Anda di halaman 1dari 25

HUBUNGAN KONSUMSI JAJANAN TERHADAP RESIKO

PENYAKIT DEMAM TIFOID (TYPHOID ABDOMINALIS)


SISWA KELAS VII SMP N 2 GUNUNG TALANG
TAHUN 2013

Proposal
Diajukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan
mata kuliah Metodologi Penelitian

OLEH :
RESZKITA GUMANTI
NIM 112110195

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN PADANG
JURUSAN GIZI
2013

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit infeksi typhus abdominalis atau demam tifoid ditularkan melalui
makanan dan minuman yang tercemar kuman Salmonella typhi. Waktu inkubasi
berkisar tiga hari sampai satu bulan. Gejala awal meliputi onset progresif demam,
rasa tidak nyaman pada perut, hilangnya nafsu makan, sembelit yang diikuti diare,
batuk kering, malaise, dan ruam bersama dengan relatif bradikardi. Tanpa
pengobatan, demam tifoid merupakan penyakit yang mungkin berkembang menjadi
delirium, perdarahan usus, perforasi usus dan kematian dalam waktu satu bulan
onset. Penderita mungkin mendapatkan komplikasi neuropsikiatrik jangka panjang
atau permanen. (Ashkenazy, 2000)
Angka kejadian demam tifoid di seluruh dunia tergolong besar. Pada tahun
2000, demam tifoid terjadi 21.650.974 jiwa di seluruh dunia, dan menyebabkan
216.510 kematian. Sedangkan Insidensi demam tifoid diseluruh dunia menurut data
pada tahun 2002 sekitar 16 juta per tahun. 600.000 diantaranya menyebabkan
kematian. Angka kejadian demam tifoid di Asia Tenggara Masih tergolong tinggi. Di
Asia tenggara, yang menjadi faktor risiko terjangkit infeksi thypus abdominalis
adalah kontak dengan pasien tifus, rendahnya pendidikan, tidak tersedianya jamban
di rumah, minum air yang kurang bersih dan memakan berbagai makanan seperti
kerang, es krim, dan makanan yang dijual di pinggir jalan.
Di Indonesia, tifoid bersifat endemis yang banyak dijumpai di kota besar.
Penderita anak yang ditemukan biasanya berumur diatas satu tahun. Sebagian besar
dari penderita (80%) yang dirawat di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM

Jakarta berumur diatas lima tahun. Di kota Semarang pada tahun 2009, mencapai
7.965 kasus. Demam tifoid lebih sering menyerang anak usia 5-15 tahun. Menurut
laporan WHO (World Health Organization) 2003, insidensi demam tifoid pada anak
umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi 180,3/100.000 kasus pertahun dan dengan
prevalensi mencapai 61,4/1000 kasus pertahun.
Terlepas dari kemajuan menakjubkan dalam pengobatan yang efektif terhadap
demam tifoid sejak 1948, laporan-laporan yang berkesinambuagan mengenai
tingginya morbiditas dan mortalitas dari berbagai daerah endemik, telah
menimbulkan kepercayaan bahwa derajat keparahan demam tifoid sedang meningkat
di negara berkembang. (COOK, 1997)
Demam typoid sering ditemukan di negara yang masyarakatnya belum
mengamalkan hidup bersih. Di negara maju, dinas kesehatan wajib memantau
kebersihan makanan. Restoran yang tercemar kuman akan ditutup untuk melindungi
masyarakat. Di negeri kita pengawasan belum berjalan baik sehingga setiap orang
diharapkan dapat memilih makanan dan minuman yang bersih agar dia terlindung
dari penularan penyakit (Djauzi, 2007)
Sumber penularan utama demam tifoid adalah penderita itu sendiri dan
carrier, yang mana mereka dapat mengeluarkan berjuta-juta kuman Salmonella typhi
dalam tinja, dan tinja inilah yang menjadi sumber penularan. Debu yang berasal dari
tanah yang mengering, membawa bahan-bahan yang mengandung kuman penyakit
yang dapat mecemari makanan yang dijual di pinggir jalan. Debu tersebut dapat
mengandung tinja atau urin dari penderita atau karier demam tifoid. Bila makanan
dan minuman tersebut dikonsumsi oleh orang sehat terutama anak-anak sekolah yang
sering jajan sembarangn maka rawan tertular penyakit infeksi demam tifoid. Infeksi

