk mencari puting sendiri, sehingga pada
umumnya bayi dipegang oleh tenaga kesehatan yang mendampingi proses
sectio caesar.

a.

Pengaruh Praktik IMD terhadap Lama Pemberian ASI


Keberhasilan menyusu dini banyak dipengaruhi oleh sikap dan perilaku

petugas kesehatan (dokter,bidan,perawat) yang pertama kali membantu ibu selama


proses persalinan. Selain itu keberhasilan ibu menyusui juga harus didukung oleh
suami, keluarga, petugas kesehatan dan masyarakat. Oleh karena itu sikap dan
perilaku petugas kesehatan khususnya bidan yang didasari pengetahuan tentang
IMD, ASI eksklusif sebelumnya, besar pengaruhnya terhadap keberhasilan praktik
IMD dan ASI eksklusif itu sendiri (Yustina, 2012).
Berdasarkan penelitian pada variabel praktik IMD, tidak ada pengaruh
praktik IMD terhadap lama pemberian ASI. Rata-rata lama waktu pemberian ASI

33

pada bayi responden adalah 5,5 bulan, sedangkan waktu minimal pemberian ASI
adalah 3 bulan, waktu maksimal pemberian ASI pada bayi adalah selama 8 bulan
dengan Standart deviasi sebesar 1,414. Berdasarkan uji exact fisher diperoleh
point probability 0,219, artinya tidak ada tidak ada perbedaan signifikan antara
responden yang melakukan IMD sesuai dengan prosedur, responden yang
melakukan IMD tidak sesuai dengan prosedur, dan responden yang tidak IMD
terhadap lama pemberian ASI pada bayi.
Tanpa membedakan jenis persalinan, pervaginam atau sectio caesarea,
secara umum pemberian ASI dipengaruhi beberapa faktor, antara lain dukungan
tenaga kesehatan, keadaan ibu (fisik dan psikologis), perubahan sosial budaya,
tata laksana di rumah sakit, kesehatan bayi, pengetahuan ibu, sikap ibu,
lingkungan keluarga, peraturan pemasaran pengganti ASI, dan paritas. Ditengarai
bahwa 24 jam setelah ibu melahirkan adalah saat yang sangat penting untuk
inisiasi pemberian ASI dan akan menentukan keberhasilan menyusui selanjutnya
(Depkes RI, 2009).
Tidak berpengaruhnya praktik IMD dengan lama pemberian ASI
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti kebudayaan menyusui sampai bayi
berusia 2 tahun yang sangat kental di masyarakat Sisir Kota Batu. Hal ini
didukung dengan faktor pekerjaan yang mayoritas responden adalah Ibu Rumah
Tangga (46,9%), sehingga lebih leluasa untuk memberian ASI on demand. Secara
statistik terdapat hubungan antara pekerjaan ibu dengan lama pemberian ASI (sig.
0,029). Senada dengan hasil penelitian Malitasari (2013), yang menyatakan ada
hubungan yang signifikan antara status pekerjaan dengan pemberian ASI

34

eksklusif. Penelitian Yuliani (2009), yang menyatakan ada hubungan antara status
pekerjaan ibu dengan kegagalan pemberian ASI eksklusif. Sehingga dapat
dikatakan bahwa ibu yang tidak bekerja akan semakin tinggi kemungkinan untuk
memberikan ASI dalam waktu yang lebih lama. Jadi secara tidak langsung status
pekerjaan ibu juga mempengaruhi lama pemberian ASI kepada bayi.
Dari hasil penelitian menunjukkan sebagian responden yang bekerja
menghentikan pemberian ASI sampai usia kurang dari 3 bulan dengan alasan
bekerja sehingga harus dibantu susu formula yang menyebabkan semakin
menurunnya produksi ASI. Padahal sebenarnya bekerja bukanlah alasan untuk
menghentikan pemberian ASI pada bayi. Dengan kelengkapan memompa ASI
serta dukungan dari keluarga dan lingkungan kerja, ibu yang bekerja tetap dapat
memberikan ASI pada bayi minimal 6 bulan.
Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat hubungan antara pendidikan
ibu dengan pemberian ASI (p=0,321). Hal ini sejalan dengan penelitian Isnaini
(2011) di Makasar bahwa tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara
pendidikan ibu menyusui dengan pemberian ASI eksklusif. Tingkat pendidikan
merupakan salah satu aspek sosial yang umumnya berpengaruh pada tingkat
pendapatan

keluarga

sebagai

faktor

ekonomi.

