Anda di halaman 1dari 26

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Penyebab morbiditas dan mortalitas terbesar saat ini salah satunya adalah gagal
jantung. Di Asia, terjadi perkembangan ekonomi secara cepat, kemajuan indistri,
urbanisasi dan perubahan gaya hidup, peningkatan konsumsi kalori, lemak dan garam,
peningkatan konsumsi rokok dan penurunan aktifitas. Akibatnya terjadi peningkatan
obesitas, hipertensi, diabetes mellitus dan penyakit vaskular yang berujung pada
peningkatan insiden gagal jantung.1
Gagal jantung merupakan suatu keadaan dimana jantung sebagai pompa tidak
mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting
dari definisi ini adalah pertama, defenisi gagal adalah relatif terhadap kebutuhan metabolik
tubuh. Kedua, penekanan arti gagal di tujukan pada fungsi pompa jantung secara
keseluruhan.1
Prevalensi keseluruhan gagal jantung diperkirakan meningkat, sebagian karena
terapi gangguan jantung yang ada saat ini, seperti infark miokard, penyakit jantung katup
dan aritmia, membantu pasien untuk bertahan lebih lama. Sedikit sekali yang diketahui
tentang prevalensi atau resiko terkena gagal jantung pada negara berkembang karena
kurangnya penelitian berbasis populasi pada negara-negara tersebut. 2 Prevalensi ini
mengikuti pola eksponensial, meningkat seiring dengan umur, dan mengenai 6 10 persen
orang diatas 65 tahun. Meskipun insiden relatif gagal jantung lebih rendah pada penderita
wanita dibanding pria, penderita wanita mencakup setidaknya setengah kasus gagal
jantung, karena angka harapan hidup mereka yang lebih panjang.2
Gagal jantung adalah masalah dunia yang bertambah banyak dengan cepat,
mengenai lebih dari 20 juta orang.2 Setengah dari pasien yang terdiagnosis gagal jantung
masih mempunyai harapan untuk hidup selama 5 tahun namun sekitar 250.000 pasien
meninggal oleh sebab gagal jantung baik langsung maupun tidak langsung setiap tahunnya
dan angka tersebut telah meningkat 6 kali dalam 40 tahun terakhir. Risiko kematian dari

penyakit gagal jantung setiap tahunnya sebesar 5 - 10%, pada pasien dengan gejala ringan
akan meningkat hingga 30 40 % hingga berlanjutnya penyakit.3
Data dari Center for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2012, di
Amerika Serikat terdapat sekitar 5,7 juta penduduk yang menderita gagal jantung. 4 Dimana
55.000 kematian tiap tahunnya disebabkan oleh gagal jantung.5
Di Indonesia, menurut Data dan Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
menyebutkan bahwa penyakit jantung masih merupakan penyebab utama dari kematian
terbanyak pasien di rumah sakit Indonesia. Menurut data

di Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2006 di ruang rawat jalan dan inap didapatkan 3,23%
kasus gagal jantung dari total 11.711 pasien.3
Meskipun gagal jantung dulunya diperkirakan timbul terutama pada keadaan
penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri, tetapi kira-kira setengah dari pasien yang terkena
gagal jantung memiliki fraksi ejeksi yang normal atau (lebih dari 40-50 persen).
Akibatnya, pasien gagal jantung sekarang dikategorikan menjadi 2 group (1) gagal jantung
dengan penurunan fraksi ejeksi (dikenal sebagai gagal sistolik) atau (2) gagal jantung
dengan fraksi ejeksi tetap (dikenal sebagai gagal jantung diastolik ).2
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ilmiah ini ialah untuk memahami kasus dibagian
penyakit dalam khususnya kasus gagal jantung akut yang didapatkan pada kepaniteraan
klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Lubuk Basung.
1.3 Metode penulisan
Metode penulisan pada makalah ini ialah tinjauan pustaka, dimana penulis mencari
sumber pustaka dari berbagai literature textbook dan mempelajari kasus yang didapat pada
kepaniteraan klinik bagian Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Lubuk Basung.
.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Gagal Jantung
Gagal jantung atau Heart Failure merupakan suatu sindrom klinis kompleks yang
ditandai dengan sesak nafas dan fatik saat istirahat maupun beraktivitas, yang disebabkan oleh
ketidakmampuan jantung untuk memompa darah ke seluruh jaringan tubuh secara adekuat akibat
adanya gangguan struktural dan fungsional jantung.

Gagal jantung akut (GJA) adalah serangan yang cepat dari gejala dan tanda gagal
jantung sehingga membutuhkan terapi sesegera mungkin. GJA dapat berupa acute de novo
(serangan baru dari gagal jantung akut tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau
dekompensasi akut dari gagal jantung kronik (GJK).
2.2 Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh berbagamai macam penyebab, antara lain:
1
2

3
4
5
6
7
8
9
10
11

Dekompensasi pada GJK yang sudah ada


Sindrom koroner akut (SKA)
a Infark miokardial / angina pektoris tidak stabil dengan
iskemia yang bertambah luas dan disfungsi iskemik
b Komplikasi kronik infark miokard akut
c Infark ventrikel kanan
Krisis hipertensi
Aritmia akut
Regurgitasi valvular / endokarditis / ruptur korda tendinae,
perburukan regurgitasi katup yang sudah ada
Stenosis katup aorta berat
Miokarditis berat akut
Tamponade jantung
Diseksi aorta
Kardiomiopati pasca melahirkan (PPHD)
Faktor presipitasi non-kardiovaskular
a Pelaksanaan terhadap pengobatan kurang
b Overload volume
c Infeksi, terutama pneumonia atau septicemia
d Severe brain insult\
e Pasca operasi besar
f Penurunan fungsi ginjal g. asma
g Penyalahgunaan obat
h Penggunaan alcohol
i Feokromositoma
3