demam tifoid juga dapat tertular melalui makanan dan minuman yang tercemar
kuman yang dibawa oleh lalat.
Berdasarkan kelompok umur, beberapa buku menjelaskan bahwa angka
kejadian demam tifoid sebagian besar terjadi pada usia 3-19 tahun. Kelompok umur
ini merupakan kelompok khusus di masyarakat yaitu anak sekolah, yang
kemungkinan besar sering jajan di sekolah atau di tempat lain di luar rumah.
Badan POM menguji makanan jajanan anak sekolah di 195 Sekolah di 18
Provinsi. Diantaranya Jakarta, Semarang, Bandar Lampung, Denpasar dan Padang.
Jumlah makanan yang dijadikan sampel sebanyak 861 contoh. Dari hasil uji
didapatkan 39,95% atau 344 contoh tidak memenuhi syarat keamanan pangan. Untuk
es sirup atau buah sebesar 48,19% dan minuman ringan, 62,50% juga mengandung
bahan berbahaya dan tercemar bakteri patogen termasuk kuman Salmonella Thypi.
(Judarwanto, 2009).
Bahan makanan pada umumnya merupakan media yang sesuai bagi
pertumbuhan dan perkembangbiakan mikroorganisme (protozoa, jamur, bakteri, dan
virus). Kerusakan dan pembusukan merupakan awal dari kegiatan mikroorganisme.
Mikroorganisme dapat mengkontaminasi makanan oleh beberapa sebab, yaitu
terbawa dari makanan pada waktu proses produksi atau pada waktu pendistribusian
produk. Mikroorganisme pada makanan dapat menyebabkan berbagai penyakit,
seperti sesak nafas, mual, muntah, pusing, diare, disentri, pingsan, bahkan
menyebabkan kematian.
Berdasarkan hasil pengamatan, cemaran mikroorganisme paling banyak
terdapat ada kue bugis dan paling sedikit pada bolu kukus, dengan jumlah total
sekitar 1,3 x 10 sampai 1,5 x 10 koloni/gram. Keracunan makanan yang disebabkan
oleh bakteri patogen disebut infeksi karena makanan (food infection). Bakteri yang

biasa mencemari makanan terutama Entamoeba proteus, Escherichia coli,


Pseudomonas, dan terutama Salmonella yang merupakan penyebab penyakit tifoid
dan paratifoid. (Saparinto, 2006)
Data dari RSUD Arosuka, Kabupaten Solok jumlah pasien tifus tahun 2009
yang rawat jalan sebanyak 20 orang, rawat inap sebanyak 36 orang dan 1 orang
meninggal karena penyakit tifus. Pada tahun 2010, pasien tifus yang rawat jalan
sebanyak 13 orang dan rawat inap sebanyak 25 orang. Kemudian pada tahun 2011,
pasien tifus yang rawat jalan berjumlah 7 orang dan rawat inap 7 orang. Pada tahun
2012 terjadi peningkatan jumlah pasien tifus di RSUD Arosuka yang sangat drastis,
yaitu pasien yang rawat jalan sebanyak 75 orang dan rawat inap 51 orang dengan 1
orang pasien meninggal.
Melihat tingginya peningkatan jumlah pasien tifus dari tahun 2011 dengan
tahun 2012 dan pengamatan pendahuluan yang telah dilakukan oleh penulis, penulis
melihat bahwa banyaknya fenomena siswa SMP N 2 Gunung Talang sering jajan di
pinggir jalan sewaktu jam istirahat dan jam pulang sekolah. Berdasarkan uraian di
atas, maka penulis tertarik untuk meneliti hubungan konsumsi jajanan terhadap
resiko penyakit demam tifoid (thypus abdominalis) siswa kelas VII SMP N 2
Gunung Talang Kabupaten Solok.

