Anda di halaman 1dari 25

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Febris
1. Definisi
Febris (demam) dapat didefinisikan keadaan ketika individu
mengalami atau beresiko mengalami kenaikan suhu terus menerus lebih
dari 37,8C peroral atau 37,9C per rectal karena faktor eksternal
(Suryono, 2012). Demam adalah suatu keadaan suhu tubuh diatas normal
sebagai akibat peningkatan pusat pengatur suhu di hipotalamus yang
dipengaruhi interleukin-1 (Soedarmo, 2008).
Protokol Kaisar Permanente Appointment and Advice Call Center
definisi demam untuk semua umur, demam didefinisikan temperatur
rektal diatas 38C, aksilar 37,5C dan diatas 38,2C dengan pengukuran
membrane timpani, sedangkan demam tinggi bila suhu tubuh diatas
39,5C dan hiperpireksia bila suhu >41,1C (Soedarmo, 2010).
2.

Epidemiologi
Survei Kesehatan Nasional melaporkan bahwa prevalensi panas
pada balita adalah 33%, dengan angka tertinggi pada bayi umur 611
bulan yaitu 43%, kemudian pada anak umur 12-23 bulan ialah 39%.
Panas menempati urutan pertama dari 4 gejala terbanyak pada anak
masing-masing yaitu panas (33,4%), batuk (28,7%), batuk dan nafas
cepat (17,0%), dan diare (11,4%). Berdasarkan survei tersebut, panas
pada anak terutama disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan, campak,
7
demam tifoid, dan infeksi saliran pernafasan (Widagdo, 2011).

3.

Pola-Pola Febris (demam)


Pola demam saja tidak dapat menjelaskan secara pasti etiologi yang
mendasarinya tetapi dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Beberapa pola demam dapat dimiliki oleh satu penyakit tergantung dari
fase penyakit, misal pada awal penyakit demam tifoid, pola demam bisa
berupa remiten dan selanjutnya bisa berupa kontinu. Namun, tidak selalu
suatu penyakit mempunyai pola demam yang spesifik. Pola demam yang
dapat membantu dalam menegakkan diagnosis antara lain :
a. Demam kontinu
Demam dengan variasi diurnal di antara 1,01,5F (0,550,82C).
Dalam kelompok ini, demam meliputi penyakit pneumonia tipe
lobar, infeksi kuman Gram-negatif, riketsia, demam tifoid, gangguan
sistem saraf pusat, tularemia, dan malaria falciparum.
b. Demam intermiten
Demam dengan variasi diurnal >1C, suhu terendah mencapai suhu
normal, misal : endocarditis bakterialis, malaria, bruselosis
c. Demam remiten
Demam dengan variasi normal lebar >1C, tetapi suhu terendah tidak
mencapai suhu normal, ditemukan pada demam tifoid fase awal dan
berbagai penyakit virus.
d. Pola demam tersiana dan kuartana merupakan demam intermiten
yang ditandai dengan periode demam yang diselang dengan periode
normal. Pada demam tersiana, demam terjadi pada hari ke1 dan ke
3 (malaria oleh Plasmodium vivax) sedangkan kuartana pada hari
ke1 dan ke4 (malaria oleh Plasmodium malariae).
e. Demam saddleback / pelana (bifasik), penderita mengalami beberapa
hari demam tinggi disusul oleh penurunan suhu, lebih kurang satu

hari, dan kemudian timbul demam tinggi kembali. Tipe ini


didapatkan pada beberapa penyakit seperti dengue, yellow fever,
Colorado tick fever, Rit valley fever, dan infeksi virus seperti
influenza, poliomyelitis, dan koriomeningitis.
f. Demam intermiten hepatik (demam Charcot), dengan episode
demam yang sporadik, terdapat penurunan temperatur yang jelas dan
kekambuhan demam. Hal ini adalah pola yang sering terjadi dan
dapat dipercayai pada kolangitis, biasanya terkait dengan kolelitiasis,
ikterik, leukositosis, dan adanya tanda-tanda toksik.
g. Demam Pel-Ebstein, ditandai oleh periode demam setiap minggu
atau lebih lama dan periode afebrile yang sama durasinya disertai
dengan berulangnya siklus. Keadaan ini terjadi pada penyakit
Hodgkin, bruselosis dari tipe Bricella melitensis.
h. Kebalikan dari pola demam diurnal (thypis inversus), dengan
kenaikan temperatur tertinggi pada pagi hari bukan selama senja atau
di awal malam. Kadang-kadang ditemukan pada tuberculosis milier,
salmonellosis, abses hepatic, dan endocarditis bacterial.
i. Reaksi Jarisch-Herxheimer, dengan peningkatan temperatur yang
sangat tajam dan eksaserbasi manifestasi klinis, terjadi beberapa jam
sesudah pemberian terapi penisilin pada sifilis primer atau sekunder,
keadaan ini dapat pula terjadi pada leptospirosis, dan relapsing fever,
juga sesudah terapi tetrasiklin atau kloramfenikol pada bruselosis
akut.
j. Relapsing fever
Seperti demam Pel-Ebstein namun serangan demam berlangsung
setiap 57 hari.