12

Sindrom high output (Curah Jantung Tinggi)

2.3 Klasifikasi Gagal Jantung


Presentasi klinis pasien dengan GJA dapat digolongkan ke dalam kategori
klinik :
1. Gagal jantung kronik dekompensasi
Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada pasien yang telah diketahui gagal
jantung yang sedang dalam pengobatan dan bukti adanya bendungan paru dan sistemik.
2. Edema Paru Akut
Pasien datang dengan distres pernapasan berat, takipnoe, dan ortopnoe dengan
ronki basah halus seluruh lapangan paru. Saturasi oksigen arteri biasanya < 90% pada
udara ruangan sebelum diterapi oksigen.
3. Gagal jantung hipertensif
Tanda dan gejala gagal jantung disertai peningkatan tekanan darah yang sangat
tinggi dan biasanya fungsi ventrikel kiri masih baik. Terdapat bukti peningkatan tonus
simpatis dengan takikardia dan vasokonstriksi. Responnya cepat terhadap terapi yang tepat
dan mortalitas rumah sakitnya rendah.
4. Syok Kardiogenik
Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah dilakukan koreksi
preload dan aritmia mayor. Bukti hipoperfusi organ dan bendungan paru terjadi dengan
cepat. Tanda dari Syok Kardiogenik :
i. TD Sistolik < 90 mmHg atau penurunan Mean Arterial Pressure
(MAP) > 30 mmHg dari sebelumnya
ii. Anuria / oliguria
iii. Aritmia
iv. Kongesti paru
5. Gagal jantung kanan terisolasi
Ditandai oleh sindrom low output dengan peningkatan tekanan vena sentral tanpa
disertai kongesti paru.
6. Kombinasi Sindroma Koroner Akut (SKA) dan gagal jantung
Terdapat gejala klinis dan bukti laboratoris dari SKA. Kira-kira 15% pasien dengan
SKA memiliki tanda dan gejala gagal jantung.
7. GJA akibat Curah Jantung Tinggi
Ditandai dengan tingginya curah jantung, umumnya disertai laju jantung yang
4

sangat cepat (penyebabnya antara lain : aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit paget,
iatrogenik), dengan tanda perifer hangat, kongesti pulmoner, dan terkadang tekanan darah
yang rendah seperti pada syok septik.
2.4 Epidemiologi
Gagal jantung sudah menjadi permasalahan dunia. Menurut American Heart
Association (AHA), sekitar 5,7 juta penduduk Amerika menderita gagal jantung dan
merupakan penyebab terbanyak pasien dirawat di Rumah Sakit. Di Indonesia, prevalensi
gagal jantung adalah 0,3 persen. Prevalensi gagal jantung didapatkan lebih besar pada
pasien berusia >75 tahun yaitu sekitar 1,1 persen.3
2.5 Patogenesis
Disfungsi kardiovaskular disebabkan oleh satu atau lebih

dari 5

mekanisme utama di bawah ini :


1. Kegagalan pompa
Terjadi akibat kontraksi otot jantung yang lemah atau inadekuat atau karena relaksasi otot
jantung yang tidak cukup untuk terjadinya pengisian ventrikel.
2. Obstruksi aliran
Terdapat lesi yang mencegah terbukanya katup atau menyebabkan peningkatan tekanan
kamar jantung, misalnya stenosis aorta, hipertensi sistemik, atau koarktasio aorta.
3. Regurgitasi
Regurgitasi dapat meningkatkan aliran balik beban kerja kamar jantung, misalnya ventrikel
kiri pada regurgitasi aorta atau atrium serta pada regurgitasi mitral.
4. Gangguan konduksi
Gangguan konduksi yang menyebabkan kontraksi miokardium yang tidak selaras dan tidak
efisien.
5. Diskontinuitas sistem sirkulasi
Mekanisme ini memungkinkan darah lolos, misalnya luka tembak yang menembus
aorta.
Beberapa keadaan di atas dapat menyebabkan overload volume atau tekanan atau
disfungsi regional pada jantung yang akan meningkatkan beban kerja jantung dan
menyebabkan hipertrofi otot jantung dan/atau dilatasi ruang jantung.
Pressure-overload pada ventrikel (misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta)
5

menstimulasi deposisi sarkomer dan menyebabkan penambahan luas area cross-sectional


miosit, tetapi tanpa penambahan panjang sel. Akibatnya, terjadi reduksi diameter kamar
jantung. Keadaan ini disebut pressure-overload hypertrophy (hipertrofi konsentrik).
Sebaliknya, volume-overload hypertrophy menstimulasi deposisi sarkomer dengan
penambahan panjang dan lebar sel. Akibatnya, terjadi penebalan dinding disertai dilatasi
dengan penambahan diameter ventrikel. Penambahan massa otot atau ketebalan dinding
yang seiring dengan penambahan diameter kamar jantung menyebabkan tebal dinding
jantung akan tetap normal atau kurang dari normal.
Terjadinya hipertrofi dan atau dilasi disebabkan karena peningkatan kerja
mekanik akibat overload tekanan atau volume, atau sinyal trofik (misal hipertiroidisme
melalui stimulasi reseptor -adrenergik) meningkatkan sintesis protein, jumlah protein di
setiap sel, jumlah sarkomer, mitokondria, dimensi, dan massa miosit, yang pada akhirnya
ukuran jantung. Apakah miosit jantung dewasa memiliki kemampuan untuk mensintesis
DNA dan apakah hal