1.2 Rumusan Penelitian


Apakah ada hubungan konsumsi jajanan terhadap resiko penyakit demam
tifoid (Typhoid Abdominalis) siswa kelas VII SMP N 2 Gunung Talang tahun 2013.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan konsumsi jajanan terhadap resiko
penyakit demam tifoid (Typhoid Abdominalis) siswa kelas VII SMP N 2
1.3.2

Gunung Talang tahun 2013.


Tujuan Khusus
1.3.2.1 Diketahuinya distribusi siswa kelas VII SMP N 2 Gunung Talang
berdasarkan resiko penyakit demam tifoid (Typhoid Abdominalis).
1.3.2.2 Diketahui distribusi siswa kelas VIII SMP N 2 Gunung Talang
berdasarkan konsumsi jajanan.
1.3.2.3 Diketahuinya hubungan konsumsi jajanan terhadap resiko
penyakit demam tifoid (Typhoid Abdominalis) siswa kelas VII
SMP N 2 Gunung Talang tahun 2013.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Menambah wawasan, pengetahuan dan pengalaman bagi penulis dalam
1.4.2

melakukan penelitian dibidang kesehatan khususnya gizi masyarakat.


Bermanfaat bagi masyarakat mengetahui hubungan konsumsi jajanan
terhadap resiko penyakit demam tifoid (Tifoid Abdominalis) siswa kelas

1.4.3

VII SMP N 2 Gunung Talang tahun 2013.


Penelitian ini bisa dijadikan sumber data untuk penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup penelitian


Penelitian ini meliputi hubungan konsumsi jajanan terhadap resiko penyakit
demam tifoid (Tiphoid Abdominalis) siswa kelas VII SMP N 2 Gunung Talang tahun
2013 yang dilakukan pada siswa kelas VIII SMP N 2 Gunung Talang Kabupaten
Solok.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Demam tifoid
2.1.1.1 Defenisi Penyakit Demam Tifoid
Vhieta

dalam

FKUI

(1985)

menyatakan

bahwa

thypus

abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasa mengenai


saluran pencernaan. Gejala yang biasa ditimbulkan adalah demam
yang

tinggi

lebih

dari

minggu,

gangguan

pada

saluran

pencernaan, dan gangguan kesadaran.


Tifus abdominalis (demam typoid) adalah penyakit infeksi bakteri hebat yang
diawali di selaput lendir usus dan jika tidak diobati secara progresif menyerbu
jaringan seluruh tubuh. Kuman penyebabnya adalah Salmonella Thypi (basil gramnegatif) yang memasuki tubuh melalui mulut dengan perantara makana atau
minuman yang telah terkontaminasi. kuman ini terdapat dalam tinja, kemih dan
darah. Masa inkubasinya sekitar 10 hari (Tambayong 1999).
Demam tifoid atau typhoid fever atau typhus abbdominalis adalah penyakit
yang disebabkan Salmonella typii. Salmonella Typhii adalah kuman gram negatif
berbentuk batang yang hidup fakultatif anaerob. Demam tifoid ditularkan melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi Salmonella typhi. Pada saat Salmonella
typii masuk kedalam saluran pencernaan, Salmonella typi berkembangbiak dan
masuk kedalam aliran darah. Tubuh akan bereaksi dan timbullah demam, dan gejala
lain seperti nyeri pada perut, nafsu makan menurun, sakit kepala dll. Kadang juga
terlihat bintik kemerahan (roses spot). Pemeriksaan penunjang diagnostik yang
6

dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah (widal) dan tinja. Komplikasi yang dapat
ditimbulkan adalah pecahnya usus. (Tapan, 2004)
2.1.1.2 Patofisiologi Penyakit Demam Tifoid
Penularan Salmonella Thypi terjadi melalui mulut oleh makanan yang
tercemar. Sebagian kuman akan dimusnahkan di dalam lambung oleh asam lambung,
sebagian lagi masuk ke dalam usus halus, mencapai jaringan limfoid lalu
berkembang biak. Kuman kemudian masuk aliran darah dan mencapai sel-sel
terikuloendotelial hati, limfa dan organ lain. Proses ini terjadi pada masa tunas yang
berakhir saat sel-sel terikuloentelial melepas kuman ke dalam peredaran darah dan
menimbulkan bakterinemia untuk kedua kalinya. Kuman-kuman selanjutnya masuk
ke jaringan beberapa organ tubuh, terutama limpa, usus dan kantong empedu.
Pada awalnya demam tifoid disangka hanya demam biasa dan gejalagejala toksemia pada tifoid disebabkan oleh endotoksemia bukan merupakan
penyebab utama demam dan gejala toksemia pada tifoid. Endotoksemia Salmonella
Thypi berperan pada patogenesis tifoid, karena membantu terjadinya proses
imflamasi lokal pada jaringan tempat dimana Salmonella Thypi dan endotoksinnya
merangsang sintesis dan penglepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang
merangsang (Soeparman, 1987 : 32-33)
2.1.1.3 Gejala Penyakit Demam Tifoid
Gejala klinis infeksi ini berupa demam (biasanya lebih dari 5 hari, terutama
malam hari, makin tinggi, rambut pasien tertentu bisa rontok), menggigil, nyeri,
kembung abdomen, lidah kotor dengan tepian merah, sering konstipasi selama
beberapa hari. (Tambayong, 1999)
Gejala umum lemah, lesu, anoreksia. Demam disebabkan endotoksin yang
dikeluarhan oleh kuman. Minggu I : Febris remitten (pagi hari suhu turun, sore hari

dan malam meningkat). Minggu II : demam terus. Minggu III : suhu badan mulai
turun secara berangsur. Gangguan pada saluran pencernaan terutama pada ileum
bagian distal. Gangguan kesadaran kadang-kadang sampai apatis atau somnolen.
(Suryanah, 1996)
Tanda dan gejala yang dapat kita amati dalam kurun waktu tertentu antara lain
(Werner, 1980) :
a. Minggu pertama
1. Mulanya mirip dengan demam atau influenza.
2. Sakit kepala dan leher
3. Panas naik sedikit demi sedikit setiap hari sampai 40 derajat atau lebih.
4. Seringkali nadinya relatif lambat dibandingkan dengan tingginya panas.
5. Kadang-kadang terdapat muntah, mencret atau sembelit.
b. Minggu kedua
1. Panas tinggi, nadi relatif bradikardi.
2. Mungkin terlihat beberapa bercak atau bintik merah muda pada badan.
3. Badan menggigil dan gemetar.
4. Menggigau atau delirium (penderita tidak dapat berpikir dengan jelas atau
tidak dapat menggunakan pikirannya)
5. Lemah, berat badan turun, tubuh kekurangan cairan (dehidrasi)
c. Minggu ketiga
1. Jika tidak terjadi komplikasi, maka panas dan tanda-tanda lainnya akan
hilang perlahan-lahan.
2.1.1.4 Komplikasi Penyakit Demam Tifoid
Kompilaksi infeksi dapat terjadi perforasi atau pendarahan. Hal itu
disebabkan kuman salmonella thypi terutama menyerang jarinagn tertentu, yaitu
jaringan atau organ limfoid, seperti limfa yang membesar, juga jaringan limfoid usus,
yaitu pklak peyeri, terserang dan membesar. Membesarnya plak peyeri ini berarti ia
tambah kuat, sebaliknya jaringan ini menjadi rapuh dan mudah rusak oleh gesekan
makanan yang melaluinya (Tambayong 1999).

Komplikasi yang dapat terjadi, antara lain adalah (Soegiyanto dalam Putra,
2012) :
1. Intra intestinal
a. Perforasi usus
Perforasi merupakan komplikasi pada 1-5% penderita yang dirawat,
biasanya terjadi pada minggu ketiga tetapi bisa terjadi selama masa sakit.
Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat ditemukan bila
terdapat udara di rongga peritoneum.
b. Perdarahan Usus
Pada plak Payeri usus yang terinfeksi dapat terbentuk tukak/luka berbentuk
lonjong dan memanjang terhadap sumbu usus. Bila sedikit hanya ditemukan
jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan benzidin. Perdarahan hebat dapat
menyebabkan syok, tetapi biasanya sembuh spontan tanpa pembedahan.
2. Ekstra intestinal
Terjadi karena lokalisasi peradangan akibat sepsis yaitu meninggal, kolesistis,
ensefalopati dan lain-lain. Pankreatitis merupakan komplikasi yang jarang
terjadi pada demam tifoid. Myokarditis terjadi pada 1-5% penderita demam
tifoid. Hepatitis tifosa merupakan komplikasi demam tifoid yang jarang
ditemukan. Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri S.typhi
melalui urin pada saat sakit maupun sembuh. Sehingga sistitis bahkan
pielonefritis merupakan penyulit demam tifoid. Dilaporkan pula kasus dengan
15 komplikasi neuro psikiatrik. Sebagian besar bermanifestasi gangguan
kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma.
2.1.1.5 Pencegahan Penyakit Demam Tifoid
Secara Umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi,
maka setiap indifidu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang
mereka konsumsi. Salmonella typhi akan mati dalam air yang dipanaskan setinggi 57
C dalam beberapa menit atau dengan prose iodinasi/klorinasi. Vaksinasi atau