10

k. Factitious fever atau self induced fever, mungkin merupakan


manipulasi yang disengaja untuk memberi kesan adanya demam
(Soedarmo, 2010).
4.

Etiologi
Penyebab febris (demam) yang paling sering terjadi yaitu adanya
produksi pirogen endogen dan pirogen eksogen, infeksi saluran
pernafasan atas, otitis media, sinusitis, bronchiolitis, pneumonia,
pharyngitis, abses gigi, gingivostomatitis, gastroenteritis, infeksi saluran
kemih, pyelonephritis, meningitis, bakteremia, reaksi imun, neoplasma,
osteomyelitis (Dewi, 2015).
Beberapa hal khusus perlu diperhatikan pada demam adalah cara
timbul, lama demam, suhu demam tinggi serta keluhan dan gejala lain
yang menyertai. Sedangkan demam belum terdiagnosa adalah suatu
keadaan di mana seorang pasien mengalami demam terus-menerus
selama 3 minggu dengan suhu badan diatas 38,3C dan sampai saat ini
belum diketahui penyebabnya walaupun telah diteliti selama 1 minggu
intensif dengan menggunakan sarana laboratorium dan penunjang medis
(Susilowati, 2012).
Menurut Corwin (2003) dalam Susilowati (2012), penyebab febris
dibagi 7, yaitu :
a. Infeksi
Febris dengan infeksi dapat disebabkan oleh bakteri, virus,
protozoa, dan metazoa.
b. Neoplasma

10

11

Febris dapat timbul pada setiap keganasan yang berkembang


dengan cepat, sebagai akibat dilepaskannya zat-zat pirogen dari selsel yang rusak atau dari suatu infeksi sekunder.
c. Reaksi-reaksi kerentanan / hipersensitifitas
Febris dapat disebabkan oleh karena suatu kerentanan terhadap
obat-obatan atau protein-protein asing dan biasanya bersamaan
dengan urtikaria, gatal-gatal, muntah, rasa nyeri di persendian dan
albuminuria.
d. Penyakit-penyakit kolagen
Febris dapat merupakan gejala dari Lupus Erytematous
Sistemik dan Poliartritis nodosa.
e. Gangguan mekanisme pengaturan suhu
Mekanisme yang mengatur suhu dapat terganggu pada
berbagai keadaan dengan akibat hiperpireksia. Ini dapat terjadi pada
heat stroke dan kerusakan pada hipotalamus.
f. Gangguan peredaran darah
Penyakit yang dapat menyebabkan febris antara lain infark
miokard, infark paru dan hemoragi subarachnoid.
g. Penyebab-penyebab lain
Seperti penyakit crohn, krisis tiroid, dan sepsis gigi.
5.

Patogenesis Febris (Demam)


Demam ditimbulkan oleh senyawa yang dinamakan pirogen.
Dikenal dua jenis pirogen, yaitu pirogen eksogen dan endogen. Pirogen
eksogen merupakan senyawa yang berasal dari luar tubuh pejamu dan
sebagian besar terdiri dari produk mikroba, toksin, atau mikroba itu
sendiri. Bakteri gram negatif memproduksi pirogen eksogen berupa
polisakarida yang disebut pula sebagai endotoksin. Bakteri gram positif
tertentu dapat pula memproduksi pirogen eksogen berupa polipeptida

11

12

yang dinamakan eksotoksin. Pirogen eksogen menginduksi pelepasan


senyawa di dalam tubuh pejamu yang dinamakan pirogen endogen.
Pirogen endogen tersebut diproduksi oleh berbagai jenis sel di dalam
tubuh pejamu terutama sel monosit dan makrofag. Senyawa yang
tergolong pirogen endogen adalah sitokinin, seperti interleukin
(interleukin-1, interleukin-1, interleukin-6), tumor nekrosis faktor
(TNF-, TNF-), dan interferon.
Pirogen endogen yang dihasilkan oleh sel monosit, makrofag, dan
sel tertentu lainnya secara langsung atau dengan perantaraan pembuluh
limfe masuk sistem sirkulasi dan dibawa ke hipotalamus. Di dalam pusat
pengendalian suhu tubuh, pirogen endogen menimbulkan perubahan
metabolik, antara lain sintesis prostaglandin

E2 ( PGE2 ) yang

mempengaruhi pusat pengendalian suhu tubuh sehingga sel point untuk


suhu tersebut ditingkatkan untuk suatu suhu tubuh yang lebih tinggi.
Pusat ini kemudian mengirimkan impuls ke pusat produksi panas untuk
meningkatkan aktivitasnya sehingga suhu tubuh meningkat atau terjadi
demam (Soedarmo, 2002).
6.