ini memungkinkan terjadinya pembelahan sel masih menjadi

perdebatan.
Perubahan molekular, selular, dan struktural pada jantung yang muncul sebagai
respons terhadap cedera dan menyebabkan perubahan pada ukuran, bentuk, dan fungsi
yang disebut remodelling ventricle (left ventricular atau LV remodeling). Terjadinya
remodelling ventricle merupakan bagian dari mekanisme
memelihara tekanan arteri dan perfusi organ vital

kompensasi tubuh untuk

jika terdapat beban hemodinamik

berlebih atau gangguan kontraktilitas miokardium, melalui mekanisme sebagai berikut :


1. Mekanisme Frank-Starling, dengan meningkatkan dilasi preload (meningkatkan
cross-bridge dalam sarkomer) sehingga memperkuat kontraktilitas.
2. Perubahan struktural miokardium, dengan peningkatan massa otot (hipertrofi)
dengan atau tanpa dilasi kamar jantung sehingga massa jaringan kontraktil
meningkat.
3. Aktivasi sistem neurohumoral, terutama pelepasan norepinefrin meningkatkan
frekuensi denyut jantung, kontraktilitas miokardium, dan resistensi vaskular;
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron; dan pelepasan atrial natriuretic
peptide (ANP).
Mekanisme adaptif tersebut dapat mempertahankan kemampuan jantung memompa
darah pada tingkat yang relatif normal, tetapi hanya untuk sementara. Perubahan patologik
6

lebih lanjut, seperti apoptosis, perubahan sitoskeletal, sintesis, dan remodelling matriks
ekstraselular (terutama kolagen) juga dapat timbul dan menyebabkan gangguan fungsional
dan struktural. Jika mekanisme kompensasi tersebut gagal, maka terjadi disfungsi
kardiovaskular yang dapat berakhir dengan gagal jantung.
Kebanyakan gagal jantung merupakan konsekuensi kemunduran progresif fungsi
kontraktil miokardium (disfungsi sistolik) yang sering muncul pada cedera iskemik,
overload tekanan, dan volume atau dilated cardiomyopathy. Penyebab spesifik tersering
adalah penyakit jantung iskemik dan hipertensi. Terkadang kegagalan terjadi karena
ketidakmampuan kamar jantung untuk relaksasi, membesar, dan terisi dengan cukup
selama diastol untuk mengakomodasi

volume darah ventrikel yang adekuat (disfungsi

diastolik), yang dapat muncul pada hipertrofi ventrikel kiri yang masif, fibrosis
miokardium, deposisi amiloid, dan perikarditis konstriktif. Apapun yang mendasari, gagal
jantung kongestif dikarakteristikkan dengan adanya penurunan curah jantung (forward
failure) atau aliran balik darah ke sistem vena (backward failure) atau keduanya.
Gagal jantung kiri lebih sering disebabkan oleh penyakit jantung iskemik,
hipertensi, penyakit katup mitral dan aorta, serta penyakit miokardial non-iskemik. Efek
morfologis dan klinis gagal jantung kiri terutama merupakan akibat dari aliran balik darah
ke sirkulasi paru yang progresif dan akibat dari
berkurangnya aliran dan tekanan darah perifer.
Gagal jantung kanan yang terjadi tanpa didahului gagal jantung kiri muncul pada
beberapa penyakit. Biasanya gagal jantung kanan merupakan konsekuensi sekunder gagal
jantung kiri akibat peningkatan tekanan sirkulasi paru pada kegagalan jantung kiri.
Gagal jantung kanan murni paling sering muncul bersama hipertensi pulmoner
berat kronik (cor pulmonale). Pada keadaan ini ventrikel kanan terbebani oleh beban kerja
tekanan akibat peningkatan resistensi sirkulasi paru. Hipertrofi dan dilatasi secara umum
terbatas pada ventrikel dan atrium kanan, walaupun penonjolan septum ventrikel kiri
dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kiri.
2.6 Diagnosis
Diagnosis gagal jantung akut ditegakkan berdasarkan gejala, penilaian klinis, serta
pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan EKG, foto toraks, laboratorium dan
ekokardiografi Doppler.
TABEL 1. KRITERIA FRAMINGHAM

MAYOR

MINOR
7

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Paroxysmal Nocturnal Dyspneu


Orthopneu
Peningkatan JVP
Distensi Vena Jugular
Kardiomegali
Ronkhi basah halus pada basal

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

paru
7. Edema paru akut
8. Gallop S3 (+)
9. Refluks Hepatojugular

Edema pretibial
Batuk malam hari
Dyspneu Deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Takikardia
Penurunan kapasitas vital paru 1/3
dari normal