Pendidikan

juga

dapat

mempengaruhi sikap dan tingkah laku manusia. Ibu yang memiliki pendidikan
tinggi cenderung memberikan ASI lebih dari 6 bulan kepada bayinya, ibu yang
berpendidikan rendah mayoritas memberikan ASI lebih dari 6 bulan kepada
bayinya. Hal ini dipengaruhi oleh faktor pekerjaan ibu yaitu mayoritas responden

35

adalah ibu rumah tangga sehingga memungkinkan ibu untuk memberikan ASI on
demand kepada bayinya.
Variabel paritas tidak berpengaruh terhadap lama pemberian ASI. Baik ibu
multipara maupun primipara memiliki kecenderungan memberikan ASI lebih dari
6 bulan kepada bayinya. Hal ini menunjukkan bahwa para ibu memiliki motivasi
yang baik dalam memberikan ASI kepada bayinya. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Zul Sathri (2010) yang menyatakan bahwa jumlah
anak tidak berpengaruh terhadap lamanya menyusui. Secara teoritis paritas
diperkirakan ada kaitannya dengan arah pencarian informasi tentang pengetahuan
ibu nifas/menyusui dalam memberikan ASI eksklusif. Hal ini dihubungkan
dengan pengaruh pengalaman sendiri maupun orang lain terhadap pengetahuan
yang dapat mempengaruhi prilaku saat ini atau kemudian.
Menyusui segera (immediate breastfeeding) yaitu menyusui dalam waktu
<30 menit setelah persalinan merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan
untuk mencegah diberikannya makanan/minuman pralakteal tersebut. Interaksi
segera antara ibu dan bayi dalam beberapa menit setelah kelahiran berhubungan
erat dengan kesuksesan menyusui (Fikawati, 2011). Berdasarkan penelitian baik
ibu yang menyusui <1 jam setelah persalinan maupun ibu yang baru menyusui
setelah >47 jam setelah persalinan sama-sama memiliki kecenderungan
memberikan ASI kepada bayi sampai 6 bulan. Sehingga tidak ada pengaruh
waktu pertama menyusui dengan lama pemberian ASI (p value = 0,46). Banyak
faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemberian ASi yang meliputi motivasi

36

ibu, status gizi ibu, psikologis ibu, kuantitas pemberian ASI dan termasuk
dukungan keluarga.

37

SIMPULAN DAN SARAN


1. Simpulan
a. Pada faktor presdiposisi: faktor paritas mempengaruhi praktik IMD,
pengetahuan mempengaruhi praktik IMD. Faktor yang tidak berpengaruh
terhadap praktik IMD adalah usia, pendidikan dan sikap.
b. Faktor pemungkin, variabel penolong persalinan berpengaruh terhadap
praktik IMD, variabel tempat persalinan berpengaruh terhadap praktik.
Variabel yang tidak mempengaruhi praktik IMD adalah akses informasi.
c. Faktor Pendorong, variabel pemberian KIE saat ibu hamil mempengaruhi
praktik IMD, pemberian KIE dalam KIE IMD sebelum proses persalinan
mempengaruhi praktik IMD. Variabel yang tidak berpengaruh terhadap
praktik IMD adalah pengambil keputusan.
d. Variabel keikutsertaan Ibu di Kelas Ibu Hamil tidak berpengaruh terhadap
praktik IMD, akan tetapi kelas ibu hamil berpengaruh terhadap
pengetahuan ibu yang dapat mempengaruhi pelaksanaan IMD.
e. Variabel praktik IMD tidak berpengaruh terhadap lama pemberian ASI,
variabel pekerjaan ibu (Ibu Rumah Tangga) berpengaruh terhadap lama
pemberian ASI.
2. Saran
a. Advokasi Kelas Ibu Hamil kepada IBI tingkat cabang untuk meningkatkan
dukungan dalam pelaksanaan Kelas Ibu Hamil dan Inisiasi Menyusu Dini.
Bidan Dianggap paling berpengaruh dalam proses IMD karena bidan

38

merupakan salah satu partner ibu dalam melaksanakan persalinan baik di


tempat praktik swasta maupun di rumah sakit sehingga perlu mengadakan
advokasi untuk bidan agar mereka mau melaksanakan IMD sesuai dengan
prosedur dan memberikan informasi dan edukasi kepada ibu hamil ataupun
kepada keluarganya
b. Dinas kesehatan dapat memperkuat adanya kebijakan implementasi IMD
untuk setiap stakeholder di bawahnya seperti puskesmas dan rumah
sakit/rumah bersalin.
c. Pihak Puskesmas dapat meningkatkan peran kader dalam promosi kegiatan
kelas ibu hamil sehingga semua ibu hamil dapat mengetahui dan mengikuti
kegiatan kelas ibu hamil
d. Mengikutsertakan suami atau keluarga minimal 1 kali dalam kegiatan kelas
ibu hamil terutama materi terkait IMD dan ASI Eksklusit/Laktasi sehingga
pihak keluarga dapat memotivasi ibu dalam pelaksanaan IMD dan proses
laktasi.
e. Penolong persalinan diharapkan memberikan KIE terkait IMD baik kepada
ibu hamil maupun ibu yang akan bersalin sehingga dapat memotivasi ibu
untuk melaksanakan praktik IMD serta memfasilitasi ibu bersalin untuk
menerapkan IMD.
f. Tempat persalinan diharapkan dapat memberikan informasi disetiap tempat
dalam bentuk majalah dinding/ poster dalam mengajak ibu agar dapat
melaksanakan IMD dan diharapkan dapat menciptakan suasana yang
mendukung dalam melakukan praktik IMD kepada ibu bersalin.