imunisasi, memberikan pendidikan kesehatan dan pemeriksaan kesehatan secara


berkala terhadap penyaji makanan baik pada industri makanan maupun restoran
dapat berpengaruh terhadap penurunan angka kejadian demam tifoid. (Soegiyanto,
2002)
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan karena
akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian akibat
demam tifoid. Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa (KLB)
demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman Salmonella typhi
sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan. (Soegiyanto,
2002)

Secara garis besar ada tiga strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid,
yaitu :
a. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid
maupun kasus karier tifoid.
b. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi Salmonella thypi
akut maupun karier.
c. Proteksi pada orang yang berisiko teinfeksi.
2.1.2 Makanan Jajanan
2.1.2.1 Defenisi Makanan Jajanan

10

Makanan jajanan merupakan makanan dan minuman yang dipersiapkan


dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian
umum lain yang langsung dimakan atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan
lebih lanjut. Konsumsi makanan jajanan yang tidak sehat dapat mengakibatkan
penurunan status gizi dan meningkatnya angka kesakitan pada anak sekolah.
Jajanan yang dijual oleh pedagang kaki lima atau dalam bahasa Inggris
disebut street food menurut FAO (Food and Agriculture Organization) didefisinikan
sebagai makanan dan minuman yang dipersiapkan dan dijual oleh pedagang kaki
lima di jalanan dan di tempat-tempat keramaian umum lain yang langsung dimakan
atau dikonsumsi tanpa pengolahan atau persiapan lebih lanjut. (Rahmawati, 2006)
Menurut

Keputusan

Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

942/MENKES/SK/VII/2003, makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang


diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai
makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasa boga, rumah
makan atau restoran, dan hotel.
Makanan jajanan (street food) telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Konsumsi
makanan jajanan diperkirakan akan terus meningkat, mengingat makin terbatasnya
jumlah anggota keluarga untuk mengolah makanan sendiri. Keunggulan makanan
jajanan adalah murah dan mudah didapat, serta cita rasanya enak dan cocok dengan
selera kebanyakan orang. (Saparinto, 2006)
2.1.2.2 Keamanan makanan jajanan
Penemuan Badan POM dari hasil uji sampling pengawasan dan pemeriksaan
terhadap makanan jajanan, seperti mie basah, tahu da ikan, yang dilakukan di
beberapa daerah di Indonesia (Bandar Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang,
11

Yogyakarta, Surabaya, Makassar dan Mataram) didapatkan dari 213 sampel mie
basah 64,32% tidak memenuhi syarat keamanan pangan, dari 290 sampel tahu
33,45% tidak memenuhi syarat keamanan pangan, sedangkan dari 258 sampel ikan
26,36% tidak memenuhi syarat keamanan pangan ikan. (Saparinto, 2006)
Lebih dari 70% makanan jajanan dihasilkan oleh home industry dengan
penanganan tradisional. Dalam proses produksinya, kebanyakan industri itu masih
belum memenuhi persyaratan kesehatan dan keamanan makanan. Bahkan, ada yang
hampir atau tidak memenuhi syarat keamanan makanan sama sekali. Hal inilah yang
disinyalir menjadi oenyebab dari seringnya keracunan akibat konsumsi makanan
tradisional, baik yang secara massal maupun perorangan. Keracunan makanan bisa
disebabkan oleh pemerintah maupun kesalahan dalam proses pengolahan.

