Anda di halaman 1dari 2

MENGAPA LEVEL RISET KITA SECARA INTERNASIONAL RENDAH?

Level riset kita dibanding Malaysia, kalah jauh. Mengapa?


Karena kita tidak punya "scientific leadership" (kepemimpinan ilmiah). Yang saya maksud adalah
kepemimpinan di level elit nasional, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Masih ingatkah
kita ketika dulu Presiden "tertipu" oleh "penemuan blue energy", dan baru mengundang para
peneliti setelah masyarakat ikut tertipu (tertipu berjama'ah). Di berbagai kementerian & lembaga,
juga di kampus, ego sektoral / unital (sekalipun sama-sama untuk riset) sangat terasa. Demikian
juga bagaimana dengan masyarakat kita sekarang ini, melek internet tetapi gampang sekali
terkecoh oleh hoax, oleh isu-isu yang "too good or too bad to be true". Ketiadaan scientific
leadership menyebabkan tidak terbangunnya "scientific behaviour" dan "scientific tradition".
Akibatnya "scientific management" kita secara umum masih "acak-acakan". Kesulitan
mendapatkan motivasi yang kuat, kesulitan mendapatkan role model, kesulitan menentukan
mana yang prioritas, bagaimana membuat roadmap, bagaimana strategic plannya, berapa
prosen dari PDB / APBN / APBD harus dianggarkan ke sana, siapa saja yang seharusnya
berkolaborasi untuk berkompetisi di tingkat international, dsb.
Lantas "scientific difusion" (penyebarluasan ilmiah) kita nyaris bisu. Masyarakat jarang tahu apa
yang terjadi di dunia riset tanah air. Media massa belum banyak terlibat, apalagi membantu.
Rakyat lebih akrab dengan hingar bingar politik atau dunia seputar selebriti, daripada hasil-hasil
intelektual anak bangsa. Para peneliti sendiri lebih merasa didorong, sehingga merasa cukup
dengan angka kredit yang didapat dari publikasi ilmiah, syukur-syukur internasional, daripada
bahwa hasil riset mereka benar-benar diketahui masyarakat luas untuk diaplikasikan. Mereka
cukup puas merasa bahwa "with international scientific publication, we are welcome to
international scientific communitiy, also we are now growing in international level", tetapi
seharusnya juga sadar bahwa "with international level, we get international responsibility".
Lalu "scientific adoption" di pemerintah (baik berupa kebijakan umum maupun implementasi di
pengadaan barang & jasa) maupun di swasta (B2B) juga "masuk angin". Bahkan teknologi
canggih yang kebetulan dikembangkan di sesama negara berkembang (South-South-Dialog),
semisal dari Brazil, meski dikembangkan oleh pakar yang sempat berkarier 20 tahun di Jerman,
sulit diadopsi di Indonesia. Antara lain karena selama proses tender sulit mendapatkan modal
kerja dari bank setempat, meski quality - price & delivery-time-nya lebih unggul dibanding produk
sejenis dari Jepang atau China. Apalagi kalau yang murni dikembangkan di Indonesia oleh
orang-orang yang baru berpengalaman di Indonesia. Terkadang, untuk uji real di lapangan saja,
mencari ijinnya setengah mati. Apalagi ijin industri atau ijin perdagangan.
Dan terakhir "scientific audit" menjadi nyaris tidak ada. Perkembangan riset iptek di tanah air jadi

sulit dikontrol, karena mau dibandingkan dengan apa? Ketika scientific leadership lemah, maka
nyaris tidak ada roadmap, sehingga progress risetpun jadi sulit dinilai. Berapa peneliti dan
penelitian yang seharusnya ada, bagaimana kualitasnya, berapa output & outcome yang
seharusnya dihasilkan, semua masih mirip fatamorgana.
Tentu saja selalu ada orang-orang hebat yang menjadi perkecualian. Merekalah para pionir, yang
tetap memiliki mahakarya, meski di bawah kondisi yang maha sulit ini. Semoga Allah membalas
mereka dengan balasan yang lebih baik

Anda mungkin juga menyukai