Pemeriksaan Febris
Menurut Widagdo (2011), pemeriksaan pada pasien febris (demam)
yaitu :
a. Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis ditujukan untuk mendapatkan adanya tanda
fisis terutama yang terkait dengan kepentingan penetapan diagnosis.
Pemeriksaan

tersebut

terdiri
12

dari

pemeriksaan

umum

dan

13

pemeriksaan terhadap seluruh organ atau sistem, yang dilakukan


secara

lege

artis

(menurut

aturan)

dan

sistemik

dengan

menggunakan cara-cara pemeriksaan yang baku, yaitu :


1) Keadaan umum : tingkat beratnya penyakit, kesadaran, status
nutrisi, postur, dan aktifitas anak.
2) Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju
nafas.
3) Data antropometri : berat dan tinggi badan, lingkaran kepala,
serta lingkaran lengan atas.
4) Kepala : besar atau bentuk, ubun-ubun besar, sutura, dan
keadaan rambut.
5) Mata : bulu mata, eksoptalmus, strabismus, nistagmus, miosis,
midriasis, dan reflek cahaya langsung dan tidak langsung.
6) Hidung : bentuk sadel, jembatan hidung, nafas cuping hidung,
sianosis, septum dan sekresi.
7) Mulut dan tenggorok : ulkus, lidah berselaput, tonsil membesar
dan hyperemia, pseudomembran, gingiva, trismus, edema
peritonsilar dan parafaring, pertumbuhan / jumlah / morfologi /
kerapatan dari gigi.
8) Telinga : letak / posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan
nyeri tekan mastoid.
9) Leher : masa tiroid, kelenjar getah bening membesar dan nyeri,
dan kuduk kaku.
10) Toraks : asimetrik, pembengkakan, nyeri, dan kelainan
payudara.
11) Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, bunyi jantung, murmur,
getaran, bising gesek perikard, batas jantung / kardiomegali.

13

14

12) Paru-paru : asimetrik, pekak, hipersonor, fremitus, suara nafas,


ronkhi basah, ronkhi kering, bising gesek pleura, dan
bronkofoni.
13) Abdomen : distensi, gerakan peristaltik, rigiditas, nyeri tekan,
masa abdomen, dan tanda-tanda asites.
14) Anogenitalia : sekresi, vesikel, eritema, ulkus, kriptorkismus,
edema.
15) Ekstremitas : jari tabuh, sianosis, bengkak dan nyeri otot /
tulang / sendi, tonus, refleks fisiologik / patologik.
16) Tulang belakang : kifosis, skloliosis, lordosis, tanda spina bifida,
gibus.
17) Susunan saraf : tanda peningkatan tekanan intracranial, tanda
rangsang meningeal, palsi saraf otak, dan sensibilitas.
18) Kelenjar getah bening : bengkak dan nyeri.
19) Kulit : keringat / kelembaban, ruam, petekie, infeksi jarngan
bawah kulit, keadaan rambut kulit.
b. Pemeriksaan laboratorium / penunjang
Jenis pemeriksaan laboratorium / penunjang dapat dilakukan
secara rutin atau atas dasar indikasi sesuai dengan keluhan atau
penyakit primer yang diduga diderita oleh yang bersangkutan.
Pemeriksaan tersebut di bawah ini adalah yang diperlukan untik
maksud keperluan diagnostik :
1) Pemeriksaan laboratorium

dari

darah

tepi

(hematologi)

meliputi : jumlah sel darah merah (eritrosit), kadar hemoglobin


(Hb), hematokrit (Hct), jumlah sel darah putih (leukosit), hitung
jenis, jumlah keping darah (trombosit), dan laju endap darah
(LED).
2) Air kemih (urine) makroskopik dan mikroskopik, fisis dan
kimia, serta biakan.

