Anda di halaman 1dari 14

PERMASALAHAN FASILITAS PENGEMBANGAN EKONOMI

PENDAHULUAN
Pasar tradisional selama ini kebanyakan terkesan kumuh, kotor, semrawut, bau dan
seterusnya yang merupakan stigma buruk yang dimilikinya. Namun demikian sampai saat ini di
kebanyakan tempat masih memiliki pengunjung atau pembeli yang masih setia berbelanja di
pasar tradisional. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa banyak juga pasar tradisional yang
dalam perkembangannya menjadi sepi, ditinggalkan oleh pengunjung atau pembelinya yang
beralih ke pasar moderen.
Stigma yang melekat pada pasar tradisional secara umum dilatarbelakangi oleh perilaku
dari pedagang pasar, pengunjung atau pembeli dan pengelola pasar. Perilaku pedagang pasar dan
pengunjung dan pengunjung atau pembeli yang negatif secara perlahan dan bertahap dapat
diperbaiki, sekalipun memerlukan waktu lama. Keterlibatan pengelola pasar dalam perbaikan
perilaku ini adalah suatu keniscayaan.
Melekatnya stigma buruk pada pasar tradisional, seringkali mengakibatkan sebagian dari
para pengunjung mencari alternatif tempat belanja lain, di antaranya mengalihkan tempat
berbelanja ke pedagang kaki lima dan pedagang keliling yang lebih relatif mudah dijangkau
(tidak perlu masuk ke dalam pasar). Bahkan kebanyakan para pengunjung yang tergolong di
segmen berpendapatan menengah bawah ke atas cenderung beralih ke pasar moderen, seperti
pasar swalayan (supermarket dan minimarket) yang biasanya lebih mementingkan kebersihan
dan kenyamanan sebagai dasar pertimbangan beralihnya tempat berbelanja.
Seringkali dikesankan bahwa perilaku pedagang yang menjadi penyebab utama
terjadinya kondisi di kebanyakan pasar tradisional memiliki stigma buruk. Sebaliknya, di
lapangan di lapangan dijumpai peran pengelola pasar terutama dari kalangan aparatur
pemerintah dalam mengupayakan perbaikan perilaku pedagang pasar tradisional masih sangat
terbatas. Banyak penyebab yang melatarbelakangi kondisi ini. Dimulai dari keterbatasn jumlah
tenaga dan kemampuan (kompetensi) individu tenaga pengelola pengelola serta keterbatasan
kelembagaan (organisasi) pengelola pasar untuk melakukan pengelolaan pasar dan pembinaan
pedagang.
Selanjutnya permasalahan yang dihadapi oleh para pengelola pasar di lapangan tidak
terlepas dari Kebijakan pimpinan daerah dan para pejabat di bawahnya (Kepala Satuan Kerja

Perangkat Daerah-SKPD) di tingkat Kabupaten atau Kota. Dari kebijakan yang dikeluarkan
dapat diketahui kepedulian mereka terhadap pasar tradisional berserta para pedagang di
dalamnya dan para Pedagang Kaki Lima (PKL). Seperti diketahui pembiaran PKL dapat
menyebabkan gangguan terhadap pasar tradsional dan para pedagang di dalamnya, sehingga para
PKL juga perlu ditata dan dibina seperti halnya dengan pasar tradisional dan para pedagangnya.
Berikut ini dicoba untuk menelaah permasalahan pasar tradisional yang peninjuannya
berdasarkan pejabat dan institusinya yang terkait, dimulai dari lapis (layer) di tingkat paling atas
atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan yang paling tinggi (pimpinan daerah), kemudian
turun secara hirarkhi, berjenjang ke bawah yakni ke pihak-pihak (Kepala SKPD dengan
jajarannya) yang memilki kewenangan dengan ruang lingkup yang lebih terbatas.
1. Pasar Tradisional Lebih Sebagai Penghasil Pendapatan Asli Daerah
Kepedulian Pimpinan Daerah dan Para Pejabat di bawahnya terhadap pasar tradisional
menentukan kebijakan dan bentuk organisasi dari instansi (SKPD) yang membidangi pasar
tradisional di daerahnya. Di beberapa daerah, pimpinan daerah meletakkan posisi pasar sematamata sebagai salah satu sumber utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi yang
dipungut dari para pedagang. Sehingga kebijakan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Daerah
(Bupati/Walikota) dan