Berdasarkan gejala dan penemuan klinis, diagnosis gagal jantung dapat ditegakkan
bila pada pasien didapatkan paling sedikit 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dari
Kriteria Framingham.
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi mengenai denyut, irama, dan
konduksi jantung, serta seringkali etiologi, misalnya perubahan ST segmen iskemik untuk
kemungkinan STEMI atau non-STEMI.
Pemeriksaan foto-toraks harus dikerjakan secepatnya untuk menilai derajat
kongesti paru dan untuk menilai kondisi paru dan jantung yang lain. Kardiomegali
merupakan temuan yang penting. Pada paru, adanya dilatasi relatif vena lobus atas,
edema vaskular, edema interstisial, dan cairan alveolar membuktikan adanya hipertensi
vena pulmonal.
Pada pemeriksaan darah dapat ditemukan :

Anemia
Prerenal azotemia
Hipokalemia / hiperkalemia, yang dapat meningkatkan risiko aritmia
Hiponatremia, akibat penekanan sistem RAA (renin-angiotensin-aldosteron)
Peningkatan kadar tiroid, pada tirotoksikosis atau miksedema
Peningkatan produksi Brain Natriuretic Peptide (BNP), akibat peningkatan tekanan
intraventrikular, seperti pada gagal jantung
Selain itu, kadar kreatinin, glukosa, albumin, enzim hati, dan INR dalam darah juga

perlu dievaluasi. Sedikit peningkatan troponin jantung dapat terjadi pada pasien GJA tanpa
SKA.
Analisis gas darah memungkinkan penilaian oksigen (pO2), fungsi respirasi
(pCO2) dan keseimbangan asam basa (pH), terutama pada semua pasien dengan stres
pernapasan.
8

Ekokardiografi dengan Doppler merupakan alat yang penting untuk evaluasi


perubahan fungsional dan struktural yang dihubungkan dengan GJA. Temuan pemeriksaan
ini dapat menentukan strategi pengobatan.
2.7 Tatalaksana
Terapi awal GJA bertujuan untuk memperbaiki gejala dan menstabilkan kondisi
hemodinamik, yang meliputi :

Oksigenasi dengan sungkup masker atau CPAP (continuous positive airway

pressure), target SaO2 94-96%


Pemberian vasodilator berupa nitrat atau nitroprusid
Terapi diuretik dengan furosemid atau diuretik kuat lainnya (dimulai dengan

bolus IV dan bila perlu diteruskan dengan infus berkelanjutan)


Pemberian morfin untuk memperbaiki status fisik,

hemodinamik
Pemberian infus intravena dipertimbangkan apabila ada kecurigaan tekanan

pengisian yang rendah (low filling pressure)


Pacing, antiaritmia, atau elektroversi jika terjadi kelainan denyut dan irama jantung
Mengatasi komplikasi metabolik dan kondisi spesifik organ lainnya.

psikologis,

dan

Terapi spesifik lebih lanjut harus diberikan berdasarkan karakteristik klinis dan
hemodinamik pasien yang tidak responsif terhadap terapi awal.
1. Vasodilator
Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi lini
pertama pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah adekuat dan tanda
kongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja dengan membuka sirkulasi perifer dan
mengurangi preload. Yang termasuk dalam vasodilator, antara lain :

a. Nitrat
Nitrat bekerja dengan mengurangi kongesti paru tanpa mempengaruhi stroke
volume atau meningkatkan kebutuhan oksigen oleh miokardium pada GJA kanan,
khususnya pada pasien SKA. Pada dosis rendah, nitrat hanya menginduksi venodilatasi,
tetapi bila dosis ditingkatkan secara bertahap dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner.
Dengan dosis yang tepat, nitrat membuat keseimbangan dilatasi arteri dan vena sehingga
mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri, tanpa mengganggu perfusi jaringan.

b. Nesiritid
Nesiritid merupakan rekombinan peptida otak manusia yang identik dengan
hormon endogen yang diproduksi ventrikel, yaitu B-type natriuretic peptides dalam
merespon peningkatan tegangan dinding, peningkatan tekanan darah, dan volume
overload. Kadar B-type natriuretic peptides meningkat pada pasien gagal jantung dan
berhubungan dengan keparahan penyakit. Efek fisiologis BNP mencakup vasodilatasi,
diuresis, natriuresis, dan antagonis terhadap sistem RAA dan endotelin. Nesiritid memiliki
efek vasodilator vena, arteri, dan pembuluh darah koroner untuk menurunkan preload
dan afterload, serta meningkatkan curah jantung tanpa efek inotropik langsung.
Nesiritid terbukti mampu mengurangi dispnea dan kelelahan dibandingkan
plasebo. Nesiritid juga mengurangi tekanan kapiler baji paru (PCWP).

c. Nitropusid
Nitroprusid bekerja dengan merangsang pelepasan nitrit oxide (NO) secara
nonenzimatik. Nitroprusid juga memiliki efek yang baik terhadap perbaikan preload
dan after load. Venodilatasi akan mengurangi pengisian ventrikel sehingga preload
menurun. Obat ini juga mengurangi curah jantung dan regurgitasi mitral yang diikuti
dengan penurunan resistensi ginjal. Hal ini akan memperbaiki aliran darah ginjal sehingga
sistem RAA tidak teraktivasi secara berlebihan. Nitroprusid tidak mempengaruhi sistem
neurohormonal.
2. Loop Diuretic
Diuretik kuat diindikasikan bagi pasien GJA dekompensasi yang disertai gejala
retensi cairan. Pemakaian secara intravena loop diuretic, seperti furosemid, bumetanid,
dan torasemid, dengan efek cepat dan kuat, lebih disukai pada GJA. Terapi dapat
diberikan dengan aman sebelum pasien tiba di rumah sakit dan dosis harus dititrasi sesuai
dengan respon terhadap diuretik. Pemberian loading dose furosemid atau torasemid
yang diikuti dengan infus berkelanjutan terbukti lebih efektif dibanding hanya bolus saja.
Kombinasi loop diuretic dengan tiazid, spironolakton, dobutamin, atau nitrat dapat
diberikan. Pemberian loop diuretic yang berlebihan dapat menyebabkan hipovolemia dan
hiponatremia, dan meningkatkan kemungkinan hipotensi saat pemberian ACEI
10

(angiotensin converting enzyme inhibitor) atau ARB (angiotensin receptor blocker).