14

15

3) Tinja (feses) makroskopik dan mikroskopik, fisis dan kimia,


serta biakan.
4) Pemeriksaan kimia darah untuk uji fungsi berbagai organ atau
sistem seperti hati, ginjal, keseimbangan elektrolit, pH, dan
asam basa.
5) Analisis cairan serebrospinal, cairan aspirasi pleura, perikard,
dan abses.
6) Imunoserologi : widal, tubex tf, Salmonella Typhi IgM
(Labbiomed, 2014), Anti Dengue IgG dan IgM, IgM Anti
Chikungunya, Malaria Pf/Pv (ICT), HBsAg, Anti HBs (Hilab,
2008).
7) Mikrobiologik : serologi, biakan bakteri / virus.
8) Histopatologik : pemeriksaan terhadap jaringan tubuh yang
diperoleh dari biopsi atau operasi.
9) Pemeriksaan pencitraan seperti
elektrokardiografi

(EKG),

foto

rontgen

ekokardiografi

paru,

(EKKG),

elektroensefalografi (EEG), elektromiografi (EMG), computed


tomography (CT), magnetic resonance imaging (MRI), dan
angiografi (Widagdo, 2011).

B. Demam Tifoid
1. Pengertian Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus
dengan gejala demam lebih dari satu minggu atau lebih disertai gangguan
pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Artanti,
2013).

15

16

Demam tifoid atau typhoid fever ialah suatu sindrom sistemik


terutama disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid merupakan
jenis terbanyak dari salmonellosis. Jenis lain dari demam enteric adalah
demam paratifoid yang disebabkan oleh S. paratyphi A, S. schottmuelleri
(semula S. paratyphi B), dan S. hirschfeldii (semula S. paratyphi C)
(Widagdo, 2011).
Berbagai faktor ikut berpengaruh terhadap kejadian dan kematian
penyakit demam tifoid, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor
eksternal termasuk virulensi kuman, mutasi genetik sehingga kuman
menjadi lebih virulen, kesehatan lingkungan yang belum memenuhi
syarat kesehatan, kebersihan individu, persediaan air bersih yang
memadai. Faktor internal adalah menurunnya sistem kekebalan tubuh
penderita (Nasronudin, 2007).
Sampai saat ini, demam tifoid masih merupakan masalah
kesehatan. Walaupun pengobatan demam tifoid tidak terlalu menjadi
masalah, namun diagnosis kadang-kadang menjadi masalah, terutama di
tempat yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan kuman maupun
pemeriksaan laboratorium penunjang (Rampengan, 2008).
2. Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di
berbagai negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam
tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal
mempunyai gejala dengan spectrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan
angka kejadian dari 150/ 100.000/ tahun di Amerika Selatan dan 900/
100.000/ tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia

16

17

(daerah endemis) dilaporkan antara 319 tahun mencapai 91% kasus.


Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan
(Soedarmo, 2008).
3. Etiologi
Penyakit ini

disebabkan

oleh

infeksi

kuman

Salmonella

typhosa/Eberthella typhosa yang merupakan kuman gram negatif, motil


dan tidak menghasilkan spora. Kuman ini dapat hidup baik sekali pada

suhu tubuh manusia maupun suhu tubuh yang sedikit lebih rendah, serta
mati pada suhu 70C ataupun oleh antiseptik. Sampai saat ini, diketahui
bahwa kuman ini hanya menyerang manusia (Rampengan, 2008).
Gambar II.1 Salmonella typhi (Nasronuddin, 2007)
Kuman Salmonella typhosa memiliki 3 macam antigen yaitu :
a. Antigen O (somatik), terletak pada lapisan luar, yang
mempunyai komponen protein, lipoposakarida (LPS) dan lipid.
Sering disebut endotoksin.
b. Antigen H (flagella), terdapat pada flagella, fimbriae dan pili
dari kuman, berstruktur kimia protein.
c. Antigen Vi (antigen permukaan), pada selaput dinding kuman
untuk melindungi fagositosis dan berstruktur kimia protein
(Nasronudin, 2007).
4. Patogenesis

17

18

Untuk dapat menimbulkan infeksi, diperlukan inokulum sebanyak


105 109

kuman Salmonella typhi (Widagdo, 2011). Bakteri

Salmonella typhi masuk bersama makanan dan minuman ke dalam tubuh


melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH
<2), banyak bakteri yang mati (Soedarmo, 2008). Keadaan-keadaan
seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor
histamin