Pejabat

Daerah

di

tingkat

bawahnya

(Kepala

SKPD)

lebih

menekankan pada hal-hal yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan retribusi pasar, seperti
Pengaturan Pemungutan dan Penyetoran Retribusi serta Administrasi Keuangan (pembukuan)
Retribusi semata daripada penekanan pada pembinaan pasar termasuk di dalamnya pembinaan
para pengelola pasar dan pedagang pasar. Akibat dari adanya kebijakan optimalisasi pemungutan
retribusi tersebut, maka kepada para Kepala Pasar diberikan target-target yang untuk
mencapainya pasar diusahakan sedemikian rupa agar dapat menampung pedagang dalam jumlah
sebanyak mungkin, termasuk mengisi sebagian tempat-tempat kosong seperti tangga dan loronglorong pasar yang seharusnya dibiarkan tetap kosong tanpa pedagang agar para pengunjung tetap
nyaman berlalu lalang.
Dalam situasi di mana peran pasar lebih ditekankan sebagai salah satu penghasil PAD,
maka di beberapa daerah mendudukan pasar tradisional di bawah Dinas Pendapatan Daerah
(DINPENDA). Karena kompetensi utama DINPENDA adalah penghimpun PAD, maka sudah
barang tentu SKPD ini tidak memiliki kompetensi sebagai pembina pasar tradisional. Pembinaan

para pedagang pasar biasanya diserahkan kepada dinas (SKPD) yang membidangi perdagangan,
koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Model pembinaan yang melibatkan
dua SKPD ini biasanya sulit berjalan dengan baik, mengingat masalah koordinasi di antara dua
SKPD tersebut. Di sini SKPD pembina pedagang pasar ketika melakukan pembinaan harus
merasuk ke dalam unit kerja pasar tradisional yang secara keorganisasian berada di bawah
kewenangan DINPENDA. Kesulitan dalam melakukan koordinasi ini sudah menjadi sesuatu hal
yang lumrah karena kentalnya ego sektoral yang pada akhirnya masalah ini menjadi salah satu
sebab munculnya stigma buruk yang melekat pada pasar tradisional sehingga tidak menarik
untuk dikunjungi oleh masyarakat konsumen. Sebenarnya kondisi ini berujung pada
berkurangnya jumlah pedagang yang berjualan di pasar tersebut yang pada akhirnya dapat
mengurangi besarnya retribusi yang dikumpulkan. Pembinaan pasar tradisional yang ideal
adalah mewujudkan terjadinya keseimbangan antara peran pasar sebagai penghasil PAD dengan
sebagai penyedia fasilitas yang memudahkan masyarakat untuk melakukan jual beli secara
ekonomis dan mengikuti tradisi sosial budaya yang berkembang di daerah setempat.
Dalam praktik yang paling banyak dijumpai adalah penggabungan antara tugas
pembinaan teknis bagi pengelola dan pedagang pasar dengan penghimpunan retribusi sebagai
PAD yang ditangani oleh satu SKPD yang sering disebut dengan Dinas Pengelolaan Pasar
(DPP). Penggabungan kedua tugas ini tampaknya merupakan jalan tengah, antara di satu sisi
ekstrim yaitu meletakkan peran pasar tradisional sebagai penyumbang PAD semata dengan di
sisi lain yaitu meletakkan peran pasar tradisional untuk menyediakan tempat bagi masyarakat
pedagang dan kalangan masyarakat konsumen dalam bertransaksi jual beli. Kebijakan
pembinaan dengan mengambil jalan tengah yang menggabungkan kedua tugas seperti ini
memang tidak sebaik jika fokus pembinaan pasar tradisional diserahkan kepada salah satu SKPD
yang memang memiliki kompetensi inti pembinaan pasar dan pedagang.
2. Persaingan Pasar Tradisional Dengan PKL
Pembinaan pasar tradisional yang paling memerlukan upaya paling besar adalah
pembinaan pedagang yang berjualan di pasar tersebut. Dalam pembinaan pedagang pasar
tradisional perlu juga memperhatikan pedagang lain yang berada di sekitar pasar tradisional,
terutama pedagang kaki lima (PKL).