3. Inotropik
Obat inotropik diindikasikan apabila ada tanda-tanda hipoperfusi perifer
(hipotensi) dengan atau tanpa kongesti atau edema paru yang refrakter terhadap diuretika
dan vasodilator pada dosis optimal. Pemakaiannya berbahaya, dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen dan calcium loading sehingga harus diberikan secara hati-hati. Yang
termasuk inotropik, antara lain :
a. Dobutamin
Dobutamin merupakan simpatomimetik amin yang mempengaruhi reseptor -1, 2, dan pada miokard dan pembuluh darah. Walaupun mempunyai efek inotropik positif,
efek peningkatan denyut jantung lebih rendah dibanding dengan agonis -adrenergik.
Obat ini juga menurunkan Systemic Vascular Resistance (SVR) dan tekanan pengisian
ventrikel kiri.
b. Dopamin
Dop
amin

merupakan agonis reseptor -1 yang memiliki efek inotropik dan

kronotropik positif. Pemberian dopamin terbukti dapat meningkatkan curah jantung dan
menurunkan resistensi vaskular sistemik.
c. Milrinon
Milrinone merupakan inhibitor phosphodiesterase-3 (PDE3) sehingga terjadi
akumulasi cAMP intraseluler yang berujung pada inotropik dan lusitropik positif. Obat ini
juga vasodilator poten untuk sirkulasi sistemik dan pulmoner. Penurunan tekanan
pengisian ventrikel kiri lebih tinggi daripada dobutamin dan curah jantung yang dihasilkan
lebih besar daripada nitroprusid. Obat ini biasanya digunakan pada individu yang dengan
curah jantung rendah dan tekanan pengisian ventrikel yang tinggi serta resistensi
vaskular sistemik yang tinggi.
d. Epinefrin dan Norepinefrin
Epinefrin menstimulasi reseptor adrenergik -1 dan -2 di miokard sehingga
menimbulkan efek inotropik kronotropik positif. Epinefrin bermanfaat pada individu yang
11

curah jantungnya rendah dan atau bradikardi.


e. Digoksin
Digoksin digunakan untuk mengendalikan denyut jantung pada pasien gagal
jantung dengan penyulit fibrilasi atrium dan atrial flutter. Amiodarone atau ibutilide dapat
ditambahkan pada pasien dengan kondisi yang lebih parah.
4. ACEI dan ARB
Pasien gagal jantung kronik dekompensasi akut yang sebelumnya mendapat
ACEI/ARB sedapat mungkin harus meneruskan penggunaan obat tersebut. Jika pasien
sebelumnya juga menggunakan penghambat beta, dosisnya mungkin perlu diturunkan
atau dihentikan untuk sementara. Pengobatan dapat ditunda atau dikurangi bila terdapat
komplikasi berupa bradikardia, blok AV lanjut, bronkospasme berat, atau syok
kardiogenik, atau pada kasus GJA yang berat dan respons yang tidak adekuat terhadap
pengobatan awal.
5. Penghambat Beta (-Blocker)
Penghambat beta merupakan kontraindikasi pada GJA karena dapat menurunkan
suplai oksigen fase serangan akut, kecuali bila GJA sudah stabil.
6. Antikoagulan
Antikoagulan terbukti dapat digunakan untuk SKA dengan atau tanpa gagal
jantung. Namun, tidak ada bukti manfaat heparin atau LMWH pada GJA.
2.8 Prognosis
Pasien GJA memiliki prognosis yang sangat buruk. Dalam satu randomized trial
yang besar, pada pasien yang dirawat dengan gagal jantung yang mengalami
dekompensasi, mortalitas 600 hari adalah 9,6%, dan apabila dikombinasi dengan
perawatan ulang 60 hari menjadi 35,2%. Angka kematian lebih tinggi lagi pada infark
jantung yang disertai gagal jantung berat, dengan mortalitas 30% dalam 12 bulan. Pada
pasien edema paru akut, angka kematian di rumah sakit12%, dan mortalitas 1 tahun 40%.
Prediktor mortalitas tinggi antara lain tekanan baji kapiler paru (Pulmonary
Capillary Wedge Pressure) yang tinggi, sama atau lebih dari 16 mmHg, kadar natrium
12

yang rendah, dimensi ruang ventrikel kiri yang meningkat, dan konsumsi oksigen puncak
yang rendah. Sekitar 45% pasien GJA akan dirawat ulang minimal satu kali, 15% dua
kali dalam 12 bulan pertama.