39

g. Diharapkan ada penelitian lanjut tentang pengaruh pelaksanaan Kelas Ibu


Hamil terhadap Peningkatan ASI Eksklusif dengan menggunakan desain
kohort prospektif.

40

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Linda. 2007. Faktor-faktor yang berhubungan dengan Pemberian ASI


Segera pada Bayi Baru Lahir di RSUD Kabupaten Cianjur. Tesis. Depok:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia
Anies, A. 2010. Inisiasi Menyusu Dini dan Faktor Determinan pada Anak Balita
di Indonesia: Analisis Data Sekunder SDKI Tahun 2007. Diakses dari:<
ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/pgm/article/view/1351/2988>
(Sitasi tanggal 19 Februari 2015)
Aprilia, Y. 2010. Hipnostetri, Rileks, Nyaman dan Aman saat Hamil dan
Melahirkan. Jakarta. Gagas Media
Badan Pusat Statistik. 2014. Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Harapan
Hidup (AHH) Penduduk Jawa Timur Menurut Kabupaten /Kota, Tahun
20102012.Diakses
dari:<http://jatim.bps.go.id/index.php?
hal=tabel&id=68> ( Sitasi 19 Desember 2014)
Citra, K. 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Need Dan Demand Ibu Hamil
Terhadap Pelaksanaan Inisiasi Menyusu Dini (Imd) Di Rsia Pertiwi Kota
Makasar. Universitas Hasanudin Program Studi Ilmu Gizi Fakultas
Kesehatan
Masyarakat.
Diakses
dari<http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/11299/FEB
RIANA%20SALAMBA%20K21110254.pdf?sequence=1> (Sitasi 30 Januari
2015)
Depkes RI. 2004. . Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 450/Menkes/SK/IV/2004
Tentang Pemberian ASI Secara Eksklusif Pada Bayi di Indonesia. Jakarta.
Depkes RI

Depkes RI. 2007. Pedoman Rumah Sakit Obstetri Neonatal Emergensi


Komprehensif (PONEK) 24 Jam. Jakarta. Depkes RI

Depkes RI. 2009. Pedoman Fasilitator Kelas Ibu Hamil. Jakarta. Depkes RI

Depkes
RI.
2013.
Profil
Kesehatan
Indonesia
2013.
Diakses
dari:<http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/profilkesehatan-indonesia/profil-kesehatan-indonesia-2013.pdf>
(Sitasi
15
Oktober 2014)

41

Dyah.P. 2012. Pengaruh Kelas Ibu Hamil terhadap Pengetahuan dan Sikap Ibu
dalam Kehamilan dan Persalinan di Wilayah Puskesmas Gurah Kabupaten
Kediri., Surakarta. Tesis, Universitas Sebelas Maret. Diakses dari:<
http://pasca.uns.ac.id/?p=2812> (Sitasi 12 Januari 2015)
Edmond KM, Zandoh C. 2006. Delayed Breastfeeding Initiation Increases Risk of
Neonatal Mortality. Pediatrics. 117(3):e380-6
Efendi, F. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas, Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika

Fikawati. 2003. Hubungan Antara Menyusui Segera (Immediate Breastfeeding)


dan Pemberian ASI eksklusif Sampai Dengan Empat Bulan. J Kedokter
Trisakti. Mei-Agustus, Vol.22 No.2
Fikawati, S. dan Syafiq, A. 2010. Kajian Implementasi Dan Kebijakan Air Susu
Ibu Eksklusif Dan Inisiasi Menyusu Dini Di Indonesia. Makara Kesehatan
vol. 14, no. 1
Fishbein dan Ajzen, 1975. Belief, Attitude, Intentions and Behavior: an
introduction to theory and research. California: Addison-WesleyPublishing
Company, Inc
Hastuti. 2012. Efektifitas Pelatihan Kelas Ibu Hamil Untuk Meningkatkan
Pengetahuan, Sikap, Ketrampilan Dan Kunjungan Antenatal Care. Jakarta.
Suara Forikes Volume II Nomor 2
JNPK-KR. 2007. Pelatihan Asuhan Persalinan Normal dan Lampiran Inisiasi
Menyusu Dini. Jakarta : JNPK-KR
Kemenkes. 2012. Peraturan Pemerintah RI No.33 tahun 2012 tentang Pemberian
Air Susu Ibu Eksklusif. Jakarta. Kemenkes RI

Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasiitas Kesehatan
Dasar dan Rujukan. Jakarta. Kemenkes RI

Maulana, D.J. 2010. Promosi Kesehatan. Jakarta. Penerbit Buku EGC

42

Namora. 2010. Dukungan Sosial pada Pasien Kanker. Medan. USU Press

Notoatmodjo S., 2010. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta.
Jakarta

Ogulensi, T. 2009. Maternal Socio Demograpic Factors Influecing the Initiation


and Exclusive of Breastfeeding in Nigerian Semi Urban Setting. Matern
Child Health Journal 2010
Purnamawati. 2008. Q&A Smart Parents for Healthy Children. Jakarta. Gramedia
Rahardjo, S. 2006. Faktor-faktor Yang Berhubungan dengan pemberian ASI Satu
Jam Pertama Setelah Melahirkan. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 1
Rahmawati, Elsa. 2015. Analisis Pengaruh Implementasi Kelas Ibu Hamil
terhadap Praktik Inisiasi Menyusu Dini dan Durasi Pemberian ASI pada
Bayi 6-8 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Sisir Kota Batu. Tesis.
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Rocha, M. 2012.Faktor yang Berhubungan dengan Keteraturan Kunjungan
Antenatal di Wilayah Kerja Puskesmas Sudiang Raya Makassar Tahun
2011. Skripsi tidak diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin
Rochayah. 2012. Hubungan Kelas Ibu Hamil dengan Pemilihan Penolong
Persalinan di Wilayah Puskesmas Bruno Kabupaten Purworejo Tengah.
Skripsi. Universitas Indonesia
Roesli, U. 2008. Inisiasi Menyusu Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta: Kompas
Media Nusantara
Rosmini, M. 2001. Determinan pemanfaatan pelayanan persalinan oleh tenaga
kesehatan di kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang. Universitas
Indonesia. Tesis
Singgih. D. 2010. Psikologi Perawatan. Jakarta. BPK Gunung Mulia
Soetjiningsih. 1997. Seri Gizi Klinik ASI Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan.
Jakarta. EGC

43

Suradi. 2001. Spesifitas Biologis Air Susu Ibu. Sari Pediatri Vol. 3. Diakses dari <
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/3-3-5.pdf> (Sitasi 15 April 2015)
Swarjana, 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta. ANDI OFFSET
Tri Y. 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemberian ASI pada Satu
Jam Pertama Setelah Melahirkan (Studi Kualitatif di RSBN, Kabupaten
Boyolali). Skripsi. Universitas Diponegoro
World Health Organization. 2010. Early Initiation of Breastfeeding: the Key to
Survival and Beyond

Widya. 2012. Pengaruh Penyuluhan Kelas Prenatal Plus Terhadap Pengetahuan


Dan Sikap Ibu Hamil Di Wilayah Kerja Puskesmas Mamboro Kecamatan
Palu
Utara.
Tesis.
Universitas
Hasanudin.
Diakses
dari:<http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/533c77187d305944329066432e78
534a.pdf> (Sitasi 28 November 2014)
William, R. 2010. Ilmu Kebidanan: Patologi & Fisiologi Persalinan. Yogyakarta.
Penerbit ANDI
Yarina. 2012. Studi Kualitatif terhadap Rendahnya Cakupan ASI Eksklusif di
Wilayah Kerja Puskesmas Kereng Pangi Provinsi Kalimantan Tengah.
Jakarta. Universitas Indonesia. Diakses dari:http://lib.ui.ac.id/file?
file=digital/20318215-S-Yarina%20Kriselly.pdf (Sitasi 8 Desember 2014)

Yulianti. 2008. Studi kualitatif mengenai gambaran niat ibu hamil dalam
penerapan proses inisiasi menyusu dini di Rumah Sakit Islam Jakarta tahun
2008.
Diakses
dari:http://lib.ui.ac.id/opac/themes/libri2/detail.jsp?
id=122571&lokasi=lokal (Sitasi 10 Januari 2015).

Yuliarti, N. 2010. Keajaiban ASI, Makanan Terbaik untuk Kesehatan,


Kecerdasan dan Kelincahan si Kecil. Yogyakarta. Penerbit CV Andi

Yustina, V. 2012. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pelaksanaan Inisiasi


Menyusu Dini (IMD) oleh Bidan di 12 Puskesmas Agam Timur Wilayah

44

Kerja Dinas Kesehatan Agam Provinsi Sumatera Barat Tahun 2012.


Universitas Indonesia. Skripsi

Anda mungkin juga menyukai