Berdasarkan pengalaman empiris dan penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penelitian
SMERU (2007) terhadap para pedagang di pasar-pasar tradisional di Bandung dan Jakarta,
Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi (JABODETABEK) diperoleh informasi bahwa salah satu
pesaing utama para pedagang di pasar-pasar tradisional adalah para PKL. Sehingga keberadaan
PKL di sekitar pasar hendaknya diperhatikan benar agar tidak menyaingi para pedagang pasar,
karena mereka banyak yang berjualan menutupi bagian depan dan jalan masuk ke pasar yang ini
menjadikan bagian luar pasar-pasar tradisional tampak kumuh dan semrawut. Di kebanyakan
pasar tradisional, kondisi seperti ini dibiarkan terus terjadi tanpa solusi, akibatnya para pembeli
tidak perlu masuk ke dalam pasar sehingga memancing para pedagang yang berjualan di dalam
pasar berpindah ke luar meninggalkan lapaknya yang pada akhirnya keadaan di dalam pasar
kosong, sebaliknya di luar pasar keadaannya padat seperti layaknya pasar tumpah.
Untuk menghindari persaingan antara pedagang pasar dengan PKL, maka perlu dilakukan
penataan dengan menempatkan PKL ke lokasi yang ditentukan, di mana di tempat yang baru
PKL tidak lagi menyebabkan kekumuhan baru dan tidak menyaingi pedagang pasar tradisional.
Untuk menghindari kesulitan dalam hal koordinasi, maka penanganan permasalahan (penataan
dan pembinaan) pedagang pasar tradisional dan PKL sudah seyogyanya dilakukan di bawah satu
atap (satu SKPD). Di kebanyakan Pemerintah Kabupaten/Kota, SKPD yang menangani
pembinaan pedagang pasar tradisional dan PKL adalah Dinas Perindustrian, Perdagangan,
Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) (dan Pasar). Mengingat SKPD ini
tidak saja bertugas membina pedagang, tetapi juga membina para pelaku di sektor industri
industri terutama yang berskala usaha mikro, kecil dan menengah serta sektor koperasi, maka
pembinaan pasar tradisional, pedagang pasar dan PKL hanya ditangani oleh pejabat setingkat
Eselon III (Kepala Bidang), bahkan dengan lingkup masing-masing yang lebih sempit hanya
ditangani oleh pejabat setingkat Eselon IV. Di sini kewenangan pejabat tersebut terbatas,
mengingat dalam praktik, pengelolaan pasar tradisional banyak melibatkan kewenangan
SKPD/instansi lain, seperti di bidang perparkiran, kebersihan, keamanan dan ketertiban,
kesehatan, lingkungan hidup, perlindungan konsumen, dan kemetrologian (tertib ukur).
Demikian juga, banyak pihak yang terlibat dalam penataan dan pembinaan PKL, seperti yang
berkaitan dengan penataan wilayah/kota, keamanan dan ketertiban, kebersihan, serta
perdagangan eceran.

Penanganan permasalahan Pedagang Pasar Tradisional dan PKL yang dirasakan paling
ideal apabila ditangani oleh Dinas Pengelolaan Pasar atau Dinas Pasar (DPP) dimana di dalam
struktur SKPD ini terdapat Bidang yang menangani Pasar Tradisional termasuk pedagang
tradisional di dalamnya dan Bidang yang khusus menangani PKL. Di sini Kepala Bidang yang
menangani Pasar Tradisional dan Kepala Bidang yang menangani PKL dapat saling
berkoordinasi dalam menangani kedua kelompok pedagang ini di bawah kendali Kepala DPP
sebagai koordinator, sehingga kedua pedagang pasar tradisional tidak diganggu oleh keberadaan
PKL dan kemudian PKL sedikit demi sedikit diarahkan menjadi pedagang pasar tradisional.
Ada pula daerah yang tidak menjadikan PKL sebagai para pedagang yang harus dibina,
sehingga dapat diaktakan bahwa keberadaannya sama sekali tidak dikehendaki oleh Pemerintah
Daerah yang bersangkutan. Di sini Satuan Polisi Pamong Praja (SATPOL PP) diwajibkan
menertibkan PKL dan sekaligus melakukan pembinaan dalam hubungannya dengan kemudahan
untuk penertiban, bukan pembinaan yang berkaitan dengan pembinaan kegiatan usaha di lokasi
tetap. Di sini PKL selalu dianggap menjadi masalah tanpa memperhatikan bahwa keberadaannya
selain dibutuhkan masyarakat konsumen juga menjadi tempat penampungan pekerja informal,
karena keterbatasan daya tampung lapangan kerja formal di daerah yang bersangkutan. Sudah
barang tentu, pengerahan SATPOL PP dalam penertiban PKL tidak serta merta persaingan antara
Pasar Tradisional dengan PKL dapat terselesaikan, karena proses penertiban hanya menghasilkan
ketertiban PKL yang semu (melarang PKL berdagang di suatu tempat) dan berjangka pendek, di
lain pihak umumnya jumlah PKL akan bertambah terus dan membutuhkan tempat berdagang
yang semakin luas.
3. Pembinaan Pasar Tradisional
Pemahaman tentang aktivitas pengelolaan pasar dan perdagangan eceran (ritel) mutlak
harus dimiliki oleh aparatur dinas yang ditugasi membina pasar tradisional termasuk di dalamnya
pedagang pasar. Dalam merancang kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang diterbitkan dalam
Peraturan Daerah (PERDA) serta peraturan dan pedoman pelaksanaan harus didasarkan atas
pemahaman tentang pengelolaan (manajemen) pasar dan perdagangan eceran (ritel). Selanjutnya
dalam pelaksanaan peraturan dan pedoman pelaksanaan tersebut seyogyanya para aparatur
pelaksana mulai di tingkat SKPD (dinas yang membidangi pasar) hingga di tingkat pengelola
pasar seyogyanya juga memahami hal-hal yang mendasar tentang pengelolaan pasar dan