13

BAB 3
LAPORAN KASUS
1. Identitas Pasien
Nama

: Tn.H

Usia

: 46 tahun

Jenis Kelamin

: laki-laki

Alamat

Agama

: Islam

Pekerjaan

Suku

Nomor MR

2. Anamnesis
Seorang pasien laki-laki datang ke bangsal penyakit dalam RSUD Lubuk Basung
pada tanggal 15 Mei 2016, dengan:
a. Keluhan Utama
Sesak nafas yang semakin meningkat sejak 1 hari yang lalu
b. Riwayat Penyakit Sekarang:
Sesak nafas dirasakan sejak 1 hari yang lalu, sesak dipengaruhi aktivitas, tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan makanan. Sesak tidak menciut. Sesak dipengaruhi
posisi. Pasien tidur dengan lebih dari 2 bantal. Riwayat terbangun tengah malam
karena sesak (+). Sesak seperti ini sudak dirasakan sejak 2 bulan yang lalu.

Pasien mengeluh bertambah sesak dengan aktivitas sehari-hari.


Batuk sejak 10 hari yang lalu.
Demam hilang timbul sejak 3 hari yang lalu.
Sembab pada kedua tungkai sejak 1 bulan yang lalu.
Kuning pada mata disadari sejak 3 hari yang lalu.
Pasien sebelumnya telah dirawat di RSUD Parit Melintang selama 11 hari.

Pasien dirujuk untuk tatalaksana lebih lanjut.


BAB dan BAK tidak ada kelainan.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat DM disangkal
Riwayat nyeri dada sebelumnya (+)
Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal
Riwayat haus-haus, lapar-lapar dan sering BAK dimalam hari disangkal
d. Riwayat Penyakit Keluarga
14

Tidak ada anggota keluarga yang memiliki keluhan yang sama dengan pasien.
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Umum
Keadaan Umum

: Tampak sakit sedang

Kesadaran
TD
Nadi
Nafas
Suhu

: komposmentis kooperatif
: 110/80 mmHg
: 100 x/i
: 35 x/i
: 37oc

Kulit
Turgor kulit baik, akral hangat, spider nevi (+)
Kelenjar Getah Bening
Tidak teraba pembesaran KGB.
Kepala
normocephal
Rambut
Hitam, tidak mudah dicabut
Mata
Konjungtiva anemis (-), sclera ikterik (+)
Telinga
Tidak terdapat kelainan
Hidung
Tidak terdapat kelainan
Tenggorokan
Tidak terdapat kelainan
Gigi dan mulut
Tidak terdapat kelainan

15

Leher
JVP 5+2 cmH2O

Thoraks
Paru :

Jantung:

Inspeksi
Palpasi
Perkusi

: simetris kanan = kiri


: Fremitus Kanan = kiri
: sonor
Auskultasi
: Bronkovesikuler, Rhonki basah halus

tidak nyaring,
Wheezing (-/-)
Inspeksi
: Iktus kordis terlihat
Palpasi
: iktus teraba di RIC VI, 1 jari lateral LMC sinistra

RIC VI
Perkusi

: Atas : RIC II,


Kanan: Linea Sternalis kiri
Apeks : RIC VI, 1 jari lateral LMC sinistra
: irama teratur, bising (-)

Auskultasi
e. Abdomen
Inspeksi
: perut buncit.
Palpasi
: Supel, Hepar tidak teraba dan Lien teraba S1
Perkusi
: shifting dullness (+)
Auskultasi : BU (+) normal
f. Genitalia
Tidak ada kelainan
g. Ekstremitas
Edema (+), palmar eritem (+)

5. Diagnosis Kerja

ADHF wet and warm NYHA III dengan efusi pleura (D)
Sirosis kardiak
Hoponatremia ec hemodilusi

Diagnose banding

Sirosis hepatis post nekrotik stadium dekompensata

6. Pemeriksaan Penunjang Rutin


- EKG
16

- Frekuensi: 94 bpm
- Irama sinus regular
- Normal Axis
- Lef atrial Enlargement. (P mitral)
- PR interval normal
- QRS kompleks normal.
- ST segment isoelektrik
- Gelombang T normal.

- Gula darah Sewaktu (282 mg/dl)


- Labor Rutin
- Hb: 11.2 gr%
- Eritrosit: 3.700.000/mm3
- Leukosit: 7.400/mm3
- Trombosit: 230.000/mm3
- Fungsi Hepar (SGOT dan SGPT)
- SGOT: 18 U/L
- SGPT: 36 U/L
- Fungsi Renal (ureum dan kreatinin)
- ureum: 36 mg/dl
- kreatinin: 1.1 mg/dl

17

- Foto polos thoraks.

- Cardiomegaly
- Peningkatan corakan bronkovaskuler kedua paru (kranialisasi)
7. Diagnosis
- Dekompensasi akut gagal jantung kronik Fungsional Class III
- Hipertensi Stage I
- Hipertensive Heart Disease
- Diabetes Mellitus tipe 2 tidak teregulasi
8. Tatalaksana
- IVFD NaCl 0.9% 8 tetes/i
- Furosemid 2 x 40 mg IV
- Valsartan 1 x 40 mg PO
- Spironolakton 1 x 12.5 mg IV
- Selesbion 1 x 1 tab
18

- Digoxin 1 x 0.0625 mg
- inj Sansulin N 2 x 6 U (sc)
- Diet DM 1900 kkal
9. Prognosis

Quo ad sanam
Quo at vitam

: malam
: dubia et bonam.