H 2 , inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah

besar akan mengurangi dosis infeksi (Soedarmo, 2008). Bakteri yang


masih hidup akan menembus mukosa usus ke kelenjar limfe usus. Kuman
mengadakan invasi ke jaringan limfosid usus halus (terutama plak peyer)
dan jaringan limfosid mesenterika. Setelah menyebabkan peradangan dan
nekrosis setempat, kuman lewat pembuluh darah limfe masuk ke darah
(bakteremia primer) menuju organ retikuloendotelial sistem (RES)
terutama hati dan limfa (Rampengan, 2008). Saat bakteremia primer
biasanya tidak didapatkan gejala dan kultur darah biasanya masih
memberikan hasil yang negatif. Periode inkubasi ini terjadi selama 7-14
hari (Nelwan, 2012).
Di dalam hati dan limpa, kuman difagosit oleh sel-sel fagosit RES
dan kuman yang tidak difagosit akan berkembang biak. Setelah itu,
kuman kembali masuk ke darah menyebar ke seluruh tubuh (bakteremia
sekunder), dan sebagian kuman masuk ke organ tubuh terutama limpa,
kandung empedu yang selanjutnya kuman tersebut dikeluarkan kembali

18

19

dari kandung empedu ke rongga usus dan menyebabkan reinfeksi di usus.


Dalam masa bakteremia sekunder, kuman mengeluarkan endotoksin yang
susunan kimianya sama dengan antigen somatik (lipopolisakarida), yang
semula diduga bertanggung jawab terhadap terjadinya gejala-gejala dari
demam tifoid (Rampengan, 2008). Bakteremia sekunder menimbulkan
gejala klinis seperti demam, sakit kepala, dan nyeri abdomen (Nelwan,
2012).

Makanan dan minuman yang tercemar S.typhi


Mulut

Lambung

Usus halus

Menyebar ke bagian tubuh lain

Hati & limpa

Plak Peyer

Gambar II.2 Patogenesis Demam Tifoid (Nasronuddin, 2007)


Pada infeksi primer, imunitas humoral berperan dalam diagnosis.
Respon imunitas humoral melalui sel limfosit B, yang oleh rangsangan
antigen kuman akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan mensintesis
immunoglobulin (Ig). Pada infeksi primer biasanya terbentuk antibodi
IgM, kemudian disusul antibodi IgG yang sudah terjadi sejak minggu
pertama sakit dan akan meningkat pada minggu-minggu berikutnya. Pada
infeksi saluran cerna, juga terjadi peningkatan IgA, yang merupakan
immunoglobulin utama pada mukosa. Respon serologi paling dini pada
demam tifoid adalah peningkatan titer antibodi somatik O (IgM),

19

20

sedangkan antibodi flagella H (IgA) timbul lebih lambat tetapi menetap


lebih lama daripada antibodi IgM (Mitra, 2010).
5. Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari
Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel
limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi
sitokinin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat
menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam,
depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi
sistem imunologik (Soedarmo, 2008).
6. Respon Imunologik
Diagnosis Salmonella typhi berdasarkan keberadaan antigen di
dalam tubuh di mana antigen ini menimbulkan penyakit. Membrane
antigenic Salmonella yang dikenali sistem sebagai antigen, akhirnya
direspon dengan pembentukan antibodi. Imunitas yang terbentuk
meliputi respon imun alami dan didapat. Respon imun didapat terdiri dari
respon imun seluler dan humoral. Respon imun humoral ini yang
nantinya akan mengenali membran lipopolisakarida O9 pada infeksi
Salmonella typhi. Suatu antigen bisa menimbulkan penyakit berdasarkan
jumlah kuman dan virulensi kuman tersebut.

20

21

Akan tetapi, bagaimana mekanisme imunologik ini dalam


menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi
tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih
berperan. Penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat
dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas
seluler terhadap antigen Salmonella ser. typhi pada uji hambatan migrasi
leukosit. Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap
harinya dan dikeluarkan dalam tinja tanpa memasuki epitel pejamu
(Soedarmo, 2008).
7. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya
berpegangan pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak, terutama pada penderita
yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi
(Rampengan, 2008).
Menurut Juwono (1996) dalam Hasibuan (2009) adapun gejala
klinis demam tifoid biasanya didahului dengan gejala demam, sakit
kepala, sakit perut, badan lesu, anoreksia (tidak nafsu makan), mual,
muntah, dan dapat disertai dengan batuk.
Sedangkan menurut Soedarmo (2007) gejala sistemik lain yang
menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia,
nausea, myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus

21

22

berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/
sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam rifoid yang
datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan
dan makanan. Gejala gastrointestinal demam tifoid obstipasi, obstipasi
kemudian disusul dengan diare. Pada sebagian pasien, lidah tampak kotor
dengan putih ditengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan (Widagdo,
2011).
Masa inkubasi biasanya 714 hari, tetapi dapat juga 330 hari
tergantung pada besarnya inokulum S. typhi. Manifestasi klinik
tergantung pada umur, yang dibedakan yaitu pada usia sekolah sampai
adolesen, bayi sampai umur 5 tahun, dan pada neonatus. Pada anak usia
sekolah dan adolesen, awalan penyakit samar. Mula-mula gejalanya
demam, lesu, anoreksia, myalgia, sakit kepala, dan sakit perit
berlangsung selama 23 hari. Mulamula bisa terjadi diare dengan tinja
seperti sup kacang. Mual dan muntah timbul pada minggu ke 2 atau 3
merupakan tanda adanya komplikasi. Suhu badan naik dan makin
meningkat dalam 1 minggu, kemudian menetap pada suhu 40C. Dalam
minggu ke2, suhu bertahan tinggi. Anak nampak sakit akut dengan
disorientasi, letargi, delirium, dan stupor. Tanda fisis ditemukan adanya
bradikardia relative, hepatosplenomegali, dan distensi abdomen disertai
rasa nyeri yang difus. Pada 50% kasus dijumpai rose spot yaitu ruam
berupa makula atau makulopapel berwarna kemerahan yang hilang

22

23

apabila ditekan, sebanyak 1015 buah sebesar 15 mm menggerombol


didada bagian bawah dan atau perut bagian atas (Widagdo, 2011).
Pada bayi dan anak umur dibawah 5 tahun biasanya penyakit
berlangsung ringan dengan demam ringan dan lesu, sehingga diagnosis
sulit ditetapkan. Pada pemeriksaan biakan ditemukan adanya S. typhi.
Gejala diare lebih sering ditemukan sehingga diagnosisnya mengarah
pada gastroenteritis (Widagdo, 2011).
Pada bayi baru lahir, infeksi pada ibu hamil dapat mengakibatkan
abortus atau lahir prematur. Gejala timbul pada hari ke3, biasanya
muntah, diare, kembung. Suhu tubuh bervariasi, bisa sampai 40,5C, dan
bisa disertai kejang. Gejala lain adalah hepatomegali, ikterus, anoreksia,
dan berat badan turun (Widagdo, 2011).
8. Diagnosis
Diagnosis dini demam tifoid dan pemberian terapi yang tepat
bermanfaat untuk mendapatkan hasil yang cepat dan optimal sehingga
dapat mencegah terjadinya komplikasi. Pengetahuan mengenai gambaran
klinis penyakit sangat penting untuk membantu mendeteksi penyakit ini
(Nelwan, 2012).
Menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak merupakan hal
yang tidak mudah, mengingat gejala dan tanda klinis yang tidak khas,
terutama pada penderita diusia 5 tahun. Pada anak diatas 5 tahun atau
dengan bertambahnya umur, lebih mudah menegakkan diagnosis
mengingat dengan makin bertambahnya umur, gejala serta tanda klinis

23

24

demam tifoid hampir menyerupai penderita dewasa, seperti demam


selama 1 minggu atau lebih, lidah tifoid, pembesaran limpa, hati, dapat
disertai diare maupun konstipasi (Rampengan, 2008).
Diagnosis demam tifoid dapat diambil dengan anamnesis berupa
demam, gangguan gastrointestinal, dan dapat disertai gangguan
kesadaran. Diagnosis banding demam tifoid adalah gastroenteritis virus,
enteritis bakteri selain karena Salmonella, kolitis pseudomembran,
appendicitis, dan kolesistitis. Penegakan diagnosis masih kurang lengkap
bila belum ditunjang dengan diagnosa laboratorium mikrobiologi klinik,
tetapi diagnosa laboratorium secara konvensional dapat dilakukan
melalui identifikasi adanya antigen atau antibodi

dalam sampel dan

melalui kultur mikroorganisme (Santoso, 2009).


9. Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S. typhi,
maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan
minuman yang dikonsumsi. S. typhi di dalam air akan mati apabila
dipanasi sampai 57C untuk beberapa menit. Sedangkan untuk makanan,
pemanasan sampai suhu 57C beberapa menit secara merata juga dapat
mematikan kuman Salmonella typhi. Imunisasi aktif dapat membantu
menekan angka kejadian demam tifoid (Soedarmo, 2008).
10. IgM Salmonella
IgM dapat menyebabkan aglutinasi berbagai partikel dan fiksasi
koplemen dengan efisiensi yang sangat tinggi, yaitu 20 kali lebih efektif
dalam aglutinasi dan 1000 kali lebih efektif dalam menghancurkan

24

25

bakteri dibandingkan IgG. Molekul IgM merupakan immunoglobulin


yang berukuran paling besar dan merupakan antibodi pertama yang
dibentuk ketika ada paparan antigen tertentu yang dengan waktu yang
relatif pendek, maka keadaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosa
adanya suatu infeksi akut atau kronis (Choerunnisa, 2013).

C. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk menegakkan diagnosis

demam

tifoid

perlu

dilakukan

pemeriksaan laboratorium sebagai berikut :


1. Pemeriksaan Hematologi
Gambaran darah tepi pada permulaan penyakit dapat berbeda
dengan pemeriksaan pada keadaan penyakit yang lanjut. Pada permulaan
penyakit, dapat dijumpai pergeseran hitung jenis sel darah putih ke kiri
(shift to the left), sedangkan pada stadium lanjut terjadi pergeseran darah
tepi ke kanan (limfositosis relatif). Ciri lain yang sering ditemukan pada
gambaran darah tepi adalah aneosinofilia (menghilangnya eosinophil)
(Nelwan, 2012).
2. Pemeriksaan Bakteriologis
Diagnosis pasti dengan ditemukan bakteri Salmonella typhosa pada
salah satu biakan darah, feses, urine, sumsum tulang ataupun cairan
duodenum. Waktu pengambilan sampel sangat menentukan keberhasilan
pemeriksaan bakteriologis tersebut. Misalnya, biakan darah biasanya
positif pada minggu pertama perjalanan penyakit, biakan feses dan urine
positif biasanya pada minggu kedua dan ketiga, biakan sumsum tulang
paling baik karena tidak dipengaruhi waktu pengambilan ataupun
pemberian antibiotika sebelumnya. Kemungkinan ditemukannya biakan

25

26

yang positif pada sumsum tulang (84%), pada darah (44%), feses (65%),
cairan duodenum (42%) (Rampengan, 2008).
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid, akan tetapi
hasil biakan negatif tidak mengenyampingkan diagnosis demam tifoid,
karena hasilnya bergantung pada beberapa faktor. Faktorfaktor yang
mempengaruhi hasil biakan adalah jumlah darah yang diambil, perbaikan
volume darah dengan media empedu dan waktu pengambilan sampel.
Media pembiakan yang direkomendasikan untuk Salmonella typhi adalah
media empedu (Gall) dari sapi, dimana media ini dapat meningkatkan
positifitas hasil karena hanya Salmonella typhi yang dapat tumbuh pada
media tersebut (Prasetyo, 2004 dalam Hasibuan, 2009).
3. Pemeriksaan Serologi
a. Widal
Sampai saat ini, tes widal merupakan reaksi serologis yang
digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid.
Dasar tes widal adalah reaksi aglutinasi antara antigen Salmonella
typhosa dan antibodi yang terdapat dalam serum penderita. Ada 2
metode yang sampai saat ini dikenal yaitu widal cara tabung
(konvensional) dan Salmonella slide test (cara slide) (Rampengan,
2008).
Tes widal mengukur level aglutinasi antibodi terhadap antigen
O (somatic) dan antigen H (flagellar). Level tersebut diukur dengan
menggunakan dilusi ganda serum pada tabung tes. Biasanya antibodi
O terlihat pada hari ke 68 dan antibodi H terlihat pada hari 1012
setelah munculnya gejala penyakit demam tifoid. Tes biasanya
dilakukan pada serum akut (serum yang pertama kali diambil pada
26

27

saat pertama kali kontak dengan pasien). Minimal harus didapatkan


1 ml darah untuk mendapatkan jumlah serum yang cukup (WHO,
2003).
Hasil pemeriksaan widal dianggap positif mempunyai arti
klinis bila :
1) Titer antigen O sampai 1/80 pada awal penyakit berarti suspek
demam tifoid, kecuali pasien yang telah mendapatkan
vaksinasi.
2) Titer antigen O diatas 1/160 berarti indikasi kuat terhadap
demam tifoid.
3) Titer antigen H sampai 1/40 berarti suspek terhadap demam
tifoid kecuali pada pasien yang divaksinasi jauh lebih tinggi.
4) Titer antigen H diatas 1/80 memberi indikasi adanya demam
tifoid (Harti, 2010).
Pemeriksaan widal relatif murah dan mudah dikerjakan, tetapi
pemeriksaan ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, sehingga
spesifitasnya dan sensitivitasnya hanya berkisar 6080%. Belum ada
kesamaan pendapat tentang titer agglutinin yang bermakna untuk
diagnosis demam tifoid hingga saat ini. Batas titer aglutinin yang
sering digunakan hanya kesepakatan saja, berlaku setempat, da
bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium (Choerunnisa, 2013).
Peran pemeriksaan widal (untuk mendeteksi antibodi terhadap
antigen Salmonella typhi) masih kontroversial. Pada orang sembuh,
antibodi O masih tetap dapat dijumpai setelah 46 bulan dan
antibodi H setelah 1012 bulan. Karena itu, widal bukanlah
pemeriksaan untuk menentukan kesembuhan penyakit. Diagnosis
didasarkan atas kenaikan titer sebanyak 4 kali pada dua pengambilan