perdagangan eceran. Tentunya tingkat pemahaman yang seyogyanya harus dimiliki oleh masingmasing aparatur tersebut berbeda-beda tergantung pada posisi dan sifat tugas aparatur yang
bersangkutan.
Agar para aparatur dapat melaksanakan peraturan dan pedoman tersebut dengan baik,
maka sebelumnya kepada mereka diberikan pelatihan secara berjenjang tentang pengelolaan
pasar dan perdagangan eceran. Selanjutnya kepada para aparatur yang telah dilatih, kepada
mereka diberikan kesempatan untuk bekerja di bidang-bidang sesuai dengan pengetahuan yang
telah diperolehnya sampai waktu yang dirasakan cukup untuk dapat menerapkan pengetahuan
tersebut dan diharapkan pengelolaan pasar dan pedagang pasar dapat beraktivitas mengikuti
peraturan dan pedoman dengan tertib dan konsisten serta berkesinambungan.
Perdagangan eceran (ritel) merupakan salah satu bagian dari disiplin ilmu pemasaran
yang seringkali kurang dipahami oleh aparatur dari SKPD yang membidangi perdagangan dan
pasar, termasuk di dalamnya pasar moderen dan pasar tradisional serta perdagangan eceran.
Dalam praktik banyak dijumpai dalam praktik para aparatur yang bekerja di bidang ini tidak
memahami tentang pengetahuan dasar pemasaran yang sebenarnya sangat diperlukan ketika
mereka bekerja. Sehingga banyak kebijakan, peraturan pelaksanaan, pedoman, petunjuk operasi
sebagai upaya pembinaan pasar tradisional serta pedagang pasar dan PKL di mana para aparatur
tersebut terlibat penyiapan dan pelaksanaannya, tidak dapat dilaksanakan dengan optimal.
Akibatnya, banyak pasar-pasar tradisional berstigma negatif seperti kumuh, kotor, semrawut,
bau, sampah berceceran di mana-mana dan seterusnya.
Dalam merancang kebijakan pembinaan pedagang tradisional dan PKL dalam bentuk
penguatan daya saing di satu sisi dan menghambat beroperasinya pasar moderen sampai pada
suatu saat pasar tradisional mampu bersaing di sisi lain, diperlukan pemahaman tentang ilmu
pemasaran (marketing) merupakan hal mutlak di samping ilmu sosial lain yang terkait.
Pertimbangan lokasi pasar dan kawasan penempatan PKL misalnya, perlu didasari oleh
kebijakan tentang pengaturan pendirian pasar moderen serta kebijakan tentang revitalisasi pasar
tradisional dan relokasi PKL ke lokasi yang ditetapkan. Lokasi adalah salah satu unsur "P"
(Place) dalam "bauran pemasaran" (marketing mix) yang dikenal dengan "Empat P" (Product,
Place, Price dan Promotion).
Para pedagang

perlu mengetahui ilmu tentang dasar-dasar promosi khususnya

mendisplai barang dagangan agar mereka mampu menata dagangan yang menarik calon pembeli,

seperti menempatkan produk-produk tertentu sedemikian rupa agar perlu diketahui bahwa
kebanyakan para pengunjung pasar, ketika membeli barang terutama barang-barang sekunder,
seperti pakaian dan tas, untuk berbagai camilan untuk makanan, seringkali dipengaruhi oleh
emosinya (impuls buying). Sehingga penataan (displai) barang yang menarik, seringkali
membangkitkan emosi untuk membeli, sekalipun pembelian ini tidak direncanakan ketika akan
berangkat ke pasar. Diakui bahwa terjadinya pembelian yang tidak terencana ini juga sangat
dipengaruhi oleh daya beli para pengunjung pasar sebagai konsumen. Semakin kuat daya beli
konsumen, maka kemungkinan terjadinya pembelian yang tidak terencana sebelumnya semakin
kuat. Oleh karenanya, para pedagang setidaknya sepintas perlu memahami karakter dan
kemampuan untuk membeli yang dimiliki oleh para pengunjung pasar yang menjadi
pelanggannya.
Para pedagang terbiasa menyimpam/menimbun barang dagangan yang bersifat tahan
lama melebihi kemampuan menjual selama periode tertentu. Kebanyakan pedagang cenderung
banyak membeli (kulakan) barang dagangan tahan lama pada saat harga murah dan persediaan
berlimpah, kemudian disimpan entah sampai kapan. Kemudian, mereka merasa kegiatan
usahanya akan lebih aman apabila memiliki barang dagangan dibanding memegang uang kontan,
karena persediaan barang dagangan yang berlimpah diperlukan untuk berjaga-jaga jika
seandainya ada pembeli secara tiba-tiba membutuhkannya dalam jumlah besar yang sebenarnya
berdasar pengalaman jarang terjadi. Di satu sisi hal ini mengakibatkan ada barang dagangan yang
menjadi kedaluwarsa akibat prinsip First in First out (FIFO) sulit dijalankan karena penimbunan
persediaan/stock barang yang peletakkannya sembarangan tidak dilakukan secara sistematis
berdasarkan periode pengadaan melainkan ditumpuk-tumpuk seadanya. Di sisi lain, pasar
menjadi tampak kumuh karena penuh dengan tumpukan barang-barang milik pedagang sebagai
persediaan barang dagangan. Apabila peletakkan barang dilakukan dengan menumpuk-numpuk
hingga tinggi ke plafon, maka sirkulasi udara segar menjadi tidak lancar dan sinar dari cahaya
matahari atau lampu penerangan terhalang yang akibatnya los dan lorong/gang pasar menjadi
pengap (panas) dan gelap sehingga keadaan pasar menjadi tidak nyaman. Kelemahan ini dapat
diatasi dengan memberikan pengetahuan tentang "merchandising" sederhana kepada para
pedagang, sehingga mereka mengetahui tentang periodesasi pengadaan dan penimbunan stock
barang dagangan (inventory) yang efisien dan ekonomis serta aman bagi kelancaran aktivitas
usaha. Di sini para pedagang perlu memahami kebiasaan para pelanggannya kapan membeli