10. Follow Up
Senin/ 16 Mei 2016
S:

- Batuk berdahak, warna bening


- Sesak nafas
- kaki sembab (+/+)

O:

- TD: 140/80 mmHg, Nafas: 32x/i


- Pulmo: bronkovesikuler, rhonki +/+, wheezing -/- Cor: bunyi jantung murni, bising (-/-)
- Abdomen: Supel, Hepar dan Lien tidak teraba, BU (+)N
- Ekstremitas: edema (+/+), akral hangat
- gula darah puasa: 263 mg/dl
- gula darah 2 jam PP: 167 mg/dl
- total kolesterol: 168 mg/dl
- Trigliserida: 91 mg/dl
- HDL kolesterol: 27
- LDL kolesterol: 139
- bilirubin total: 1.1 mg/dl (0.47/0.63)
- Asam urat: 6 mg/dl
- LED: 80 mm
- Hitung Jenis: 0/0/2/70/24/4
- Urinalisa: Proteinuria dan glikosuria.

A:

P:

- Dekompensasi akut gagal jantung kronik Fungsional Class III


- Hipertensi Stage I
- Hipertensive Heart Disease
- Diabetes Mellitus tipe 2 tidak teregulasi
- Instruksi posisi setengah duduk
- Diet DM 1900 kkal
- IVFD NaCl 0.9% 8 tetes/i
19

- Furosemid 2 x 40 mg IV
- Valsartan 1 x 40 mg PO
- inj ceftriaxone 1 x 2gram IV
- Spironolakton 1 x 12.5 mg IV
- Digoxin 1 x 0.0625 mg
- inj Sansulin N 2 x 6 U (sc)
Selasa/ 17 Mei 2016
S:

- Batuk berdahak, warna bening


- Sesak nafas berkurang
- kaki sembab (-/-)

O:

- TD: 135/70 mmHg, nafas: 30x/i


- Pulmo: bronkovesikuler, rhonki -/+, wheezing -/- Cor: bunyi jantung murni, bising (-/-)
- Abdomen: Supel, Hepar dan Lien tidak teraba, BU (+)N
- Ekstremitas: edema (+/+), akral hangat

A:

P:

- Dekompensasi akut gagal jantung kronik Fungsional Class III


- Hipertensi Stage I
- Hipertensive Heart Disease
- Diabetes Mellitus tipe 2 tidak teregulasi
- Suspek CAP (Community Acquired Pneumonia)
- Instruksi posisi setengah duduk
- Diet DM 1900 kkal
- IVFD NaCl 0.9% 8 tetes/i
- Furosemid 2 x 40 mg IV
- Valsartan 1 x 40 mg PO
- inj ceftriaxone 1 x 2gram IV
- Spironolakton 1 x 12.5 mg IV
- Digoxin 1 x 0.0625 mg
- inj Sansulin N 2 x 10 U (sc)

Rabu/ 18 Mei 2016


S:

- Sesak nafas jauh berkurang


- Batuk berdahak warna bening
- kaki sembab (-/-)

O:

- TD: 130/70 mmHg, Nafas: 28x/i


20

- Pulmo: bronkovesikuler, rhonki -/+, wheezing -/- Cor: bunyi jantung murni, bising (-/-)
- Abdomen: Supel, Hepar dan Lien tidak teraba, BU (+)N
- Ekstremitas: edema (-/-), akral hangat
A:

P:

- Dekompensasi akut gagal jantung kronik Fungsional Class III


- Hipertensi Stage I
- Hipertensive Heart Disease
- Diabetes Mellitus tipe 2 tidak teregulasi
- CAP
- Instruksi posisi setengah duduk
- Diet DM 1900 kkal
- Infus aff pasang inject pump
- Furosemid 2 x 40 mg IV
- Valsartan 1 x 40 mg PO
- inj ceftriaxone 1 x 2gram IV
- Spironolakton 1 x 12.5 mg IV
- Digoxin 1 x 0.0625 mg
- inj Sansulin N 2 x 10 U (sc)
- rencana: cek albumin, GDP dan GD2PP, ulang darah lengkap, Ur/Cr.

Kamis/ 19 Mei 2016


S:

- sesak nafas sudah jauh berkurang


- tidur sudah dengan satu bantal
- batuk (+), dahak warna kuning
- kaki sembab (-/-)

O:

- TD: 130/70 mmHg, nafas: 26x/i


- Pulmo: bronkovesikuler, rhonki (/+), wheezing (-/-)
- Cor: bunyi jantung murni, bising (-/-)
- Abdomen: Supel, Hepar dan Lien tidak teraba, BU (+)N
- Ekstremitas: edema (-/-), akral hangat
- Gula darah puasa: 107 mg/dl
- G2PP: 223 mg/dl
- Protein total: 4.3 mg/dl (alb/glob: 3.9/0.4)
- Ureum: 54 mg/dl
- Kreatinin: 1.1 mg/dl
21

- Hb: 12.8 gr%


- Leukosit: 8500/mm3
- trombosit: 253.000/mm3
- hematokrit: 39%
A:

P:

- Dekompensasi akut gagal jantung kronik Fungsional Class III


- Hipertensi Stage I
- Hipertensive Heart Disease
- Diabetes Mellitus tipe 2 tidak teregulasi
- CAP
- Instruksi posisi setengah duduk
- Diet DM 1900 kkal
- Furosemid 2 x 40 mg IV
- Valsartan 1 x 40 mg PO
- inj ceftriaxone 1 x 2gram IV
- Spironolakton 1 x 12.5 mg IV
- Digoxin 1 x 0.0625 mg
- inj Sansulin N 2 x 10 U (sc)
- rencana pulang besok.