Hal ini disebabkan oleh hal-hal berikut.


1. Produsen kurang atau tidak menyadari dan memahami sepenuhnya arti
kebersihan dan keamanan pangan.
2. Produsen menutup diri terhadap kontak dari pihak luar atau instansi yang
berwenang dalam masalah kesehatan dan keamanan makanan. Hal in
disebabkan oleh faktor psikologis dan rahasia perusahaan.
3. Produsen kurang mendapat bimbingan dan petunjuk dari instansi berwenang
mengenai masalah kesehatan dan keselamatan makanan.
2.1.3 Hubungan konsumsi jajanan dengan penyakit demam tifoid
Tifus abdominalis (demam typoid) adalah penyakit infeksi bakteri hebat
yang diawali di selaput lendir usus dan jika tidak diobati secara progresif menyerbu
jaringan seluruh tubuh. Kuman penyebabnya adalah Salmonella Thypi (basil gramnegatif) yang memasuki ttubuh melalui mulut dengan perantara makana atau
minuman yang telah terkontaminasi (Tambayong 1999).

12

Sumber penularan utama demam typoid adalah penderita itu sendiri dan
carrier, yang mana mereka dapat mengeluarkan berjuta-juta kuman Salmonella typhi
dalam tinja, dan tinja inilah yang menjadi sumber penularan. Debu yang berasal dari
tanah yang mengering, membawa bahan-bahan yang mengandung kuman penyakit
yang dapat mecemari makanan yang dijual di pinggir jalan. Debu tersebut dapat
mengandung tinja atau urin dari penderita atau karier demam typoid. Bila makanan
dan minuman tersebut dikonsumsi oleh orang sehat terutama anak-anak sekolah yang
sering jajan sembarangn maka rawan tertular penyakit infeksi demam typoid. Infeksi
demam typoid juga dapat tertular melalui makanan dan minuman yang tercemar
kuman yang dibawa oleh lalat.
Demam typoid sering ditemukan dinegara yang masyarakatnya belum
mengamalkan hidup bersih. Dinegara maju, dinas kesehatan wajib memantau
kebersihan makanan. Restoran yang tercemar kuman akan ditutup untuk melindungi
masyarakat. Di negeri kita pengawasan belum berjalan baik sehingga setiap orang
diharapkan dapat memilih makanan dan minuman yang bersih agar dia terlindung
dari penularan penyakit (Djauzi, 2007)

2.2 Kerangka Konsep


Variabel Independen

Variabel Dependen

Konsumsi Jajanan

Penyakit tifoid

2.3 Hipotesis
Ada hubungan konsumsi jajanan terhadap resiko penyakit demam tifoid
(Tifoid Abdominalis) siswa kelas VII SMP N 2 Gunung Talang tahun 2013.
13

2.4 Definisi Operasional


Variabel
Konsums

Pengertian
Cara Ukur
Konsumsi makanan dan Wawancara

i Jajanan

minuman

yang

Alat Ukur Hasil Ukur


Kuesione -Sehat
-Tidak Sehat
r

Skala
Ordinal

Angket

Nominal

dipersiapkan dan dijual


oleh pedagang kaki lima
di jalanan dan di tempattempat keramaian umum
lain

yang

langsung

dimakan atau dikonsumsi


tanpa pengolahan atau
Penyakit

persiapan lebih lanjut


Suatu penyakit infeksi Wawancara

tifoid

yang

disebabkan

oleh

kuman Salmonella Thypi


yang
menyerang

biasanya
saluran

pencernaan manusia.

14

-Ya
-Tidak

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yaitu suatu metode
penelitian yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan, mencatat, menganalisis, dan
menginterpretasikan kondisi-kondisi yang terjadi. Penelitian ini menggunakan desain
cross sectional. Cross sectional merupakan salah satu bentuk studi observasional
(non-eksperimen) untuk menentukan hubungan antar variabel independen konsumsi
jajanan dan variabel dependen penyakit tifoid pada siswa kelas VII SMP N 2 Gunung
Talang.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di SMP N 2 Gunung Talang pada bulan Juni Agustus 2013.
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP N 2 Gunung
Talang yaitu sebanyak 196 orang.
Sampel penelitian ini adalah siswa SMP yang memenuhi kriteria. Penentuan
sampel diambil dengan rumus populasi finit, dan pengambilan sampel dilakukan
dengan metode system random sampling, yaitu sampel diambil secara acak.