dalam jumlah besar atau jumlah yang normal, dan berapa besarnya jumlah pembelian. Selain itu,
juga perlu memahami kapan waktunya sulit untuk mendapatkan pasokan. Dengan memahami
kondisi kebutuhan dan pasokan tersebut, para pedagang dapat memperkirakan besarnya
persediaan barang dagangan yang harus disediakan berdasarkan periode penjualan. Persediaan
barang dagangan ini ekonomis, efisien dan aman bagi kelangsungan usaha.
Agar para pedagang tradisional dapat memahami cara untuk mengatasi kelemahankelamahan di muka, maka pihak pengelola pasar sebagai pembina perlu mensosialisasikan
pengetahuan tentang pemasaran dan merchandising sederhana kepada para pedagang. Untuk itu,
kepada pihak pengelola pasar harus terlebih dahulu diberikan pengetahuan dimaksud terlebih
dahulu, atau dapat juga dilakukan dengan menggunakan jasa konsultan dari pihak ketiga, namun
jangan sepenuhnya dilakukan oleh pihak ketiga, karena dibatasi oleh kontrak kerja dalam jangka
waktu tertentu.
4. Revitalisasi Pasar Tradisional
Kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam merevitalisasi pasar tradisional
masih lebih menekankan pada perbaikan (renovasi) phisik bangunan pasar. Masih sangat jarang
yang disertai dengan pembangunan kelembagaan (institutional building) seperti mengembangkan
organisasi (organizational development) pengelola dan pembina pasar tradisional, termasuk di
dalamnya pengembangan sistem manajemen pasar beserta sumber daya manusia (SDM) yang
terlibat serta pedagang pasar.
Berdasarkan pengalaman empiris di banyak kabupaten dan kota, setelah dilakukan
renovasi atau pembangunan kembali bangunan pasar selama kurun waktu 3-5 tahun kemudian,
bangunan pasar yang telah direnovasi atau dibangun kembali beserta pengelolaan pasarnya
tampak kembali semrawut serta kondisi pasar kembali kumuh dan kotor sama keadaannya seperti
sebelum dilakukan renovasi atau pembangunan kembali pasar. Terlebih lagi, setelah direnovasi
atau pembangunan kembali bangunan pasar, kegiatan perawatan atau pemeliharaan sangat
minimal dilakukan dengan alasan keterbatasan anggaran daerah. Hal ini terjadi karena kebijakan
revitalisasi pasar tradisional masih hanya sebatas menyentuh bangunan phisik pasar semata yang
seringkali kurang diikuti dengan aktivitas perawatan atau pemeliharaan bangunan phisik pasar.
Mulai tahun 2012, Kementerian Perdagangan memberikan bimbingan teknis kepada para
pedagang bersama para pengelola pasar tradisional tentang cara berjualan yang baik, seperti

mengupayakan dan memelihara kebersihan pasar, cara berdagang yang baik dengan penataan
barang dagangan yang menarik pembeli dan pengelolaan pasar. Kegiatan ini masih difokuskan
pada pasar-pasar tradisional yang telah direvitalsasi pada tahun lalu, seperti Pasar Grabag di
Kabupaten Purworejo, Pasar Cokrokembang di Kabupaten Klaten dan Pasar Minulyo di
Kabupaten Pacitan.
Selain dibangun oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pembangunan bangunan pasar
juga dilakukan oleh pihak swasta, di mana pihak swasta bertindak sebagai pihak pengembang
yang berhak menjual kios-kios di lokasi tertentu, biasanya di bagian bangunan pasar yang
menghadap ke luar, baik di lantai dasar maupun di lantaui atas apabila bangunan pasar tersebut
merupakan pasar yang bertingkat. Sedangkan pihak Pemerintah Daerah bertindak sebagai
pengelola pasar yang bersangkutan ketika telah selesai direnovasi. Namun di beberapa daerah,
pihak swasta yang bertindak sebagai pengembang juga diserahi untuk mengelola pasar setelah
selesai direnovasi dengan cara pengelolaan swasta yang biasanya lebih profesional dibanding
dengan pengelolaan oleh Pemerintah Daerah, sehingga pasarnya tampak lebih rapi, bersih dan
nyaman.
Pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang bekerjasama dengan pihak
swasta biasanya menghasilkan bangunan pasar yang lebih besar, bertingkat dan tampak megah.
Seringkali