22

BAB 4
DISKUSI

Dilaporkan sebuah kasus dengan diagnosis dekompensasi akut gagal jantung


kronik, hipertensi stage I, hypertensive heart disease, diabetes mellitus dan CAP. Pasien
seorang perempuan dengan usia 65 tahun pekerjaan sekarang seorang pensiunan. Pasien
masuk dengan keluhan utama sesak yang semakin meningkat sejak 3 jam sebelum masuk
rumah sakit, sesak pada pasien duduk. keluhan sesak nafas sudah dirasakan sejak 4 hari
yang lalu. Sesak dipengaruhi aktivitas dan tidak disertai suara menciut. Riwayat sesak
seperti ini sudah dirasakan semenjak 2 tahun terakhir. Terdapat riwayat tidur dengan bantal
yang tinggi. Kedua kaki sembab dan mencekung setelah ditekan sejak 4 hari yang lalu.
Pasien tidak minum obat rutin untuk mengkontrol gula, tekanan darah dan sakit jantungnya
sejak 7 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien batuk berdahak sejak 3 hari yang lalu,
dahak berwarna bening.
Dari pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit berat dengan kesadaran apatis, tekanan
darah 140/90 mmHg, frekuensi nafas lima puluh kali per menit. Pada leher tampak distensi
vena jugularis dan peningkatan tekana vena jugularis 5+3 cmH 2O. Pada paru didapatkan
auskultasi bronkovesikuler dan rhonki di kedua lapangan paru. Pada jantung iktus terlihat
dan teraba pada RIC V, 1 jari lateral LMC sinistra, bunyi jantung murni dan tidak terdapat
bising. Pada ektremitas inferior didapatkan edema pada kedua tungkai distal dan
mencekung setelah ditekan.
Sesuai dengan tampilan klinis pasien ini memenuhi kriteria Framingham, sehingga
dapat didiagnosis sebagai gagal jantung, dikarenakan pasien sudah memiliki riwayat sakit
jantung dan sesak berulang seperti ini keadaan ini juga didukung dengan hasil pemeriksaan
ekg dan foto polos thoraks. Sehingga, penulis menegakkan diagnosis sebagai
dekompensasi akut gagal jantung kronik ditambah dengan diagnosis hipertensi stage I
yang termasuk kedalam terminology Hypertensive Heart Disease dan diabetes mellitus
tidak teregulasi.
Untuk mengurangi sesak nafas yang dikarenakan dekompensasi akut akibat
bendungan paru, penulis memberikan loop diuretic dan diuretic hemat kalium untuk
mengurangi sesak. Untuk meningkat kontraktilitas dalam usaha meningakatkan kardiak
output penulis memberika digoxin 1 x 0.0625 mg, untuk hipertensi stage I penulis
23

memberikan valsartan 1x40 mg, untuk diabetes mellitus pasien ini diberika sansulin N
injeksi 3 x 10 Unit dengan pemberian sub cutan. Untuk infeksi paru-paru CAP, penulis
memberikan seftriakson 1 x 2 gram. Untuk kebutuhan cairan maintenance diberika NaCl
0.9% dengan tetesan 30 tetes/i. untuk diet diberika diet khusus diabetes mellitus 1900 kkal.
Selama 5 hari perawatan tampak keadaan umum pasien membaik, sesak nafas berkuran
dan udem juga telah tidak ditemukan. Dari pemeriksaan labor masih menunjukkan kadar
gula darah yang tinggi. Dan dari urinalisa didapatkan proteinuria dan glikosuria, dengan
nilai ureum dan kreatinin dalam batas normal. Sehingga pada hari ke-enam pasien telah
stabil dan sudah dapat dipulangkan dan dianjurkan untuk kontrol satu minggu kemudian.

24

DAFTAR PUSTAKA

Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow
RO,

Mann

DL,

Zipes

DP,

editor.

Braunwalds

Heart

Disease.

Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.


2

Darmojo B. Penyakit Kardiovaskuler pada Lanjut Usia. Dalam : Darmojo B,


Martono HH, editor. Buku Ajar Geriatri. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 2004. h.
262-264

Hardiman A. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengendalian


Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 2007.
h. 2-9.

Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper
DL, editor. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17 th ed. New York: Mc graw
hill; 2008. p. 1443.

Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart
Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.

Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role


of angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.

Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000;
320:104-7.

Rodeheffer R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and


restrictive). In: Dec GW, editor. Heart Failure a Comprehensive Guide to Diagnosis
and Treatment. New York: Marcel Dekker; 2005. p.137-156.

Harbanu HM, Santoso A. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan
September 2007. P.85-93.

10 Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in


Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's Heart
Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.
25

11 Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689


12 Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N
Engl J Med. 1999; 341:1276
13 Harlan WR, Obermann A, Grimm R, Rosati RA. Chronic congestive heart failure
in coronary artery disease: clinical criteria. Ann Intern Med. 1977;86:133138.
14 Maisel AS, Krishnaswamy P, Nowak RM, et al: Rapid measurement of B-type
natriuretic peptide in the emergency diagnosis of heart failure. N Engl J Med 2002;
347:161-167.
15 Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Society Cardiology.
European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.

26

Anda mungkin juga menyukai