27

28

berselang beberapa hari atau bila klinis disertai hasil pemeriksaan


titer widal di atas rata-rata titer orang sehat setempat (Nelwan,
2012). Kelemahan lain dari uji widal adalah antibodi tidak muncul di
awal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada
kaitannya dengan gambaran klinis penyakit, dan dalam jumlah yang
cukup besar (15% atau lebih) tidak ada kenaikan titer O bermakna
(Sari pediatri, 2000).
b. Tubex TF
Uji tubex merupakan uji aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
kolorimerik yang pada intinya mendeteksi adanya antibodi anti
S.typhi O9 pada serum pasien dengan cara menghambat ikatan antara
IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna
dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel
magnetic latex. Jika hasil uji tubex positif, maka menunjukkan pada
S.typhi

sedangkan

jika

hasil

tubex

negatif

kemungkinan

menunjukkan terdapat infeksi oleh S.paratyphi atau penyakit lain


(Kusumaningrat, 2012).
Pemeriksaan Tubex merupakan sarana penunjang demam tifoid
yang mudah untuk dikerjakan, dan hasilnya relative cepat diperoloeh
yaitu sekitar 1 jam. Pemeriksaan ini mendeteksi antibodi IgM anti
Salmonella typhi O9 pada serum pasien. Dikatakan positif pada
pemeriksaan ini apabila ditemukan Salmonella typhi serogrup D.
berdasarkan penelitian Karen H. Keddy tahun 2011, pemeriksaan
Tubex memiliki sensitivitas hingga 83% dan spesifitas 84,7%
(Choerunnisa, 2013).

28

29

Keunggulan metode ini dapat mendeteksi demam tifoid akut


secara lebih cepat, akurat, mudah, murah serta lebih spesifik
dibandingkan metode lain. Sedangkan kelemahannya pembacaan
warna atau interpretasi hasil bersifat subyektif. Hasil negative palsu
bisa terjadi pada kondisi gizi buruk, imunocompromised, pengguna
obat-obatan imunosupresan. Sedangkan hasil positif palsu bisa
terjadi pada : orang sehat yang mendapat vaksinasi tifoid
sebelumnya, pada pasien yang menderita demam tifoid 2 bulan
terakhir (Lim, 2006).

Gambar II. 3 Tubex

TF
(www.idlbiotech.com)

c. Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva


Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari
lipopolisakarida S.typhi dari spesimen saliva memberikan hasil
positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA
ini menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 100%, 9,1%, dan 0%
pada minggu pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan
penyakit demam tifoid (Hadinegoro, 2012).

29

30

d. Pemeriksaan Typhidot
Pemeriksaan Typhidot dapat mendeteksi IgM dan IgG.
Terdeteksinya IgM menunjukkan fase akut demam tifoid, sedangkan
terdeteksinya IgG dan IgM menunjukkan demam tifoid akut pada
fase pertengahan. Antibodi IgG dapat menetap selama 2 tahun
setelah infeksi, oleh karena itu, tidak dapat untuk membedakan
antara kasus akut dan kasus dalam masa penyembuhan.
Pemeriksaan yang lebih baru lagi yaitu Typhidot M yang hanya
digunakan untuk mendeteksi IgM saja. Typhidot M memiliki
sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi dibandingkan Typhidot
(Nelwan, 2012).
e. Pemeriksaan PCR
Pemeriksaan nested PCR (Polymerase Chain Reaction)
menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi
gen spesifik S.typhi dan merupakan pemeriksaan yang cepat dan
menjanjikan.

Pemeriksaan

PCR

memiliki

sensitivitas

untuk

mendeteksi satu bakteri dalam beberapa jam. Penelitian Ambati di


India pada tahun 2007 mendapatkan pemeriksaan PCR dari darah
dan urine memiliki sensitivitas 82% dan spesifitas 100%. Kendala
yang sering dihadapi pada pemeriksaan ini meliputi resiko
kontaminasi yang menyebabkan positif palsu yang terjadi bila
prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahanbahan
dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin
dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu

30

31

dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang
relatif rumit (Sucipta, 2015).

31

Anda mungkin juga menyukai