pada

saat

merencanakan

bangunan

pasar

yang

baru

tidaklah

terlalu

rinci mempertimbangkan jumlah pedagang yang akan berdagang dan jumlah pembeli yang akan
dilayani di pasar yang baru nanti. Pengembang berpandangan bahwa apabila dibangun pasar
yang lebih besar, lebih baik dan lebih megah, maka pasar tersebut akan semakin ramai karena
lebih banyak pengunjung atu pembeli. Pengembang kurang memperhitungkan bahwa ada tempat
berbelanja lain yang sudah terlebih dahulu beroperasi yang menarik banyak pengunjung. Di sini
pengembang dan pengelola pasar harus menjadikan pasar tradisional yang baru tersebut lebih
menarik untuk dikunjungi dibanding dengan pasar lain termasuk pasar moderen yang sudah
terlebih dahulu ada. Seringkali upaya ini gagal sehingga pasar tradisional yang baru tersebut
tampak kosong, sepi pengunjung dan sebagaian dari para pedagang menutup kegiatan usahanya.
Permasalahan revitalisasi sebenarnya muncul sejak awal pada saat penjualan kios atau
lapak bagi para calon pedagang yang baru. Penjualan kios oleh pihak pengembang bersifat jual
putus di mana pihak pengembang tidak lagi berwenang menentukan jenis barang dagangan
setelah kios tersebut dijual ke pedagang. Permasalahan muncul ketika kios atau lapak yang sudah

dibeli oleh pihak pertama dijual kembali ke pedagang lain yang jenis dagangannya berbeda
dengan barang dagangan yang sudah ditentukan untuk zona di mana kios atau lapak tersebut
berada. Inilah yang menjadi salah satu sumber ketidaktertiban zonanisasi barang dagangan di
banyak pasar tradisional pada dewasa ini. Untuk mencegah terjadinya hal ini, maka setiap
peralihan hak milik kios atau lapak harus sepengetahuan pihak pengelola pasar. Apabila jenis
dagangan dari pedagang yang bertindak sebagai pembeli kios atau lapak berbeda dengan jenis
barang dagangan yang ditetapkan untuk zona yang bersangkutan, maka perpindahan tangah
sebaiknya tidak diteruskan.
Di banyak kabupaten dan kota, kepemilikan lapak atau kios pasar tradisional yang telah
direnovasi atau dibangun kembali oleh seseorang dapat lebih dari satu lapak atau kios, sekalipun
sebenarnya ia hanya membutuhkan satu lapak atau kios. Sedangkan sisa lapak atau kios yang
sudah dimiliknya disewakan atau dijual kembali. Di sini pedagang tersebut seolah-olah bertindak
sebagai investor yang kebetulan memiliki dana berlebih dan atau memiliki hak istimewa
(privilige). Berdasarkan pengalaman empiris di lapangan, hal ini seringkali menjadi salah satu
penyebab banyaknya jumlah kios yang tidak beroperasi di pasar-pasar tradisional yang telah
selesai direnovasi atau dibangun kembali dan mulai beroperasi kembali.
Sebagaian dari pemilki kios baru kemungkinan sebelumnya adalah pemilik lapak di los
pasar atau pemilik warung di luar pasar (di rumah-rumah penduduk di sekitar pasar) atau ex PKL
di sekitar pasar. Bagi para ex PKL, perpindahan operasi ke lapak pasar seringkali menimbulkan
masalah pada pasar tradisional, terutama dalam hal kebersihan pasar dan ketidakteraturan
penataan barang dagangan. Mereka harus menyesuaikan diri dengan peraturan tentang ketertiban
dan kebersihan pasar. Mereka harus mengikuti jam operasi pasar yang sudah ditentukan. Dalam
mendisplai barang dagangannya mereka harus mengikuti aturan tidak boleh menjorok jauh ke
depan, sehingga mengurangi lebar gang atau lorong tempat pengunjung berjalan dan tidak boleh
terlalu banyak menimbun barang dagangan (stock) yang melebihi daya tampung lapaknya.
Sebaiknya, untuk menghindari kegagalan program revitalisasi pasar tradisional, maka
pada saat peerencanaan pembangunan perlu dipikirkan kapasitas pasar yang akan dibangun harus
sesuai dengan jumlah pedagang yang sekarang ada, kemungkinan penambahan jumlah pedagang
yang sekarang ada, serta jumlah dan segmen konsumen yang akan berbelanja di pasar tersebut.
Seringkali dijumpai banyak keluhan dari pedagang yang sudah berdagang sejak di pasar lama,
ketika berpindah ke pasar yang sudah direnovasi ukuran kios dan lapak yang diperolehnya