Sampel yang diambil adalah mereka yang memenuhi semua kriteria sampel.
Rumus pengambilan sampel :

15

Z 1
x P ( 1P ) x N
2
n=
2
d 2 ( N1 ) + Z 1
x P (1P)
2

)
(

= Jumlah Sampel

( 1 ) = 1,96
2

d
P
N

= Presisi Mutlak
= Proporsi dalam Populasi
= Populasi

(5%)
(0,8)
(196)

Jumlah sampel yang diperoleh dari perhitungan besar sampel adalah 109
orang dengan populasi yang memenuhi semua kriteria sampel.

3.4 Jenis dan Cara Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer
berupa data siswa SMP N 2 Gunung Talang kelas VII, sedangkan data sekundernya
adalah data tentang gambaran umum SMP N 2 Gunung Talang.

3.5 Teknik Pengolahan Data


Pengolahan data dilakukan dengan komputerisasi dan menggunakan software
SPSS versi 16.0.

3.6 Persiapan Pengolahan Data


16

3.6.1.1 Editing
Semua data yang telah dikumpulkan yaitu, konsumsi jajanan dan diagnosis
tifoid diperiksa kembali kelengkapan, kejelasan dan kekonsistensinya agar tidak ada
kesalahan dalam pengumpulan data dan didapatkan data yang benar dan valid
3.6.1.2 Coding
Semua data konsumsi jajanan dan penyakit typodi yang telah dibersihkan,
kemudian diberi kode tertentu, tujuannya agar memudahkan dalam mengolah data.
Kode yang diberikan pada setiap siswa yang menderita tifoid berdasarkan urutan
pemberian kuesioner.
3.6.1.3 Entry
Semua data konsumsi jajanan dan penyakit tifoid yang telah dikumpul, telah
lengkap dan jelas, kemudian data dimasukkan ke dalam SPSS.
3.6.1.4 Cleaning
Membersihkan data yang salah pada master tabel. Selanjutnya data konsumsi
jajanan dan tifoid diolah.
3.6.1.5 Tabulating
Membuat master tabel dari data yang sudah diolah untuk di analisa.

3.7 Pelaksanaan Pengolahan Data


Pengolahan data konsumsi jajanan dihitung berdasarkan hasil kuesioner pada
sampel yang telah dilakukanpada sampel. Kemudian dikategorikan konsumsi jajanan
yang sehat jika makanan jajanan yang dikonsumsinya sehat dan tidak sehat jika
konsumsi makanan jajanannya tidak sehat. Penyakit tifoid didapatkan dari hasil
angket yang diberikan kepada sampel yang kemudian dikategorikan ya dan tidak.
3.8 Analisis Data
17

Data yang diolah dianalisa secara univariat dan bivariat dengan menggunakan
komputerisasi. Analisis univariat terdiri dari konsumsi jajanan dan penyakit tifoid.
Analisa bivariat untuk membuktikan apakah ada hubungan yang bermakna antara
konsumsi jajanan denga resiko penyakit tifoid pada siswa kelas VII SMP N 2
Gunung Talang tahun 2013. Jenis uji yang akan dilakukan adalah uji Chi-Square
dengan tingkat kepercayaan 95 %.

18

DAFTAR PUSTAKA
Putra, Ade. 2012. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu Tentang Demam
Tifoid Terhadap Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar. Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/37279/pdf. diakses tanggal
26 Mei 2013.
Rachmawati, E. 2006. Waspadai Jajanan Anak di Sekolah. Jakarta: Penerbit Buku
Kompas.
Soegijanto,S. 2002. Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa & Penatalaksanaan. Jakarta:
Salemba Medika

Suparianto, Cahyo. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta : Kanisus


Suryana. 1996. Keperawatan Anak Untuk Siswa SPK. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Tambayong, Jan. 1999. Patofisiologi untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Tapan, Erik. 2004. HFMD, Diare pada pelancong, Malaria, Demam berdarah,
Malaria, Tifus. Jakarta : Pustaka Populer Obor
Viarni, Erni. 2013. Praktek Konsumsi Makanan Jajanan Pada Siswa Di Smp Negeri 4
Tasikmalaya Tahun 2013. Fakultas Ilmu Kesehatan Peminatan Gizi Kesehatan
Universitas Siliwangi. http://journal.unsil.ac.id/jurnalunsil-1353-.html/pdf.
diakses tanggal 26 Mei 2013
Werner, David & Maxwell, Jane. 1980. Apa yang anda kerjakan bila tidak ada
dokter?. Yogyakarta : Andi Offset

19

Lampiran 1
Dummy Tabel
1.Univariat
Tabel 4.1
Distribusi Sampel berdasarkan Penyakit Tifoid
Tifoid
+
Total

Total

Tabel 4.2
Distribusi Sampel berdasarkan Konsumsi Jajanan
Konsumsi Jajanan
Aman
Tidak aman
Total

20

Total

2.Bivariat
Tabel 4.3
Hubungan Konsumsi jajanan dan Resiko tifoid
Konsumsi
Jajanan
Aman
Tidak aman
Total

Resiko tifoid
+

21

Total

Lampiran 2
KUISIONER
DATA UMUM
KODE RESPONDEN

HARI/TANGGAL

NAMA RESPONDEN

UMUR RESPONDEN

JENIS KELAMIN

RESIKO DEMAM TIFOID


1. Apakah adik sering menderita demam?
a. Iya

(1)

b. Tidak

(0)

2. Sewaktu demam, apakah adik mengalami panas tinggi sampai pusing, lemah dan
lesu?
a. Iya

(1)

b. Tidak

(0)

3. Apakah adik pernah mengalami perubahan pola BAB setelah sakit tersebut?
a. Iya

(1)

b. Tidak

(0)

4. Apakah adik pernah merasa sakit perut di sebelah kiri setelah mengkonsumsi
jajanan?
a. Iya

(1)

b. Tidak

(0)

4. Apakah adik punya riwayat penyakit?


a. Iya, sebutkan ............................

(1)

b. Tidak

(0)
22

KEBIASAAN JAJAN
1. Apakah adik suka jajan ?
a. Ya
(0)
b. Tidak
(1)
2. Jika ya, berapa kali adik jajan sehari?
a. 1 kali
(2)
b. 2 kali
(1)
c. Lebih dari 2 kali
(0)
3. Dimana adik sering jajan?
a. Di kantin
(1)
b. Di pasar
(1)
c. Di pinggir jalan (di depan sekolah)
(0)
4. Mengapa adik suka jajan?
a. Kemauan sendiri
(1)
b. Lapar
(1)
c. Terpengaruh teman
(1)
5. Apa saja makanan yang sering adik beli?
a. Nasi goreng, lontong
(2)
b. Makanan ringan (Chiki, coklat, permen)
(1)
c. Gorengan, bakwan,bakso bakar
(0)
d. Minuman (pop ice, teh es)
(0)
6. Apakah makanan yang dibeli dibungkus atau tertutup dari debu dan lalat?
a. Ya
(1)
b. Tidak
(0)
7. Apakah adik suka membeli jajanan yang dijual di penggir jalan seperti bakso
bakar, dll?
a. Ya
(0)
b. Tidak
(1)
8. Jika ya, mengapa adik suka membelinya?
a. Suka
(0)
b. Terpengaruh teman
(1)
c. Alasan lain, sebutkan...............
(1)
9. Apakah saat adik jajan, adik memperhatikan lingkungan di tempat adik jajan?
a. Ya
(1)
b. Tidak
(0)
10. Apakah makanan yang adik beli bersih?
a. Ya
(1)
b. Tidak
(0)
11. Jika tidak, kenapa adik tetap mau jajan disana?
a. Enak

(0)

b. Kemauan sendiri
c. Terpengaruh teman
12. Apakah sebelum makan jajanan adik mencuci tangan?
a. Iya
b. Tidak
23

(1)
(1)
(1)
(0)

24

Anda mungkin juga menyukai