menjadi berkurang atau lebih kecil dengan alasan bahwa banyak pedagang baru yang harus
ditampung. Kondisi ini menjadi alasan para pedagang untuk menata barang dagangannya
melonjak ke luar lapak atau kios melonjak dari batas yang diperkenankan. Akibatnya
gang/lorong di los-los pasar menjadi sempit dan tidak nyaman untuk para pembeli berlalu lalang
di pasar.
Selanjutnya, juga perlu dipikirkan persiapan calon pengelola pasar (manajemen pasar)
yang akan ditugasi mengelola pasar yang baru. Sebaiknya kepada mereka sejak awal diberikan
pelatihan tentang manajemen pasar dan diwajibkan menyusun sendiri serangkaian prosedur kerja
dan pengawasan pekerjaan di bawah bimbingan pihak yang berkompeten dalam manajemen
pasar. Pelatihan dan penyusunan prosedur kerja dan pengawasan pekerjaan ini dilakukan pada
saat aktivitas renovasi atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung. Pengetahuan
yang telah diperoleh serta prosedur kerj dan pengawasan pekerjaan yang telah dibuat, hendaknya
dipraktikkan di lingkungan pasar di penempatan sementara selama bangunan pasar sedang
direnovasi atau dibangun kembali, agar mereka terbiasa bekerja dengan menggunakan sistem.
Kepada para pedagang yang mendiami lokasi pasar sementara, diperkenalkan
pengetahuan sederhana tentang perdagangan eceran mencakup merchandising seperti
merencanakan pembelian (kulakan) barang dan persedian (merencanakan stock), sortasi dan
pengemasan, penataan dan penyimpanan barang secara sistematis sesuai dengan prinsip FIFO
serta pengetahuan tentang manajemen keuangan sederhana. Sama halnya dengan pelatihan bagi
calon pengelola pasar, kegiatan bagi para pedagang tersebut juga dilakukan pada saat renovasi
atau pembangunan pasar yang baru sedang berlangsung.
Selanjutnya, sejak awal kepada para pedagang juga diperkenalkan tentang penanganan
kebersihan yaitu setiap pedagang diwajibkan memiliki tempat sampah sementara di lapak atau
kiosnya masing-masing, bisa berbentuk kantung plastik atau tempat sampah dari plastik yang
sedapat mungkin sudah memisahkan sampah organik dan anorganik. Setiap kantung sampah
tersebut penuh dibuang ke tempat sampah yang terletak di gang atau lorong dekat lapak atau
kiosnya. Tujuan untuk memisahkan sampah organik dan anorganik adalah untuk persiapan
apabila sampah-sampah tersebut diolah menjadi kompos yang ini harus sudah dipikirkan sejak
jauh-jauh hari. Selain itu, pedagang juga diwajibkan untuk bertanggung jawab terhadap
kebersihan di lokasi sekitar setiap lapak atau kiosnya. Kepada setiap pedagang diajarkan untuk
mematuhi batas tempat yang diijinkan berjualan sehingga tidak mengurangi lebar gang di losnya

masing-masing. Dengan melibatkan pedagang dalam hal kebersihan dan ketertiban pasar, maka
beban pihak pengelola pasar menjadi lebih ringan. Apabila kebiasaan-kebiasaan seperti ini sudah
ditanamkan sejak dini, khususnya pada pasar yang sedang direnovasi atau dibangun kembali,
maka diharapkan kebiasaan-kebiasaan ini akan terus berlanjut di pasar yang baru.
Pada saat pasar yang baru akan mulai beroperasi, masalah yang terpelik adalah
pembagian lapak dan kios. Di sini perlu dilibatkan calon pengelola pasar yang baru, karena
pengalaman empiris menunjukkan bahwa para pengelola pasar merasa tidak tahu menahu
tentang pembagian lapak atau kios pada saat pasar yang baru akan mulai beroperasi. Para
pengelola pasar yang baru pada umumnya hanya ditugasi menjalankan pengelolaan pasar,
sehingga ketika pasar yang baru sudah berjalan kemudian terjadi ketidakdisiplinan zonanisasi
pedagang, pihak pengelola cenderung membiarkan atau tidak mau bertanggung jawab, karena
merasa tidak dilibatkan awal pembentukan zona pedagang berdasarkan jenis barang dagangan.
Padahal ketidaktertiban zonanisasi pedagang merupakan titik awal mulai terjadinya
kesemerawutan pasar tradisional.
5. Manajemen Pasar Tradisional
Keterbatasan kemampuan manajerial pengelola pasar tradisional mempengaruhi kondisi
pasar yang bersangkutan, bahkan hal ini menjadi salah satu penyebab utama melekatnya stigma
negatif yang kini melekat di pasar-pasar tradisional pada umumnya. Berdasarkan pengalaman
empiris di 30 Kabupaten dan Kota di Jawa Tengah, pasar-pasar tradisional yang memiliki tingkat
kebersihan, keamanan dan kenyamanan yang tinggi biasanya memiliki Tim Pengelola Pasar
dengan organisasi yang berstruktur lengkap dengan pedoman kerja jelas dan cukup rinci. Selain
itu pengelola pasar tersebut juga secara intensif dibina dan disupervisi oleh SKPD yang
membidangi pasar tradisional dan pedagang (pedagang pasar dan PKL), dengan perkataan
lain pasar tradisional tidak semata difungsikan sebagai pengkontribusi PAD.
Seringkali Kepala Pasar memiliki keterbatasan wewenang (otoritas) dalam mengelola
pasar tradisonal yakni menghadapi petugas-petugas yang berada di bawah kendali SKPD lain di
luar SKPD yang mebidangi pasar dan pedagang, seperti petugas-petugas yang menangani
perparkiran, kebersihan dan pertamanan, pembangunan dan perawatan sarana dan prasarana
(bangunan, fasilitas air bersih, listrik, pengolahan sampah dan air limbah), dan juga terkadang

yang menangani ketertiban PKL. Di sini peran SKPD pembina sangat diperlukan untuk
berkoordinasi dengan SKPD lain yang terkait.
Bentuk organisasi pengelola pasar juga seringkali menentukan efektivitas pengelolaan
pasar tradisional. Di beberapa kabupaten/kota bentuk organisasi pengelola adalah Unit Pelaksana
Teknis Daerah (UPTD) yang membawahi lebih dari satu pasar (tiga atau empat pasar). Seringkali
kemampuan manajerial Kepala UPTD tidak seimbang dengan jumlah pasar yang harus
dikelolanya, sehingga terkesan pasar-pasar tersebut sebatas sebagai unit sumber PAD.
Di beberapa kota, organisasi pengelola pasar tradisional berbentuk Perusahaan Daerah
(PERUSDA) seperti di DKI Jakarta, Surabaya dan Bogor. PERUSDA biasanya memiliki
kemampuan manajemen yang lebih baik dibanding pihak-pihak penngelola pasar tradisional di
bawah SKPD yang membidangi pasar. Namun tampaknya kemampuan dalam membina para
pedangan di pasar-pasar tersebut masih lemah, sehingga ciri kekumuhan pasar-pasar tradisional
di bawah PERUSDA masih terlihat.
PENUTUP
Pembinaan pasar tradisional memerlukan upaya terintegrasi, mulai di tingkat kebijakan
hingga di tingkat operasional. Setiap tingkat memerlukan bentuk-bentuk pembinaan yang saling
terkait satu bidang dengan bidang lain. Sebagai contoh, pembinaan pasar tradisional beserta
pedagang pasar dan PKL di tingkat operasional merupakan kelanjutan dari kebijakan Pemerintah
Daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
Pembinaan di tingkat operasional diwujudkan dalam bentuk pembinaan manajemen pasar
tradisional dan pedagang pasar serta pembinaan PKL dan lingkungannya, ketertiban perparkiran,
penataan jalur angkutan kota, penataan tempat pejalan kaki (pedesterian), dan kawasan wisata
kuliner. Keterkaitan dengan bidang-bidang lain inilah yang seringkali kurang diperhatikan,
sehingga penanganan masalah bersifat parsial, hasilnya kurang maksimal karena kurang dapat
menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya.
Mengingat kondisi pasar tradisional yang seperti ini sudah berlangsung sejak lama, maka
perlu kebijakan dan tindakan yang konsisten serta berkesinambungan yang tidak bisa
mengharapkan hasilnya segera tampak. Perbaikan yang harus dilakukan harus menyentuh
perubahan perilaku masyarakat (aparatur dan petugas serta pedagang dan pengunjung pasar)
yang ini memerlukan banyak contoh yang dapat dimulai dengan bentuk-bentuk pilot project.

Berdasarkan pengalaman empiris di banyak daerah, keberhasilan pembinaan pasar dan


pedagang pasar tradisonal sangat ditentukan oleh kepedulian para Kepala Daerah (Bupati dan
Walikota) yang diikuti oleh para pejabat di tingkat teknis. Pengalaman empiris menunjukkan
bahwa kebijakan Kepala Daerah yang menetapkan pasar sebagai salah satu sumber PAD tanpa
diikuti dengan pengembalian pendapatan ke pasar secara signifikan sebagai tambahan biaya
operasional dan perawatan/pemeliharaan serta biaya pembinaan bagi pengelola dan pedagang
pasar, maka hal ini menjadi penyebab utama kondisi pasar-pasar tradisional memiliki berstigma
negatif seperti kumuh, semrawut, kotor, dan tidak nyaman dikunjungi oleh masyarakat
konsumen.

Anda mungkin juga menyukai